© 2003 Program Pasca Sarjana IPB Posted
22 September 2003
Makalah
Kelompok 2
Pengantar Falsafah Sains (PPS702)
Program Pasca Sarjana / S3
Institut
Pertanian Bogor
September 2003
Dosen:
Prof. Dr.
Ir. Rudy C. Tarumingkeng (penanggung jawab)
Prof. Dr. Ir. Zahrial Coto
SISTEM
BUDIDAYA PERTANIAN DENGAN PENDEKATAN
KONSERVASI
LAHAN SEBAGAI KONSEP ANTISIPASI KEKERINGAN[1]
Oleh:
Purwono (A 361020011), Supijatno (A
361020021), Ketty Suketi (A 361020031),
Siti Chalimah (G 361020011), Enni SR (A
361020041), Khursatul (P 062020021),
dan Enni Dwi Wahjunie ( A 261020011)
Kekeringan
merupakan suatu gejala yang terjadi akibat pristiwa iklim makro dan tindakan
manusia (man made). Akibat kekeringan,
banyak kegiatan terganggu. Karena air
merupakan suatu asupan mutlak bagi pertanian, maka sudah pasti kegiatan
pertanianlah yang paling terasa akibatnya.
Pengurangan aliran permukaan yang
berarti pemborosan air dan menyebabkan erosi harus dicegah. Panen air melalui
pembuatan embung dan perakaran tanaman merupakan metode panen air yang efektif,
sehingga pada musim kemarau air yang tersimpan dapat digunakan.
Perubahan paradigma dalam budidaya
pertanian harus diubah dari anggapan air adalah asupan yang gratis menjadi
asupan yang mahal. Afisiensi penggunaan
air dengan tetap mempertahankan tingkat produktivitas tinggi harus
dikembangkan. Pemilihan jenis tanaman
yang tahan kondisi kering dan penggunaan pola tanam seperti pola tumpangsari,
tanaman tahuhan-satahun, dan hutan tanaman industri merupakan pola yang dapat
digunakan.
Konservasi air merupakan tanggung
jawab semua pihak. Kegiatan terpadu
antara pemerintah-masyarakat-lembaga swadaya masayarakat-lembaga pendidikan
perlu dikembangkan pada tiap kegiatan yang berhubugan dengan air
Perubahan iklim global yang menjadi perhatian masyarakat
dunia adalah gejala global warming yang diketahui terjadi sebagai akibat
dari penipisan lapisan ozon di lapisan stratosfir. Lapisan ozon berfungsi
menyerap radiasi surya terutama sinar ultraviolet sebelum mencapai permukaan
bumi, sehingga penipisannya berakibat meningkatnya suhu udara di permukaan
bumi, dan menimbulkan gejala global warming. Sementara itu, penggundulan hutan yang terus terjadi (terutama di
negara berkembang), juga dituding sebagai penyebab terjadinya gejala rumah kaca
yang juga meningkatkan suhu udara. Sebabnya adalah bahwa penggundulan itu
menurunkan penyerapan CO2 oleh pepohonan yang ditebang.
Pengaruh global warming yang lebih relevan bagi
Dengan
demikian kita dapat melihat bahwa di samping perubahan iklim global terhadap
iklim
Pertumbuhan penduduk, ekonomi maupun industri telah
menyebabkan peningkatan kebutuhan terhadap pemukiman dan daerah industri. hal
tersebut mengakibatkan terjadinya perubahan fungsi penggunaan lahan, khususnya
alih fungsi lahan kehutanan dan pertanian. Perubahan tersebut juga menyebabkan
terjadinya perubahan sistem sumber daya air, misalnya dari sistem irigasi
berubah fungsi menjadi fungsi pemenuhan kebutuhan air di pemukiman dan di
daerah industri. perubahan tataguna lahan juga mempengaruhi sistem hidrologi.
Akibatnya banjir pada musim hujan dan kekeringan di musim kemarau semakin
sering terjadi, juga semakin tinggi intensitasnya.
Salah satu unsur iklim yang penting dalam kehidupan,
termasuk dalam produksi pertanian adalah curah hujan yang berpengaruh atas
sumber daya air bagi tanaman. Sebagai unsur fisik lingkungan, hujan memiliki
keragaman yang paling besar terutama di daerah tropis, di mana terdapat periode
kekurangan atau kelebihan air yang cukup jelas. Akibat dari kondisi fisiografi
Curah hujan yang tinggi, lereng yang curam di aderah hulu
disertai dengan perubahan ekosistem, dari tanaman tahunan atau tanaman keras
berakar dalam, ke tanaman semusim berakar dangkal, mengakibatkan berkurangnya
air yang disimpan dalam tanah, memperbesar aliran permukaan dan menyebabkan
terjadinya longsor. Curah hujan yang tinggi dalam kurun waktu yang singkat dan
tidak dapat diserap tanah akan dilepas sebagai aliran permukaan yang akhirnya
menimbulkan banjir.
Berbeda dengan banjir, bencana kekeringan terjadi
perlahan-lahan, dan seringkali kita baru tersentak melihat dampaknya yang luar
biasa setelah kekeringan itu mecapai tingkat yang parah. Kekeringan terjadi
akibat kurangnya curah hujan di sutau tempat dalam selang waktu yang lama, yang
kemudian mengakibatkan berkurangnya pasokan air di sungai karena debit yang
menyusut, serta menurunnya lengas atnah, yang berakhir dengan terjadinya
kerusakan pada sistem produksi tanaman.
Batasan kekeringan berbeda-beda tergantung pada latar
belakang serta perhatian ataupun dampak yang diperhitungkan, tetapi semuanya
menyangkut hubungan anatra kebutuhan dan ketersediaan air. Di bidang pertanian,
kekeringan diartikan sebagai kekurangan lengas tanah yang dibutuhkan oleh
tanaman selama masa tanam. Kapasitas tanah dalam menyimpan dan melepaskannya
menentukan terjadinya kekeringan.
Kemarau yang kering yang terjadi pada tahun 1991, 1994 dan
1997 mulai lebih awal dan berakhir lebih lambat dari musim kemarau tahun-tahun
sebelumnya. Bahkan tahun 1994 dan 1997 tercatat sebagai kemarau terpanjang dari
catatan perkembangan musim di
Kekeringan tidak hanya ditentukan oleh faktor iklim, tetapi
juga oleh faktor-faktor lain seperti pertambahan penduduk, terutama bila tidak
disertai oleh penyediaan kesempatan kerja yang memadai, akan berdampak pada
buruknya tata penggunaan lahan dan perilaku lain yang tidak menunjang upaya
untuk menghindarkan banjir dan kekeringan. Demikian pula cara dengan budidaya
pertanian yang gegabah serta boros air dalam jangka menengah dan panjang akan
menimbulkan gejal kekurangan air.
Penentuan sistem budidaya dengan konsep konservasi perlu
disosialisasikan kepada masyarakat untuk menumbuhkan kesadaran tentang berbagai
hal sehubungan dengan masalah ketersediaan. Pemilihan jenis tanaman dengan
karakteristik wilayah, perlu dikembangkan dalam menentukan berbagai tanaman
alternatif yang sesuai dengan tingkat kekeringan yang dapat terjadi di
masing-masing daerah.
Kekeringan yang terjadi di wilayah
Siklus ulang El-Nino selama ini
berlangsung 2 - 6 tahun sekali, kejadian kekeringan yang disebabkan oleh
El-Nino pada tahun 1991, 1994 dan 1997 misalnya, telah menyebabkan kekeringan
pada tanaman padi masing-masing 867.997 ha, 544.422 ha dan 504.021 ha,
sedangkan tanaman padi yang dinyatakan puso masing-masing seluas 192.347 ha,
161.144 ha dan 88.467 ha (Kompas, 26 Agustus 2003). Bila dibandingkan dengan
kejadian kekeringan biasa, El-Nino menyebabkan kekeringan jauh lebih besar dari
pada kekeringan biasa.
Kekeringan biasa maksudnya
kekeringan yang terjadi bukan karena pengaruh dari El Nino, tetapi karena
kerusakan lingkungan. Sekelompok manusia Indonesia yang tidak ramah lingkungan
dalam melakukan aktivitasnya seperti perladangan berpindah, pembalakan hutan (illegal
logging), pembakaran hutan dan konversi lahan pertanian ke non pertanian
(pemukiman, industri dll), yang kesemuanya itu memiliki kontribusi yang sangat
nyata terhadap masalah kekeringan yang melanda sebagian wilayah Indonesia.
Berdasarkan pada data di Departemen
Kehutanan hingga tahun 2000, luas lahan kritis yang mengalami kerusakan parah
di seluruh
Kawasan hutan yang berfungsi sebagai
daerah tangkapan air telah rusak yang berakibat pada simpanan air tanah
berkurang, karena pada musim hujan air
hujan akan menjadi aliran permukaan (run off). Kenyataan menunjukkan
bahwa pada musim hujan, terjadi banjir di daerah hilir, seperti
Kerusakan hutan yang terjadi di
Namun demikian, kekeringan yang
terjadi tahun ini lebih disebabkan oleh faktor lingkungan akibat penebangan
hutan, sedangkan perubahan iklim global bukan menjadi penyebab langsung dan El
Nino bukan menjadi penyebabnya karena tahun 2003 tidak terjadi El Nino.
Kekeringan mulai terasa pada Bulan Mei 2003 dan puncaknya pada bulan Agustus
2003. Kekeringan yang terjadi pada tahun ini melanda terutama Jawa dan
Jawa Barat, hingga pertengahan Bulan
Agustus 2003, tercatat sedikitmya 80 ribu ha lahan pertanian mengalami
kekeringan dan 40 ribu ha terancam kekeringan (Pikiran Rakyat, 8 Agustus 2003).
Di Banyumas, Jawa Tengah, areal sawah yang gagal panen (puso) mencapai 352 ha
dari ribuan hektar lahan yang
kekeringan, karena ditutupnya sejumlah saluran irigasi (tidak air).
Selain itu kekeringan juga melanda 26 dari 35 kabupaten di Jawa Tengah, akibat
dari waduk-waduk kering, tanah pertanian retak-retak karena kurang air (Suara
Pembaharuan, 13 Agustus 2003). Di Sumatra Selatan, sedikit 5.000 ha sawah di
belitang Ogan Komering Ulu mengalami kekeringan dimana 1800 ha sawah rusak
berat dan 2883 ha sawah mengalami gagal panen (puso).
Pada umumnya, daerah yang rawan
kekeringan adalah daerah-daerah dengan tipe iklim kering dan kurang memiliki
sarana dan prasarana irigasi. Rawan kekeringan juga terjadi di daerah-daerah
dimana para petaninya mengusahakan padi gadu liar walaupun daerah tersebut
relatif tidak terlalu kering dan memiliki sarana dan prasarana irigasi (Kompas,
26 Agustus 2003). Jenis padi gadu liar membutuhkan banyak air, sehingga perlu
dihindari penanamannya pada musim kemarau panjang seperti yang terjadi pada
tahun ini.
KONSEP KONSERVASI AIR DALAM HUBUNGANNYA DENGAN PENYIMPANAN AIR
Konservasi
air adalah suatu tindakan penyimpanan air yang jatuh ke tanah dan pengaturan waktu aliran sehingga tidak terjadi
banjir yang merusak dan terdapat cukup air di musim kemarau. Setiap perlakuan yang diberikan pada
sebidang tanah akan mempengaruhi tata air pada tempat itu dan
tempat-tempat di hilirnya. Oleh karena
itu maka konservasi tanah dan konservasi air merupakan dua hal yang berhubungan
erat sekali; berbagai tindakan konservasi tanah merupakan juga konservasi
air.
Berdasarkan
hubungan ini maka tanggung jawab sektor
pertanian dalam masalah air ada dua, yaitu (1) memelihara jumlah, waktu aliran
dan kualitas air sejauh mungkin melalui cara pengelolaan dan penggunaan tanah
yang baik dan (2) memaksimumkan manfaat air melalui penerapan cara-cara yang
efisien (Gupta, 1995). Dengan melihat
prinsip di atas, maka dalam melakukan konservasi air harus memperhatikan siklus
air di bumi, sehingga dapat diketahui dimana terjadi kehilangan air yang tidak
dapat dimanfaatkan, sehingga dapat melakukan tindakan pengelolaan untuk
konservasi air.
Secara garis
besar, siklus air yang ada di bumi dapat digambarkan sebagai berikut : awan
yang jatuh dalam bentuk hujan dapat jatuh di permukaan tanah, permukaan
tanaman, permukaan badan-badan air seperti sungai, danau, atau laut, atau
permukaan benda-benda yang ada di permukaan bumi Air yang jatuh di permukaan tanah dapat mengalir di atas permukaan
tanah (run off) menuju ke sungai dan ke laut, masuk kedalam tanah, atau
terevaporasi. Air yang jatuh di
permukaan tanaman dapat terintersepsi, terevapotranspirasi, dan sebagian lolos
ke permukaan tanah. Air yang jatuh di badan-badan air dapat terevaporasi
kembali ke atmosfer Air yang masuk ke
dalam tanah, apabila melebihi kapasitas tanah menahan air dapat terus bergerak
ke bawah menuju air bawah tanah.
Apabila sebelum sampai ke air bawah tanah air tersebut terhalang oleh
lapisan kedap maka air bergerak mendatar menuju sungai (aliran bawah
permukaan). Air yang mengalir di
permukaan tanah selanjutnya menuju tempat-tempat yang lebih rendah dan akhirnya
menuju ke sungai.
Konservasi air pada dasarnya adalah tndakan untuk mengurangi
aliran permukaan yang langung masuk ke badan sungai. Bagi daerah yang relatif terbuka, konservasi air dapat dilakukan
dengan metode panen air. Dr. Gatot
Irianto dari Pusat Peneltian Tanah dan Iklim
mengungkapkan keberhasilan tim-nya dalam mengelola air hujan di daerah
kering, Kabupaten Wonosari - DIY, dengan berprinsip bahwa daerah (lahan)
keringlah yang sebenarnya menjadi pengatur ketersediaan air pertanian di
daerah-daerah yang lebih rendah (basah). Karena air hujan lebih banyak masuk ke
dalam tanah pada daerah-daerah lahan kering yang bervegetasi. Pada lahan-lahan
basah, air hujan yang turun sebagian besar berubah menjadi air limpasan (run off) atau air permukaan yang bila
berlebihan menjadi banjir, penyebab erosi dan pembawa bahan sedimentasi.
Model yang dikembangkan oleh
Kesimpulan yang dapat ditarik adalah perlunya proses
pemanenan hujan (rain harvesting) dan
pengelolaan pascapanennya. Dikatakan memanen, karena para pengguna air (petani)
tidak menerima begitu saja curahan air hujan, melainkan menyiapkan wadah
penyalurannya. Pengelolaan pascapanennya adalah upaya para pengguna air dalam
membangun penampung-penampung dan penghambat aliran air sehingga air memiliki
rentang waktu penggunaan yang lebih lama dan air mendapatkan nilai tambah.
Keberhasilan lain sistem pengelolaan air dengan memanen
hujan adalah di wilayah perkebunan tebu swasta di Lampung. Pembuatan embung-embung yang menampung
air di musim menjadikan tebu dapat
ditanam tepat waktu di musim kemarau.
Dengan umur yang cukup, tanaman dapat dipanen pada musim kemarau tahun
berikutnya.
Efisiensi
penggunaan air (water use efficiency) merupakan langkah berikutnya dari
knsep konservasi air. Metode peningkatan
efisiensi penggunaan air ialah pengaturan penggunaan air untuk tanaman tanpa
menyebabkan stres bagi tanaman.
Tindakan yang dilakukan dapat melalui (1) rekayasa sifat internal
tanaman, (2) tindakan budidya tanaman, dan
(3) tindakan lainnya yang berhubunga dengan evaporasi. Hubungan berbagai faktor untuk meningkatkan
efisiensi penggunaan air secara ringkas disajikan sebagai berikut :
Gambar 1. Hubungan Berbagai Faktor Terhadap Hasil (Y) dan Efisiensi Penggunaan Air (WUE) : ET = evapotranspirasi (Gupta, 1995)
Tindakan
dalam praktik dalam usaha konservasi air dan peningkatan efisiensi penggunaan
air antara lain :
Pada saat jumlah penduduk masih sedikit dengan lahan yang luas, tindakan budidaya pada dasarnya masih memenuhi prinsip hemat air. Sejalan dengan bertambahnya penduduk dan tuntutan tingkat produktivitas yang tinggi, prinsip konservasi menjadi berkurang bahkan diabaikan. Untuk itu perlu dipilih tindakan budidaya pertanian yang efisien dalam penggunaan air tetapi tetap dengan produktivitas yang tinggi. Mengingat konservasi air sangat erat hubungannya dengan kadaan wilayah maka penekanan konservsi lebih pada daerah resapan dan pengaturan pengunaan pada daerah pemakaian.
Lahan perbukitan merupakan daerah yang tidak rata dimana
topografinya didominasi dengan daerah lereng yang kemiringannya lebih besar dari 15 %. Lahan perbukitan merupakan
daerah yang mudah terkena erosi.
Aliran air permukaan sepanjang lereng membawa serta partikel-partikel
tanah ke bagian yang lebih rendah.
Pergerakan air tanah yang menyebabkan erosi tanah tersebut akan
meningkatkan kemiringan lahan lereng sejalan dengan tingginya curah hujan di
daerah tropika dan seringnya lahan tersebut dipakai untuk pengusahaan
tanaman. Produktivitas lahan akan
menurun sejalan dengan meningkatnya erosi tanah sehingga pola tanam dari
budidaya yang dilakukan menjadi hal yang sangat penting diperhatikan di lahan
perbukitan.
Pola pertanaman di
lahan perbukitan yang memperhatikan
ketersediaan air untuk lahan-lahan di bawahnya, dapat dengan pola pertanaman perennial
(tahunan), pertanaman annual (semusim)
atau keduanya.
1. Pola pertanaman dengan perennial.
Fruit-tree
farming. Tanaman buah selain menghasilkan produksi yang kontinu,
juga stabilis dalam konservasi tanah and air.
Tanaman buah-buahan merupakan pilihan terbaik karena kanopi yang rapat
dapat menutupi permukaan lahan. Untuk
mengurangi erosi tanah pada saat awal penanaman maka pengolahan tanah dilakukan seminimal mungkin dan
dilakukan penanaman tanaman penutup tanah dari golongan legume sebagai
penutup tanah. Tanaman tahunan yang
memerlukan naungan pada saat awal
penanaman seperti tanaman duku, kakao dan kopi, dapat ditanam di antara pohon
sehingga dapat mengurangi erosi tanah dan meningkatkan penangkapan air
hujan di dalam tanah (Carlos, 1977).
Industrial
forest plantation. Tanaman
hutan industri yang dipilih biasanya merupakan tanaman yang mempunyai pertumbuhan yang cepat (fast growing)
seperti Albizzia falcataria, Leucaena leucocephalum dan Eucalyptus
deglupta. Tanaman tersebut dapat
dipanen dalam jangka waktu lama (di atas 8 tahun) sehingga untuk mengusahakan
produksi yang sinambung nantinya dapat diusahakan penanaman bertahap setiap
tahun pada plot yang berbeda. Pemanenan
tanaman yang dilakukan setelah beberapa tahun, tidak dalam jangka waktu yang
cepat di lahan-lahan perbukitan memungkinkan usaha konservasi lahan lebih baik
sehingga meningkatkan ketersedian air
dan kemerataannnya sepanjang tahun
untuk daerah lahan pertanian di bawahnya.
2. Pola pertanaman annual.
Pola
pertanaman annual crops atau tanaman semusim dapat dilakukan dengan
menggunakan tanaman yang bisa dipanen cepat dan tidak memerlukan pemeliharaan
intensif sehingga dapat mengurangi erosi tanah. Tanaman ubi jalar, ubi kayu dan talas dapat dipakai karena selain
tanaman tersebut sangat efisien dalam menggunakan energi, juga dapat
menghasilkan atau menyediakan sumber karbohidrat selain beras dan jagung bagi petani penanamnya.
Pola
monokultur harus diganti dengan tumpangsari untuk lahan kering, sehingga
efisiensi penggunaan air lebih besar.
Selain tumpangsari, relay planting (tumpang gilir) dapat digunakan untuk
daerah yang memiliki air cukup.
Paradigma
yang selama ini berkembang dan umum digunakan masyarakat, yaitu “harus
tanam padi” perlu diganti.
Tanaman pangan bukan hanya padi, tetapi masih banyak yang lain. Kecukupan pangan harus mulai diubah bukan
kecukupan beras tetapi kecukupan karbohidrta, sehingga tanaman dengan kebutuhan
air rendah dapat dikembangkan dan memiliki posisi yang baik di masyarakat.
Jenis
tanaman semusim yang dapat digunakan sebagai tindakan konservasi lainnya adalah
tanaman pakan. Sebagai contoh pada
daerah dengan tingkat erosi yang tinggi dapat digunakan untuk lahan rumput (grassland),
yang hanya dipanen tajuknya sementara perakarannya tetap dijaga.
3. Pola pertanaman perennial – annual
Pola
pertanaman yang melibatkan dua jenis atau lebih tanaman akan menghasilkan ekosistem yang saling menguntungkan
bagi keduanya, misalnya residu atau
daun yang diambil dari hasil pangkasan tanaman tahunan yang dilakukan secara
reguler dapat dipakai sebagai mulsa atau dimasukkan ke dalam tanah sebagai
pupuk organik bagi tanaman semusim (Baldy and Stigter, 1997). Contoh tumpang sari yang sudah banyak
dilakukan ialah penanaman tanaman semusim Jagung diantara tanaman tahunan Leucaena,
dapat menghasilkan peningkatan produksi jagung. Tanaman semusim dapat juga ditanam di sela tanaman hutan sampai
tingkat naungannya tidak memungkinkan tanaman semusim tumbuh.
Mengingat air adalah kebutuhan vital bagi kehidupan, maka
apapun caranya harus dilakukan untuk menjaga ketersediaannya, baik dari jumlah,
mutu maupun kontinyuitasnya. Tanggung
jawab konservasi air merupakan tanggung jawab semua, dan semua harus
bertanggung jawab. Kekeringan merupakan suatu resultante dari perubahan
iklim global dan kesalahan kita dalam mengelola sumberdaya alam.
Kesadaran tentang pentingnya tindakan konservasi air perlu
dilakukan sejak dini dan harus terus diberikan pada tiap orang. Dengan kesadaran yang akan tumbuh maka tiap
tindakan yang berhubungan dengan air akan mengarah pada penghematan dan
efisiensi. Hal ini tidak hanya nerlaku bagi
orang pertanian tetapi bagi siapa saja, sebab air yang ada di muka bumi
digunakan untuk selutuh segi kehidupan.
Panen air di musim hujan dan menggunakannya dengan efisiensi
mutlak dilakukan. Pembuatan embung pada
daerah dengan vcurah hujan singkat merupakan suatu tindakan yang baik. Dari segi budidaya perlu dilakukan berbagai
perubahan paradigma baik dari segi jenis tanaman maupun pola budidayanya. Contoh konkrit yang dilakukan oleh
Pemerintah
Baharsjah,
J. S. 2002. Quo Vadis Masyarakat Hemat Air.
Orasi Purnabhakti Guru Besar Faperta
IPB. Institut
Pertanian
Baldy, C.
and C. J. Stigter. 1997. Agrometeoroly of Multiple Cropping in Warm
Climates (English edition). Institut National De La Recherche Agronomique (INRA).
Carlos, J. T. Jr. 1977. Fruit tree farming; An alternate in hill
country development. Paper presented at
a workshop on hilly land development.
Gomez, A.
A. and K.A. Gomez. 1983. Multiple Cropping in the Humid Tropics of
Gupta, U. S. 1995. Production and Improvement of Crops for
Drylands. Science Publishers, Inc.
Kerr,
J. 2002. Watershed Development Project in
Lal,
R. 1980. Soil erosion as a constraint to crop production. In :
Soil-Related Constrains to Food Production in the Tropics. International Rice Research Institute
(IRRI),
Sri Setyati, H. 1975. Pengantar Agronomi. Gramedia,
Winarso, A. P. 2002. Variabilitas dan perubahan iklim di
Yahata, T. 1977. Land use and management of hilly areas in