© 2003 Program Pasca Sarjana IPB                                                                       Posted  22 September 2003

Makalah Kelompok 2

Pengantar Falsafah Sains (PPS702)

Program Pasca Sarjana / S3

Institut Pertanian Bogor

September  2003

 

 

Dosen:

Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng (penanggung jawab)

Prof. Dr. Ir. Zahrial Coto

                                                                                                                                        

 

 

 

 

SISTEM BUDIDAYA PERTANIAN DENGAN PENDEKATAN

KONSERVASI LAHAN SEBAGAI KONSEP ANTISIPASI KEKERINGAN[1]

 

 

Oleh:

Purwono (A 361020011), Supijatno (A 361020021), Ketty Suketi (A 361020031),

Siti Chalimah (G 361020011), Enni SR (A 361020041), Khursatul (P 062020021),

dan Enni Dwi Wahjunie ( A 261020011)

 

Abstrak

            Kekeringan merupakan suatu gejala yang terjadi akibat pristiwa iklim makro dan tindakan manusia (man made).  Akibat kekeringan, banyak kegiatan terganggu.  Karena air merupakan suatu asupan mutlak bagi pertanian, maka sudah pasti kegiatan pertanianlah yang paling terasa akibatnya.

            Pengurangan aliran permukaan yang berarti pemborosan air dan menyebabkan erosi harus dicegah. Panen air melalui pembuatan embung dan perakaran tanaman merupakan metode panen air yang efektif, sehingga pada musim kemarau air yang tersimpan dapat digunakan. 

            Perubahan paradigma dalam budidaya pertanian harus diubah dari anggapan air adalah asupan yang gratis menjadi asupan yang mahal.  Afisiensi penggunaan air dengan tetap mempertahankan tingkat produktivitas tinggi harus dikembangkan.  Pemilihan jenis tanaman yang tahan kondisi kering dan penggunaan pola tanam seperti pola tumpangsari, tanaman tahuhan-satahun, dan hutan tanaman industri merupakan pola yang dapat digunakan.

            Konservasi air merupakan tanggung jawab semua pihak.  Kegiatan terpadu antara pemerintah-masyarakat-lembaga swadaya masayarakat-lembaga pendidikan perlu dikembangkan pada tiap kegiatan yang berhubugan dengan air

 

 

PENDAHULUAN

 

Perubahan iklim global yang menjadi perhatian masyarakat dunia adalah gejala global warming yang diketahui terjadi sebagai akibat dari penipisan lapisan ozon di lapisan stratosfir. Lapisan ozon berfungsi menyerap radiasi surya terutama sinar ultraviolet sebelum mencapai permukaan bumi, sehingga penipisannya berakibat meningkatnya suhu udara di permukaan bumi, dan menimbulkan gejala global warming.  Sementara itu, penggundulan hutan yang terus terjadi (terutama di negara berkembang), juga dituding sebagai penyebab terjadinya gejala rumah kaca yang juga meningkatkan suhu udara. Sebabnya adalah bahwa penggundulan itu menurunkan penyerapan CO2 oleh pepohonan yang ditebang.

Pengaruh global warming yang lebih relevan bagi Indonesia adalah timbulnya gejala El Nino/ENSO, yang berhubungan erat dengan kenaikan suhu laut kawasan tropis Samudra Pasifik dan turunnya suhu samudra Pasifik yang disebut La Nina. Sementara itu ada pendapat (Winarso, 2002) bahwa walaupun telah terlihat adanya kecederungan iklim untuk berubah dalam kurun waktu satu abad, maka perlu dibedakan dengan terjadinya variabilitas/fluktuasi iklim jangka tahunan hingga dasawarsa.  Akibat peristiwa  El Nino dan La Nina dengan variasi dan dampak yang muncul di Indonesia, antara lain:

  1. El Nino makin sering terjadi dan tidak memiliki periodisitas yang jelas, dan dampak yang terlihat di Indonesia umumnya kemarau kering.
  2. La Nina sebagai lawan balik gejala El Nino secara umum tidak pasti meningkatkan curah hujan, khususnya yang terjadi di tahun 1999 dan 2000 di mana justru curah hujan menurun.

Dengan demikian kita dapat melihat bahwa di samping perubahan iklim global terhadap iklim Indonesia, terdapat pula penyimpanan iklim lokal dan regional. Selain hal itu, intensitas banjir dan kekeringan sangat dipengaruih oleh perubahan-perubahan lokal.

Pertumbuhan penduduk, ekonomi maupun industri telah menyebabkan peningkatan kebutuhan terhadap pemukiman dan daerah industri. hal tersebut mengakibatkan terjadinya perubahan fungsi penggunaan lahan, khususnya alih fungsi lahan kehutanan dan pertanian. Perubahan tersebut juga menyebabkan terjadinya perubahan sistem sumber daya air, misalnya dari sistem irigasi berubah fungsi menjadi fungsi pemenuhan kebutuhan air di pemukiman dan di daerah industri. perubahan tataguna lahan juga mempengaruhi sistem hidrologi. Akibatnya banjir pada musim hujan dan kekeringan di musim kemarau semakin sering terjadi, juga semakin tinggi intensitasnya.

Salah satu unsur iklim yang penting dalam kehidupan, termasuk dalam produksi pertanian adalah curah hujan yang berpengaruh atas sumber daya air bagi tanaman. Sebagai unsur fisik lingkungan, hujan memiliki keragaman yang paling besar terutama di daerah tropis, di mana terdapat periode kekurangan atau kelebihan air yang cukup jelas.  Akibat dari kondisi fisiografi Indonesia yang banyak berbukit dan bergunung, maka curah hujan di hulu pada umumnya lebih tinggi daripada di hilir. Pada daerah yang rendah letaknya atau pada cekungan, pada umumnya keadaan tanah ynag basah terjadi sepanjang tahun karena mendapat air dari daerah hulu.

Curah hujan yang tinggi, lereng yang curam di aderah hulu disertai dengan perubahan ekosistem, dari tanaman tahunan atau tanaman keras berakar dalam, ke tanaman semusim berakar dangkal, mengakibatkan berkurangnya air yang disimpan dalam tanah, memperbesar aliran permukaan dan menyebabkan terjadinya longsor. Curah hujan yang tinggi dalam kurun waktu yang singkat dan tidak dapat diserap tanah akan dilepas sebagai aliran permukaan yang akhirnya menimbulkan banjir.

Berbeda dengan banjir, bencana kekeringan terjadi perlahan-lahan, dan seringkali kita baru tersentak melihat dampaknya yang luar biasa setelah kekeringan itu mecapai tingkat yang parah. Kekeringan terjadi akibat kurangnya curah hujan di sutau tempat dalam selang waktu yang lama, yang kemudian mengakibatkan berkurangnya pasokan air di sungai karena debit yang menyusut, serta menurunnya lengas atnah, yang berakhir dengan terjadinya kerusakan pada sistem produksi tanaman.

Batasan kekeringan berbeda-beda tergantung pada latar belakang serta perhatian ataupun dampak yang diperhitungkan, tetapi semuanya menyangkut hubungan anatra kebutuhan dan ketersediaan air. Di bidang pertanian, kekeringan diartikan sebagai kekurangan lengas tanah yang dibutuhkan oleh tanaman selama masa tanam. Kapasitas tanah dalam menyimpan dan melepaskannya menentukan terjadinya kekeringan.

Kemarau yang kering yang terjadi pada tahun 1991, 1994 dan 1997 mulai lebih awal dan berakhir lebih lambat dari musim kemarau tahun-tahun sebelumnya. Bahkan tahun 1994 dan 1997 tercatat sebagai kemarau terpanjang dari catatan perkembangan musim di Indonesia (BMG, 2002). Dampak bencana kekeringan tahun 1997 terlihat selain pada merosotnya produksi pangan yang merusak ketahanan pangan nasional, juga pada kebakaran hutan dan pencemaran asap yang luas. Peristiwa kekeringan tahun 1997 sampai  dinyatakan sebagai bencana nasional kebakaran hutan.  Kasus kekeringan tampaknya terulang di tahun 2003 meskipun tidak sehebat tahun 1997.    

Kekeringan tidak hanya ditentukan oleh faktor iklim, tetapi juga oleh faktor-faktor lain seperti pertambahan penduduk, terutama bila tidak disertai oleh penyediaan kesempatan kerja yang memadai, akan berdampak pada buruknya tata penggunaan lahan dan perilaku lain yang tidak menunjang upaya untuk menghindarkan banjir dan kekeringan. Demikian pula cara dengan budidaya pertanian yang gegabah serta boros air dalam jangka menengah dan panjang akan menimbulkan gejal kekurangan air.

Penentuan sistem budidaya dengan konsep konservasi perlu disosialisasikan kepada masyarakat untuk menumbuhkan kesadaran tentang berbagai hal sehubungan dengan masalah ketersediaan. Pemilihan jenis tanaman dengan karakteristik wilayah, perlu dikembangkan dalam menentukan berbagai tanaman alternatif yang sesuai dengan tingkat kekeringan yang dapat terjadi di masing-masing daerah.

 

KEKERINGAN DI INDONESIA

 

Kekeringan yang terjadi di wilayah Indonesia, selain dipengaruhi oleh kondisi alam seperti penyimpangan iklim global (El Nino), perubahan iklim global, dapat juga disebabkan oleh perilaku manusia yang serakah dalam mengeksploatasi sumberdaya alam atau gabungan di antaranya (Stigter, 1997).   Iklim di Indonesia semakin panas selama abad ke-20 ini. Temperatur rata-rata tahunan naik sekitar 0,3O C sejak 1900, dan tahun 1998 merupakan tahun terpanas, hampir 1O C di atas rata-rata tempetatur di tahun 1961 –1990.  Curah hujan rata-rata tahunan turun sekitar 2 hingga 3 % pada periode abad 20 ini, penurunan ini sebagian besar terjadi pada periode bulan Desember hingga Februari, yang merupakan musin terdingin pada setiap tahunnya (Kompas, 26 Agustus 2003).  Curah hujan di beberapa bagian di Indonesia sangat dipengaruhi oleh adanya El Nino. El Nino sendiri adalah peristiwa naiknya suhu muka laut di Pasifik yang berdampak kepada menurunnya jumlah curah hujan secara drastis serta lebih maju dan memperpanjang lamanya periode musim kemarau. EL Nino merupakan penyebab utama dari perubahan iklim yang terjadi di negara-negara tropis termasuk Indonesia. Oleh karena itu perlu dilakukan antisipasi terhadap EL Nino, sehingga dapat dilakukan usaha-usaha untuk menanggulangi kekeringan dan kebakaran.  

Siklus ulang El-Nino selama ini berlangsung 2 - 6 tahun sekali, kejadian kekeringan yang disebabkan oleh El-Nino pada tahun 1991, 1994 dan 1997 misalnya, telah menyebabkan kekeringan pada tanaman padi masing-masing 867.997 ha, 544.422 ha dan 504.021 ha, sedangkan tanaman padi yang dinyatakan puso masing-masing seluas 192.347 ha, 161.144 ha dan 88.467 ha (Kompas, 26 Agustus 2003). Bila dibandingkan dengan kejadian kekeringan biasa, El-Nino menyebabkan kekeringan jauh lebih besar dari pada kekeringan biasa.

Kekeringan biasa maksudnya kekeringan yang terjadi bukan karena pengaruh dari El Nino, tetapi karena kerusakan lingkungan. Sekelompok manusia Indonesia yang tidak ramah lingkungan dalam melakukan aktivitasnya seperti perladangan berpindah, pembalakan hutan (illegal logging), pembakaran hutan dan konversi lahan pertanian ke non pertanian (pemukiman, industri dll), yang kesemuanya itu memiliki kontribusi yang sangat nyata terhadap masalah kekeringan yang melanda sebagian wilayah Indonesia.

Berdasarkan pada data di Departemen Kehutanan hingga tahun 2000, luas lahan kritis yang mengalami kerusakan parah di seluruh Indonesia mencapai 7.956.611 ha untuk kawasan hutan dan 14.591.359 ha untuk lahan di luar kawasan hutan. Pada tahun yang sama, kemampuan pemerintah untuk melakukan rehabilitasi (penanaman kembali) hanya mencapai 12.952 ha untuk lahan hutan dan 326.973 ha untuk lahan di luar hutan (Suara Pembaharuan, 1 Agustus 2003). Dengan demikian pemulihan lahan kritis ke kawasan hutan kembali, sulit tercapai, mengingat kemampuan pemerintah yang sangat minim yaitu di bawah 2% untuk melakukan rehabilitasi.

Kawasan hutan yang berfungsi sebagai daerah tangkapan air telah rusak yang berakibat pada simpanan air tanah berkurang, karena pada musim hujan  air hujan akan menjadi aliran permukaan (run off). Kenyataan menunjukkan bahwa pada musim hujan, terjadi banjir di daerah hilir, seperti Jakarta, Bojonegoro, Semarang dan sebagainya, sedangkan pada musim kemarau terjadi kekurangan air.

Kerusakan hutan yang terjadi di Indonesia mempunyai kontribusi terhadap perubahan iklim global, karena luas hutan di Indonesia berada pada urutan ke dua setelah Brasil secara internasional. Dengan berkurangnya kawasan hutan dan meningkatnya kegiatan industri, transportasi dan pemukiman, berakibat pada peningkatan gas rumah kaca (CO2, CFC dan sebagainya di atmosfer). Dampak dari kondisi ini antara lain perubahan iklim yang tidak teratur, seperti musim kemarau yang lebih panjang. 

Namun demikian, kekeringan yang terjadi tahun ini lebih disebabkan oleh faktor lingkungan akibat penebangan hutan, sedangkan perubahan iklim global bukan menjadi penyebab langsung dan El Nino bukan menjadi penyebabnya karena tahun 2003 tidak terjadi El Nino. Kekeringan mulai terasa pada Bulan Mei 2003 dan puncaknya pada bulan Agustus 2003. Kekeringan yang terjadi pada tahun ini melanda terutama Jawa dan Sumatra dan telah mengakibatkan kerugian yang cukup besar terutama di sektor pertanian

Jawa Barat, hingga pertengahan Bulan Agustus 2003, tercatat sedikitmya 80 ribu ha lahan pertanian mengalami kekeringan dan 40 ribu ha terancam kekeringan (Pikiran Rakyat, 8 Agustus 2003). Di Banyumas, Jawa Tengah, areal sawah yang gagal panen (puso) mencapai 352 ha dari ribuan hektar lahan yang  kekeringan, karena ditutupnya sejumlah saluran irigasi (tidak air). Selain itu kekeringan juga melanda 26 dari 35 kabupaten di Jawa Tengah, akibat dari waduk-waduk kering, tanah pertanian retak-retak karena kurang air (Suara Pembaharuan, 13 Agustus 2003). Di Sumatra Selatan, sedikit 5.000 ha sawah di belitang Ogan Komering Ulu mengalami kekeringan dimana 1800 ha sawah rusak berat dan 2883 ha sawah mengalami gagal panen (puso).

Pada umumnya, daerah yang rawan kekeringan adalah daerah-daerah dengan tipe iklim kering dan kurang memiliki sarana dan prasarana irigasi. Rawan kekeringan juga terjadi di daerah-daerah dimana para petaninya mengusahakan padi gadu liar walaupun daerah tersebut relatif tidak terlalu kering dan memiliki sarana dan prasarana irigasi (Kompas, 26 Agustus 2003). Jenis padi gadu liar membutuhkan banyak air, sehingga perlu dihindari penanamannya pada musim kemarau panjang seperti yang terjadi pada tahun ini. 

             

KONSEP KONSERVASI AIR DALAM HUBUNGANNYA DENGAN PENYIMPANAN AIR

 

Konservasi air adalah suatu tindakan penyimpanan air yang jatuh  ke tanah dan pengaturan waktu aliran sehingga tidak terjadi banjir yang merusak dan terdapat cukup air di musim kemarau.  Setiap perlakuan  yang diberikan pada  sebidang tanah akan mempengaruhi tata air pada tempat itu dan tempat-tempat di hilirnya.  Oleh karena itu maka konservasi tanah dan konservasi air merupakan dua hal yang berhubungan erat sekali; berbagai tindakan konservasi tanah merupakan juga konservasi air. 

Berdasarkan hubungan ini maka tanggung jawab  sektor pertanian dalam masalah air ada dua, yaitu (1) memelihara jumlah, waktu aliran dan kualitas air sejauh mungkin melalui cara pengelolaan dan penggunaan tanah yang baik dan (2) memaksimumkan manfaat air melalui penerapan cara-cara yang efisien (Gupta, 1995).  Dengan melihat prinsip di atas, maka dalam melakukan konservasi air harus memperhatikan siklus air di bumi, sehingga dapat diketahui dimana terjadi kehilangan air yang tidak dapat dimanfaatkan, sehingga dapat melakukan tindakan pengelolaan untuk konservasi air.

Secara garis besar, siklus air yang ada di bumi dapat digambarkan sebagai berikut : awan yang jatuh dalam bentuk hujan dapat jatuh di permukaan tanah, permukaan tanaman, permukaan badan-badan air seperti sungai, danau, atau laut, atau permukaan benda-benda yang ada di permukaan bumi  Air yang jatuh di permukaan tanah dapat mengalir di atas permukaan tanah (run off) menuju ke sungai dan ke laut, masuk kedalam tanah, atau terevaporasi.  Air yang jatuh di permukaan tanaman dapat terintersepsi, terevapotranspirasi, dan sebagian lolos ke permukaan tanah. Air yang jatuh di badan-badan air dapat terevaporasi kembali ke atmosfer  Air yang masuk ke dalam tanah, apabila melebihi kapasitas tanah menahan air dapat terus bergerak ke bawah menuju air bawah tanah.  Apabila sebelum sampai ke air bawah tanah air tersebut terhalang oleh lapisan kedap maka air bergerak mendatar menuju sungai (aliran bawah permukaan).  Air yang mengalir di permukaan tanah selanjutnya menuju tempat-tempat yang lebih rendah dan akhirnya menuju ke sungai. 

Konservasi air pada dasarnya adalah tndakan untuk mengurangi aliran permukaan yang langung masuk ke badan sungai.  Bagi daerah yang relatif terbuka, konservasi air dapat dilakukan dengan metode panen air.   Dr. Gatot Irianto dari Pusat Peneltian Tanah dan Iklim  mengungkapkan keberhasilan tim-nya dalam mengelola air hujan di daerah kering, Kabupaten Wonosari - DIY, dengan berprinsip bahwa daerah (lahan) keringlah yang sebenarnya menjadi pengatur ketersediaan air pertanian di daerah-daerah yang lebih rendah (basah). Karena air hujan lebih banyak masuk ke dalam tanah pada daerah-daerah lahan kering yang bervegetasi. Pada lahan-lahan basah, air hujan yang turun sebagian besar berubah menjadi air limpasan (run off) atau air permukaan yang bila berlebihan menjadi banjir, penyebab erosi dan pembawa bahan sedimentasi.

Model yang dikembangkan oleh tim Dr. Gatot dapat disederhanakan menjadi upaya penghambatan aliran air hujan dari daerah hulu ke hilir, dengan disertai peningkatan penyebaran ke dalam tanah seluas-luasnya. Beliau menggunakan teknik yang disebut 'Dam Parit' sebagai penghambat derasnya aliran air sekaligus penampung. Kunci keberhasilan tim itu adalah pada peran petani atau pelaku langsung di lapangan.

Kesimpulan yang dapat ditarik adalah perlunya proses pemanenan hujan (rain harvesting) dan pengelolaan pascapanennya. Dikatakan memanen, karena para pengguna air (petani) tidak menerima begitu saja curahan air hujan, melainkan menyiapkan wadah penyalurannya. Pengelolaan pascapanennya adalah upaya para pengguna air dalam membangun penampung-penampung dan penghambat aliran air sehingga air memiliki rentang waktu penggunaan yang lebih lama dan air mendapatkan nilai tambah.

Keberhasilan lain sistem pengelolaan air dengan memanen hujan adalah di wilayah perkebunan tebu swasta di Lampung.  Pembuatan embung-embung yang menampung air  di musim menjadikan tebu dapat ditanam tepat waktu di musim kemarau.  Dengan umur yang cukup, tanaman dapat dipanen pada musim kemarau tahun berikutnya.

Efisiensi penggunaan air (water use efficiency) merupakan langkah berikutnya dari knsep konservasi air.  Metode peningkatan efisiensi penggunaan air ialah pengaturan penggunaan air untuk tanaman tanpa menyebabkan stres bagi tanaman.  Tindakan yang dilakukan dapat melalui (1) rekayasa sifat internal tanaman, (2) tindakan budidya tanaman, dan  (3) tindakan lainnya yang berhubunga dengan evaporasi.  Hubungan berbagai faktor untuk meningkatkan efisiensi penggunaan air secara ringkas disajikan sebagai berikut :

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 1.  Hubungan Berbagai Faktor Terhadap Hasil (Y) dan Efisiensi Penggunaan Air (WUE) : ET = evapotranspirasi  (Gupta, 1995)

 

Tindakan dalam praktik dalam usaha konservasi air dan peningkatan efisiensi penggunaan air antara lain :

  1. Pengelompokan tanaman dalam suatu landscape mengikuti kebutuhan air yang sama, sehingga irigasi dapat dikelompokkan sesuai dengan kebutuhan tanaman. 
  2. Penyesuaian jenis tanaman dengan karakteristik wilayah. Untuk itu perlu dikembangkan kemampuan dalam menentukan berbagai tanaman alternatif yang sesuai dengan tingkat kekeringan yang dapat terjadi di masing-masing daerah.  Hal ini sekaligus merupakan upaya untuk membentuk kesiagaan secara taktis dalam mengantisipasi kekeringan yang mungkin terjadi., bersamaan dengan penentuan.  Sebagai contoh tanaman jagung hanya membutuhkan air 0.8 kali padi sawah, sehingga daerah dengan ancaman kekeringan jika ditanami padi sawah dapat terhindar dari kekeringan jika ditanami jagung (Baharsjah, 2002).
  3. Penentuan pola tanam yang tepat, baik untuk areal yang datar ataupun yang berlereng.  Gomez and Gomez (1983) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa pada lahan dengan kemiringan 5%, pola tanam tumpangsari antara singkong dengan jagung mampu menurunkan run off dari 43% menjadi 33% curah hujan dibanding jagung monokultur. 
  4. Penggunaan  mulsa di permukaan tanah untuk mengurangi evaporasi dari permukaan tanah.  Mulsa adalah setiap bahan yang diberikan di permukaan tanah untuk tujuan menekan evaporasi dan mengatur suhu tanah.  Hasil penelitian Lal (1980) menunjukkan dengan mulsa 4 ton/ha run off dapat ditekan sampai tingkat 3.5% dan laju erosi 0.5 ton/ha.  Bahkan dengan mulsa 12 ton/ha run off ditekan sampai tingkat 0 presen.
  5. Pembuatan teras pada lahan dengan lereng yang curam.  Pembuatan teras ini dilakukan jika budidaya tanaman harus dilakukan untuk daerah yang memiliki lereng lebih besar dari 8%.  Namun yang baik adalah menghindari daerah berlereng curam untuk budidaya.  Sebagai contoh di Jepang ada peraturan yang ketat tentang hal ini, lereng dengan maksimum 5% boleh digunakan untuk sauran dan tanaman pangan, lereng antara 5 – 8% untuk sayuran dengan konservasi lahan, lereng antara 8 - 15% untuk buah-buahan, dan lereng sampai 30% untuk ladang rumput yang tidak diganggu, dan lereng di atas 30% digunakan untuk hutan lindung (Yahata, 1977)  
  6. Wind break untuk mengurangi kecepatan angin sehingga mengurangi kehilangan air melalui evapotranspirasi dari permukaan tanah dan tanaman selama irigasi.  Kombinasi tanaman dengan tajuk yang berbeda sangat mendukung metode ini.  Pola etage bouw (tajuk bertingkat) seperti pada pekarangan tradisional adalah contoh yang baik untuk diterapkan (Sri Setyati, 1975).

 

 

ALTERNATIF BUDIDAYA KONSERVASI HEMAT AIR

 

            Pada saat jumlah penduduk masih sedikit dengan lahan yang luas, tindakan budidaya pada dasarnya masih memenuhi prinsip hemat air.  Sejalan dengan bertambahnya penduduk dan tuntutan tingkat produktivitas yang tinggi, prinsip konservasi menjadi berkurang bahkan diabaikan.  Untuk itu perlu dipilih tindakan budidaya pertanian yang efisien dalam penggunaan air tetapi tetap dengan produktivitas yang tinggi.  Mengingat konservasi air sangat erat hubungannya  dengan kadaan wilayah maka penekanan konservsi lebih pada daerah resapan dan pengaturan pengunaan pada daerah pemakaian.

Lahan perbukitan merupakan daerah yang tidak rata dimana topografinya didominasi dengan daerah lereng yang  kemiringannya lebih besar dari 15 %.  Lahan perbukitan merupakan  daerah yang mudah terkena erosi.  Aliran air permukaan sepanjang lereng membawa serta partikel-partikel tanah ke bagian yang lebih rendah.  Pergerakan air tanah yang menyebabkan erosi tanah tersebut akan meningkatkan kemiringan lahan lereng sejalan dengan tingginya curah hujan di daerah tropika dan seringnya lahan tersebut dipakai untuk pengusahaan tanaman.  Produktivitas lahan akan menurun sejalan dengan meningkatnya erosi tanah sehingga pola tanam dari budidaya yang dilakukan menjadi hal yang sangat penting diperhatikan di lahan perbukitan.  Indonesia memiliki lahan yang tidak digunakan untuk budidaya atau pengusahaan tanaman (termasuk daerah hutan dan lahan-lahan yang tidak produktif) sangat tinggi dibandingkan dengan negara yang mempunyai iklim tropika lainnya, dimana konservasi di lahan ini sangat menentukan ketersediaan air dan kemerataannya dilihat dari segi waktu untuk lahan-lahan pertanian di sekitarnya atau di daerah yang lebih bawah.  Pada daerah perbukitan strategi pertanian yang paling baik untuk menghindari atau mengurangi terkikisnya  permukaan tanah bagian atas ialah dengan melakukan pertanaman tumpang sari yang memperhatikan  jenis vegetasi yang sesuai.  Dengan jenis vegetasi yang sesuai, air hujan tidak langsung terkena ke permukaan tanah  sehingga sangat potensial untuk mengurangi erosi tanah.  Pada lahan basah yang tidak bervegetasi, air hujan sebagian besar berubah menjadi air limpasan atau air permukaan (run off) yang bila berlebihan menjadi penyebab erosi tanah dan pembawa bahan-bahan partikel serta sedimentasi tanah.

Pola pertanaman  di lahan perbukitan yang  memperhatikan ketersediaan air untuk lahan-lahan di bawahnya, dapat dengan pola pertanaman perennial  (tahunan), pertanaman annual (semusim) atau keduanya.

 

1.   Pola pertanaman dengan perennial.

Fruit-tree farming. Tanaman buah selain menghasilkan produksi yang kontinu, juga stabilis dalam konservasi tanah and air.  Tanaman buah-buahan merupakan pilihan terbaik karena kanopi yang rapat dapat menutupi permukaan lahan.  Untuk mengurangi erosi tanah pada saat awal penanaman maka pengolahan  tanah dilakukan seminimal mungkin dan dilakukan penanaman tanaman penutup tanah dari golongan legume sebagai penutup tanah.  Tanaman tahunan yang memerlukan naungan  pada saat awal penanaman seperti tanaman duku, kakao dan kopi, dapat ditanam di antara pohon sehingga dapat mengurangi erosi tanah dan meningkatkan penangkapan air hujan  di dalam tanah (Carlos, 1977).

 

Industrial forest plantation.  Tanaman hutan industri yang dipilih biasanya merupakan tanaman yang mempunyai  pertumbuhan yang cepat (fast growing) seperti Albizzia falcataria, Leucaena leucocephalum dan Eucalyptus deglupta.  Tanaman tersebut dapat dipanen dalam jangka waktu lama (di atas 8 tahun) sehingga untuk mengusahakan produksi yang sinambung nantinya dapat diusahakan penanaman bertahap setiap tahun pada plot yang berbeda.  Pemanenan tanaman yang dilakukan setelah beberapa tahun, tidak dalam jangka waktu yang cepat di lahan-lahan perbukitan memungkinkan usaha konservasi lahan lebih baik sehingga meningkatkan ketersedian  air dan  kemerataannnya sepanjang tahun untuk daerah lahan pertanian di bawahnya.

 

2.   Pola pertanaman annual.

Pola pertanaman annual crops atau tanaman semusim dapat dilakukan dengan menggunakan tanaman yang bisa dipanen cepat dan tidak memerlukan pemeliharaan intensif sehingga dapat mengurangi erosi tanah.  Tanaman ubi jalar, ubi kayu dan talas dapat dipakai karena selain tanaman tersebut sangat efisien dalam menggunakan energi, juga dapat menghasilkan atau menyediakan sumber karbohidrat  selain beras dan jagung bagi petani penanamnya.

 

Pola monokultur harus diganti dengan tumpangsari untuk lahan kering, sehingga efisiensi penggunaan air lebih besar.  Selain tumpangsari, relay planting (tumpang gilir) dapat digunakan untuk daerah yang memiliki air cukup.

 

Paradigma yang selama ini berkembang dan umum digunakan masyarakat, yaitu “harus tanam padi” perlu diganti.  Tanaman pangan bukan hanya padi, tetapi masih banyak yang lain.  Kecukupan pangan harus mulai diubah bukan kecukupan beras tetapi kecukupan karbohidrta, sehingga tanaman dengan kebutuhan air rendah dapat dikembangkan dan memiliki posisi yang baik di masyarakat.

 

Jenis tanaman semusim yang dapat digunakan sebagai tindakan konservasi lainnya adalah tanaman pakan.  Sebagai contoh pada daerah dengan tingkat erosi yang tinggi dapat digunakan untuk lahan rumput (grassland), yang hanya dipanen tajuknya sementara perakarannya tetap dijaga.

 

3.   Pola pertanaman perennial – annual

Pola pertanaman  yang melibatkan  dua jenis atau lebih tanaman akan menghasilkan  ekosistem yang saling menguntungkan bagi  keduanya, misalnya residu atau daun yang diambil dari hasil pangkasan tanaman tahunan yang dilakukan secara reguler dapat dipakai sebagai mulsa atau dimasukkan ke dalam tanah sebagai pupuk organik bagi tanaman semusim (Baldy and Stigter, 1997).  Contoh tumpang sari yang sudah banyak dilakukan ialah penanaman tanaman semusim Jagung diantara tanaman tahunan Leucaena, dapat menghasilkan peningkatan produksi jagung.  Tanaman semusim dapat juga ditanam di sela tanaman hutan sampai tingkat naungannya tidak memungkinkan tanaman semusim tumbuh.

 

 

PENUTUP

 

Mengingat air adalah kebutuhan vital bagi kehidupan, maka apapun caranya harus dilakukan untuk menjaga ketersediaannya, baik dari jumlah, mutu maupun kontinyuitasnya.  Tanggung jawab konservasi air merupakan tanggung jawab semua, dan semua harus bertanggung jawab.  Kekeringan merupakan suatu resultante dari perubahan iklim global dan kesalahan kita dalam mengelola sumberdaya alam. 

 Kesadaran tentang pentingnya tindakan konservasi air perlu dilakukan sejak dini dan harus terus diberikan pada tiap orang.  Dengan kesadaran yang akan tumbuh maka tiap tindakan yang berhubungan dengan air akan mengarah pada penghematan dan efisiensi.  Hal ini tidak hanya nerlaku bagi orang pertanian tetapi bagi siapa saja, sebab air yang ada di muka bumi digunakan untuk selutuh segi kehidupan.

Panen air di musim hujan dan menggunakannya dengan efisiensi mutlak dilakukan.  Pembuatan embung pada daerah dengan vcurah hujan singkat merupakan suatu tindakan yang baik.  Dari segi budidaya perlu dilakukan berbagai perubahan paradigma baik dari segi jenis tanaman maupun pola budidayanya.  Contoh konkrit yang dilakukan oleh Pemerintah India di daerah Maharashtra dan Andhra Pradesh dalam program Watershed Development Projects mungkin dapat dijadkan model bagi Indonesia.  Pada prinsipnya kegiatan ini dilakukan secara terpadu antara pemerintah, masyarakat, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) untuk menjaga dan memperbaiki konservasi atan dan air dan  mengatur penggunaan air yang ada.  Undang-undang tentang air yang sedang disusun saat ini mudah-mudahan memberi angin segar bagi masyarakat, banyak harapan disandarkan di sana.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Baharsjah, J. S.  2002.  Quo Vadis Masyarakat Hemat Air.  Orasi Purnabhakti Guru Besar Faperta IPB.  Institut Pertanian Bogor.

Baldy, C. and C. J. Stigter.  1997.  Agrometeoroly of Multiple Cropping in Warm Climates (English edition).  Institut National De La Recherche Agronomique (INRA).  Paris.  

 Carlos, J. T. Jr.  1977.  Fruit tree farming; An alternate in hill country development.  Paper presented at a workshop on hilly land development.  Philippines, August 1977.

Gomez, A. A. and K.A. Gomez.  1983.  Multiple Cropping in the Humid Tropics of Asia.  International Development Research Centre (IDRC). Canada.

Gupta, U. S.  1995.  Production and Improvement of Crops for Drylands.  Science Publishers, Inc.  North Lebanon, USA.

Kerr, J.  2002.  Watershed Development Project in India.  International Food Policy Research Institut (IFPRI).  Washington, D.C.

Lal, R.  1980.  Soil erosion as a constraint to crop production. In : Soil-Related Constrains to Food Production in the Tropics.  International Rice Research Institute (IRRI), Los Banos, Philippines.

Sri Setyati, H.  1975.  Pengantar Agronomi.  Gramedia, Jakarta.

Winarso, A. P.  2002.  Variabilitas dan perubahan iklim di Indonesia hingga 2002.  BMG Jakarta.

Yahata, T.  1977.  Land use and management of hilly areas in Japan.  Canopy, 3(9):3

 

  



[1] Makalah Kelompok 2  m.k.  Pengantar Falsafah Sain