© 2003 Ervizal Amzu                                                         Posted  17 November  2003

Makalah Individu

Pengantar Falsafah Sains (PPS702)

Program Pascasarjana / S3

Institut Pertanian Bogor

Oktober  2003

 

Dosen:

Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng (penanggung jawab)

Prof. Dr. Ir. Zahrial Coto

 

 

 

PENGEMBANGAN TUMBUHAN OBAT BERBASIS KONSEP BIOREGIONAL (APLIKASI AZAS KEUNIKAN SISTEM KEDIRIAN)

(Contoh Kasus Taman Nasional Meru Betiri, di Jawa Timur)

 

 

Oleh:

 

Ervizal AMZU

E061030021/IPK

 

 

 

 

 

Pendahuluan

 

Pengelolaan bioregional menawarkan suatu bentuk pengelolaan ruang (berikut semua isinya) yang lebih integratif.  Bioregion” merupakan unit perencanaan ruang dalam pengelolaan sumberdaya alam; yang tidak ditentukan oleh batasan politik dan administratif tetapi dibatasi oleh batasan geografik, komunitas manusia serta sistem ekologi  Dalam suatu cakupan bioregion, terdapat mozaik lahan dengan fungsi konservasi maupun budi daya yang terikat satu sama lain secara ekologis.  Pengelolaan bioregional, dengan demikian, merupakan pendekatan integratif dalam pengelolaan keseluruhan bentang alam yang terikat secara ekologis tersebut (Sumardja, 1997).  Secara ideal, pengelolaan bioregional menyandarkan dirinya pada tiga komponen yaitu:

q       Komponen ekologi yang terdiri atas kawasan-kawasan ekosistem alam yang saling berhubungan satu sama lain melalui koridor, baik habitat alami maupun semi alami

q       Komponen ekonomi yang mendukung usaha pendayagunaan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan dalam matriks kawasan budi daya, dengan pengembangan budidaya jenis-jenis unggulan setempat

q       Komponen sosial budaya yang dapat memfasilitasi partisipasi masyarakat lokal dalam perencanaan dan pengambilan keputusan mengenai pemanfaatan sumberdaya alam serta memberikan peluang bagi pemenuhan  kebutuhan sosial/budaya secara lintas generasi.

 

Kekayaan jenis tumbuhan obat yang terdapat di ekosistem alami di Indonesia berasal dari berbagai tipe ekosistem hutan yang telah berhasil diidentifikasi dan diinventarisasi tidak kurang dari 1845 jenis tumbuhan obat (Zuhud,1997).  Tidak kurang dari 400 etnis masyarakat Indonesia memiliki hubungan yang erat dengan hutan dalam kehidupannya sehari-hari dan mereka memiliki pengetahuan tradisional yang tinggi dalam pemenfaatan tumbuhan obat.  Setiap kawasan ekosistem  alam sesungguhnya telah menyediakan keanekaragaman hayati tumbuhan dan hewan yang dapat mendukung kehidupan masyarakat sekitarnya dalam menyediakan materi biologi untuk bermacam ragam manfaat, berupa keanekaragaman jenis tumbuhan obat untuk mengobati berbagai macam penyakit, keanekaragaman bahan untuk pangan, dan lain-lain

 

            Pada masa yang lalu, komponen keanekaragaman hayati cenderung di pecah-pecah menurut bidang-bidang biologi dan ditelaah secara terpisah misalnya gen, populasi, jenis, komunitas dan ekosistem.  Alam sering dianggap sebagai hal yang terpisah dari kehidupan manusia, dan hal ini tercermin dalam konsep konservasinya. Sebagai contoh, jenis yang terancam, dilindungi di habitat alami aslinya, di daerah terlindung jauh dari campur tangan manusia.

            Sejak dekade terakhir ini, banyak pendapat dari kalangan ekologis yang mengemukakan bahwa keanekaragaman hayati hanya dapat dipahami dengan mempelajari setiap tingkatan beserta interaksinya. Pada saat yang bersamaan kemajuan di bidang ekologi, palaeobiologi dan konservasi biologi mempertanyakan arti sesungguhnya dari ekosistem alami. Hal ini mendorong untuk mengkaji lebih jauh, dan ada yang menyatakan bahwa sasaran pengelolaan ekologi seharusnya adalah untuk memaksimalkan kapasitas manusia (sosial, budaya, intelegensia dan agama)  untuk beradaptasi pada kondisi ekologis setempat yang terus berubah.

 

 

Menyusun Rencana Pengembangan

 

            Kriteria pemilihan lokasi pengembangan didasarkan kepada beberapa pertimbangan yaitu:  (1) potensi pengembangan tumbuhan obat, diindikasikan dengan besarnya potensi tumbuhan obat dan kayanya pengetahuan tradisional masyarakat akan pemanfaatan tumbuhan obat; (2) berkembangnya pasar simplisia/obat tradisional atau adanya perusahaan jamu di sekitar lokasi; (3) tingkat tekanan penduduk di sekitar kawasan hutan, diindikasikan dengan rusaknya kawasan/ terdegradasinya kawasan hutan di dalam/di sekitar kawasan; (4) kedekatan dengan pemukiman/enclave; (5) tersedianya lahan yang sesuai baik secara ekologis maupun aksesibilitas untuk pengembangan budidaya tumbuhan obat; (6) dan lain-lain. 

 

Sebagai contoh rekomendasi lokasi pengembangan  berdasarkan kriteria tersebut di sekitar kawasan konservasi Taman Nasional Meru Betiri di  Jember, Jawa Timur adalah sebagai berikut :

 
1.  Potensi Tumbuhan Obat Taman Nasional Meru Betiri

 

            Taman Nasional Meru Betiri mengalami tekanan yang sangat besar berupa pengambilan bambu, tumbuhan obat, kayu Jati dan penyerobotan lahan, yang dilakukan oleh penduduk di sekitar kawasan.  Di Desa Andong Rejo, Kecamatan Tempur Rejo, Kabupaten Jember, serta Desa Sarongan di Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi,  yang mempunyai tingkat aksesibilitas yang tinggi perlu mendapat prioritas. Di Desa Andong Rejo, Laboratorium Konservasi Tumbuhan, Fakultas Kehutanan, IPB bekerja sama dengan Latin, telah bekerja sama membuat program Proyek Percontohan Agrowanafarma dengan melibatkan masyarakat di zone rehabilitasi di Taman Nasional Meru Betiri.  Usaha ini dinilai berhasil,  oleh karena itu usaha ini perlu diperluas di seluruh Zona Rehabilitasi.  Luasan lahan di Zona Rehabilitasi, yang perlu direhabilitasi seluas 5000 ha,  tempat di mana sebagian besar tanaman Jati telah dijarah oleh penduduk lokal pada saat krisis ekonomi berlangsung (Zuhud, Siswoyo, Hikmat dan Sandra, 2000).

 

a. Keanekaragaman Jenis Tumbuhan Obat

Hasil identifikasi jenis-jenis tumbuhan sementara berdasarkan data sekunder yang berhasil dikumpulkan, di Taman Nasional Meru Betiri terdapat 355 jenis tumbuhan, terbagi ke dalam 92 famili.  Dari total jenis tumbuhan tersebut, sedangkan 291 jenis (81,7%) telah teridentifikasi mempunyai khasiat obat.  Jenis-jenis tumbuhan obat ini dapat dikelompokkan ke dalam 7 macam habitus, yaitu bambu, memanjat, herba, liana, perdu, semak dan pohon.  Jenis tumbuhan obat yang termasuk ke dalam habitus pohon mempunyai jumlah jenis yang lebih banyak dibandingkan habitus lainnya, yaitu sebanyak 142 jenis dan 47 famili (Zuhud dkk., 2000).      

 

 

2. Potensi Pasar

 

Untuk  mengetahui jenis-jenis simplisia tumbuhan obat dan produk jamu lokal yang dijual di pasar, telah dilakukan survey pasar pada tahun 1999 di berbagai  ibu kota kabupaten dan kecamatan, yaitu Malang, Jember dan Banyuwangi.  Dimana lokasi ini terkait dengan keberadaan taman nasional yang merupakan sebagai sumber plasma nutfah bioregional.

 

Malang

Produk Jamu

Beberapa produk jamu lokal yang diproduksi di Malang antara lain  diproduksi  secara home industry oleh Aliandra Wisma dan Perusahaan Jamu Srikandi.  Beberapa produk jamu lokal yang dijual di Malang seperti dapat dilihat didalam Tabel 1.

 

Tabel 1.  Produk jamu lokal yang diproduksi di Malang

No

Jenis Produk

Komposisi

Asal Produk

1

Manisan Kencur

Kaempferiae rhizoma, gula

Aliandra Wisma, Batu, Malang

 

 

 

 

2

Antik

Kumis kucing, meniran, mesoyi, sintok, jahe, kencur, ngokilo, gula

Aliandra Wisma, Batu, Malang

 

 

 

 

3

Norpid

Daun sembung, kumis kucing, akar saledri, kencur, doro putih,  bunga pala, gula

Aliandra Wisma, Batu, Malang

 

 

 

 

4

Masataru

Daun besaran, daun sendok, ngokilo

Aliandra Wisma, Batu, Malang

 

 

 

 

5

Raputri

Kaempferiae angustii rhizoma, Parameriae cortex, Lingustici bulbus, delima putih, jung rahab, kepuh, cabe jawa, gula

Aliandra Wisma, Batu, Malang

 

 

 

 

6

Kiat perkasa

Colae semen, paniculata tuber, eucrhestae semen, foenigraechi semen, gentianae radix, piper radix, alyxial cortex.

Aliandra Wisma, Batu, Malang

 

 

 

 

7

Norten

Blumea folium (daun Sembung), centelae herba, rauvolfia radix, kencur, temu hitam, meniran, bunga pala, gula

Aliandra Wisma, Batu, Malang

 

 

 

 

8

Ramping

Guazumae folium, murrayae folium, zingiberis purpurei rhizoma, temu hitam, lempuyang, kembang lawang, jung rahab, gula

Aliandra Wisma, Batu, Malang

 

 

 

 

9

Semangat

Retrofracti fructus, curcuma xanthorizae, parkiae semen, foeniculi fructus

Perusahaan Jamu Srikandi,

Sumpil, Malang

 

 

 

 

10

Tabarito

Fici deltoidae, retrofracti fructus, parameriae cortex, galae

Perusahaan Jamu Srikandi,

Sumpil, Malang

 

 

 

 

11

Ma'jun Semangat

Mel depuratum (madu), cubebae fructus, retrofracti fructus, foeniculi fructus

Perusahaan Jamu Srikandi,

Sumpil. Malang

Sumber : Zuhud dkk.(2000)

 

Jember

Produk Jamu

Dari hasil survey lapangan, di Jember tidak ada perusahaan yang memproduksi jamu,  tetapi hanya ada dua home industry, yaitu Kelompok TOGA Sari Hutani di Desa Curahnongko dan Kelompok TOGA Sumber Waras di Desa Andongrejo, Kecamatan Tempurejo.  Kedua home industry ini merupakan binaan Fakultas Kehutanan IPB dan Lembaga Alam Tropika Indonesia serta Balai Taman Nasional Meru Betiri.

Beberapa jenis jamu/minuman tradisional yang diproduksi oleh kedua home industry di Jember, seperti dapat dilihat didalam Tabel 2.

 

Tabel 2.  Beberapa produk jamu lokal yang diproduksi di Jember

No

Jenis Produk

Komposisi

Asal Produk

1

Sari Singset

Kunir putih, bangle, kedawung, jati belanda, kemuning, lempuyang, gula

Sari Hutani, Curahnongko, Tempurejo, Jember

 

 

 

 

2

Sari Pepet

Kunci pepet, kunir putih, kunci delima putih, kayu ules, majaan, jungrahap

Sari Hutani, Curahnongko, Tempurejo, Jember

 

 

 

 

3

Kunci Sirih

Kunci, sirih, gula

Sari Hutani, Curahnongko, Tempurejo, Jember

 

 

 

 

4

Pasga Sari

Kapuk randu, pupus waru, petikan kebo, kapulaga, kencur

Sari Hutani, Curahnongko, Tempurejo, Jember

 

 

 

 

5

Cabe Puyang

Kunci pepet, kunir putih, kunci, delims putih, kayu ules, jungrahap

Sari Hutani, Curahnongko, Tempurejo, Jember

 

 

 

 

6

Madu Jahe

Madu, jahe, daun pandan, gula

Sari Hutani, Curahnongko, Tempurejo, Jember

 

 

 

 

7

Brotowali

Brotowali, temulawak, sambiloto, temu ireng, cabe jawa, dlingu

Sari Hutani, Curahnongko, Tempurejo, Jember

 

 

 

 

8

Instant Temulawak

Temulawak, patikim, rimpang ganyong, gula

Sari Hutani, Curahnongko, Tempurejo, Jember

 

 

 

 

9

ASI

Daun katuk, rimpang temulawak, rimpang kunir, gula

Sari Hutani, Curahnongko, Tempurejo, Jember

 

 

 

 

10

Rapet wangi

Temu kunci, sintok, ganthi, jati belanda, gula

Sari Hutani, Curahnongko, Tempurejo, Jember

 

 

 

 

11

Instan Kunci Sirih

Kunci, jahe, beluntas, sirih, kunci pepet, kencur

Sumber Waras, Andungrejo,

Tempurejo, Jember

 

 

 

 

12

Instan Pegelinu

Beras, kencur, puyang, cabe jawa

Sumber Waras, Andungrejo,

Tempurejo, Jember

 

 

 

 

13

Instan Asam Urat

Jahe, kencur, jati belanda, lidah ayam, akar alang-alang, meniran, kumis kucing, pegagan, sintok, gula

Sumber Waras, Andungrejo,

Tempurejo, Jember

 

 

 

 

14

Instan Cabe

Puyang

Puyang, cabe, lengkuas, temu lawak, gula merah

Sumber Waras, Andungrejo,

Tempurejo, Jember

 

 

 

 

15

Instan Maag

Patikan kebo, kunyit, pace, temulawak, jinten, gula

Sumber Waras, Andungrejo,

Tempurejo, Jember

 

 

 

 

16

Instan Kunci Sirih

Kunci, jahe, beluntas, kunci pepet, kencur, sirih, gula

Sumber Waras, Andungrejo,

Tempurejo, Jember

 

 

 

 

17

Istan Asthma

Kencur, temulawak, nanas kerang, saga manis, kemukus, daun sendok, kapulaga, kayu manis, gula

Sumber Waras, Andungrejo,

Tempurejo, Jember

Sumber : Zuhud, dkk. (2000)

 

            Beberapa jenis jamu produksi lokal yang beredar/dijual di Banyuwangi diantaranya seperti terlihat didalam Tabel 3.

 

Tabel 3.  Beberapa produk jamu lokal yang diproduksi di Banyuwangi

No

Jenis Produk

Komposisi

Asal Produk

1

Jamu Pegelinu

(cair/botol)

Melaleuca fructus, langustis rhizoma, retrofracti fructus, nipagin

UD Akar Daun, Banyuwangi

 

 

 

 

2

Racik Sewu

(cair/botol)

Burmani coetex, paramariae cortex, tinosporae caulis, tamarindi folium

Werkudoro, Banyuwangi

 

 

 

 

3

Antiloyo

(cair/botol)

Ginseng, piper retrofractum, zingiber officinale, languan galanga, tamarindus indica

Perusahaan Jamu Sumber Waras, Banyuwangi

 

 

 

 

4

Jamu Antiloyo

(cair/botol)

Boesen birgia pandurata, zingiber officinale, curcuma xanthoriza, piper ningrumceae

UD Bhima Jaya Sakti,

Banyuwangi

 

 

 

 

5

Jamu Pegalinu

(cair/botol)

Meulaleuca fructus, languatis rhizomae, zingiberis rhizomae, retrofracti fructus, cyperi rhizhoma

 Perusahaan Jamu M.W.

Sumber : Zuhud, dkk. (2000)

 

 

Jenis Tumbuhan Obat Unggulan

Berdasarkan potensi bioregional dan analisis pasar, direkomendasikan  pengembangan budidaya 13 jenis tumbuhan obat unggulan  untuk kawasan bioregional Taman Nasional Meru Betiri, seperti tercantum pada tabel berikut :

 

Tabel 4. Jenis Tumbuhan Obat Unggulan

No.

Lokasi

Lokasi  Pengembangan

Jenis unggulan

1

TN Meru Betiri

1.        Desa Curahnongko

2.        Desa Andongrejo

3.        Desa Sanenrejo

4.        Desa Wonoasri

5.        Desa Curahtakir

1.        Cabe jawa (Piper retrofractum)

2.        Pulasari (Alyxia reinwardtii)

3.        Kapulaga (Amomum cardamomum)

4.        Kayu sintok (Cinnamomum  sintok)

5.     Kemukus (Piper cubeba)  

6.     Pulepandak (Rauvolfia serpentina)

7.     Kluwek (Pangium edule)

8.     Kedawung (Parkia timoriana)

9.    Joholawe (Terminalia balerica)

10.      Kemaitan ( Lunasia amara)

11.      Kemiri (Aleurites moluccana)

12.      Anyang-anyang (Elaeocarpus grandiflora)

13.      Kemuning (Murraya paniculata)

 

Sumber : Zuhud, dkk. (2000)

 

Teknologi Pengembangan

 

Di dalam mengembangkan budidaya tumbuhan obat berbasis pengelolaan bioregional dapat dilakukan (1) di dalam kawasan hutan dan (2) di luar kawasan hutan di lahan masyarakat. 

Pengembangan budidaya tanaman obat yang dilakukan di kawasan hutan (hutan  produksi, hutan lindung atau pada zona rehabilitasi taman nasional ) dapat dilakukan dengan sistem agrowanafarma.  Cara seperti ini dapat diterapkan pada lahan-lahan  kosong atau lahan-lahan bekas penjarahan/penebangan liar di kawasan taman nasional atau hutan lindung yang termasuk dalam zona rehabilitasi atau zona pemanfaatan lainnya.  Pelaksanaannya dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat di sekitar hutan. Pengembangan agrowanafarma dapat dipadukan dengan pengembangan kegiatan ekowisata.  Sedangkan pengembangan budidaya tanaman obat di luar kawasan hutan dapat dilakukan di lahan perkebunan swasta atau lahan masyarakat.  Cara ini dapat dilakukan dengan sistem Perkebunan Inti Rakyat (PIR) dan lain-lain.

Ada enam kegiatan utama yang harus dilakukan di dalam usaha pengembangan budidaya tumbuhan obat, yaitu (1) bimbingan, pendampingan dan pembinaan kepada masyarakat pemungut/petani tumbuhan obat, (2) pengembangan kemitraan, (3) pengembangan kelembagaan  dengan melibatkan semua “stakeholder” (4) pelaksanaan budidaya tumbuhan obat, (5) pemanenan dan penanganan pasca panen tumbuhan obat, (6) pemasaran hasil dan (7) perlindungan dan  hak kekayaan intelektual masyarakat lokal/tradisional.  Berikut akan dibahas tiga butir pertama yang menjadi kegiatan utama.

 

a.  Bimbingan dan Pembinaan Masyarakat 

Bimbingan terhadap masyarakat tentang cara pelestarian dan  mengembangkan budidaya tumbuhan obat merupakan langkah pertama yang harus dilakukan. Tujuan dilaksanakannya bimbingan adalah untuk memberikan pengetahuan tentang cara mengembangkan atau membudidayakan tumbuhan obat. Sistem bimbingan yang diterapkan adalah bimbingan sambil kerja dengan cara pendampingan.  Bimbingan harus dilakukan oleh para praktisi yang sudah berpengalaman dalam usaha pengembangan atau budidaya tumbuhan obat.  Bimbingan perlu diberikan dalam bentuk teori dan praktek.

Kegiatan bimbingan umumnya dilakukan dalam periode waktu yang sangat singkat, sehingga kurang cukup untuk membangkitkan motivasi dan keterampilan masyarakat sekitar hutan. Oleh karena itu setelah masyarakat sekitar hutan lindung atau taman nasional memperoleh bimbingan perlu dilakukan pembinaan secara terus menerus dengan cara melakukan pendampingan.  Tenaga pendamping yang perlu dilibatkan adalah yang sudah berpengalaman, memiliki dedikasi dan pengetahuan yang cukup dalam usaha pengembangan atau budidaya tumbuhan obat dan tanaman pertanian.

 

b. Pengembangan Kemitraan

Persyaratan pengembangan agrowanafarma agar berhasil adalah pengembangan kemitraan.  Kemitraan adalah dimana masyarakat/petani tumbuhan obat melakukan kerjasama dengan industri jamu atau/dan industri fitofarma.  Menurut Janis (1997) terdapat banyak keuntungan yang akan diraih dengan cara membangun kemitraan, antara lain : (a) pengusaha dari industri jamu/fitofarma sebagai mitra akan melakukan pembinaan dan pengembangan pengetahuan masyarakat/petani tentang budidaya tumbuhan obat dan keterampilan lain yang diperlukan, (b) pengusaha dari industri jamu/fitofarma sebagai mitra akan menyediakan modal/sarana untuk memproduksi tumbuhan obat, sehingga kesulitan modal kerja pada masyarakat untuk memulai usaha dapat teratasi, (c) terdapat jaminan dalam memasarkan hasil panen/pengumpulan  tumbuhan obat, karena pihak perusahaan mitra akan membeli produk yang dihasilkan, (d) pengusaha industri jamu/fitofarma mendapat jaminan pasokan bahan baku tumbuhan obat, melalui budidaya, pemilihan jenis tumbuhan obat, luas penanaman, waktu panen dan lain-lain, (e) antara masyarakat pengumpul/petani tumbuhan obat dan pengusaha jamu/fitofarma mempunyai bargaining power  yang seimbang dan menguntungkan karena keduanya memperhatikan prinsip saling membuuhkan, dan (f) kelestarian tumbuhan obat akan lebih terjaga dan terjamin, karena dilakukan budidaya atau ekstraksi yang dilakukan akan memperhitungkan daya dukung kawasan dan relatif lebih terawasi.

 

c. Pengembangan Kelembagaan

            Kemitraan akan dapat berlangsung dengan baik apabila terdapat tiga unsur utama yang sangat berpengaruh, yaitu : (1) adanya unsur kerjasama usaha antara pihak petani dengan industri, (2) adanya unsur pembinaan dan pengembangan terhadap pihak petani oleh pihak industri dan (3) adanya unsur saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan antara pihak petani dan pihak industri.     

Agar  unsur-unsur tersebut di atas dapat berlangsung dengan baik, diperlukan adanya suatu kelembagaan dalam pelaksanaan kemitraan.  Pada dasarnya dalam melaksanakan kemitraan, ada 2 (dua) pihak yang terlibat langsung, yaitu masyarakat pengumpul/petani sebagai plasma dan perusahaan jamu/fitofarma sebagai inti.  Namun adanya keterbatasan-keterbatasan yang terdapat dalam masyarakat, maka agar kemitraan dapat berjalan dengan baik masih diperlukan peran pemerintah sebagai fasilitator.  Pihak pemerintah bertindak sebagai fasilitator, wasit dan penunjang (supporting agent) dalam pelaksanaan kemitraan antara masyarakat pengumpul/petani tumbuhan obat dengan perusahaan jamu/fitofarma tersebut.  Dalam hal ini pihak pemerintah dapat bekerjasama dengan perguruan tinggi dan LSM untuk melaksanakan fasilitasi kemitraan ini.  Dengan demikian pihak-pihak yang terlibat dalam pelaksanaan kemitraan adalah masyarakat pengumpul/petani tumbuhan obat sebagai plasma, perusahaan jamu/fitofarma sebagai inti dan permerintah sebagai fasilitator/mediator/penunjang (Supporting agent)                                                                                                                                                                                                                                         

 

(1)  Peranan pihak-pihak yang terlibat dalam kemitraan

 

Untuk mendapatkan hasil kemitraan yang optimal, maka diperlukan kejelasan peranan dari setiap pihak yang terlibat dalam kegiatan kemitraan tersebut. Untuk itu peranan dari masing-masing pihak yang terlibat dalam kemitraan dalam rangka komersialisasi tumbuhan obat adalah sebagai berikut :

a. Masyarakat pengumpul/petani tumbuhan obat

1). Membentuk kelompok-kelompok masyarakat/petani yang akan melakukan pengumpulan/budidaya tumbuhan obat.

2). Menetapkan pengumpulan simplisia pada tingkat desa.

3). Melakukan musyawarah dalam penetapan jumlah bantuan modal, tingkat harga pembelian simplisia oleh pihak inti, cara pengembalian bantuan modal, serta hak dan tanggung jawab.

4). Melakukan pengumpulan/budidaya jenis-jenis tumbuhan obat sesuai dengan yang diinginkan/ditetapkan oleh pihak inti.

5). Melakukan penanganan pasca pengumpulan/panen sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan agar diperoleh simplisia yang sesuai dengan spesifikasi teknis yang ditetapkan oleh pihak inti.

6). Menjual hasil pengumpulan/panen kepada pihak inti.

7). Mengembalikan bantuan modal kepada inti.

8). Menjaga kelestarian tumbuhan obat.

      b. Industri jamu/farmasi

1). Memotivasi/membantu masyarakat dalam pembentukan kelompok-kelompok masyarakat/petani yang akan melakukan pengumpulan/budidaya tumbuhan obat.

2). Menentapkan jumlah, jenis, standar mutu, spesifikasi teknis dan harga simplisia.

3). Melakukan musyawarah dalam penetapan jumlah bantuan modal, tingkat harga pembelian simplisia, cara pengembalian bantuan modal, serta hak dan tanggung jawab.

4). Memberikan pinjaman modal kerja.

5). Memberikan pembinaan, pelatihan dan pendampingan kepada pihak plasma, terutama dalam bidang budidaya dan pengolahan pasca pengumpulan/panen.

6). Membeli hasil pengumpulan/panen dari plasma.

7). Menjaga kelestarian tumbuhan obat.

8). Meneliti/mencari jenis-jenis tumbuhan obat baru yang dapat dimanfaatkan oleh pihak perusahaan.

 

     c.  Pemerintah

1). Memotivasi/membantu masyarakat dalam pembentukan kelompok-kelompok masyarakat/petani yang akan melakukan pengumpulan/budidaya tumbuhan obat.

2). Menetapkan lokasi pengumpulan dan budidaya tumbuhan obat.

3). Melakukan penyuluhan-penyuluhan, meliputi budidaya, penanganan pasca pengumpulan/panen, dan pelestarian tumbuhan obat.

4). Memberikan pelatihan keterampilan dalam bidang kewirausahaan kepada masyarakat/kelompok petani.

5). Menyediakan dan menyebarkan informasi-informasi yang berkaitan dengan bisnis tumbuhan obat.

6). Melakukan pembinaan kepada pihak perusahaan.

7). Bersama perusahaan, meneliti/mencari jenis-jenis tumbuhan obat baru yang dapat dimanfaatkan.

8). Membuat kebijakan dan peraturan yang menguntungkan kedua pihak (inti dan plasma) secara adil.

 

d. Perguruan Tinggi/Lembaga Penelitian

1). Melakukan penelitian-penelitian

2). Mengadakan pendidikan dan pelatihan

3). Bersama pemerintah melakukan evaluasi dan monitoring program

 

Secara singkat, peranan masing-masing pihak yang terlibat dalam kemitraan ini disajikan pada Tabel 5.

 

(2).   Lembaga Fasilitasi

Komersialisasi tumbuhan obat, memerlukan sumberdaya manusia yang berkualitas agar kegiatan komersialisasi ini dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Sumber daya manusia tersebut pada saat ini belum tersedia, hal ini terjadi karena masih rendahnya tingkat pendidikan masyarakat serta belum berkembangnya kegiatan bisnis modern. Untuk itu diperlukan suatu lembaga fasilitasi yang memiliki sumberdaya manusia yang profesional dan berkualitas. Selain itu lembaga ini diperlukan untuk dapat menjadi penghubung antara masyarakat dengan dunia bisnis modern, terutama industri jamu/fitofarma atau industri lainnya yang memanfaatkan tumbuhan obat sebagai bahan baku industrinya. Pembentukan lembaga ini harus diprakarsai oleh instansi fungsional yang sangat bertanggung jawab terhadap kegiatan komersialisasi ini, yaitu Departemen Kehutanan dan Perkebunan atau instansi daerah yang terkait (seperti Dinas Kehutanan dan Perkebunan propinsi).

 

a. Fungsi lembaga fasilitasi

Secara global fungsi dari lembaga ini adalah sebagai berikut :

1).    Melakukan promosi dan menyediakan informasi yang berkaitan dengan potensi dan komersialisasi keragaman tumbuhan obat.

2).    Menjadi penghubung antara masyarakat dengan pihak industri/fitofarma atau industri lainnya yang akan memanfaatkan tumbuhan obat yang berasal dari agrowanafarma.

3).    Menghimpun dan mengelola dana untuk menunjang kegiatan komersialisasi tumbuhan obat.

4).    Melakukan kerjasama dengan institusi-institusi penelitian, perguruan tinggi, LSM dan atau swasta untuk melakukan penelitian khasiat tumbuhan obat dan mengembangkan ramuan obat masyarakat lokal.

5).    Memberikan pelatihan dan pendampingan, kepada masyarakat pengumpul/petani, yang berkaitan dengan kegiatan budidaya, komersialisasi dan peningkatan pengetahuan masyarakat dalam bisnis modern.

6).    Forum komunikasi untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang timbul sehubungan dengan kegiatan komersialisasi.

 

        b. Anggota lembaga fasilitasi

Secara umum, anggota-anggota lembaga ini dapat dikelompokkan menjadi ;

1).    Instansi Pemerintah

Yaitu perwakilan dari Departemen Kehutanan dan Perkebunan, Departemen Pertanian, Departemen Kesehatan, Departemen Pedagangan dan Perindustrian, Departemen Koperasi dan PPK, Departemen Luar Negeri dan Pemerintah Daerah.

2).    Perguruan Tinggi dan Lembaga Penelitian.

3).    Lembaga Swadaya Masyarakat

4).    Pihak Swasta.

   

Tabel. 5. Matrik peranan masing-masing pihak yang terlibat dalam kemitraan

NO.

KEGIATAN

PIHAK YANG TERLIBAT

 

 

P. Tinggi

Masyarakat

Perusahaan

Pemerintah

1

Membentuk kelompok-kelompok masyarakat pengumpulan/petani budidaya tumbuhan obat

 

***

***

***

2

Menetapkan pengumpul simplisia pada tingkat desa

 

***

 

 

3

Musyawarah penetapan jumlah bantuan modal, tingkat harga pembelian simplisia, cara pengembalian bantuan modal, serta hak dan tanggung jawab

 

 

***

 

***

 

***

4

Mengumpulkan/melakukan budidaya jenis-jenis tumbuhan obat unggulan

 

***

 

 

5

Penanganan pasca panen/pengumpulan

 

***

 

 

6

Menjual hasil pengumpulan/panen kepada pihak inti

 

***

 

 

7

Memberikan pinjaman modal

 

 

***

 

8

Menjaga kelestarian tumbuhan obat

 

***

***

***

9

Mengembalikan bantuan modal kepada perusahaan (inti)

 

***

 

 

10

Melakukan pembinaan, pelatihan dan pendampingan kepada masyarakat/petani

***

 

***

***

11

Membeli hasil pengumpulan/panen

 

 

***

 

12

Meneliti tumbuhan obat dari berbagai aspek dan mencari jenis-jenis tumbuhan obat baru

***

 

***

***

13

Menyediakan dan menyebarluaskan informasi mengenai bisnis tumbuhan obat

 

 

 

***

14

Melakukan pembinaan kepada pihak perusahaan

 

 

 

***

15

Melakukan evaluasi dan monitoring pelaksanaan kemitraan

***

 

***

***

Sumber : Zuhud, dkk. (2000)

 

Penutup

 

Setiap unit  kawasan ekosistem  alam sesungguhnya telah menyediakan keanekaragaman hayati tumbuhan dan hewan yang dapat mendukung kehidupan masyarakat sekitarnya dalam menyediakan materi biologi untuk bermacam ragam manfaat, berupa keanekaragaman jenis tumbuhan obat untuk mengobati berbagai macam penyakit, keanekaragaman bahan untuk pangan  dan lain-lain.

            Pada masa yang lalu, komponen keanekaragaman hayati cenderung di pecah-pecah menurut bidang-bidang biologi dan ditelaah secara terpisah misalnya gen, populasi, jenis, komunitas, ekosistem dan manusia.  Para perancang pembangunan di Bappenas pada zaman orde baru memandang alam sebagai hal yang terpisah dari kehidupan manusia asli setempat, sering rancangan pembangunan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat tidak atau jarang menjadi suatu keberhasilan yang nyata karena masyarakat setempat dipandang sebagai objek bukan sebagai subjek pembangunan yang sebenarnya sudah menjadi satu paket dengan sumberdaya alam bioregionalnya.   

            Sejak dekade terakhir ini, banyak pendapat dari kalangan ekologis yang mengemukakan bahwa keanekaragaman hayati bioregional hanya dapat dipahami dengan mempelajari setiap tingkatan beserta interaksinya, yang memiliki keunikan sistem kedirian masing-masing.  Sehingga setiap keunikan sistem kedirian berkembang berbasis kapasitas diri yang kokoh, mandiri dan saling bergantungan.  Hal ini mendorong untuk mengkaji lebih jauh,  bahwa sasaran pengelolaan sumberdaya keanekaragaman hayati seharusnya adalah untuk memaksimalkan kapasitas alamiah manusia (sosial, budaya, intelegensia, emosi dan agama) berdasarkan konstruksi al fitrah dan al khalifah (Nataatmadja, 2003). 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Zuhud, E.A.M, Siswoyo, Hikmat dan Sandra. 2000.  Inventarisasi, Identifikasi dan Pemetaan Potensi Wanafarma Propinsi Jawa Timur. Laporan. Tidak Dipublikasikan.

 

Sumardja, E. 1997. Pendekatan Bioregional dan Prospeknya di Indonesia.  Prosiding Diskusi Panel Manajemen Bioregional Taman Nasional Gn. Gede Pangrango, Taman Nasional Gn. Halimun dan Gunung Salak.  Puslitbang Biologi LIPI dan Program Studi Biologi Pasca Sarjana UI. Depok.

 

Zuhud, E.A.M. 1997. Mencari Nilai Tambah Potensi Hasil Hutan Non Kayu Tumbuhan Obat Berbasiskan Pemberdayakan Masyarakat Tradisional Sekitar Hutan. Tidak dipublikasi.

 

Nataatmadja, H. 2003. Intelegensi Spiritual. Intuisi Press. Depok.