© 2003 Abdul Kadir Paloloang Posted
19 October, 2003
Science
Philosophy (PPs 702)
Graduate
Program / S3
Institut
Pertanian Bogor
October 2003
Instructors:
Prof Dr Ir Rudy C
Tarumingkeng (Principal)
Prof Dr Ir Zahrial
Coto
KAJIAN TERHADAP RANCANGAN UNDANG UNDANG SUMBERDAYA
AIR (RUU SA) DALAM RANGKA MEWUJUDKAN KELESTARIAN SUMBERDAYA AIR
A262030051
E-mail: paloloang@yahoo.com
Sumberdaya air merupakan bagian dari kekayaan alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat, secara lestari sebagaimana termaktub dalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945. Ketetapan ini ditegaskan kembali dalam pasal 1 Undang Undang Pokok Agraria tahun 1960 bahwa bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah merupakan kekayaan nasional. Sumberdaya air ini memberikan manfaat serbaguna untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat di segala bidang baik sosial, ekonomi, budaya, politik maupun bidang ketahanan nasional.
Permukaan bumi ditutupi oleh air hampir 70 % tetapi sebagian besar adalah air asin. Total volume air yang terdapat di bumi jumlahnya sekitar 1,4 milyar km3 dan dari jumlah tersebut hanya 2,5 % saja yang berupa air tawar dan hanya kurang dari 1 % volume air tawar yang dapat dikonsumsi karena sebagian besar sisanya berada di dalam tanah yang sangat dalam.
Pada tahun 1977 Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) telah mengadakan konfrensi masalah air. Urgensi diadakannya konfrensi ini mengingat ada beberapa masalah utama yang harus dihadapi dunia yang berkaitan dengan masalah air, terutama dalam menghadapi krisis air abad ke 21 yaitu: (1). kecenderungan dimasa mendatang, dunia akan menghadapi krisis air yang berkepanjangan (2). masalah pencemaran yang memasuki badan air yang semakin meningkat (3). jumlah kebutuhan air yang semakin meningkat setiap saat dan (4). tindakan dan upaya bersama untuk mengatasinya (Suriawiria, 1996).
Menurut Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) wilayah Indonesia memiliki 6% dari persediaan air dunia atau sekitar 21 % persediaan air Asia Pasifik tetapi kelangkaan dan kesulitan mendapatkan air layak pakai menjadi permasalahan yang mulai muncul di banyak tempat dan semakin mendesak dari tahun ketahun. Kecenderungan konsumsi air naik secara eksponensial sedangkan ketersediaan air bersih cenderung melambat akibat kerusakan alam dan pencemaran, yaitu diperkirakan sebesar 15-30 % perkapita pertahun. Dengan demikian di Indonesia dengan jumlah penduduk yang mencapai lebih dari 200 juta, kebutuhan air bersih menjadi semakin mendesak.
Dalam menghadapi ketidakseimbangan antara ketersedian air yang cenderung menurun dan kebutuhan air yang cenderung meningkat sejalan dengan perkembangan jumlah penduduk dan peningkatan aktifitas masyarakat, sumberdaya air harus dikelola, dipelihara, dimanfaatkan, dilindungi dan dijaga kelestariannya dengan memberikan peran yang lebih besar kepada masyarakat dalam setiap tahapan pengelolaan sumberdaya air. Dalam pengelolaan tersebut perlu diarahkan untuk mewujudkan sinergi dan keterpaduan antar wilayah, antar sektor dan antar generasi dalam rangka memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa.
Pada beberapa bulan terakhir ini di beberapa daerah di Indonesia baik melalui pengamatan langsung maupun informasi dari media cetak dan elektronik masyarakat sangat resah karena lahan pertaniannya tidak dapat diolah dan kesulitan mendapatkan air minum akibat kekurangan air (kekeringan) . Jumlah sawah yang puso karena kekeringan sudah lebih 400.000 ha padahal pada musim kemarau tahun-tahun sebelumnya sawah yang puso tidak mencapai 300.000 ha. Hal ini menunjukkan bahwa total hujan tahunan yang masuk ke dalam tanah dan tersimpan sebagai air bawah tanah sudah menurun.
Menurunnya simpanan air bawah tanah tersebut mengakibatkan aliran (base flow) pada musim kemarau menjadi rendah. Aliran yang rendah dari aliran normal sesungguhnya tidak terjadi tiba-tiba tetapi secara perlahan-lahan sejak beberapa tahun terakhir. Penyebab utama terjadinya penurunan pengisian cadangan air bawah tanah adalah menurunnya laju infiltrasi air hujan di daerah tangkapan sungai akibat perubahan penggunaan lahan dari hutan menjadi pertanian atau permukiman serta penggunaan lahan yang lain (Sinukaban, 2003)
Berdasarkan pemikiran-pemikiran tersebut di atas, maka sumberdaya air perlu dikelola secara profesional, sehingga regulasi pengelolaan sumberdaya air perlu disusun agar dapat dijadikan dasar acuan dalam pengelolaannya. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sebagai representasi dari seluruh rakyat Indonesia mempersiapan Undang.Undang Sumberdaya Air yang sampai saat ini masih dalam proses pembahasan.. Rancangan Undang Undang sumberdaya air yang telah dipersiapkan itu di dalamnya terdapat pasal pasal yang membutuhkan analisis yang mendalam.
Bertolak dari pertimbangan tersebut di atas, maka sebagai akademisi perlu memberikan kontribusi pemikiran mendalam berupa kajian terhadap rancangan undang undang itu sehingga hasilnya mendekati kesempurnaan dengan tujuan untuk mewujudkan kelestarian sumberdaya air di bumi Indonesia tercinta.
BEBERAPA PERMASALAHAN
Dalam mengkaji Rancangan Undang-Undang Sumberdaya Air ada beberapa permasalahan dilihat dari berbagai aspek antara lain:
1. Penggunaan Istilah dan Penjelasannya
Pada bab I ketentuan umum pasal 1 ada beberapa istilah yang mengandung
pengertian rancu yaitu daya air. Pada bagian ini dijelaskan bahwa daya
air adalah potensi air yang terkandung dalam air dan atau pada sumber air
yang dapat memberikan manfaat bagi kehidupan dan penghidupan manusia. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan tahun 1996 daya berarti kekuatan atau tenaga yang
menyebabkan sesuatu bergerak sehingga tidak relevan kalau menggunakan istilah daya
air oleh sebab itu sebaiknya diganti dengan potensi air karena potensi
dalam KBBI berarti kemampuan yang mempunyai kemungkinan untuk dikembangkan
sehingga redaksinya akan beubah menjadi potensi
air adalah semua yang terkandung dalam
air dan atau pada sumber air yang dapat memberikan manfaat bagi kehidupan dan
penghidupan manusia.
Pada penjelasan pengelolaan sumberdaya air (pasal 1 ayat 7) perlu
ditambahkan kata inventarisasi. Penambahan
ini penting karena kegiatan pengelolaan sumberdaya alam tidak langsung dengan
perencanaan tetapi diawali dengan kegiatan inventarisasi sebagaimana yang
termaktub dalam rancangan undang undang sumberdaya alam pada bab III pasal
5.
Pada pasal 1 ayat 7 dan ayat 27 memberikan penjelasan yang
berbeda pada istilah yang sama yaitu Pengelolaan Sumberdaya air, dengan
demikian sebaiknya digabung penjelasannya sehingga akan menjadi Pengelolaan
Sumberdaya air adalah upaya menginventarisasi, merencanakan, memantau dan
mengevaluasi penyelenggaraan konservasi sumberdaya air dan pengendalian daya
rusak air yang dilaksanakan suatu institusi yang diberi wewenang untuk
melaksanakan pengelolaan sumberdaya air
Pada
ketentuan umum pasal 1 perlu ditambahkan satu ayat mengenai pengertian Daerah
Aliran Sungai hal ini dimaksudkan agar semua pihak memahami secara filosofi
pengertian daerah aliran sungai.
Pada pasal 21 terdapat istilah Pengawetan Air hal ini
sebaiknya diganti dengan Konservasi Air karena kegiatan yang diuraikan pada pengawetan air sesungguhnya adalah
kegiatan konservasi dan kata pengawetan berkonotasi seolah olah air tidak bisa
dimanfaatkan sebagaimana halnya pelestarian benda purbakala
2. Pasal-Pasal yang
Substansial
Setelah menelaah secara mendalam pasal demi pasal yang termuat dalam
Rancanagn Undang Undang Sumberdaya Air,
maka pasal yang perlu dicermati secara mendalam adalah pasal 7, 8 dan 9
mengenai hak guna air. Implikasi dari pasal ini juga telah menjadi
polemik oleh pemerhati lingkungan yang dimuat di beberapa mass media. Adapun bunyi selengkapnya pasal tersebut adalah :
Pasal 7
(1)
Hak
guna air sebagaimana dimaksud pada pasal 6 ayat 3 terdiri dari hak guna pakai
dan hak guna usaha air.
(2)
Hak
guna air hanya dapat disewakan atau diperdagangkan sebagian atau seluruhnya
kepada pihak lain setelah mendapatkan persetujuan dari pejabat yang menerbitkan
izin penggunaan sumberdaya air yang bersangkutan
(3)
Hak
guna air masyarakat hukum adat tetap diakui sepanjang kenyataannya masih ada
dan telah dikukuhkan dengan peraturan daerah setempat
(4)
Ketentuan
mengenai hak guna air, penyewa dan atau pemindahtanganan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), diatur lebih lanjut dalam peraturan
pemerintah
Pasal 8
(1)
Hak
guna air dapat diberikan kepada perorangan, kelompok orang, dan badan sosial
untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dan atau kebutuhan lainnya yang
sifatnya bukan komersial
(2)
Hak
guna pakai air yang diberikan kepada perorangan sebagimana dimaksud dalam ayat
(1) tidak diperlukan izin dari pejabat yang bewenang sepanjang tidak
mempertinggi, memperendah permukaan air dan atau membelokan air pada sumber air
(3)
Hak
guna pakai air yang diberikan kepada kelompok orang dan badan sosial
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan izin dari pejabat yang
berwenang .
(4)
Hak
guna pakai air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi hak untuk
mengalirkan air dan atau ketanahnya melalui tanah orang lain yang berbatasan
dengan tanahnya.
Pasal 9
(1)
Hak
guna usaha dapat diberikan kepada perorangan atau badan usaha guna tujuan
komersial dan atau untuk memenuhi kebutuhan usahanya berdasarkan izin dari
pejabat yang berwenang
(2)
Pemegang
hak guna usaha air dapat mengalirkan air yang menjadi haknya di atas tanah
orang lain berdasarkan persetujuan dari pemegang hak atas tanah yang
bersangkutan
(3)
Persetujuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa kesepakatan ganti rugi atau
konpensasi.
Hak guna air yang disebutkan pada pasal-pasal tersebut di atas menjadi 2
(dua) kategori, yaitu hak guna pakai air dan hak guna usaha. Hak guna pakai air adalah hak penggunaan air
untuk kebutuhan pokok sehari-hari atau nonkomersial, sementara hak guna usaha
air adalah hak untuk mengusahakan air bagi tujuan-tujuan komersial. Hal ini
secara eksplisit telah menempatkan air sebagai barang komoditi yang dapat
diperjualbelikan.
Dalam RUU
SA ini juga diperkenalkan sistem kemitraan antara pihak pengelola sumberdaya
air (dalam hal ini adalah pemerintah) dengan pihak swasta. Hal ini dikemudian hari dapat berpotensi
menimbulkan konflik kepentingan (conflict of interest) dimana perusahaan/swasta
yang berorientasi profit diberikan kewenangan untuk melakukan juga
fungsi-fungsi sosial yaitu menyediakan air yang merupakan kebutuhan dasar
manusia dan mahluk hidup lainnya.
RUU SA lebih dipandang pada pendekatan pasar
sehingga memberi peluang swasta untuk berperan seluas-luasnya dalam pengelolaan
air sebagaimana disebutkan pada pasal 10 ayat 3 yang berbunyi penyusunan
pola pengelolaan sumberdaya air sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan
dengan melibatkan seluas-luasnya peran masyarakat dan dunia usaha. Hadipuro
(2003) mengemukakan bahwa dengan dibukanya peluang besar pada swasta untuk
terlibat akan diterapkan prinsip opportunity cost (biaya karena kesempatan
yang hilang). Prinsip tersebut
diterapkan ketika seseorang atau sekelompok orang menggunakan air dengan gratis
atau murah, sementara pada saat bersamaan ada orang atau kelompok lain yang
bersedia membayar lebih untuk menggunakan air, maka kelompok yang pertama akan
dikalahkan kepentingannya. Hal ini sebagaimana terjadi di Waduk Jatiluhur, Jawa
Barat. Air untuk jaringan irigasi bagi
petani dibatasi jumlahnya karena untuk memenuhi kebutuhan suatu industri.
Selain
itu, di dalam RUU SA ini banyak hal yang menyangkut penguasaan air diatur lebih
lanjut dalam peraturan pemerintah. Hal
ini sangat menghawatirkan karena proses penyusunan berbagai aturan akan
dikontrol sepenuhnya oleh pemerintah. Rakyat dan DPR tidak dapat melakukan
pengawasan secara optimal sehingga produk hukum yang dihasilkan cenderung
berpotensi merugikan publik.
Pada pasal 12 juga mempromosikan dibentuknya suatu Dewan Nasional
Sumberdaya Air oleh pemerintah (pusat). Dewan ini berwenang memberikan
rekomendasi kepada Presiden untuk menetapkan suatu wilayah pengelolaan sumberdaya
air yang menjadi dasar bagi penetapan pola pengelolaan sumberdaya air di
wilayah tersebut. Dalam melakukan wewenangnya
dewan ini hanya berkewajiban untuk berkonsultasi kepada pemerintah
daerah atau (tidak berkewajiban
mengkonsultasikan rekomendasi tersebut kepada DPR atau kepada publik ) sehingga
keinginan publik (stake holder) kemungkinan tidak akan terakomodasi.
Pada
bagian lain dari RUU SA ini disebutkan bahwa salah satu sumberdaya air yang
dapat diusahakan adalah air tanah. Bagi pengusaha atau swasta yang orientasi
utamanya adalah profit serta demi keberlanjutan usahanya penggunaan air tanah
merupakan pilihan yang paling disukai sebagai sumber kebutuhan air. Hal ini
berkaitan dengan kenyataan bahwa pada musim kemarau jumlah air permukaan
(sungai, danau, waduk) menyusut drastis dan seringkali diikuti dengan
menurunnya kualitas air sampai pada tingkat tidak layak untuk dikonsumsi. Berbeda dengan gerakan air permukaan,
gerakan air tanah jauh lebih lambat daripada air permukaan sehingga air tanah
yang dapat dimanfaatkan masih tersedia dalam jumlah cukup besar bahkan selama
musim kemarau berlangsung.
Dengan
meningkatnya kebutuhan air baik untuk keperluan industri, pertanian dan
kebutuhan rumah tangga, pengambilan air tanah juga mengalami peningkatan dari
tahun ke tahun. Konsekuensi yang ditimbulkan mulai dirasakan dalam bentuk
penurunan tinggi permukaan air tanah yang pada gilirannya dapat menyebabkan
penurunan permukaan tanah sebagaimana yang terjadi di beberapa kota besar di
Indonesia. Menurut Asdak (1995) peningkatan pengambilan air tanah yang tidak
direncanakan dengan baik dan terutama tidak diikuti dengan usaha-usaha
pencagaran air tanah yang memadai dapat mengakibatkan terjadinya degradasi dan
deplesi sumber-sumber air tanah.
3. Pengelolaan Sumberdaya Air dan Otonomi Daerah
Dalam RUU SA diuraikan bahwa yang termasuk sumberdaya air adalah semua air yang ada di permukaan (sungai, rawa, danau dll), air tanah, air hujan dan air laut yang dimanfaatkan di darat. Sumberdaya air ini semuanya berada dalam Daerah Aliran Sungai (DAS) sehingga mendiskusikan sumberdaya air sesungguhnya identik dengan mendiskusikan DAS karena out put utama DAS adalah hasil air.
Salah satu sumberdaya alam terpenting yang potensial menimbulkan konflik lintas regional dalam pengelolaan DAS adalah air. Air dibutuhkan untuk beragam keperluan dan hampir semua aktifitas manusia dan lingkungannya sangat bergantung kepadanya. Sumberdaya air secara alami bergerak dari satu lokasi dan satu wilayah ke lokasi lainnya. Aliran air menjadi indikator parameter DAS yang menyangkut kuantitas, kualitas dan distribusi air di sepanjang aliran DAS. Penggunaan air oleh suatu wilayah akan mempengaruhi ketersedian sumberdaya tersebut dalam kuantitas dan kualitasnya terhadap wilayah lainnya.
DAS harus dikelola seoptimal mungkin guna memenuhi kebutuhan masyarakat. Masalah pengelolaan DAS dan implikasinya dalam era otonomi daerah menjadi isu yang serius untuk dicermati sejak diberlakukannya Undang Undang No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sebab batas DAS paradoksal dengan batas administrasi suatu daerah otonom sehingga pelaksanaan otonomi daerah berpengaruh terhadap kinerja pengelolaan DAS (Ramdan, Yusran dan Darusman, 2003). Permasalahan ini tidak disinggung secara eksplisit dalam RUU SA, sehingga kedua masalah ini perlu ditelaah dalam rangka penyempurnaan RRU SA.
Suatu DAS dibatasi oleh topografi alami berupa
punggung-punggung bukit/gunung, dimana presipitasi yang jatuh di atasnya
mengalir melalui titik keluar tertentu (outlet) yang akhirnya bermuara ke danau
atau laut. Wilayah DAS terdiri dari komponen sumberdaya biotik, abiotik dan
lingkungan lainnya yang saling berinteraksi membentuk kesatuan ekosistem. Ekosistem DAS sebagai unit
pengelolaan sumberdaya alam terdiri dari sistem fisik, sistem biologis dan
sistem manusia serta masing-masing komponen dalam sistem dan
subsistem-subsistemnya saling berinteraksi.
Wilayah
DAS menjadi integrator beragam interaksi komponen ekosistem, sehingga batas DAS
sering dijadikan batas ekologis. Batas ekologis menjadi sangat penting dalam
pembangunan berkelanjutan yang menjamin fungsi ekologis dan ekonomi. Aliran sungai yang umumnya berada di tengah
wilayah DAS sering dijadikan batas terluar dari batas administrasi daerah
otonom. Oleh karena itu batas DAS bersifat lintas lokal melampaui batas-batas
kekuasaan politis dan administrasi, sehingga masalah DAS menyangkut beberapa
kabupaten dalam satu atau lebih propinsi.
Pengaturan dan pengelolaan SDA dalam DAS dirasakan semakin kompleks
dalam era otonomi daerah dan berpotensi menimbulkan konflik antar daerah otonom
apabila tidak dipahami dengan menyeluruh.
Oleh karena itu strategi pengelolaan DAS secara terpadu, menyeluruh,
fleksibel. efisien dan berkeadilan dalam konteks otonomi daerah diperlukan
untuk menghindari konflik dan degradasi sumberdaya alam dan lingkungan.
Ada
beberapa hambatan yang perlu diatasi dalam perencanaan ekosistem sebagai bagian
dari strategi pengelolaan DAS. Menurut
Kartodiharjo (2003) hambatan-hambatan itu adalah: (1) fragmentasi tanggung
jawab untuk berbagai bagian dari ekosistem diantara berbagai instansi, (2)
ketiadaan pemikiran ekosistem oleh pembuat kebijakan, perencana dan pengguna
sumberdaya, (3) ketiadaan informasi mengenai ekosistem, (4) ketiadaan akuntabilitas dan (5)
ketiadaan penegakan hukum dan aturan.
PENUTUP
Penyusunan RUU SA oleh DPR perlu disambut baik karena merupakan suatu
upaya positif dalam rangka pengelolaan sumberdaya air secara profesional dan
optimal yang pada akhirnya bermuara pada upaya pelestarian sumberdaya air dan
peningkatan kesejahteraan masyarakat bangsa Indonesia. RUU SA itu memang masih terdapat hal-hal
yang substansial yang perlu dikaji secara mendalam tetapi dengan memperhatikan
hierarki perundang-undangan di Indonesia, maka undang undang sumberdaya air
berada pada hierarki atas yang dalam implementasinya masih perlu dibuatkan
perangkat hukum di bawahnya berupa Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden,
Keputusan Menteri, Peraturan Daerah, Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk
Teknis.
Proses pembahasan pada setiap level perundang-undangan
ini masih terbuka kesempatan pada semua
elemen bangsa untuk ikut serta dalam memberikan kontribusi pemikiran karena
pada saat ini adalah era reformasi yang
ditunjang dengan komunikasi dan informasi yang semakin canggih dan intensif,
sehingga aktifitas pengambil kebijakan dapat dipantau oleh publik.
Problema banjir pada saat musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau disebabkan oleh penurunan laju infiltasi air hujan ke dalam lapisan tanah sebagai akibat pemaksaan penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuannya serta tidak diterapkannya kaidah-kaidah konservasi tanah dan air. Olehnya itu untuk tercapainya kelestarian sumberdaya air yang kuantitas, kualitas dan distribusinya merata sepanjang masa, maka undang-undang atau peraturan pemerintah yang mendesak disusun adalah undang-undang atau perturan pemerintah tentang penggunaan lahan. Peraturan pemerintah tentang penggunaan lahan ini sebagai rangkaian dari upaya menindaklanjuti Undang Undang Sumberdaya Air.
Sumberdaya air dapat dikelola oleh suatu badan usaha atau swasta tetapi dalam pengelolaannya khususnya pada aspek penggunaan harus proporsional karena kenyataan menunjukkan bahwa air permukaan (air sungai) cukup banyak yang tidak dikelola secara profesional. Apabila sumberdaya air ini dikelola secara profesional dan penggunaannya proporsional antara kepentingan badan usaha dan kepentingan masyarakat luas, maka akan menambah sumber devisa negara yang pada akhirnya akan bermuara pada kesejahteraan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Asdak, C. 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University Press, Bulaksumur Yogyakarta.
Anonim, 1996. Naskah Akademis Rancangan Undang-Undang Konservasi Tanah dan Air. Departemen Kehutanan, Direktorat Jenderal Rebosasi dan Rehabilitasi Lahan, Jakarta
---------, 2000. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 150
Tahun 2000 Tentang Pengendalian Kerusakan Tanah Untuk Produksi Biomassa. Lembaga Kepresidenan, Jakarta.
---------, 2001. Keputusan Menteri Kehutanan No: 52/Kpts-II/2001 tentang Pedoman Pe-nyelenggaraan Daerah Aliran Sungai. Departemen Kehutanan, Jakarta.
---------, 2003. Pokok Pokok Pikiran Rancangan Peraturan Pemerintah
Tentang Penge-lolaan Air Tanah.
---------, 2003. Konsep Rancangan
Undang Undang Sumberdaya Air (RUU SA). Departe - temen KIMPRASWIL, Jakarta.
---------, 2003. Konsep
Rancangan Undang Undang Sumberdaya Alam (RUU SDA)
Hadipuro, Wijanto. 2003. RUU Sumber Daya Air Harus Ditinjau Ulang. Kompas, Senin, 15 September 2003
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1996. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta.
Murtilaksono, K. 2003.
Bahan Kuliah Kapita Selekta DAS, Pasca Sarjana IPB Bogor
Sinukaban, N. 2003. Kekeringan;
Malapetaka atau Salah Urus. Disampaikan pada di- alog ilmiah Mahasiswa
Program Studi DAS dengan Wartawan dari berbagai Mas media Pada tanggal, 9
September 2003 ,Bogor
Soemarwoto, Otto. 2001. Atur Diri Sendidri, Paradigma Baru Pengelolaan Lingkungan Hidup. Gadjah Mada University Press, Bulaksumur Yogyakarta.
Soeparmono, 2002. Pasokan Air Untuk Permukiman Perkotaan dan Perdesaan. Prosiding Peringatan Hari Air Sedunia 2002 dan Forum Air Indonesia II, Jakarta.
Suriawiria, Unus. 1996. Air Dalam Kehidupan dan Lingkungan Yang Sehat. Alumni/1966/ Bandung.