© 2004  Adhyaksa Dault                                                             Posted  22 January 2004

Makalah  individual

Pengantar Ke Falsafah Sains (PPS702)

Sekolah Pasca Sarjana,   Program S3/TKL

Institut Pertanian Bogor

 

Januari 2004

 

Dosen:

Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng

 

 

NASIONALISME, TRANSISI DEMOKRASI INDONESIA

DAN KRISIS MULTI DIMENSI

 

 

Oleh:

 

Adhyaksa Dault

 

 

Krisis Moral, Krisis Kebangsaan

 

Suatu hari di bulan Agustus 2002, penulis melakukan perjalanan keliling Sumatera, Sulawesi dan Kalimantan. Yang nampak dari udara dan darat adalah jutaan hektar hutan yang gundul, deforestasi massal, kekeringan, serta kebakaran dimana-mana. 

 

Demikian halnya tatkala penulis melakukan perjalanan dari Manado ke Sangihe Talaud. Ratusan penumpang berada dalam kapal ferry yang sudah tidak terawat dan semuanya berebut cepat-cepat sampai ke tujuan, sehingga harus berdesakan dalam satu kapal yang terbatas daya angkutnya. Ratusan penumpang yang tidak memiliki sarana angkutan umum yang memadai itu, hampir setiap hari dengan enak dan santai membuang botol-botol minuman yang mengapung di atas lautan. Hal semacam itu merupakan pemandangan setiap hari di perairan antara Manado – Sangihe Talaud. Tak ada rasa memiliki alam, tak ada kepedulian lingkungan, tak ada perasaan perlunya menjaga kebersihan dan keindahan pantai, serta tak ada rasa kecintaan yang mendalam untuk mensyukuri nikmat Tuhan melalui alam yang telah Ia ciptakan bagi rakyat setempat. Membuang botol-botol minuman dan kotoran lainnya sudah menjadi perilaku yang biasa dilakukan para warga setempat yang bepergian ke Manado – Sangihe Talaud dan sebaliknya. Krisis moral dan krisis sosial-kultural tersebut telah menjadi salah satu indikasi munculnya krisis nasionalisme.

 

Mari kita simak ilustrasi kedua. Pada bulan Maret 1998, ketika mewawancarai manajer cabang sebuah bank milik salah satu konglomerat di Indonesia, seorang peneliti Dr. B. Herry Priyono dari STF Driyarkara, mengajukan pertanyaan yang mungkin terdengar naif: Mengapa kredit macet karena pinjaman perusahaan-perusahaan kelompok begitu luas? Jawabnya kedengaran biasa: ”Kolusi, dan manajer kayak saya tidak bisa mencegahnya. Bahkan para pejabat tak berdaya menghadapi praktek itu, karena uang dapat membeli segalanya”.[1]  Rupanya, makna ”segalanya” di sini berarti peraturan, supervisi dan regulasi. Lebih jauh lagi ”segalanya” juga berarti jabatan, otoritas, bahkan hati nurani. Soal ini bukan gejala baru, melainkan sekedar penjelmaan diktum klasik ”siapa memiliki emas, dialah yang menentukan aturan”. Lantas di manakah moralitas, nasionalisme atau nilai-nilai dan makna semacam itu di kalangan masyarakat kita?

 

Melacak kinerja diktum itu dalam Republik seperti Indonesia tentu tidak mudah. Namun, dari wawancara Dr. Herry Priyono dengan 86 pemilik modal, pelaku bisnis dan pejabat pemerintah, kelugasan pola itu makin tampak. Di dalamnya, satu kejanggalan muncul secara perlahan. Barangkali ada yang tidak beres dalam asumsi ekonomi-politik yang selama ini dipakai. Kita biasa mulai dari pengandaian bahwa kolusi luas dalam relasi bisnis-pemerintah muncul terutama karena dominasi kekuasaan para pejabat negara atas sektor bisnis. Kalau tidak, penyebab diletakkan pada tindakan semau gue mereka. Pengandaian seperti itu bertebaran, misalnya dalam berbagai dokumen Bank Dunia dan IMF tentang korupsi (World Bank 1997). Bukannya pola itu salah, tetapi ada kausalitas empiris sebaliknya yang rupanya lolos dari ”pisau bedah” kita, yakni kebiasaan berburu rente di kalangan elite bisnis dan politik kita.

 

Kasus yang terjadi pada skandal pertanian yang melibatkan 1,7 juta hektar proyek Lahan Gambut Sejuta Hektar di Kalimantan Tengah menjadi contoh lain dari perilaku berburu rente. Proyek itu pertama-tama lahir bukan dari Soeharto atau kabinetnya, melainkan dari upaya pengusaha raksasa untuk mengeruk dana reboisasi dan APBN yang bernilai + US$ 367 juta. Pola semacam juga terjadi dalam berbagai skandal lain, seperti perubahan BRI (Bank Rakyat Indonesia) sejak tahun 1996-1998 dari ”bank rakyat” menjadi ”bank konglomerat”, penggelapan Rp 1 trilyun pajak oleh pengusaha  ST dan DD, dan sebagainya. [2]

 

Dalam basis lebih rutin, uang/fasilitas siluman dalam relasi bisnis-pemerintah juga menggejala bukan hanya karena pemerasan para pejabat terhadap bisnis. Arah sebaliknya juga terjadi. Kelemahan apa yang melekat dalam perspektif tradisional? Mungkin tidak langsung jelas, karena perkaranya menyangkut kelemahan filosofis dalam rupa ketertinggalan cara pandang (epistemic lag). Kondisi baru ekonomi-politik yang ditandai ekspansi kekuasaan bisnis selama beberapa dekade terakhir belum menjadi aksis ontologis (ontological axis) dari refleksi tentang berbagai masalah yang mendera kita. Jika kita hidup di Tembagapura, Timika, dan tidak juga mengenali bahwa yang berkuasa di situ bukanlah Bupati Timika, melainkan PT Freeport, maka apa yang kita pahami (epistemologi) tidak cocok dengan fakta sosio-material yang ada (ontologi). Tanpa kesesuaian keduanya, corak refleksi yang mendasari berbagai pendekatan praktis kita pada banyak masalah akan selalu ketinggalan kereta. Singkatnya, sementara sungai sejarah yang terus mengalir melahirkan berbagai realitas baru, kita ada dalam bahaya  jika masih memakai cara pandang yang itu-itu juga.[3]

 

Sekali kita menerima fakta ekspansi kekuasaan bisnis yang begitu dramatis dalam beberapa dasawarsa ini, dan sekali kita menggagas serius implikasi yang dibawa oleh konsentrasi pemilikan kekuasaan dalam suatu masyarakat, mungkin kita jadi maklum mengapa kita gagap menanggapi tanda-tanda zaman.

 

Kalau pemahaman tradisional punya kelemahan serius, bingkai alternatif apa yang mungkin bisa diajukan? Kita terbiasa memandang ”negara” (state) sebagai biang keladi setiap soal yang memprihatinkan: dari luasnya konsumerisme sampai kondisi buram kaum buruh dan dari luasnya kolusi sampai pencemaran lingkungan. Bukankah asas tunggal cara pandang itu datang dari pengandaian monistik bahwa aparatur negara merupakan pemegang tertinggi kekuasaan di masyarakat? Kalau pengandaian itu tidak lagi selalu benar secara empiris lantaran pergeseran-pergeseran konstelasi kekuasaan dalam sejarah, bukankah bersama itu juga kita membutuhkan pembaharuan  pisau analisa kita?

 

 

Kekuasaan Bisnis: Modal Mengalahkan Moral

 

Paling tidak ada dua pokok mengapa kita perlu menganggap serius ekspansi kekuasaan bisnis sebagai aksis ontologis bagi refleksi kita.  Pertama, sumber dan bentuk kekuasaan atas suatu masyarakat bukan tunggal (monocentrist), melainkan jamak (polycentrist). Kekuasaan finansial pemodal dan stafnya untuk melakukan atau tidak melakukan investasi, membeli keputusan pengadilan atau mendesakkan penggusuran, sama konkritnya dengan kekuasaan presiden untuk mengundangkan peraturan. Karena itu, amat menyesatkan menganggap kinerja kekuasaan hanya sekedar soal otoritas legal-formal aparatur negara. Kekuasaan atas masyarakat tidak terbatas pada kontrol atas institusi negara, tidak juga pada jabatan pemerintahan. Apakah kita masih percaya bahwa pemerintah merupakan penguasa riil atas masyarakat, bila 15 keluarga menguasai 61,7 persen kapitalisasi pasar di Indonesia, dan sedikitnya 71,5 persen perusahaan go public dikuasai oleh keluarga? Ini ditambah lagi dengan skandal BLBI Rp 650 trilyun dan beban utang luar negeri US$ 150 milyar yang membebani rakyat begitu berat. Kedua, kekuasaan bisnis berakar dari kapasitasnya untuk melakukan dan tidak melakukan investasi.

 

Di sinilah kekuatan modal mampu mengalahkan kekuatan moral. Karena itu, nasionalisme tanpa supremasi hukum, rule of law yang tegas, memiliki transparansi, kepastian dan akuntabilitas, hanya akan menjadi nasionalisme yang hampa makna. Hal ini sangat berbeda dengan RRC (Cina) yang dalam proses modernisasi dewasa ini secara tegas memberlakukan law enforcement.

 

Ambillah contoh modernisasi Cina. Cina dewasa ini adalah Cina yang bersolek. Di kota-kota utama terdapat ratusan gedung pencakar langit, taman kota yang luas, jalur pejalan kaki yang teduh dan lebar, transportasi publik dan infrastruktur yang modern tumbuh subur dalam kedipan mata. Cina hari ini memang sedang berlari dan berpesta, jauh meninggalkan tetangga-tetangganya di Asia yang masih lemah tertatih oleh pukulan krisis ekonomi tahun 1997 lalu. [4]

 

Dengan modal pertumbuhan ekonomi tujuh persen yang stabil, kota-kota di Cina serempak membangun, mempercantik diri dan berlomba-lomba mengundang investasi asing. Ini termasuk memanggil secara moral keturunan Cina di seluruh dunia untuk berpartisipasi dalam kehidupan ekonomi di negeri berpenduduk 1,3 milyar ini. Tak heran jika dalam lawatan ke Cina, Presiden Megawati menyiratkan rasa kagetnya akan kemajuan pembangunan di Cina yang sebagian terbaca dari citra fisik kota-kotanya.

 

Cina dewasa ini adalah juga Cina yang kukuh, terutama dalam pemberantasan korupsi. Sejak awal tahun 1980-an ratusan ribu kasus korupsi dibawa kepengadilan. Bulan lalu seorang wakil walikota dihukum mati karena terbukti melakukan kolusi dengan pengusaha-pengusaha yang ia beri kemudahan dalam urusan bisnis. Ia dituding menerima hibah sekitar Rp 2 milyar, sebuah nilai yang ”tak seberapa” untuk ukuran korupsi di Indonesia, yang biasanya dengan banyak alasan berakhir dengan ringannya hukuman atau bebasnya si pelaku.

 

”Sediakan sepuluh peti mati bagi saya kelak!” sumpah Zhu Rongji, Perdana Menteri Cina, dalam satu kesempatan. ”Itu jika di akhir jabatan nanti, saya terbukti melakukan secuil korupsi”. Efek sumpah Zhu Rongji ini memang ampuh bergema di negeri yang sempat dikenal sebagai salah satu negara terkorup di dunia ini. Konsep clean government mulai terasa pada beragam aspek, dengan penerapan kompetisi dan transparansi dalam mekanisme pembangunannya. Inilah nasionalisme Cina. Bandingkan dengan nasionalisme kita yang tak mengindahkan keadilan, law enforcement dan kepastian hukum, melainkan hanya verbalisme belaka dalam pemberantasan KKN!

 

 

Nasionalisme, Pluralitas dan Demokrasi

 

Di luar masalah KKN, masalah pluralisme dan integrasi nasional masih mengemuka. Adalah suatu kenyataan bahwa masyarakat Indonesia terbagi dalam berbagai kesukuan, keagamaan dan kedaerahan. Namun, ketika segmentasi horizontal tersebut berubah menjadi kesadaran sejarah, sistem nilai budaya, pengelompokan sosial dan kepentingan kelompok yang saling berbeda, maka masalahnya menjadi lain, Lebih dari sekedar untuk dapat disebut sebagai kenyataan, melainkan telah menjadi potensi konflik. Tidak mudah mengatasi konflik horizontal, karena pada dasarnya kesukuan, keagamaan dan kedaerahan merupakan faktor yang bersifat tetap (fixed) dan kefaktaan yang membatasi (faclicity).[5]

 

Yang disebut konflik juga tidak linear, seolah-olah hanya terjadi secara antar suku, antar agama dan antar daerah. Dengan pengecualian di Poso dan Maluku yang diwarnai oleh konflik antar agama, tidak demikian halnya yang terjadi di daerah konflik yang lain. Di Aceh yang berpredikat Serambi Mekkah, orang Aceh membunuh dan mengusir orang Islam, hanya karena dia pendatang atau transmigran dari Jawa. Di Kalimantan bukan hanya suku Dayak Kristen yang membunuh dan mengusir  etnis Madura yang seratus persen Muslim, melainkan juga Dayak Melayu yang Muslim ikut berkolaborasi dalam Dayak Raya. Yang paling unik terjadi di Tanah Papua, setelah muncul apa yang disebut dengan Presidium Dewan Papua (PDP) justru konflik menjadi terkendali. Globalisasi konflik-konflik itu memperberat persoalan yang kita hadapi sebagai suatu bangsa. Lagi-lagi nasionalisme dan globalisme menjadi titik temu dalam penghadapan antara kekuatan internasional versus nasional. Celakanya, sebagaimana kita tahu, globalisme telah cenderung merontokkan negara bangsa yang tidak sanggup bersaing dalam percaturan global.

 

Sebenarnya apa yang sedang terjadi di semua daerah konflik selain centang perenangnya peranan pemerintah adalah security treatment yang dengan mudah menjadi armed attack. Kegagalan sistem politik dan pemerintahan dalam penyelenggaraan pembangunan dan keamanan merupakan sejarah masa lalu yang amburadul, dan sejarah masa depan yang sama sekali belum menunjukkan tanda perbaikan yang berarti. Bahkan dalam beberapa kasus, misalnya pembunuhan terhadap Theys H Eluay, pemerintah cenderung gagap, gamang dan kurang percaya diri. Yang pasti sejarah yang melatarbelakangi konflik bukan berpusar pada entitas pluralitas masyarakat, melainkan -pada itu tadi- compang-campingnya sistem politik dan pemerintahan dalam penyelenggaran pembangunan.

 

 

 

Krisis Nasionalisme, Krisis Kebangsaan

 

Petikan pandangan Prof. Dr. A. Syafii Ma’arif, cukup merefleksikan betapa kita mengalami “krisis nasionalisme, krisis kebangsaan”, setidaknya kita mengidap ambivalensi dan ambiguitas tentang nasionalisme yang di masa lalu mampu menggerakkan rakyat untuk mencapai Indonesia merdeka. Bahwa ada kekhawatiran, nasionalisme menjadi usang oleh dominasi kapitalisme dan sebagian akibat formalisme paham kebangsaan oleh era Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru di masa lalu.

 

Dewasa ini, nasionalisme dan nasionalitas di Indonesia menjadi fokus analisis para intelektual di dalam dan luar negeri. Salah satu analis Barat, belum lama ini, Prof Dr. Robert I Rotberg, Direktur Program Konflik Jhon F Kennedy School of Government, Harvard University, AS, menegaskan bahwa krisis multi dimensi di Indonesia membutuhkan solusi yang efektif  dan cepat. Bagi Indonesia, sangat penting memiliki para pemimpin yang kuat, visioner dan legitimate. Ketiganya merupakan suatu keharusan, sebagai conditio sine qua non mengingat Indonesia saat ini berada dalam zona bahaya atau zona merah dari sebuah negara bangsa (nation building) lemah yang bergerak menuju negara yang gagal.[6]

 

Dalam pandangan Rotberg, Indonesia akan selamat dan terlindung dari bahaya menjadi negara bangsa yang gagal, apabila memiliki kepemimpinan yang kuat dan visioner serta ada komitmen untuk membantu Indonesia dalam bidang ekonomi dan rekonstruksi sosial, khususnya dalam upaya penegakan hukum.[7] Rotberg juga berpendapat bahwa Indonesia akan menghadapi masa-masa sulit dalam beberapa tahun mendatang dan memerlukan kepemimpinan yang berbobot dan kuat untuk menghindari terjadinya ”negara gagal dan disintegrasi”.

 

Persoalan yang serius yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini adalah perekonomian yang lemah, gerakan separatisme  Aceh dan Papua, serta konflik sosial. Apabila konflik di Maluku dan Poso tidak segera ditangani dan perlucutan senjata tidak dilakukan, Rotberg khawatir konflik berlatar belakang perbedaan etnis, agama atau bahasa akan berkembang di daerah-daerah lain tanpa sebab yang jelas. Di sini perlunya penguatan pemerintah berdasarkan hukum desentralisasi tanpa perpecahan, sekaligus penguatan nilai-nilai politik secara nasional. Indonesia memiliki keuntungan adanya sentimen nasional yang kuat tetapi sekaligus memiliki sumber-sumber yang potensial menciptakan instabilitas politik atau ekonomi. Oleh karena itu, perlu ada kepemimpinan yang kuat dan visioner.

 

Ada empat kategori negara bangsa yakni negara bangsa yang kuat, lemah, gagal dan runtuh. Fenomena kegagalan negara bukan hal yang baru di dunia. Setelah keruntuhan Uni Soviet, dari jumlah 192 negara yang berada dalam transisi demokrasi, di antaranya banyak yang lemah dan menghadapi bahaya menuju kegagalan. Gagal dan diantaranya telah gagal pada tahun 1990 dan beberapa diantaranya telah runtuh. Sejak periode itu konflik dalam negara sangat banyak terjadi yang mengakibatkan sedikitnya sembilan juta orang tewas dan empat juta menjadi pengungsi di negaranya sendiri. Ini merupakan ancaman bagi tertib dunia. Dalam keadaan sekarang dunia tidak dapat lagi mengambil jarak terhadap kebersamaan  negara yang lemah atau gagal. Kegagalan negara berdampak tidak hanya pada situasi keamanan dan kedamaian di negara bersangkutan, tetapi juga negara-negara tetangga dan tertib dunia secara keseluruhan. Karena itu merupakan sesuatu yang imperatif bagi masyarakat internasional dan organisasi-organisasi multinasional untuk mencegah suatu negara menjadi lemah dan gagal. Kelemahan atau kegagalan negara bangsa, berasal dari faktor-faktor fisik geografis, faktor sejarah akibat kesalahan-kesalahan pada masa kolonial, kebijakan luar negeri atau kesalahan lainnya. Namun, faktor utama kegagalan suatu negara lebih karena faktor manusia. Keputusan-keputusan yang salah dan merusak dari para pemimpin memberikan berkontribusi yang besar terhadap kegagalan negara. Meminjam bahasa Rotberg, indikator negara yang kuat antara lain tingkat keamanan dan kebebasan yang tinggi, perlindungan lingkungan untuk menjadi pertumbuhan ekonomi, sejahtera dan damai, yang kesemuanya bisa dimungkinkan kalau ada pemimpin yang kuat dan didukung rakyat.

 

Sebaliknya negara-negara yang gagal cenderung menghadapi konflik yang berkelanjutan, tidak aman, kekerasan komunal, maupun kekerasan negara sangat tinggi, permusuhan karena etnik agama ataupun bahasa, teror, jalan-jalan atau infrastruktur fisik lainnya dibiarkan rusak. Dari beberapa negara bangsa yang gagal, diantaranya Yugoslavia, Sierra Lione, Sudan[8]  dan Afghanistan[9]. Negara-negara itu tidak memiliki penguasa dan otoritas di dalam batas-batas wilayah negara dan otoritas negara berpindah ke tangan panglima-panglima perang. Seolah rakyat hidup tanpa pemerintahan, tanpa keamanan, tanpa infrastruktur fisik untuk masyarakatnya. Ada sekitar 42 negara di dunia saat ini yang dalam kondisi lemah menuju kegagalan atau runtuh, antara  lain di bekas wilayah Soviet, Balkan,  Afrika, Amerika Latin dan Asia.

 

 

Tentang Pluralisme

 

Ada dua ekstremitas dalam wacana dan strategi tentang pluralitas; di satu segi dipandang sebagai sesuatu yang dengan mudah diikat dalam slogan Bhineka Tunggal Ika, di segi lain dipandang sebagai momok yang perlu diatasi dengan berbagai strategi politisasi. Keduanya meletakkan pluralitas sebagai stigma yang harus ditanggulangi. Kegagalan ekstremitas yang pertama terjadi setelah agak lama Bangsa dan Negara Indonesia hanya mengandalkan pada ideologi dan doktrin dalam mengikat persatuan dan kesatuan NKRI.[10] Saat ini, dalam era reformasi, kita disentakkan oleh kecenderungan dan kenyataan tentang betapa tidak cukupnya segala macam ideologi dan doktrin tersebut.

 

Betapa tidak memadainya BP7 dan Penataran P4 dalam menjawab persoalan kebangsaan dan kenegaraan Indonesia modern dalam abad XXI. Percuma saja kelompok nasionalis kanan dan Oldest Turk menggempitakan ideologi dan doktrin dengan teriakan sekeras apapun teriakan dan setinggi apapun tinju diacungkan, karena dari waktu ke waktu ideologi dan doktrin cenderung mengalami pelapukan. Kebenaran dalam sistem politik dan pemerintahan modern cenderung bersifat nominal-induktif, bukan sakral-deduktif. Pendekatan emperisme dalam politik dan pemerintahan terkait dengan kapasitas dalam penyelenggaraan pembangunan, bukan pada semboyan yang meninabobokan. Realitas politik dan pemerintahan menjadi lebih terkait pada kapabilitas, bukan pada “kharisiria” dan “eskatologia” yang cenderung memanipulasi realitas profan ke dalam sakralisasi yang “arkais”.

 

Kegagalan ekstremitas kedua dalam mengatasi pluralitas berasal dari mereka yang berpikir secara strukturalis, bahwa dalam pluralitas yang ada hanyalah pertentangan, sehingga sukar sekali diupayakan integrasi. Dengan kata lain, integrasi politik dalam masyarakat plural dipandang hanya mungkin diupayakan melalui paksaan (coersive) atas dasar ukuran-ukuran yang sengaja diadakan agar tindakan kursif tersebut tetap legitimate. Pendekatan strukturalisme ini dipergunakan oleh orde baru secara efektif, sehingga meredam perbedaan dalam masyarakat plural tersebut tidak menjadi konflik manifes atau tidak meledak ke permukaan. Yang terjadi selanjutnya telah diketahui, berbagai perbedaan yang ditekan menjadi laten itu akhirnya berubah menjadi magma konflik yang mudah meletus dan memuntahkan lahar konflik yang panas dan membakar apa saja yang dilaluinya.[11]

 

Sebenarnya mengapa pluralitas dipandang sebagai stigma, sehingga perlu tipuan ideologi dan doktrin serta penekanan secara kursif? Jangankan dalam agregat masyarakat, dalam hubungan orang perorang saja perbedaan selalu ada, pun seandainya mereka adalah saudara kembar. Perbedaan mudah meledak dalam konflik ketika keberbedaan ini akan ditunggal-nadakan dalam kerangka otoritarianisme kekuasaan dan sentralisme pemerintahan serta dalam mantra-mantra nasionalisme kanan yang sempit. Dengan demikian, penyebab pertama perpecahan dan konflik bukan semata-mata terletak pada pluralitas-primordial yang ada di masyarakat, melainkan lebih kepada cara-cara penanganannya oleh pemerintah sebagai pemegang kekuasaan autoritatif yang tidak atau kurang tepat. Penanganan yang kurang atau tidak tepat itu memunculkan gelombang reaksi ketidakpuasan masyarakat.

 

 

Demokrasi dan Pembangunan

 

Jika pluralitas telah menjadi kenyataan dalam kehidupan masyarakat (pluralistic society), maka kebutuhan yang segera muncul bukan meredam dan menyembunyikan pluralitas yang ada, atau memaksanya agar menghambur, melainkan memberikan ruang terbuka agar berbagai perbedaan tersebut muncul ke permukaan, berkelindan dan berdialektika secara wajar.[12] Dalam ruang terbuka tersebut berbagai perbedaan dihubungkan oleh garis kolinier yang namanya, sebut saja Demokrasi.

 

Demokrasi bukan saja siap menghadapi perbedaan, karena demokrasi justru memerlukan adanya aspirasi dan kepentingan yang saling berbeda untuk dirujukkan, sehingga berkembang menjadi aspirasi dan kepentingan yang semakin berkualitas. Demokrasi juga tidak perlu menutup diri dari pertentangan, karena pertentangan justru merupakan dinamika dalam dialektika perbedaan. Dengan demikian, jika pluralitas dipandang sebagai sumber dari perbedaan dan pertentangan, maka pluralitas itulah yang justru dicari dan dibutuhkan untuk dijadikan sebagai bahan baku demokrasi. Jika perbedaan dan pertentangan di suatu daerah   meledak   menjadi   konflik   fisik,   hal   ini   merupakan

petunjuk belum beradabnya pranata dan mekanisme demokrasi untuk menampung partisipasi politik masyarakat yang plural tersebut.

 

Sayangnya pranata dan mekanisme demokratis yang beradab (civilized) tidak dapat berjalan sendiri, apalagi harus menjadi lokomotif untuk menarik gerbong budaya, sosial, politik dan ekonomi. Di sini demokrasi bukan sekedar sebagai gejala politik melainkan gejala keberadaban seluruh aspek kehidupan masyarakat, bangsa dan negara secara komprehensif dan holistik. Isu demokrasi di bidang budaya menunjuk pada kefaktaan sistem. Kepercayaan, sistem nilai dan motivasi, adat istiadat dan ekspresi estetik yang bersifat khas, unik dan hanya sama persis dengan dirinya sendiri yang dapat disandingkan, namun tidak perlu dikawinkan, karena tidak mungkin dengan gejala budaya yang lain. Isu demokrasi di level sosial adalah upaya untuk menciptakan wahana pergaulan dan hubungan interaktif antar kelompok masyarakat yang mengacu pada pemenuhan kepentingan bersama dalam kehidupan sehari-hari. Dibidang politik, demokrasi mencoba menganalisasi aspirasi masyarakat sesuai dengan level partisipasinya terhadap kekuasaan, pengambilan keputusan, dukungan massa, yang diperjuangkan melalui lembaga-lembaga agregasi politik, baik partisan maupun non partisan. Sedangkan isu demokrasi dibidang ekonomi secara khusus terkait dengan pemerataan aksessibilitas seluruh lapisan masyarakat terhadap sumber ekonomi, faktor produksi dan kesempatan ekonomi yang bukan tak terbatas tersebut. Pada akhirnya isu kunci demokrasi adalah keadilan bersama (justice) dan pemerataan untuk semua (equality), yang meletakkan musyawarah dan mufakat sekedar sebagai cara dan pendekatan serta upaya pembangunan sebagai lead sector perjuangan demokrasi.

 

Salah terima yang telah menjadi kaprah, pada tahap awal proses demokratisasi adalah diketengahkannya praktek-praktek formal yang lazim berkembang dalam masyarakat dan negara demokrasi yang telah maju dan matured, misalnya melalui lembaga agregasi politik partisan dan non partisan dengan mengedepankan atau tepatnya berpaling dalam cara musyawarah untuk mufakat. Namun tetap saja demokrasi bukanlah upacara kebersamaan dan keterbukaan, sehingga di sektor ini kita belum dapat berharap banyak, bahkan harus siap tertimpa implikasi dari praktek demokrasi yang belum dewasa. Proses demokratisasi adalah proses pembangunan disegala bidang yang meletakkan equality and justice sebagai parameter utama. Dalam proses ini derajat pluralitas masyarakat hanyalah merupakan antecedent variable yang hanya terkait dengan derajat kesulitan pembangunan, bukan independent variable yang membatasi pembangunan. Ini berarti, semakin tinggi derajat pluralitas masyarakat, maka kebutuhan adanya pemerintah yang kuat (strong government) agar mampu menjalankan pembangunan semakin tinggi.

 

 

Ancaman Transisi Demokrasi

 

Bangsa Indonesia yang kini sedang mengalami proses transisi demokrasi, benar-benar sedang berada dalam situasi kritis karena kini kita tepat berada di persimpangan jalan keselamatan atau jalan kehancuran. Bila proses transisi ini tidak dapat kita lalui dengan baik, demikian sosiolog Imam Prasodjo, ancaman yang kita hadapi tidak saja proses disintegrasi bangsa (lepasnya wilayah tertentu dari negara), tetapi yang lebih mengkhawatirkan adalah kemungkinan terjadinya proses disintegrasi sosial atau hancurnya  social bond (kerekatan sosial) dalam masyarakat. Bila social bond hancur, akan tumbuh social distrust (iklim tidak saling mempercayai) di antara kelompok-kelompok sosial, sehingga kelompok satu dengan yang lain dalam masyarakat akan saling curiga, saling bermusuhan atau bahkan saling berupaya meniadakan. Dalam situasi  ini, menurut Imam Prasodjo, tawuran massal gaya Thomas Hobbes, war of all against all, bukan lagi menjadi khayalan.[13]

 

Situasi yang penuh pertentangan diantara masyarakat itu dinamakan state of nature dimana manusia saling bersaing dan berkompetisi tanpa aturan dan ketiadaan hambatan atau restriksi untuk mendapatkan apa yang diinginkannya, bahkan jika perlu membunuh dan penghalalan segala cara lainnya atau paling tidak menguasai orang lain. Pada tataran abstraksi ini, manusia dipandang sebagai serigala yang saling berkelahi untuk mendapatkan kebebasan atau makanan bagi dirinya. Jadi aturan yang adapun hanya dipergunakan agar tidak terjadi tindakan yang mungkin menghancurkan diri sendiri atau dalam bahasa lain “…..Suatu proses untuk memperoleh apa yang kita kehendaki ataupun mengelakkan apa yang tidak kita sukai.” [14] Bagi Hobbes, cara yang paling efektif untuk menghentikan situasi itu adalah dengan menciptakan suatu pemerintahan yang kuat agar mampu melakukan represi dan menegakkan aturan. Sosok pemerintah yang kuat itu digambarkan sebagai Leviathan, makhluk yang menyeramkan dari lautan dan setiap orang menjadi lemah dan takut berhadapan dengannya. Dengan itu, masyarakat dapat ditertibkan dan dikendalikan. Uniknya, sosok itu sendiri dibutuhkan oleh masyarakat yang saling berkelahi itu untuk menciptakan ketertiban. [15] Dalam nada yang lebih positif, John Locke menggambarkan situasi yang mendorong manusia untuk melakukan kesepakatan diantara mereka sendiri untuk mengadakan badan sendiri yang mempunyai kekuasaan politik. Kedua pemikir ini dipandang sebagai peletak dasar teori-teori kontrak sosial yang populer di dalam alam pikiran Barat.

 

Di Indonesia, konflik horizontal dan pertarungan kekuasaan antar elite politik baik yang berkedudukan di lembaga legislatif maupun eksekutif, telah menyeret kehidupan berbangsa dan bernegara kedalam kekalutan, ketegangan dan krisis berkepanjangan. Indonesia sedang mengalami pembusukan (decaying), bukan hanya political decay tapi juga social-economic decay. Modal politik (political capital) hancur berkeping-keping akibat konflik para elite yang terkesan tidak tahu diri dan irasional. Modal ekonomi (economic capital) meleleh akibat ketidakberesan dan ketidakmampuan para pengambil keputusan maupun kepemimpinan nasional dalam mengelola perekonomian, sedangkan modal sosial (social capital) tergerus habis akibat krisis kepercayaan dari masyarakat terhadap para pemimpin nasional yang ada.

 

Indonesia yang dilanda multi krisis dewasa ini memerlukan kepemimpinan nasional yang ikhlas dan komit untuk berkorban dalam semangat jihad (menurut keyakinan Islam) untuk membangkitkan spirit, aktivisme dan intelektualisme beserta segenap sumber daya rakyat dalam menyelamatkan reformasi total yang pada hakekatnya adalah menyelamatkan bangsa dan negara.

 

Para pemimpin generasi tua terbukti telah menyia-nyiakan kesempatan sejarah (historical opportunity) untuk mengimplementasikan enam visi reformasi yang sudah dipertaruhkan jutaan rakyat, mahasiswa dan kaum muda dengan darah dan airmata. Generasi tua ini ternyata sangat lembek, penuh intrik, saling sikut dan sarat pertarungan kepentingan (conflict of interest). Ujungnya adalah perebutan kekuasaan dan uang, dengan cara mendayagunakan ”konstitusionalisme” sebagai senjata legal formal untuk mempertahankan atau menjatuhkan kekuasaan.

 

Orde Baru Soeharto, kita tahu diruntuhkan oleh ”revolusi mahasiswa” pada tahun 1998, namun ternyata masih menyisakan ekses-ekses rezim Orbarian yang mencekam. Indonesia telah dinobatkan Transparency International dan PERC serta lembaga internasional lainnya sebagai negeri KKN dan negara paling korup di dunia. Agenda reformasi ditelikung para politisi, pejabat, pengusaha dan kaum profesional yang sudah mengalami demoralisasi. Sisa-sisa ekses rezim Orbarian terus bertahan: KKN-Kroniisme merajalela, krisis utang yang sudah 100 persen dari Produk Domestik Bruto, beban rekapitalisasi sekitar Rp 144 triliun, Buloggate II, korupsi di Pertamina/Kehutanan dan lain-lain serta beban BLBI Rp 650 triliun, terus merosotnya nilai rupiah, lesunya pasar saham, krisis APBN yang tak kunjung usai, kenaikan harga BBM, tarif listrik, tarif telepon dan pajak serta kenaikan harga-harga menjadi bayang-bayang kelabu bagi bangsa kita. Sementara sejauh ini, supremasi hukum atau kepastian hukum belum ditegakkan pemerintah dan yudikatif dalam upaya menciptakan keadilan, kepercayaan dan harapan.

 

 

Orde Baru, Agama dan Masyarakat

 

Dimasa lalu, sebagai rezim praetorian, Orde Baru memiliki alat kontrol politik yang efektif dengan jaringan intelijennya seperti Kopkamtib, Bakin, BAIS dan Bakorstanas. Dalam pandangan Richard Tanter dan Manuel Kaisepo alat kontrol itu telah menjadi suatu lembaga yang sangat besar dan ditakuti karena kekuasaannya yang nyaris tak terbatas serta melingkupi segala aspek kehidupan masyarakat. Mulai dari usaha bina negara hingga pada persoalan-persoalan personal semacam Keluarga Berencana. Kekuasaannya mencakup mulai dari masalah politik keamanan, partai politik, demonstrasi mahasiswa, perizinan terbit bagi pers, perburuhan hingga ke masalah hubungan seksual warga negara yang diatur dengan juklak (petunjuk pelaksanaan) dan juknis (petunjuk teknis).

 

Dalam periode Orde Baru, Indonesia bukan saja menjadi negara yang mengharapkan warganya loyal pada aturan-aturan dan setia membayar pajak, melainkan mengharapkan semua orang berperilaku dan berpikir seragam, semacam manusia satu dimensi yang tunduk pada logosentrisme Orde Baru. Kejatuhan Orde Baru makin mendorong rakyat meyakini agama sebagai sumber spiritualitas dan moral bagi kehidupan.

 

Maka, tak mengherankan bila di era Reformasi Pasca Orde Baru ini, kekuatan agama itu menjadi penopang partai-partai politik, organisasi massa dan gerakan kemasyarakatan. Partai-partai dan ormas berbasis agama makin marak, masif dan eskalatif dalam memikat massa. Celakanya, partai politik dan organisasi masyarakat berbendera agama itu tidak menjadikan rakyat sebagai insan politik yang beradab, melainkan dijadikan massa kerumunan untuk pertarungan kekuasaan, suatu karakter rezim Orbarian. Kita masih ingat, pasca Memorandum Pertama DPR era Gus Dur, di kalangan Nahdliyin terjadi pembentukan Pasukan Berani Mati dan aksi massa menebangi pohon, yang menunjukkan betapa sedikit banyaknya Nadhlatul Ulama sebagai kekuatan agama, ternyata bisa terpancing emosi sesaat untuk membela pemimpinnya Gus Dur, suatu hal yang semestinya tidak perlu terjadi.

 

Dalam situasi-kondisi dimana demokrasi berkombinasi krisis ekonomi yang rentan dan rawan, pertarungan kekuasaan di kalangan elite politik akan semakin menyeret masyarakat Indonesia yang plural dan primordial ke dalam konflik identitas yang menegangkan. Masyarakat Indonesia praktis telah terseret oleh kekuatan-kekuatan politik yang saling bertarung dewasa ini, ditengah kemenangan kekuatan pasar dalam percaturan global dan nasional. Kekuatan agama yang menjadi landasan gerakan politik dan kultural, pemimpin-pemimpin partai akhirnya saling berhadapan dan terjerumus ke dalam kegagalan untuk memecahkan persoalan-persoalan sosial-ekonomi dan keamanan yang dihadapi rakyat kebanyakan. Agaknya, sejarah Indonesia pasca kolonial adalah sejarah kesinambungan dari kegagalan yang satu, kata Clifford Geertz, menuju kegagalan lain, yang seolah tak tertahankan. Indonesia berubah, demikian halnya dunia, namun perubahan itu kini cenderung menuju ketidakpastian dan ketidakmenentuan yang mencemaskan.

 

Dalam situasi demikian, kekuatan agama, militer dan pasar berinteraksi dan berdialektika dalam suatu ruang politik yang diwarnai persaingan dan kompetisi untuk menentukan corak, karakter dan struktur kehidupan di masa depan.

 

Di Indonesia pasca Orde Baru, kekuatan-kekuatan agama dalam sejarahnya terbukti belum mampu mempersatukan bangsa di dalam kedamaian, keamanan dan kemajuan, terbukti dengan carut-marut konflik SARA di Ambon, Poso dan Kalimantan Tengah. Hal itu terjadi karena Orde Baru melakukan marginalisasi agama dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Kekuatan bisnis dan pemerintah juga tidak mampu membentuk sebuah pasar yang jelas dan memihak kepentingan rakyat. Hal itu disebabkan KKN yang dilakukan penguasa Orde Baru dengan kroninya. Kekuatan militer pasca Orde Baru dalam sejarahnya justru kurang mampu menciptakan stabilitas dan keamanan apalagi kedamaian, meskipun sudah mengarah pada profesionalisme. Kekuatan pasar sebaliknya tidak mampu mempersatukan bangsa kita di dalam globalisasi ekonomi serta tidak mampu menjadi kekuatan pendorong kemajuan yang sangat ampuh (inovasi produk), juga tidak mampu menciptakan kestabilan dan lebih jauh lagi –sebagaimana telah dibuktikan oleh pasar bebas– tidak pernah mampu menciptakan keadilan dan pemerataan.

 

Indonesia di bawah Orde Baru dan Orde Transisi adalah suatu bangsa yang mengalami militerisme (fasisme), ekonomi pasar kapitalisme semu (erzats capitalism) dan kebangkitan sektarianisme agama secara hampir bersamaan. Seperti kata sejarawan Merle C. Ricklefs[16], Indonesia dewasa ini masih mewarisi tradisi legal kolonial Belanda, kekuasaan fasisme Jepang dan feodalisme Mataram. Kesemuanya itu menimbulkan distorsi dan patologi sosial yang tumpang tindih, tali-temali, berkelit-kelit dan menyebarluaskan penderitaan masyarakat.

 

 

Nasionalisme atau Ke-Indonesiaan

 

Nasionalisme atau ke-Indonesiaan kita terancam retak oleh krisis-krisis yang menyeruak: krisis moneter, krisis moral, krisis sosial, krisis politik, krisis kebangsaan dan sebagainya. Nasionalisme kita, sebagaimana kata Benedict Anderson, memang sedang diuji dan dipertanyakan. Masyarakat yang dibayangkan -meminjam wacana Ben Anderson-, mengalami pengaburan karena berbagai krisis dan kesenjangan sosial kultural yang kontraproduktif. Bahkan lebih dari itu, di beberapa daerah tidak hanya dipertanyakan, lebih dari itu, ditolak, tidak dikehendaki. Di wilayah paling barat kita, Aceh-Sabang, ada gerakan Aceh Merdeka. Di wilayah paling timur, Irian-Merauke, ada gerakan Papua Merdeka. Di negeri Melayu yang kaya minyak -tetapi kini mulai antri minyak tanah-  Riau,  tidak hanya

menuntut negara federal, melainkan juga menuntut merdeka melalui Riau Merdeka. Bahkan beberapa waktu yang lalu terdengar berita, ada juga gerakan Deli  dan Minang Merdeka.[17]

 

Kekinian kita yang retak terbelah itu, akan makin nampak jika kita menyebut rangkai-rangkai pertentangan yang saling membunuh -dengan latar agama dan etnik- seperti di Ambon-Maluku, di Ternate, di Poso-Sulawesi Tengah, di Kalimantan Barat dan di Kalimantan Tengah. Retak terbelah itu terjadi justru ketika kita berada di dalam alam merdeka, di dalam Indonesia yang berbentuk Republik Kesatuan.

 

Organski membagi tahap perkembangan nasionalisme menjadi empat tahap. [18] Pertama, tahap perkembangan politik kesatuan nasional primitif. Kedua, tahap perkembangan politik industrialisasi. Ketiga, tahap perkembangan politik kesejahteraan nasional; dan Keempat, tahap perkembangan politik kemakmuran.

 

Realitas politik Indonesia pasca Orde Baru justru menunjukkan adanya pertanyaan kembali tentang identitas bersama yang kita bangun sebagai sebuah bangsa. Masalah integrasi nasional di Indonesia tampaknya belum selesai. Apakah tahapan nasionalisme Organsky dalam prakteknya di Indonesia kini mengalami siklus sehingga kita kembali pada tahap kesatuan nasional primitif?

 

 

Nasionalisme: Kasus Aceh

 

Nasionalisme Indonesia tengah bergumul dengan etno-nasionalisme Aceh dan Papua. Titik temu dan titik pecah untuk sementara merambah jalan sejarah kedua wilayah dalam hubungannya dengan pemerintah pusat di Jakarta. Dalam melihat benih-benih separatisme dan disintegrasi di kedua wilayah itu, James Castle berpendapat otonomi daerah akan membuka peluang bagi solusi atas tuntutan-tuntutan daerah itu sehingga masalah daerah-isme itu bisa dipecahkan.[19] Kecenderungan otonomi daerah, menurut Castle sangat sehat karena akan mengurangi secara tajam larinya orang-orang pandai di daerah ke Jakarta. Sudah tentu otonomi daerah itu memerlukan proses waktu dan sumber daya yang cukup.

 

Dalam konteks ini, isu nasionalitas atas persoalan Aceh, pada akhirnya menjadi tanggung jawab seluruh anak bangsa, untuk menyelesaikan krisis daerah-isme dengan jalan demokrasi.

 

Dalam kasus Aceh, tumbangnya Orde Baru Soeharto yang telah memberlakukan Daerah Operasi Militer (DOM) di provinsi ujung paling barat ini sekitar satu dekade, ternyata membangkitkan kesadaran kuno mengenai kejayaan Aceh di masa lampau, dengan hukum dan demokrasi sebagai pilar bangunan sosial lama yang pernah ditegakkan di Aceh di masa silam, terutama pada masa Kesultanan Aceh dibawah Iskandar Muda. [20] Bangkitnya kesadaran kuno ini tidak terlepas dari realitas ketimpangan kehidupan sosial, ekonomi, politik, budaya dan pembangunan di Aceh. Sebagai contoh, kenyataan yang terdapat di Aceh Utara, rakyat hidup dalam kemiskinan meskipun sudah dibuka lading gas dan minyak bumi di Lhokseumawe. [21] Penghasilan yang didapat dari penjualan empat komoditi ladang minyak mentah, gas alam cair, LPG Propane, dan LPG Butane itu sebesar US$ 45 milyar selama periode 1979-1997. Sementara itu jumlah APBD propinsi Aceh dalam periode tahun yang sama sebesar 6,7 trilyun rupiah. Suatu jumlah yang tidak sebanding.

 

Maka tatkala reformasi Mei 1998 bergerak mengakhiri Orde Baru, rakyat Aceh melihat peluang historis itu sebagai momentum pembebasan dari segala penindasan Orde Baru. Rakyat Aceh menuntut pengadilan HAM atas pelaku kejahatan kemanusiaan di Aceh selama DOM diberlakukan –dan melalui DPR–,  kemudian menuntut pembentukan Pansus Aceh untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM tersebut. 

 

Kalau kita tak ingin krisis Aceh menjadikan ke-Indonesiaan ibarat lilin yang meleleh, maka langkah pertama adalah pendekatan win-win solution harus dicapai antara pemerintah pusat dan rakyat Aceh. Kedua, Langkah itu harus pula mencakup pemenuhan akan keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat Aceh, ini berarti pelanggaran HAM di Aceh sejak DOM sampai era Transisi ini harus diadili. Ini pararel dengan apa yang dikatakan Sydney Jones tentang perlunya Komisi Kebenaran untuk Aceh. Ini berarti suatu dialog, negosiasi, diplomasi dan penyelesaian yang profetik, otentik, damai dan berkelanjutan antara pemerintah pusat dan rakyat Aceh harus diketemukan kembali melalui jalan demokrasi.

 

Untuk memenangkan dukungan rakyat Aceh, maka pengadilan HAM itu merupakan conditio sin quanon dalam upaya merebut simpati rakyat Aceh sekaligus dalam upaya menangkal dan memisahkan gerakan gerilyawan GAM dari rakyat setempat. Perang gerilya GAM bisa menang kalau mendapat dukungan, simpati dan bantuan massa rakyat. Karena itu, tuntutan rakyat Aceh terhadap pengadilan bagi pelaku kejahatan HAM harus dipenuhi, agar rakyat Aceh tetap bergabung dengan RI dan menarik dukungan kepada GAM.

 

 

Krisis Irian Jaya: Daerah-isme Papua

 

Selain di Aceh dan Ambon, gejolak, krisis dan konflik vertikal-horizontal juga marak di Indonesia Timur. Di kawasan Indonesia Timur, gejolak itu identik atau hampir seirama dengan gejolak aspirasi masyarakat Papua Barat (dulu Irian Jaya) dan kerusuhan Maluku. Sudah tentu isu Papua Barat lebih mengemuka akibat gerakan politik dan separatisme model Tom Beanal, mendiang Theys Eluay dan para sejawatnya. Gerakan yang mengaksentuasikan kemerdekaan itu, yang kian nyaring akhir-akhir ini, bukanlah gerakan setengah hati seperti pemberontakan Permesta dan PRRI tahun 1950-an. Gerakan ala RMS (Republik Maluku Selatan), Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan Kongres Rakyat Papua merupakan gerakan separatisme atau neo-nasionalisme yang agresif, meminjam teori Graham Fuller dalam The Breaking of The Nations, yang disebabkan oleh akumulasi kekecewaan dan frustasi berkepanjangan akibat konflik etnis-SARA, pelanggaran HAM, sentralisasi kekuasaan, ketidakadilan dan fasisme-otoriterisme rezim Orde Baru yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Aspirasi rakyat Irian selama ini memang tersumbat terutama akibat sistem yang dibangun dan tindakan-tindakan diskriminatif dari pemerintah. [22] Pendapat rakyat Irian memang berbeda seperti tercermin dalam pendapat tokoh-tokoh Irian yang berdialog dengan Presiden Habibie 26 Februari 1999 dimana paling tidak terdapat dua pendapat pro-otonomi dan pro-kemerdekaan. Namun dalam mensikapi persoalan yang selama ini dialami rakyat Irian, pada dasarnya kedua kubu itu memiliki pandangan yang sama bahwa terdapat kekecewaan terhadap penanganan pemerintah pusat selama ini. [23] 

 

Karena itu, gerakan separatisme OPM dan warga Irian merupakan gerakan sehati-sejiwa-senasib-sepenanggungan yang harus direspon oleh pemerintah dan masyarakat Pusat secara konkrit, adil dan bijaksana. Gerakan warga Irian ini jangan sampai ditanggapi pemerintah dengan sikap setengah hati, karena akan berujung pada disintegrasi. Globalisasi yang kian masif dewasa ini semakin membuka ruang (space) dan peluang (opportunity) bagi gerakan indigenous people dan etno-nasionalisme untuk memberdayakan diri menghadapi dominasi pusat kekuasaan.  Sementara transisi menuju demokrasi yang masih labil membuka kesempatan bagi terjadinya gerakan sentrifugal yang tak diinginkan. Menguatnya gerakan sentrifugal itu menandakan suatu keadaan yang unintended akibat kompleksitas persoalan ekonomi dan sosial cultural yang membuat masyarakat kita terjebak ke dalam apa yang diartikulasikan Vaclav Havel sebagai a state of hidden conflict, dengan Papua Barat sebagai bukti konkritnya.

 

Gerakan separatisme masyarakat Irian tidaklah semata-mata akibat ketidakadilan sosial, pelanggaran HAM dan sentralisasi kekuasaan yang otoriter itu, yang mereka alami di era Orde Lama maupun Orde Baru  Soeharto dan Orde Transisi Habibie. Dalam krisis Papua ini, selain soal-soal tadi, ada faktor lain yang harus diperhitungkan secara cermat dan hati-hati akibat modernisasi dan globalisasi: hilangnya politik identitas masyarakat Papua dan tiadanya kesetaraan dan kebersamaan serta tergerusnya ”common denominator” yang menjadi perekat dan pengikat dalam kehidupan berbangsa bernegara.

 

Dalam hal ihwal ketidakadilan, secara kuantitatif-kualitatif sungguh menusuk perasaan: kekayaan Papua Barat yang diperkirakan mampu menyumbangkan devisa Rp 24 triliun tiap tahun, sebagian besar lari ke pusat. Pendapatan asli daerah yang masuk ke kas untuk tahun 1996-1997 saja hanya Rp 21 miliar. Sedangkan APBD Papua Barat tidak pernah menembus angka Rp 1 triliun. Sementara pajak Freeport hanya satu persen yang masuk ke daerah dari angka sekitar US $ 700-800 juta setiap tahun, itupun baru empat tahun terakhir yang diterima warga Papua Barat. Sebelum krisis ekonomi-politik melanda negeri ini, sekitar 427 ribu jiwa dari 2,3 juta penduduk Papua ini hidup di bawah garis kemiskinan. Akibat krisis ekonomi saat ini, angka kemiskinan di Papua diperkirakan meningkat dua kali lipat. Ketidakadilan ini menyerupai suatu genocide secara ekonomi, yang disadari atau tidak, ternyata telah dilakukan oleh para penguasa di pusat dan perpanjangan tangan kekuasaannya di daerah.[24]

 

Dalam hal ihwal politik identitas, sudah sekitar tiga dekade, politik identitas masyarakat Papua yang berakar, berkarakter dan bercorak khas Papua telah ditindas oleh ”jargon atau ideologi” negara kebangsaan yang abstrak dan otoriter. Sejak Papua Barat (Irian Jaya) resmi menjadi wilayah Indonesia setelah disahkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York tanggal 10 September 1969, jargon atau ideologi negara kebangsaan itu digunakan oleh Pusat untuk membekukan atau menindas identitas konkrit masyarakat setempat. Tiadanya hak politik masyarakat Papua Barat untuk menghayati dan mengaktualisasikan identitas kulturalnya, telah membuat mereka mengalami alienasi, anomi dan anomali secara budaya, sosial dan ekonomi. Konsep dan praksis negara kebangsaan dari Pusat kekuasaan (Jakarta) yang dipaksakan terhadap masyarakat Irian Jaya adalah sebentuk kebangsaan abstrak yang pasti dan jelas yakni kebangsaan yang feodalistik, monolitik, paternalistik dan patrimonialistik.

 

Akibatnya, masyarakat Papua tidak punya ruang dan kesempatan untuk menjadikan dan membentuk diri mereka secara ”setara” bersama-sama dengan suku-suku lain sebagai bangsa yang memiliki kebebasan untuk mengaktualisasikan dan menghayati keragaman kulturalnya dalam bingkai negara bangsa (nation state) Republik Indonesia. Masyarakat provinsi ke-26 di negeri kita itu dianggap oleh para penguasa Pusat sebagai kelompok warga yang terbelakang, kurang berpendidikan dan bermental ketergantungan, karena itu harus diatur, dibimbing, dibina, dibangun (dan dikendalikan) oleh Pusat. Dalam proses penanganan Pusat ini ternyata yang terjadi justru ketidakadilan dan kesewenang-wenangan, yang ditandai dengan kemiskinan material maupun moral. Secara sosial-ekonomi kehidupan mereka tetap sulit, bahkan semakin miskin dan secara moral-etis mereka kehilangan kepercayaan, sumber nilai dan norma yang memberikan makna. Akibatnya, politik identitas kebangsaan Indonesia mereka hilang karena tidak berbasis ranah material dan moral yang cukup. Kehilangan identitas ke-Indonesiaan inilah yang membuat mereka haus akan identitas kultural, seperti yang tercermin dari ekspresi-ekspresi dengan bahasa etnis yang kental: kembali ke jati diri Papua sebagai Ibu Kandung mereka sambil melupakan Indonesia, yang mereka anggap bukan lagi Ibu Pertiwi, melainkan Ibu Tiri.

 

Dalam hal ihwal common denominator yang hilang, sebenarnya masalah ini merupakan ekses dan efek langsung dari krisis politik identitas lantaran kelompok warga Papua itu tidak memiliki lagi rujukan nilai yang pasti, tidak percaya lagi kepada sistem dan aturan main yang disepakati bersama dalam kehidupan berbangsa bernegara di tingkat nasional. Nasionalisme dan Proyek Indonesia, demikian Benedict Anderson, menjadi terancam batal atau bubar justru oleh pelanggaran para penguasa terhadap kesepakatan dan komitmen masa depan yang dicanangkan bersama itu.

 

Selama ini di mata hati masyarakat Papua Barat, common denominator yang memayungi berbagai kepentingan kelompok dalam masyarakat yang majemuk dan menjadi muara bagi bertemunya elemen-elemen bangsa yang pluralistis, hilang akibat regresi politik yang tercermin dari rendahnya sikap kenegarawanan para elite nasional di satu pihak dan menguatnya politik primordial-parokial di pihak lain. Para tokoh dan elite nasional yang muncul dewasa ini dirasakan warga Irian Jaya sebagai kaum elite yang tidak memiliki kedewasaan, kearifan dan sikap kenegarawanan. Buktinya pada pemimpin di pusat lebih memperlihatkan ”perbedaan”, konflik kepentingan dan ketidakkompakan dalam mengelola kehidupan berbangsa bernegara yang terancam disintegrasi dari atas-bawah, samping kanan-kiri, muka-belakang dan horizontal-vertikal.

 

Untuk mempertahankan Irian Jaya dalam pangkuan Indonesia, maka suatu politik identitas ke-Indonesiaan harus diwujudkan dengan membuka peluang dan ruang seluas-luasnya bagi otonomi untuk memungkinkan kesetaraan, aktualisasi dan penghayatan keragaman sosio-kultural masyarakatnya. Identitas politik Indonesia yang pro demokrasi, pluralisme, HAM, toleransi dan keadilan sosial harus diimplementasikan oleh para elite nasional dengan nalar sehat, akal budi dan bahasa yang dapat dipahami oleh kelompok warga Papua yang frustasi, kecewa, terluka dan berang serta meradang-mencari.

 

Pada kurun 1930-an, Soekarno (PNI), juga Hatta dan Sjahrir (PNI Baru), berkali-kali menegaskan bahwa persatuan dan kemerdekaan Indonesia akan tercapai bila perbaikan nasib rakyat banyak, keadilan dan kesetaraan diwujudkan. Tanpa perbaikan nasib rakyat, keadilan dan kesetaraan itu, persatuan hanya akan menjadi persatean sekalipun di bawah kemerdekaan. Pararel dengan artikulasi dan sikap Soekarno, Hatta dan Sjahrir itu, maka dengan perbaikan nasib, kesetaraan dan keadilan sosial yang konkrit, maka kelompok warga Papua akan bisa merasakan identitas tumpah darahnya yang mikro-lokal dalam makrokosmos nasional. Karena itu, otonomi daerah seluasnya atau federalisme, harus dipertimbangkan dan direalisasikan agar negara kebangsaan tidak identik dengan negara penindasan dan penjajahan, yang cepat atau lambat akan memusnahkan politik identitas kelompok-kelompok warganya sendiri, yang justru menopang keberadaan nation state kita selama ini.

 

Deekonomisasi dan depolitisasi masyarakat Irian di era rezim Orde Baru jangan sampai terulang lagi karena pada gilirannya akan melahirkan pemberontakan dengan simbol-simbol kultural dan etnis, suatu gejala disintegratif yang posesif, eksesif dan eskalatif. Di sini alasan-alasan baru bagi keberlanjutan nation state perlu diketemukan karena konsep nation state lama juga sudah usang (obsolete), lagi pula globalisasi cenderung mengubur negara bangsa yang gagal karena nasionalisme palsu yang dikandungnya. Karena itu reinventing alasan-alasan historis, sosiologis dan filosofis bagi berlanjutnya negara bangsa (nation state) harus diupayakan. Kini Indonesia memerlukan tindakan kreatif dan penyegaran di segala bidang kehidupan. Kepemimpinan nasional yang ada sudah waktunya tidak lagi mengulang-ulang kelambanan dan kesalahan, sebab dimensi integrasi nasional, hukum dan keamanan sedang dalam ketidakpastian, bahkan di ujung tombak besi delegitimasi.

 

 

Negara Hukum

 

Sebagaimana Prof. Daniel S. Lev mengungkapkan, sejak Presiden Soeharto meletakkan jabatan hampir empat tahun yang lalu, negara hukum yang dicita-citakan oleh rakyat tak kunjung terwujud meski sudah ada tiga presiden baru. Semua menjanjikan perbaikan atas proses hukum.[25] Di luar pemerintah, dalam suasana yang makin penuh konflik, kekerasan, pembunuhan dan kejengkelan, banyak warga negara ikut berpandangan bahwa Negara Hukum merupakan sine qua non.

 

Memang sine qua non karena tanpa proses hukum yang efektif tidak mungkin diharapkan perbaikan ekonomi, politik, kehidupan sosial dan keadilan. Ternyata, cara pemerintah Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru selama 40 tahun merupakan bencana untuk negara dan masyarakat Indonesia. Boleh dikatakan negara jadi babak belur, penuh korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, pelanggaran hak asasi manusia, tanpa lembaga-lembaga negara yang dapat dipercayai termasuk pengadilan, kejaksaan dan polisi.

 

Anehnya, walaupun semua kalangan bersepakat bahwa sistem  hukum perlu diperhatikan betul, belum ada kemajuan yang banyak menuju negara hukum. Pada tahun 2001, seperti tahun-tahun sebelumnya, ada janji dan beberapa langkah diseputar soal hukum. Undang-undang perlu diloloskan, RUU dipertimbangkan, lembaga-lembaga baru dibentuk, supaya hakim, jaksa dan polisi bertindak semestinya, dan seterusnya. Tetapi belum terlihat perubahan fundamental. Selain pendobrakan sedikit pada Mahkamah Agung –penting tapi masih terlalu sedikit dan tampaknya macet disitu– pengadilan, kejaksaan dan polisi tidak jauh berbeda dengan empat tahun lalu. Di luar pemerintah ada sejumlah advokat yang mampu sekali dan ada juga yang turut aktif sebagai reformis, tetapi profesinya berantakan, dibagi antara beberapa asosiasi yang belum tentu tahu jumlah anggotanya yang tidak mampu mengawasi korupsinya.

 

Daniel Lev pun bertanya: Soalnya apa? Apa sebabnya kehausan warga masyarakat atas negara hukum yang adil tidak dapat dipuaskan?[26] Analisis kebudayaan untuk menjelaskan hal itu tidak mengena karena ada negara hukum yang cukup bagus pada zaman parlementer sebelum tahun 1959. Pada zaman Demokrasi Terpimpin dan lebih lagi pada zaman Orde Baru, negara hukum di Indonesia di kesampingkan oleh negara kekerasan berdasarkan kekuatan militer, yang menghilangkan keseimbangan antara negara serta masyarakat dan memanfaatkan kalangan pimpinan. Jadi, bukan soal kebudayaan, melainkan soal politik. Dan masih saja soal politik.

 

Sejak pertengahan tahun 1998, tidak ada pembaharuan kelembagaan hukum, karena elite politik tidak menginginkannya atau tidak mampu menjalankannya. Ketidakmampuannya berakar pada kepentingan, kalau proses hukum makin kuat, pimpinan politik makin terbatas kekuasaannya. Selama 40 tahun sejak tahun 1959, pimpinan politik menikmati keleluasaan bertindak menurut kemauan sendiri tanpa dikurungi tindakannya oleh pengadilan, kejaksaan, polisi, pers atau organisasi dalam masyarakat. Semua lembaga hukum negara ditundukkan pada pimpinan politik dan dilindungi dari kritik, asal memenuhi alasan politik. Akibatnya para hakim, jaksa dan polisi kehilangan orientasinya pada hukum dan tidak lagi mengelak korupsi.    Yang tidak ikut rakus terpaksa tutup mulut. Norma dan nilai lembaga hukum merosot. Suasana kesempatan itu yang meluas pada semua kelembagaan negara, tidak mungkin hilang begitu saja, apalagi kalau cukup banyak pimpinan politik yang enggan melepaskannya. Di dalam lembaga-lembaga hukum sendiri, antara para hakim, jaksa dan polisi, ditambah lagi banyak advokat, suasana itu masih terasa, sampai yang dari luar dianggap hal yang biasa saja.

 

Penciptaan negara hukum di Indonesia, seperti di Negara lain, kesadaran pimpinan politik bahwa kedudukan (dan keselamatan) mereka sendiri sebagai elite, dapat dijamin oleh stabilitas berdasarkan proses hukum yang dipercaya  umum. Kesadaran itu menuntut kecanggihan sedikit dan imajinasi politik yang luas, seperti yang jadi pegangan generasi pimpinan zaman Demokrasi Parlementer. Apakah mungkin bahwa justru pengertian dan imajinasi politik itu,  dan rasa bertanggung jawab pada masyarakat, yang hilang dari generasi Orde Baru? Pertanyaan itu penting, karena pemulihan negara hukum di Indonesia menuntut pemikiran strategi yang jelas dan hanya muncul dari pandangan ideologis dan imajinasi politik yang berorientasi pada masyarakat yang jarang terlihat pada pemerintah selama empat tahun terakhir.

 

Pentingnya negara hukum itu sendiri sudah Sunnatullah, sebagaimana Hukum Tuhan pada alam ciptaan-Nya, khususnya dalam hal ini alam kemasyarakatan manusia akan tetap berjalan tanpa berubah-ubah, dan akan menerjang siapa saja yang melanggarnya. Maka sekali lagi, menurut ajaran Islam dalam Kitab Suci, jika suatu kelompok yang mampu, apa lagi hidup mewah, dalam masyarakat tidak peduli lagi dengan usaha mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat, maka Allah akan menghancurkannya (QS.17:16). Kemudian kelompok itu akan digantikan oleh kelompok lain yang secara moral dan etis tidak lagi sepeti mereka (QS.47:37). Pandangan pararel dengan kenyataan bahwa di dunia ini yang abadi adalah perubahan itu sendiri, termasuk perubahan elite bangsa dan negara sebagai suatu keniscayaan.

 

Pada akhirnya, nasionalisme dan ke-Indonesiaan kita akan sangat bergantung kepada keberhasilan masyarakat dan para pemimpinnya dalam mewujudkan keadilan, kesejahteraan dan kemanusiaan serta keadaban dan kebersamaan, dan untuk itu terwujudnya negara hukum merupakan condition sine qua non. Tanpa negara hukum yang kuat guna memungkinkan kita melaksanakan clean and good governance, sekaligus menggantikan ”negara kekuasaan” warisan rezim-rezim masa lalu, bisa diramalkan ke-Indonesiaan kita mengalami jalan buntu. Wallahu’alam bishawab.

 

 

***



       [1] B. Herry Priyono, ”Negara Leviathan Baru”, Kompas, 5 April 2002. Untuk uraian lebih lanjut, simak tulisan Herry Priyono di Kompas tersebut, Prospek, 3/1992; FEER, 17/1/1991

 

       [2]  Tempo 1999; Press Release Menko Ekuin, 2 dan 22/11/2000.

 

       [3] B. Herry Priyono, loc.cit.

 

       [4] Kompas, 1 September 2002.

       [5] Samuel Koto, ”Pluralitas Dan Demokrasi”, makalah diskusi mingguan INDEMO Jakarta, 2002. Lihat juga Dr. Anhar Gonggong, ”Indonesia Baru: Perspektif Politik dan Sejarah”, makalah diskusi Prodem (Jaringan aktivis prodemokrasi), Jakarta 13 April 2002.

       [6] Tentang perlunya Indonesia di era Transisi Demokrasi ini memiliki kepemimpinan yang efektif, kuat dan komited, guna membangun sistem yang kuat, demokratis dan menegakkan supremasi hukum, Prof Arief Budiman dalam percakapan dengan penulis di Jakarta (September 2002) juga menyampaikan pandangan dan persepsi yang senada.

 

       [7]  Kompas, 28 Maret 2002.

       [8] Sudan termasuk negara yang berhasil survive di tengah tekanan Amerika dan Barat lainnya. Salah satu alasan mengapa Sudan ditekan adalah keputusannya untuk menerapkan syariat Islam.

 

       [9] Afganistan digagalkan Amerika dan sekutunya dengan alasan perang atas terorisme. Kekuasaan pemerintah pusat dibawah Hamid Karzai menghadapi ancaman serius dari panglima-panglima perang local yang tidak mudah tunduk pada pemerintah.

       [10] Samuel Koto, Ibid.

       [11] Samuel Koto, Ibid.

       [12] Samuel Koto, Ibid.

       [13] Imam B. Pradsodjo, “The End of Indonesia?, Kompas, 20 Desember 2000.

       [14] Lihat Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negeri Barat, (Jakarta: Rajawali Press, 1982), hal. 78.

       [15]  Saya beri kuasa dan saya serahkan hak dan kekuasaan saya untuk memerintah diri saya, kepada orang ini, atau kepada majelis ini, dengan syarat bahwa engkaupun menyerahkan hak dan kekuasaanmu kepadanya, serta memberi kuasa kepadanya dalam semua tindakannya.” Demikian kira-kira pendapat Hobbes seperti dikutip oleh Noer, ibid., hal. 79. Lihat juga Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat. Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan, (Jakarta: Darul Falaah, 1999).

       [16] Merle C. Ricklefs, “A History of Modern Indonesia”, London and Basingstoke: The Macmillan Press Ltd, 1928, hal.225.

       [17] Anhar Gonggong, Indonesia Baru: Perspektif Politik dan Sejarah, makalah untuk Kongres Prodem, Jakarta 13 April 2002.

       [18]  Nasikun, “Pembangunan dan Dinamika Integrasi Nasional dalam Masyarakat Majemuk”, dalam Nasionalisme. Refleksi Kritis Kaum Ilmuwan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 1996), hlm. 3-4.

       [19] James Castle, Menuju Indonesia Baru, (Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 2002).

       [20] Aceh merupakan sebuah kesultanan yang merdeka dan berdaulat dan diakui kedaulatannya oleh Inggris. Dalam perjanjian London (1824) tentang penyerahan kembali Hindia Belanda dari Inggris ke Belanda, terdapat klausul bahwa Aceh merupakan daerah berdaulat dan harus diakui oleh Belanda. Agar Belanda dapat menyatukan seluruh wilayah nusantara dibawah Pax Nerlandica, Belanda meminta Inggris untuk merubah klausul tentang Aceh tersebut dalam perjanjian tahun 1871 (Perjanjian Sumatera). Dua tahun kemudian, Belanda menyerang Aceh.

 

       [21] Data tahun 1993 menyebutkan bahwa Aceh merupakan provinsi yang memiliki desa termiskin terbanyak, yaitu 2.275 desa (40,23 persen) dari jumlah seluruh desa (5.643 desa). Ironisnya, di kabupaten Aceh Utara yang memiliki industri-industri besar terdapat 692 desa miskin, jumlah terbanyak dibandingkan kabupaten lainnya. Lihat Syamsumar Dam dan Eni Budiwanti, “Aceh: Otonomi atau Merdeka?”, dalam Syamsuddin Haris, et.al., Indonesia di Ambang Perpecahan?, (Jakarta: Erlangga, 1999), hal. 52.

       [22] Dhuroruddin Mashad dan Ikrar Nusa Bakti, “Berbagai Faktor Separatisme di Irian Jaya”, dalam ibid., hal. 225.

 

       [23]  Ibid., hal. 225-226.

[24] Herdi Sahrasad, ”Gejolak Papua: Bukan Pemberontakan Setengah Hati”, makalah diskusi terbatas Freedom Foundation, 2000.  Sebagian analis ini dimuat di Media Indonesia, halaman opini, Juli 2000 dan Republika, 2001.

       [25] Daniel S. Lev, Tempo, 2001. Pandangan Guru Besar Emeritus Universitas Washington AS ini juga sering disampaikan dalam wawancara di media massa cetak dan elektronik Jakarta.

       [26] Daniel S. Lev, Ibid. Lev sebagai Indonesianis banyak memberikan masukan kritis terhadap para elite pemerintahan transisi dan masyarakat Indonesia dewasa ini.