© 2004 Adhyaksa Dault Posted 22 January 2004
Makalah individual
Pengantar Ke Falsafah Sains
(PPS702)
Sekolah Pasca Sarjana,
Program S3/TKL
Institut Pertanian
Januari 2004
Dosen:
Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng
NASIONALISME, TRANSISI
DEMOKRASI INDONESIA
DAN KRISIS MULTI DIMENSI
Oleh:
Adhyaksa Dault
Krisis Moral, Krisis Kebangsaan
Suatu hari di bulan Agustus
2002, penulis melakukan perjalanan keliling Sumatera,
Demikian halnya tatkala
penulis melakukan perjalanan dari
Mari kita simak ilustrasi
kedua. Pada bulan Maret 1998, ketika mewawancarai manajer cabang sebuah
bank milik salah satu konglomerat di
Melacak kinerja diktum itu
dalam Republik seperti
Kasus yang terjadi pada skandal pertanian yang melibatkan 1,7 juta hektar proyek Lahan Gambut Sejuta Hektar di Kalimantan Tengah menjadi contoh lain dari perilaku berburu rente. Proyek itu pertama-tama lahir bukan dari Soeharto atau kabinetnya, melainkan dari upaya pengusaha raksasa untuk mengeruk dana reboisasi dan APBN yang bernilai + US$ 367 juta. Pola semacam juga terjadi dalam berbagai skandal lain, seperti perubahan BRI (Bank Rakyat Indonesia) sejak tahun 1996-1998 dari ”bank rakyat” menjadi ”bank konglomerat”, penggelapan Rp 1 trilyun pajak oleh pengusaha ST dan DD, dan sebagainya. [2]
Dalam basis lebih rutin, uang/fasilitas siluman dalam relasi bisnis-pemerintah juga menggejala bukan hanya karena pemerasan para pejabat terhadap bisnis. Arah sebaliknya juga terjadi. Kelemahan apa yang melekat dalam perspektif tradisional? Mungkin tidak langsung jelas, karena perkaranya menyangkut kelemahan filosofis dalam rupa ketertinggalan cara pandang (epistemic lag). Kondisi baru ekonomi-politik yang ditandai ekspansi kekuasaan bisnis selama beberapa dekade terakhir belum menjadi aksis ontologis (ontological axis) dari refleksi tentang berbagai masalah yang mendera kita. Jika kita hidup di Tembagapura, Timika, dan tidak juga mengenali bahwa yang berkuasa di situ bukanlah Bupati Timika, melainkan PT Freeport, maka apa yang kita pahami (epistemologi) tidak cocok dengan fakta sosio-material yang ada (ontologi). Tanpa kesesuaian keduanya, corak refleksi yang mendasari berbagai pendekatan praktis kita pada banyak masalah akan selalu ketinggalan kereta. Singkatnya, sementara sungai sejarah yang terus mengalir melahirkan berbagai realitas baru, kita ada dalam bahaya jika masih memakai cara pandang yang itu-itu juga.[3]
Sekali kita menerima fakta ekspansi kekuasaan bisnis yang begitu dramatis dalam beberapa dasawarsa ini, dan sekali kita menggagas serius implikasi yang dibawa oleh konsentrasi pemilikan kekuasaan dalam suatu masyarakat, mungkin kita jadi maklum mengapa kita gagap menanggapi tanda-tanda zaman.
Kalau pemahaman tradisional punya kelemahan serius, bingkai alternatif apa yang mungkin bisa diajukan? Kita terbiasa memandang ”negara” (state) sebagai biang keladi setiap soal yang memprihatinkan: dari luasnya konsumerisme sampai kondisi buram kaum buruh dan dari luasnya kolusi sampai pencemaran lingkungan. Bukankah asas tunggal cara pandang itu datang dari pengandaian monistik bahwa aparatur negara merupakan pemegang tertinggi kekuasaan di masyarakat? Kalau pengandaian itu tidak lagi selalu benar secara empiris lantaran pergeseran-pergeseran konstelasi kekuasaan dalam sejarah, bukankah bersama itu juga kita membutuhkan pembaharuan pisau analisa kita?
Kekuasaan Bisnis:
Modal Mengalahkan Moral
Paling tidak ada dua pokok
mengapa kita perlu menganggap serius ekspansi kekuasaan bisnis sebagai aksis
ontologis bagi refleksi kita. Pertama, sumber dan
bentuk kekuasaan atas suatu masyarakat bukan tunggal (monocentrist), melainkan jamak (polycentrist).
Kekuasaan finansial pemodal dan stafnya untuk melakukan atau tidak melakukan
investasi, membeli keputusan pengadilan atau mendesakkan penggusuran, sama konkritnya dengan kekuasaan presiden untuk
mengundangkan peraturan. Karena itu, amat menyesatkan
menganggap kinerja kekuasaan hanya sekedar soal otoritas legal-formal aparatur
negara. Kekuasaan atas masyarakat tidak terbatas pada
kontrol atas institusi negara, tidak juga pada jabatan pemerintahan.
Apakah kita masih percaya bahwa pemerintah merupakan penguasa riil atas
masyarakat, bila 15 keluarga menguasai 61,7 persen
kapitalisasi pasar di
Di sinilah kekuatan modal
mampu mengalahkan kekuatan moral. Karena itu, nasionalisme tanpa
supremasi hukum, rule of law yang
tegas, memiliki transparansi, kepastian dan akuntabilitas, hanya akan menjadi nasionalisme yang hampa makna. Hal ini sangat
berbeda dengan RRC (Cina) yang dalam proses modernisasi dewasa ini secara tegas
memberlakukan law enforcement.
Ambillah contoh modernisasi
Cina. Cina dewasa ini adalah Cina yang bersolek.
Di kota-kota utama terdapat ratusan gedung pencakar langit, taman
Dengan modal pertumbuhan ekonomi tujuh persen yang stabil, kota-kota di Cina serempak membangun, mempercantik diri dan berlomba-lomba mengundang investasi asing. Ini termasuk memanggil secara moral keturunan Cina di seluruh dunia untuk berpartisipasi dalam kehidupan ekonomi di negeri berpenduduk 1,3 milyar ini. Tak heran jika dalam lawatan ke Cina, Presiden Megawati menyiratkan rasa kagetnya akan kemajuan pembangunan di Cina yang sebagian terbaca dari citra fisik kota-kotanya.
Cina dewasa ini adalah juga Cina yang kukuh, terutama dalam pemberantasan korupsi. Sejak awal tahun 1980-an ratusan ribu kasus korupsi dibawa kepengadilan. Bulan lalu seorang wakil walikota dihukum mati karena terbukti melakukan kolusi dengan pengusaha-pengusaha yang ia beri kemudahan dalam urusan bisnis. Ia dituding menerima hibah sekitar Rp 2 milyar, sebuah nilai yang ”tak seberapa” untuk ukuran korupsi di Indonesia, yang biasanya dengan banyak alasan berakhir dengan ringannya hukuman atau bebasnya si pelaku.
”Sediakan sepuluh peti mati bagi saya kelak!” sumpah Zhu Rongji, Perdana Menteri Cina, dalam satu kesempatan. ”Itu jika di akhir jabatan nanti, saya terbukti melakukan secuil korupsi”. Efek sumpah Zhu Rongji ini memang ampuh bergema di negeri yang sempat dikenal sebagai salah satu negara terkorup di dunia ini. Konsep clean government mulai terasa pada beragam aspek, dengan penerapan kompetisi dan transparansi dalam mekanisme pembangunannya. Inilah nasionalisme Cina. Bandingkan dengan nasionalisme kita yang tak mengindahkan keadilan, law enforcement dan kepastian hukum, melainkan hanya verbalisme belaka dalam pemberantasan KKN!
Nasionalisme,
Pluralitas dan Demokrasi
Di luar masalah KKN,
masalah pluralisme dan integrasi nasional masih mengemuka. Adalah suatu kenyataan bahwa masyarakat
Yang disebut konflik juga tidak linear, seolah-olah hanya terjadi secara antar suku, antar agama dan antar daerah. Dengan pengecualian di Poso dan Maluku yang diwarnai oleh konflik antar agama, tidak demikian halnya yang terjadi di daerah konflik yang lain. Di Aceh yang berpredikat Serambi Mekkah, orang Aceh membunuh dan mengusir orang Islam, hanya karena dia pendatang atau transmigran dari Jawa. Di Kalimantan bukan hanya suku Dayak Kristen yang membunuh dan mengusir etnis Madura yang seratus persen Muslim, melainkan juga Dayak Melayu yang Muslim ikut berkolaborasi dalam Dayak Raya. Yang paling unik terjadi di Tanah Papua, setelah muncul apa yang disebut dengan Presidium Dewan Papua (PDP) justru konflik menjadi terkendali. Globalisasi konflik-konflik itu memperberat persoalan yang kita hadapi sebagai suatu bangsa. Lagi-lagi nasionalisme dan globalisme menjadi titik temu dalam penghadapan antara kekuatan internasional versus nasional. Celakanya, sebagaimana kita tahu, globalisme telah cenderung merontokkan negara bangsa yang tidak sanggup bersaing dalam percaturan global.
Sebenarnya apa yang sedang terjadi di semua daerah konflik selain centang perenangnya peranan pemerintah adalah security treatment yang dengan mudah menjadi armed attack. Kegagalan sistem politik dan pemerintahan dalam penyelenggaraan pembangunan dan keamanan merupakan sejarah masa lalu yang amburadul, dan sejarah masa depan yang sama sekali belum menunjukkan tanda perbaikan yang berarti. Bahkan dalam beberapa kasus, misalnya pembunuhan terhadap Theys H Eluay, pemerintah cenderung gagap, gamang dan kurang percaya diri. Yang pasti sejarah yang melatarbelakangi konflik bukan berpusar pada entitas pluralitas masyarakat, melainkan -pada itu tadi- compang-campingnya sistem politik dan pemerintahan dalam penyelenggaran pembangunan.
Krisis Nasionalisme, Krisis Kebangsaan
Petikan pandangan Prof. Dr. A. Syafii Ma’arif, cukup merefleksikan betapa kita mengalami “krisis nasionalisme, krisis kebangsaan”, setidaknya kita mengidap ambivalensi dan ambiguitas tentang nasionalisme yang di masa lalu mampu menggerakkan rakyat untuk mencapai Indonesia merdeka. Bahwa ada kekhawatiran, nasionalisme menjadi usang oleh dominasi kapitalisme dan sebagian akibat formalisme paham kebangsaan oleh era Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru di masa lalu.
Dewasa ini, nasionalisme
dan nasionalitas di
Dalam pandangan Rotberg, Indonesia akan
selamat dan terlindung dari bahaya menjadi negara bangsa yang gagal, apabila
memiliki kepemimpinan yang kuat dan visioner serta ada komitmen untuk membantu
Indonesia dalam bidang ekonomi dan rekonstruksi sosial, khususnya dalam upaya
penegakan hukum.[7] Rotberg
juga berpendapat bahwa
Persoalan yang serius yang dihadapi bangsa
Sebaliknya negara-negara yang gagal cenderung
menghadapi konflik yang berkelanjutan, tidak aman, kekerasan komunal, maupun
kekerasan negara sangat tinggi, permusuhan karena etnik agama ataupun bahasa,
teror, jalan-jalan atau infrastruktur fisik lainnya dibiarkan rusak. Dari beberapa negara bangsa yang gagal, diantaranya
Tentang Pluralisme
Betapa tidak memadainya BP7
dan Penataran P4 dalam menjawab persoalan kebangsaan dan kenegaraan
Kegagalan ekstremitas kedua dalam mengatasi pluralitas berasal dari mereka yang berpikir secara strukturalis, bahwa dalam pluralitas yang ada hanyalah pertentangan, sehingga sukar sekali diupayakan integrasi. Dengan kata lain, integrasi politik dalam masyarakat plural dipandang hanya mungkin diupayakan melalui paksaan (coersive) atas dasar ukuran-ukuran yang sengaja diadakan agar tindakan kursif tersebut tetap legitimate. Pendekatan strukturalisme ini dipergunakan oleh orde baru secara efektif, sehingga meredam perbedaan dalam masyarakat plural tersebut tidak menjadi konflik manifes atau tidak meledak ke permukaan. Yang terjadi selanjutnya telah diketahui, berbagai perbedaan yang ditekan menjadi laten itu akhirnya berubah menjadi magma konflik yang mudah meletus dan memuntahkan lahar konflik yang panas dan membakar apa saja yang dilaluinya.[11]
Sebenarnya mengapa pluralitas dipandang sebagai stigma, sehingga perlu tipuan ideologi dan doktrin serta penekanan secara kursif? Jangankan dalam agregat masyarakat, dalam hubungan orang perorang saja perbedaan selalu ada, pun seandainya mereka adalah saudara kembar. Perbedaan mudah meledak dalam konflik ketika keberbedaan ini akan ditunggal-nadakan dalam kerangka otoritarianisme kekuasaan dan sentralisme pemerintahan serta dalam mantra-mantra nasionalisme kanan yang sempit. Dengan demikian, penyebab pertama perpecahan dan konflik bukan semata-mata terletak pada pluralitas-primordial yang ada di masyarakat, melainkan lebih kepada cara-cara penanganannya oleh pemerintah sebagai pemegang kekuasaan autoritatif yang tidak atau kurang tepat. Penanganan yang kurang atau tidak tepat itu memunculkan gelombang reaksi ketidakpuasan masyarakat.
Demokrasi dan
Pembangunan
Jika pluralitas telah menjadi kenyataan dalam kehidupan masyarakat (pluralistic society), maka kebutuhan yang segera muncul bukan meredam dan menyembunyikan pluralitas yang ada, atau memaksanya agar menghambur, melainkan memberikan ruang terbuka agar berbagai perbedaan tersebut muncul ke permukaan, berkelindan dan berdialektika secara wajar.[12] Dalam ruang terbuka tersebut berbagai perbedaan dihubungkan oleh garis kolinier yang namanya, sebut saja Demokrasi.
Demokrasi bukan saja siap
menghadapi perbedaan, karena demokrasi justru memerlukan adanya aspirasi dan
kepentingan yang saling berbeda untuk dirujukkan, sehingga berkembang menjadi
aspirasi dan kepentingan yang semakin berkualitas. Demokrasi
juga tidak perlu menutup diri dari pertentangan, karena pertentangan justru
merupakan dinamika dalam dialektika perbedaan. Dengan demikian, jika
pluralitas dipandang sebagai sumber dari perbedaan dan pertentangan, maka
pluralitas itulah yang justru dicari dan dibutuhkan untuk dijadikan sebagai
bahan
petunjuk belum beradabnya pranata dan mekanisme demokrasi untuk menampung partisipasi politik masyarakat yang plural tersebut.
Sayangnya pranata dan mekanisme demokratis
yang beradab (civilized) tidak dapat
berjalan sendiri, apalagi harus menjadi lokomotif untuk menarik gerbong budaya,
sosial, politik dan ekonomi. Di sini demokrasi bukan sekedar
sebagai gejala politik melainkan gejala keberadaban seluruh aspek kehidupan
masyarakat, bangsa dan negara secara komprehensif dan holistik. Isu demokrasi di bidang budaya menunjuk pada kefaktaan sistem.
Kepercayaan, sistem nilai dan motivasi, adat istiadat dan ekspresi estetik yang
bersifat khas, unik dan hanya sama persis dengan
dirinya sendiri yang dapat disandingkan, namun tidak perlu dikawinkan, karena
tidak mungkin dengan gejala budaya yang lain. Isu demokrasi di level sosial
adalah upaya untuk menciptakan wahana pergaulan dan hubungan interaktif antar
kelompok masyarakat yang mengacu pada pemenuhan kepentingan bersama dalam kehidupan
sehari-hari. Dibidang politik, demokrasi mencoba menganalisasi aspirasi
masyarakat sesuai dengan level partisipasinya terhadap kekuasaan, pengambilan
keputusan, dukungan
Salah terima yang telah menjadi kaprah, pada tahap awal proses demokratisasi adalah diketengahkannya praktek-praktek formal yang lazim berkembang dalam masyarakat dan negara demokrasi yang telah maju dan matured, misalnya melalui lembaga agregasi politik partisan dan non partisan dengan mengedepankan atau tepatnya berpaling dalam cara musyawarah untuk mufakat. Namun tetap saja demokrasi bukanlah upacara kebersamaan dan keterbukaan, sehingga di sektor ini kita belum dapat berharap banyak, bahkan harus siap tertimpa implikasi dari praktek demokrasi yang belum dewasa. Proses demokratisasi adalah proses pembangunan disegala bidang yang meletakkan equality and justice sebagai parameter utama. Dalam proses ini derajat pluralitas masyarakat hanyalah merupakan antecedent variable yang hanya terkait dengan derajat kesulitan pembangunan, bukan independent variable yang membatasi pembangunan. Ini berarti, semakin tinggi derajat pluralitas masyarakat, maka kebutuhan adanya pemerintah yang kuat (strong government) agar mampu menjalankan pembangunan semakin tinggi.
Ancaman Transisi
Demokrasi
Bangsa
Situasi yang penuh pertentangan diantara
masyarakat itu dinamakan state of nature dimana manusia saling bersaing
dan berkompetisi tanpa aturan dan ketiadaan hambatan atau restriksi untuk
mendapatkan apa yang diinginkannya, bahkan jika perlu
membunuh dan penghalalan segala cara lainnya atau paling tidak menguasai orang
lain. Pada tataran abstraksi ini, manusia dipandang sebagai
serigala yang saling berkelahi untuk mendapatkan kebebasan atau makanan bagi
dirinya. Jadi aturan yang adapun hanya dipergunakan agar tidak terjadi
tindakan yang mungkin menghancurkan diri sendiri atau dalam bahasa lain
“…..Suatu proses untuk memperoleh apa yang kita kehendaki ataupun mengelakkan
apa yang tidak kita sukai.” [14]
Bagi Hobbes, cara yang paling efektif untuk
menghentikan situasi itu adalah dengan menciptakan suatu pemerintahan yang kuat
agar mampu melakukan represi dan menegakkan aturan. Sosok
pemerintah yang kuat itu digambarkan sebagai Leviathan, makhluk yang
menyeramkan dari lautan dan setiap orang menjadi lemah dan takut berhadapan
dengannya. Dengan itu, masyarakat dapat ditertibkan
dan dikendalikan. Uniknya, sosok itu sendiri
dibutuhkan oleh masyarakat yang saling berkelahi itu untuk menciptakan
ketertiban. [15] Dalam nada yang lebih positif, John Locke menggambarkan situasi
yang mendorong manusia untuk melakukan kesepakatan diantara mereka sendiri
untuk mengadakan badan sendiri yang mempunyai kekuasaan politik. Kedua pemikir ini dipandang sebagai peletak dasar teori-teori
kontrak sosial yang populer di dalam alam pikiran Barat.
Di Indonesia, konflik horizontal dan
pertarungan kekuasaan antar elite politik baik yang berkedudukan di lembaga
legislatif maupun eksekutif, telah menyeret kehidupan berbangsa dan bernegara
kedalam kekalutan, ketegangan dan krisis berkepanjangan.
Orde Baru Soeharto, kita tahu diruntuhkan
oleh ”revolusi mahasiswa” pada tahun 1998, namun ternyata masih menyisakan ekses-ekses
rezim Orbarian yang mencekam.
Orde Baru, Agama dan
Masyarakat
Dimasa lalu, sebagai rezim praetorian, Orde Baru memiliki alat kontrol politik yang efektif dengan jaringan intelijennya seperti Kopkamtib, Bakin, BAIS dan Bakorstanas. Dalam pandangan Richard Tanter dan Manuel Kaisepo alat kontrol itu telah menjadi suatu lembaga yang sangat besar dan ditakuti karena kekuasaannya yang nyaris tak terbatas serta melingkupi segala aspek kehidupan masyarakat. Mulai dari usaha bina negara hingga pada persoalan-persoalan personal semacam Keluarga Berencana. Kekuasaannya mencakup mulai dari masalah politik keamanan, partai politik, demonstrasi mahasiswa, perizinan terbit bagi pers, perburuhan hingga ke masalah hubungan seksual warga negara yang diatur dengan juklak (petunjuk pelaksanaan) dan juknis (petunjuk teknis).
Dalam periode
Maka, tak mengherankan bila di era Reformasi
Pasca Orde Baru ini, kekuatan agama itu menjadi penopang partai-partai politik,
organisasi
Dalam situasi-kondisi dimana demokrasi
berkombinasi krisis ekonomi yang rentan dan rawan, pertarungan kekuasaan di
kalangan elite politik akan semakin menyeret
masyarakat
Dalam situasi demikian, kekuatan agama, militer dan pasar berinteraksi dan berdialektika dalam suatu ruang politik yang diwarnai persaingan dan kompetisi untuk menentukan corak, karakter dan struktur kehidupan di masa depan.
Di Indonesia pasca Orde Baru, kekuatan-kekuatan agama dalam sejarahnya terbukti belum mampu mempersatukan bangsa di dalam kedamaian, keamanan dan kemajuan, terbukti dengan carut-marut konflik SARA di Ambon, Poso dan Kalimantan Tengah. Hal itu terjadi karena Orde Baru melakukan marginalisasi agama dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Kekuatan bisnis dan pemerintah juga tidak mampu membentuk sebuah pasar yang jelas dan memihak kepentingan rakyat. Hal itu disebabkan KKN yang dilakukan penguasa Orde Baru dengan kroninya. Kekuatan militer pasca Orde Baru dalam sejarahnya justru kurang mampu menciptakan stabilitas dan keamanan apalagi kedamaian, meskipun sudah mengarah pada profesionalisme. Kekuatan pasar sebaliknya tidak mampu mempersatukan bangsa kita di dalam globalisasi ekonomi serta tidak mampu menjadi kekuatan pendorong kemajuan yang sangat ampuh (inovasi produk), juga tidak mampu menciptakan kestabilan dan lebih jauh lagi –sebagaimana telah dibuktikan oleh pasar bebas– tidak pernah mampu menciptakan keadilan dan pemerataan.
Nasionalisme atau
Ke-Indonesiaan
Nasionalisme atau ke-Indonesiaan kita terancam retak oleh krisis-krisis yang menyeruak: krisis moneter, krisis moral, krisis sosial, krisis politik, krisis kebangsaan dan sebagainya. Nasionalisme kita, sebagaimana kata Benedict Anderson, memang sedang diuji dan dipertanyakan. Masyarakat yang dibayangkan -meminjam wacana Ben Anderson-, mengalami pengaburan karena berbagai krisis dan kesenjangan sosial kultural yang kontraproduktif. Bahkan lebih dari itu, di beberapa daerah tidak hanya dipertanyakan, lebih dari itu, ditolak, tidak dikehendaki. Di wilayah paling barat kita, Aceh-Sabang, ada gerakan Aceh Merdeka. Di wilayah paling timur, Irian-Merauke, ada gerakan Papua Merdeka. Di negeri Melayu yang kaya minyak -tetapi kini mulai antri minyak tanah- Riau, tidak hanya
menuntut negara federal, melainkan juga menuntut merdeka melalui Riau Merdeka. Bahkan beberapa waktu yang lalu terdengar berita, ada juga gerakan Deli dan Minang Merdeka.[17]
Kekinian kita yang retak terbelah itu, akan
makin nampak jika kita menyebut rangkai-rangkai pertentangan yang saling
membunuh -dengan latar agama dan etnik- seperti di
Organski membagi tahap
perkembangan nasionalisme menjadi empat tahap. [18] Pertama, tahap perkembangan
politik kesatuan nasional primitif. Kedua, tahap perkembangan politik
industrialisasi. Ketiga, tahap perkembangan politik kesejahteraan
nasional; dan Keempat, tahap perkembangan politik kemakmuran.
Realitas politik
Nasionalisme: Kasus
Aceh
Nasionalisme Indonesia tengah bergumul dengan etno-nasionalisme Aceh dan
Papua. Titik temu dan titik pecah untuk sementara
merambah jalan sejarah kedua wilayah dalam hubungannya dengan pemerintah pusat
di
Dalam konteks ini, isu nasionalitas atas persoalan Aceh, pada akhirnya menjadi tanggung jawab seluruh anak bangsa, untuk menyelesaikan krisis daerah-isme dengan jalan demokrasi.
Dalam kasus Aceh, tumbangnya Orde Baru Soeharto yang telah memberlakukan Daerah Operasi Militer (DOM) di provinsi ujung paling barat ini sekitar satu dekade, ternyata membangkitkan kesadaran kuno mengenai kejayaan Aceh di masa lampau, dengan hukum dan demokrasi sebagai pilar bangunan sosial lama yang pernah ditegakkan di Aceh di masa silam, terutama pada masa Kesultanan Aceh dibawah Iskandar Muda. [20] Bangkitnya kesadaran kuno ini tidak terlepas dari realitas ketimpangan kehidupan sosial, ekonomi, politik, budaya dan pembangunan di Aceh. Sebagai contoh, kenyataan yang terdapat di Aceh Utara, rakyat hidup dalam kemiskinan meskipun sudah dibuka lading gas dan minyak bumi di Lhokseumawe. [21] Penghasilan yang didapat dari penjualan empat komoditi ladang minyak mentah, gas alam cair, LPG Propane, dan LPG Butane itu sebesar US$ 45 milyar selama periode 1979-1997. Sementara itu jumlah APBD propinsi Aceh dalam periode tahun yang sama sebesar 6,7 trilyun rupiah. Suatu jumlah yang tidak sebanding.
Maka tatkala reformasi Mei 1998 bergerak mengakhiri Orde Baru, rakyat Aceh melihat peluang historis itu sebagai momentum pembebasan dari segala penindasan Orde Baru. Rakyat Aceh menuntut pengadilan HAM atas pelaku kejahatan kemanusiaan di Aceh selama DOM diberlakukan –dan melalui DPR–, kemudian menuntut pembentukan Pansus Aceh untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM tersebut.
Kalau kita tak ingin krisis Aceh menjadikan ke-Indonesiaan ibarat lilin yang meleleh, maka langkah pertama adalah pendekatan win-win solution harus dicapai antara pemerintah pusat dan rakyat Aceh. Kedua, Langkah itu harus pula mencakup pemenuhan akan keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat Aceh, ini berarti pelanggaran HAM di Aceh sejak DOM sampai era Transisi ini harus diadili. Ini pararel dengan apa yang dikatakan Sydney Jones tentang perlunya Komisi Kebenaran untuk Aceh. Ini berarti suatu dialog, negosiasi, diplomasi dan penyelesaian yang profetik, otentik, damai dan berkelanjutan antara pemerintah pusat dan rakyat Aceh harus diketemukan kembali melalui jalan demokrasi.
Untuk memenangkan dukungan
rakyat Aceh, maka pengadilan HAM itu merupakan conditio sin quanon dalam upaya merebut simpati rakyat Aceh
sekaligus dalam upaya menangkal dan memisahkan gerakan gerilyawan GAM dari
rakyat setempat. Perang gerilya GAM bisa menang kalau mendapat dukungan,
simpati dan bantuan
Krisis Irian Jaya:
Daerah-isme Papua
Selain di Aceh dan
Karena itu, gerakan separatisme OPM dan warga Irian merupakan gerakan sehati-sejiwa-senasib-sepenanggungan yang harus direspon oleh pemerintah dan masyarakat Pusat secara konkrit, adil dan bijaksana. Gerakan warga Irian ini jangan sampai ditanggapi pemerintah dengan sikap setengah hati, karena akan berujung pada disintegrasi. Globalisasi yang kian masif dewasa ini semakin membuka ruang (space) dan peluang (opportunity) bagi gerakan indigenous people dan etno-nasionalisme untuk memberdayakan diri menghadapi dominasi pusat kekuasaan. Sementara transisi menuju demokrasi yang masih labil membuka kesempatan bagi terjadinya gerakan sentrifugal yang tak diinginkan. Menguatnya gerakan sentrifugal itu menandakan suatu keadaan yang unintended akibat kompleksitas persoalan ekonomi dan sosial cultural yang membuat masyarakat kita terjebak ke dalam apa yang diartikulasikan Vaclav Havel sebagai a state of hidden conflict, dengan Papua Barat sebagai bukti konkritnya.
Gerakan separatisme masyarakat Irian tidaklah semata-mata akibat ketidakadilan sosial, pelanggaran HAM dan sentralisasi kekuasaan yang otoriter itu, yang mereka alami di era Orde Lama maupun Orde Baru Soeharto dan Orde Transisi Habibie. Dalam krisis Papua ini, selain soal-soal tadi, ada faktor lain yang harus diperhitungkan secara cermat dan hati-hati akibat modernisasi dan globalisasi: hilangnya politik identitas masyarakat Papua dan tiadanya kesetaraan dan kebersamaan serta tergerusnya ”common denominator” yang menjadi perekat dan pengikat dalam kehidupan berbangsa bernegara.
Dalam hal ihwal ketidakadilan, secara
kuantitatif-kualitatif sungguh menusuk perasaan: kekayaan Papua Barat yang
diperkirakan mampu menyumbangkan devisa Rp 24 triliun tiap tahun, sebagian
besar lari ke pusat. Pendapatan asli daerah yang masuk ke kas
untuk tahun 1996-1997 saja hanya Rp 21 miliar. Sedangkan
APBD Papua Barat tidak pernah menembus angka Rp 1 triliun. Sementara pajak
Dalam hal ihwal politik identitas, sudah
sekitar tiga dekade, politik identitas masyarakat Papua yang berakar,
berkarakter dan bercorak khas Papua telah ditindas oleh ”jargon atau ideologi”
negara kebangsaan yang abstrak dan otoriter. Sejak Papua Barat (Irian Jaya)
resmi menjadi wilayah
Akibatnya, masyarakat Papua tidak punya ruang
dan kesempatan untuk menjadikan dan membentuk diri mereka secara ”setara”
bersama-sama dengan suku-suku lain sebagai bangsa yang memiliki kebebasan untuk
mengaktualisasikan dan menghayati keragaman kulturalnya dalam bingkai negara
bangsa (nation state) Republik
Indonesia. Masyarakat provinsi ke-26 di negeri kita itu
dianggap oleh para penguasa Pusat sebagai kelompok warga yang terbelakang,
kurang berpendidikan dan bermental ketergantungan, karena itu harus diatur,
dibimbing, dibina, dibangun (dan dikendalikan) oleh Pusat. Dalam proses
penanganan Pusat ini ternyata yang terjadi justru ketidakadilan dan
kesewenang-wenangan, yang ditandai dengan kemiskinan material maupun moral.
Secara sosial-ekonomi kehidupan mereka tetap sulit, bahkan semakin miskin dan
secara moral-etis mereka kehilangan kepercayaan, sumber nilai dan norma yang memberikan makna. Akibatnya,
politik identitas kebangsaan
Dalam hal ihwal common denominator yang hilang, sebenarnya masalah ini merupakan
ekses dan efek langsung dari krisis politik identitas lantaran kelompok warga
Papua itu tidak memiliki lagi rujukan nilai yang pasti, tidak percaya lagi
kepada sistem dan aturan main yang disepakati bersama dalam kehidupan berbangsa
bernegara di tingkat nasional. Nasionalisme dan Proyek
Selama ini di mata hati masyarakat Papua
Barat, common denominator yang
memayungi berbagai kepentingan kelompok dalam masyarakat yang majemuk dan
menjadi muara bagi bertemunya elemen-elemen bangsa yang pluralistis, hilang
akibat regresi politik yang tercermin dari rendahnya sikap kenegarawanan para
elite nasional di satu pihak dan menguatnya politik primordial-parokial di
pihak lain.
Untuk mempertahankan Irian
Jaya dalam pangkuan
Pada kurun 1930-an, Soekarno (PNI), juga Hatta dan Sjahrir (PNI Baru), berkali-kali menegaskan bahwa persatuan dan kemerdekaan Indonesia akan tercapai bila perbaikan nasib rakyat banyak, keadilan dan kesetaraan diwujudkan. Tanpa perbaikan nasib rakyat, keadilan dan kesetaraan itu, persatuan hanya akan menjadi persatean sekalipun di bawah kemerdekaan. Pararel dengan artikulasi dan sikap Soekarno, Hatta dan Sjahrir itu, maka dengan perbaikan nasib, kesetaraan dan keadilan sosial yang konkrit, maka kelompok warga Papua akan bisa merasakan identitas tumpah darahnya yang mikro-lokal dalam makrokosmos nasional. Karena itu, otonomi daerah seluasnya atau federalisme, harus dipertimbangkan dan direalisasikan agar negara kebangsaan tidak identik dengan negara penindasan dan penjajahan, yang cepat atau lambat akan memusnahkan politik identitas kelompok-kelompok warganya sendiri, yang justru menopang keberadaan nation state kita selama ini.
Deekonomisasi dan depolitisasi masyarakat
Irian di era rezim Orde Baru jangan sampai terulang lagi karena pada gilirannya
akan melahirkan pemberontakan dengan simbol-simbol
kultural dan etnis, suatu gejala disintegratif yang posesif, eksesif dan
eskalatif. Di sini alasan-alasan baru bagi keberlanjutan nation state perlu diketemukan karena
konsep nation state lama juga sudah
usang (obsolete), lagi pula
globalisasi cenderung mengubur negara bangsa yang gagal karena nasionalisme
palsu yang dikandungnya. Karena itu reinventing alasan-alasan historis,
sosiologis dan filosofis bagi berlanjutnya negara bangsa (nation state) harus diupayakan. Kini
Negara Hukum
Sebagaimana Prof. Daniel S. Lev mengungkapkan, sejak Presiden Soeharto meletakkan jabatan hampir empat tahun yang lalu, negara hukum yang dicita-citakan oleh rakyat tak kunjung terwujud meski sudah ada tiga presiden baru. Semua menjanjikan perbaikan atas proses hukum.[25] Di luar pemerintah, dalam suasana yang makin penuh konflik, kekerasan, pembunuhan dan kejengkelan, banyak warga negara ikut berpandangan bahwa Negara Hukum merupakan sine qua non.
Memang sine
qua non karena tanpa proses hukum yang efektif tidak mungkin diharapkan
perbaikan ekonomi, politik, kehidupan sosial dan keadilan. Ternyata, cara pemerintah Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru selama 40
tahun merupakan bencana untuk negara dan masyarakat
Anehnya, walaupun semua kalangan bersepakat bahwa sistem hukum perlu diperhatikan betul, belum ada kemajuan yang banyak menuju negara hukum. Pada tahun 2001, seperti tahun-tahun sebelumnya, ada janji dan beberapa langkah diseputar soal hukum. Undang-undang perlu diloloskan, RUU dipertimbangkan, lembaga-lembaga baru dibentuk, supaya hakim, jaksa dan polisi bertindak semestinya, dan seterusnya. Tetapi belum terlihat perubahan fundamental. Selain pendobrakan sedikit pada Mahkamah Agung –penting tapi masih terlalu sedikit dan tampaknya macet disitu– pengadilan, kejaksaan dan polisi tidak jauh berbeda dengan empat tahun lalu. Di luar pemerintah ada sejumlah advokat yang mampu sekali dan ada juga yang turut aktif sebagai reformis, tetapi profesinya berantakan, dibagi antara beberapa asosiasi yang belum tentu tahu jumlah anggotanya yang tidak mampu mengawasi korupsinya.
Daniel Lev pun bertanya: Soalnya apa? Apa sebabnya kehausan warga masyarakat atas negara hukum yang adil tidak dapat dipuaskan?[26] Analisis kebudayaan untuk menjelaskan hal itu tidak mengena karena ada negara hukum yang cukup bagus pada zaman parlementer sebelum tahun 1959. Pada zaman Demokrasi Terpimpin dan lebih lagi pada zaman Orde Baru, negara hukum di Indonesia di kesampingkan oleh negara kekerasan berdasarkan kekuatan militer, yang menghilangkan keseimbangan antara negara serta masyarakat dan memanfaatkan kalangan pimpinan. Jadi, bukan soal kebudayaan, melainkan soal politik. Dan masih saja soal politik.
Sejak pertengahan tahun 1998, tidak ada pembaharuan kelembagaan hukum, karena elite politik tidak menginginkannya atau tidak mampu menjalankannya. Ketidakmampuannya berakar pada kepentingan, kalau proses hukum makin kuat, pimpinan politik makin terbatas kekuasaannya. Selama 40 tahun sejak tahun 1959, pimpinan politik menikmati keleluasaan bertindak menurut kemauan sendiri tanpa dikurungi tindakannya oleh pengadilan, kejaksaan, polisi, pers atau organisasi dalam masyarakat. Semua lembaga hukum negara ditundukkan pada pimpinan politik dan dilindungi dari kritik, asal memenuhi alasan politik. Akibatnya para hakim, jaksa dan polisi kehilangan orientasinya pada hukum dan tidak lagi mengelak korupsi. Yang tidak ikut rakus terpaksa tutup mulut. Norma dan nilai lembaga hukum merosot. Suasana kesempatan itu yang meluas pada semua kelembagaan negara, tidak mungkin hilang begitu saja, apalagi kalau cukup banyak pimpinan politik yang enggan melepaskannya. Di dalam lembaga-lembaga hukum sendiri, antara para hakim, jaksa dan polisi, ditambah lagi banyak advokat, suasana itu masih terasa, sampai yang dari luar dianggap hal yang biasa saja.
Penciptaan negara hukum di
Pentingnya negara hukum itu sendiri sudah Sunnatullah, sebagaimana Hukum Tuhan pada alam ciptaan-Nya, khususnya dalam hal ini alam kemasyarakatan manusia akan tetap berjalan tanpa berubah-ubah, dan akan menerjang siapa saja yang melanggarnya. Maka sekali lagi, menurut ajaran Islam dalam Kitab Suci, jika suatu kelompok yang mampu, apa lagi hidup mewah, dalam masyarakat tidak peduli lagi dengan usaha mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat, maka Allah akan menghancurkannya (QS.17:16). Kemudian kelompok itu akan digantikan oleh kelompok lain yang secara moral dan etis tidak lagi sepeti mereka (QS.47:37). Pandangan pararel dengan kenyataan bahwa di dunia ini yang abadi adalah perubahan itu sendiri, termasuk perubahan elite bangsa dan negara sebagai suatu keniscayaan.
Pada akhirnya, nasionalisme dan
ke-Indonesiaan kita akan sangat bergantung kepada
keberhasilan masyarakat dan para pemimpinnya dalam mewujudkan keadilan,
kesejahteraan dan kemanusiaan serta keadaban dan kebersamaan, dan untuk itu
terwujudnya negara hukum merupakan condition
sine qua non. Tanpa negara hukum yang kuat guna memungkinkan kita
melaksanakan clean and good governance,
sekaligus menggantikan ”negara kekuasaan” warisan
rezim-rezim masa lalu, bisa diramalkan ke-Indonesiaan kita mengalami jalan
buntu. Wallahu’alam
bishawab.
***
[1] B.
Herry Priyono, ”Negara Leviathan Baru”, Kompas,
[5] Samuel
Koto, ”Pluralitas Dan Demokrasi”, makalah diskusi
mingguan INDEMO Jakarta, 2002. Lihat juga Dr. Anhar Gonggong,
”Indonesia Baru: Perspektif Politik dan Sejarah”, makalah diskusi Prodem
(Jaringan aktivis prodemokrasi),
[6] Tentang perlunya Indonesia di era Transisi Demokrasi ini memiliki kepemimpinan yang efektif, kuat dan komited, guna membangun sistem yang kuat, demokratis dan menegakkan supremasi hukum, Prof Arief Budiman dalam percakapan dengan penulis di Jakarta (September 2002) juga menyampaikan pandangan dan persepsi yang senada.
[8]
[9] Afganistan digagalkan Amerika dan sekutunya dengan alasan perang atas terorisme. Kekuasaan pemerintah pusat dibawah Hamid Karzai menghadapi ancaman serius dari panglima-panglima perang local yang tidak mudah tunduk pada pemerintah.
[14] Lihat Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negeri Barat, (Jakarta: Rajawali Press, 1982), hal. 78.
[15] Saya beri kuasa dan saya serahkan hak dan kekuasaan saya untuk memerintah diri saya, kepada orang ini, atau kepada majelis ini, dengan syarat bahwa engkaupun menyerahkan hak dan kekuasaanmu kepadanya, serta memberi kuasa kepadanya dalam semua tindakannya.” Demikian kira-kira pendapat Hobbes seperti dikutip oleh Noer, ibid., hal. 79. Lihat juga Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat. Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan, (Jakarta: Darul Falaah, 1999).
[16] Merle
C. Ricklefs, “A History of Modern
Indonesia”,
[17]
[18] Nasikun, “Pembangunan dan
Dinamika Integrasi Nasional dalam Masyarakat Majemuk”, dalam Nasionalisme.
Refleksi Kritis Kaum Ilmuwan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 1996),
hlm. 3-4.
[20] Aceh merupakan sebuah kesultanan yang merdeka dan berdaulat dan
diakui kedaulatannya oleh Inggris. Dalam perjanjian
[21] Data
tahun 1993 menyebutkan bahwa Aceh merupakan provinsi yang memiliki desa
termiskin terbanyak, yaitu 2.275 desa (40,23 persen)
dari jumlah seluruh desa (5.643 desa). Ironisnya, di
kabupaten Aceh Utara yang memiliki industri-industri besar terdapat 692 desa
miskin, jumlah terbanyak dibandingkan kabupaten lainnya. Lihat Syamsumar
Dam dan Eni Budiwanti, “Aceh: Otonomi atau Merdeka?”,
dalam Syamsuddin Haris, et.al.,
[22] Dhuroruddin Mashad dan Ikrar Nusa Bakti, “Berbagai Faktor Separatisme di Irian Jaya”, dalam ibid., hal. 225.
[24]
Herdi Sahrasad, ”Gejolak Papua: Bukan Pemberontakan
Setengah Hati”, makalah diskusi terbatas Freedom Foundation, 2000. Sebagian analis ini dimuat
di Media