© 2003 Muhdin Posted:
4 November 2003
Pengantar Falsafah Sains
(PPS702)
Program Pascasarjana/S3
Institut Pertanian Bogor
November 2003
Dosen :
Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng (Penanggung Jawab)
Prof.
Dr. Ir. Zahrial Coto
DIMENSI
POHON DAN PERKEMBANGAN METODE PENDUGAAN VOLUME POHON
Oleh :
M u h d i n
E061030031/IPK
Email : mhdn@telkom.net
Determining the stem volume of a tree, both a standing or felled tree, has long been a chronic problem for foresters, whereas, an accurate estimate of wood volume is important in the management of forest. In this article, some tree dimensions i.e. stem diameter, tree height and stem form factor, which decisive to stem volume, will be described. The development of tree volume estimation, from the conventional method to the modern method (centroid volume formula, which combine the Newton formula and centroid sampling), will be described as well.
Key words : tree volume, dbh, tree height, form factor, taper function, importance sampling, centroid sampling.
Pendahuluan
Kayu sampai saat ini masih merupakan produk penting
dalam kegiatan pengusahaan hutan, karena itu dalam pendugaan volume pohon,
pengukuran dimensi pohon harus dilakukan dengan cermat agar dapat diperoleh
taksiran volume pohon yang akurat yaitu taksiran volume yang mendekati nilai
volume yang sebenarnya. Kualitas dugaan
volume pohon ini tergantung dari beberapa faktor, diantaranya : tingkat akurasi
yang diinginkan, karakteristik pohon, metode pengukuran, alat yang digunakan
dan kondisi saat pengukuran dimensi pohon, persamaan volume yang digunakan, dan
lain-lain.
Untuk mendapatkan gambaran tentang karakteristik pohon
sebagai penentu volume pohon, dalam tulisan ini akan diuraikan beberapa macam
dimensi pohon yang meliputi diameter batang, tinggi pohon, dan faktor bentuk
batang. Di bagian akhir tulisan akan
diuraikan sekilas perkembangan cara pendugaan volume batang pohon.
Diameter Batang
Diameter adalah sebuah dimensi
dasar dari sebuah lingkaran. Diameter
batang didefinisikan sebagai panjang garis antara dua buah titik pada lingkaran
di sekeliling batang yang melalui titik pusat (sumbu) batang.
Diameter batang adalah dimensi
pohon yang paling mudah diperoleh/diukur terutama pada pohon bagian bawah. Tetapi oleh karena bentuk batang yang pada
umumnya semakin mengecil ke ujung atas (taper), maka dari sebuah pohon akan
dapat diperoleh tak hingga banyaknya nilai diameter batang sesuai banyaknya
titik dari pangkal batang hingga ke ujung batang. Oleh karena itulah perlu ditetapkan letak pengukuran diameter
batang yang akan menjadi ciri karakteristik sebuah pohon. Atas dasar itu ditetapkanlah diameter
setinggi dada atau dbh (diameter
at breast height) sebagai standar pengukuran diameter batang. Sekurangnya ada tiga alasan mengapa diameter
diukur pada ketinggian setinggi dada, : (1) alasan kepraktisan dan kenyamanan
saat mengukur, yaitu pengukuran mudah dilakukan tanpa harus membungkuk atau
berjingkat ; (2) pada kebanyakan jenis pohon ketinggian setinggi dada bebas
dari pengaruh banir ; (3) dbh pada umumnya memiliki hubungan yang cukup erat
dengan peubah-peubah (dimensi) pohon lainnya.
Selain mudah diperoleh/diukur,
dbh juga merupakan dimensi pohon yang akurasi datanya paling mudah
dikontrol. Oleh karena itulah dbh lebih
sering digunakan sebagai peubah penduga dimensi-dimensi pohon lainnya.
Dalam praktek pengukuran dbh,
ketinggian setinggi dada ternyata terdapat perbedaan di antara beberapa negara
:
1. Negara dengan pengukuran sistem metrik, dbh
= 1,30 m di atas permukaan tanah (dat).
2. USA dan Kanada, dbh = 4 ft 6 in = 1,37 m
dat.
3. Inggeris
dan beberapa negara persemakmuran (pengukuran sistem British), dbh = 4 ft 3 in
= 1,29 m dat.
4. Jepang, dbh
= 4 ft 1,2 in = 1,25 m dat.
Selain untuk keperluan pendugaan dimensi pohon lainnya, diameter setinggi dada (dbh) biasanya diukur sebagai dasar untuk keperluan perhitungan lebih lanjut, misalnya untuk menentukan luas bidang dasar, dan volume. Luas bidang dasar pohon (B = lbds) adalah luas penampang lintang batang, sehingga dapat dinyatakan sebagai : B = ¼pD² ; di mana D = dbh. Selanjutnya perkalian antara luas bidang dasar pohon dengan tinggi pohonnya (H) kemudian dikalikan lagi dengan nilai faktor bentuk (f), maka akan diperoleh volume (V) batang pohon tersebut, yang dapat diformulasikan sebagai : V = B.H.f.
Dari hasil penelitian dengan menggunakan empat jenis
pohon (red maple, yellow poplar, red oak dan white oak) di
West Virginia, USA, Wiant (1988) menunjukkan bahwa untuk keempat jenis pohon
tersebut, ternyata dbh bukanlah merupakan ukuran diameter terbaik di dalam
menduga dimensi volume. Hal itu
ditunjukkan oleh besarnya koefisien determinasi tertinggi hubungan antara
diameter dengan volume diperoleh pada saat diameter pada bagian batang yang
lebih tinggi dibanding dbh. Hasil
penelitian tersebut, tampaknya mengilhami pengembangan metode
perhitungan/pendugaan volume pohon baik pohon berdiri maupun yang sudah
ditebang (rebah), dari yang semula selalu tetap menggunakan dbh sebagai salah
satu dimensi dasarnya menjadi diameter bagian lain yang letaknya pada batang
bervariasi sesuai karakteristik dari masing-masing batang atau pohon
tersebut. Hal ini akan di bahas lebih
lanjut pada bagian tentang volume.
Tinggi Pohon
Setelah diameter, tinggi pohon merupakan dimensi dasar
penting lainnya. Tinggi pohon
didefinisikan sebagai jarak atau panjang garis terpendek antara suatu titik
pada pohon dengan proyeksinya pada bidang datar. Istilah tinggi pohon hanya berlaku untuk pohon yang masih
berdiri, sedangkan untuk pohon rebah digunakan istilah panjang pohon.
Seperti sudah dijelaskan di muka, tinggi pohon adalah
salah satu dimensi yang harus diketahui untuk menghitung nilai volume
pohon. Selain itu, peninggi yang didefinisikan sebagai rata-rata 100 pohon tertinggi
yang tersebar merata dalam areal 1 hektar, dikaitkan dengan umur tegakan jenis
pohon tertentu adalah merupakan komponen informasi yang diperlukan untuk
menentukan indeks tempat tumbuh atau kualitas tempat tumbuh (bonita) yang mencerminkan
produktivitas lahan dalam memberikan hasil (potensi tegakan).
Pengukuran tinggi pohon pada umumnya menggunakan salah
satu dari dua prinsip berikut :
1. Prinsip geometri
atau prinsip segitiga sebangun.
C Gambar
1. Prinsip Geometri dalam
O B E Pengukuran Tinggi
A
D
Dari Gambar 1 di atas, apabila panjang alat (AC), AB
dan DE diketahui, maka diperoleh tinggi pohon yaitu DF = (AC/AB).DE
2.
Prinsip trigonometri
atau prinsip pengukuran sudut.
O ) β E
) α
D
Dari Gambar 2 di
atas, apabila jarak datar (OE), besar sudut kemiringan ke pangkal pohon (α) dan besar
sudut kemiringan ke puncak pohon (β) diketahui, maka
diperoleh tinggi pohon yaitu DF = DE +
EF = OE (tg α + tg β)
Berdasarkan titik bagian atas
yang diukur, tinggi pohon dibedakan atas : (1) Tinggi total, yaitu tinggi pohon
sampai ke puncak tajuk ; (2) Tinggi bebas cabang, yaitu tinggi pohon sampai
cabang pertama yang masih hidup. Cabang
yang dimaksud biasanya adalah cabang yang turut berperan dalam membentuk tajuk
utama ; (3) Tinggi kayu tebal, yaitu tinggi pohon sampai batas diameter
tertentu, biasanya sampai batas diameter 7 atau 10 cm.
Apabila terdapat hubungan yang
erat antara dbh dengan tinggi pohon, maka secara fungsional tinggi pohon dapat
diduga oleh dbh. Cara ini dirasa lebih
mudah dan praktis dibanding harus mengukur langsung tinggi pohon.
Bentuk Batang
Selain diameter dan tinggi pohon, bentuk batang adalah
salah satu komponen penentu volume pohon.
Bentuk batang diantaranya dapat digambarkan oleh angka bentuk (form factor) dan taper.
Angka Bentuk
Batang (f) didefinisikan sebagai
perbandingan atau rasio antara volume batang yang sebenarnya dengan volume
silinder yang memiliki tinggi atau panjang sama. Berdasarkan diameter yang digunakan untuk menghitung volume
silindernya, angka bentuk dibedakan atas : (1) angka bentuk mutlak ; (2) angka
bentuk buatan ; (3) angka bentuk normal.
Angka bentuk mutlak (absolute form factor) adalah angka bentuk di
mana volume silindernya menggunakan lbds berdasarkan diameter pada pangkal
batang. Angka bentuk buatan (artificial
form factor) adalah angka bentuk di mana volume silindernya menggunakan
lbds berdasarkan dbh. Sedangkan angka
bentuk normal (true form factor/hohenadl form factor) adalah
angka bentuk di mana volume silindernya menggunakan lbds berdasarkan diameter
pada ketinggian 1/10 tinggi pohon. Oleh
karena dbh biasa digunakan sebagai ciri diameter pohon, maka angka bentuk yang
sering digunakanpun adalah angka bentuk buatan.
Taper adalah suatu istilah yang menggambarkan bentuk batang
yang meruncing. Dengan kata lain, taper
menggambarkan pengurangan atau semakin mengecilnya diameter batang dari pangkal
hingga ke ujung. Chapman dan Meyer
(1949) menyatakan bahwa taper merupakan resultante dimensi pohon yang
disebabkan oleh pengaruh pertumbuhan tinggi dan diameter pohon. Pertumbuhan tinggi pohon lebih dipengaruhi
oleh kualitas tempat tumbuh, sedangkan diameter pohon lebih dipengaruhi oleh
kerapatan pohon. Philip (1993)
menyatakan taper sebagai laju perubahan diameter pada panjang atau tinggi
tertentu, yang secara matematis dapat dinyatakan sebagai : t = (dp – du)/l ; di mana : t = taper ; dp, du = diameter pangkal, ujung ; l =
panjang batang. Bentuk batang yang
semakin mengecil ke ujung dapat juga dinyatakan dalam sebuah persamaan
fungsional hubungan antara diameter
sepanjang batang (di) pada berbagai ketinggian tempat
diameter tersebut diukur (hi), sehingga di = f(hi). Persamaan seperti itu disebut sebagai fungsi taper. Untuk mengurangi keragaman absolut yang besar akibat adanya
perbedaan ukuran batang dalam hal ini diameter dan tinggi/panjang batang,
sebaiknya digunakan peubah-peubah relatif, sehingga fungsi tapernya menjadi : di/D
= f(hi/H) atau di/D = f(1– hi/H) ; di mana : D
= dbh atau diameter pangkal ; H =
tinggi bebas cabang atau tinggi total.
Penggunaan lebih lanjut dari fungsi taper ini adalah untuk menduga
volume batang dengan cara integrasi lbds pada panjang atau selang ketinggian
tertentu. Kelebihan cara pendugaan
volume pohon melalui fungsi taper ini adalah bahwa volume pohon dapat
ditentukan pada berbagai ketinggian atau panjang yang dikehendaki. Sedangkan kelemahannya adalah dugaan volume
pohon akan bias kalau fungsi taper yang digunakan tidak berhasil menggambarkan
pola bentuk batang yang sebenarnya.
Volume
Volume pohon adalah ukuran tiga dimensi, yang
tergantung dari lbds (atau diameter pangkal), tinggi atau panjang batang, dan
faktor bentuk batang. Cara penentuan
volume batang dibedakan antara cara langsung dan cara tidak langsung.
Penentuan volume cara langsung
hanya bisa dilakukan untuk kayu dalam bentuk sortimen (log), dengan menggunakan
alat yang namanya xylometer, yaitu berupa bak persegi yang diisi air. Sortimen yang akan diukur volumenya
dimasukkan ke dalam bak berisi air, volume kayu adalah pertambahan tinggi air
dalam bak dikalikan luas penampang bak.
Kalau bak diisi penuh air, maka
volume air yang tumpah adalah sama dengan volume kayu yang dimasukkan. Sedangkan penentuan volume cara tidak
langsung, dilakukan dengan metode grafis atau dengan menggunakan persamaan
volume.
Penentuan volume metode grafis pada dasarnya adalah
dengan cara memplotkan pasangan data diameter atau lbds dan tinggi atau panjang
masing-masing pada sumbu absis dan sumbu ordinat dari diagram cartesius,
sehingga dapat dibuat garis yang menghubungkan titik-titik koordinat yang
berurutan membentuk sebuah kurva yang menggambarkan pola bentuk batang.
Kemudian dihitung luas daerah dibawah kurva di atas sumbu absis. Volume batang adalah luas daerah dikalikan
dengan sebuah konstanta yang besarnya tergantung faktor skala dan pengaruh
satuan pada absis maupun ordinat.
Bentuk geometris yang paling mendekati bentuk pohon
adalah silinder. Sehingga
rumus-rumus penentuan volume batang pada umumnya mengacu kepada rumus volume
silinder dengan berbagai macam penyesuaian.
Rumus volume silinder adalah : V = BH ; di mana : B = lbds ; H = tinggi
atau panjang. Untuk pohon di mana nilai
diameternya bervariasi dari pangkal hingga ke ujung batang, maka
permasalahannya adalah menentukan diameter mana yang akan digunakan untuk
menghitung lbds-nya. Rumus volume
silinder terkoreksi menghitung volume dengan menggunakan dbh atau diameter
pangkal untuk menghitung lbds-nya, kemudian nilai volume yang diperoleh
dikalikan lagi dengan sebuah faktor koreksi yang merupakan faktor bentuk batang
(f), sehingga V = BHf.
Beberapa rumus empiris yang
banyak dikenal, menentukan volume dengan menggunakan rumus umum volume silinder
: V = BH tetapi dengan penyesuaian terhadap diameter yang digunakan untuk
menghitung lbds-nya, misalnya rumus Brereton mengggunakan diameter yang
merupakan rata-rata diameter pangkal dan ujung untuk menghitung lbds-nya ;
rumus Smalian menggunakan lbds yang merupakan rata-rata lbds pangkal dan ujung
; rumus Huber menggunakan diameter tengah untuk menghitung lbds-nya ; sedangkan
rumus Newton menggunakan lbds yang merupakan rata-rata lbds pangkal, tengah dan
ujung di mana lbds tengah diberi bobot empat kali lbds lainnya ; dan
lain-lain. Wiant, Wood dan Furnival
(1992) menyatakan bahwa rumus Newton sudah sejak lama diakui sebagai rumus
paling akurat untuk pendugaan volume log, dibanding rumus-rumus empiris
lainnya. Rumus Newton dapat digunakan baik untuk bentuk silinder, paraboloid,
konoid maupun neiloid.
Tabel
1. Beberapa rumus penduga volume log
¾¾¾¾¾¾¾¾¾¾¾¾¾¾¾¾¾¾¾¾¾¾¾
Nama R
u m u s
¾¾¾¾¾¾¾¾¾¾¾¾¾¾¾¾¾¾¾¾¾¾¾
Brereton V
= ((p/4)((b+s)/2)2)L
Huber V
= ML
Smalian V = ((B+S)/2)L
Newton V = ((B+4M+S)/6)L
¾¾¾¾¾¾¾¾¾¾¾¾¾¾¾¾¾¾¾¾¾¾¾
di mana :
V = dugaan
volume log (m3) p = nilai phi = 3,14159…
b = diameter
pangkal log (cm/100) s =
diameter ujung log (cm/100)
B = lbds
pangkal log (m2) M = lbds
tengah-tengah log (m2)
S = lbds ujung
log (m2) L = panjang log
(m)
Dengan dasar pemikiran bahwa volume batang adalah
merupakan bentuk benda putar dari fungsi tapernya, dan volume batang pada
hakekatnya adalah merupakan penjumlahan dari lbds-lbds setiap titik dari
pangkal hingga ke ujung batang, maka volume batang dapat dihitung melalui
integrasi fungsi tapernya. Apabila fungsi
tapernya adalah : d = f(h) maka :
Ve = ¼p ò d²
dh. Untuk mengoreksi adanya kemungkinan
bias dugaan volume akibat ketidaksesuaian fungi taper dalam menggambarkan pola
bentuk batang yang sesungguhnya Gregoire, Valentine dan Furnival (1986)
mengembangkan metode pendugaan volume batang yang disebut importance sampling, yaitu : V = Ve x A/a ; di mana
: A/a adalah sebuah faktor koreksi yang merupakan rasio lbds ; A = lbds dengan
menggunakan diameter yang sebenarnya pada titik tertentu di batang yang
ditentukan secara acak ; sedangkan a = lbds pada ketinggian yang sama dengan A
tapi menggunakan diameter yang diduga melalui fungsi tapernya. Selanjutnya, Wood, Wiant, Loy dan Miles
(1990) mengemukakan bahwa berdasarkan simulasi yang dilakukannya apabila
pengacakan untuk menentukan ketinggian tempat diameter diukur dilakukan secara
berulang-ulang maka rata-rata ketinggian tempat diameter di ukur tersebut akan
terletak pada ketinggian setengah dari total volume batang. Titik
tersebut diperkenalkan sebagai titik centroid volume dan importance sampling dimodifikasi menjadi centroid sampling. Wiant,
Wood dan Furnival (1992), mengkombinasikan metode centroid (centroid sampling) dengan rumus Newton
(catatan : rumus Newton diyakini sebagai rumus empiris terbaik dalam menduga
volume batang untuk berbagai bentuk batang, dibanding rumus-rumus empiris
penduga volume lainnya), sehingga pada akhirnya diperoleh rumus penduga volume
yang disebut rumus centroid :
V = SL + (b1L2)/2 + (b2L3)/3 di mana :
S = lbds ujung
log (m2) L = panjang log
(m)
b1 = (B-S-b2L2)/L b2 =
(B-C(L/q)-S(1-L/q))/(L2-Lq)
B = lbds pangkal log (m2) C
= lbds pada posisi centroid volume (m2)
q = (((b/s)4 + 1)0.5
- 20.5)/(20.5((b/s)2 - 1)) L (m)
s = diameter ujung log (m2) b
= diameter pangkal log (m)
Latifah (1994), Krisnawati
(1994) dan Elviadi (1994), masing-masing menggunakan 120 log meranti (Shorea spp.), keruing (Dipterocarpus spp.)dan ramin (Gonystylus spp.) di Propinsi Kalimantan
Tengah untuk membandingkan performansi tujuh buah rumus (Brereton, Smalian,
Huber, Bruce, Patterson Clark, Newton dan Centroid) dalam pendugaan volume
log. Penelitian yang sama dilakukan Muhdin (1997) dengan menggunakan 499 log
meranti (Shorea spp.) di Propinsi
Riau. Secara umum rumus Newton dan
Centroid merupakan rumus terbaik untuk pendugaan volume log meranti maupun
keruing, sedangkan Patterson Clark terbaik untuk jenis ramin. Dari penelitian Bustami (1995) yang
menggunakan 157 log Pinus merkusii di
Jawa juga diperoleh kesimpulan bahwa rumus Newton dan Centroid merupakan rumus
terbaik untuk pendugaan volume log P. merkusii.
Cara penentuan volume pohon yang paling praktis adalah
dengan menggunakan tabel volume pohon.
Tabel volume pohon adalah suatu tabel yang berisi nilai-nilai dugaan
volume pohon pada ukuran diameter atau diameter dan tinggi pohon tertentu. Berdasarkan peubah penduga yang digunakan,
tabel volume pohon dibedakan menjadi : tabel volume lokal, tabel volume baku
dan tabel volume dengan kelas bentuk.
Tabel volume lokal atau dikenal juga dengan istilah tariff volume adalah
tabel volume dengan menggunakan dbh sebagai penduganya. Tabel volume baku adalah tabel volume dengan
menggunakan dbh dan tinggi pohon sebagai peubah penduganya. Tabel volume dengan kelas bentuk adalah
semacam tabel volume baku yang dibuat untuk setiap kelas bentuk batang.
Diantara ketiga macam tabel volume tersebut, yang
paling praktis adalah tabel volume lokal yang hanya menggunakan dbh sebagai
peubah penduga, namun secara teoritis memiliki ketelitian yang lebih rendah
dibanding tabel volume baku dan tabel volume dengan kelas bentuk. Tabel volume dibuat berdasarkan persamaan
volume yang disusun dengan persamaan regresi.
Persamaan regresi terbaik biasanya dipilih dari berbagai macam persamaan
yang dicobakan terhadap data yang dimiliki.
Dari sekian banyak persamaan regresi yang dapat dicoba, persamaan : V =
aDb (di mana : V = volume pohon ; D = dbh ; a, b = konstanta), adalah persamaan regresi
yang paling banyak digunakan. Selain
alasan kesederhanaan model dan kepraktisan karena hanya menggunakan dbh sebagai
peubah penduga, juga model tersebut adalah model yang secara matematis memiliki
kerangka pemikiran (landasan teoritis) yang jelas. Persamaan V = aDb dikenal juga sebagai
persamaan Berkhout (Loetsch, Zohrer dan Haller, 1973). Suhendang (1993) dalam Wood dan Wiant
(1993), menyatakan bahwa menurut Bruce dan Schumacher (1950), penurunan model
Berkhout tersebut adalah sebagai berikut :
1.
Volume sebuah pohon
dapat dinyatakan sebagai : V = ¼p(D/100)²Hf ; di mana : V = volume (m³) ; D = dbh (cm) ; H = tinggi pohon (m)
; f = angka bentuk
2. Untuk jenis pohon tertentu yang memiliki angka bentuk
tertentu, maka f adalah konstanta, dan (¼p/10000)f =
a adalah konstanta juga. Sehingga persamaan volume di atas menjadi
: V = aD²H
3.
Apabila volume meningkat
proporsional terhadap pangkat tertentu dari D dan H (masing-masing selain 2 dan
1), maka persamaan volume menjadi : V = aDgHh
4. Apabila terdapat hubungan yang erat antara D dengan H,
maka keragaman V yang disebabkan oleh keragaman H dapat dijelaskan oleh
keragaman D, atau sebaliknya. Atas dasar itu maka
V dapat diduga oleh D atau H saja, sehingga persamaan volume menjadi : V = aDb atau V = aHc . Persamaan V = aDb banyak dipakai dan lebih disukai
karena D = dbh lebih mudah diukur
dari pada tinggi pohon (H).
Asumsi yang mendasari
berlakunya tabel volume lokal pada sebuah areal hutan (tegakan) adalah bahwa
pohon-pohon yang memiliki ukuran diameter sama maka akan memiliki tinggi dan
angka bentuk batang yang sama pula sehingga dengan demikian akan memiliki
volume pohon yang sama pula. Sedangkan
asumsi yang melandasi berlakunya tabel volume baku adalah bahwa pohon-pohon
yang memiliki dbh dan tinggi pohon yang sama maka akan memiliki angka bentuk
batang yang sama pula, sehingga akan memiliki volume pohon yang sama juga.
Penutup
Berdasarkan uraian di atas
dapat disarikan beberapa hal sebagai berikut :
1. Dimensi pohon yang
merupakan faktor-faktor penentu volume pohon adalah diameter batang, tinggi
pohon dan faktor bentuk batang.
2. Diameter yang biasa
digunakan sebagai karakteristik dimensi pohon adalah dbh, walaupun ternyata
berdasarkan penelitian Wiant (1988) diameter yang paling erat hubungannya
dengan volume adalah diameter pada bagian batang selain dbh.
3. Tinggi pohon dapat
dibedakan atas tinggi total, tinggi bebas cabang, dan tinggi kayu tebal.
4.
Bentuk batang dapat
dinyatakan oleh angka bentuk, kusen bentuk, taper dan fungsi taper.
5.
Cara penentuan volume
batang pohon meliputi cara langsung (dengan xylometer), dan cara tidak langsung
(metode grafis, menggunakan rumus volume, integrasi fungsi taper, dan
menggunakan tabel volume pohon)
6.
Rumus dasar volume pohon
adalah : V = BHf (di mana : V = volume pohon dalam m³ ; B = lbds pohon dalam m²
; H = tinggi pohon dalam m ; B = ¼p(D/100)²
; D = dbh dalam cm ; f = angka bentuk batang).
7.
Rumus volume pohon tanpa
menggunakan faktor bentuk batang adalah : V = BH (di mana : V = volume pohon
dalam m³ ; B = lbds pohon dalam m² ; H =
tinggi pohon dalam m), dalam hal ini diameter yang digunakan untuk
menghitung lbds-nya memperhitungkan
satu atau lebih di antara diameter pangkal, tengah dan/atau ujung batang. Misalnya pada rumus-rumus : Smalian,
Brereton, Huber, Newton dan lain-lain.
8.
Penentuan volume pohon
dengan cara integrasi fungsi taper kemudian dikembangkan menjadi importance sampling, centroid sampling dan selanjutnya dari
kombinasi centroid sampling dengan
rumus Newton diperoleh rumus volume centroid.
9.
Tabel volume pohon dibedakan
atas tabel volume lokal, tabel volume baku dan tabel volume dengan kelas
bentuk.
Daftar Pustaka
BUSTOMI, S.
1995. Penggunaan Centroid Volume
dalam Menduga Volume Kayu Bulat Pinus, Pinus
merkusii Jungh. Et de Vries. Thesis pada Program
Pascasarjana IPB. Bogor. (unpublished).
CHAPMAN, H.H. and W.H. MEYER. 1949.
Forest Mensuration. McGraw-Hill
Book Company Inc. New York.
ELVIADI, I. 1994.
Perbandingan Ketepatan Hasil Pendugaan Volume Sortimen Kelompok Ramin, Gonistylus spp., Berdasarkan Rumus
Empiris Volume Sortimennya. Studi Kasus
di Areal HPH PT Inhutani III Sampit Kalimantan Tengah. Skripsi pada Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. (unpublished).
KRISNAWATI, H. 1994.
Perbandingan Ketepatan Hasil Pendugaan Volume Sortimen Kelompok Keruing,
Dipterocarpus spp., Berdasarkan Rumus
Empiris Volume Sortimennya. Studi kasus
di HPH PT Inhutani III Sampit Kalimantan Tengah. Skripsi pada Fakultas Kehutanan IPB.
Bogor. (unpublished).
LAAR, A. van and AKÇA, A. 1997. Forest
Mensuration. Cuvillier Verlag.
Göttingen.
LATIFAH, S. 1994.
Perbandingan Ketepatan Hasil Pendugaan Volume Sortimen Kelompok Meranti
Merah, Shorea spp., Berdasarkan Rumus
Empiris Volume Sortimennya. Studi Kasus
di Areal HPH PT Inhutani III Sampit Kalimantan Tengah. Skripsi pada Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. (unpublished).
LOETCSH, F., F. ZOHRER and K.E. HALLER. 1973.
Forest Inventory. Volume
II. Translated into English by K.F.
Panzer. BLV Verlagsgesellschaft
mbH. Munchen.
MUHDIN.
1997. Analyzing Some Formulae of
Log Volume Estimation on Log of Meranti.
Post Graduate Thesis. Faculty of
Forestry and Ecological Sciences.
Georg-August-University Gottingen.
Germany. (unpublished)
PATTERSON, D.W., H.V. WIANT, Jr., and G.B. WOOD. 1993.
Log Volume Estimations. The
Centroid Method and Standard Formulas.
J. of Forestry. 91(8): 39-41.
PHILIP, M.S.
1994. Measuring Trees and
Forests. Second Edition. CAB
International.
SUHENDANG, E.
1997. Estimating Standing Tree
Volume of Some Commercial Trees of the Tropical Rain Forest in Indonesia. In : Modern Methods of Estimating Tree and
Log Volume (Edited by Wood and Wiant).
West Virginia University Publications Services. Morgantown.
USA.
WIANT, Jr.
1988. Where is the Optimum
Height for Measuring Tree Diameter ?.
North J. Appl. For. 5 : 184-185.
WIANT, Jr., H.V., G.B. WOOD and G.M. FURNIVAL.
1992. Estimating Log Volume Using the
Centroid Position. For. Sci., 38(10):
187-191.
WOOD, G.B. and H.V. WIANT, Jr. 1990. Estimating the Volume of Australian
Hardwoods Using Centroid Sampling.
Aust. For. 53 : 271-274.
WOOD, G.B., H.V. WIANT, Jr., R.J. LOY
and J.A. MILES. 1990. Centroid Sampling : A Variant of Importance
Sampling for Estimation the Volume of Sample Trees of Radiata Pine. For. Ecol. Manage., 36 : 233-243. Elsevier Sci. Pub. BV. Amsterdam.