© 2003 Marini Susanti Hamidun                                                 Posted  17 November  2003

Makalah Individu

Pengantar Falsafah Sains (PPS702)

Program Pascasarjana / S3

Institut Pertanian Bogor

Npvember  2003

 

 

Dosen:

Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng (penanggung jawab)

Prof. Dr. Ir. Zahrial Coto

 

 

PENANGKARAN KUPU-KUPU OLEH MASYARAKAT

DI KECAMATAN BANTIMURUNG KABUPATEN MAROS SULAWESI SELATAN

 

Oleh:

 

 

Marini Susanti Hamidun

P062030181

e-mail : rinidolfman@yahoo.com

 

 

 

PENDAHULUAN

Kupu-kupu merupakan salah satu jenis satwa liar bangsa serangga yang memiliki keindahan warna dan bentuk sayap. Di alam, kupu-kupu memiliki nilai penting, yaitu sebagai penyerbuk pada proses pembuahan bunga. Hal ini  secara ekologis turut memberi andil dalam mempertahankan keseimbangan ekosistem dan memperkaya keanekaragaman hayati. Secara ekonomi, kupu-kupu  mempunyai nilai jual yang tinggi dan merupakan obyek rekreasi. Potensi ekonomi inilah yang menyebabkan kupu-kupu banyak diburu oleh wisatawan mancanegara, baik untuk dinikmati keindahannya di alam bebas maupun untuk dikoleksi sebagai kenang-kenangan, atau untuk kepentingan ilmu pengetahuan. (Tikupadang dan Gunawan, 1977).

Di wilayah Kecamatan Bantimurung Kabupaten Maros terdapat empat lokasi kawasan konservasi yang mempunyai ratusan jenis kupu-kupu, yaitu Taman Wisata Alam Gua Pattunuang, Taman Wisata Alam Bantimurung, Cagar Alam Bantimurung, dan Cagar Alam Karaenta. Beberapa diantara jenis kupu-kupu ini merupakan kupu-kupu endemik khas Sulawesi selatan. Karena keberadaan ratusan jenis kupu-kupu ini, maka empat lokasi kawasan konservasi tersebut dikenal secara internasional sebagai The Kingdom of Butterfly.

 Keberadaan kupu-kupu di Bantimurung mengalami penurunan jumlah populasi dan jenis. Pada tahun 1857 Wallace mencatat sebanyak ± 270 jenis kupu-kupu pada kawasan taman wisata ini (Anonim, 1998), namun Mattimu dkk. (1977) melaporkan hanya ± 108 jenis yang masih tersisa. Menghilangnya beberapa jenis disebabkan oleh penangkapan dan perdagangan liar oleh masyarakat setempat, selain faktor perusakan habitat. Diantara jenis-jenis yang masih tersisa tersebut terdapat 5 jenis yang telah dilindungi  serta 15 jenis yang tercatat dalam daftar perdagangan kupu-kupu (Anonim, 1998).

Salah satu upaya yang dilakukan Departemen Kehutanan dan Perkebunan Unit Konservasi Sumber Daya Alam untuk melindungi keberadaan kupu-kupu dari ancaman kepunahan dan menjaga kelestariannya,  antara lain adalah kegiatan penangkaran oleh masyarakat setempat. Kegiatan ini dilakukan melalui bantuan teknis pengadaan sarana penangkaran/budidaya kupu-kupu bagi masyarakat di Kecamatan Bantimurung dan pembuatan percontohan penangkaran (pylot project). Kegiatan penangkaran oleh masyarakat diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat setempat tentang pentingnya menjaga keberadaan kupu-kupu di alam dari penangkapan dan perdagangan liar, selain untuk memberikan insentif ekonomi pada masyarakat.

 

BIOLOGI DAN POTENSI KUPU-KUPU

Siklus hidup kupu-kupu dijalani dalam empat fase, yaitu fase telur, fase larva, pupa, dan imago (dewasa). Penampilan, peranan, dan aktivitas dari masing-masing fase berbeda. Telur dapat ditemukan di bawah permukaan daun inangnnya. Larva atau ulat merupakan fase makan, yang bisanya memakan daun tanaman inangnya. Dalam masa hidupnya larva mengalami beberapa kali tahapan moulthing yaitu pengelupasan dan pergantian kulit yang disebut fase instar. Proses untuk menjadi pupa didahului oleh adanya moulthing pada instar terakhir. Kulit pupa yang baru berganti ini masih basah dan lunak. Setelah kurang lebih satu minggu kulit pupa akan mengeras. Setelah fase pupa, lahirlah imago. Sehari setelah menetas, imago sudah dapat melakukan kopulasi. Seekor betina  hanya dapat dikawini oleh seekor imago jantan. Imago betina yang akan bertelur mencari daun untuk meletakkan telurnya (Karangan, 1996).

Umumnya kupu-kupu dapat ditemukan hampir pada setiap habitat. Komponen habitat yang penting bagi kehidupan kupu-kupu adalah tersedianya vegetasi sebagai sumber makanan, sebagai tempat berlindung dari serangan predator atau gangguan lainnya, dan tempat untuk berkembang biak.

Keberadaan kupu-kupu di Bantimurung tidak terlepas dari daya dukung habitatnya. Bentang alam Bantimurung dibentuk oleh perbukitan karst dengan penutupan vegetasi perdu dan pohon yang berakar kuat, serta adanya sungai-sungai yang mengalir (Sila, 1993).

Di alam, kupu-kupu banyak dijumpai di daerah tropika, hidup  di dalam berbagai tipe habitat, mulai dari dataran rendah sampai ke dataran tinggi. Indonesia merupakan daerah tropic yang terdapat pada daerah geologi dan biogeografi yang amat kompleks di dunia. Pola sebaran jenis kupu-kupu yang berasal dari daratan Asia dan benua Australia menyebabkan keanekaragaman jenis kupu-kupu di Indonesia sangat tinggi.

Arti kupu-kupu bagi manusia tidak hanya sebagai obyek yang memiliki keindahan, namun dalam banyak hal kupu-kupu memiliki arti penting lain. Penyebaran geografi yang mantap dan keanekaragaman kupu-kupu dapat memberikan informasi yang baik dalam studi lingkungan, sebagai indicator lingkungan, serta perubahan yang mungkin terjadi. Kupu-kupu juga memberi andil yang sangat berarti dalam mempertahankan keseimbangan alam, dengan bertindak sebagai penyerbuk pada proses pembuahan bunga bersama hewan penyerbuk lainnya.

Perburuan kupu-kupu di Indonesia untuk kepentingan perdagangan telah menimbulkan permasalahan yang serius. Kecamatan Bantimurung dan hutan-hutan sekitarnya, yang merupakan tempat wisata yang berdekatan dengan kota Makassar, adalah salah satu contoh dimana kupu-kupu yang indah banyak diburu dan diperdagangkan. Berbagai jenis kupu-kupu indah, diantaranya Chetocia myrina, Troides halipron, T. hypolitus, Papilio blumei, P. sataspes, Hebomia glaucipe, dan lainnya yang ada di sekitar taman wisata mengalami tekanan buru yang sangat besar.

Perdagangan kupu-kupu telah menjadi bisnis yang penting. Kupu-kupu yang indah dan unik menjadi incara para ahli enotmologi, museum, kolektor, dan orang-orang yang hobi kupu-kupu. Oleh karena itu sejumlah besar kupu-kupu dari berbagai jenis yang tersebar di Indonesia telah menjadi komoditi internasional. Adanya eksploitasi dan perdagangan kupu-kupu dari alam dapat mendatangkan intensif ekonomi bagi masyarakat yang menangkapnya. Dalam waktu singkat jumlah jenis kupu-kupu yang diperdagangkan makin meningkat. Selain kupu-kupu dewasa, kupu-kupu pradewasa, misalnya pupa, juga diminat. Apabila keadaan ini terus berlanjut tanpa terkendali, maka jumlah jenis kupu-kupu yang terancam punah akan terus bertambah. Pada perdagangan internasional, berbagai jenis kupu-kupu Indonesia sangat diminati dengan harga cukup tinggi. Jenis-jenis tersebut antara lain Ortithoptera rothscildi dan O. allotei Rothsclid (Amir dkk., 1995).

 

KONSERVASI KUPU-KUPU

Primack dkk. (1998), mengemukakan ada tiga kriteria yang dapat digunakan untuk menentukan prioritas konservasi bagi perlindungan spesies, yaitu :

1.      Kekhasan. Suatu komunitas hayati diberi prioritas yang lebih tinggi bagi konservasi bila ia lebih banyak tersusun atas spesies endemik, daripada spesies yang umum tersebar luas. Suatu spesies dapat diberi nilai konservasi yang lebih tinggi bila secara taksonomis bersifat unik.

2.      Keterancaman. Spesies yang manghadapi ancaman kepunahan akan lebih penting dibandingkan spesies yang tidak terancam kepunahan.

3.      Kegunaan. Spesies yang memiliki kegunaan nyata atau potensial bagi manusia perlu diberikan nilai konservasi yang lebih dibandingkan spesies yang tidak memiliki kegunaan yang jelas bagi manusia.

 

Kepunahan suatu jenis satwa sebagai sumber daya alam hayati merupakan kesalahan yang sangat serius dalam memperlakukan alam, karena jenis yang punah tidak pernah akan datang kembali. Kepunahan mengakibatkan hilangnya fungsi komponen tertentu dalam jaring-jaring kehidupan, yang dapat mengganggu kestabilan ekosistem. Keadaan ini dapat terjadi jika banyak jenis kupu-kupu yang punah. Habitat yang rusak, baik karena aktivitas manusia atau karena bencana alam, menjadi faktor utama yang dapat mengakibatkan punahnya berbagai jenis kupu-kupu di alam, selain karena penangkapan dan perdagangan besar-besaran dari alam (Amir dkk., 1995).

Tikupadang dan Gunawan (1997), mengemukakan bahwa upaya untuk melindungi kupu-kupu yang terancam punah, antara lain dengan menetapkan habitatnya sebagai kawasan konservasi. Langkah awal untuk melindungi vegetasi habitat kupu-kupu di Bantimurung, sejak tahun 1919 pemerintah Hindia Belanda menetapkan Bantimurung sebagai cagar alam, yaitu kawasan suaka alam yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa, dan ekosistemnya perlu dilindungi agar  perkembangannya berlangsung secara alami. Selain itu, upaya untuk melindungi kupu-kupu yang terancam punah adalah dengan menetapkannya sebagai satwa yang dilindungi pada perdagangan internasional. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 576/kpts/1980 dan No. 716/kpts/1980, terdapat 20 jenis kupu-kupu yang dilindungi

 

Upaya konservasi kupu-kupu dilaksanakan melalui dua pendekatan, yaitu :

1.      Konservasi di dalam kawasan (konservasi in-situ) dengan penekanan  konservasi “ekosistem” atau habitat alami kupu-kupu. Rusaknya habitat merupakan hal yang amat merugikan dalam konservasi kupu-kupu. Makin meningkatnya aktivitas manusia dalam memanfaatkan sumber daya alam, mengakibatkan berubahnya komposisi organisme di dalam ekosistem, yang pada gilirannya menjadi ancaman bagi kehidupan jenis kupu-kupu. Umumnya kupu-kupu akan meninggalkan habitatnya yang telah berubah, bahkan dapat mati karena tidak dapat menemukan makanannya yang cocok. Pemeliharaan habitat kupu-kupu dengan cara memperbanyak jenis-jenis tumbuhan makanan ulat dan yang menghasilkan madu merupakan langkah bijaksana untuk melindungi kupu-kupu dari kepunahan (Amir dkk., 1995).

2.      Konservasi di luar kawasan (konservasi ex-situ) dengan tekanan utama pada konservasi jenis. Pendekatan ini dapat dilakukan dengan cara : 1) peternakan kupu-kupu, yaitu pengelolaan yang memerlukan pengawetan tanah dan tumbuhan di atasnya untuk menjaga kelestarian kupu-kupu dan ekosisitemnya secara keseluruhan, serta dapat memberikan insentif ekonomi; 2) taman kupu-kupu, bertujuan untuk memanfaatkan daya tarik jenis kupu-kupu hasil penangkaran sebagai  obyek wisata yang memiliki nilai estetika dengan keindahan dan keanekaragaman jenisnya, untuk tujuan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, dan sebagai obyek pengenalan jenis kupu-kupu di alam; dan 3) penangkaran, yang bertujuan untuk menjaga dan menyelamatkan kupu-kupu dari kepunahan, serta meningkatkan populasi dan kualitas kupu-kupu untuk menunjang kesejahteraan masyarakat.

Kedua pola pendekatan tersebut harus berjalan secara simultan dan saling mendukung, sehingga pemanfatan secara lestari kupu-kupu dan ekosistemnya lebih terjamin (Anonim, 1998 ; Primack dkk., 1998).

Upaya penangkaran kupu-kupu adalah kegiatan yang berhubungan dengan pengembangbiakan kupu-kupu, yang meliputi kegiatan penangkaran, pengelolaan, sampai dengan pemasaran hasil penangkarannya (Anonim, 1997).

Konsep penangkaran, yang juga merupakan konsep kegiatan konservasi, dapat dijabarkan melalui kegiatan : 1) restorasi, yang bertujuan untuk mengembalikan jenis-jenis kupu-kupu yang telah hilang dari habitatnya; 2) preservasi, bertujuan untuk melestarikan kupu-kupu dengan pemeliharaan dan perlindungan kupu-kupu dan ekosistemnya; dan 3) pemungutan hasil, yang bertujuan untuk pemanfaatan/pemanenan kupu-kupu dari hasil penangkaran untuk perdagangan dan penambahan populasi di alam.

Menurut Sila (1993); Tikupadang dan Gunawan (1997), faktor-faktor penting yang harus diperhatikan pada kegiatan penangkaran kupu-kupu  adalah sebagai berikut :

1.      Penyediaan sarana penangkaran kupu-kupu, berupa kandang/penangkaran dengan luas yang optimal, sumber air untuk menunjang kehidupan kupu-kupu, dan perlindungan dari sinar matahari.

2.      Penyediaan tumbuhan pakan larva/ulat, tumbuhan pelindung, dan tumbuhan sumber nektar bagi imago (kupu-kupu dewasa).

3.      Teknik penangkaran, meliputi teknik penanganan pakan, pemeliharaan telur, pemeliharaan larva, pemeliharaan pre-pupa dan pupa, serta pemeliharan imago (kupu-kupu dewasa).

4.      Teknik pengawetan kupu-kupu yang akan dibuat koleksi, meliputi teknik membunuh, teknik pelemasan, teknik penataan.

 

Biogeografi Kecamatan Bantimurung

Kecamatan Bantimurung terletak di Kabupaten Maros Propinsi Sulawesi Selatan, dan berjarak ± 40 km ke arah timur dari Kota Makassar. Kecamatan Bantimurung mempunyai luas ± 279 Km2 dan terdiri atas 14 desa/kelurahan.

Kecamatan Bantimurung mempunyai  4 kawasan konservasi / cagar alam, yaitu : Cagar Alam Karaenta, Cagar Alam Bantimurung, Taman Wisata Alam Gua Pattunuang, dan Taman Wisata Alam Bantimurung. Selain kawasan-kawasan tersebut, juga terdapat pemukiman penduduk, areal persawahan penduduk, dan perkebunan.

Keadaan fisik Kecamatan Bantimurung umunya bertopografi datar, bergelombang, sampai berbukit. Kemiringannya berkisar antara < 5% sampai > 50% dengan ketinggian berkisar antara 150m – 575m dari permukaan laut.

Berdasarkan data curah hujan, hari hujan, suhu udara, kelembaban udara, dan rata-rata penyinaran matahari, diketahui bahwa pada bulan Agustus, bulan September, dan bulan Oktober merupakan bulan-bulan kering. Sedangkan bulan-bulan basah berada pada bulan November sampai Juni (lampiran 4). Menurut sistem klasifikasi Schmid dan Ferguson daerah ini mempunyai tipe iklim C (musiman).

Pada kawasan taman wisata dan cagar alam, vegetasi tersusun dari beberapa jenis antara lain : Lantana camara L., Ficus sp, Arenga pinnata,  Aleurites moluccana, Artocarpus elasticus, Barringtonia sp., Cananga odorata, Cordia sp., Dyiospiros celebica, Dyiospiros sp., Dracontomelon mangiferum, Pangium edule, Parkia sp., Pterospermum celebicum, Leguminose sp., Ptreocarpus indicus. Untuk jenis-jenis tumbuhan bawah banyak ditemukan jenis tumbuhan paku (Cycadaceae), riang-riang , Liniaceae, dan sirih-sirihan. Pada daerah hutan sekunder yang berdekatan dengan lahan pertanian umumnya banyak ditemukan jenis-jenis herba antara lain : Euphatorium odoratum L. dan Lantana camara L., sedangkan pada lapisan sub kanopi banyak ditemui Arenga pinnata dalam bentuk mengelompok. Pada daerah di luar kawasan cagar alam dan taman wisata, banyak ditemui  sawah  penduduk dan tanaman perkebunan.

Jenis satwa yang paling banyak ditemui di kawasan cagar alam dan taman wisata adalah kupu-kupu dan kera hitam endemik Sulawesi (Macaca maura). Jenis lain yang dijumpai adalah babi hutan (Sus sp), Pteropus sp., burung rangkong (Buceros rhinocerus), biawak, ular, kadal dan lain-lain. Pada pemukiman penduduk, banyak dijumpai hewan peliharaan/ternak.

 

 

PENANGKARAN KUPU-KUPU OLEH MASYARAKAT

Melalui pendekatan Analisis SWOT (Strength, Weakness,  Opportunities, and Threats), kegiatan penangkaran kupu-kupu oleh masyarakat di Kecamatan Bantimurung, dapat dianalisis pelaksanaannya.

 

·              Kekuatan (Strength)

wilayah Kecamatan Bantimurung memiliki empat lokasi kawasan konservasi yang mempunyai ratusan jenis kupu-kupu, yaitu Taman Wisata Alam Gua Pattunuang, Taman Wisata Alam Bantimurung, Cagar Alam Bantimurung, dan Cagar Alam Karaenta. Beberapa diantara jenis kupu-kupu ini merupakan kupu-kupu endemik khas Sulawesi selatan. Karena keberadaan ratusan jenis kupu-kupu ini, maka empat lokasi kawasan konservasi tersebut dikenal secara internasional sebagai The Kingdom of Butterfly. Daerah ini juga merupakan salah satu daerah tujuan wisata yang terkenal di Sulawesi selatan, yang letaknya berjarak ± 45 km dari Makassar, ibukota Sulawesi Selatan. Fasilitas lain yang dimiliki kawasan ini adalah adanya taman kupu-kupu sebagai demplot pengembangan kupu-kupu.

 

·              Kelemahan (Weakness)

Kegiatan penangkaran kupu-kupu yang telah dilakukan oleh masyarakat belum memberikan hasil yang diharapkan. Fasilitas yang diberikan kepada masyarakat belum memadai untuk menunjang kegiatan tersebut. Penangkaran oleh masyarakat, selain yang merupakan pylot project, masih sangat sedikit masyarakat yang melakukan penangkaran secara mandiri. Belum memadainya teknik yang digunakan oleh para penangkar (seperti teknik penanganan dan ketersediaan pakan), belum mantapnya pola perencanaan dan pembinaan sumberdaya manusia (penangkar), kurangnya pemahaman para penangkar tentang tujuan konservasi, dan tidak adanya pemantauan dan evaluasi yang dilakukan instansi terkait juga merupakan kelemahan yang mengakibatkan kurang berhasilnya kegiatan penangkaran tersebut.

 

·              Peluang (Opportunities)

Kupu-kupu Sulawesi Selatan telah terkenal dan memiliki nilai jual yang tinggi pada perdagangan internasional. Pasar ekspor tersedia bagi jenis-jenis kupu-kupu yang tidak dilindungi, contohnya jenis Papilio sp. Tingginya keinginan masyarakat terutama wisatawan mancanegara memiliki koloeksi kupu-kupu indah khas Sulawesi Selatan merupakan peluang yang bisa menjadikan kawasan ini sebagai sentra penangkaran kupu-kupu. Peranan pemerintah, dukungan LSM (dalam negri dan luar negri), lembaga penelitian, dan perguruan tinggi juga merupakan peluang bagi kawasan ini menjadi pusat penangkaran kupu-kupu. Adanya minat masyarakat setempat sebagai elemen inti dari kegiatan ini menjadi potensi utama dalam pelaksanaan dan pengembangannya.

 

·              Ancaman (Threats)

Para penangkar tidak konsisten melakukan restocking (pengembalian kupu-kupu hasil penangkaran ke habitat alaminya) sehingga tetap mengancam keberadaan kupu-kupu ini di alam. Adanya masyarakat bukan penangkar yang melakukan penangkapan dan perdagangan liar juga merupakan ancaman bagi kelangsungan dan keberhasilan kegiatan penangkaran ini, selain juga mengancam keberadaan kupu-kupu di alam. Dari segi operasional penangkaran, adanya serangan predator sebagai musuh alami serta kondisi lingkungan karena pengaruh musim yang sedang berlangsung (seperti guyuran hujan deras pada musim hujan, sinar matahari yang panas pada musim kemarau, dan hembusan angin), turut menjadi ancaman yang butuh penanganan lebih baik lagi.

 

Strategi Pengembangan Penangkaran Kupu-kupu oleh Masyarakat

Membangun dan mengembangkan suatu penangkaran kupu-kupu oleh masyarakat yang ideal di Kecamatan Bantimurung diperlukan program strategis yang didasarkan pada hasil analisis SWOT.  Program tersebut antara lain adalah sebagai berikut :

1.                  Secara kontinyu melakukan iupaya peningkatan kemampuan penangkar dan calon penangkar dalam menerapkan teknologi penangkaran melalui pelatihan, penyuluhan, dan demonstrasi.

2.                  Menyempurnakan sarana dan prasarana penangkaran.

3.                  Adanya suatu kelembagaan yang bertanggung jawab dan berperan aktif pada pemasaran kupu-kupu hasil penangkaran, serta memberi nilai ekonomi yang tinggi bagi kupu-kupu hasil penangkaran.

4.                  Meningkatkan promosi Bantimurung sebagai daerah tujuan wisata yang terkenal akan kupu-kupu indahnya.

5.                  Menjalin kerjasama dengan instansi terkait/perguruan tinggi melakukan penelitian yang mendukung keberhasilan kegiatan penangkaran.

6.                  Menerapkan dengan sungguh-sungguh tujuan konservasi untuk melestarikan kupu-kupu dengan menjaga habitat alami dan keberadaannya di alam, serta melakukan restocking.

7.                  Mensosialisasikan dan memasyarakatkan kegiatan penangkaran untuk membangkitkan minat masyarakat dalam menekuni kegiatan ini.

 

Secara skematis kerangka pemikiran kegiatan penangkaran kupu-kupu oleh masyarakat dapat digambarkan sebagai berikut :

 

 

Penutup

Pelaksanaan penangkaran kupu-kupu oleh masyarakat di Kecamatan Bantimurung masih sangat kurang dibandingkan dengan potensi kupu-kupu yang ada di wilayah tersebut. Selain bantuan pemerintah berupa pilot project tersebut, masih sangat sedikit masyarakat yang melakukan penangkaran secara mandiri. Walaupun telah memberikan insentif ekonomi bagi penangkar, tetapi tujuan dilaksanakannya kegiatan penangkaran ini belum tercapai secara optimal. Dengan demikian strategi pengembangan lebih lanjut dari kegiatan ini lebih ditekankan pada kualitas sumberdaya manusia, khususnya para penangkar dan masyarakat setempat yang berminat pada kegiatan ini, serta melakukan penyempurnaan sarana dan prasarana penangkaran. Selain itu tidak kalah penting adalah peran serta instansi terkait dalam mendukung kegiatan ini.

 

Daftar Pustaka

Amir, M.; P. Taramingken; W.A. Noerdjito; dan P. Nandika. 1995. Kupu-kupu Indonesia  permasalahan dan pelaksanaan pelestariannya. Duta rimba, Edisi September-Oktober, 51-55.

 

Collin, N.M. and M.G. Moris. 1985. Threatened swallowtail butterfly of the world. The IUCN Red Data Book. Gland and Cambridge, 401 pp + 8 plates.

 

Departemen Kehutanan. 1998. Usulan kegiatan penangkaran dan pengembangan taman kupu-kupu di Bantimurung, Kabupaten Maros, serta pengembangan wisata bahari di Taman Nasional Taka Bonerate. Kerjasama BIMP-EAGA di Sulawesi Selatan, Ujung Pandang.

 

____________________. 1994. Pedoman penangkaran kupu-kupu. Proyek Perencanaan dan Pengendalian Peningkatan Peranan Wanita Bidang Konservasi Sumber Daya Alam.

 

Feltwell J.  1993. The encyclopedia of butterfly. Prectice Hall General Reference, New York.

 

Hamidun, M.S. 2001. Studi kegiatan penangkaran kupu-kupu oleh masyarakat di Kecamatan Bantimurung Kabupaten Maros Sulawesi Selatan. Tesis Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin. Makassar.

 

Mattimu A.A., H. Sugondo, dan H. Pabittei. 1977. Identifikasi dan inventarisasi jenis kupu-kupu di daerah Bantimurung Sulawesi Selatan. Proyek Penelitian Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang.

 

Karangan E. 1996. Studi kelangsungan hidup kupu-kupu Troides Hypolitus cellularis Rothschild di Gua Pattunuang Kabupaten Maros Propinsi Sulawesi Selatan. Skripsi Fakultas Pertanian dan Kehutanan, Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang.

 

Primack, R.B., J. Supriatna, M. Indrawan, P. Kramadibrata. 1998. Biologi konservasi. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

 

Rangkuti, F., Analisis SWOT teknik membedah kasus bisnis. 2000. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

 

Sila, M. 1993 Panduan konservasi dan pengembangan kupu-kupu, pelatihan konservasi dan pengembangan keanekaragaman kupu-kupu dan konsep pelestariannya, di Taman Wisata Gua Pattunuang Assue, Ujung Pandang.

 

Tangim, Nurhakim. 1986. Beberapa aspek ekologi kupu-kupu famili Papilionidae dan potensinya di Taman Wisata Bantimurung Kabupaten Maros Sulawesi Selatan, Skripsi Fakultas kehutanan IPB, Bogor.

 

Tikupadang, H. dan H. Gunawan. 1997. Teknik penangkaran kupu-kupu sayap burung (Troides hypolitus cellularis Rothschild) di Bantimurung . Prosiding Ekspose Hasil-Hasil LITBANG KSDA, Balai Penelitian kehutanan, Ujung Pandang.

 

Wirawan, N. dan A. Achmad. 1995. Studi ekologi kupu-kupu : habitat, populasi, perilaku, dan siklus hidup beberapa jenis kupu-kupu di Hutan Wisata Bantimurung Sulawesi Selatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Sulawesi Selatan, Ujung Pandang.