© 2003  Denny B A  Karwur                                                                     Posted   10  December  2003

Makalah Individu

Pengantar Falsafah Sains (PPS702)

Program Pascasarjana / S3

Institut Pertanian Bogor

Desember 2003

 

 

Dosen:

Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng (Penanggung jawab)

Prof. Dr. Ir. Zahrial Coto

 

 

 

 

PARADIGMA BARU PERATURAN DAERAH PENGELOLAAN SUMBERDAYA WILAYAH PESISIR DAN LAUT TERPADU BERBASIS MASYARAKAT DI PROPINSI SULAWESI UTARA

 

 

 

 Oleh : 

 

Denny B. A. KARWUR 

C261030051/SPL

dennykarwur@hotmail.com

 

               

1.  PENDAHULUAN

Indonesia memiliki 17.506 pulau, setelah keputusan Mahkamah Internasional menyatakan Pulau Sipadan dan Ligitan, menjadi milik negara Malayasia,   dengan panjang garis pantai 81.000 km. Karakteristik geografis Indonesia serta struktur dan tipologi ekosistemnya yang didominasi oleh lautan telah menjadikan bangsa Indonesia sebagai Mega-biodiversity terbesar di dunia, yang merupakan justifikasi bahwa Indonesia merupakan salah satu negara bahari terbesar di dunia.  Fakta ini menunjukkan bahwa sumberdaya kelautan merupakan kekayaan alam yang memiliki peluang amat potensial dimanfaatkan sebagai sumberdaya yang efektif dalm pembangunan bangsa Indonesia. Berdasarkan jenisnya sumberdaya kelautan dibagi menjadi sumberdaya yang dapat pulih (renewable resources), sumberdaya yang tidak dapat pulih (unnewable resources) energi kelautan dan jasa-jasa lingkungan. (Dahuri, 2003 hal 9).

Untuk menerapkan kebijakan pembangunan kelautan diperlukan instrumen hukum dan kelembagaan yang memadai. Merupakan kesepakatan para pakar dan pengamat pembangunan kelautan dari dalam maupun luar negeri, bahwa implementasi dan penegakan hukum (law enforcement) bidang kelautan di Indonesia dinilai masih lemah. Sanksi hukum bagi perusak lingkungan terlalu ringan, seperti pengguna bahan-bahan peledak, bahan beracun (cyanida), dan juga aktivitas penambangan karang untuk bahan bangunan, reklamasi pantai, kegiatan pariwisata yang kurang bertanggung-jawab dan seterusnya. Masih maraknya kegiatan destruktif, yang tidak hanya dilakukan oleh nelayan tradisional, tetapi juga nelayan-nelayan modern, dan nelayan-nelayan asing yang banyak melakukan pencurian ikan di perairan nusantara. Fakta ini merupakan bukti lemahnya penegakan hukum. Disamping itu terjadi tumpang tindih kebijakan yang seringkali menimbulkan konflik kewenangan. (Dahuri, et.al. 2003 hal. 85).

Reformasi di bidang hukum lingkungan khususnya di wilayah pesisir untuk mengintegrasikan berbagai perencanaan sektoral, tumpang tindih perencanaan, konflik pengelolaan dan degradasi bio-fisik, sehingga fungsi dan peranan hukum dalam penaatan serta penegakan hukum dapat menunjang dan menyelesaikan berbagai persoalanan pembangunan di wilayah pesisir dan laut yang hingga saat ini berlangsung secara terus menerus. Sudah sangat mendesak diatur dalam peraturan perundang-undangan yang khusus, sehingga dalam penaatan hukum, sistem dan kelembagaan dapat melandasi kepastian hukum dan supremasi hukum. Hukum Pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir meliputi semua peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan secara resmi oleh lembaga-lembaga pemerintah untuk mengatur hubungan antara manusia dengan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan. (Dahuri, 2000 hal. 11). 

Hukum positif yang berkaitan dengan pengelolaan wilayah pesisir sampai saat ini belum ada pengaturan secara spesifik, artinya wilayah pesisir sebagai bagian dari wilayah nasional tunduk pada pengaturan yang berlaku umum, antara lain Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup; Undang-undang No. 9 tahun 1995 tentang Perikanan;  baik untuk unsur lautnya maupun unsur daratnya. Unsur lautnya tunduk pada pengaturan hukum laut, dan mengenai unsur daratnya tunduk pada pengaturan mengenai tanah dan air. Sedangkan pengaturan mengenai sumber-sumber kekayaan alam yang terkandung di dalam tanah dan airnya tunduk pada berbagai undang-undang yang memberikan wewenang khusus kepada masing-masing departemen secara sektoral-sentralistik. Walupun ada sebagian dari wewenang sektoral yang telah diserahkan atau dilimpahkan kepada pemerintah daerah, namun sistem pengaturan kewenangan tersebut justru telah menimbulkan tumpang tindih wewenang di dalam pelaksanaannya. 

Penetapan standar pengelolaan pesisir pantai dan pulau-pulau kecil merupakan salah satu hal yang menurut PP No.25/2000 perlu dibuat dan Pemerintah Pusat ditunjuk sebagai pihak yang berwenang untuk itu (Ps. 2 ayat (3) angka 2 (Bidang Kelautan) huruf d PP No. 25/2000).  Tidak ditegaskan di situ bahwa penetapan standar tersebut harus dalam bentuk Undang-undang, namun sekarang di tingkat Pemerintah Pusat telah dipersiapkan suatu RUU tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Terpadu.

­Paradigma baru pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis masyarakat terjadi perkembangan yang dapat dikatakan “luar biasa” di Sulawesi Utara sejak tahun 1997 masyarakat di beberapa desa pesisir wilayah Kabupaten Minahasa (Blongko, Talise, Bentenan dan Tumbak) mulai difasilitasi untuk menumbuhkan “rasa memiliki” atas lingkungan hidupnya yang diharapkan dengan sendirinya akan muncul perasaan mau/ingin mengatur, mengelola dan menjaga lingkungan hidupnya sendiri.  Hal ini mendahului keberadaan UU No.22/1999 yang menjadi titik awal era otonomi daerah yang baru, PP No.25/2000 sebagai aturan pelaksanaannya dan juga TAP MPR No.IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam, yang memiliki dasar pikiran yang sama.

Sebagai hasil fasilitasi tersebut, maka sejak tahun 1998 mulai ada keputusan-keputusan desa, produk hukum dari masyarakat-masyarakat lokal itu sendiri dalam bentuk Peraturan Desa, (Keputusan Desa tentang Daerah Perlindungan Laut Blongko No. 03/2004a/KD-DB/VIII/98, Peraturan Desa Talise No. 01/2028/PD-DT/VIII/2000, Peraturan Desa Bentenan No. 3 Tahun 2002 dan Peraturan Desa Tumbak No. 1/2009/PD/TBK/2000) yang menyangkut pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir, disusul kemudian dengan ditetapkannya Perda Kabupaten Minahasa No.2 Thn 2002 tentang Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir Terpadu Berbasis Masyarakat Di Kabupaten Minahasa dan Perda Propinsi Sulawesi Utara No.38 Tahun 2003 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut Terpadu Berbasis Masyarakat di Propinsi Sulawesi Utara.  Keduanya merupakan Peraturan daerah usul inisiatif lembaga legislatif (DPRD).

II. STRATEGI PROGRAM BERBASIS MASYARAKAT

            Setiap program berbasis masyarakat pada hakekatnya turut menempatkan masyarakat sebagai salah satu pihak yang berkepentingan dalam perencanaan, penyusunan, pengelolaan maupun pengambilan keputusan-keputusan tentang pemanfaatan sumber daya alam. Dalam hal ini maka adalah penting menjadikan masyarakat di wilayah-wilayah pesisir sebagai pihak yang terlibat secara aktif di dalam kegiatan-kegiatan tersebut di atas. Konsep kegiatan pemanfaatan sumber daya alam berbasis masyarakat yang baik adalah didasarkan pada konsep  good resource management governance, yaitu suatu pemerintahan yang menjalankan sistem manajemen pengelolaan sumber daya alam yang dilakukan melalui proses-proses perencanaan sampai dengan pengambilan keputusan yang partisipatif, transparan dan akuntabel.

Sifat partisipatif berarti masyarakat mengambil bagian secara aktif melalui beberapa proses maupun metoda (antara lain melalui focus group discussion, focus issues discussion), di dalam penetapan wilayah daerah perlindungan laut, perencanaan sampai penggunaan bahkan mekanisme pemeliharaannya termasuk pengawasan dan pengenaan sanksi.

Secara transparan berarti masyarakat mengetahui tujuan dari penyelenggaraan program yang dilakukan masyarakat sendiri, atau ditetapkan berdasarkan aspirasi masyarakat. Dalam hal ini masyarakat mempunyai kesempatan yang luas untuk melakukan penilaian (assessment) terhadap rencana yang akan dilakukan di atas areal yang akan ditetapkan sebagai daerah perlindungan laut.

Secara akuntabel artinya pemerintah, pihak swasta bersama-sama masyarakat dapat merumuskan deskripsi dan persyaratan mekanisme kerja dan proses untuk mencapai tujuan atau menyelenggarakan apa yang hendak direncanakan dan dilaksanakan bahkan sampai tercapainya rencana yang dikehendaki termasuk jikalau terjadi kegagalan.

            Dengan demikian penghargaan dan ruang gerak kepada masyarakat di dalam pengelolaan  sumber daya wilayah pesisir terpadu berbasis masyarakat, lebih khusus lagi dalam  pengelolaan daerah perlindungan laut adalah lebih jelas, dan dapat benar-benar memperlihatkan kebutuhan, kepentingan dan keinginan masyarakat secara keseluruhan.

            Oleh karena itu suatu kegiatan berbasis masyarakat, termasuk dalam pembuatan peraturan daerah tentang pengelolaan sumber daya wilayah terpadu berbasis masyarakat termasuk untuk daerah perlindungan laut mengharuskan disertakannya masyarakat secara aktif. Masyarakat tidak dapat sekedar hanya didengar keinginannya kemudian tidak lagi diturut sertakan di dalam proses.

            Beberapa langkah penting yang dapat diambil dalam jangka waktu pendek maupun menengah adalah sebagai berikut :

1.      Penetapan wilayah pesisir yang perlu diprioritaskan untuk menjalankan program, berdasarkan kriteria misalnya untuk masyarakat di daerah pesisir yang relatif terpencil atau terisolasi, taraf kehidupan masyarakatnya rendah dan lain-lain.

2.      Kelompok masyarakat setempat adalah kelompok masyarakat yang kehidupannya sangat bergantung pada laut dan pesisir yang ada di sekitarnya.

3.      Kelompok masyarakat setempat memiliki kemauan untuk secara aktif mengelola sumber daya wilayah pesisir yang dilakukan secara terpadu.

4.      Untuk hal yang diebutkan dalam butir 3 di atas, peraturan daerah tentang pengelolaan sumber daya wilayah pesisir terpadu berbasis masyarakat ditetapkan sebagai suatu kebijaksanaan dasar yang perlu dilakukan secara kelembagaan, oleh setiap pihak yang berkepentingan (stakeholders), di samping pokok-pokok  yang perlu dilakukan secara terpadu (integrated), antara program kegiatan yang land-based dan water-based, dan memperhatikan prinsip-prinsip keberlanjutan. (Titahelu, 2002 hal. 7-9)

 

III. PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PESISIR MELALUI PROSES PEMBUATAN PERATURAN DAERAH BERBASIS MASYARAKAT.

 

A. Dampak dan Implementasi Peraturan Daerah yang berbeda.

            Berdasarkan proses penyusunan yang melalui langkah-langkah yang tidak sebagaimana mestinya dalam penyusunan suatu peraturan daerah, yang tentunya tidak bertentangan dengan suatu mekanisme dan tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi tingkatannya. Asas peraturan perundang-undangan antara lain   menghasilkan suatu peraturan perundangan-undangan sebagai sarana untuk semaksimal mungkin dapat mencapai kesejahteraan spritual dan material bagi masyarakat maupun individu, melalui pembaharuan atau pelestarian (Purnadi Purbacaraka & Soerjono Soekanto dalam Deti Mulyati & Supardan Modeong 2000 hal. 11). Peraturan yang tercipta akan ditaati oleh masyarakat, sebab dilakukan melalui hal-hal sebagai berikut :

  1. Melibatkan peran serta masyarakat secara partisipatif.
  2. Membahas permasalahan secara bersama, untuk ditanggulangi bersama antara stakeholder, dan kepentingan dinikmati oleh semua pihak (masyarakat, swasta dan pemerintah).
  3. Proses penyusunan Rancangan Peraturan Daerah, dilaksanakan secara bersama.
  4. Melibatkan pihak LSM dan swasta dalam membahas substansi rancangan peraturan daerah.
  5. Memberdayakan masyarakat lokal dan institusi legislatif di tingkat desa untuk, membuat kebijakan yang sifatnya pengelolaan dengan memberikan kewenangan kepada masyarakat dan pemerintah desa, menyusun kebijakannya sediri.
  6. Dapat ditaati dan dijadikan model untuk mengimplementasikan program pemberdayaan masyarakat. (Karwur, D & M.L. Ering, 2002 hal. III.195 ). 

B. Proses Penyusunan Peraturan Daerah Berbasis Masyarakat, sebuah Model.

            Peraturan Daerah yang sudah disahkan berlaku bagi seluruh komponen di Kabupaten Minahasa, Propinsi Sulawesi Utara merupakan suatu model implementasi keinginan masyarakat dalam menanggulangi permasalahan di wilayah pesisir dan laut. Proses penyusunan di Kabupaten Minahasa sejak awal hingga akhir melibatkan peran masyarakat desa, Lembaga Swadaya Masyarakat dan dibantu oleh pihak akademisi sebagai konsultan sehingga penyusunan Rancangan Peraturan Daerah dan diserahkan kepada lembaga legislatif daerah yaitu DPRD, dan diajukan menjadi Peraturan Daerah dengan hak inisiatif. Hasil diskusi bersama dengan Panitia Khusus yang dibentuk untuk penyusunan Peraturan Daerah, menjadi bagian dalam penyempurnaan Substansi yang kemudian Rancangan Peraturan Daerah ditetapkan oleh Bupati dan disahkan untuk diberlakukan dan sudah dilaksanakan. Peraturan daerah di tingkat Propinsi, proses penyusunannya untuk mengakomodasikan keinginan masyarakat di kabupaten dan kota yang terlebih dahulu menyusun dan memberlakukan peraturan daerah khusus pengelolaan pesisir. Proses penyusunan di lakukan kerjasama antar lembaga pemerintah, perguruan tinggi, perwakilan lembaga swadaya masyarakat, hasilnya penyusunan draft academic, konsultasi publik dan substansi peraturan daerah.  Peraturan Daerah yang berlaku tersebut, memberikan hak penuh kepada masyarakat untuk mengelola sumberdaya wilayah pesisir di tingkat desa melalui Badan Perwakilan Desa dan Pemerintah Desa demi kesejahteraan seluruh masyarakat.

Di Kabupaten Minahasa, telah dibentuk Badan Pengelola Pesisir Tingkat Kabupaten, (SK Bupati No. 195 Tahun 2003), sebagai penjabaran dari pasal 9 (Perda No. 2/2002) Sedangkan di tingkat Propinsi akan dibentuk suatu Badan Pengelola Pesisir dan Laut terpadu sesuai Perda No. 38/2003 pasal 21, 22 dan 23, sehingga badan yang terbentuk merupakan implementasi dari pihak masyarakat, swasta, dan pemerintah, yang akan secara bersama-sama melakukan kegiatan dalam satu wadah yang terencana dan berkesinambungan, sesuai dengan prinsip, dan tujuan untuk menumbuh kembangkan peran masyarakat dan pemerintah dalam pengelolaan wilayah pesisir di Kabupaten Minahasa khususnya dan Propinsi Sulawesi Utara umumnya.

 

IV. Sistem dalam Peraturan Daerah Pesisir dan Laut Terpadu Berbasis Masyarakat di Propinsi Sulawesi Utara (Perda No. 38/2003).

Melalui Perda Pesisir dan Laut Sulawesi Utara telah dibentuk suatu sistem yang dapat dinamakan Sistem Pengelolaan Pesisir dan Laut Terpadu Berbasis Masyarakat.  Secara garis besarnya, sistem ini berlandaskan pada dua model atau gagasan pokok pengelolaan, yaitu: (1) Pengelolaan Berbasis Masyarakat (community-based management); dan, (2) Pengelolaan Terpadu (integrated management).  Prinsip-prinsip yang dipandang penting, sehubungan dengan model berbasis masyarakat, sehingga telah ditegaskan dalam Perda, yaitu: (1) sukarela, bukan  persyaratan/keharusan, (2) insentif, bukan sanksi, (3) penguatan, bukan birokrasi, (4) proses, bukan substansi, dan (5) penunjuk arah, bukan jalan spesifik. 

Sebagai sasaran sistem, khususnya dari aspek perlindungan lingkungan hidup, yaitu pemanfaatan sumberdaya alam pesisir dan laut secara berkelanjutan (sustainable). Untuk mewujudkan sasaran ini dibutuhkan program-program implementasinya, di antara program-program yang direncanakan maka ada program-program merupakan prioritas sesuai dengan kebutuhan, seperti pengelolaan pesisir yang inisiatif/muncul dari kehendak masyarakat lokal dengan menentukan sendiri Daerah Perlindungan Laut dan Daerah Perlindungan Bakau di lokasi yang ditentukan sendiri oleh masyarakat desa, kemudian dikukuhkan dalam Peraturan Desa, seperti Peraturan Desa Blongko, Talise, Bentenan, Tumbak dan Desa-desa pesisir Kecamatan Likupang Barat – Likupang Timur.

Perencanaan dan Program Pengelolaan Pesisir dan Laut berasal dari prakarsa pemerintah (Propinsi, Kabupaten/Kota dan Desa/Kelurahan), masyarakat lokal atau perorangan (Perda No. 38/2003, pasal 25 sampai dengan pasal 34), seperti rencana strategis, rencana pemintakan (zonasi) rencana pengelolaan dan rencana aksi. Perencanaan dan Program di bawah koordinasi Badan Pengelola Pesisir dan Laut di tingkat Propinsi.

V. PILAR PROGRAM

Materi dan jiwa aturan (the spirit of law) dari Perda Pesisir dan Laut di Sulawesi Utara, mempunyai tiga pilar utama bagi penyusunan program.  Tiga pilar ini merupakan karakteristik Perda sehingga berbeda dengan peraturan-peraturan pengelolaan lingkungan hidup yang ada sekarang ini. Ketiga pilar tersebut, yaitu:

a. Pilar Pertama : Desentralisasi pengelolaan kepada masyarakat lokal.  Telah  dijabarkan dalam Perda sebagai pengakuan terhadap hak-hak lingkungan dan hak-hak ekonomi tertentu dari masyarakat lokal atas lingkungannya.  Sebagai salah satu arti praktisnya, masyarakat lokal memiliki hak untuk mengetahui dan memberi persetujuan atas setiap usaha atau kegiatan yang akan dilakukan pihak lain di wilayah pesisir Desa/Kelurahan sebelum pemberian izin oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Propinsi dan.atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (Pasal 12 huruf e Perda).  Konsekuensinya, setiap orang dan/atau badan hukum yang hendak melakukan usaha di wilayah pesisir wajib mendapat persetujuan terlebih dahulu dari masyarakat lokal pesisir (Ps. 36 ayat (1) huruf a Perda).

Sekarang ini, desentralisasi pengelolaan sumberdaya juga sudah diakui dan ditegaskan sebagai salah satu prinsip pembaruan agraria dan pengelolaan sumberdaya alam dalam Ketetapan MPR No.IX/MPR/2001.  Prinsip ini dirumuskan dengan kata-kata “melaksanakan desentralisasi berupa pembagian kewenangan di tingkat nasional, daerah provinsi, kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat, berkaitan dengan alokasi dan manajemen sumberdaya agraria dan sumberdaya alam” (Ps. 5 huruf l TAP MPR No.IX/MPR/2001).

 

b. Pilar kedua : Jalur politik yang efektif bagi masyarakat lokal.  Ini dijabarkan dengan ketentuan perlunya pembentukan badan koordinasi pengelolaan pesisir dan laut di tingkat Propinsi dan masing-masing Kabupaten/Kota.  Badan koordinasi ini menjadi salah satu jalur bicara dan perjuangan masyarakat lokal sebab mereka terwakili di situ.  Pembentukan badan ini juga untuk mewujudkan asas keterpaduan (integrated principle) dalam pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan laut.

 

c. Pilar ketiga : Pemberian kemampuan manajemen yang memerlukan pendampingan kepada masyarakat lokal.  Dasar pikiran umum dari pilar ini, yaitu tanpa pemberdayaan masyarakat, pembangunan ekonomi akan berputar-putar dalam lingkaran.  Sepuluh tahun, duapuluh tahun depan, jika kepada masyarakat diberikan suatu fasilitas, tetap dengan cepat akan berpindah tangan karena masyarakat tidak  punya keberanian dan kemampuan manajemen.

Dibutuhkan sekarang dan seterusnya adalah pemberian kemampuan manajemen kepada masyarakat lokal, yaitu manajemen (pengelolaan) sumberdaya alam.  Kemampuan dan keberanian untuk pengelolaan tersebut, memerlukan waktu.  Karenanya, diperlukan suatu proses pendampingan untuk tenggang waktu tertentu.

Pengakuan terhadap keberadaan kearifan lokal dalam manajemen sumberdaya alam sebagai asas pengakuan terhadap kearifan tradisional dalam pengelolaan sumberdaya alam (Ps. 4 huruf h Perda),  merupakan asas yang perlu diperhatikan dalam proses perencanaan program dan pendampingan.

Pilar pertama, yaitu desentralisasi merupakan dasar model community-based, berasal dari laporan the World Commission on Environment and Development: Our Common Future, yang juga dikenal sebagai the Brundtland Report 1987.  Dengan jelas dan rinci dikemukakan konsep terpadu (integrated) dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development), model dan konsep-konsep memerlukan waktu yang cukup lama untuk diterima oleh pemerintah di berbagai negara karena dipandang dapat merugikan pembangunan ekonomi.  Atas desakan berbagai pihak termasuk lembaga non pemerintah /LSM, akhirnya konsep dan model diterima setelah diuji penerapannya.

VI. RAMBU-RAMBU

Desentralisasi pengelolaan tidak akan menimbulkan pertentangan antar masyarakat dan menyulitkan kebijakan pembangunan pemerintah. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam  Peraturan Daerah di Sulawesi Utara yang bersifat sebagai rambu-rambu, yaitu:

1.       Pemahaman bahwa desentralisasi yang dimaksudkan dalam TAP MPR No.IX/MPR/2001, juga Brundtland Report 1987 (yang menjadi titik tolak model community-based), bukanlah dari aspek kepemilikan tapi aspek pengelolaan (manajemen).  Hak ini seperti halnya yang dalam Hukum Adat dikenal sebagai kalakeran (Minahasa) dari suatu desa, ulayat (Minangkabau), dsb.

2.       Hak masyarakat adalah berupa hak lingkungan tertentu dan hak ekonomi tertentu, jadi bukanlah keseluruhan hak seperti seorang pemilik;

3.       Hak-hak itu perlu melalui proses pendaftaran (Ps. 15 dan 16 Perda);

4.       Ada hal-hal tertentu di mana kegiatan pembangunan perlu diprioritaskan, khususnya pembangunan fasilitas umum seperti pelabuhan dan jalan umum (Penjelasan Ps. 36 ayat 1) Perda). (Maramis, F dan D. Karwur, 2003 hal. 3)

 

VII. INVESTOR DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

Investor merupakan salah satu pokok paling mendasar dalam Perda.  Di satu pihak dibutuhkan untuk pembangunan ekonomi di lain pihak banyak investasi (tidak semua) menimbulkan pencemaran/kerusakan lingkungan hidup.

Investasi di wilayah pesisir dan laut, terrmasuk juga di P2K, wajib memperhatikan ketentuan dalam Bab XI (Perjanjian dan Jaminan Lingkungan), yang mencakup Pasal 36, 37 dan 38 Perda.  Investor yang hendak melakukan investasi wajib:  a. mendapat persetujuan terlebih dahulu dari masyarakat lokal pesisir; b. membuat rencana rehabilitasi lingkungan; c. membuat rencana pemberdayaan masyarakat (Ps. 36 ayat (1) Perda).  Yang sedang melakukan investasi wajib: a. memperhatikan dan melindungi lingkungan hidup; b. melaksanakan pemberdayaan masyarakat (Ps. 37).

Selanjutnya, menurut Ps. 38 Perda, pelaksanaan pemberdayaan masyarakat pesisir sebagaimana dimaksud Pasal 37 Peraturan Daerah ini dikoordinasikan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (ayat 1).  Pembiayaan yang timbul dari pelaksanaan rencana rehabilitasi lingkungan dan pemberdayaan masyarakat pesisir sebagaimana dimaksud Pasal 37 Peraturan Daerah ini dibebankan kepada orang dan/atau badan hukum yang melakukan pengusahaan di wilayah pesisir tersebut (ayat 2).

Pemberdayaan masyarakat oleh investor berasal dari konsep tanggungjawab sosial pengusaha (social responsibility of business).  Peraturan perundang-undangan di Indonesia baru sedikit yang secara langsung mewajibkan investor melaksanakan pemberdayaan masyarakat.  Keputusan Presiden No.33 Tahun 2002 tentang Pengendalian dan Pengawasan Pengusahaan Pasir Laut, yang dalam Ps. 16 ayat (1) Setiap orang dan/atau badan hukum yang melakukan pengusahaan pasir laut wajib menyusun rencana pemberdayaan masyarakat pesisir.

 

VIII. PENGELOLAAN PULAU-PULAU KECIL (P2K)

a. Prinsip.

Pulau kecil adalah kesatuan ekologis pulau dengan luas kurang atau sama dengan 10.000 km2 dan tidak atau berpenduduk kurang dari atau sama dengan 200.000 jiwa, beserta kesatuan wilayah perairan disekitarnya sejauh 12 mil laut dari garis pantai (Ps.1 butir 23 Perda).  Definisi ini diambil dari Rancangan Undang-undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau kecil. 

Standar pengelolaan pesisir pantai dan pulau-pulau kecil pada kenyataannya sudah ditetapkan dalam beberapa keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan, seperti Keputusan No.Kep.41/2000 tentang Pedoman Umum Pengelolaan Pulau-pulau Kecil Yang Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat, No.Kep.10/Men/2002 tentang Pedoman Umum Perencanaan Pengelolaan Pesisir Terpadu, dan No.Kep.18/Men/2002 tentang Renstra Pembangunan Kelautan dan Perikanan Tahun 2001-2004. 

Pokok-pokok dalam beberapa Keputusan Menteri tersebut sudah diperhatikan dan dimasukkan ke dalam Perda Pesisir dan Laut Sulawesi Utara, Juga sudah diperhatikan perkembangan penyusunan Draft RUU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Terpadu.  Dengan demikian, perancang dan pelaksana Pengelolaan P2K yang berdasarkan Perda ini boleh dilaksanakan, sebab sangat kecil kemungkinan benturan dengan peraturan yang lebih tinggi.

Proses melakukan Pengelolaan P2K, mulai dari perencanaan, penentuan, pelaksanaan sampai monitoring program, selayaknya memperhatikan antara lain:

1.       Baik materi maupun jiwa aturan (the spirit of law) dari Perda Pesisir dan Laut Sulut, yang antara lain telah dikemukakan di atas.  Untuk daerah yang telah memiliki Perda Pengelolaan Pesisir seperti Kabupaten Minahasa, sudah tentu Perda yang bersangkutan menjadi perhatian.

2.       Aspek kewenangan masing-masing pemerintah (Pusat, Propinsi, Kabupaten/Kota, dan Desa/Kelurahan), karena pengalaman menunjukkan bahwa aspek ini yang paling peka.

3.       Pengelolaan pulau-pulau kecil dan perairan disekitarnya dilakukan secara menyeluruh berdasarkan satu gugusan pulau-pulau dan/atau keterkaitan pulau tersebut dengan ekosistem pulau induk (Ps. 2 ayat (3) Perda).

4.       Prinsip “proses, bukan substansi”, karena jika proses dipandang benar dan memuaskan oleh masyarakat maka substansi yang dihasilkan akan cenderung diterima. 

5.       Tenggang waktu yang memadai untuk suatu kegiatan, setidaknya 3 (tiga) tahun dan persiapan waktu 6 bulan untuk memotivasi/fasilitasi, 6 bulan pendampingan penyusunan aturan, sisanya untuk pendampingan penanggulangan masalah dan monitoring.

b. Pengelolaan P2K dan Investor

Investor yang berminat terhadap suatu pulau kecil, sama saja ketentuan dan persyaratannya dengan investor untuk wilayah pesisir. Lebih spesifik adalah investasi di suatu pulau kecil yang tidak berpenduduk, jadi tidak memiliki masyarakat local, sehingga persetujuan dan pemberdayaan masyarakat local menjadi persyaratan utama dan tidak dapat diabaikan.

Menurut Ps. 1 butir 16 Perda, masyarakat lokal adalah kelompok orang atau masyarakat yang mendiami Desa/Kelurahan pantai dan menjalankan tatanan hukum, sosial dan budaya yang ditetapkan dan ditaati oleh mereka sendiri secara turun temurun.  Pada saat konsultasi-konsultasi dengan berbagai pihak untuk persiapan draft Ranperda Propinsi, banyak kali diungkapkan tentang mereka yang bukan masyarakat lokal tetapi secara tradisional telah memiliki hak akses ke suatu lokasi, baik yang memiliki masyarakat lokal ataupun yang tidak berpenduduk.   

Untuk akses ke suatu lokasi yang memiliki masyarakat lokal, diperlukan kesepakatan dengan masyarakat lokal sebab masyarakat lokal yang memiliki prioritas dan berhak memperoleh manfaat atas lingkungannya sendiri.  Untuk akses ke suatu lokasi yang tidak memiliki masyarakat lokal, nantinya lebih tergantung pada proses pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dan 16 Perda. Investor untuk pulau kecil yang tidak berpenduduk, juga perlu memperhatikan mereka yang secara tradisional memiliki hak akses ke suatu pulau yang tidak berpenduduk.

Dengan demikian, investor dapat melakukan investasi di suatu pulau kecil, baik yang berpenduduk maupun yang tidak berpenduduk, dengan memenuhi persyaratan-persyaratan  yang ditentukan dalam Perda. Aspek lain yang perlu diperhatikan adalah kewenangan masing-masing Pemerintah, baik Pemerintah Pusat, Propinsi, Kabupaten/Kota dan Desa/Kelurahan.

 

IX. Penegakan Hukum (law enforcement)

a. Penerapan Sanksi.

Penyelesaian sengketa dan sanksi telah diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten dan Propinsi dimaksudkan untuk mengefektifkan penegakan hukum terutama di tingkat desa. Disadari bahwa kelemahan penegakan hukum  lingkungan terletak pada hukum prosedural yaitu terpecah-pecahnya fungsi pengumpulan bahan keterangan (prapenyidikan), penyidikan dan penuntutan perkara yang berada dalam tangan yang berbeda-beda. Selain itu, antara penegakan hukum pidana lingkungan dengan hukum administrasi lingkungan belum dilakukan penarikan garis yang saling mendukung satu sama lain. Oleh karena itu peraturan daerah ini memberi pembatasan berupa mendukung upaya penegakan hukum yang dilakukan desa jikalau terjadi pelanggaran-pelanggaran atas peraturan-peraturan desa. Cara ini dimaksudkan untuk melakukan penguatan terhadap penegakan hukum di tingkat desa yang disesuaikan dengan perundang-undangan dan keadaan/lingkungan  dan jika diperlukan koordinasi dengan pihak  kepolisian melalui mekanisme deputization of power to the communities, jikalau pelanggaran-pelanggaran tersebut termasuk dalam kategori kejahatan terhadap lingkungan (crime against environment) seperti tindakan-tindakan yang sangat merusak lingkungan yang dianggap sebagai kejahatan. (Perda Minahasa No. 2/2002 Pasal 37, 38 dan 39 dan Perda Propinsi Sulut No. 38/2003 Pasal 42, 43, 44, 45, 46 dan 47)

b. Pengawasan

Pengawasan dan evaluasi Badan terhadap kegiatan yang dilakukan pengusaha di wilayah pesisir bermaksud untuk mengatasi salah satu kelemahan pemantauan, pengawasan dan evaluasi terhadap setiap usaha yang berdampak pada lingkungan. Selama ini tampak bahwa penegakan hukum lingkungan oleh petugas administrasi sulkit diharapkan dapat berjalan dengan efektif. Biasanya kegiatan pemantauan, pengawasan dan evaluasi hanya dijalankan untuk mengklarifikasi keluhan-keluhan masyarakat, atau diterima melalui kontrol media massa, bukan melalui sutau program pemantauan, pengawasan maupun evaluasi yang terencana dan ditetapkan lebih dahulu. Penyelenggaraan pengaturan tentang pemantauan, pengawasan dan evaluasi yang diatur dalam Peraturan Daerah ini dibentuk sebagai salah satu mekanisme pendayagunaan pencegahan kerusakan lingkungan., selaras dengan Prinsip 4 dan Prinsip 14 dari dimensi Pelestarian Keanekaragamanhayati dan Kesatuan Ekologi dalam Deklarasi Rio yakni Perlindungan lingkungan adalah mutlak dan tak terpisahkan dengan pembangunan dan Upaya pencegahan terhadap kegiatan-kegiatan yang membahayakan lingkungan hidup dan manusia.  Oleh karena itu dari pemantauan, pengawasan dan evaluasi yang dilakukan diharapkan dapat mengefektifkan sanksi administratif. Kehadiran lembaga pemantauan, pengawasan dan evaluasi ini menegaskan adanya program pemeliharaan lingkungan yang kredibel terhadap komunitas usaha yang diawasi, atau terhadap komunitas yang menyelenggarakan kegiatan (regulated communities). Pengawasan dilakukan masyarakat dengan koordinasi dengan pemerintah (Perda Minahasa No. 2/2002 Pasal 36 dan Perda Propinsi Sulut No. 38/2003 Pasal 41).

c. Penanganan konflik.

Penanganan konflik yang terjadi dalam wilayah pesisir yang pemanfaatan dan pengelolaan pesisir dilakukan oleh masyarakat dan atau pihak lain dapat ditangani melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku apabila tingkat kerusakan setelah memperoleh penelitian berakibat fatal bagi lingkungan itu sendiri, dalam arti adanya unsur kesengajaan dan atau kelaian. Sepanjang pengaturan pengelolaan dan pemanfatan telah dilakukan di tingkat desa, maka dapat diberlakukan peraturan di tingkat yang paling rendah hal-hal  menyangkut cara penyelesaian konflik yang tertuang dalam peraturan desa dan hasil kesepakan bersama seluruh masyarakat.

            Konflik yang ditimbulkan akibat suatu kegiatan usaha dengan mengabaikan kesepakan yang telah dilakukan sebelumnya antar para pihak yaitu pengusaha dan masyarakat, maka dapat diselesaikan melalui musyawarah mufakat, sepanjang hal tersebut berakibat perubahan yang fatal pada unsur-unsur lingkungan.

            Penanganan konflik ini, merupakan suatu acuan yang diterapkan dengan menerapkan penyelesaian konflik secara cepat, dan biaya murah untuk kasus-kasus yang tertentu yang dapat diselesaikan melalui mekanisme penyelesaian perkara secara alternatif (Alternatif Dispute Resolution). Penyelenggaraan prinsip ini adalah untuk mempertemukan kepentingan (interest) para pihak sehingga kedua belah pihak dapat sama-sama menentukan keputusan yang terbaik yang memenuhi kepentingan masing-masing, dengan “mengorbankan” apa yang dirasakan dapat menghambat terpenuhinya pencapaian kepentingan yang saling menguntungkan. Dalam penerapan prinsip inilah dicapai apa yang disebut sebagai win-win solution atau keuntungan yang saling menguntungkan bagi para pihak berdasarkan kesepakatan yang diambil oleh masing-masing pihak.  Sifat dari keputusan ini pada prinsipnya adalah mengikat.

               Pelaksanaan konfik dapat ditangani oleh masyarakat dan atau perwakilan masyarakat (Lembaga Swadaya Masyarakat) melalui suatu gugatan yang ditujukan kepada lembaga yang berkepentingan menangani masalah lingkungan dalam hal ini Pengadilan Negeri. (Perda Minahasa No. 2/2002 Pasal 37 dan Perda Propinsi Sulut No. 38/2003 Pasal 42 dan 43)

X. PENUTUP

Melaksanakan suatu Peraturan Daerah secara menyeluruh tingkat propinsi dibentuk Badan Koordinasi Pengelolaan Pesisir, sekaligus dengan penyusunan juklak/juknis untuk hal-hal tertentu seperti prosedur pendaftaran, ataupun bagaimana mekanisme untuk memperoleh persetujuan dari masyarakat lokal yang menurut Penjelasan Pasal 36 ayat (1) Perda diatur lebih lanjut oleh Gubernur Sulawesi Utara.  Dengan Peraturan Daerah Pengelolaan Pesisir dan Laut terpadu berbasis masyarakat mendorong Daerah Kabupaten/Kota selain Kabupaten Minahasa, untuk menyusun Perda yang sejenis. Hal yang penting dalam penyusunan Perda adalah bahwa DPRD sebagai inisiator baik di tingkat Propinsi dan Kabupaten, mengajukan Ranperda dengan tujuan utama pemberdayaan masyarakat.  Pemberdayaan dalam Perda ini bukanlah apa yang menurut saya (Pemerintah) terbaik untuk anda (masyarakat lokal) melainkan apa yang terbaik menurut masyarakat itu sendiri.  Proses pembuatan Ranperda, yang kemudian telah menjadi Perda itu, mengikuti konsep bottom-up.  Karenanya, selain materi, maka yang menjadi jiwa aturan (the spirit of law) dari Perda Pengelolaan pesisir dan laut berbasis masyarakat di Propinsi Sulawesi Utara harus diperhatikan dalam pembuatan aturan lebih lanjut dan praktek pelaksanaan Peraturan Daerah tersebut,

Peraturan Daerah di Propinsi Sulawesi Utara merupakan model dalam era reformasi hukum, sebagai suatu paradigma baru penyusunan peraturan daerah berbasis masyarakat dengan sistem terpadu buttom-up dan top down, sebagai keterpaduan (integrated management) mengimplementasikan kehendak dan komitmen bersama pemerintah (stakeholders) dan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan laut secara berkelanjutan untuk generasi yang akan datang.    

 

 


KEPUSTAKAAN

 

Dahuri, R. 2000. Perencanaan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut di Indonesia. Makalah : Konperensi Nasional II Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Indonesia, Makassar 15-17 Mei 2000.

 

Dahuri, R., J. Rais, S.P. Ginting, dan M.J. Sitepu. 2001 Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan secara terpadu, Jakarta : PT. Pradnya Paramita.

 

Dahuri, R. 2003. Paradigma Baru Pembangunan Indonesia Berbasis Kelautan. Orasi Ilmiah Guru Besar tetap Bidang Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

 

Karwur D., dan M.E. Ering. 2002.  Perubahan Masyarakat dan Institusi yang Demokratis melalui pembuatan peraturan Daerah Berbasis Masyarakat di Kabupaten Minahasa, Dalam Bengen, et.al. (editor) 2002 Prosiding Konperensi Nasional III 2002 Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Indonesia, Sanur Bali, 21-24 Mei 2002. 

 

Maramis, F dan D. Karwur. 2003. Pengelolaan Sumberdaya Alam Pulau-Pulau Kecil Dalam Rangka Penerapan Perda Propinsi Sulut No.38 Tahun 2003 (Belum Dipublikasikan).

 

Mulyati, D dan Supardan Modeong. 2000. Teknik Penyusunan Peraturan Daerah, Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN).

 

Titahelu, R.Z. 2002. Kerangka Teori Ranperda Tentang Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir Terpadu Berbasis Masyarakat.

 

Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.

 

Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom.

 

Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 41 Tahun 2000, 22 Desember 2000, tentang Pedoman Umum Pengelolaan Pulau-pulau Kecil yang Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat

Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor : Kep. 10/Men/2002 tentang Pedoman Umum Pengelolaan Perencanaan Pengelolaan Pesisir Terpadu.

 

Peraturan Daerah Kabupaten Minahasa Nomor 2 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir Terpadu Berbasis Masyarakat di Kabupaten Minahasa.

Peraturan Daerah Propinsi Sulawesi Utara Nomor 38 Tahun 2003 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut Terpadu Berbasis Masyarakat di Propinsi Sulawesi Utara.

 

Addendum:

File keputusan desa, Perda Minahasa, Naskah Akademik Perda Propinsi, Ranperda Propinsi dan Perda Propinsi, dapat dilihat dan di-download dari:

http://www.unsrat.ac.id/hukum/pesisir/story.htm (server di Pusat Teknologi Informasi Unsrat), atau,

http://202.155.136.71/pesisir/story.htm (server di Fakultas Hukum Unsrat).