© 2003 Program Pasca Sarjana IPB                                                                       Posted  3  October 2003

Makalah Kelompok 7

Pengantar Falsafah Sains (PPS702)

Program Pasca Sarjana / S3

Institut Pertanian Bogor

September  2003

 

 

Dosen:

Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng (penanggung jawab)

Prof. Dr. Ir. Zahrial Coto

 Dr Bambang Purwantara

Text Box: PEMBANGUNAN PERTANIAN BERKELANJUTAN
DENGAN SISTEM AGROFORESTRI
 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Oleh:

 

Kelompok 7

(Campur Sari)

 

Sucik Maylinda       D061030041/PTK

Djalal Rosyidi          D061030051/PTK

Anthon Monde        A262030071/DAS

Suhardi                     A262030061/DAS

La Muhuria                                  /AGR

Jusuf Bintoro            F161030021/TEP

Naswir                       F161030061/TEP

Yohanes Setyo         F161030091/TEP

Tavip Ansyori          F161030132/TEP

 


PEMBANGUNAN PERTANIAN BERKELANJUTAN DENGAN SISTEM AGROFORESTRI

 

 

 

1. PENDAHULUAN

 

 

             Penduduk Indonesia semakin bertambah, seiring dengan hal itu, terjadi penyusutan lahan sekitar 50 ribu ha/tahun yang disebabkan oleh keperluan industri dan keperluan non pertanian lainnya (Nasution dan Joyowinoto, 1995). Bertambahnya jumlah penduduk juga menyebabkan peningkatan kebutuhan pangan, sehingga membutuhkan lahan pertanian cukup besar.

            Petani adalah subyek yang paling merasakan dampak dari semua itu sehingga dengan terpaksa memanfaatkan lahan kering di daerah berlereng curam sebagai areal pertanian. Lahan ini tergolong tanah-tanah marginal untuk usahatani tanaman semusim. Kondisi lahan berlereng juga menyebabkan lahan kering ini menjadi rawan erosi sehingga mengakibatkan lahan marginal dan terdegradasi semakin bertambah luas.

            Degradasi lahan termasuk erosi tanah, penurunan tingkat kesuburan tanah, salinisasi, degradasi sumberdaya air, degradasi dan penggundulan hutan, degradasi sumberdaya pengembalaan ternak (pasture) dan menurunnya biodiversity (Young 1984 dan 1997, UNEP, 1995).

            Untuk mewujudkan pertanian berkelanjutan di lahan kering terutama bagian hulu (up land), maka diperlukan sistem penggunaan lahan konservatif dan produktif secara terus menerus, tidak hanya terhadap tanah tetapi juga secara keseluruhan dari sumberdaya alam, termasuk air, hutan dan daerah pengembalaan (pastures) (Young, 1997).

            Menurut Narain dan Grewal (1994), Nair 1989), Muthoo and Chipeta (1991), agroforestri  berpotensi sebagai suatu upaya konservasi tanah dan air, serta menjamin keberlanjutan produksi pangan, bahan bakar, pakan ternak maupun hasil kayu, khususnya dari lahan-lahan marginal dan terdegradasi. Agroforestri merupakan nama kolektif bagi sistem-sistem dan teknologi penggunaan lahan yang sesuai diterapkan pada lahan-lahan pertanian beresiko tinggi tehadap erosi, terdegradasi, dan lahan-lahan marginal. Sistem ini merupakan salah satu praktek pertanian konservatif dan produktif, yang telah diterapkan dan dikembangkan oleh petani di daerah tropika termasuk Indonesia, dimana kemampuan pohon-pohon untuk tumbuh pada kondisi iklim dan tanah yang kurang menguntungkan. Sistem tersebut memiliki potensi  konservasi tanah dan air, serta perbaikan bagi tanah-tanah marginal di daerah tropis, subtropis, humid, semiarid, dan berlereng. Seperti halnya sistem indigenous dimana pohon-pohon sulit untuk tumbuh dan kemampuan regenerasi tanah sangat rendah (Cooper et al, 1996).

 

 

 

2.                     PENGELOLAAN LAHAN BERKELANJUTAN  MELALUI AGROFORESTRI PADA LAHAN TERDEGRADASI

 

A.     Kesuburan Tanah dan Degradasi Lahan

 

            Kesuburan tanah adalah kemampuan tanah untuk mendukung pertumbuhan tanaman, pada kondisi iklim dan lingkungan yang sesuai. Untuk mempertahankan produksi  tetap lestari, maka cara untuk memelihara atau mempertahankan kesuburan adalah dengan memciptakan penggunaan lahan dalam kondisi ekosistem alami (Barrow, 1991). Dimana pengusahaan pertanian intensif secara monokultur yang menerapkan berbagai teknologi high-input pada areal yang lebih subur, telah mengakibatkan lahan marginal semakin luas (Reijntjes, 1999).

            Bentuk-bentuk degradasi lahan antara lain: degradasi secara fisik (erosi tanah, baik oleh air ataupun angin), kimia (kemasaman tinggi dan penurunan kandungan unsur hara); dan biologi (penurunan kandungan bahan organik tanah dan aktivitas biologi tanah), salinisasi dan pencemaran tanah (Young, 1997). Degradasi lahan adalah masalah penggunaan tanah secara inherent yang mempunyai kesuburan rendah atau mempunyai potensi relatif rendah  sehingga disebut juga sebagai lahan “fragile” atau “marginal”. Oleh karena itu, lahan marginal dan terdegradai adalah lahan yang dicirikan oleh tanah dengan status hara dan kapasitas menahan air sangat rendah, dan telah mengalami kerusakan serta kehilangan fungsi hidrologi dan ekonomi (Barrow, 1991).

            Perubahan lingkungan daerah tropika berkaitan erat dengan pembukaan hutam, terjadinya pergeseran lahan pertanian ke daerah tengah dan hulu dengan kemiringan lahan lebih curam dan beresiko tinggi terhadap erosi. Degradasi lahan dan perluasan lahan kritis. Permasalahan tersebut mendorong munculnya upaya untuk mengenali dan mengembangkan sistem agroforestri yang telah diterapkan petani sejak dulu di daerah tropika,  termasuk di Indonesia.

            Peranan sistem agroforestri sebagai tindakan konservasi tanah untuk menghindari dan mengatasi masalah degradai lahan dan mencapai penggunaan yang berkelanjutan telah diterima secara luas (Cooper et al, 1996).

            Keberlanjutan sistem penggunaan lahan sangat tergantung pada fleksibilitasnya dalam keadaan lingkungan yang terus berubah. Adanya keanekaragaman sumberdaya genetik yang tinggi pada tingkat usahatani akan menunjang fleksibilitas ini (Reijntjes, 1999). Menurut FAO (1995), pertanian berkelanjutan adalah pengelolaan dan konservasi sumberdaya alam yang berorientasi teknologi dan perubahan institusi untuk menjamin tercapainya kebutuhan manusia saat ini dan generasi yang akan datang. Pembangunan berkelanjutan seperti itu akan melindungi sumberdaya lahan, air, tanaman, dan sumberdaya genetik hewan dengan teknologi yang cocok, serta menguntungkan secara ekonomi, dan dapat diterima secara sosial tanpa kerusakan lingkungan.

            Dengan demikian agroforestri merupakan suatu sistem penggunaan lahan yang tepat untuk mendukung pertanian berkelanjutan, karena disamping memiliki konstribusi produksi yang nyata dan beragam, juga fungsi konservatif  terhadap lingkungan dan keadaan sosial sehingga menjamin ekonomi yang lebih luas dan keamanan pangan lebih tinggi (FAO, 1989).

 

B.     Bentuk-Bentuk Agroforestri dalam Pengelolaan Lahan

 

            Klasifikasi sistem agroforestri dengan berbagai sistem penggunaan lahan dapat dilihat pada Tabel 1.

 

Tabel 1. Klasifikasi Sistem Agroforestri (Huxley, 1986; Young 1989; Nair ,1990)

 

Predominantly agrosilvicultural (tree with crops)

 

Rotational

      Shifting cultivation

      Managed tree fallows, including relay intercropping)

      Taungya

Spatial mixed

      Trees on cropland

      Perennial-crop combination

      Multistrata system (agroforests), including forest gardens, home gardens

Spatial zoned

      Boundary planting

      Trees on erosion-control structures

      Windbreaks and shelterbelts (also sylvopastoral)

      Hedgerow intercropping (allev cropping), including tree-row intercropping

      Contour hedgerows

      Biomass transfer (cut-and carry mulching)

 

Predominantly sylvopastoral (trees with pastures and livestock)

     

Spatial mixed

      Trees on pastures (parkland systems)

      Perennial crops with pastures (including orchard)

Spatial zoned

      Hedges and live fences

      Folder banks

Tree predominant (see also taungya)

      Farm and village forestry

      Reclamation agroforestry

      Special components present

      Entomoforestry (tree with insects)

      Aquaforestry (tree with fish)

 

            Sistem agroforestri menggabungkan ilmu kehutanan dan agronomi untuk menciptakan keselarasan antara intensifikasi pertanian dan pelestariaan lingkungan, karena didalamnya terdapat tanaman pertanian bernilai komersial, seperti rempah-rempah dan kopi, juga berpeluang bagi tanaman pangan lainnya. Dengan kombinasi pohon, perdu dan tanaman semusim, akan dapat memelihara kestabilan struktur tanah melalui sistem perakarannya serta tanah menjadi produktif dan konservatif (de Foresta, 2000).

            India dengan variasi iklim, altitude, topografi, tanah, ternak, dan budaya masyarakat seperti halnya Indonesia merupakan daerah adopsi pengembangan agroforestri.  Dengan tradisi, sosial, agama, dan kepercayaan masyarakat tentang penanaman pohon, mengangap hal itu merupakan bagian dari kehidupan mereka, sehingga saat ini dijumpai adanya pohon asam jawa, mangga dan lain-lain yang berumur 100 hingga 500 tahun di seluruh India. Dengan semakin meningkatnya kebutuhan, maka integrasi tanaman hortikultura, kehutanan dan pertanian merupakan solusi utama yang akan memberikan produksi yang beragam.

            Bentuk agroforestri sederhana yang paling banyak dijumpai adalah tumpangsari, \sistem taungnya versi Indonesia yang diwajibkan di areal hutan jati di Jawa. Sistem ini dikembangkan dalam program perhutanan sosial Perum Perhutani. Sistem agroforestri sederhana juga menjadi ciri umum pada pertanian komersil  seperti:  tanaman kopi yang diselingi dengan tanaman dadap untuk naungan tanaman kopi maupun untuk kebutuhan kayu bakar petani. Demikian pula pemanduan pohon kelapa dengan pohon kakao juga semakin banyak dilakukan.

 

 

3.      BEBERAPA KASUS PENGEMBANGAN AGROFORESTRI DI INDONESIA

A. Agroforest Damar di Pesisir Krui

 

            Salah satu bentuk agroforestri di Indonesia yang telah banyak dijumpai sejak berabad-abad yang lalu seperti Repong di pesisir Krui yang dikenal dengan forest Damar. Agroforest Damar di pesisir Krui merupakan salah satu bentuk agroforestri di Indonesia.  Pesisir Krui adalah daerah di tepi Barat Propinsi Lampung, yang terletak di ujung Selatan sisi Barat Pegunungan Bukit Barisan.  Daerah ini terbagi ke dalam tiga Kecamat­an yaitu : Pesisir Selatan, Tengah, dan Utara yang luasnya sekitar 300.000 ha dengan dataran pantai yang melebar dari Utara-Selatan hingga berbukit dan bergunung yang mencapai ketinggian 2.000 m dpl.  Topografi yang sulit dan kesuburan tanah yang relatif rendah menjadi faktor pembatas dalam melakukan intensifikasi pertanian.  Di sepanjang dataran pantai terdapat banyak sawah dan daerah perbukitan didominasi oleh agroforest damar.  Agroforest damar tersebut awalnya berupa ladang padi, kebun kopi rakyat, dan vegetasi sekunder yang secara bertahap berubah menjadi agroforest kompleks yang mirip hutan alam, didominasi pohon penghasil getah damar.

Proses pembentukan agroforest damar secara umum meliputi:

Tahun ke-1 :

Pembukaan dan pembakaran vegetasi petak lahan (hutan rimba, belukar, atau alang-alang), dan penanaman padi pertama, sayuran dan buah-buahan seperti pisang dan pepaya.

Tahun ke-2:

Penanaman padi kedua, dan penanaman kopi diantara padi

Tahun ke-3 sampai 7 atau 8:

Penanaman bibit damar disela tanaman kopi, buah-buahan, penghasil kayu, dll., dan penanaman padi tidak lagi dilakukan. Panen kopi perrtama berlangsung pada tahun ke 4 dengan hasil sekitar 600 kg/ha sampai 3 atau 4 tahun berikutnya, hasilnya menurun menjadi sekitar 100 kg/ha.

Tahun ke-8 sampai 20-25:

Pohon-pohon damar berkembang diantara kopi yang mulai rusak, vegetasi sejunder mulai tumbuh, dan petani mengendalikan pertumbuhannya dengan penyiangan berkala. Buah-buahan (nangka, durian, duku, dll.) dan hasil kayu (kayu bakar, kayu perkakas, kayu bangunan) mulai dipanen seperlunya.

Tahun ke-20 keatas:

Penyadapan pertama getah pohon damar. Keadaan ini dikembangkan terus melalui penanaman kembali rumpang dan penganekaragaman alami.

 

Produksi damar di daerah Krui yang merupakan tanaman utama  dari tahun ketahun meningkat pesat. Pada tahun 1937 produk damar baru sekitar 358 ton dan meningkat menjadi 8.000 ton tahun 1984, kemudian meningkat lagi menjadi 10.000 ton pada tahun 1994.

Di kawasan pesisir Krui umumnya masyarakat membudidayakan tanaman damar.  Total desa didaerah ini 70 desa, namun yang paling banyak terlibat dan menjadi pencaharian  utama dalam produksi damar ini sekitar 46 desa dan sisanya menanaman  hanya sebagai penghasilan sampingan. Hingga saat ini 80% dari total hasil damar indonesia diproduksi atau disuplai dari daerah  pesisir Krui. Pada tahun 1993 nilai pasokan damar daerah ini berkisar RP.6,5 milyar (Dupain, 1994 dalam de Foresta, 2000). Produksi damar rata daerah pesisir Krui pada tahun 1994 disajikan dalam Tabel 14 sebagai berikut

 

Tabel 14. Produksi Damar rata-rata Daerah Krui tahun 1994

 

Kawasan geografis

A

B

C

D

E

Jumlah Desa

20

16

10

14

10

Produksi

Setiap Desa (ton/Thn)

Totaol (ton/Thn)

Prosentase

 

100

2.000

20,6

 

340

5.410

55,9

 

53

530

5,4

 

32

450

4,6

 

131

1.310

13,5

Keterangan: A=Pesisir Uta, B=Pesisir TengahUtara, C=Tengah Selatan, D=Pesisir Selata dan E=Pesisir Selatan Ujung

 

Semua hasil getah damar ini diantar pulaukan ke pulau Jawa  dan sebagian lagi diekspor ke luar negeri. Rantai tata niaga damar relatif sangat sederhana  dan stabil, meskipun tejadi perubahan keagenan dan gangguan pada psar internasional. Rantai tersebut muali petani, pedagang, pedagang pengumpuldi Krui, agen di Bandar Lampung , kemudian ke Jakarta untuk dioleh atau diekspor keluar negeri.

 Dengan adanya usaha agroforestri damar ini telah mengangkat tingkat kesejateraan masyarakat daerah pesisir Krui menjadi pesat. Ini berarti bahwa usahatani dengan sistem agroforesti merupakan salah satu usaha yang dapat dikembang di daerah lain, dengan tetap memperhatikan kesesuaian lahan, jenis tanaman agroforestri yang spesifik dan memiliki nilai jual dan pasar yang pasti.

 

 

B.        Peranan Ternak Dalam Keterpaduan Sistem Agroforestri :

 

Pola integrasi ternak dalam suatu sistem agroforestri atau berintegrasi dengan sub sektor lain rupanya telah ditanggapi dan   mendapat perhatian yang cukup baik dari Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan. Hal ini dapat dilihat dari adanya paket bantuan ternak yang dilaksanakan Proyek Pengembangan Infrastruktur di Areal Perkebunan yang diberikan kepada para petani perkebunan teh rakyat di desa Cisitu, Kecamatan Nyalindung, Kabupaten Sukabumi. Contoh keterpaduan lain  seperti yang telah diprogramkan oleh Departemen Pertanian adalah pola usahatani terpadu dalam bentuk berbagai program seperti Sistem Integrasi Padi -Ternak (SIPT) (Direktorat Pengembangan Peternakan, 2003 2)

Hidayat,  Musofie,  Wardhani,  Prasetyo dan Subagiyo (2000), melaporkan tentang keberhasilan integrasi ternak dengan pertanian di Jogjakarta, melalui penelitian dengan 70 orang petani responden. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa usaha ternak kambing di Desa Jatimulyo berintegrasi tanaman tahunan seperti tanamankopi, cengkih dan kelapa sedangkan usaha ternak kambing di Desa Girikerto berintegrasi dengan tanaman salak pondoh. Untuk Desa Jatimulyo pendapatan yang diperoleh dari usaha tersebut sebesar Rp.2.759.750 per tahun dengan tingkat efisiensi usaha 2,23.   Kontribusi pendapatan yang diberikan dari usahha ternak kambing P.E. di Desa Jatimulyo adalah 59,78 persen sedang tanaman tahunan memberikan kontribusi pendapatan sebesar 40,22 persen dari total pendapatan. Untuk Desa Girikerto pendapatan yang diperoleh dari usaha tersebut sebesar Rp. 3.682.000,-per tahun dengan tingkat efisiensi usaha 2,75. KOntribusi pendapatan yang diberikan usaha ternak kambing P.E di Desa Girikerto adalah 46,71 persen   sedangkan tanaman salak pondoh memberikan kontrribusi pendapatan sebesar 53,29 persen dari total pendapatan.

 


Faktor Pendukung Ternak sebagai bagian dari sistem Agroforestri :

 

1.      Ternak sebagai penyedia pupuk alami yaitu dari kotoran.

            Sumber daya di alam ini dibagi dua bagian besar yaitu (1) bahan yang tidak dapat diperbarui. Di banyak negara, alam dewasa ini telah dieksploitasi dan menghasilkan polusi yang berasal dari perkembangan teknologi.  Minyak yang berasal dari fosil, batubara, telah digunakan dan menyebabkan emisi 50 % gas metan, 97 % Sulfor Dioksida, 88 % Nitrogen Oksida, 50 % carbon oksida dan lebih dari 99 % carbon dioksida. (2). Bahan yang dapat diperbarui, seperti air, dewasa ini merupakan bahan ekonomi yang sangat penting.  Semakin berkembang suatu masyarakat maka kebutuhan air semakin meningkat (International Union for the Conservation of Nature, 1998).  Dalam menunjang ketersediaan sumber daya alam tersebut di atas, vegetasi dan hutan memegang peranan penting.

Pertama bahwa hutan dengan proses fotosintesanya mengubah CO2 menjadi sumber energi dalam tanaman itu sendiri yang juga menjadi bahan makanan bagi mahluk yang mengkonsumsinya, serta O2 yang sangat penting bagi mahluk hidup di bumi. Kedua dengan masih seimbangnya kawasan hutan akan menjadi depot penyimpan cadangan air bagi umat manusia.  Kondisi hutan sendiri akan selalu saling tergantung dengan kondisi tanah, apakah tanah tersebut cukup subur atau tidak.  Gambaran tersebut menunjukkan bahwa dengan pemeliharaan dapat berperan dalam konservasi sumber daya alam.

Untuk kotoran itu sendiri dapat diupayakan suatu teknologi yang bermanfaat meningkatkan manfaatnya.  Hal ini guna mengurangi masalah yang disebabkan oleh kotoran yang mana apabila ditumpuk begitu saja  dapat mencemari air tanah.  Suatu contoh teknologi sederhana yang diterapkan Canadian Environmental Technology Advancement Corporation (2002) dengan teknik liquid-solid separation system pada kotoran babi, yang ternyata dapat mengurangi terutama masalah bau  yang disebabkan oleh kerja bakteri anaerob pada tumpukan kotoran yang di bagian bawah tumpukan. Mekipun dalam contoh tersebut digunakan kotoran babi, untuk kotoran sapi dapat pula diupayakan teknologi sederhana semacam ini.

 

2.      Ternak memanfaatkan tanaman dalam sistem tersebut untuk pakannya.

Berdasarkan program Direktorat Pengemangan Peternakan (2003)1 maka dicontohkan pula pemeliharaan sapi potong di bawah kebun kelapa sawit. Peningkatan produksi daging sapi di dalam negeri saat ini terkendala sehubungan dengan terbatasnya ketersediaan bibit ternak, pakan, lahan tempat usaha, modal dan daya saing. Perkebunan kelapa sawit sangat sesuai untuk kawasan pengembangan ternak ruminansia karena potensial sebagai sumber bahan pakan ternak, tersedianya lahan usaha, infrastruktur, pasar dan modal. Ternak ruminansia seperti sapi potong dan perah, kambing/domba dapat dipelihara di bawah pohon kelapa sawit atau dengan jalan dikandangkan (sistem cut-and-curry).

            Berdasarkan perhitungan, setiap satu hektar kebun kelapa sawit dapat memberikan pakan untuk 4 ekor ternak sapi potong. Apabila pada saat ini  terdapat sekitar 4 juta ha lahan kebun kelapa sawit di seluruh Indonesia maka potensi yang dapat dikembangkan dapat mencapai 16 juta ekor. Kalau saja hanya sepertiga dari potensi ini yang dapat direalisasikan maka akan ada tambahan sekitar 5 juta ekor ternak sapi potong. Tentu hal ini merupakan potensi yang tidak boleh dianggap kecil, terutama dalam upaya memenuhi peningkatan kebutuhan daging sapi setiap tahunnya dan sekaligus mendukung program kecukupan daging 2005 (Direktorat Pengembangan Peternakan (2003)1.

 

3.      Ternak dapat berfungsi sebagai tabungan bagi petani yang dapat menjadi sumber uang kontan di kala petani membutuhkan uang. 

Hal ini dapat dijadikan penekanan mengingat kegagalan konservasi lahan dengan cara reboisasi umumnya juga menyangkut kemiskinan manusianya. 

 

Jenis Ternak sebagai bagian dari sistem Agroforestri

 

Pada prinsipnya semua ternak menghasilkan kotoran yang bermanfaat dalam konservasi tanah, tetapi ternak-ternak tertentu mempunyai beberapa keunggulan apabila dikembangkan di suatu kawasan hutan.  Ternak ruminansia (sapi, kerbau, kambing dan domba) lebih mempunyai keunggulan dibandingkan ternak nonruminansia, sebab kotoran yang dihasilkan cukup banyak dan secara alami ternak ruminansia pemakan hijauan.

Menurut Teleni, Campbell dan Hoffman (1993),  sapi dan kerbau menghasilkan sejumlah besar kotoran per ekor per tahun.  Kotoran tersebut mempunyai nilai ekonomis. (1) Pada beberapa usaha peternakan rakyat, kotoran sapi dikumpulkan dan dijual sebagai pupuk kandang. (2) Pada ternak-ternak yang dilepas, kotoran menumpuk di tanah dan menyebar menjadi pupuk bagi vegetasi di atasnya.  Nilai ekonomisnya, adalah bahwa petani tidak terlalu tergantung pada pupuk kimia, sehingga mengurangi biaya untuk pupuk.

Keuntungan lain dengan pemanfaatan ternak ruminansia, bahwa tidak perlu mencari lahan khusus untuk pemeliharaan sapi/ kerbau.  Dibandingkan ternak nonruminansia, dalam hal mana cukup dapat diperlihara dengan sistem backyard farming.

 

 


4.         KESIMPULAN

 

1.    Lahan marginal dicirikan dengan tanah dengan status hara dan kapasitas menahan air sangat rendah, telah mengalami kerusakan dan kehilangan  fungsi hidrologis maupun ekonomi yang diakibatkan oleh erosi air atau angin, selain itu telah mengalami penurunan status unsur hara, bahan organik, serta aktifitas biologi tanah, terjadi salinitas dan pencemaran

2.    Sistim agroforestri dengan berbagai bentuknya telah terbukti sebagai sistem penggunaan lahan yang cukup ideal dan mampu mengendalikan degradasi lahan akibat erosi air dan angin. Disamping itu secara ekonomi memberikan pendapatan  yang cukup tinggi

3.    Peran agroforestri sebagai salah satu tindakan konservasi tanah dan air  pada lahan marginal kiranya menjadi salah satu pilihan yang dapat mengatasi degradasi lahan dan penggunaan lahan yang bekelanjutan yang telah diterima oleh masyarakat. Sistem agroforestri ini  perlu dikembangkan dan modifikasi pada kondisi iklim dan budaya masyarakat setempat.

 

 


DAFTAR PUSTAKA

 

Arora dan Vishwantham, 1994 agri-horti System for Watershed Management. India 8th International Soil Conservation Confrence. Soil and Water Conservation. Chalenges and Opportunities Vol. 2

Barrow, C.J. 1991. Land Degration: Divelopment and Breakdown of Terrestial Enviroment. Great Britain. Cambridge University Press.

Cooper, P.J.M., Leakey, R.R.B., Rao, M.R and Reynolds, L.  1996. Agroforestri and Mitigation of Land Degradation in the Humid and Sub Humid Trofical of Africa, Experimental Agriculture 32, 249-261.

Canadian Environmental Technology Advancement Corporation. 2002. Technologies Turn Manure into Fertilizer, Energy and Water. Science             and the Environment Bulletin Technologies Turn Manure into             Fertilizer, Energy and Water. htm.

De Foresta, H.A, Kuswono, G. Mechon dan W.A. Djatmiko. 2000.  Ketika Kebun Berupa Jutan. Agroforest Khas Indonesia. Sebuah Sumbangan Masyarakat. International Center for Research in Agroforestry. Bogor, Indonesia.

Direktorat Pengembangan Peternakan, 2003 1. Program Terobosan Pengembangan Peternakan : Integrasi Ternak Dengan Kebun Kelapa Sawit. Media Pengembangan Peternakan. www.bangnak.ditjenak.go.id.

Direktorat Pengembangan  Peternakan, 2003 2 .  Kunjungan Kerja Direktur Pengembangan Peternakan ke Lokasi Kawasan Pengembangan Domba. Media Pengembangan Peternakan. www.bangnak.ditjenak.go.id.

FAO, 1989. Forestry and Food Security.  FAO Forestry Paper 90, FAO, Rome.

FAO, 1995.  Planningfor Sustainable Use of Zland Resources. Toward a New Approach. FAO Land and Water bulletin, FAO, Rome.

Glewal, S.S., Juneja, V.L. and Sing K. 1994.  Conservation and Production Potential of Eucalyptus- Bhabhar Association on an Eroded Soil of Foothil of North India 8th. International Soil Conservation Conference. Soil and Water Conservation Challenges and Opptunities, Vol. 2.

Hidayat, N., A Musofie., N.K. Wardhani, B. Prasetyo, dan Subagiyo. 2000.  Studi efisiensi usaha integrasi ternak kambing P.E dengan tanaman salak pondoh dan tanaman tahunan di agroekosistem lahan kering Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam : Prosiding seminar teknologi pertanian untuk mendukung agribisnis dalam pengembangan ekonomi wilayah dan ketahanan pangan, p. 309-313.

International Union for the Conservation of Nature, 1998. Environment and Ecological Action.

National Network of Protected Area. 1998. Environment and Ecological Action.

Teleni, E., R.S.F. Campbell and D. Hoffman. 1993. Draught Animal Systems and Management : An Indonesian Study. ACIAR Monograph No. 19, p : 94.