©2004 Adi Wiyana                                                                                          Posted:    15 January 2004
Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS702)
Sekolah Pasca Sarjana / S3
Institut Pertanian Bogor
Januari 2004

Dosen:
Prof. Dr. Ir. Rudy C Tarumingkeng

 

FAKTOR BERPENGARUH TERHADAP KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN PESISIR TERPADU (P2T)

 

 

 

Oleh:

 

Adi Wiyana

C561030234

 awiyana@cbn.net.id

 

 

 

 

 

Abstrak. Program pengelolaan pesisir terpadu (P2T) di Indonesia masih terhitung baru, program ini baru dimulai pada Repelita VI, tahun 1993/94 dengan proyek Marine Resource Evaluation and Planning (MREP). P2T, yang bertujuan untuk mengelola wilayah pesisir secara berkelanjutan, hanya dapat mencapai tujuannya secara optimal apabila para perencana dan pengelola/pelaksana program memasukkan faktor-faktor penentu keberlanjutan program P2T dari awal perencanaan. Hasil studi pustaka menunjukkan bahwa ada banyak faktor yang berpengaruh terhadap keberlanjutan program P2T. Di antara faktor yang berpengaruh terhadap keberlanjutan tersebut adalah: (1) tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir;(2) proses perencanaan dan pengambilan keputusan yang inklusif, partisipatif, transparan, akuntabel, dan didukung dengan informasi ilmiah sebagai prasarat untuk menciptakan parameter berkelanjutan P2T, yaitu,(a) kesesuaian dengan kebijakan-kebijakan setempat, baik kebijakan formal maupun informal, (b) kesesuaian dengan kondisi sosial budaya masyarakat setempat, (c) dukungan ketersediaan sumber daya manusia dan kelembagaan, (d) keterlibatan aktif para pemangku kepentingan, (e) adanya rencana dan program yang jelas, (f) berdampak terhadap lingkungan termasuk sosial budaya dan ekonomi  masyarakat setempat, dan (g) dukungan riset, informasi ilmiah, dan pengalaman empiris; (3) proses penutupan proyek secara tepat; (4) kerangka hukum yang memadai; dan (5) desain proyek yang fleksibel yang memenuhi prinsip-pinsip P2T.

 

 

 

1.         PENDAHULUAN

 

Diyakini bahwa ada faktor-faktor utama yang berpengaruh terhadap keberlanjutan pengelolaan pesisir terpadu (P2T). Makalah ini adalah suatu usaha untuk mengidentifikasi faktor-faktor tersebut agar menjadi perhatian dan dapat digunakan oleh pihak-pihak yang berkepentingan, terutama para perencana dan pelaksana serta para pemerhati P2T di Indonesia. Untuk itu, perlu dipahami dari awal beberapa pengertian atau istilah penting mengenai P2T dan arti penting faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keberlanjutan P2T.

 

1.1       Wilayah Pesisir

 

Secara umum, wilayah pesisir dapat didefinisikan sebagai wilayah pertemuan antara ekosistem darat, ekosistem laut, dan ekolosistem udara yang saling bertemu dalam suatu keseimbangan yang rentan.[1] Batasan wilayah pesisir tampak sederhana namun perlu diingat bahwa pada kenyataannya para ilmuwan dan praktisi pembangunan di berbagai negara tidak memiliki pengertian yang seragam mengenai batas-batas fisik wilayah pesisir, seberapa jauh ke arah darat dan seberapa jauh ke arah laut. Oleh karena itu, pada akhirnya penentuan batas-batas fisik pengelolaan wilayah pesisir hendaknya ditentukan sesuai dengan kebutuhan setempat.[2]

Departemen Kelautan dan Perikanan dalam rancangan undang-undang pengelolaan wilayah pesisir terpadu mendefinisikan wilayah pesisir sebagai kawasan peralihan yang menghubungkan ekosistem darat dan ekosistem laut yang terletak antara batas sempadan ke arah darat sejauh sejauh pasang tertinggi dan ke arah laut sejauh pengaruh aktivitas dari daratan.[3]

 

1.2       Mengapa Wilayah Pesisir?

 

Wilayah pesisir adalah unik, memiliki nilai ekonomi tinggi, namun terancam keberlanjutannya.[4] Dengan mengutip Scura (Scura et al. 1992, 17), Cincin-Sain mengatakan bahwa di wilayah pesisir terdapat berbagai babitat dan ekosistem -- seperti estuari, terumbu karang, padang lamun, hutan bakau -- yang berfungsi sebagai penyedia bahan (seperti ikan, minyak, mineral, kayu, dll.) dan penyedia jasa (seperti rekreasi, perlindungan alamiah terhadap bahaya alam seperti angin taufan dan ombak) kepada komunitas yang tinggal di wilayah pesisir. Wilayah pesisir juga ditandai dengan kompetisi antar pemangku kepentingan mengenai wilayah dan sumber daya yang ada yang sering berujung pada konflik dan kerusakan integritas fungsi ekosistem sampai parah. Selain itu, wilayah pesisir sering menjadi tulang punggung ekonomi pemerintah dari berbagai kegiatan ekonomi yang ada seperti pelabuhan dan perkapalan, pertambangan minyak dan gas bumi, serta wisata bahari. Wilayah ini juga menjadi tempat pilihan bagi banyak anggota masyarakat sebagai tujuan urbanisasi. Dengan potensi yang unik dan bernilai ekonomi begitu tinggi namun dihadapkan pada ancaman yang tinggi pula, maka hendaknya wilayah pesisir ditangani secara khusus agar wilayah ini dapat dikelola secara berkelanjutan.

Bengen menekankan perlunya menyelenggarakan program P2T di Indonesia secara berkelanjutan karena, di samping alasan-alasan tersebut di atas, di Indonesia terjadi degradasi dan deplisi sumber daya namun masyarakat pesisirnya (terutama nelayan) tetap miskin di satu pihak, namun di lain pihak kecenderungan pemanfaatan yang tidak mengindahkan keberlanjutan mendapatkan momentumnya ketika Indonesia berada pada kondisi krisis ekonomi. Dengan dalih untuk cepat keluar dari krisis, banyak pembangunan sektoral, regional, swasta dan masyarakat mengambil tempat di kawasan pesisir, seperti budidaya perikanan, resort wisata, industri, pertambangan, pelabuhan laut, dan reklamasi pantai untuk perluasan kota, yang penyelenggaraannya sering kurang memperhatikan faktor keberlanjutan.[5]

 

1.3       Pengelolaan Pesisir Terpadu

 

Pengelolaan pesisir terpadu (P2T) adalah proses, yang dinamis yang berjalan secara terus menerus, dalam membuat keputusan-keputusan tentang pemanfaatan, pembangunan, dan perlindungan wilayah dan sumber daya pesisir dan lautan. … Bagian penting dalam pengelolaan pesisir terpadu adalah perancangan proses kelembagaan untuk mencapai harmonisasi dalam cara yang dapat diterima secara politis.[6] Dilihat dari definisi P2T tampak sederhana, namun aplikasi pelaksanaan P2T di lapangan sangat rumit karena meliputi proses 5 (lima) keterpaduan, yaitu: keterpaduan perencanaan antar sektor secara horizontal, keterpaduan perencanaan secara vertical, keterpaduan ekosisem darat dan ekosistem laut, keterpaduan sains dan manajemen, dan keterpaduan antar negara.

 

1.4              Keberlanjutan

 

Keberlanjutan (sustainability) hendaknya dijadikan salah satu tujuan P2T karena hal ini telah diamanatkan dalam Deklarasi yang dihasilkan oleh United Nations Conference on Enviornment and Development yang diselenggarakan di Rio de Janeiro, Brasil, pada tahun 1992 di mana Indonesia merupakan salah satu peserta. Pembangunan berkelanjutan mensyaratkan keserasian antara laju kegiatan pembangunan dengan daya dukung (carrying capacity) lingkungan alam – untuk menjamin tersedianya aset sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan (environmental services) yang minimal sama untuk generasi mendatang[7]. Suatu kegiatan pembangunan dinyatakan berkelanjutan, apabila kegiatan pembangunan secara ekonomis, ekologis, dan sosial politik bersifat berkelanjutan. Berkelanjutan secara ekonomis berarti bahwa suatu kegiatan pembangunan harus dapat membuahkan pertumbuhan ekonomi, pemeliharaan kapital (capital maintenance), dan penggunaan sember daya serta investasi secara efisien. Berkelanjutan secara ekologis mengandung arti, bahwa kegiatan dimaksud harus dapat mempertahankan integritas ekosistem, memelihara daya dukung lingkungan, dan konservasi sumber daya alam termasuk keanekaragaman hayati (biodiversity), sehingga diharapkan pemanfaatan sumber daya dapat berkelanjutan. Sementara itu, berkelanjutan secara sosial politik mensyaratkan bahwa suatu kegiatan pembangunan hendaknya dapat menciptakan pemerataan hasil-hasil pembangunan, mobilitas sosial, kohesi sosial, partisipasi masyarakat, pemberdayaan masyarakat (demokrasisasi), identitas sosial, dan pengembangan kelembagaan.[8] Dengan demikian jelas bahwa konsep pembangunan berkelanjutan hanya bisa dilaksanakan apabila pembangunan harus berorientasi pada kepentingan dan mendapatkan dukungan dari masyarakat yang terkena dampaknya.

 

2.         PERMASALAHAN

 

            Di Indonesia sering dikeluhkan adanya banyak proyek atau program bagai pasar malam; begitu proyek atau program selesai dilaksanakan habis pula dampak dari proyek atau program tersebut. Program tidak berbekas bak pasar malam yang hanya meninggalkan sampah di lapangan. Terjadinya fenomena seperti ini tidak terlepas dari peran para perencana dan pengelola proyek atau program yang gagal mempertimbangkan faktor-faktor keberlanjutan proyek atau program dalam desain awal. Apabila para perencana program secara sadar memasukkan faktor-faktor keberlanjutan ke dalam desain program dan para pengelola dan pelaksana dengan seksama berusaha seoptimal mungkin mencermati aplikasi faktor-faktor tersebut dalam melaksanakan programnya, niscaya hasil akhir dari program akan lebih berkelanjutan. Makalah ini mencoba mencari jawaban mengenai permasalahan ini dengan mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keberlanjutan program pembangunan, program pengelolaan pesisir terpadu  (P2T) pada khususnya. Diharapkan faktor-faktor berpengaruh terhadap P2T yang diidentifikasi dalam makalah ini akan memberi manfaat kepada pihak-pihak yang berkepintingan (perencana, pengelola dan pelakasana, serta para pemerhati) dalam penyelenggaraan P2T di mana saja.

 

3.         METODE PENELITIAN

 

Telah cukup banyak literatur tersedia mengenai hasil evaluasi proyek atau program pembangunan. Literatur khusus mengenai hasil evaluasi program P2T pun kini telah mulai berkembang. Oleh karena itu, untuk mencari jawaban dari persoalan di atas, cukuplah kiranya dilakukan telaah literatur yang ada, baik literatur yang ditulis di negara lain terutama literature mengenai emaluasi program P2T di Indonesia. Dari literatur yang ada diharapkan dapat diidentifikasi cukup banyak faktor-faktor keberlanjutan P2T yang nantinya niscaya akan bermanfaat baik bagi para perencana dan pengelola program maupun para pemerhati.

 

4.         TEMUAN-TEMUAN

 

Pada paragraf-paragraf di bawah disajikan hasil-hasil temuan dari telaah beberapa dokumen mengenani program P2T di Indonesia maupun di luar negeri. Kasus di Indonesia terkonsentrasi di Sulawesi Utara (Taman Nasional Bunaken) dan di Jawa Tengah (Segara Anakan). Kasus-kasus di dua lokasi ini terdokumentasi secara rapih di Indonesian Journal of Coastal and Marine Resources, Edisi Khusus, No. 1, 2003. Kasus lain di Indonesia adalah hasil evaluasi the Coastal Resouce Management Project (CRMP) yang dilaksanakan di propinsi-propinsi Lampung, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, dan Papua. Kasus di luar negeri diambil dari buku Cincin-Sain dan Knecht yang merangkum pengalaman pelaksanakan program pengelolaan pesisir dan lautan terpadu di 58 negara di dunia. Selain itu, buku tulisan Beatly et al. (2002) dan Clark (1996) memuat kasus-kasus internasional yang menarik. Di bawah dipaparkan beberapa temuan-temuan tersebut.

 

4.1       Kesejahteraan Komunitas Pesisir

 

Christie (2003) menemukan kasus yang menarik di Taman Nasional Laut Bunaken di propinsi Sulawesi Utara. Dia membandingkan dua lokasi di Taman Nasional Laut Bunaken, yaitu perairan di selatan Pulau Nain dan perairan Alung Banoa dan lainnya di sebelah selatan Pulau Bunaken. Ada perbedaan yang cukup tajam antara dua lokasi ini. Di sekitar Pulau Nain tidak ada zona larang tangkap dan belum terdapat kegiatan pengelolaan kawasan konservasi atau zonasi. Sebaliknya, di Pulau Bunaken dan wilayah perairan lautnya telah dilakukan zonasi secara partisipatif dan telah ditetapkan dua zona larang tangkap. Di lokasi ini juga telah lama dilaksanakan program pengelolaan kawasan konservasi, yaitu Natural Resource Management Program. Di samping itu penduduk Pulau Nain dikenal sebagai penangkap ikan illegal dan pembudi-daya rumput laut yang kurang memperhatikan kelayakan lingkungan.

Hasil studi di dua lokasi menunjukkan bahwa secara umum kondisi terumbu karang dan jumlah ikan di selatan Pulau Naim lebih baik dari wilayah selatan Pulau Bunaken. Salah satu kemungkinan penyebabnya adalah bahwa penduduk Pulau Naim, walaupun masih meneruskan kegiatan penangkapan ikan, telah memiliki kesibukan lain yaitu budidaya rumput laut yang secara ekonomi menghasilkan tambahan penghasilan keluarga yang signifikan. Dengan demikian tekanan penduduk terhadap terumbu karang dan komunitas ikan semakin menurun.[9]  Hal ini tampaknya sangat sederhana dan obvious, namun kebenarannya tidak perlu diragukan. Orang yang kelaparan cenderung untuk menggunakan berbagai cara untuk mengatasi kelaparannya, termasuk cara-cara yang kurang bersahabat terhadap alam. Kefakiran mendekati kekufuran.

Dalam hal suatu program P2T yang menyediakan jasa dan sarana kepada komunitas pesisir yang tingkat ekonominya kurang memadai, Beatly (2002) mengingatkan bahwa pengalaman di Amerika Utara faktor pemerataan dan keterjangkauan (equity dan affordability) merupakan faktor yang sangat penting terhadap kelanjutan keberhasilan program.[10] Pembangunan rumah-rumah sederhana yang ramah lingkungan dengan harga terjangkau untuk masayarakat pesisir di pantai timur Virginia menunjukkan tingkat keberhasilan yang sangat bagus.

 

4.2       Proses Perencanaan dan Pengambilan Keputusan yang Inklusif, Transparan, dan Didukung oleh Pengetahuan Ilmiah

 

Pollnac et al. (2003) dalam penelitiannya yang dilakukan di dua lokasi terpisah, yakni di wilayah Cilacap, Jawa Tengah, sehubungan dengan Coastal Resources Management (CRM) dan Segara Anakan Conservation and Development Project, dan di Taman Nasional Laut Bunaken di Sulawesi Utara sehubungan dengan Natural Resource Management Project (NRMP-1) menemukan bahwa peranserta pihak-pihak yang berkepentingan dalam perencanaan dan pelaksanaan proyek, baik secara individu maupun secara bersama-sama, berperan sangat penting sebagai faktor utama penentu keberlanjutan program P2T[11]. Peranserta tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi dipengaruhi oleh beberapa hal. Para pemangku kepentingan bersedia untuk berperanserta karena mereka melihat (a) manfaat yang diharapkan akan diperolehnya (perceived benefits), (b) kemungkinan pemerataan manfaat di antara para pemangku kepentingan, dan (c) keberlanjutan manfaat setelah proyek selesai. Oleh karena para pemangku kepentingan berperanserta dalam perencanaan proyek dan merasa memainkan peran dalam membidani lahirnya proyek, maka mereka merasa bahwa proyek tidak dipaksakan dari luar. Dengan demikian mereka merasa memiliki proyek tersebut. Dengan proses seperti itu, bisa dipastikan bahwa proyek yang dihasilkan dan disepakati lebih sesuai dengan keinginan anggota masyarakat. Juga, peranserta dalam perencanaan dan pelaksanaan proyek P2T tampak telah berdampak pada peningkatan pemberdayaan masyarakat.

Christie[12] (2003) juga mensinyalir bahwa dukungan seluruh pemangku kepentingan wilayah pesisir merupakan faktor penting terhadap keberlanjutan program. Konflik kepentingan, atau bahkan hanya konflik persepsi, di antara konsituen (seperti nelayan, penyelenggara wisata bahari, ilmuwan, pejabat pemerintah, LSM, dan konsevasionis) akan memelihara ketidakpuasan di antara mereka apabila tidak diambil langkah-langkah proaktif. Ketidakpuasan di antara satu konstituen atau lebih, apabila tidak diselesaikan dengan cara yang bijak, bisa mengakibatkan terancamnya keberlanjutan kegiatan P2T karena mereka akan melanggar kesepakatan atau peraturan yang ada dan disepakati.

Oleh karena itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa peranserta para pemangku kepentingan dalam P2T, baik secara individu atau secara bersama-sama, cenderung berakibat pada kesesuaian kegiatan proyek dengan keinginan mereka daripada proyek yang dipaksakan dari luar. Peranserta seperti ini menumbuhkan rasa memiliki di kalangan pihak-pihak yang berkepentingan dan meningkatkan keberdayaan masyarakat pesisir. Perasaan memiliki digabungkan dengan peningkatan keberdayaan masyarakat pesisir dan kesesuaian kegiatan P2T dengan kondisi lokal tampak telah berdampak pada keberlanjutan kegiatan P2T oleh masyarakat pesisir sendiri setelah proyek selesai.

Seluruh proses perencanaan dan pengambilan keputusan mengenai P2T hendaknya didukung dengan informasi ilmiah yang diperoleh melalui riset dan pengalaman empiris. Informasi ilmiah sangat diperlukan untuk membantu memahami permasalahan yang ada di wilayah pesisir dan untuk memberi arah P2T, karena begitu kompleksnya permasalahan yang ada di wilayah pesisir. Kaitan antara lingkungan hidup, sumber daya alam, dan faktor sosial-ekonomi masyarakat pesisir merupakan hubungan yang sangat kompleks yang memerlukan penjelasan ilmiah dari ilmu-ilmu yang terkait. Tanpa dukungan informasi ilmiah, mustahil untuk dapat memahami penyebab-penyebab mendasar yang mengakibatkan timbulnya permasalahan-permasalahan di wilayah pesisir. Begitu pentingnya dukungan ilmu pengetahuan terhadap penyelenggaraan P2T, Cincin-Sain dan Knecht (1998) menguraikan permasalahan ini dalam satu bab khusus dalam bukunya.[13]

Proses perencanaan dan pengambilan keputusan yang yang inklusif, transparan, dan didukung oleh pengetahuan ilmiah ini sebenarnya dirancang untuk mencapai beberapa keluaran penting yang berpengaruh terhadap keberlanjutan kegiatan P2T. Keluaran-keluaran dari proses perencanaan dan pengambilan keputusan ini tampak sejalan dengan yang dianggap sebagai 6 (enam) parameter berkelanjutan P2T oleh Bengen sebagai berikut[14]: (1) sesuai dengan kebijakan-kebijakan setempat, baik kebijakan formal maupun informal; (2) sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat setempat; (3) didukung oleh ketersediaan sumber daya manusia dan kelembagaan; (4) keterlibatan aktif stakeholder; (5) memiliki rencana dan program yang jelas; (6) memiliki dampak terhadap lingkungan termasuk sosial budaya dan ekonomi  masyarakat setempat. Keenam faktor ini tentu akan lebih lengkap dengan tambahan faktor ketujuh (7), yaitu dukungan informasi ilmiah.

Sievanen (2003) dalam studinya mengenai Komunitas Berpindah dan Implikasi Keberlanjutan[15] memberi catatan khusus, yaitu bahwa wisata bahari sebagai mekanisme pengenalan modal internasional dan kekuasaan negara justru sering berakibat buruk, yaitu marginalisasi pengguna sumber daya pesisir yang telah ada. Lebih lanjut dia berargumentasi bahwa wisata bahari secara inheren memperbesar kemungkinan termaginalisasinya para pengguana sumber daya pesisir yang telah ada. Oleh karena itu, dia merekomendasikan dua hal. Pertama, perlunya mendefinisikan secara lebih tegas “komunitas” yang hendak dijadikan sasaran untuk diberdayakan oleh suatu program P2T, karena sering dijumpai ketidak-jelasan mengenai siapa yang akan diuntungkan oleh suatu program P2T.  Kedua, kemitraan antara sektor publik dan sektor dunia usaha yang saat ini sedang digiatkan dalam rangka pengentasan kemiskinan dan pembangunan lingkungan hidup hendaknya mencakup komunitas yang hidupnya tergantung pada sumber daya pesisir dan lautan (coastal and marine-dependent communities), karena sering justru mereka yang termaginalkan.

 

4.3       Penutupan Proyek secara Tepat

 

Satu faktor yang tampak kecil namun penting dan sering terlupakan oleh para penyelenggara program P2T adalah cara penutupan suatu program. Hanson (2003) mengatakan “the ability to wind down activities is about as important as the capacity to start new initiatives in a project that seeks to …”[16] Penyelesaian suatu proyek harus benar-benar memperhatikan keberlanjutan dari apa-apa yang telah dicapai oleh proyek. Apabila tidak, bisa jadi suatu proyek yang telah dianggap sangat berhasil, baik dalam pengertian ekologi maupun ekonomi, akan berhenti seperti pasar malam, tidak meninggalkan dampak yang berlanjut.

 

4.4       Kerangka Hukum yang Memadai

 

Begitu pentingnya kerangka hukum dalam P2T, Patlis (2003) mengatakan “perhaps no field more than the management of coastal resources requires a well functioning legal system for its success.” [17] Lebih lanjut ia mangatakan bahwa keberlanjutan P2T terhalangi oleh “systemic issues” yang berkaitan dengan penyusunan peraturan perundangan (statutory drafting) serta interpretasi dan pemecahan masalah (interpretation and resolution) dalam sistem hukum, terlepas dari penerapan dan penegakan hukum yang sering dijadikan sebagai alasan kegagalan. Hukum hendaknya dapat menciptakan kondisi yang kondusif untuk P2T secara berkelanjutan. Oleh karena itu, kerangka hukum perlu mendapat perhatian dalam keseluruhan proses penyelenggaraan P2T dari awal hingga akhir. Dengan pola pikir bahwa “creating an integrated system is not about drafting laws and regulations that look good on paper but rather about designing norms that are rooted in people’s beliefs…” (De Soto 2000) dan “…law is better viewed as a process for decision making” (Reisman 1987), Patlis (2003) mengatakan bahwa peranserta menjadi fungsi sistem hukum, transparansi dan akses terhadap informasi menjadi fungsi sistem hukum, akses terhadap keadilan dan alokasi yang merata menjadi fungsi sistem hukum.[18]

Apa yang dikatakan Patlis di atas telah diupayakan pelaksanaannya di tiga lokasi di Sulawesi Utara (Blongko, Talise, dan Bentenan-Tumbak) oleh the Coastal Resources Management Project (CRMP). Program P2T di tiga lokasi tersebut dilengkapi dengan perangkat hukum yang memadai mulai dari tingkat desa (Perdes), tingkat kabupaten (Perda Kabupaten), dan tingkat propinsi (Perda Propinsi), yang kesemuanya disusun secara transparan dan partisipatif. Perda Kabupaten Minahasa telah menetapkan sebesar prosentasi tertentu dari APBD-nya untuk dialokasikan di Kabupaten Minahasa setiap tahunnya guna pendanaan program P2T. Di samping perangkat hukum di tingkat daerah tersebut, kini Pemerintah sedang menyusun rancangan undang-undang pengelolaan wilayah pesisir terpadu secara nasional.

 

4.5              Desain Program yang Fleksibel dan Memuat Prisip-Prinsip P2T

 

Selain faktor-faktor di atas, desain program P2T juga turut berpengaruh terhadap keberlanjutan. Hanson (2003) menemukan salah satu faktor yang ikut menentukan keberhasilan Coastal Resources Management Project di Indonesia, dilihat hari visibilitas dan pengaruhnya, adalah desainnya yang fleksibel yang bisa beradaptasi dengan perubahan sosial politik yang terjadi di sekitarnya[19]. Dapat diumpamakan bahwa suatu proyek atau program sebagai sebuah senapan yang didesain untuk menembak suatu sasaran tertentu, maka apabila tata-letak sasaran yang akan ditembak berubah maka senapannya pun harus ikut beradaptasi dengan tata-letak tersebut, apabila tidak maka tembakannya akan meleset dari sasarannya. Apabila suatu proyek atau program pembangunan tidak bisa berubah mengikuti perubahan sosial politik yang ada, maka besar kemungkinan proyek atau program tersebut akan gagal memecahkan persoalan yang ingin diselesaikannya.

Yang lebih penting barangkali bahwa desain program P2T hendaknya memenuhi prinsip-prinsip pengelolaan wilayah pesisir terpadu. Cincin-Sain (1998) merangkum prinsip-prinsip P2T yang telah disepakati secara internasional, yaitu prinsip pemerataan antar generasi (intergenerational equity), kehati-hatian (precautionary), pencemar membayar (polluters pay), menyeluruh atau holistik, dan antar disiplin ilmu (interdisciplinary).[20] Aplikasi prinsip-prinsip ini dalam desain program atau proyek, selain akan membantu keberhasilan program atau proyek tersebut dalam mencapai keluaran-keluaran yang diinginkan, akan membantu keberlanjutan kegiatan P2T setelah proyek selesai.

 

 

5.         Kesimpulan

 

Dari temuan-temuan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa ada beberapa faktor penting yang berpengaruh besar terhadap keberlanjutan keberhasilan proyek dan program, yaitu sebagai berikut:

 

a.             Tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir;

b.            Proses perencanaan dan pengambilan keputusan yang inklusif, partisipatif, transparan, akuntabel, dan didukung dengan informasi ilmiah sebagai prasarat untuk menciptakan parameter berkelanjutan P2T, yaitu,

·    kesesuaian dengan kebijakan-kebijakan setempat, baik kebijakan formal maupun informal;

·    kesesuaian dengan kondisi sosial budaya masyarakat setempat;

·    dukungan ketersediaan sumber daya manusia dan kelembagaan;

·    keterlibatan aktif para pemangku kepentingan;

·    adanya rencana dan program yang jelas;

·    berdampak terhadap lingkungan termasuk sosial budaya dan ekonomi  masyarakat setempat; dan

·    dukungan riset, informasi ilmiah, dan pengalaman empiris.

c.             Penutupan proyek secara tepat

d.            Kerangka hukum yang memadai, dan

e.             Desain proyek yang fleksibel yang memenuhi prinsip-pinsip P2T

 

Diharapkan beberapa faktor yang berpengaruh terhadap keberlanjutan kegiatan P2T yang teridentifikasi di atas bisa memberi sedikit manfaat bagi para perencana, pengelola dan pelaksana, serta para pemerhati pembangunan, terutama pembangunan yang berkaitan dengan pengelolaan pesisir terpadu. Juga diharapkan bahwa peneliti lain bisa melengkapi daftar faktor berpengaruh terhadap keberlanjutan P2T yang masih sederhana ini agar keberlanjutan program dan kegiatan P2T di Indonesia lebih terjamin.


Referensi:

 

Beatly, T., D. J. Brower, and A. K. Schawab. An Introduction to Coastal Zone Management. Second Edition. Island Press, Washington DC, 2002.

 

Bengen, D. G., “Evolusi dan Urgensi Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut Secara Terpadu di Indonesia”. Makalah disampaikan dalam Simposium Close-out Proyek Pesisir Kalimantan Timur pada tanggal 21 Agustus 2003.

 

Christie, P., D Makapedua, and L.T.X. Lalamentik. “Bio-Physical Impacts and Links to Integrated Coastal Management Sustainability in Bunaken National Park, Indonesia” dalam Indonesian Journal of Coastal and Marine Resources, Special Edition, No. 1, 2003.

 

Cincin-Sain, B., and R. W. Kneck. Integrated Coastal and Ocean Management Concepts and Practices. ISLAND PRESS, Washington DC, 1998.

 

Clark, J. R. Coastal Zone Management Handbook. CRC Press LLC, 1996.

 

Departemen Kelautan dan Perikanan. Pokok-Pokok Pikiran Rancanan Undang-Undang (RUU) Pengelolaan Wilayah Pesisir (PWP). Jakarta 2003.

 

Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Departemen Kelaautan dan Perikanan. Naskah Akademik Pengelolaan Wilayah Pesisir. Jakarta 2001.

 

Fauzi, A., and S. Anna. “Assessment of Sustainability of Integrated Coastal Management Project: A CBA-DEA Approach” dalam Indonesian Journal of Coastal and Marine Resources, Special Edition, No. 1, 2003.

 

Hanson J., A., I. Agustine, C. A. Courtney, A. Fauzi, S. Gammage, and Koesoebiono. An Assessment of the Coastal Resource Management Project (CRMP) in Indonesia, CRC/URI, 2003.

 

Kay, R and Jacqueline Alder. Coastal Planning and Management. E&FN SPON, London and New York, 1999.

 

Knight, M., and K. Lowry. “Institutional Arrangements for Decentralized Coastal Management in Indonesia” dalam Indonesian Journal of Coastal and Marine Resources, Special Edition, No. 1, 2003.

 

Lowe C. “Sustainability and the Question of “Environment” in Integrated Coastal Management: the Case of Nain Island, Bunaken National Park” dalam Indonesian Journal of Coastal and Marine Resources, Special Edition, No. 1, 2003.

 

Patlis, J. “The Role of Law and Legal Institutions in Determining the Sustainability of Integrated Coastal Management Project in Indonesia” dalam Indonesian Journal of Coastal and Marine Resources, Special Edition, No. 1, 2003.

 

Pollnac R., R. Pomeroy, and L. Bunce. “Factors Influencing the Sustainability of Integrated  Coastal Management Project in Central Java and North Sulawesi, Indonesia” dalam Indonesian Journal of Coastal and Marine Resources, Special Edition, No. 1, 2003.

 

Sievanen L. “Shifting Communities and Sustainability Implications” dalam Indonesian Journal of Coastal and Marine Resources, Special Edition, No. 1, 2003.

 

 



[1] Timothy Beatly, David J. Brower, dan Anna K. Schwab, An Introduction to Coastal Zone Management (Washington, DC: Island Press 2002), hlm. 14.

[2] Contoh penentuan batas-batas fisik wilayah pesisir di banyak negara dapat dilihat di Biliana Cincin-Sain dan Robert W. Knecht, Integrated Coastal and Ocean Management Concepts and Practices, (Washington, DC: Island Press 1998), hlm. 50–52.

[3] Departemen Kelautan dan Perikanan, “Pokok-Pokok Pikiran Rancanan Undang-Undang (RUU) Pengelolaan Wilayah Pesisir (PWP),”  hlm. 10.

[4] Biliana Cincin-Sain dan Robert W. Knecht, Integrated Coastal and Ocean Management Concepts and Practices, (Washington, DC: Island Press 1998), hlm. 15-18.

[5] Dietriech G. Bengen, “Evolusi dan Urgensi Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut Secara Terpadu di Indonesia”  makalah disampaikan dalam “Simposium Close-out Proyek Pesisir Kalimantan Timur pada tanggal 21 Agustus 2003, hlm. 13.

[6] Biliana Cincin-Sain dan Robert W. Knecht, Integrated Coastal and Ocean Management Concepts and Practices, (Washington, DC: Island Press 1998), hlm. 39.

[7] Dietriech G. Bengen, “Evolusi dan Urgensi Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut Secara Terpadu di Indonesia”  makalah disampaikan dalam “Simposium Close-out Proyek Pesisir Kalimantan Timur pada tanggal 21 Agustus 2003, hlm. 15.

[8] Ibid., hlm. 17.

[9] Patrick Christie, Daisy Makapedua, dan L.T.X. Lalamentik, “Bio-Physical Impacts and Links to Integtrated Coastal Management Sustainability in Bunaken National Park, Indonesia” dalam Indonesian Journal of Coastal and Marine Resources (Special Edition, No. 1, 2003),  hlm. 8.

[10] Timothy Beatly, David J. Brower, dan Anna K. Schwab, An Introduction to Coastal Zone Management (Washington, DC: Island Press 2002), hlm 272.

[11] Richard Pollnac et al., “Factors  Influencing the Sustainability of Integrated Coastal Management Projects in Central Java and North Sulawesi, Indonesia”  dalam Indonesian Journal of Coastal and Marine Resources (Special Edition, No. 1, 2003),  hlm. 33.

[12] Patrick Christie, Daisy Makapedua, dan L.T.X. Lalamentik, “Bio-Physical Impacts and Links to Integtrated Coastal Management Sustainability in Bunaken National Park, Indonesia” dalam Indonesian Journal of Coastal and Marine Resources (Special Edition, No. 1, 2003),  hlm. 17.

[13] Biliana Cincin-Sain dan Robert W. Knecht, Integrated Coastal and Ocean Management Concepts and Practices, (Washington, DC: Island Press 1998), hlm. 171-196.

[14] Dietriech G. Bengen, “Evolusi dan Urgensi Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut Secara Terpadu di Indonesia”  makalah disampaikan dalam “Simposium Close-out Proyek Pesisir Kalimantan Timur pada tanggal 21 Agustus 2003, hlm. 18.

[15] L. Sievanen, “Shifting Communities and Sustainability Implications” dalam Indonesian Journal of Coastal and Marine Resources, Special Edition, No. 1, 2003.

[16] Arthur J. Hanson et al., An Assessment of the Coastal Resource Management Project (CRMP) in Indonesia (CRC/URI 2003), hlm. 8.

[17] Jason Patlis, “The Role of Law and Legal Institutions in Determining the Sustainability of Integrated Coastal Management Project in Indonesia” dalam Indonesian Journal of Coastal and Marine Resources, Special Edition, No. 1, 2003, hlm. 73.

[18] Ibid, hlm. 92-93.

[19] Arthur J. Hanson et al., An Assessment of the Coastal Resource Management Project (CRMP) in Indonesia (CRC/URI 2003), hlm. 8.

[20] Biliana Cincin-Sain dan Robert W. Knecht, Integrated Coastal and Ocean Management Concepts and Practices, (Washington, DC: Island Press 1998), hlm. 108.