© 2003 Edwin L.A. Ngangi Posted
Makalah Pribadi
Pengantar Ke Falsafah Sains
(PPS702)
Program Pasca Sarjana / S3
Institut Pertanian
Desember 2003
Dosen:
Prof. Dr. Ir. Rudy C.
Tarumingkeng (Penanggung jawab)
Prof. Dr. Ir. Zahrial Coto
PEMANFAATAN, ANCAMAN,
DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM
Oleh :
Edwin L.A. Ngangi
0261030031/SPL
1
PENDAHULUAN
Ekosistem pesisir dan laut
merupakan ekosistem alamiah yang produktif, unik dan mempunyai nilai ekologis
dan ekonomis yang tinggi. Selain menghasilkan bahan dasar untuk pemenuhan
kebutuhan pangan, keperluan rumah tangga dan industri yang dalam konteks
ekonomi bernilai komersial tinggi, ekosistem pesisir dan laut juga memiliki
fungsi-fungsi ekologis penting, antara lain sebagai penyedia nutrien, sebagai
tempat pemijahan, tempat pengasuhan dan tumbuh besar, serta tempat mencari
makanan bagi beragam biota laut. Di samping itu, ekosistem pesisir dan laut
berperan pula sebagai pelindung pantai atau penahan abrasi bagi wilayah daratan
yang berada di belakang ekosistem ini (Bengen, 2002).
Wilayah
pesisir merupakan wilayah yang penting, ditinjau dari berbagai sudut pandang
perencanaan dan pengelolaan, salah satunya adalah ekosistem
Ogden
& Gladfelter dalam Bengen (2002),
ekosistem
Pemanfaatan potensi dari nilai
Dalam menghadapi kompetisi
yang serius untuk mendapatkan ruang di pesisir, proses pembangunan harus
mencari suatu keseimbangan dari kegiatan yang ada tanpa mengabaikan
produktivitas yang berasal dari sumber daya utama. Pengelolaan
dan perencanaan zona pesisir terpadu dipilih sebagai suatu metoda pemanfaatan
dan konservasi sumber daya untuk menjawab masalah-masalah spesifik seperti
kerusakan yang terjadi pada sumber daya dan konflik antar pengguna daerah
pesisir. Identifikasi terhadap masalah-masalah wilayah
pesisir yang berhubungan dengan kepentingan masyarakat juga memberikan
perangsang kepada badan-badan dan masyarakat yang mempunyai kepentingan untuk
melestarikan sumber daya dan pendapatan mereka, melibatkan, berperan dan
melaksanakan program-program guna memberikan jalan keluar terhadap kesulitan
yang telah diidentifikasikan.
2
EKOSISTEM
Wilayah pesisir merupakan pusat interaksi antara darat
dengan laut. Wilayah ini berperan sebagai penyangga,
pelindung dan penyaring di antara daratan dan lautan, serta merupakan pemusatan
terbesar penduduk. Komponen hayati dan nir-hayati secara fungsional
berhubungan satu sama lain dan saling berinteraksi
membentuk suatu sistem, yang dikenal dengan ekosistem. Apabila terjadi
perubahan pada salah satu dari kedua komponen tersebut, maka akan
dapat mempengaruhi keseluruhan sistem yang ada, baik dalam kesatuan struktur
fungsional maupun dalam keseimbangannya.
2.1 Lamun (Seagrass)
Lamun memiliki perbedaan yang nyata dengan tumbuhan
yang hidup terbenam dalam laut lainnya, seperti makro alga atau rumput laut (seaweeds). Tanaman
lamun memiliki bunga dan buah yang kemudian berkembang menjadi benih. Pertumbuhan lamun sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor internal
seperti kondisi fisiologis dan metabolisme; serta faktor eksternal, seperti
zat-zat hara dan tingkat kesuburan perairan.
Dahuri (2003), lamun tumbuh subur terutama di daerah
terbuka pasang surut dan perairan pantai atau goba yang dasarnya berupa lumpur,
pasir, kerikil, dan patahan karang mati, dengan kedalaman 4 meter.
Di seluruh dunia diperkirakan terdapat sebanyak 55
jenis lamun, dimana di
Ekosistem
2.2
Pada ekosistem ini hidup beraneka ragam biota laut,
seperti ikan, krustasea, moluska (Pinna
sp., Lambis sp., Strombus sp.), Ekinodermata (Holothuria
sp., Synapta sp., Diadema sp., Archaster sp., Linckia
sp.), dan cacing (Polikaeta) (Bengen,
2002). Atau, Keough dan Jenkin (…..) membagi dalam Periphyton (bakteri dan tumbuhan bersel satu), Epiphytes (alga yang lebih besar yang tumbuh di daun lamun), Infauna (hewan yang hidup dalam sedimen,
di antara rhizoma), Mobile epifauna
(moluska yang berasosiasi di permukaan sedime, sering ditemukan di antara
luruhan lamun, di atas tangkai atau daun
lamun), Sessile epifauna (hewan yang
menempel permanen pada tangkai atau daun lamun), dan Epbenthic fauna (hewan mobile
yang berasosiasi bebas dengan padang lamun).
Ikan.
Pada prinsipnya ikan-ikan yang hidup di habitat padang lamun dapat
dikategorikan menjadi 4 kelompok, yaitu (1) tinggal sepanjang waktu untuk
berpijah dan kegiatan lainnya, (2) tinggal sejak juvenil hingga stadia dewasa,
tetapi berpijah di tempat lain, (3) tinggal hanya selama stadia juvenil, dan
(4) tinggal hanya sesaat (Hutomo & Martosewojo, 1977).
Moluska. Moluska merupakan
komponen penting dan terbesar di antara hewan avertebrata di lingkungan laut.
Dalam filum Moluska, klas Gastropoda merupakan komponen utama atau terbesar,
menempati habitat terestrial hingga kedalaman ribuan meter di dasar laut. Umumnya bergerak dalam wilayah yang terbatas tetapi mobile.
Sejumlah jenis kerang mampu menghasilkan mutiara alam
yang bermutu tinggi. Keindahan dan kelangkaan sejumlah
jenis moluska, membuat para kolektor bersedia membayar dengan harga yang mahal
sekalipun. Meningkatnya industri turisme telah terbukti
ikut menstimulir perdagangan cangkang moluska.
Krustasea. Kepiting, lobster
dan udang bernilai ekonomis penting dan merupakan jenis berukuran besar yang
masuk dalam kelas Malacostraca. Jones & Morgan
(1994), kepiting rajungan untuk penghindaran diri terhadap predator dilakukan
dengan ruaya vertikal dan membenamkan diri dalam substrat.
Ekinodermata. 5 kelas dalam filum ini adalah : bintang laut, bulu babi, teripang, bintang rapuh
dan lili laut. Kelimanya menarik perhatian dan cukup melimpah dimana
ekinodermata berasosiasi dengan
Teripang, bintang rapuh dan lili laut jarang sekali menimbulkan pengaruh
ekologis yang nyata
terhadap
Alga. Trono dan Fortes (1988) mengemukakan
bahwa ganggang berukuran besar (macro
algae) yang merupakan tanaman tingkat rendah, terdiri dari tiga divisi:
Chlorophyta, Phaeophyta dan Rhodophyta yang ketiganya dibedakan oleh kandungan pigmen fotosintesa.
Umumnya rumput
laut (seaweeds) terdapat di sekitar
pantai dalam jumlah dan jenis yang beraneka ragam. Perairan yang potensial di
Plankton. Berdasarkan jenisnya
plankton dibagi atas fitoplankton, merupakan organisma autotrof yang dapat
berfotosintesis, dan karena kemampuannya membentuk zat organik dari zat
anorganik menjadikannya produsen primer di laut (Nontji, 1987); Zooplankton
sebagai pengikat energi dari fitoplankton, karena merupakan predator utama bagi
fitoplankton, juga merupakan pengontrol dari produksi fitoplankton. Berdasarkan daur hidupnya, zooplankton dibagi atas dua golongan
yaitu holoplankton dan meroplankton. Plankton masih
dapat diklasifikasikan lagi berdasarkan habitat dan distribusi kedalaman.
Plankton yang berukuran kecil tidaklah berarti mereka adalah organisme
yang tidak penting, malah sebaliknya organisme ini bernilai ekonomis sangat
penting di dalam ekosistem bahari karena merupakan sumber makanan utama bagi organisme
lainnya.
3
PEMANFAATAN EKOSISTEM
3.1 AREAL BUDIDAYA LAUT (MARIKULTUR)
Mulai
tahun 2005 mendatang akan terjadi kelangkaan ikan di
pasar dunia yaitu mencapai 30 juta ton/tahun. Kelangkaan itu
terjadi menyusul adanya kebijakan penghentian sementara penangkapan ikan (moratorium) di kawasan Eropa, Amerika
Serikat, Jepang, Cina dan sejumlah negara produsen lainnya oleh pemerintah
setempat. Hingga tahun 2001 volume produksi ikan dunia
sekitar 115 juta ton/tahun.
Potensi yang dapat
dikembangkan adalah budidaya ikan di karamba jaring apung (Kajapung – KJA) dan
budidaya rumput laut dengan metode tali tunggal permukaan. Usaha ini bila
dimanfaatkan dengan baik sangat penting artinya bagi peningkatan produksi
perikanan, kesempatan kerja, pendapatan nelayan dan devisa negara. Peluang pengembangannya dapat dilihat dari potensi sumberdaya alam,
sumberdaya alam dan pasar.
Kegiatan budidaya perikanan ditentukan oleh beberapa faktor
antara lain sumber air menyangkut kualitas dan
kuantitasnya, potensi/ketersediaan lahan menyangkut topografi, tekstur dan
kesuburannya yang diperkirakan dapat dimanfaatkan bagi usaha budidaya.
Usaha ini dapat beroperasi dengan baik jika lokasi yang merupakan areal budidaya pada saat site selection dilakukan pengukuran dan pengamatan, sehingga dapat ditentukan lokasi yang benar-benar layak. Kualitas air yang perlu diukur berupa persyaratan kimiawi dan fisik, seperti dalam tabel 1.
Tabel 1. Evaluasi penilaian areal ikan di
karamba jaring apung
Parameter |
Satuan |
Nilai |
Sumber |
Kecepatan arus Kecerahan air Salinitas Suhu Derajat keasaman Oksigen terlarut Kedalaman perairan Pasang surut |
m/detik meter 0/00 0C - ppm meter meter |
0.2 - 0.5 0.2 – 0.4 0.15 – 0.3 3 – 5 > 2 30 – 33 33 – 35 24 – 32 27 – 32 27 – 29 7 – 9 7.6 – 8.7 8 – 8.2 > 3 3 – 5 > 5 > 4 7 – 15 > 4 > 10 |
Paimin (2000) (1) Sunyoto (2000) (2) Ditjen Perikanan (2003) (3) Suharjawanasuria (2003) (4) Akbar & Sudaryanto (2001) (5) (1) (5) (1);(5) (2);(3) (1) (2);(3) (5) (1) (2);(4) (5) (1) (2) (3) (4) (1) (2) (1);(4) |
|
|
|
|
Lokasi harus terhindar dari badai dan gelombang besar dan
terus-menerus. Karena hal ini akan membuat ikan
stres yang mempengaruhi pertumbuhan, selera makan dan penyebab penyakit, selain
itu dapat merusakan kontruksi. Untuk itu harus dipilih lokasi
:
o
Di teluk, antara pulau, terdapat karang yg
memanjang untuk meredam terpaan gelombang.
o
Limbah : terhindar dari
pencemaran oleh limbah industri, pertanian, dan rumah tangga.
o
Predator : menghindari
habitat ikan buas sebagai pemangsa dan dapat merusak jaring.
o
Lalu lintas kapal :
bukan merupakan alur pelayaran kapal penumpang, barang & tanker yg dapat
menyebabkan kebisingan, buangan minyak, gelombang atau tersangkut tali jangkar.
o
Pakan : lokasi harus
dekat areal operasional bagan atau tempat pendaratan ikan.
o
Transportasi : paling tidak transport untuk benih
dan hasil panen dapat cepat dan lancar.
o
Keamanan : ditekankan
pada pencurian ikan.
3.2 TEMPAT
REKREASI/PARIWISATA
Dahuri (2002), menurut studi konsultasi Perancis, Euro Asia Management 1998, produk-produk dan daya tarik yang dapat
dikembangkan pada pariwisata bahari di Indonesia di antaranya adalah: Wisata
Bisnis (Business Tourism), Wisata
Pantai (Seaside Tourism), Wisata
Budaya (Cultural Tourism), Wisata
Pesiar (Cruise Tourism), Wisata Alam
(Eco Tourism), dan Wisata Olahraga (Sport Tourism).
Pariwisata di
Pemanfaatan pembangunan perumahan di lahan
Wisata bisnis lainnya adalah pembangunan lahan-lahan
pemancingan alam atau di karamba jaring apung, baik sebagai lomba atau sarana
rekreasi. Pemancingan di alam harus ditentukan waktu
yang tepat dan ukuran ikan yang bisa dibawa pulang, sehingga usaha ini bisa
lestari dan berkelanjutan.
Wisata pemancingan sekaligus merupakan wisata olahraga,
di samping wisata berperahu. Wisata berperahu berupa
3.3 Bahan Baku Pakan dan Pupuk Hijau
Pemanfaatan lamun secara langsung di berbagai negara
sudah banyak dilakukan. Di Denmark, lamun digunakan untuk menggantikan
pakan bagi hewan dan komponen pupuk di daerah pesisir. Di
Florida lamun digunakan sebagai pupuk untuk menghasilkan tomat dan stroberi
dalam jumlah besar. Sedangkan di Jerman, lamun digunakan untuk bahan
Dalam usaha budidaya ikan intensif, salah satu teknik
untuk meningkatkan produksi adalah manajemen pemberian pakan.
Intensifnya usaha budidaya ikan akan seiring dengan
semakin pentingnya peranan pakan. Pakan membutuhkan 50-70 %
biaya dari keseluruhan biaya operasional karena capaian tingkat produksi
ditentukan oleh kuantitas, kualitas dan waktu pemberian pakan pada berbagai
tahap budidaya.
Departemen Kelautan dan Perikanan lewat PROTEKAN dengan anggaran APBN
sekitar 4 triliun untuk memanfaatkan potensi ekosistem
Dengan jumlah pakan yang sedemikian besar maka tujuan pembudidayaan ikan
yaitu mengurangi hasil tangkapan di laut dikhawatirkan akan
lebih memacu ke usaha penangkapan untuk memenuhi pakan segar bagi ikan
budidaya. Maka perlu dicari alternatifnya, yaitu pemberian
pakan buatan. Keuntungan pakan buatan adalah: tersedia dalam jumlah yang
banyak, dapat disimpan, nutrisi tinggi, nilai efisiensi tinggi, & nilai
ubah pakan yang rendah.
Pakan buatan membutuhkan bahan-bahan
Hasil penelitian, bahan
4
ANCAMAN EKOSISTEM
Suatu ekosistem
pesisir terjadi pertukaran materi dan transformasi energi yang berlangsung di
antara kedua komponen dalam sistem tersebut, maupun dengan komponen-komponen
dari sistem lain di luarnya. Kelangsungan suatu fungsi
ekosistem sangat menentukan kelestarian dari sumberdaya alam sebagai komponen
yang terlibat dalam sistem tersebut. Karena itu untuk
menjamin kelestarian sumberdaya alam, perlu diperhatikan hubungan-hubungan
ekologi yang berlangsung di antara komponen-komponen sumberdaya alam yang
menyusun suatu sistem (Bengen, 2002).
Walaupun
potensi sumberdaya hayati pesisir dan laut sangat kaya namun sebagian besar
masyarakat yang bermukim di pesisir masih berada dibawah garis kemiskinan. Hal
ini menjadi salah satu faktor pendorong masyarakat pesisir untuk
mengeksploitasi sumberdaya kelautan melebihi daya dukungnya agar mereka dapat
memenuhi kebutuhan hidupnya.
Bengen
& Rizal (2002), kemiskinan merupakan salah satu penyebab kerusakan
sumberdaya hayati, namun sebaliknya kemiskinan juga merupakan akibat yang
timbul dari kerusakan yang dialami oleh sumberdaya hayati. Untuk itu
pemanfaatan sumberdaya harus tepat secara ekologi, teknologi dan ekonomi agar
di suatu kawasan tidak terjadi over
eksploitasi padahal di kawasan yang lain belum dimanfaatkan optimal.
Ekosistem
padang lamun mempunya potensi ekonomi yang sangat besar. Potensi ini mendorong
pengambilan sumberdaya yang dikandungnya secara berlebihan dan tanpa
mengindahkan kaidah-kaidah konservasi.
Karena adanya asumsi bahwa sumberdaya yang berada di ekosistem padang
lamun adalah milik bersama (common
property), sehingga bila tidak dimanfaatkan pada saat ini maka akan
dimanfaatkan orang lain (tragedy of
common). Untuk mengeksploitasi sumberdaya hayati tersebut digunakan
cara-cara destruktif, mis. untuk menangkap ikan digunakan racun sianida, bahan
peledak, dan lain-lain yang semuanya itu dapat merusak ekosistem padang
lamun.
Ancaman yang mengakibatkan terdegrasinya
ekosistem
Tabel 2. Dampak kegiatan terhadap padang lamun
No |
Kegiatan |
Dampak |
1 |
Pengerukan
dan pengurugan untuk kegiatan di pinggir laut, pelabuhan, industrial estate,
saluran navigasi |
Perusakan
total padang lamun sebagai lokasi pengerukan dan pengurugan Perusakan
habitat di lokasi pembuangan hasil pengerukan Dampak
sekunder pada perairan meningkatkan kekeruhan air dan terlapisnya insang
hewan air. |
2 |
Pencemaran
limbah industri |
Lamun
melalui proses biological magnification
mampu mengakumulasi logam berat. |
3 |
Pembuangan
sampah organik |
Penurunan
kadar oksigen terlarut, mengganggu lamun dan hewan air. Eutrofikasi
menyebabkan blooming fitoplankton yang
menempel di daun lamun dan kekeruhan menghalangi cahaya. |
4 |
Pencemaran
oleh limbah pertanian |
Pestisida,
mematikan hewan yang berasosiasi dengan padang lamun, pupuk mengakibatkan
eutrofikasi |
5 |
Pencemaran
minyak |
Lapisan
minyak pada daun lamun menghalangi lamun untuk berfotositesis |
Sumber : Bengen (2003)
Sebagaimana ekosistem pesisir lainnya, padang
lamun memiliki faktor-faktor pembatas yang mempengaruhi distribusi serta tumbuh
dan berkembangnya. Bengen (2003), faktor-faktor pembatas ekosistem padang lamun
adalah: karbon (CO2 dan HCO3-),
cahaya, temperatur, salinitas, pergerakan air, dan nutrien. Dahuri
(2003), kisaran temperatur optimal bagi spesies lamun 28-30 0C,
salinitas 10-400/00 optimal 350/00,
& kecepatan arus 0.5 m/detik.
Aktivitas manusia yang berlebihan di lahan atas dapat meningkatkan muatan
sedimen pada badan air akan berakibat pada tingginya
kekeruhan perairan, sehingga berpotensi mengurangi penetrasi cahaya. Hal ini
dapat menimbulkan gangguan terhadap produktivitas primer ekosistem
Pemanasan global dan limbah industri pabrik akan
meningkatkan suhu perairan. Lamun mempunyai toleransi yang
rendah terhadap perubahan temperatur. Kemampuan proses fotosintesis akan menurun dengan tajam apabila temperatur perairan berada
di luar kisaran optimal. Spesies lamun memiliki kemampuan
toleransi yang berbeda-beda terhadap salinitas. Salah satu faktor yang
menyebabkan kerusakan ekosistem
Interaksi ekosistem
Tetapi juga sedimen yang mengandung bahan
pencemar dan terperangkap di ekosistem pesisir merupakan masalah serius
degradasi likungan. Bengen (2002), pembukaan lahan atas sebagai bagian dari kegiatan
pertanian, telah meningkatkan limbah pertanian, baik padat maupun cair yang
masuk perairan pesisir dan laut melalui aliran sungai. Limbah cair yang mengandung nitrogen dan fosfor berpotensi
menimbulkan keadaan lewat subur (eutrofikasi) yang merugikan ekosistem pesisir.
5
PENGELOLAAN EKOSISTEM
5.1 Pengelolaan secara Terpadu
Perlindungan
Dahuri et al (2001) mendefinisikan konsep
pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu sebagai suatu pendekatan pengelolaan
wilayah pesisir yang melibatkan dua atau lebih ekosistem, sumberdaya, dan
kegiatan pemanfaatan (pembangunan) secara terpadu guna mencapai pembangunan
wilayah pesisir secara berkelanjutan, dimana keterpaduan dalam konsep ini
mengandung tiga dimensi, yaitu:
o
Keterpaduan secara sektoral sebagai suatu
keadaan, dimana proses koordinasi tugas, wewenang dan tanggung jawab antar
sektor atau instansi pemerintah pada tingkat tertentu (horizontal
integration) dan pada semua level pemerintahan dari mulai tingkat desa,
kecamatan, kabupaten, propinsi sampai tingkat pusat (vertical integration)
dijalankan secara terpadu.
o
Keterpaduan dalam sudut pandang pengelolaan
wilayah pesisir yang dilaksanakan atas dasar pendekatan interdisiplin ilmu (interdiciplinary
approaches) yang melibatkan bidang ilmu ekonomi, ekologi, teknik,
sosiologi, hukum, dan lain sebagainya yang relevan mengingat wilayah pesisir
pada dasarnya terdiri dari sistem sosial dan sistem alam yang terjalin secara
kompleks dan dinamis.
o
Keterikatan ekologis sebagai suatu yang
diperlukan dan harus diperhatikan dalam pengelolaan wilayah pesisir dan lautan
secara terpadu. Wilayah pesisir pada
dasarnya tersusun dari berbagai ekosistem, dimana jika satu ekosistem mengalami
suatu perubahan atau kerusakan, maka hal yang sama
pada akhirnya akan menimpa pula kepada ekosistem pesisir lainnya.
Rais (2003b), yang dimaksud dengan pengelolaan secara terpadu adalah :
o Terpadu secara horisontal : antara Pemerintah – Masyarakat- Sektor.
o Terpadu secara vertikal : antara sasaran nasional dan sasaran daerah.
o Terpadu secara spasial : antara darat dan laut, antara hulu dan hilir.
o Terpadu antara ilmu pengetahuan alam, manajemen (sosek) dan rekayasa (enjinering).
o Terpadu secara internasional, terutama antar negara bertetangga, seperti polusi yang bersifat lintas batas, perselisihan tentang batas aktivitas perikanan.
5.2 Pengelolaan
Berbasis Masyarakat
Pengelolaan
berbasis masyarakat (PBM) adalah suatu sistem pengelolaan sumberdaya alam di
suatu tempat dimana masyarakat lokal di tempat tersebut terlibat secara aktif
dalam proses pengelolaan sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya. Pengelolaan di sini
meliputi berbagai dimensi seperti perencanaan, pelaksanaan, & pemanfaatan
hasil-hasilnya.
PBM dapat diartikan sebagai suatu strategi untuk mencapai
pembangunan yang berpusat kepada masyarakat dan dilakukan secara terpadu dengan
memperhatikan dua aspek kebijakan, yaitu aspek ekonomi dan ekologi, dimana
dalam pelaksanaannya terjadi pembagian tanggung jawab dan wewenang antara
pemerintah di semua level dalam lingkup pemerintahan maupun sektoral dengan
pengguna sumberdaya alam (masyarakat) dalam pengelolaan sumberdaya
pesisir. Jadi kedua komponen baik
masyarakat dan pemerintah sama-sama diberdayakan, sehingga tidak ada
ketimpangan dimana hanya masyarakat saja yang diharapkan aktif, namun pihak pemerintah harus
proaktif dalam menunjang program pemberdayakan masyarakat dalam pengelolaan
sumberdaya pesisir ini (Dahuri et al,
2001).
Pameroy & Williams (1994), beberapa kunci keberhasilan
pengelolaan sumberdaya pesisir terpadu berbasis masyarakat adalah
:
o
Batas-batas
wilayah jelas terdefinisi.
o Kejelasan keanggotaan.
o Keterikatan dalam kelompok.
o Manfaat harus lebih besar dari biaya.
o Pengelolaan yang sederhana.
o Legalisasi dari pengelolaan.
o Kerjasama dan kepemimpinan dalam masyarakat.
o Desentralisasi dan pendelegasian wewenang.
o
Koordinasi
antara pemerintah dengan masyarakat.
o
Pengetahuan,
kemampuan dan kepedulian masyarakat.
6
PENUTUP
Pemanfaatan tumbuhan lamun sebagai riset
unggulan di bidang perikanan kurang menarik perhatian dari para ahli/peneliti,
khususnya di
Pemanfaatan pesisir sebagai kawasan
pembangunan, industri, dan reklamasi yang selalu dikhawatirkan adalah kerusakan
hutan mangrove dan terumbu karang. Belum pernah ada informasi berapa
banyak produktivitas primer yang hilang seiring dengan hilangnya
Keunikan ekosistem
o
Dalam ekosistem
o
o
Sebagaimana di kawasan pesisir, pengguna padang
lamun pada umumnya terdapat lebih dari satu kelompok masyarakat (orang) yang
memiliki ketrampilan/keahlian dan preference
bekerja berbeda (pembudidaya, pengelola olahraga air & permainan air,
nelayan, dsb) yang sangat sukar atau hampir tidak mungkin untuk mengubah
profesi mereka yang mungkin sudah mentradisi.
o
Secara ekologis maupun ekonomis, pemanfaatan
o
DAFTAR
ACUAN
Akbar, S. dan Sudaryanto. 2001. Pembenihan & pembesaran
kerapu bebek. Penebar Swadaya,
Bengen, D.G. 2002. Ekosistem
dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut serta Prinsip Pengelolaannya. PK-SPL. IPB,
Bengen, D.G. dan A. Rizal. 2002.
Perspektif Ekonomi Politik dalam Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir dan Laut
Bengen, D.G. 2003. Struktur
dan Dinamika Ekosistem Pesisir dan Laut (Power Point). Disajikan pada
perkuliahan: Analisis Ekosistem Wilayah Pesisir dan Lautan. Prog.
Studi SPL. IPB,
Dahuri, R., J. Rais, S.P. Ginting dan M.J. Sitepu. 2001.
Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan secara Terpadu.
Pradnya Paramita,
Dahuri, R. 2002. Paradigma Baru Pembangunan
Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut – Aset Pembangunan
Berkelanjutan
Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. 2003. Meraup
Devisa lewat Budidaya Kerapu. http://www.forek.or.id.
Hutomo, M. and S. Martosewojo. 1977. The
Fishes of Seagrass
Community on The West of
Ikawati, Y. 2003. Menangani Kerapu bak Merawat Bayi.
Kompas. 5 Maret 2003,
Jones, D. and
G. Morgan. 1994. A Field
Guide To Crustaceans
of Australian Waters.
Keogh, M.J. and G.P. Jenkins …… Seagrass Meadows and
Their Inhabitans. Department of Zoology.
Ngangi, E.L.A. 2003. Manajemen Pemeliharaan
Ikan Kerapu Tikus Di Karamba Jaring Apung. Disajikan pada :
Pelatihan Budidaya Ikan Di Jaring Apung – BPPP, Bitung. –
Nontji, A. 1987. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan,
Paimin F.R. 2000. Rahasia membesarkan kerapu bebek.
Trubus No.362 Januari 2000,
Pomeroy, R.S. and M.J. Williams. 1994.
Fisheries Co-management and Small-scale Fisheries: A Policy Brief. ICLRAM,
Rais, J. 2003a. Marine Cadastre di Indonesia – Suatu Konsep Penataan
Ruang Wilayah laut (Power Point). Disajikan pada perkuliahan: Perencanaan dan
Pengelolaan Wilayah Pesisir secara Terpadu (MSP 702). Prog.
Studi SPL. IPB,
Rais, J.
2003b. Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu (Integrated
Coastal Zone Management, ICZM) (Power Point). Disajikan pada perkuliahan:
Perencanaan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir secara Terpadu (MSP 702). Prog. Studi SPL. IPB,
Suharjawanasuria. 2003. Budidaya kerapu dan peluang ekspor. http://suharjawanasuria.
Tripod.com/ikan_air_laut_01.htm.
Sunyoto P. 2000. Pembesaran kerapu dgn
karamba jaring apung. Penebar Swadaya,
Trono,
G.C. jr and E.T. Ganzon -
Fortes. 1988. Philippine Seaweeds.
Winarno,
F.G. 1990. Teknologi
Pengolahan Rumput Laut.
Pustaka Sinar Harapan,