© 2003  Muhammad Wiharto                                                      Posted, 8 November 2003

Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS702)

Program Pasca Sarjana / S3

Institut Pertanian Bogor

November  2003

 

 

PRODUKTIVITAS VEGETASI HUTAN HUJAN TROPIS

 

 

 

Oleh:

 

 

Muhammad Wiharto

E061030101/IPK

E-mail: m_wiharto@yahoo.com

 

 

A. PENDAHULUAN

 

            Hutan hujan tropis adalah hutan yang memiliki keanekaragaman tumbuhan yang sangat tinggi sebagaimana yang digambarkan oleh Resosoedarmo et al., (1986) melalui hujan hujan tropis primer pegunungan di Cibodas, yang memiliki kekayaan jenis tumbuhan berbunga dan paku-pakuan sebanyak 333 pada daerah seluas 1 ha, di ketinggian 1500m dari permukaan laut. Di antara jenis tumbuhan tersebut, 73 jenis diantaranya adalah jenis pohon dengan kerapatan sebesar 233 pohon/ha.

            Sifat menyolok lainnya dari hutan ini menurut penulis yang sama, adalah besarnya volume biomassa tumbuhan persatuan luas sehingga memberi kesan produktivitas yang sangat tinggi dan lahan yang sangat subur. Keanekaragaman yang sangat tinggi dan produktivitas biomassa yang besar menggambarkan tingginya produktivitas vegetasi di hutan hujan tropis. Pada kenyataannya menurut Weaver dan Clement (1980) kecuali produktivitas vegetasi yang sangat tinggi, tanah di daerah tropis tidaklah terlalu subur kecuali lahan-lahan yang tersusun atas tanah alluvial baru dan tanah vulkanik.

            Patandianan (1996) mengatakan bahwa sifat tanah hutan hujan tropis adalah miskin hara sehingga tidak mampu mendukung produktivitas  tumbuhan yang sangat tinggi. Menurut Resosoedarmo et al., (1986) produktivitas yang sangat tinggi pada kawasan ini terjadi karena ekosistem hutan hujan tropis memiliki sistem daur hara yang sangat ketat, tahan kebocoran, dan berlangsung cepat.

            Tulisan ini dibuat untuk membahas masalah produktivitas vegetasi hutan hujan tropis dan beberapa faktor yang mempengaruhinya. Hal yang patut diperhatikan bahwa setiap faktor yang ada tidak bekerja sedirian dalam mempengaruhi produktivitas tetapi saling berinteraksi satu sama lain.

 

B. PEMBAHASAN

 

1. Kondisi Umum Hutan Hujan Tropis.

            Secara geografis daerah hutan hujan tropis mencakup wilayah yang terletak di antara titik balik rasi bintang Cancer dan rasi bintang Capricornus, yaitu suatu wilayah yang terletak di antara 23027’ LU dan 23027’ LS (Weidelt, 1995). Menurut Ewusie (1980)  wilayah hutan hujan tropis mencakup  ± 30 % dari luas permukaan bumi dan terdapat mulai dari Amerika Selatan, bagian tengah dari benua Afrika, sebagian anak benua India, sebagian besar wilayah Asia Selatan dan wilayah Asia Tenggra, gugusan kepulauan di samudra Pasifik, dan sebagian kecil wilayah Australia.

            Pada umumnya wilayah hutan hujan tropis  dicirikan oleh adanya 2 musim dengan perbedaan yang jelas, yaitu musim penghujan dan musim kemarau. Ciri lainnya adalah suhu dan kelembapan udara yang tinngi, demikian juga dengan curah hujan, sedangkan hari hujan merata sepanjang tahun (Walter, 1981).

 

2. Produktivitas Ekosistem Dunia dan Kaitannya dengan Hutan Hujan Tropis.

            Jumlah total energi yang terbentuk melalui proses fotosintesis perunit area perunit waktu di sebut produktivitas primer kotor, namun demikian tidak semua energi yang dihasilkan melalui fotosintesis ini diubah menjadi biomassa, tetapi sebagian dibebaskan lagi melalui proses respirasi. Produktivitas primer bersih dengan demikian adalah hasil fotosintesis dikurangi dengan respirasi (Barbour et al., 1987).        

Jika Tabel 1 diperhatikan dengan seksama maka dapat disimpulkan beberapa hal, antara lain produktivitas primer bersih hutan hujan tropis adalah yang tertinggi di banding wilayah lain, yang mencapai 1000-3500 g/m2/tahun, disusul oleh hutan musim tropis yang mencapai 1000-2500 g/m2/tahun. Daerah daratan yang memiliki produktivitas terendah adalah gurun dan  semak-gurun yang hanya berkisar 10-250 g/m2/tahun.

 

Tabel 1. Produktivitas Primer Biosfer

 

Tipe Ekosistem

Produktivitas Primer Bersih (Bahan Kering)

Kisaran Normal (g/m2/tahun)

Hutan Hutan Tropis

1000-3500

Hutan Musim Tropis

1000-2500

Hutan Iklim Sedang:

 

           Selalu Hijau

600-2500

           Luruh

600-2500

Hutan Boreal

400-2000

Savana

200-2000

Padang Rumput Iklim Sedang

200-1500

Tundra dan Alpin

10-400

Gurun dan Semak Gurun

10-250

Sumber: Whittaker dan Likens (1975).

 

2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produktivitas Hutan Hujan Tropis.

            Produktivitas merupakan parameter ekologi yang sangat penting. Produktivitas ekosistem adalah suatu indeks yang mengintegrasikan pengaruh kumulatif dari banyak proses dan interaksi yang berlangsung simultan di dalam ekosistem. Jika produktivitas pada suatu ekosistem hanya berubah sedikit dalam jangka waktu yang lama maka hal ini menandakan kondisi lingkungan yang stabil, tetapi jika terjadi perubahan yang dramatis, maka menunjukkan  telah terjadi perubahan lingkungan yang nyata atau terjadi perubahan yang penting dalam interaksi di antara organisme-organisme yang menyusun ekosistem (Jordan, 1985).

Produktivitas khususnya di wilayah tropis dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain adalah:

 

a. Suhu dan Cahaya Matahari

            Suhu udara di daerah dataran rendah hutan hujan tropis tidak pernah turun sampai pada titik beku. Sebagian besar suhu pada wilayah ini berkisar antara 20-28 0 C (Walter, 1981). Radiasi global bervariasi berdasarkan keadaan atmosfer, lintang, dan ketinggian (Whittaker, 1973). Suhu Udara di daerah hutan hujan tropis tidak pernah turun sampai sampai mencapai titik beku (00 C) namun pada daerah yang sangat tinggi dimana kadang-kadang tapi sangat jarang suhu turun hampir mencapai titk beku (Warsito, 1999). Suhu rata-rata pada sebagian besar daerah adalah 270C, dan kisaran suhu bulanan berkisar 24-280C, yang dengan demikian kisaran suhu musiman ini jauh lebih kecil dibanding kisaran suhu siang dan malam (diurnal) yang dapat mencapai 100. Suhu maksimum jarang mencapai 380C  juga jarang jatuh sampai di bawah 200C (Mabberly,1983).Berdasarkan gradasi suhu rata-rata tahunan, maka produktivitas akan meningkat dari wilayah kutup ke wilayah ekuator (Barbour et al, 1987), namun untuk daerah hutan hujan tropis  suhu bukanlah faktor dominan yang menentukan produktivitas, tapi lamanya musim tumbuh (Walter, 1981).

            Wilayah hutan hujan tropis menerima lebih banyak sinar matahari tahunan yang tersedia bagi fotosintesis dibanding dengan wilayah iklim sedang. Hal ini disebabkan oleh 3 faktor: (1) Kemiringan poros bumi menyebabkan wilayah tropika menerima lebih banyak sinar matahari dibanding pada atmosfer luarnya dibanding dengan wilayah iklim sedang. (2) Lewatnya sinar matahari pada atmosfer yang lebih  tipis (karena sudut yang lebih tegak lurus di daerah tropika), mengurangi jumlah sinaran yang diserap oleh atmosfer. Di wilayah hutan hujan tropis, 56% sampai dengan 59 % sinar matahari pada batas atmosfer dapat sampai di permukaan tanah. (3) Masa tumbuh, yang terbatas oleh keadaan suhu adalah lebih panjang di daerah hutan hujan tropis (kecuali di tempat-tempat yang sangat tinggi) (Sanches, 1992).

            Jordan (1995) menjelaskan bahwa adanya suhu yang tinggi dan konstan hampir sepanjang tahun dapat bermakna musim tumbuh bagi tumbuh-tumbuhan akan berlangsung lama, yang pada gilirannya akan meningkatkan produktivitas. Berdasarkan sinar matahari dan lamanya masa tumbuh De Witt dalam Sanches (1992) menaksir hasil tanaman pangan yang mungkin, berdasarkan jalur lintang. Perhitunganya menunjukkan bahwa daerah hutan hujan tropis  berkemungkinan memberikan hasil lebih besar per tahun dibanding daerah iklim sedang, dengan mengandaikan tidaknya faktor pembatas. Pada daerah lintang tropika kemampuan panen tahunan rata-rata adalah sebesar 60 ton/ha hasil kering keseluruhan. Kira-kira setengah dari jumlah itu dianggap sebagai hasil panen yang menguntungkan dari segi ekonomi.

 

b. Curah Hujan

            Di daerah hutan hujan tropis jumlah curah hujan per tahun berkisar antara 1600 sampai dengan 4000 mm (Warsito, 1999) dengan sebaran bulan basah 9,5-12 bulan basah (Sanches, 1992). Kondisi ini menjadi wilayah ini memiliki curah hujan yang merata hampir sepanjang tahun yang akan sangat mendukung produktivitas yang tinggi.

Hujan selain berfungsi sebagai sumber air juga berfungsi sebagai sumber hara. Whitmore (1986) mengatakan bahwa banyak nitrogen yang terfiksasi selama terjadi badai dan turun ke bumi bersama dengan hujan. Hara lain yang banyak masuk ke dalam ekosistem melalui curah hujan  menurut Kenworty dalam Whitmore (1986) adalah K, Ca, dan Mg.

Walaupun memberi dampak positif bagi produktivitas vegetasi  menurut Resosoedarmo et al., (1986) curah hujan yang tinggi akan menyebabkan tanah-tanah yang tidak tertutupi oleh vegetasi rentan sekali terhadap pencucian yang akan mengurangi kesuburan tanah dengan cepat. Barbour et al, (1987) mengatakan bahwa sebagai salah satu faktor siklus hara dalam sistem, pencucian  adalah penyebab utama hilangnya hara dari suatu ekosistem. Hara yang mudah sekali tercuci terutama adalah Ca dan K.

 

c. Interaksi Antara Suhu dan Curah Hujan.

            Produktivitas yang tinggi dan kontinyu sepanjang tahun tidak akan berlangsung jika hanya didukung oleh suhu yang tinggi. Banyak wilayah lain di dunia yang memiliki suhu yang jauh lebih tinggi di banding wilayah hutan hujan tropis, tetapi memiliki produktivitas yang rendah (Woodweell, 1967).

            Interaksi antara suhu yang tinggi dan curah hujan yang banyak yang berlangsung sepanjang tahun menghasilkan  kondisi kelembapan yang sangat ideal bagi vegetasi hutan hujan tropis untuk meningkatkan produktivitas. Warsito (1999) menjelaskan bahwa kelembapan atmosfer merupakan fungsi dari lamanya hari hujan, terdapatnya air yang tergenag, dan suhu. Sumber utama air dalam atmosfer adalah hasil dari penguapan dari sungai, air laut, dan genangan air tanah lainnya serta transpirasi dari tumbuhan. Menurut Jordan (1995) tingginya kelembapan pada gilirannya akan meningkatkan laju aktivitas mikroorganisme. Selain itu, proses lain yang sangat dipengaruhi oleh proses ini adalah pelapukan tanah yang berlangsung cepat. Pelapukan terjadi ketika hidrogen dalam larutan tanah bereaksi dengan mineral-mineral dalam tanah atau lapisan batuan, yang mengakibatkan terlepas unsur-unsur hara . Hara-hara ini ada yang dapat dengan segera diserap oleh tumbuhan.

 

d. Produktivitas Serasah

Produktivitas serasah di hutan hujan tropis adalah juga yang tertinggi di banding dengan wilayah-wilayah lain sebagaimana yang terlihat pada Table 2. Oleh karena produktivitas serasah yang tinggi maka akan memberikan keuntungan bagi vegetasi untuk meningkatkan produktivitas karena tersedianya sumber hara yang banyak.

 

Tabel 2. Laju Produktivitas Serasah Di Berbagai Tipe Ekosistem Dunia

 

Ekosistem

Lokasi

Produktivitas Serasah (g/m/tahun)

Hutan hujan tropis

Thailand

2322

Hutan iklim sedang

Di beberapa lokasi

1200

Savana kering

Rusia

290

Hutan oak

Rusia

350

Taiga

Rusia

250-300

Hutan musim tropis

Pantai Gading

440

Herba perennial

Jepang

1484

Prairi

Amerika Serikat

520

Sumber: Dikompilasi dari Jordan (1971)

 

Produktivitas serasah yang tinggi ini disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut: (1) Hutan hujan tropis yang selalu hijau (Bray dan Gorham, 1964), dan (2) Iklim, sebagai mana yang diperlihatkan oleh oleh Ewusie (1990) yang membandingkan produktivitas tahunan serasah di 4 zone iklim yang berbeda dan menemukan pada hutan hujan tropis, hutan iklim sedang yang hangat, hutan iklim sedang yang sejuk, dan hutan alphin produktivitasnya berturut-turut adalah: 10,2 t/ha/tahun; 5,6 t/ha/tahun; 3,1 ton/ha/tahun; dan 1,1 t/ha/tahun.

Hutan hujan tropis adalah ekosistem dengan laju dekomposisi serasah tercepat dibanding ekosistem-ekosistem lainnya sebagaimana yang terlihat pada Tabel 3. Menurut Resosoedarmo et al., (1986) hal ini disebabkan karena serasah yang jatuh ke permukaan tanah tidak akan lama tertimbun di lantai hutan tetapi segera mengalami dekomposisi sehingga dapat dengan segera diserap kembali oleh tumbuhan. Barbour et al., (1987) mengatakan bahwa laju dekomposisi serasah berbeda antara satu ekosistem dengan ekosistem lainnya. Laju ini terutama dipengaruhi oleh kelembapan udara, organisme flora dan fauna mikro dan kandungan kimia dari serasah.

 

Tabel 3. Laju Dekomposisi Serasah di Beberapa Tipe Ekosistem Dunia

 

Iklim

Ekosistem dan Lokasi

Laju Dekomposisi (% /hari)

 

Tropis

Hutan Hujan Tropis

0,45

 

Padang Rumput

0,30

 

Sedang

Hutan oak di:

 

 

  Minnesota

0,018

 

  Missouri

0,095

 

  New Jersey

0,018

 

Sumber : Barbour et al, 1987.

           

e. Tahap Suksesi Komunitas

            Produktivitas vegetasi juga mengikuti pola perubahan yang terjadi selama suksesi.  Pada Gambar 1 terlihat  adanya  gradasi peningkatan produktivitas vegetasi selama masa awal suksesi, diikuti dengan mulai menurunnya produktivitas vegetasi setelah mencapai puncak (Barbour at al., 1987).

Botkin et al., dalam Barbour at al., (1987) membuat suatu model untuk memprediksi pertumbuhan biomassa tegakan hutan dan menemukan bahwa tegakan mencapai puncak pertumbuhannya pada usia sekitar 200 tahun, dan kemudian berkurang 30-40% setelah usia tersebut. Menurut Barbour at al., (1987) penurunan ini disebabkan karena:  (1) Proporsi alokasi produktivitas primer bersih yang sangat besar ke struktur biomassa non fosintesis, (2) Keterbatas tajuk pohon dan orientasi daun, (3) Terikatnya hara di dalam struktur biomassa pohon  (4) Menurunnya efisiensi fotosintesis dari individu pohon yang telah tua.

 

Gambar 1. Produktivitas bersih tahunan yang ditaksir berdasarkan diameter batang yang menunjuk kepada umur pohon.

(Gambar dimodifikasi dari Barbour at al., 1987)

 

f. Tanah.

            Tanah adalah faktor di daerah tropis yang tidak mendukung tingginya produktivitas yang tinggi. Tanah di hutan hujan tropis adalah tanah yang berumur sangat tua, kecuali tanah vulkanik. Periode Pleistocene tidak berpengaruh sama sekali pada tanah disini, dan kemungkinan besar tanah disini berasal dari periode Tertiary (Walter,  1981).        

            Pencucian terjadi menurut Brady (1974) karena beberapa hara tersimpan di permukaan tanah  liat atau pada bahan organik koloid, Permukaan ini bermuatan negatif. Ion-ion bermuatan positif seperti K+, Ca++, dan NH4+ akan bergabung dengan permukaan yang memiliki muatan negatif. Kemampuan tanah untuk mempertahankan kation pada permukaan liat maupun humus terutama ditentukan oleh nilai Kapasitas Tukar Kation (KTK)nya. Tanah yang memiliki kandungan liat atau kandungan organik yang tinggi memiliki KTK yang tinggi yang berarti tanah tersebut memiliki kemampuan tinggi dalam mempertahankan mineral-mineralnya. Namun faktor lain juga turut berperan dalam hal ini, terutama jenis mineral liat yang terdapat di tanah. Mineral liat yang mengalami pelapukan yang sangat kuat seperti kaolinit memiliki KTK yang rendah (Sanchez, 1992).

            Ion hara yang bermuatan positif  pada permukaan liat dapat digantikan oleh ion hidrogen. Potensi ketersedian hidrogen yang tinggi pada tanah-tanah tropis disebabkan oleh diproduksinya asam organik secara kontinu melalui respirasi yang dilangsungkan oleh mikroorganisme tanah dan akar. Respirasi oleh pengurai bersama dengan respirasi oleh akar disebut respirasi tanah.

Jika tanah dalam keadaan basah, maka karbon dioksida (CO2) dari respirasi tanah beserta air (H2O) akan membentuk asam karbonat (H2CO3) yang kemudian akan mengalami disosiasi menjadi bikarbonat (HCO3-) dan sebuah ion hidrogen bermuatan positif (H+). Ion hidrogen selanjutnya dapat menggantikan kation hara yang ada pada koloid tanah, kemudian bikarbonat bereaksi dengan kation yang dilepaskan oleh koloid, dan hasil reaksi ini dapat tercuci ke bawah melalui profil tanah.

Karakteristik dari lapisan tanah juga menentukan apakan kation akan  tercuci  dari horizon tanah. Kemasamanlah yang menjadi faktor utama pencucian dan pelapukan, walaupun secara umum kejadian ini dipicu oleh ketersediaan air (Johnson et al. dalam Jordan, 1985).

            Sumber hidrogen lainnya berasal dari transformasi Nitrogen. Selama masa penguraian bahan organik, nitrogen yang terikat secara organik pada bahan tersebut di konversi menjadi ammonium (NH4) yang kemudian akan diserap oleh tumbuhan atau dikonversi menjadi Nitrat (NO3) melalui proses nitrifikasi. Hidrogen yang dibebaskan dari proses ini  dapat menggantikan kation hara yang dapat dipertukarkan pada permukaan tanah, dan ion nitrat yang tersedia kemudain akan bereaksi dengan kation hara tersebut.

Hidrogen yang dibebaskan ke tanah sebagai hasil aktivitas biologi, akan bereaksi dengan liat silikat dan membebaskan aluminium. Karena aluminium merupakan unsur yang terdapat dimana-mana di daerah hutan hujan tropis, maka alminiumlah yang lebih dominan berasosiasi dengan tanah asam di daerah ini.

            Sulfat juga dapat menjadi sumber pembentuk asam di tanah. Sulfat ini dapat masuk ke ekosistem melalui hujan maupun jatuhan kering, juga melalui aktivitas organisme mikro yang melepaskan senyawa gas sulfur. Asam organik juga dapat dilepaskan dari aktivitas penguraian serasah (Jordan, 1985).

Laju pelapukan yang tinggi juga berpotensi tinggi untuk terjadi di kawasan hutan hujan tropis yang juga dipicu oleh kelembapan dan panas yang tinggi yang berlangsung sepanjang tahun. Pelapukan terjadi ketika hidrogen di dalam larutan tanah bereaksi dengan mineral di dalam tanah atau lapisan bebatuan, sehingga unsur-unsur hara dapat tersingkirkan. Hal ini misalnya dapat terlihat pada feldspar yang terdapat dalam aluminosilikat (senyawa aluminium dan silikat) yang mengandung hara-hara seperti Na, K, dan Ca. Jika feldspar terhidrolisasi , maka hara-hara tersebut akan di keluarkan dari aluminosilikat. Hara yang terlarut ini kemudian dapat diadsorpsi oleh koloida tanah, dan kemudian digunakan oleh tumbuhan, atau hilang dari ekosistem lewat pencucian (Jenny,  dalam Jordan, 1985).

            Karakteristik dari tanah seperti tekstur, hara, dan kedalaman telah banyak dibahas sebagai komponen yang penting dalam menentukan hubungan kompetisi dan laju pertumbuhan dari tumbuhan di berbagai kondisi lingkungan.  Namun menurut Pastor dan Bockheim dalam Barbour at al., (1987) merupakan hal yang sulit untuk mentranslasikan pengaruh edafik pada studi-studi  produktivitas. Hal ini disebabkan karena tidak semua spesies memiliki kebutuhan hara yang sama untuk memproduksi sejumlah biomassa dengan ukuran yang sama. Pengaruh edafik mungkin akan tertutupi jika spesies yang tumbuh pada lingkungan miskin hara memiliki efisisensi pemanfaatan hara yang tinggi. Pada lingkungan yang demikian ini, baik komposisi  spesies maupun produktivitas dapat dipengaruhi dengan modifikasi rezim hara.

 

g. Herbivora

            Herbivora adalah faktor biotik yang mempengaruhi produktivitas vegetasi.  Sekitar 10 % dari produktivitas vegetasi darat dunia dikonsumsi oleh herbivora biofag. Persentase ini bervariasi menurut tipe ekosistem darat (Barbour at al., 1987). Oleh karena produktivitas yang tinggi, maka dapat di antisipasi adanya potensi yang tinggi untuk terjadi serangan insekta. Namun, sedikit bukti yang ada, sekurang-kurangnya di hutan yang tumbuh secara alami, adanya serangan insekta pada areal berskala luas (Lugo et al., dalam Jordan, 1985). Walau pun demikian defoliasi pada individu pohon secara menyeluruh sering sekali terjadi (Jordan, 1985). Menurut penulis yang sama hal ini disebabkan oleh tingginya keanekaragaman di daerah hutan hujan tropis. Banyak pohon mengembangkan alat pelindung terhadap herbivora melalui produksi bahan kimia tertentu yang jika dikonsumsi oleh herbivora memberi efek yang kurang baik bagi herbivora.

 

h. Sistem Konservasi Hara

            Curah hujan yang sangat tinggi seperti dikemukakan di atas selain memberi dampak positif juga berdampak negatif karena mudahnya hara hilang dari ekosistem akibat pencucian. Tanpa mekanisme konservasi hara yang tepat, ekosistem hutan hujan tropis tidak dapat mempertahankan produktivitasnya yang tinggi. Rupanya mekanisme tersebut telah terdapat pada komponen-komponen yang menyusun ekosistem hutan hujan tropis.

Salah satu bentuk adaptasi konservasi hara secara alami di hutan hujan tropis yang memiliki tanah yang miskin hara adalah dengan menghasilkan biomassa akar yang relatif besar dibanding bagian tubuh tumbuhan lainnya, dan konsentrasi  dari akar tersebut sebagian besar di atas permukaan tanah. Nye dan Thinker (1977) dalam Jordan (1985) meneliti pentingnya pergerakan hara di dalam tanah, dan mereka menemukan bahwa tumbuhan yang tumbuh di tanah yang miskin hara memiliki konsentrasi akar yang sangat besar di atas permukaan tanah. Keuntungan dari adaptasi ini adalah akar dapat menyerap hara lebih banyak.

Konsentrasi akar di atas permukaan tanah juga memungkinkan akar bercampur dengan serasah, berbagai organisme yang telah mati, dan organisme pengurai. Hal ini memungkinkan akar dapat dengan cepat dan lebih banyak menyerap berbagai hasil penguraian yang dilakukan organisme pengurai di sekelilingnya. Selanjutnya kondisi ini juga akan membuat hara terserap ke dalam pohon daripada ke organisme lain atau tercuci keluar dari sistem.

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa di daerah hutan hujan tropis, hara jarang sekali tersimpan lama di tanah, namun langsung diserap oleh tumbuhan atau oleh mikroorganisme. Pergerakan hara yang demikian ini juga ditunjang oleh keberadaan berbagai organisme yang hidup maupun mati seperti bryophyta, lichens, lumut, bromelia, paku-pakuan, anggrek, dan epifit lainnya yang sangat banyak terdapat pada tajuk pohon. Organisme-organisme ini mampu menyerap haranya sendiri dari lingkungan sekitarnya, terutama dari atmosfer tanpa merusak tumbuhan inangnya.

Pada saat organisme penghuni tajuk ini mati, maka hara yang dikandungnya juga akan terurai dan langsung diserap oleh akar-akar udara yang sangat banyak terdapat di hutan hujan tropis. Kemampuan ini ditunjang oleh morfologi akar udara yang memiliki banyak sekali akar-akar halus di permukaannya, juga banyak dari akar ini dapat berasosiasi dengan jamur membentuk endomikoriza, dan memiliki kemampuan untuk memfiksasi nitrogen. 

            Kehadiran mikoriza juga sangat membantu tumbuhan memperoleh hara pada tanah yang miskin. Kimmins (1987) menjelaskan bahwa mikoriza adalah asosiasi antara jamur dan akar tumbuhan tinggi. Jamur-jamur ini menyelimuti  akar tumbuhan dengan akar yang disebut hyphae. Hyphae kemudian berhubungan dengan sel-sel akar dan hasil metabolosme pun ditransfer di antara keduanya. Akar tumbuhan secara pasif akan terus-menerus mengeluarkan senyawa-senyawa yang dibutuhkan oleh jamur seperti asam amino yang kemudian diserap oleh jamur. Jamur, sebaliknya menyuplai tumbuhan dengan berbagai hara yang diperlukan. Jamur-jamur ini memperoleh hara-hara tersebut dari penguraian maupun melalui fiksasi.

 

KESIMPULAN

 

Kesimpulan yang dapat ditarik dari tulisan ini adalah sebagai berikut:

1.         Hutan hujan tropis adalah wilayah dengan produktivitas vegetasi tertinggi di dunia.

2.         Beberapa factor yang mempengaruhi produktivitas vegerasi di wilayah hutan hujan tropis adalah: (a) Suhu; (b) Curah Hujan; (c) Interaksi Antara Suhu dan Curah Hujan.; (d) . Produktivitas Serasah; (e) . Tahap Suksesi Komunitas; (f) Edafik; (g) Herbivora, (h) Sistem konservasi hara yang sangat ketat

3.         Seluruh faktor lingkungan yang ada saling berinteraksi satu dengan lainnya dalam menunjang produktivitas yang tinggi di hutan hujan tropis.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Barbour, M. G., J.H.  Burk., and W.P. Pitts. 1987. Terrestrial Plant Ecology. The Benjamin/Cumming Publishing Company Ins, California.

Bray, J., and Gorham, E. 1964. Litter Production in Forest of The World. Adv. Ecol. Res. 2, 101-57.

Brady, N. C. 1974. The Nature and Properties of Soils. Macmillan, New York.

Ewusie, J. Y. 1990. Pengantar Ekologi Tropika. Terjemahan oleh Tanuwijaya U. Penerbit ITB, Bandung.

Kimmins, J.P. 1987. Forest Ecology. MacMillan Publishing Company, New York.

Jordan, C. F. 1995. Nutrient Cycling in Tropical Ecosystem. John Wiley and Sons, New York.

Mabberly, D. J. 1983. Tropical rain Forest Ecology. Blackie, Glasgow and London.

Patandianan, A. T. 1996. Studi Komposisi dan Struktur Vegetasi Areal HPH  PT. Bina Wana Sejahtera, Propinsi Sulawesi Utara. Tesis. PPS Univ. Gadjah Mada, Jogjakarta.

Resosoedarmo, R.S., Kartawijaya, K., Soegianto., A. 1986. Pengantar Ekolologi. Penerbit Remadja Karya CV, Bandung.

Sanches, P.A.1992. Properties and Management of Soils in The Tropic. Wiley, New York.

Walter, H. 1981. Ecology of Tropical and Sub Tropical Ecology. Van Nostrand Reinhold Co, New York..

Warsito, E. 1999. Kajian Klasifikasi Ekologis Hutan Hujan Tropis. Studi Kasus Di Lombok Barat. Disertasi. PPS Univ. Gadjah Mada, Jogjakarta.

Weaver, J.E., and F. E. Clement. 1980. Plant Ecology. Tata McGraw Hill Company Limitted, New York.

Weidelt, H. J. 1995. Silvikultur Hutan Alam Tropis (Terjemahan). Institut Fuer Waldbau, Groningen.

Whitmore, T.C. 1986. Tropical Rain Forest of the Far East. 2nd ed. Oxford Universities Press, London.

Whittaker, R.H. 1973. Communities and Ecosystem. 2nd  ed. MacMilan Publishing Co., Inc, New York.

Whittaker, R. H. and G. E. Likens. 1975. The Biosphere of Man. In Primary Productivity of The Biosphere. Edit by: Lieth and Whittaker. Springler-Verlag, New York.

Woodweell, G.M.1967. Radiation and Pattern of Nature. Science 156: 461-470.