©
2003 Program Pasca Sarjana IPB Posted 31
October 2003
Makalah
Kelompok 11 (Materi diskusi kelas)
Pengantar
Ke Falsafah Sains (PPS702)
Program Pasca Sarjana / S3
Institut
Pertanian Bogor
Oktober
2003
Dosen:
Prof.
Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng (penanggung jawab)
Prof. Dr. Ir. Zahrial Coto
DOMESTIKASI TUMBUHAN DAN HEWAN
Oleh Kelompok 4:
Alfret
Luasunaung,
Erwan,
Gybert
E. Mamuaya,
Kisman,
Nirwan
Sahiri,
Rantje
L. Worang,
Sigit Purwantomo,
Susiyanti,
Venda J. Pical
Abstract
Domestication of plants and animals is not only about breeding. It concerns about selection and management by human. To domesticate is to naturalize the genes of a plant or an animal by making it suitable to human condition or human-induced environment. The genetic change in domestication occurs relatively straightforward and rapidly; most of these change arise from unintended selection. Domesticated plants and animals can spread far from their places of origin to the places that are different in geography and environment. Processes involved in domestication as well as attitude toward agriculture are also different from place to place. Above all, by domesticating plants and animals, humandkind was itself domesticated. This paper is therefore intended to present a general view of knowledge that has been divided into ontology which explain what the domestication is, epistemology which then explain how the domestication is done, and finally axiology that explain what is the domestication for.
Sumber daya alam hayati beserta
ekosistemnya, dipahami selama ini menjadi sasaran pemanfaatan untuk memenuhi
berbagai kebutuhan manusia. Pemanfaatan
sumber daya tersebut, yang antara lain dikenal dalam bentuk kegiatan pertanian,
kehutanan, peternakan dan perikanan merupakan serangkaian kegiatan yang
diharapkan dapat juga meningkatkan kualitas hidup manusia.
Domestikasi atau penjinakan tumbuhan
dan hewan merupakan markah awal perkembangan pertanian secara luas (King dan
Stanbinsky, 1998). Proses belajar
menanam dan beternak berawal dari domestikasi aneka tumbuhan dan hewan dari
kehidupannya yang liar. Hikayatnya
dimulai pada masa Neolitik sebagaimana ditandai oleh sejumlah situs pertanian,
diantaranya di Asia Baratdaya dan di Asia Tenggara. Kini, agronomi meluas tidak saja dengan mengandalkan tumbuhan dan
hewan eksotik, tapi mencakup juga pengelolaan dan/atau modifikasi genetik
organisme tersebut. Transformasi yang
menghasilkan spesies domestik ini, telah berkontribusi sekaligus dalam
pemenuhan kebutuhan aktual dan ketergantungan ke depan. Lebih dari pada itu, hasil transformasi ini
tidak saja terkadang berlangsung tanpa sengaja, tapi juga difusi dan
adaptasinya meluas pada lingkungan baru.
Diperhadapkan pada upaya melaksanakan pembangunan
berwawasan lingkungan hidup, transformasi sumber hayati tersebut nampak perlu
secara bijaksana diserasikan dengan berbagai kegiatan dalam payung pengelolaan
sumber daya alam dan lingkungan. Dampak
apa pun yang mungkin dapat ditimbulkan oleh suatu kegiatan, seyogyanya telah
diperhitungkan secara cermat semenjak tahap perencanaan kegiatan, sehingga
langkah pengendaliannya diantisipasi secara dini.
Bertolak dari uraian di atas,
tulisan ini akan selanjutnya memaparkan suatu deskripsi hasil penalaran tentang
domestikasi tumbuhan dan hewan. Sebagai
suatu elaborasi pemikiran terbatas waktu, deskripsi dimaksud terfokus pada
upaya menjawab : apa (ontologi), bagaimana (epistemologi), dan untuk apa
(aksiologi) domestikasi tumbuhan dan hewan.
Dalam lingkup
pengalaman manusia, tumbuhan dan hewan
termasuk jazad renik telah dan sementara menjadi objek transformasi dari
kehidupannya yang liar menjadi jinak.
Transformasi yang dikenal sebagai domestikasi ini, menurut Wallack
(2001), telah berlangsung lebih dari 10 000 tahun terakhir, bagi ratusan jenis
tumbuhan dan hewan, yang kini menjadikannya andalan dalam memenuhi kebutuhan
manusia. Diperhitungkan 61 % bahan
kering edibel dari tanaman utama dunia berasal dari gandum, jagung , dan
padi. Selebihnya dari sekitar 100
spesies tumbuhan, antara lain : kedelai, tebu, sorghum, kentang, dan ubi
kayu. Di samping itu, sekitar 95 % dari
produk daging, susu, dan telur unggas dihasilkan oleh sebanyak lima spesies
hewan ternak. Sementara produk
akuakultur berasal dari sekitar 200 spesies biota air (Pullin, 1994). Selain sejumlah spesies pohon kayu dan
puluhan pohon buah-buahan yang telah didomestikasi, Leakey (1999)
mengidentifikasi 17 spesies buah-buahan tropis yang potensial dikembangkan dalam
sistem agroforestri.
Domestikasi sebagai proses perkembangan organisme yang
dikontrol manusia, oleh Evans (1996) dinyatakan mencakup perubahan genetik
(tumbuhan) yang berlangsung sinambung semenjak dibudidayakan. Dengan demikian, domestikasi berkaitan dengan seleksi dan manajemen
oleh manusia, dan tidak hanya sekedar pemeliharaan saja. Spesies eksotik – organisme yang dipindahkan
dari habitat aslinya ke wadah budidaya, karakteristik genetiknya terubah dengan
maksud tertentu, atau sebaliknya, melalui sembarang pikatan pemeliharaan,
seleksi dan manajemen genetik (Pullin, 1994).
Dalam hal ini, mendomestikasi adalah menaturalisasikan biota ke kondisi
manusia dengan segala kebutuhan dan kapasitasnya.
Menurut
Zairin (2003), ada beberapa tingkatan yang dapat dicapai manusia dalam upaya
penjinakan hewan ke dalam suatu sistem budidaya. Tingkatan dimaksud, sebagaimana berlangsung pada ikan, adalah
sebagai berikut.
Tingkatan kesempurnaan
domestikasi hewan umumnya, sangat ditentukan oleh pemahaman tentang keseluruhan
aspek biologi dan ekologi hewan tersebut.
Perilaku satwa liar di habitat alaminya, daur hidup dan dinamika
pertumbuhannya merupakan aspek biologi yang antara lain menunjang keberhasilan
domestikasi.
Dalam domestikasi tanaman, Evans
(1996) mengungkapkan secara luas berbagai perubahan yang terjadi pada
penampilan tumbuhan, mulai dari yang menyangkut retensi benih hingga ke isi
DNA. Demikian halnya perubahan bentuk
dan ukuran pada sejumlah tanaman, serta laju perkembangan dan pertumbuhannya. Lebih dari pada itu, sejumlah tumbuhan yang
didomestikasi ternyata kehilangan substansi racun sebagai unsur proteksi
alaminya terhadap hama dan penyakit.
Tampaknya, perubahan-perubahan ini terpaut dengan penimbulan
(mengefisiensi) dan penenggelaman (mendefesiensi) satu atau lebih unsur genetik
seturut dengan faktor lingkungan budidaya yang dikenakan. Hal yang kemudian membuka peluang ke
modifikasi genetik ini, antara lain ditandai ketika tanaman tebu Saccharum
officinarum disilangkan dengan S. spontaneum yang memiliki gen yang
tahan atas penyakit sereh yang mewabah pada 1880.
Seperti halnya hewan, perpindahan
lokasi dari tumbuhan yang didomestikasi berlangsung secara luar biasa, menyebar
luas dan jauh dari asalnya, bahkan terkadang melimpah di kawasan yang
didatanginya. Dicontohkan oleh Wallack
(2001), gandum yang berasal dari Timur Tengah, kini diproduksi besar-besaran di
Cina, India, dan Amerika. Jagung yang
asalnya Meksiko, tapi Brasilia menumbuhkannya tiga kali lebih banyak, China
sebanyak enam kali lebih banyak, dan Amerika sebanyak 10 kali. Kentang yang mulainya di Andes, kini
produktor utamanya adalah Cina, Rusia dan Polandia. Selain dengan jelas menunjukkan difusi dan adopsi teknologi
berkenaan dengan hasil domestikasi, tapi hal ini menunjukkan juga kemampuan hasil
domestikasi dalam mengkolonisasi daerah baru.
Subjek
domestikasi, seperti menurut Evans (1996) terhadap tumbuhan, menarik minat
sejumlah disiplin ilmu, diantaranya antropologi, arkeologi, biokimia, genetika,
geografi, linguistik, biologi molekuler, fisiologi, dan sosiologi. Dengan demikian, banyak aspek domestikasi
telah diungkapkan selama ini, misalnya mengenai sejarah dan keterkaitannya
dengan kebudayaan, demikian pula dengan permasalahan lingkungan hidup yang
ditimbulkannya. Ringkasnya, praktek domestikasi
tumbuhan dan hewan tidak saja sekaligus mendomestikkan pengelompokkan manusia (humandkind) dalam suatu permukiman, tapi
juga menurut Wallack (2001), manusia secara mutlak kini tergantung pada hasil
domestikasi yang dilakukannya.
Uraian
terdahulu mengungkapkan bahwa ternyata ujud hakiki dari apa yang disebut
domestikasi tumbuhan dan hewan – masukan, proses, dan hasilnya – mengandung
banyak aspek dan bermatra luas.
Penjelajahan selanjutnya terhadap hal ini melalui pendekatan
multi-disipliner, dipandang sebagai pilihan yang memihak pada perwujudan fungsi
sains dalam kehidupan manusia.
Sejalan dengan perkembangan
penalaran, upaya manusia dalam memenuhi rasa ingin tahu dan kebutuhannya, mengikuti
tahapan perkembangan kebudayaan yang meliputi tahap mistis, tahap ontologis,
dan tahap fungsional. Mengutip uraian
Suriasumantri (2000), tahap mistis adalah masa di mana sikap manusia
menunjukkan keberadaaannya terkepung oleh kekuatan-kekuatan gaib di
sekitarnya. Tahap ontologis adalah masa
di mana sikap manusia mengambil jarak dari objek di sekitarnya serta mulai
melakukan telaahan terhadap objek tersebut.
Tahap fungsional adalah masa di mana sikap manusia selain memiliki
pengetahuan berdasarkan telaahan terhadap objek-objek sekitarnya, tapi juga
memfungsionalkan pengetahuan tersebut bagi kepentingan dirinya (dan lingkungan
hidup).
Proses domestikasi tumbuhan dan
hewan, nampaknya mengikuti tahapan sikap manusia sebagaimana dikemukakan
terdahulu. Dengan demikian, pengetahuan
menjinakkan tumbuhan dan hewan diawali pada tahap mistis ketika manusia
bersikap menghadapi kekuatan yang mengepungnya sekaligus berupaya
mempertahankan kehidupannya. Pada tahap
ontologis di mana ilmu mulai berkembang, manusia mengambil jarak dengan objek
domestikasi, bertindak sebagai subjek yang mengamati, menelaah dan
memanfaatkan. Mengawalinya, tahap
ontologis melahirkan pengetahuan yang berakar pada pengalaman berdasarkan akal sehat
yang didukung oleh metode mencoba-coba, namun secara historis tercatat tingkat
teknologinya tinggi meskipun tetap terbelakang dalam bidang keilmuan
(Suriasumantri, 2000). Tumbuhnya
pengetahuan yang tergolong seni-terapan ini, seperti antara lain dalam
peradaban Mesir kuno, Cina dan India, mengikutsertakan perkembangan awal
pertanian dalam mendomestikasi tumbuhan dan hewan. Selanjutnya, telaahan terhadap objek sekitar seperti domestikasi,
didekati secara rasional yang mengandalkan penalaran deduktif, dan kemudian
melalui metode ilmiah yang menggabungkan penalaran deduktif dan pengalaman
empiris.
Domestikasi tumbuhan dan hewan
secara aktual dilakukan manusia berdasarkan prinsip-prinsip dan konsep-konsep
yang ditemukan dengan menggunakan metode ilmiah. Dalam hal ini, prinsip dan konsep mendomestikasi disusun dengan
menerapkan penalaran deduktif, sementara kesesuaiannya dengan fakta
diverifikasi dengan menerapkan penalaran induktif.
Berkaitan
dengan masalah objek empiris dalam domestikasi tumbuhan dan hewan, ada dua
kelompok pertanyaan yang teridentifikasi berbeda menurut bidang ilmu dan
menurut bidang teknologi. Dalam bidang
ilmu, objeknya adalah gejala yang sudah ada, sementara dalam bidang teknologi,
objeknya adalah gejala yang ingin diciptakan.
Kejelasan tentang struktur dan bentuk susunan serta hubungan antar
bagian, merupakan prinsip dan konsep yang dipertanyakan dalam bidang ilmu. Struktur suatu gejala yang dikehendaki agar
suatu fungsi yang diinginkan terealiser beserta cara membentuk struktur
dimaksud, merupakan konsep yang ditangani dan ingin dihasilkan dalam bidang
teknologi.
Berdasarkan hasil penalaran manusia
selama ini, tumbuhan dan hewan didomestikasikan dengan beragam cara, mulai dari
yang sederhana hingga ke cara yang sangat maju ditopang dengan hasil
perkembangan bioteknologi.
Sederhananya, seperti untuk tanaman buah-buahan menurut Demchik dan
Streed (2002) dengan cara bertahap : (1) wildcrafting,
(2) stand improvement, (3)
penanaman/pemeliharaan, (4) seleksi, pemuliaan, dan penggunaan stok andal dalam
penanaman/budidaya. Bioteknologi
sebagai penerapan biologi molekuler, genetika molekuler dan rekayasa genetika,
mentransformasikan gen sehingga organisme eksotik menjadi GMO dan TO.
Metode dan/atau teknik domestikasi
tumbuhan dan hewan dengan pendekatan bioteknologi dideskripsikan secara luas
dan melimpah dalam sejumlah sumber informasi.
Mengacu pada sumber dimaksud seperti dalam Winter et al (1998) dan Madigan et
al (2000), rekayasa genetika dinyatakan sebagai upaya teknik memodifikasi
penampilan genetika sel dan organisme melalui manipulasi suatu gen dengan
menggunakan teknik labolatorium. Ini
merupakan sintesis dari genetika molekuler, biokimia dan mikrobiologi, terutama
dalam aspek yang mencakup isolasi, manipulasi, dan ekspresi materi
genetik. Selain itu, rekayasa genetika
mempunyai aplikasi luas tidak hanya pada penelitian dasar tetapi juga pada
penelitian aplikatif, antara lain untuk menghasilkan suatu protein dalam jumlah
besar dan mentransfer suatu material genetik untuk “menciptakan”
organisme-organisme (tanaman, hewan, dan mikrorganisme) dengan ciri-ciri “yang
diinginkan”.
Lebih
jauh terungkap bahwa dalam rekayasa genetika, urutan DNA tertentu dari
organisme yang berbeda bahkan dari spesies yang berbeda dapat berintegrasi
menjadi suatu DNA hibrida (rekombinan DNA). Berkaitan dengan ini, kloning
molekuler dimungkinkan melalui serangkaian proses isolasi, pemurnian, dan
pereplikasian fragmen DNA khusus.
Selain itu, pertukaran material genetik di antara spesies yang secara alamiah
tidak terjadi, membuka peluang perubahan makeup
genetik suatu organisme. Dalam kultur
jaringan, rekayasa genetika menawarkan suatu metode langsung untuk
mengintroduksi suatu sifat tertentu melalui baik elektroforasi maupun
penembakan molekul DNA atau melalui Agrobacterium
tumefaciens. Dalam pemuliaan
terseleksi pada hewan dimungkinkan untuk mentransfer gen yang membawa sifat
secara langsung ke dalam hewan. Gen dapat diintroduksi ke dalam hewan melalui
vektor retrovirus, mikro-injeksi, dan embryonic-stem
cells, dimana melibatkan transfer gen ke dalam sel telur yang
terfertilisasi atau ke dalam sel dari embrio tingkat awal. Demikianlah untuk tumbuhan dan hewan
termasuk jazad renik, rekayasa genetika adalah suatu cara domestikasi dalam
manajemen genetik yang dapat saja mengundang masalah seperti dalam hal
ketidakstabilan vektor yang digunakan, ekspresi gen yang tidak sepenuhnya, dan
gangguan regulasi gen.
Sebagaimana dikemukakan terdahulu,
ujud hakiki dari domestikasi tumbuhan dan hewan bermatra luas. Selain cara dan/atau metode yang mengantar
pada penemuan organisme domestik (GMO dan TO), tahapan aktivitas domestikasi
menurut Simon (1996) akan sangat ditentukan oleh factor-faktor biologi,
kebijakan, pasar, dan sosial.
Pemanfaatan selanjutnya melalui budidaya dan bahan pangan yang
dihasilkan, membutuhkan metode aplikasi yang berjangkauan komprehensif dan
berlandasan aksiologis memadai. Dalam
bidang akuakultur, Pullin (1994) menyatakan bahwa permasalahan utama yang
dihadapi ilmuwan dan pengambil keputusan adalah efek jangka panjang pada keragaman
hayati akuatik yang tidak dapat diprediksi secara tepat berkenaan dengan
kemungkinan lolosnya GMO dari wadah budidaya.
Hal yang sama dengan intensitas beragam dapat saja berlaku dalam
kegiatan budidaya pertanian lainnya.
Untuk itu, Peraturan Pemerintah RI No.27 Tahun 1999 tentang Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan Hidup menyatakan usaha dan/atau kegiatan berdampak
besar dan penting terhadap lingkungan hidup, antara lain : (1) introduksi suatu
jenis tumbuhan baru atau jazad renik yang dapat menimbulkan penyakit baru
terhadap tanaman, (2) introduksi suatu jenis hewan baru yang dapat mempengaruhi
kehidupan hewan yang telah ada, (3) penggunaan bahan hayati dan nir-hayati
mencakup pengertian perubahan.
Uraian tersebut di atas membawa ke
pemikiran bahwa aktivitas domestikasi suatu organisme adalah suatu kesatuan
sistem yang tersusun oleh sejumlah elemen.
Sesuai pendekatan multi-disipliner yang diajukan sebagai pilihan dalam
menjelajahinya, maka penerapan pengembangan aktivitas tersebut layaknya
dilakukan dengan metodologi sistem.
Sehubungan dengan hal ini, suatu bentuk skema pengambilan keputusan
untuk mengembangkan budidaya yang menggunakan organisme domestic disajikan
Gambar 1 yang dimodifikasi dari Pullin (1994).
Skema ini menunjukkan pengambilan keputusan dapat didasarkan atas hasil
dari evaluasi yang prosesnya akurat, meliputi efek sosial, efek lingkungan, dan
kelayakan aspek teknis budidaya.
Secara signifikan, hasil transformasi
tumbuhan dan hewan yang dilakukan dalam lingkup domestikasi, telah memberi
manfaat dan membawa berkah bagi manusia.
Dari upaya untuk sekedar memenuhi kepentingan praktis, domestikasi
tumbuhan dan hewan berkembang aktual untuk tujuan
Gambar
1. Skema Pengambilan Keputusan untuk
Pengembangan Budidaya dan Dampak Lingkungannya
meningkatkan produksi
dan mengembangkan kualitas produk dari beragam usaha pertanian, kehutanan,
peternakan, dan perikanan. Dengan
demkian, domestikasi sumber hayati ini berkontribusi besar dalam
mewujudkan tujuan ketersediaan pangan, termasuk ketika swa-sembada
pangan pernah dicapai Indonesia.
Diperhadapkan pada isu sejagat
mengenai lingkungan hidup yang cenderung mengalami degradasi, domestikasi
organisme diarahkan pula untuk konservasi genetik dan/atau plasma nuftah. Sejalan dengan itu, konservasi ekosistem
diupayakan, khususnya hutan dan laut.
Sementara FAO mencatat bahwa di samping sebanyak enam keuntungan
domestikasi NWTP (non-wood timber
products), terdapat empat keadaan merugikan (Simon, 1996). Keuntungan meliputi produksi yang
diandalkan, mengurangi tekanan pada hutan, mendatangkan pendapatan, mudah
panen, perbaikan laju pertumbuhan, dan peningkatan nilai tanaman. Keadaan yang merugikan ditunjukkan pada peningkatan
kerentanan terhadap hama, kehilangan fungsi ekologis, ketergantungan pada
sumber benih liar yang baru, dan menambah nilai keuntungan pada korporasi besar
yang ada.
Tanpa mengabaikan sejumlah kerugian,
sesungguhnya tumbuhan dan hewan yang didomestikasi menerima perlakuan istimewa
yang memungkinkan potensi gen-nya diberdayakan dengan berbagai cara
manipulasi. Meskipun demikian, proses
domestikasi yang berlangsung merupakan juga gangguan fisik-biologis terhadap
integritas spesies. Transformasi dilakukan dengan risiko yang tidak saja sukar
diramalkan tapi juga yang kurang menjadi perhatian. Untuk itu, selain
dibutuhkan rumusan bio-etik secara spesifik, nilai-nilai universal menghargai
alam perlu dijabarkan terinci dalam memandu aktivitas domestikasi tumbuhan dan
hewan selanjutnya.
Sepintas mencermati domestikasi
tumbuhan dan hewan, pengakuan menakjubkan seyogyanya terucapkan atas berbagai
sukses manusia selama ini dalam mentransformasi fungsi dan struktur elemen daur
hayati. Transformasi yang telah dan
sementara berkontribusi dalam memenuhi kebutuhan pangan ini, menyertakan
kebutuhan ruang yang bersesuaian bagi hasil transformasi tersebut. Sesuai kapasitas rasional dari lingkungan
beserta sumber dayanya, sejatinya setiap bagian ruang mondial dapat
berkontribusi dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut. Untuk itu ke depan, serangkaian upaya
dibutuhkan dalam memantapkan pengembangan domestikasi sumber hayati dengan
menerapkan pendekatan multi-disipliner berdasarkan metodologi sistem.
DAFTAR PUSTAKA
Demchick, M. dan E. Streed.
2002. Non-timber Forest Products and
Implication for Forest Managers : Use, Collection, and Growth of Berriers,
Fruits, and Nuts. University of Minnesota
Extention Service, 405 Coffey Hall
Evans, L.T. 1996.
Crops Evolution, Adaptation, and Yield.
Combridge Univ. Press.
King, J. dan D.
Stabinsky. 1998. Biotechnology under
globalisation : The Corporate Expropriation of Plant, Animal and Microbial
Species. http://hornacek.coa.edu/dave/Reading/race.html.
Leakey, R.B.B. 1999.
Potential for Novel Food Products From Agroforestry Trees : A
Review. Food Chemistry 66 : 1 – 14.
Pullin, R.S.V. 1994.
Exotic Species and Genetically Modified Organisms in Aquaculture and
Enchanced Fisheries : ICLARM’s Position.
NAGA, the ICLARM Quarterly. 17(4): 19 – 24.
Simon, A.J. 1996.
ICRAF’s Strategy for Domestication of Non-Wood Tree Products. http://.www.fao.org/docrep/w3735e/3735eo7.htm.
Suriasumantri, J.S. 2000.
Filsafat Ilmu : Sebuah Pengantar Populer. Cetakan XIII. Pustaka Sinar Harapan.
Wallack, B. 2001. The Great Mirror : An Introduction to Human
Geography. http://geography.ou.edu/courses/1103bw/domestication.html.
Zairin, M.Jr. 2003. Endokrinologi dan Perannya Bagi Masa Depan
Perikanan Indonesia. Orasi Ilmiah
Gurubesar FPIK IPB.