©
2003 Program Pasca Sarjana IPB Posted 3 October 2003
Makalah
Kelompok 5 (Materi Diskusi Kelas)
Pengantar Falsafah Sains (PPS702)
Program Pasca Sarjana / S3
Institut
Pertanian Bogor
Oktober 2003
Dosen:
Prof.
Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng (penanggung jawab)
Prof. Dr. Ir. Zahrial Coto
ASPEK HALAL PRODUK PANGAN DALAM MENJAGA KETENTRAMAN BATHIN
MASYARAKAT
Oleh:
Kelompok 5
1 |
SriWidowati |
IPN |
F
261030031 |
2 |
Yuspihana
Fitrial |
IPN |
F 261030021 |
3 |
Evawany Aritonang |
GMK |
A
561030041 |
4 |
Zulhaida
Lubis |
GMK |
A
561030051 |
6 |
Razali |
SVT |
B 161030061 |
7 |
Syamsuddin |
AGR |
A 361030071 |
8 |
Slamet Riyadi |
PTK |
D
061030061 |
Pangan adalah
kebutuhan pokok manusia yang hakiki untuk dapat hidup. Undang-Undang No 7 Tahun
1996 tentang pangan menyebutkan bahwa pangan merupakan kebutuhan dasar manusia
yang pemenuhannya menjadi hak asasi setiap rakyat Indonesia dalam mewujudkan
sumber daya manusia berkualitas untuk melaksanakan pembangunan nasional
(Tjahjadi, 2003). Hal tersebut mengisyaratkan kita bahwa betapa pentingnya
masalah pangan untuk ditangani dan merupakan tanggung jawab semua pihak.
Masalah pangan tidak
terlepas dari berbagai subsistem yang saling berhubungan mulai dari subsistem
ketersediaan pangan, distribusi pangan, konsumsi pangan, kewaspadaan pangan
sampai bagaimana pemberdayaan masyarakat dalam mendukung program ketahanan
pangan dapat dilakukan (Soekirman, 2002, Tjahjadi, 2003).
Permasalahan yang dihadapi
dalam penyediaan pangan antara lain ialah:
§
Ketergantungan
terhadap satu komoditas pangan pokok utama, yaitu beras. Padahal laju produksi
beras/padi pada 10 tahun terakhir hanya 50% dari laju pertumbuhan penduduk
Indonesia (Swastika, 2000)
§
Makin sempitnya lahan
produktif, karena berubah fungsi menjadi pemukiman, mall, industri, dll
§
Kurang
memasyarakatnya pola makan gizi berimbang, dan kurang berimbangnya gizi
masyarakat. Hal ini menyebabkan berkembangnya kasus salah gizi yang berlawanan.
Disatu sisi banyak masyarakat mengidap penyakit akibat kurang pangan, disisi
lain banyak juga berkembang penyakit akibat kelebihan gizi.
§
Saat digalakkan
diversifikasi pangan, komoditas pangan lokal tidak mencukupi. Hal ini merupakan
salah satu akibat terfokusnya perhatian pada satu komoditas (beras) sehingga
komoditas lokal lainnya tidak berkembang.
§
Membanjirnya produk
impor telah memberi andil dalam mengubah pola makan masyarakat Indonesia,
terutama di perkotaan. Produk impor tersebut belum tentu memenuhi kriteria pangan
dari aspek halal untuk dikonsumsi.
Berkaitan dengan
persoalan diatas, keamanan pangan di Indonesia merupakan bagian dari ketahanan
pangan. Pada aspek kebijakan keamanan pangan tersebut diarahkan agar masyarakat
menjadi terjamin dan aman mengkonsumsi pangan terhadap adanya residu dan
cemaran lainnya. Selain itu masyarakat dapat mengkonsumsi pangan dari berbagai
produk sesuai dengan agama dan keyakinan masing-masing (Moerad, 2002).
Makanan yang aman
adalah: makanan yang bebas dari cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang
mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia dengan kata lain
makanan yang aman adalah makanan yang dapat memenuhi kebutuhan konsumen dari
aspek kesehatan dan kenyamanan bathiniah. Sehubungan dengan kenyamanan
bathiniah tersebut adalah produk pangan dapat dibedakan antara yang halal dan
haram. Dalam Islam makanan yang diharamkan adalah bangkai, darah, daging babi
maupun hewan yang disembelih bukan dengan nama Allah (Al Maidah : 3). Allah
melarang umatnya memakan babi karena banyak mudharat yang terkandung di
dalamnya. Mulai dari cacing pita, perilaku yang buruk hingga berbagai penyakit
yang ditimbulkan. Seperti pada kasus di Malaysia tahun 1999, munculnya penyakit
Japanese Encephalitis yang mematikan
yang disebarkan oleh ternak babi.
Cemaran biologis
misalnya: makanan yang tercemar mikroorganisme (bakteri, jamur dll), serangga
dan binatang-binatang yang lebih besar seperti tikus, sedangkan cemaran kimia
adalah yang terkontaminasi oleh bahan kimia berbahaya seperti pestisida dan gas
beracun. Pencemaran makanan dapat juga disebabkan oleh kemasan yang tidak baik
(terutama untuk makanan olahan) misalnya kemasan jadi peot akibat benturan
sehingga dapat menyebabkan reaksi bahan makanan dengan bahan kemasan dari
kaleng/logam dan plastik.
Suatu makanan disebut
sehat apabila makanan tersebut mengandung zat gizi yang dibutuhkan tubuh agar
tetap sehat. Zat gizi meliputi unsur makro seperti karbohidrat, protein dan
lemak serta unsur mikro yang terdiri dari vitamin dan mineral. Jumlah zat gizi
yang dikonsumsi harus sesuai dengan kebutuhan masing-masing yang sudah
ditetapkan. Aspek aman dan sehat merupakan bagian dari “Penilaian Mutu Pangan”.
Makanan yang lezat, menarik dan bergizi, bila tidak aman dikonsumsi menjadi
tidak bermanfaat bagi manusia bahkan mengganggu kesehatan.
Di Indonesia masalah
kehalalan itu sangat penting karena sebagian besar konsumennya adalah kalangan
muslim dimana secara statistik lebih dari 80% penduduk Indonesia beragama Islam. Kegiatan mengkonsumsi suatu bahan pangan
bagi seorang muslim tidak hanya sekedar untuk memenuhi rasa lapar tetapi lebih
dari itu yaitu bentuk ibadah kepada Sang Khaliq. Prinsip bagi seorang muslim adalah “makan untuk hidup” bukan
“hidup untuk makan”. Kedua pernyataan tersebut mempunyai pengertian yang
berbeda. Jika makan untuk hidup berati menyadari bahwa aktifitas makan hanyalah
salah satu alat untuk tetap bertahan, sedangkan hidup untuk makan berarti
aktifitas hidup hanya untuk makan.
Makanan halal
merupakan kebutuhan yang mutlak bagi
setiap muslim, karena harus mengikuti ajaran agamanya. Kebutuhan akan
makanan yang halal sekaligus juga menjadi Hak Asasi Manusia yang diakui
keberadaanya sehingga harus dijamin dan dilindungi oleh semua pihak secara
bertanggungjawab. Maka mendapatkan pangan yang halal di pasar bebas bagi orang
yang memeluk agama (Islam) secara otomatis merupakan salah satu HAM yang harus
pula dilindungi. Dalam hal ini,
informasi yang jelas tentang kandungan bahan yang disajikan pada label kemasan
merupakan aplikasi dari HAM ini untuk melindungi masyarakat dalam memilih
produk yang terjamin kehalalannya sekaligus sebagai HAM dalam menjalankan agama
yang dipeluknya.
Ilmu pengetahuan dan
teknologi yang terus melaju dengan pesat memberikan dampak yang jelas terhadap
produk makanan. Bisa saja suatu produk
dinyatakan halal pada saat ini, tetapi beberapa tahun kemudian menjadi tidak
halal lagi karena bahan baku yang sama telah berubah proses pembuatannya
sehingga menjadikannya sebagai produk yang meragukan. Seperti pada kasus
Ajinomoto salah satu merek produk Monosodium Glutamat (MSG) yang merupakan
hasil fermentasi dan bioteknologi. Pada proses pengolahannya menggunakan enzim
dari babi (porcine protease) dalam
salah satu rangkaian produksinya, yaitu salah satu nutrient media untuk
pertumbuhan mikroba starter. Menurut Apriantono (2001) pada proses-proses
biotekologi yang melibatkan mikroba, semua media bercampur dengan mikroba dan
pada produk yang dihasilkan. Pada waktu membuat starter, jika salah satu
nutriennya mengandung komponen turunan yang berasal dari bahan babi maka
starter tersebut akan bercampur dengan komponen tersebut. Keharaman disebabkan dua hal yaitu karena
bercampur dan memanfaatkan bahan yang berasal dari babi untuk pembuatan pangan.
Genetic Modified Organism (GMO) merupakan salah satu produk teknologi yang
dapat digunakan untuk meningkatkan ketersediaan pangan, dengan tanaman
transgeniknya. Dengan teknik ini, maupun teknik kloning, orang bisa memindah-
mindahkan gen dari sembarang makhluk dengan sifat yang diinginkan. Dari aspek
kehalalan, teknik ini membuka peluang membingungkan masyarakat. Misalkan, gen x
yang dapat membuat babi gemuk dan cepat beranak banyak, disisipkan ke kambing
atau tanaman (padi misalnya), sehingga produk hasil kloning produktivitasnya
berlipat. Dari sisi penyediaan pangan, hal ini berpengaruh sangat potitif,
namun akankah hal ini menjamin ketentraman masyarakat? Contoh lain penggunaan
GMO adalah dalam suatu proses produksi makanan jadi, dapat meningkatkan mutu
produk, mengefisiensikan proses, sehingga harga produk menjadi lebih murah dan
lebih awet. Hal ini merupakan dampak positif dari penggunaan GMO, tetapi
masyarakat harus diberi informasi bahwa produk tersebut halal.
Indonesia sebagai
salah satu negara yang penduduknya mayoritas muslim, menuntut tanggung jawab
yang besar dari pemerintah dalam menjaga produk pangan yang halal. Landasan
utama yang menyangkut halal dan haram jelas di dalam Alquran, surat Al-an’am
ayat 121, 145, Al-Maidah ayat 3 dan 88 serta Al-Baqarah ayat 173. Bila dilihat
secara keseluruhan, maka di dalam Al-Quran tidak kurang dari 18 ayat suci yang
menjelaskan tentang makanan dan minuman yang halal dan haram (Girindra, 2001).
Salah satu hadist
riwayat Muslim r.a yang bunyinya “Yang
halal itu sudah jelas dan yang harampun sudah jelas. Dan diantara kedua hal itu
terdapat musytabihat atau Syubhat (samar-samar), kebanyakan manusia tidak
mengetahui hukumnya. Barang siapa yang berhati-hati dari perkara syubhat,
sesungguhnya ia telah menyelamatkan agama dan dirinya”.
Seiring dengan
kemajuan sains dan teknologi, maka manusia tiba pada suatu masa untuk mencari
yang terbaik didalam memenuhi kebutuhan hidup. Pengetahuan menuntun manusia
untuk berbuat atau menciptakan produk yang tidak saja aman dari segi fisik,
biologis, kimiawi tetapi juga dapat dipertanggung jawabkan kepada Sang Maha
Pencipta (Nasution, 1999).
Keamanan bahan pangan
merupakan masalah yang kompleks dan merupakan Interaksi antara toksisitas
mikrobiologis, kimiawi, status gizi, kehalalan dan ketentraman bathin.
Kesemuanya saling berkaitan dan saling mempengaruhi sehingga faktor keamanan
pangan dapat dikatakan sebagai suatu masalah yang dinamis seiring berkembangan
peradaban manusia dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (Grossklaus,
1993).
Jelaslah bahwa dalam
mendapatkan produk pangan yang halal, masyarakat sebagai konsumen membutuhkan
perlindungan dari penguasa atau pemerintah. Kehalalan produk makanan, minuman,
obat dan kosmetika perlu mendapat sertifikasi dari LPPOM MUI. Kehalalan produk
pangan termasuk air minum harus memenuhi kriteria yang telah ditetapkan yakni
tidak mengandung bahan atau unsur pangan yang diharamkan oleh Islam seperti
tercampur babi atau produk turunannya. Produk tersebut tidak menimbulkan dampak
buruk bagi pemakainya karena Islam mengharamkan segala jenis pangan yang
terbukti merusak kesehatan manusia secara langsung maupun tidak langsung
terkecuali dalam keadaan darurat (Yasa, 2003).
Sertifikasi halal
yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk setiap produk makanan
dan minuman yang dijual kepada masyarakat akan merupakan jaminan sehingga
masyarakat tidak menimbulkan kecurigaan dan tanda tanya terhadap kandungannya.
Sertifikasi halal mutlak dibutuhkan untuk menghilangkan keraguan masyarakat
akan kemungkinan adanya bahan baku, bahan tambahan atau bahan penolong yang
tidak halal dalam suatu produk yang dijual (Apriyatono, 2003).
Legalisasi halal
terhadap setiap produk pangan sangat diperlukan demi terciptanya ketentraman bathin
masyarakat dalam memilih produk pangan yang dikehendaki. Dalam hal ini,
pemerintah bertanggungjawab dalam pelaksanaan legalisasi halal, tidak terbatas
pada pemberian instruksi kepada para pengusaha untuk mencantumkan label halal
pada produknya, tetapi perlu melalukan pengujian dan pengawasan terhadap setiap
produk pangan yang beredar di seluruh wilayah negara kita. Disamping itu,
pemerintah juga harus memberikan kebebasan kepada masyarakat dan
instansi-instansi terkait, seperti lembaga-lembaga penelitian dan perguruan
tinggi, untuk ikut mengawasi semua produk pangan yang beredar di masyarakat.
Kesadaran para
pengusaha produk makanan maupun minuman untuk mencantumkan label halal pada
produknya lebih disebabkan pada realitas banyaknya konsumen umat Islam. Masalah
ini yang selanjutnya memunculkan banyak pengusaha yang asal mencantumkan label
halal, tanpa prosedur yang disyaratkan berdasarkan sertifikasi halal yang
dikeluarkan oleh Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan kosmetika-Majelis
Ulama Indonesia (LPPOM-MUI) berdasarkan UU Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan
dan Undang-undang (UU) Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan Konsumen.
Legalisasi Halal yang berupa Sertifikasi Halal terhadap suatu produk pangan
bukan sekedar jaminan terhadap ketentraman konsumen, tetapi juga jaminan bahwa
produknya akan semakin dibeli oleh konsumen.
Kita bersyukur dengan
adanya kesepakatan antara DPR dan pemerintah mengenai perlunya pencantuman
label (labelisasi) halal pada setiap produk pangan yang dikonsumsi masyarakat.
Namun DPR menolak jika label itu dilakukan dalam bentuk stiker (stikerisasi)
halal. Bagi pengusaha yang mencantumkan label halal pada produknya, diwajibkan
untuk memperoleh sertifikasi halal. Sertifikasi itu dikeluarkan oleh lembaga
pemberi sertifikat halal yang telah disahkan oleh Komisi Akreditasi Nasional
(KAN), tetapi karena KAN belum terbentuk, maka sertifikasi halal yang
dikeluarkan MUI (berdasarkan hasil penelitian LPPOM-MUI) dinilai sudah cukup
memadai. Sertifikasi halal itu menyangkut kepercayaan masyarakat. Masyarakat
tidak akan merasa aman dan tentram apabila ada sertifikat halal yang
dikeluarkan oleh suatu lembaga selain MUI.
Aspek halal merupakan
suatu isu yang sangat spesifik dan terkait erat dengan produk pangan. Dengan
pertimbangan bahwa Indonesia adalah negara yang mayoritas penduduk memeluk
agama Islam, maka kehalalan produk menjadi ketentuan yang harus di persyaratkan
baik produk dalam negeri maupun yang berasal dari luar demi menjaga ketentraman
masyarakat.
Apriyatono, A. 2003. Alternatif pengembangan Sistem Sertifikasi Halal.
Indo Halal.com. 19 Februari 2003.
Girindra, A. 2001. Halal Food Conference, IFANCA’s
third conference in Europe.
Grossklaus, D. 1993. Food Hygiene and Consumer
Protection. A Word Wide Future Chalenge. The 11th International Symposium of
The Word Association of Veterinary Hygienist, Bangkok, Thailand.
Holy Qur’an. Version 6.5.(1998).
Makalah “Seminar dan Diklat Daging Halal 2003”.
Upaya Perlindungan Konsumen Terhadap Daging Halal Dalam Perspektif IPTEK, Hukum
dan Sertifikasi Halal Di Era Pasar Global. Program Kerja BEM Fakultas
Peternakan Unibraw Periode 2003-2003
Moerad, B., 2002. Penerapan Jaminan Keamanan Dan
Mutu Produk Pangan Asal Hewan. Pelatihan Penerapan HACCP Mei 2002.
Nasoetion, A.H. 1999. Pengantar ke Filsafat Sains. Litera Antar Nusa.
Sulistyowati, A. 2003.
Dapatkah Konsumen Mempengaruhi Mutu Dan Ketersediaan Pangan di Era Pasar
Global.Wacana ELSPPAT Edisi 27/VI April-Mei 2003.
Swastika, D.K.S., Hadi.P.U.
dan Ilham, N. 2000. Proyeksi
Penawaran dan Permintaan Komoditas Tanaman Pangan: 2000-2020. Puslit Sosial
Ekonomi Pertanian.24p.
Tjahjadi, D. 2003.
Pentingnya Sosialisasi Ketahanan Pangan Di Dalam http://www.
suara pembaruan. Com.
Yasa, A.M. 2003. Menggugat Bahan Haram Dalam Obat. Republika-25April
2003.
.