© 2004  Heriyanto Marwoto                                                                Posted  25 January 004

Makalah pribadi

Pengantar ke Falsafah Sains (PPS702)

Sekolah Pasca Sarjana / S3

Institut Pertanian Bogor

Januari 2004

 

 

Dosen:

Prof  Dr Ir  Rudy C Tarumingkeng   

 

 

 

 

KEMISKINAN NELAYAN:

SEBUAH MASALAH  YANG BELUM  TERPECAHKAN

 

 

 

Oleh :

 Heriyanto Marwoto

C.561030184

 

 

1.      PENDAHULUAN

Terjadinya krisis ekonoi pada prtengahan 1997 telah menyebabkan meningkatnya jumlah penduduk miskin menjadi 49,5 juta jiwa, dan menurun menjadi 37,5 juta jiwa (atau sekitar 18,2 % dari jumlah penduduk) pada tahun 1999.  Dari penduduk miskin tersebut sekitar 25,1 juta jiwa berada di daerah pedesaan.

Dampak yang dirasakan dengan adanya krisis ekonomi tersebut adalah bertambahnya jumlah rumah tangga miskin di pedesaan maupun di perkotaan, rusaknya struktur sosial yang disebabkan hilangnya pekerjaan dan hilangnya kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok, seperti pendidikan, kesehatan dasar, rekreasi, dan kebutuhan sosial lainnya.

Berbagai program pembangunan yang telah dilakukan Pemerintah dalam rangka menanggulangi kemiskinan selama ini ternyata masih belum dapat mengatasi masalah kemiskinan, lebih-lebih kemiskinan  nelayan yang secara umum dianggap sebagai kelompok masyarakat yang paling miskin di antara kelompok masyarakat miskin yang lain.

Kondisi sosial ekonomi masyarakat nelayan di Indonesia masih memprihatinkan. Tingkat pendidikan mereka rata-rata rendah, bahkan sebagian tidak berpendidikan, sebagian besar waktunya dihabiskan di tengah laut, pada umumnya konsumtif dan tidak mempunyai budaya menabung, walaupun pada dasarnya, sepanjang manusia masih hidup bermasayarakat dan sikap dehumanisasi masih terjadi, masalah kemiskinan atau kesejahteraan masih akan tetap ada, hanya bentuk dan kualitasnya saja yang berbeda.  Namun demikian masalah kemiskinan nelayan harus dicarikan konsep solusinya untuk meningkatkan pendapatannya.

Kemiskinan nelayan tersebut masih saja terus berlangsung dan menjadi suatu masalah, walaupun cukup banyak upaya yang telah dilakukan pemerintah untuk mengatasinya. Apabila berbagai upaya tersebut belum dapat memecahkan masalah kemiskinan nelayan hingga saat ini dan memberikan hasil sebagaimana yang diharapkan, diduga ada masalah dalam penanganannya, baik yang terkait dengan nelayan sebagai sasarannya atau dalam pelaksanaannya.

Dalam rangka penanggulangan kemiskinan, Pemerintah telah melaksanakan berbagai program khusus, yakni (a) Program Pengembangan Kecamatan (PPK), (b) Program Peningkatan Pendapatan Petani Kecil dan Nelayan (P4K), dan (c) Program Jaring Pengaman Sosial (JPS). Program-program tersebut bersifat umum dengan sasaran masyarakat miskin secara keseluruhan, kecuali Program P4K, yang dalam pelaksanaannya juga sedikit sekali yang dapat menyentuh nelayan buruh.

Program yang agak khusus dalam rangka penanggulangan kemiskinan adalah sejak dibentuknya Departemen Kelautan dan Perikanan, yakni “Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP)”, yang sebenarnya juga tidak ditujukan kepada nelayan secara khusus, tapi sudah lebih umum, yaitu masyarakat pesisir, termasuk nelayan di dalamnya. Secara umum, berdasarkan evaluasi yang pernah dilakukan, pelaksanaan Program PEMP pada tahun 2000 - 2002 menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan, antara lain dapat dilihat dari : (a) Meningkatnya pendapatan nelayan peserta program, (b) Menguatnya kelembagaan nelayan, (c) Tumbuhnya LSM-LSM lokal yang bergerak dan memperhatikan masalah pemberdayaan nelayan, (d) Tumbuhnya budaya menghemat di kalangan masyarakat nelayan, (e) Terjadinya revitalisasi budaya musyawarah untuk menyelesaikan masalah, dan (f) Meningkatnya kepedulian nelayan terhadap masalah sosial yang ada di lingkungannya.

Dari beberapa hasil yang dicapai seperti tersebut di atas, diyakini akan semakin menunjukkan hasil apabila kegiatan pemberdayaan dapat dilakukan secara lebih khusus bagi nelayan buruh secara berkesinambungan sehingga kemiskinan nelayan, terutama nelayan buruh,  secara bertahap dapat diatasi

Makalah ini akan menguraikan secara sekilas faktor-faktor apa saja yang diduga menyebabkan kekurangberhasilan program pengentasan kemiskinan nelayan yang dilakukan pemerintah selama ini dan beberapa alternatif solusi jalan keluarnya.

 

2.      NELAYAN SEBAGAI SASARAN PROGRAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN

Apabila disebutkan bahwa nelayan adalah termasuk kelompok masyarakat yang miskin maka secara umum banyak pihak yang dapat menerima dan memahaminya sehingga setuju pula terhadap berbagai upaya yang dilakukan untuk mengatasi kemiskinannya.  Sebaliknya, yang disebut sebagai nelayan miskin, perlu ditetapkan definisinya secara lebih jelas sehingga jelas pula upaya untuk mengatasi kemiskinan yang melilitnya.

Berdasarkan definisi yang digunakan dalam Statistik Perikanan Tangkap di Indonesia, yang disebut dengan nelayan  adalah orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan/binatang air lainnya/tanaman air.

Berdasarkan waktu yang digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan, nelayan diklasifikasikan menjadi 3, yaitu : (1) Nelayan penuh, yaitu nelayan yang seluruh waktu kerjanya digunakan untuk melakukan operasi penangkapan; (2) Nelayan sambilan utama, yaitu nelayan yang sebagian besar waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan, dan (3) Nelayan sambilan tambahan,yaitu nelayan yang sebgian kecil waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan. Dengan demikian, yang disebut dengan nelayan dapat merupakan pemilik kapal (nelayan pemilik) ataupun yang hanya bertindak sebagai buruh (nelayan buruh).

Nelayan pemilik dapat juga disebut sebagai suatu Rumah Tangga Perikanan (RTP)  yang didefinisikan sebagai rumahtangga yang melakukan kegiatan penangkapan ikan dengan tujuan sebagaian atau seluruh hasilnya untuk dijual.  Kegiatan operasi penangkapan yang dilakukan oleh RTP dapat dilakukan oleh rumahtangga tersebut saja, oleh anggota rumahtangga tersebut bersama-sama tenaga buruh, atau oleh tenaga buruh saja.

Berdasarkan statistik perikanan tangkap, pada tahun 2000 terdapat 2.486.456 orang nelayan di Indonesia.  Pada tahun yang sama jumlah RTP/PP yang ada sebanyak 475.392 buah. Dengan demikian, setiap RTP/PP rata-rata mempekerjakan sebanyak 5 orang nelayan buruh.  Jika diasumsikan bahwa setiap RTP/PP terlibat secara langsung dan aktif dalam kegiatan penangkapan ikan, maka terdapat sebanyak .2.011.064 orang nelayan buruh yang menggantungkan hidupnya dari usaha penangkapan ikan.

Sementara itu, sebanyak 475.392 buah RTP/PP yang ada mestinya tidak dapat seluruhnya dikategorikan sebagai nelayan miskin, kecuali RTP dengan tanpa perahu dan RTP dengan perahu tanpa motor. Bagi RTP/PP yang memiliki perahu/motor tempel paling tidak harus memiliki modal sekitar Rp. 15 juta untuk membeli unit penangkapannya.  Investasi tersebut semakin besar apabila RTP mengoperasikan kapal motor. Bagi kedua kelompok RTP yang disebut terakhir jelas sudah termasuk dalam kelompok masyarakat yang mampu di tingkat desa dimana yang bersangkutan tinggal. Dengan demikian kurang sesuai jika mereka juga termasuk dalam kategori nelayan miskin, dan tentunya tidak tepat jika ditetapkan sebagai sasaran program penanggulangan kemiskinan nelayan. 

Kenyataan yang ada selama ini, dalam pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan nelayan yang dilakukan selama ini tampaknya tidak dibedakan sasarannya dengan jelas antara nelayan pemilik/RTP dan nelayan buruh.  Kecenderungannya adalah bahwa yang disebut nelayan adalah nelayan pemilik, padahal masalah kemiskinan  nelayan justru lebih banyak dialami oleh nelayan buruh.  Oleh karenanya, cenderung terjadi salah sasaran dalam pelaksanaan program pengentasan kemiskinan nelayan. Dengan demikian yang disebut dengan nelayan dalam makalah ini untuk selanjutnya tidak lain adalah nelayan buruh.

 

3.      FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEMISKINAN NELAYAN

3.1.      Ketersediaan Sumberdaya Ikan

Berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian No. 995/Kpts/IK.210/9/99 Tentang Potensi Sumberdaya Ikan dan Jumlah Tangkapan Yang Diperbolehkan (JTB), potensi sumberdaya ikan di Perairan Indonesia adalah sebesar 6,258 juta ton per tahun, dengan rincian 4,400 juta ton per tahun berasal dari perairan territorial dan perairan wilayah, serta 1,858 juta ton per tahun dari perairan ZEEI. Namun demikian, karena manajemen perikanan menganut azaz kehatian-hatian (precautionary approach), maka JTB (Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan) ditetapkan sebesar 80 % dari potensi tersebut atau sebesar 5,006 juta ton per tahun, dengan rincian 3,519 juta ton per tahun berasal dari perairan territorial dan perairan wilayah, serta 1,487 juta ton per tahun dari perairan ZEEI.

Sementara itu, berdasarkan proyeksi Ditjen Perikanan Tangkap, nelayan di Indonesia pada tahun 2002 diperkirakan berjumlah 3,8 juta orang. Dengan berasumsi bahwa potensi SDI di perairan Indonesia sebesar 6,40 juta ton per tahun dan JTB sebesar 5,12 juta ton per tahun, maka produktivitas nelayan di Indonesia diperkirakan rata-rata sebesar 1,35 ton per orang per tahun atau ekivalen 6,63 kg per orang per hari (lama melaut 200 hari dalam 1 tahun). Rendahnya produktivitas nelayan tersebut menyebabkan persaingan untuk mendapatkan hasil tangkapan semakin lama akan semakin ketat, karena rezim pengelolaan sumberdaya ikan bersifat terbuka (open access).

Produktivitas yang rendah tersebut menjadi semakin kecil apabila sumberdaya ikan yang mungkin dimanfaatkan oleh nelayan adalah yang berada di perairan teritorial dan perairan wilayah yang potensinya sebesar 3,519 ton per tahun atau hanya 4,63 kg per nelayan per hari. Jika harga ikan rata-rata per kilogram adalah Rp. 5.000,- maka pendapatan kotor nelayan adalah sekitar Rp. 23.000,- per orang per hari.  Pendapatan kotor tersebut masih harus dikurangi dengan biaya operasi yang harus dikeluarkan, sehingga pendapatan nelayan per hari jauh di bawah pendapatan buruh pabrik dengan tingkat upah minimum regional yang sudah diatur oleh Pemerintah. Sehingga wajarlah jika nelayan termasuk kelompok masyarakat yang miskin dilihat dari tingkat pendapatan rata-rata per bulan.

3.2.   Keterbatasan Pemilikan Asset Unit Penangkapan

Secara umum kemiskinan nelayan yang menonjol adalah terjadi pada usaha  perikanan rakyat. Hal ini biasanya terkait dengan adanya perbedaan upaya tangkap (effort), yang dicerminkan oleh ukuran kapal dan teknologi penangkapan yang digunakan. Pada usaha perikanan rakyat, ukuran kapalnya secara umum lebih kecil dan teknologi penangkapan yang diterapkan sederhana. Perbedaan ini mengakibatkan perbedaan hasil tangkapan nelayan antara perikanan industri yang pasti lebih banyak dibandingkan perikanan rakyat. Dengan produktivitas yang rendah mengakibatkan nilai produksi yang dihasilkan juga sedikit (jika diasumsikan bahwa harga adalah sama) sehingga pendapatan yang diterima nelayan juga rendah, baik melalui sistim bagi hasil maupun usaha yang dijalankan sendiri.

3.3.      Keterbatasan Waktu Untuk Berusaha di Bidang Lain

Nelayan yang kegiatan utamanya adalah menangkap ikan di laut, pada umumnya tidak memiliki waktu untuk melakukan kegiatan atau usaha yang lain. Jika petani pada saat telah selesai waktu tanam atau sambil menunggu musim panen, dapat memanfaatkan waktu luangnya untuk melakukan kegiatan yang lain, seperti buruh bangunan, menjadi tukang becak dan sebagainya, maka kesempatan seperti itu tidak dimiliki oleh nelayan.

Apabila hasil tangkapan sedikit, terutama pada saat tidak musim ikan, maka hanya itulah pendapatan yang diterima oleh nelayan karena seluruh waktunya digunakan untuk menangkap ikan.  Nelayan yang mencurahkan seluruh waktunya (nelayan penuh) atau sebagian besar waktunya (nelayan sambilan utama) justru merupakan nelayan yang jumlahnya terbanyak. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, pada tahun 2000 jumlah nelayan penuh sebanyak 1.212.195 orang dan nelayan sambilan utama sebanyak 911.163 orang.

Pada saat mendarat di pelabuhan atau pangkalan pendaratan ikan, waktunya tersita untuk menjual asil tangkapan, memperbaiki perahu/kapal dan alat tangkap serta mempersiapkan perbekalan untuk keberangkatan berikutnya.  Sedikit waktu yang tersisa dimanfaatkan untuk beristirahat dan berkumpul bersama keluarga.  Dengan demikian tidak ada waktu dan kesempatan untuk melakukan kegiatan ekonomi lainnya di luar usaha penangkapan ikan yang dilakukannya.

Keterbatasan waktu yang ada juga menyebabkan tidak adanya kesempatan bagi nelayan untuk meningkatkan ketrampilan yang lain di luar kegiatan penangkapan.  Oleh karenanya tidak ada kesempatan juga untuk dapat bekerja di bidang lain dalam rangka menambah pendapatannya.  Nelayan cenderung akan kalah bersaing dengan tenaga yang lain untuk pekerjaan di darat lainnya.

3.4.      Posisi Tawar Yang Lemah

Dalam kaitannya dengan mekanisme pasar, posisi tawar nelayan secara umum adalah lemah. Untuk membeli kebutuhan peralatan dan perbekalan, nelayan mau tidak mau harus membeli dengan harga yang ditawarkan oleh penjual karena terbatasnya alternatif yang dapat dipilihnya mengingat terbatasnya jumlah penjual.  Sebagai contoh, untuk setiap liter solar, nelayan harus membayar Rp. 2.300,- per liter, yang berarti sekitar Rp. 350,- lebih mahal dari harga solar di SPBU.  Sebaliknya kalau tidak mau menerima harga yang ditawarkan tersebut, maka letak SPBU jauh dari tempat tinggalnya dan perlu biaya yang tidak sedikit.

Dari sisi penjualan hasil tangkapan, harga jual ikan juga lebih banyak ditentukan oleh bakul, walaupun dalam pelaksanaannya seolah-olah harga ikan ditentukan melalui mekanisme lelang.  Sebaliknya jika tidak mau menerima harga pembelian tersebut, tidak ada alternatif tempat menjual yang lain, dan ikan akan mengalami kerusakan atau bahkan pada akhirnya tidak laku dijual.  Oleh karenanya mau tidak mau nelayan harus menerima harga yang diajukan oleh pedagang.  Tidak jarang bahwa sistim pembayarannya juga tidak kontan.  Ikan dibayar pada saat ikan  sudah berhasil dijual di kota atau pasar grosir.  Dengan demikian keuntungan yang dihasilkan dari perdagangan ikan lebih banyak dinikmati oleh pedagang perantara dari pada dinikmati nelayan.

Dengan nilai jual ikan hasil tangkapan yang cenderung rendah dan biaya operasi yang cenderung lebih tinggi maka pendapatan bersih menjadi kecil, sehingga bagi hasil yang diterima nelayan juga kecil.

3.5.      Pembagian Keuntungan yang Kurang Adil

Pembagian keuntungan yang kurang adil antara pemilik unit penangkapan dan nelayan pada umumnya terjadi karena adanya sistim bagi hasil sebagai pengganti upah untuk nelayan.  Sistem bagi hasil ini dilaksanakan pada hampir seluruh usaha penangkapan ikan skala kecil.

Ketidak adilan muncul karena adanya pengertian yang berbeda yang menyangkut pendapatan bersih dalam usaha penangkapan ikan.  Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1964 tentang Bagi Hasil Perikanan.  Menurut ketentuan Undang-Undang ini, pada usaha perikanan laut yang menggunakan kapal motor, minimal 40 % dari hasil bersih diberikan kepada nelayan buruh.  Sedang yang disebut dengan hasil bersih adalah nilai jual hasil tangkapan dikurangi dengan beban biaya yang ditangung bersama antara nelayan buruh dengan pemilik, seperti ongkos lelang, uang rokok, biaya perbekalan selama di laut, biaya sedekah laut, dan iuran-iuran yang disahkan oleh pemerintah.  Beban biaya yang menjadi tanggungan pemilik adalah biaya pemeliharaan dan perbaikan perahu/kapal serta alat-alat lain yang digunakan, penyusutan dan biaya eksploitasi, seperti untuk solar, es dan lain sebagainya.

Dalam kenyataannya, beban biaya yang seharusnya menjadi beban pemilik unit penangkapan, semuanya termasuk yang dibebankan pada nelayan, walaupun sistim bagi hasil yang diterapkan adalah 50 % dari hasil bersih untuk nelayan.  Dengan demikian hasil bersih yang seharusnya dibagikan kepada nelayan lebih kecil dibandingkan yang seharusnya.  Akibatnya pendapatan per nelayan juga menjadi kecil.  Merupakan suatu keberuntungan jika setiap trip penangkapan selama 1 minggu setiap nelayan dapat membawa uang Rp. 30.000,- untuk keluarganya.

3.6.      Lemahnya Kelembagaan Nelayan

Keberadaan suatu kelembagaan yang dapat menghimpun nelayan akan sangat bermanfaat bagi nelayan yang bersangkutan dan dapat membantu dalam pelaksanaan berbagai program yang dilakukan pemerintah.  Bentuk kelembagaan yang pada umumnya ada di pedesaan antara lain adalah kelompok nelayan (berdasarkan jenis alat tangkap), Kelompok Usaha Bersama (KUB, berdasarkan kesamaan jenis usaha), Koperasi Unit Desa (KUD) Mina, dan Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI).

Kelompok Nelayan yang ada saat ini dalam kenyataannya kurang dan bahkan tidak dapat mewakili kepentingan nelayan, terutama nelayan buruh. Menurut Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD-ART) Kelompok Nelayan pada umumnya menyebutkan bahwa yang dapat menjadi anggota Kelompok Nelayan adalah nelayan pemilik.  Oleh karenanya Kelompok Nelayan tidak lain adalah kumpulan dari para pemilik unit penangkapan, yang biasanya sejenis.

Dengan sistim keanggotaan yang demikian maka Kelompok Nelayan hanya menyuarakan kepentingan nelayan pemilik saja.  Di sisi lain, program pembinaan dan penyuluhan yang dilakukan Pemerintah menggunaan pendekatan kelompok nelayan.  Dengan demikian yang mempunyai kesempatan untuk mengikuti pembinaan dan penyuluhan hanyalah nelayan pemilik.  Padahal meningkatnya produktivitas usaha penangkapan sangat ditentukan oleh pengetahuan dan ketrampilan nelayan buruh yang secara langsung terjun dalam kegiatan penangkapan.  Mereka seolah tidak memiliki kesempatan untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan ketrampilan yang diberikan oleh Pemerintah. Sebaliknya, bagi pemilik unit penangkapan, pengetahuan dan ketrampilan tidak begitu penting, karena yang lebih penting bagi mereka adalah bagaimana unit penangkapan siap untuk beroperasi, termasuk dalam menyediakan uang untuk membeli kebutuhan untuk operasionalnya.

KUB, KUD Mina dan HNSI juga menunjukkan kenyataan yang sama.  Kelembagaan ini merupakan wadah hanya bagi pemilik unit penangkapan dan bukan untuk nelayan buruh.  Hingga saat ini belum ada kelembagaan bagi nelayan buruh, sehingga adanya sistim bagi hasil yang tidak adil, sebagai contoh, tidak ada jalur kelembagaan yang dapat digunakan untuk menyalurkan aspirasinya.

Selain itu, pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan yang dilakukan pemerintah juga selalu mencantumkan persyaratan yang hanya dapat dipenuhi oleh nelayan pemilik.  Misalnya pemberian paket bantuan palkah, mesin, dan jaring, dengan mekanisme dana bergulir, hanya mungkin diikuti oleh para pemilik unit penangkapan, dan bukan nelayan buruh yang memang tidak memiliki unit penangkapan.

Dengan demikian, lemahnya kelembagaan nelayan buruh berpengaruh terhadap kemiskinan yang dialami oleh nelayan buruh.

 

 

4.KONSEP SOLUSI PENINGKATAN PENDAPATAN NELAYAN

 Beberapa solusi yang dapat dilakukan dalam rangka meningkatkan pendapatan sebagai bagian dari pengentasan kemiskinan nelayan buruh adalah sebagamana diuraikan berikut ini.  Masing-masing solusi dapat berdiri sendiri dalam pelaksanaannya, tapi dapat pula dilaksanakan secara simultan karena ada saling keterkaitan, dalam rangka memperoleh hasil yang lebih baik, yakni meningkatnya pendapatan nelayan buruh.

4.1.       Relokasi Nelayan

Berdasarkan data statistik, sebagian besar armada perikanan berada di daerah yang padat penduduknya seperti Pantai Utara Jawa dan Pantai Timur Sumatera. Kondisi ini menyebabkan perairan di sekitar daerah tersebut mengalami padat tangkap bahkan menunjukkan gejala over fishing. Dampak dari padanya, di perairan tersebut sering terjadi konflik antar nelayan karena perebutan daerah penangkapan. Oleh karena itu perlu dilakukan pemindahan (relokasi) armada dari daerah sekitar perairan yang sudah padat tangkap atau telah menunjukkan gejala over fishing ke perairan lain yang masih surplus tingkat pemanfaatan sumberdaya ikannya, misalnya daerah di Kawasan Timur Indonesia.

Dengan adanya kegiatan ini maka diharapkan akan terjadi keseimbangan tingkat pemanfaatan di masing-masing Wilayah Pengelolaan Perikanan, sehingga pemanfaatan sumberdaya ikan dapat dilakukan secara berkelanjutan dan konflik yang disebabkan oleh perebutan daerah penangkapan dapat dihindari.

4.2.    Pemberian Bantuan Unit Penangkapan

Pemberian bantuan unit penangkapan kepada nelayan adalah merupakan langkah yang secara langsung akan dapat meningkatkan pendapatan nelayan. Dengan adanya bantuan unit penangkapan maka pendapatan nelayan tidak lagi tergantung pada bagi hasil yang diperoleh dari pemilik unit penangkapan, tapi langsung dari besarnya nilai penjualan hasil tangkapan yang diperolehnya. Dalam pelaksanaannya, pemberian bantuan tersebut harus memperhatikan beberapa hal sebagai berikut.

Pertama, bantuan tidak diberikan pada perseorangan, tapi pada kelompok nelayan buruh secara tanggung renteng. Hal ini dimaksudkan untuk mewujudkan adanya suatu usaha bersama dimana masing-masing anggota menanggung jika ada kerugian dan sebaliknya memperoleh keuntungan yang sama bila ada hasil.  Karena merasa sama-sama memiliki maka diharapkan setiap nelayan akan bersungguh-sunguh dalam menjalankan usahanya.  Dalam pelaksanaannya dapat ditunjuk seseorang yang dianggap mampu untuk bertindak sebagai koordinator atau ketuanya.

Kedua, unit penangkapan yang yang diberikan disesuaikan dengan keinginan dan kebutuhan nelayan. Dengan bantuan unit penangkapan yang sesuai dengan keinginan dan kebutuhan nelayan maka sudah dapat dipastikan bahwa unit penangkapan tersebut sesuai untuk dioperasikan di perairan dimana nelayan biasa melakukan kegiatan penangkapan dan tidak perlu lagi adanya proses untuk penyesuaian karena dirasakan asing oleh nelayan.  Yang lebih penting, bahwa rasa memilikinya akan semakin kuat sehingga usaha penangkapan akan dilakukan dengan penuh kesungguhan. Dalam hal ingin memasukkan suatu inovasi baru, dapat dilakukan melalui dialog dari hati ke hati dengan nelayan dan dilakukan secara terbuka.

Ketiga, pengadaan unit penangkapan yang akan diberikan tidak melalui pendekatan proyek. Dengan pendekatan melalui proyek dalam proses pengeadaannya maka dari sisi biaya akan mengalami pembengkakan dibandingkan nilai riel dari unit penangkapan yang diberikan kepada nelayan. Pembekanan biaya terutama terjadi karena biaya-biaya yang harus dikeluarkan dalam rangka memenuhi persyaratan administrasi proyek, pajak yang harus dibayar dan keuntungan bagi pelaksana pekerjaan.  Selain itu, ada persepsi yang salah dari masyarakat yang menyangkut program pemnberian bantuan dari Pemerintah.  Pada umumnya masyarakat memahami bahwa yang disebut sebagai proyek bantuan dari Pemerintah diartikan sebagai sesuatu yang tidak harus kembali dan tidak harus berhasil.  Masyarakat menjadi semakin pintar dan paham karena pengalaman yang diperolehnya selama ini.

Akan lebih baik jika mekanisme pemberian bantuan dilakukan dengan melalui Bank, dimana nelayan calon penerima bantuan diarahkan untuk berhubungan dengan Bank dimana dana dari Pemerintah dititipkan.  Secara psikologis nelayan akan lebih taat pada saat berhubungan dengan Bank karena memahaminya bahwa unit penangkapan yang diperolehnya berasal dari kredit dan pasti harus dikembalikan.  Namun demikian, prosedur yang berbelit harus dihindarkan agar tidak ada keegganan dari nelayan untuk mengurus ke Bank.  Persyaratan adanya jaminan yang harus disediakan nelayan, jelas tidak akan pernah dapat dipenuhi oleh nelayan, dan oleh karenanya perlu ditiadakan.

Keempat, pemberian bantuan unit penangkapan harus disertai dengan pendampingan manajemen.  Pendampingan manajemen sangat diperlukan mengingat bahwa selama ini nelayan terbiasa bertindak sebagai pelaksana atau operator saja.  Segala kebutuhan yang harus dipersiapkan untuk dapat berangkat ke laut tidak pernah terpikirkan karena biasanya disediakan oleh pemilik unit penangkapan.  Untuk merubah sikap dan cara berpikir dari operator menjadi pengelola tidaklah mudah dan perlu waktu.  Oleh karenanya diperlukan pendampingan manajemen sehingga terjadi proses perubahan secara bertahap.

Kelima, besarnya dana bergulir yang sudah terkumpul bukan menjadi indikator keberhasilan.  Apabila besarnya dana bergulir yang terkumpul dijadikan tolok ukur keberhasilan maka akan mendorong petugas yang ada di lapangan untuk secara ketat menagih dana bergulir pada nelayan setiap kali menjual hasil tangkapan.  Petugas lapangan tidak mau dinilai gagal dalam melaksanakan tugasnya.  Di sisi lain, tujuan dari program yang dilaksanakan adalah untuk meningkatkan pendapatan nelayan, sehingga akan dinilai berhasil jika pendapatan nelayan meningkat sebagai akibat dari pemberian bantuan unit penangkapan.

4.3.      Kemitraan Usaha

Kemitraan usaha adalah salah satu solusi untuk meningkatkan pendapatan nelayan. Dengan terjalinnya kemitraan maka masing-masing pihak saling tergantung dan saling memperoleh manfaat dari kegiatan usaha yang dilaksanakan.  Kemitraan yang umum diterapkan pada usaha perikanan adalah dalam bentuk Inti-Plasma, dimana Perusahaan Perikanan bertindak sebagai Inti dan nelayan bertindak sebagai plasma.

Berdasarkan kesepakatan, Perusahaan Inti biasanya berkewajiban dalam penyediaan sarana produksi (kapal, alat tangkap, es dll) dan menampung (membeli) hasil tangkapan nelayan plasma. Sedangkan kewajiban nelayan adalah menangkap ikan dan menjual hasilnya kepada Perusahaan Inti, dengan harga yang disepakati bersama.

Dengan disediakannya sarana produksi maka terbuka kesempatan bagi nelayan buruh untuk menjalankan usahanya secara lebih mandiri tanpa harus tergantung pada nelayan pemilik dan mengandalkan pendapatannya dari bagi hasil yang diterima.  Sebaliknya dengan adanya tingkat harga yang disepakati bersama  maka nilai jual hasil tangkapan dapat lebih dijamin untuk tidak mengalami penurunan sehingga akan berpengaruh juga terhadap pendapatan nelayan.

Agar kesepakatan yang dicapai antara perusahaan inti dan plasma dapat terlaksana dengan baik maka diperlukan adanya pemantauan dan management audit yang dilakukan Pemerintah.  Sebaliknya, agar nelayan dapat mengelola usahanya dengan baik, diperlukan adanya bantuan manajemen dari Perusahaan Inti.

4.4.  Pengembangan Usaha Alternatif

Upaya lain yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pendapatan nelayan adalah dengan mengembangkan usaha alternatif, misalnya di bidang budidaya ikan, pengolahan ikan, dll. Dengan adanya usaha alternatif diharapkan nelayan akan memperoleh penghasilan tambahan, sehingga ketergantungan terhadap hasil tangkapan ikan dapat dikurangi dan keinginan nelayan untuk menangkap ikan sebanyak-banyaknya juga dapat ditekan.

Disamping itu, upaya ini dapat juga mengurangi jumlah nelayan kerena beralih profesi ke usaha alternatif yang lebih prospektif. Berkurangnya jumlah nelayan di daerah-daerah yang padat akan memberikan peluang yang lebih besar kepada nelayan yang lain untuk memperoleh hasil tangkapan yang lebih banyak.

Selain merubah usaha nelayan ke bidang yang lain, peningkatan pendapatan nelayan juga dapat dilakukan dengan mengembangkan usaha yang dapat dilakukan oleh anggota rumah tangga, seperti sitri dan anak-anaknya, dan usaha tersebut dalam rangka memanfaatkan waktu luang yang ada.  Alternatif kegiatan yang dapat dilakukan antara lain adalah membuat jaring yang diperlukan untuk penangkapan, membuat kaca lampu tekan (petromax) ataupun jaring yang digunakan untuk budidaya mutiara.  Untuk menumbuhkan usaha tersebut diperlukan adanya ketersediaan bahan baku dan pelatihan singkat serta akses untuk pasar di luar daerah. Usaha kerajinan seperti ini sudah banyak dilakukan oleh stri nelayan di daerah Karawang.  Usaha kerajinan lain dapat dikembangkan sesuai dengan ketersediaan bahan baku secara lokal dan peluang pasarnya.

Pengembangan usaha alternatif bagi nelayan buruh sendiri secara bertahap perlu dilakukan sehingga pada akhirnya akan dapat dirasionalisasikan jumlah nelayan yang paling ideal terkait dengan ketersediaan sumberdaya ikan yang ada.  Pelaksanaan pelatihan ketrampilan bagi nelayan dan program pendidikan bagi anak-anak nelayan akan dapat membuka peluang bagi mereka untuk memperoleh mata pencaharian di luar profesi nelayan.  Program tersebut perlu diikuti dengan sistim penyediaan permodalan yang memungkinkan diakses oleh nelayan dengan segala keterbatasan yang dimilikinya.

Berkurangnya jumlah nelayan akan memberikan peluang bagi nelayan yang lain untuk memperoleh hasil tangkapan yang lebih banyak, sehingga pandapatan nelayan juga akan semakin besar. 

4.5.  Peningkatan Nilai Tambah Ikan Hasil Tangkapan

Selama ini, dalam melakukan usaha penangkapan ikan, nelayan pada umumnya berorentasi pada jumlah (volume) hasil tangkapan daripada nilai (value) hasil tangkapan tersebut. Hal ini menyebabkan terjadinya inefisiensi (pemborosan) dalam pemanfaatan sumberdaya ikan. Salah satu upaya yang dapat ditempuh untuk mengatasi masalah tersebut adalah meningkatkan nilai tambah melalui pembinaan mutu, antara lain melalui penggunaan palkah berinsulasi di perahu/kapal dan penggunaan es.

Dengan meningkatnya mutu maka diharapkan harga jual ikan akan mengalami kenaikan, dan pada gilirannya akan dapat meningkatkan pendapatan bersih dari usaha penangkapan yang dilakukan. Secara umum, semakin baik mutu ikan yang didaratkan, maka semakin tinggi harga ikan per satuan beratnya, lebih-lebih jika dapat memenuhi standar mutu untuk tujuan ekspor. Dengan meningkatnya nilai jual hasil tangkapan maka pendapatan nelayan, termasuk yang pendapatannya diperoleh dari sistim bagi hasil, juga akan meningkat.

4.6.      Perbaikan Sistim Bagi Hasil

Berdasarkan Undang-undang Nomor 16 Tahun 1964 tentang Bagi Hasil Perikanan, pembagian hasil tangkapan antara pemilik dan nelayan buruh ditetapkan sebesar 40 % dari hasil bersih dan 40 % yang menjadi bagian dari pemilik unit penangkapan dengan kapal bermotor. Dalam parkteknya ketentuan tersebut pada umumnya tidak pernah dilaksanakan dan tidak pernah ada  tindakan dari aparat terhadap pelanggaran ketentuan tersebut dan bahkan tidak ada upaya untuk melaksanakannya dalam rangka meningkatkan pendapatan nelayan buruh.

Kenyataannya bahwa pada umumnya pendapatan bagi nelayan buruh diperoleh berdasarkan sistim bagi hasil yang berlaku setempat.  Kebanyakan, pelaksanaan bagi hasil memang didasarkan pada hasil bersih, namun pengertian hasil bersih yang digunakan berbeda dengan ketentuan yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1964 pasal 4 yang menyebutkan bahwa hasil bersih adalah nilai produksi dikurangi dengan biaya perbekalan untuk para nelayan selama di laut, biaya sedekah laut, ongkos lelang, dan uang rokok/jajan.  Yang banyak diberlakukan oleh pemilik, yang disebut dengan pendapatan bersih adalah nilai produksi dikurangi dengan biaya eksploitasi, seperti pembelian solar, minyak es, ongos pemeliharaan dan perbaikan perahu/kapal serta alat lain yang digunakan, biaya penyusutan alat tangkap, penyusutan mesin dan penyusutan perahu/kapal, yang seharusnya menjadi beban dan tanggungan pemilik.  Dengan pola seperti itu maka bagi hasil yang diterima nelayan buruh sekitar 30 % lebih rendah dari yang seharusnya.  Oleh karenanya, salah satu cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pendapatan nelayan buruh adalah dengan penerapan bagi hasil sesuai dengan ketentuan, karena dengan demikian, paling tidak  sekitar 20 % pendapatan bersih yang dapat dibagi sebagai tambahan pendapatan nelayan buruh dibandingkan dengan yang diterima selama ini.

4.7.      Pengembangan Kelembagaan Nelayan

Dalam tahap awal, kelembagaan yang perlu dikembangkan adalah Kelompok Nelayan Buruh, yang diharapkan dapat menjadi wadah bagi nelayan buruh untuk mengkonsolidasikan dan mengaktualisasikan dirinya.  Dengan jumlah nelayan buruh yang sangat banyak dan dominan dan tergabung dalam suatu organisasi akan dapat meningkatkan posisi tawar terhadap nelayan pemilik sehingga tidak ada lagi hubungan kerjasama yang tidak saling menguntungkan.  Peran kelembagaan Kelompok Nelayan ini diharapkan seperti peran kelembagaan pekerja di sektor industri dengan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI).  Bagi nelayan yang bekerja di perikanan industri (skala besar) penerapan ketentuan upah minimum regional sudah seharusnya juga diterapkan, apalagi waktu kerja dan resiko kerja bagi nelayan lebih berat dibandingkan dengan pekerja/buruh industri.  Sudah waktunya sistim Hubungan Kerja Industrial Pancasila juga diterapkan di bidang perikanan.

Di sisi lain, mengingat jumlahnya yang banyak, sudah sewajarnya jika Pemerintah mulai memberikan perhatian kepada Kelompok Nelayan Buruh ini.  Dapat dipastikan bahwa mereka juga memerlukan pembinaan, dan justru merekalah yang harus dibina agar dapat diperoleh peningkatan produksi perikanan yang berasal dari kegiatan penangkapan ikan. Meningkatnya produksi akan diikuti dengan peningkatan nilai jual hasil tangkapan dan pada gilirannya akan berdampak terhadap peningkatan pendapatan nelayan.

Dalam tahap berikutnya, Kelompok Nelayan Buruh secara bertahap dapat dikembangkan lebih lanjut menjadi Kelompok Usaha Bersama pada saat memiliki kemampuan untuk melakukan investasi untuk mengadakan unit penangkapan secara bersama.  Peningkatan pendapatan dapat diperoleh dengan mekanisme yang sama dengan adanya bantuan unit penangkapan yang berasal dari Pemerintah.

4.8.      Pengawasan dan Penegakan Hukum

Pemerintah melalui Keputusan Menteri Pertanian No. 607 Tahun 1975 jo No. 392 Tahun 1999 Tentang Jalur-Jalur Penangkapan Ikan telah berupaya agar konflik antar nelayan terutama konflik vertikal dapat dihindari. Dalam keputusan tersebut ditetapkan bahwa daerah penangkapan ikan di laut dibagi atas 3 (tiga) Jalur Penangkapan, yaitu : Jalur Penangkapan Ikan I (meliputi perairan pantai diukur dari permukaan air laut pada surut terendah pada setiap  pulau sampai dengan 6 (enam) mil laut ke arah laut), Jalur Penangkapan Ikan II (meliputi perairan di luar Jalur Penangkapan I sampai dengan 12 mil laut ke arah laut) dan Jalur Penangkapan Ikan III (meliputi perairan di luar Jalur Penangkapan Ikan II sampai dengan batas terluar ZEEI). Jalur Penangkapan I dialokasikan untuk kapal tanpa motor atau bermotor dengan ukuran maksimal 5 GT, Jalur Penangkapan II untuk kapal bermotor dengan ukuran maksimal 60 GT dan Jalur III diperuntukkan bagi kapal bermotor dengan ukuran lebih besar dari 60 GT.

Peningkatan pengawasan dan penegakan hukum terhadap ketentuan mengenai jalur penangkapan akan dapat menghindari terjadinya persaingan antara nelayan skala kecil dengan nelayan yang lebih mampu dalam penggunaan teknologi, sehingga lebih memberikan jaminan terhadap hasil produksi yang dapat diperoleh oleh nelayan skala kecil dan bahkan dapat menghindari terjadinya konflik antar nelayan karena adanya pelanggaran jalur penangkapan.

Selain terhadap ketentuan tersebut, pengawasan dan penegakan hukum juga diberlakukan terhadap peraturan perundang-undangan yang lain, termasuk pelaksanaan sistim bagi hasil yang merupakan pelaksanaan ketentuan Undang-Undang nomor 16 tahun 1964 tentang Bagi Hasil Perikanan.  Adanya penerapan sanksi secara konsisten terhadap pelaku pelanggaran, diharapkan akan mendorong pelaksanaan sistim bagi hasil yang lebih berpihak dan menguntungkan nelayan buruh.

 

5.      PENUTUP

Kemiskinan nelayan di Indonesia merupakan kemiskinan yang bersifat struktural karena keterbatasan sumberdaya ikan yang tersedia dan dapat dimanfaatkannya.,  Oleh karenanya perlu ditempuh langkah-langkah untuk mengantisipasi agar kemiskinan nelayan dapat diatasi secara bertahap. Konsep solusi yang diuraikan di atas merupakan bahan pemikiran yang perlu didiskusikan lebih lanjut, dengan harapan dapat menjadi masukan bagi para pengambil kebijakan dalam pembangunan perikanan tangkap, khususnya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan, sehingga potret buram dari  nelayan, utamanya nelayan buruh, yang selama ini cenderung terlupakan dan yang lekat dengan kemiskinan, dapat dihilangkan atau paling tidak dikurangi.

Salah satu kunci untuk mencapainya adalah adanya definisi yang jelas mengenai siapa sebenarnya nelayan yang akan dijadikan sasaran program yang akan dilaksanakan oleh pemerintah. Program yang diperlukan oleh nelayan buruh jelas berbeda dengan program yang diperuntukkan bagi nelayan pemilik.  Masing-masing mempunyai karakteristik dan masalah yang berbeda. Kesalahan dalam menentukan sasaran program jelas akan mempengaruhi keberhasilan dari program yang dilaksanakan.  Diduga bahwa  itulah penyebab utama mengapa kemiskinan nelayan di Indonesia merupakan masalah yang belum terpecahkan hingga saat ini walaupun sudah banyak program yang dijalankan oleh Pemerintah.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Ditjen Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, 2002. Evaluasi PKPS-BBM 2002 Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir. Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta

 

Ditjen Perikanan Tangkap, 2002.  Bahan  Dialog  Dirjen Perikanan Tangkap denganSub Komisi Kelautan dan Perikanan DPR-RI. Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta

 

Ditjen Perikanan Tangkap, 2002.  Statistik Perikanan Tangkap Indonesia, 2000. Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta

 

Satria, Arif, dkk, 2002.  Acuan   Singkat    Menuju   Desentralisasi   Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Pusat Kajian Agraria IPB – Partnership for Governance Reform in Indonesia, Jakarta.