©  2003 Abd. Qadim HS                                                                     Posted  30 December 2003

Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS702)

Sekolah Pasca Sarjana, Program S3

Institut Pertanian Bogor

Desember 2003

 

 

Dosen :

Prof. Dr. Ir. Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)

Prof. Dr. Ir. Z. Cotto

 

 

 

PERGESERAN NILAI KEAGAMAAN DAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT PETANI

(Suatu Tinjauan dalam Perspektif Filosofi Pembangunan Sektor Pertanian)

 

 

Oleh :

Abd. Qadim HS

Nrp. P062030101

E-mail : Qadim_jember@yahoo.com

 

ABSTRACT

The modernization of agricultural technology in villages promises effectivity, efficiency, and maximum resull in agicultural sector that indonesia was able to be self- sufficient in rice in 1984. it also causes many significant  shifts and changes in the aspect of farmer community’s value and behavior. The shifts and changes,predictably, will result in a new problem that will replace, even completely remove, religious and traditional socio- culltural value and behavior. Those value and behavior have positive as well as negative impact for society and agricultural developmant.

 

PENDAHULUAN

Kebijaksanaan pembangaunan nasional sektor pertanian yang telah berlangsung sejak 1970-an hingga runtuhnya pemerintahan rezim orde baru, tidak hanya meraih banyak kemajuan dan sukses besar, terutama dalam meningkatkan produksi beras, sehingga tercapai swasembada beras pada tahun 1984. Lebih dari itu, di masa-masa akhir pemerintahanya, rezim orde baru juga harus menerima kenyatan pahit, bahwa sukses swasembada beras pada periode 1984 adalah sukses semu (pseudo succes). Pada tahun 1997 hingga tahun 2003 ini untuk mencukupi kebutuhan beras dalam negeri saja, pemerintah harus membuat kebijaksanaan import beras. Betapa sulitnya rakyat mendapatkan beras yang layak secara kuantitas dan kualitas, pada tahun 1997 sampai dengan 2000 tidak hanya memaksa rakyat untuk melakukan antre beras  murah, sesuatu yang tidak pernah mereka lakukan selama ini, tetapi juga menambah beban kerugian bagi para petani sebagai akibat dari kebijaksanaan import beras tersebut. Kebijaksanaan pembangunan sektor pertanian yang mekanis, juga berimplikasi kuat terhadap pergeseran dan perubahan nilai- nilai keagamaan dan sosial budaya masyarakat petani. Pergeseran dan perubahan ini walaupun sangat substantif namun luput dan terabaikan karena tenggelam dalam berita sukses besar pembangunan sektor pertanian dan disusul oleh berita sulitnya rakyat memperoleh beras murah. Sanggat sulit untuk diingkari bahwa realitas menunjukan memang telah, sedang dan akan terus terjadi pergeseran dan perubahan nilai dan prilaku keagamaan dan social budaya masyrarakat petani. Hal tersebut adalah konsekuensi logis dari kebijaksanaan pembanguanan sektor pertanian dan perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi di sektor tersebut.

            Bedasarkan hal tersebut tulisan ini akan mengkaji dan membahas masalah nilai dan peran sosial budaya apa saja yang telah, sedang dan diperkirakan akan mengalami pergeseran dan perubahan ? Kearah mana pergeseran dan perubahan nilai dan perilaku keaagamaan dan sosial budaya m asyarakat petani akan membawa masa depan sektor pertanian di Indonesia dan sebaliknya ? Hal ini mengingat bahwa mayaoritas (85%) dari penduduk Indonesia  menggantungkan harapan hidupnya dari sektore ini dan untuk sebagian besar masih dikelola secara tradisional.

 

NILAI SOSIAL BUDAYA

`Nilai budaya menurut Koentjaraningrat (1985) merupakan konsepsi-konsepsi, yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidupnya. Karena itu system nilai budaya mempunyai fungsi yang sangat menentukan sebagian pedoman tertinggi bagi kelakuan (perbuatan) manusia.

            Alisyahbana (1981) dengan mengikuti model Spranger membagi nilai budaya menjadi 6 (enam) kelompok yakni : (1) Nilai teori yang mendasari perbuatan seseorang atau sekelompok orang atas pertimbangan rasionalitas, (2) Nilai ekonomi yang didasari oleh ada tidaknya keuntungan finansisal dari perbuatanya, (3) Nilai solidaritas atau gotong royang tanpa memikirkan keuntunganya sendiri, (4) Nilai agama yang didasari atas kepercayaan ( kekudusan) bahwa sesuatu itu benar dan suci, (5) Nilai seni ytang dipengaruhi oleh pertimbangan rasa seni dan keindahan, terlepas dari pertimbangan material, (6) Nilai kuasa yang dilandasi atas pertimbangan baik buruknya sesuatu untuk kepentingan diri atau kelompoknya sendiri.

            Lebih lanjut menurut Alisyahbana (1981) bahwa 3 (tiga) nilai  yang pertama diatas masing-masing merupakan lawan yang saling bertentangan dengan 3 (tiga) nilai yang berikutnya. Artinya nilai teori (rasionalitas ) berhadapan dengan nilai agama (kepercayaan), nilai ekonomi (orientasi financial) berhadapan dengan nilai seni yang bebas dari orientasi material, nilai solidaritas atau gotong royong berhadapan dengan nilai kuasa yang cenderung lebih mementingkan kepentingan diri dan kelompoknya sendiri. Pertentangan nilai tersebut mempunyai makna bahwa peningkatan pada salah satu nilai budaya mengakibatkan lunturnya nilai budaya yang lain (lawannya).

            Model klasifikasi nilai diatas selanjutnya akan menjadi bahan rujukan tulisan ini dalam mencermati dan membahas filosofi dan identitas pergeseran nilai dan perilaku keagamaan dan peran sosial budaya masyarakat petani dan serta arah pergeseranya dalam pembangunan sektor pertanian di Indonesia. Tentu saja apa yang tertuang dalam tulisan ini lebih merupakan fenomena yang berlaku umum dimasing-masing daerah di Indonesia, yang dapat disaksikan dan dapt dilihat secara langsung ataupun tidak langsung sejak hadirnya program modernisasi tekhnologi pertanian.

 

PERGESERAN DAN PERUBAHAN NILAI DAN PERILAKU KEAGAMAAM DAN SOSIAL BUDAYA

            Pergeseran dan perubahan nilai dan perilaku keagamaan dan sosial budaya adalah abadi. Hal ini merupakan sifat dasar dari suatu nilai dan perilaku.Dengan kata lain, nilai dan perilaku bukanlah sesuatu yang statis dari generasi ke generasi berikutnya, tetapi terus bergeser dan berubah. Pergeseran dan perubahan tersebut, dapat saja terjadi, misalnya satu atau dua nilai dan perilaku keagamaan dan sosial budaya mengalami peningkatan, sementara yang lainya mengalami pelunturan. Bahkan pada tingkat yang paling ekstrim, susatu nilai dan perilaku dapat hilang sama sekali (punah) kemudian diganti oleh nilai dan perilaku keagamaan dan sosial budaya yang baru sama sekali.

            Walaupun pada tingkat yang paling ekstrim sekalipun terdapat peluang hilangnya suatu nilai dan perilaku, Steward (1978) berpendapat bahwa ini tidak beerarti akan menghapus sama sekali inti budayanya (culture core), dimana setiap masyarakat memiliki inti budayanya masing-masing yang bersifat khas.

            Adanya modernisasi tekhnologi pertanian di satu sisi mengakibatkan naiknya tingkat rasionalitas (nilai tiori), orientasi ekonomi dan nilai kuasa,sementara pada sisi lain modernisasi mengakibatkan lunturnya nilai-nilai kepercayaan (nilai agama), nilai gotong royong (solidaritas) dan nilai seni mengalami komersialisasi. Modernisasi dapat juga menaikan semua nilai budaya yang di uraikan di atas. Kenyataan memperlihatkan bahwa nilai yang sangat dominant mengalami pergeseran adalah naiknya tingkat rasinolitas (nilai tiori), orientasi financial (nilai ekonomi) sebagai dampat kebijaksanaan pembangunan yang lebih memprioritaskan pembangunan ekonomi yang diikuti oleh pesatnya penerapan ilmu dan technologi.

            Pergeseran nilai dan peransosial budaya diatas terjadi, karena modernisasi  menururt Schoorl (1991) tidak sama persis dengan pembangunan. Modernisasi lebih banyak diwarnai oleh gejala perubahan tekhnologi dan berkembangnya ekonomi pasar. Sedangkan pembangunan lebih menitik beratkan pada aadnya perubahan struktur masyarakat.

            Desakan ekonomi pasar, menjadi sangat delematis, ketika tarikan ekonomi pasar yang kuat,menyebabkan para petani tidak lagi dapat mengendalikan nafsunya untuk tetap bertani secara tradisional, sehingga mereka melakukan modernisasi alat-alat (tekhnologi) pertanianya.

            Sukses besar pembangunan sektor pertanian diawali dari diperkenalkanya berbagai macam teknologi baru dibidang pertanian. Teknologi baru tersebut meliputi teknologi biologis (berupa bibit unggul), teknologi biokimia (seperti insektisida dan peptisida),dan teknologi mekanis (seperti mesin perontok gabah, mesin penyosoh beras dan traktor pengolahan lahan pertanian) .

Diterimanya kehadiran tekmologi baru oleh masyarakat petani karema penerapanya diperkirakan mampu meningkatkan penghasilan (panen) sawah/ladang mereka. Hal ini menunjukan bahwa masyarakat petani yang dulunya berpola pikir  sangat sederhana, sabutehe (sebutuhnya), secukupe (secukupnya) dalam mengambil dan mengkonsumsi hasil-hasil sumber daya alam, sebab agama (kepercayaan) turun temurun mengajarkan untuk tidak berlebihan (mubazir), sekarang telah bergeser dan didominasi oleh orientasi ekonomi. Keputusan apapun yang diambil selalu dipertimbangkan secara ekonomis, artinya apakah dengan mengikuti program intensifikasi pertanian misalnya,  penghasilan (panen) mereka akan bertambah, tetap atau malah menurun ?.

            Dahulu, sebelum ada dan diterapkanya teknologi biologis dan teknologi biokimia, mulai dari pembukaan dan pengolahan lahan, menggarap sawah/ladang sampai pada menjelang dan pasca panen, nilai agama (kepercayaan) selalu mendominasi setiap langkah para petani. Kenyataan ini dapat dibuktikan dengan adanya kebiasan para petani yang mencari dan menentukan hari dan bulan baik untuk bercacok tanam dan memanen hasil pertaniannya. Sebelum pelaksanaan panen padi misalnya, di sekeliling sawah/ladang selalu didahului dengan acara do’a dan selamatan bersama agar hasil panenya meningkat dan mendapatkan perlindungan dan berkah dari Tuhan Yang Maha Kuasa .

            Eksistensi nilai agama (kepercayaan) tersebut, setelah hadir dan diterapkanya teknologi biologis dan biokimia, telah bergeser dan bahkan ada yang telah hilang sama sekali diganti oleh nilai-nilai yang bersifat rasional. Wawasan dan cara berfikir mereka menjadi lebih terbuka bahwa meningkatnya hasil panen tidak semata-mata ditentukan oleh dilaksanakanya do’a selamatan disekeliling sawah/ladang,tetapi ditentukan oleh penanaman bibit unggul, cara pengolahan, penggunaan pupuk, pemberantasan hama sampai kepada penanganan pasca panen. Hal ini menunjukan bahwa cara dan tingkat rasionalitas berfikir mereka semakin meningkat dan bertambah maju, sementara nilai-nilai agama  (kepercayaan) makin luntur dan memudar.

            Majunya cara berfikir diatas didukung oleh adanya pelaksanaan program pemerataan pendidikan melalui kejar paket , wajib belajar dan media masa secara pasti mampu mengajak masyarakat untuk berfikir dan bertindak berdasar logika (nilai teori). Artinya baik buruknya sesuatu tidak lagi berdasarkan pada nilai-nilai kepercayaan. Fenomena ini tanpak jelas pada pola tingkah laku mereka  sebagai refleksi dari cara berfikirnya yang telah mengalami pergeseran.

            Bersamaan dengan penerapan berbagai macam teknologi pertanian di perdesaan, pemerintah juga memperkenalkan program pembangunan desa melalui bantuan desa. Pada program ini, pemerintah tidak membenarkan lagi proyek-proyek desa dilaksanakan secara gotong royong tanpa disertai dengan imbalan gaji/upah. Akibatnya, dalam mengerjakan sawah, nilai tolong menolong (gotong royong) pun juga sudah lebih sedikit jika dibandingkan dengan dua atau tiga puluh tahun yang lalu.

            Sebelum adanya program mekanisasi, para petani menggarap sawahnya dengan menggunakan tenaga kerbau atau sapi. Sekarang ;lahan pertanian sudah digarap dengan bantuan mesin (menyewa traktor milik pemodal). Demikian juga dalam pelaksanaan panen yang dulunya banyak melibatkan para tetangga memangterlihat tidak efesien-dengan adanya tresser (mesin perontok padi) penggunaan tenaga manusia menjadi berkurang. Penggunaan alat ini disatu sisi memang menguntungkan, tapi disisi lain pola hubungan antar masyarakat petani, jelas merenggankan kohesi social, dan secara ekologis karena gabahnya tidak ada yang tercecer menyebabkan populasi burung menurun atau bermigrasi ketempat lain. Padahal keberadan burung merupakan salah satu mata rantai makanan dalam suatu ekosistem masyarakat petani.

            Dahulu, nilai gotong royong sangat terasa sekali, jika ada tetangga yang melaksanakan hajatan. Ketika petani mau menanam padi atau kedelai di ladang atau panenan, pasti tidak bayar,  upahnya hanya makan pagi dan siang atau makan kecil. Jadi, kalau ada diantara mereka menanam atau memanen, maka warga yang lainnya ikut gotong royong dan begitu sebaliknya, terjadi semacam barter tenaga. Sekarang keadaanya telah bergeser, kalau mau bercocok tanam atau panenan sudah harus memperhitungkan upah. Bahkan sekarang jika ada gentong dipukul untuk menggotong rumah tetangga, banyak orang yang berfikir praktis,  cukup memberi uang dan tidak udah ikut gotong royong. Persoalanya mengapa hal ini terjadi ?

            Adanya desakan ekonomi pasar yang kuat, memang terlalu sulit dan berat untuk mempertahankan model gotong royong seperti diatas, dan memang tidak harus dipertahankan benar-asal proporsional. Pola pikir praktis dengan hanya memberi uang tanpa mau terlibat gotong royong jelas merupakan pertanda erosi nilai dan munculnya nilai baru yakni indivualisme pada masyarakat perdesaan, Munculnya nilai individualisme  ini terjadi karena semakin terbatasnya kepemilikan tanah yang banyak dikuasai oleh tuan tanah lokal atau masuknya petani berdasi dari kota.

            Jika dahulu yang namanya pekulen itu sampai dilempar orang kampung karena tidak membayar pajak pada pemerintah. Banyak pekulen Yang memiliki sawah 1 Ha – 2 Ha malas menggarapnya, karena kebanyakan tanah, tapi sekarang semua pada lapar tanah, bahkan banyak juga orang kota datang untuk menggusur orang desa untuk memperluas daerah bisnisnya. Dari sini lalu tumbuh benih – benih individualisme di kampung – kampung yang dulu damai dan penuh kekerabatan.

            Benih-benih individualisme di atas banyak dicontohkan oleh orang – orang kampung yang relatif terpelajar. Diantara mereka sekarang banyak membuat pagar tembok sekeliling rumahnya dan ada juga yang membuat dasar lantai rumah yang tinggi, padahal dulu perbuatan ini dianggap angkuh dan dinilai tidak memiliki rasa kebersamaan. Jadi rasa kebersmaan yang dulu ada di kampung, sekarang tidak terlihat lagi, kalau di kota barangkali hal ini dapat dimengerti.

            Dahulu jika ada orang yang hendak bertransmigrasi atau pindah tempat tinggal, itu pasti ditangisi oleh warga kampungnya. Keadaan sekarang sudah berubah, hendak pergi jauh atau mau pindah ke mana, mereka sudah tidak perduli, bahkan merasa bersyukur supaya kampung lebih sepi dan luas. Jadi rasa kegotong – royongan itu bukan saja sudah tererosi, tapi malah lebih sedikit dari sisa yang tererosi itu.

            Fenomena di atas menjadi indikasi bahwa nilai gotong – royong,nilai solidaritas sosial di perdesaan telah menurun tajam, sedangkan nilai kuasa semakin meningkat dan menguat. Penguatan nilai kuasa ini dapat dilihat dari kondisi riil bahwa para petani dipedesaan telah menggunakan kuasanya dalam menggarap sawahnya, memanen padi, menyewa traktor dan dalam berbagai kegiatan lainnya, yang sebelumnya mungkin karena ikatan-ikatan tradisional harus mereka kerjakan dengan mengikutsertakan petani tetangga atau petani sedesanya. Keadaan ini menjadi pertanda yang jelas bahwa masuknya teknologi mekanisasi pertanian memang menguntungkan sekaligus juga menumbuhkan benih – benih individualisme masyarakat petani yang sebelumnya hanya ada sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali.

            Nilai seni di masyarakat-pun mengalami pergeseran ke arah komersialisasi, padahal dulu seni lebih didominasi oleh rasa seni dan keindahan, terlepas dari pertimbangan material. Wayang kulit, wayang golek atau bentuk kesenian rakyat lainnya, kini sudah banyak diberi pesan sponsor, sehingga tidak lagi menghasilkan kesenian yang bermakna dalam memberi kontribusi nilai kepada kehidupan, bahkan dengan adanya pesan – pesan sponsor, nilai kesenian menjadi jelek dan tidak mandiri lagi.

            Dahulu , kesenian ronggeng tidak bayar, habis penen langsung mengadakan pentas ronggeng  dan penonton secara sukarela menyumbang langsung. Tapi ronggeng sekarang sudah pasang tarif, demikian juga dalang. Jadi seni sudah mengalami komersialisasi yang sangat parah, kesenian kampung menjadi tidak asli lagi, karena pola konsumerisme sudah besar dan merambah kemana mana.

            Uraian di atas menggambarkan bahwa memang di masyarakat petani perdesaan telah, sedang dan akan tetap terjadi peningkatan nilai teori (rasionalitas), dan nilai kuasa, semantara nilai agama (kepercayaan), nilai solidaritas (gotong royong)  dan nilai seni mengalami pelunturan dan bahkan dapat hilang sama sekali. Nilai agama (kepercayaan)  jikapun dianggap ada kecanderungan menaik, itu (kemungkinan) lebih bersifat simbolisasi tanpa diikuti oleh internalisasi yang memadai. Walaupun begitu, tidak bearti bahwa ketiga nilai yang terakhir diatas tidak mengalami peningkatan, tetapi peningkatannya lebih lamban dibandingkan dengan nilai yang disebut terlebih dahulu. Bahkan Alisyahbana (1981) memastikan peningkatan nilai ekonomi dan nilai teori (rasinalitas) paling mencolok dibandingkan dengan pergeseran nlai-nilai budaya lainya.

 

MINIMALISASI DAMPAK, HARUS ADA TRANSFORMASI NILAI

            Masyarakat perdesaan-orang kampung- sebetulnya banyak yang tidak mengerti bahwa pembangunan itu untuk siapa, karena terlampau sedikit hasil pembangunan dirasakan oleh orang desa. Modernisasi pertanian, misalnya hasilnya memang dirasakan, tetapi oleh mereka yang awalnya sudah kenyang (kaya), karena mereka punya tanah. Petani yang tanahnya sedikit, apalagi yang tidak punya, kehadiran traktor dan instrumen pertanian modern lainya sama sekali tidak ada artinya.

            Pembangunan yang menyangkut bibit-bibit unggul memang mereka rasakan, tetapi untuk menaikan derajat kehidupan, sama sekali tidak ada perubahan yang mendasar. Petani yang pada tahun 1970-an sebagai derap- buruh upah panenan- sampai sekarang masih sebagai buruh derap. Berbeda dengan para petani yang sejak awal memiliki tanah 1-2 Ha, sekarang relatif  bertambah kaya dan makmur, jadi yang teranggkat bukan lapisan bawahnya.

            Hal tersebut terjadi karena modernisasi yang dibawa kedesa tanpa adanya pertimbangan dan analisa yang matang. Mestinya, modernisasi harus melalui tahapan persiapan sarana pengetahuan lebih dahulu yang sesuai dengan rencana modernisasi. Karena itu perlu disiapkan agar masyarakat di perdesaan memiliki rasa kemandirian- transformasi semangat dan rasa optimis.

            Demikian juga dengan kehadiran traktor dan instrumen pertanian modern lainya. Karena tidak diberi wawasan terlebih dahulu tentang traktor dan instrumen pertanian lainya, untuk 1-2 hari mungkin tidak ada masalah, tetapi untuk sekian bulan berikutnya, bila ada metalnya klok, murnya copot, spuyernya lepas, terpaksa menyerah bulat- bulat kebengkel Cina. Tukang bengkel bilang bayarnya Rp. 100.000,- terpaksa harus membayar Rp. 100.000.-. Jika hal ini terjadi, berarti nilai produktifitas mesin menjadi hilang bahkan bisa menjadi minus. Hal ini bisa saja terjadi, jika sebelumnya tidak ada transformasi nilai atau ilmu penetahuan mengenai hal tersebut.

            Pembangunan sekarang ini semakin menjauhkan jarak antara yang kaya dan yang miskin. Petani kaya dengan modal 2 Ha tanah semakin enak dan kaya , karena tanahnya disewakan jutaan rupiah pertahun dengan tanpa resiko rugi. Sebaliknya petani miskin bertambah miskin dan susah. Hendak naik gunung saja, sekarang jangankan kayu, daun jati saja sudah tidak boleh diambil, karena sudah dikuasai oleh pemegang HPH dari kota. Akibatnya, petani miskin mati kelaparan di Negaranya yang subur.

            Alternatif pemecahanya, memang perlu dan harus ada transformasi, tapi kendalanya juga cukup banyak. Mengajak unutuk hidup hemat dan sederhana saja sekarang susah, karena tokoh panutan sudah tidak ada lagi yang bisa dijadika contoh, malah mereka ikut mengajak pola hidup yang konsumtif. Para birokrat mulai dari pusat sampai daerah, camat, lurah, tokoh agama dan guru, sekarang sudah hidup diluar batas kemampuan yang sebenarnya. Akibatny, masyarakat perdesaan tidak dapat lagi melihat para priyayinya sebagai contoh panutan dalam hal sopan santun, prilaku halus, makan yang teratur, dan tidak bermuka dua.

            Masyarakat perdesaan ini aslinya produktif dan hemat, tidak konsumtif serta sangat memperhatikan prinsip-prinsip ekologi. Hal ini dapat dilihat dari kebiasaan mereka, ntuk sarapan pagi itu ora ilok ( tabu) sebab dapat merubuhkan lumbung. Dalam hal penggunaan sumber daya alam, menebang bambu pada hari-hari tertentu/selapanan hari (setelah 35 hari) baru boleh menebang bambu, menebang pohon (kayu) setahun sekali, menjala dan memancing ikan tiap hari kamis. Jadi sebetulnya masyarakat desa itu dulunya sangat ekologis, tapi sekarang sudah tidak lagi, karena adanya desakan orientasi ekonomi pasar yang sangat kapitalistik.

            Dalam bidang agribisnis misalnya, itu perlu untuk memanfaatkan lahan- lahan kosong dengan jenis tanaman yang bermanfaat dan produktif untuk dieksport. Tanaman jahe, fanili,  jeruk, dulu kalau kelebihan dibuang, tapi sekarang menjadi barang eksport. Dalam rangka pemberdayaan masyarakat perdesaan, maka proyek agribisnis mestinya harus mengikut sertakan pemanfaatan potensi desa. Jika tidak, orang kota yang mengeksport dan orang kota pula yang menikmati dolarnya, sedangka masyarakat perdesaan tidak dapat apa-apa, kecuali bertambah melarat.

            Oleh karena itu, agribisnis yang baik dan punya dimensi sosial itu, petani tetap memiliki tanah dan mereka yang menggunakanya, semacam sistem bagi hasil. Para pemilik modal boleh masuk untuk menanam jeruk, jahe, panili dan sebagainya. Jadi ada transformasi organisasi dalam hal pengelolaan yang baik dan menguntungkan, ada semacam sindikat atau kelompok-kelompok, dalam artian sindikat yang baik, sehingga mereka mempunyai suara untuk menentukan harga, menentukan srategi jika terjadi over produksi dan juga strategi menghadapi musim kering dan sebagainya. Jika ini dapat berjalan dengan baik, maka ini menjadi titik awal dari tumbuhnya demokrasi dan keadilan distribusi hasil sumber daya alam dan lingkungan (SDAL) di Indonesia.

 

KESIMPULAN

            Dari uraian diatas dapat diambil suatu kesimpulan, bahwa pembangunan sektor pertanian telah membawa pergeseran nilai dan perilaku keagamaan dan sosial budaya masysarakat petani. Hal ini tampak pada semakin meningkatnya orientasi ekonomi dan rasionalitas berpikir masyarakat petani, sementara nilai kepercayaan dan rasa solidaritas, kegotongroyongan terlihat sermakin luntur, bahkan sangat mungkin akan hilang sama sekali.

            Sekalipun demikian, pergeseran nilai dan perilaku keagamaan dan sosial budaya tidak semuanya buruk (negatif). Kecuali sebagai intensitas pelaksanaan pembangunan di satu sisi, pergeseran nilai sosial budaya bahkan- mungkin- menjadi kekuatan pendorong bagi  keberhasilan pembangunan sektor pertanian.

            Pergeseran nilai dan perilaku keagamaan dan sosial budaya juga dapat menjelaskan seperti mengapa partisipasi masyarakat perdesaan dalam kegiatan pembangunan rendah. Partisispasi ini mungkin dapat di tingkatkan dengan menyesuaikan nilai dan perilaku keagamaan dan sosial budaya yang berlaku di masyarakat tersebut.

            Adanya pergeseran nilai dan perilaku keagamaan dan sosial budaya ini juga mengisaratkan kuatnya harapan masyarakat perdesaan untuk menuju perbaikan taraf kehidupan mereka. Oleh karena itu, dalam melakukan program pemberdayaan masytarakat pedesaan, kecuali perlunya perhatian terhadap aspirasi masyarakat yang tercermin dalam nilai dan perilaku keagamaan dan sosial budaya mereka pada saat ini, juga perlu dan harus melakukan transformasi nilai dan ilmu pengetahuan terlebih dahulu yang sesuai dengan modernisasi, sehingga pelaksanaan program pembangunan (pemberdayaan masyarakat pedesaan) dapat mengena pada sasaran yang diinginkan.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Alisyahbana, S.T.,1981,Pembangunan kebudayaan Indonesia di Tengah Laju Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Prisma Nomor 11 Tahun X 1981, LP3ES Jakarta.

Koentjaraningrat, 1985, Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan, Penerbit PT.Gramedia Jakarta.

Schoorl, JW, 1991, Modernisasi: Pengantar Sosiologi Pembangunan Negara-negara Berkembang, Penerbit PT.Gramedia Jakarta.

Steward, J., 1978, Evolution and Ecology;Essys on Social Transformation, University of Illonois Urbanta Press