@2003 Prastowo                                                                       Posted 10 December 2003

Makalah falsafah Sains (PPs 702)

Program Pasca Sarjana/S3

Institut Pertanian Bogor

Desember 2003

 

Dosen:

Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng (Penanggung Jawab)

Prof. Dr. Ir. Zahrial Coto

 

 

 

MASALAH SUMBERDAYA AIR DI INDONESIA: KERUSAKAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN RENDAHNYA KINERJA PEMANFAATAN AIR

 

 

 

 

Oleh :

 

PRASTOWO

F161030102

 

 

 

 

 

 

I.        PENDAHULUAN

 

Luas hutan yang ideal untuk menunjang keseimbangan ekosistem – seperti tercantum dalam Undang-Undang (UU) Nomor 41 tentang Kehutanan – minimal harus 30 persen dari luas wilayah.  Dengan luasan tersebut diharapkan sebagian curah hujan yang turun pada musim hujan dapat disimpan dalam lapisan tanah, dan dialirkan sebagai aliran dasar (base flow) pada musim kemarau. Fluktuasi debit sungai pada sebagian besar daerah aliran sungai (DAS) di Indonesia cenderung meningkat, yaitu relatif besar pada musim hujan (seringkali menyebabkan banjir) dan relatif kecil pada musim kemarau (seringkali menyebabkan kekeringan).  Kondisi ini memberikan gambaran tentang telah terjadinya kerusakan DAS yang berdampak terhadap permasalahan surplus/defisit neraca air sepanjang tahun.

 

Disisi lain, kebutuhan air untuk pertanian, domestik, dan industri di Indonesia semakin meningkat.  Prasarana supali air yang telah dibangun untuk memenuhi berbagai keperluan tersebut belum sepenuhnya dapat melayani masyarakat sesuai dengan kebutuhannya.  Pada kenyataannya, efisiensi pemanfaatan air di tingkat pengguna masih relatif kecil, sehingga menambah permasalahan kelangkaan sumberdaya air.

 

Dimasa mendatang, dua pokok permasalahan sumberdaya air tersebut diatas harus dapat diselesaikan dengan baik.  Keberhasilan upaya pengendalian kerusakan DAS serta upaya peningkatan efisiensi pemanfaatan air akan menjamin keberlanjutan penyediaan air untuk berbagai keperluan.  Sebaliknya, apabila upaya tersebut mengalami kegagalan, maka masalah sumberdaya air akan merupakan ancaman yang serius bagi kelangsungan kehidupan masyarakat di Indonesia.

 

 

I.                                INDIKATOR KERUSAKAN DAS

 

Tingkat kerusakan daerah aliran sungai dapat diketahui dari beberapa indikator, antara lain adalah : rasio debit sungai maksimum/minimum, koefisien limpasan (run-off), erosi dan sedimentasi, muka airtanah, dan debit mata air

 

a.                                          Rasio Debit Sungai Maksimum/Minimum (Rasio Qmax/Qmin)

 

Nilai rasio debit sungai maksimum (terjadi pada musim hujan) dan debit minimum (terjadi pada musim kemarau) menunjukkan efektifitas suatu daerah aliran sungai dalam menyimpan surplus air pada musim hujan yang kemudian dapat dialirkan pada musim kemarau.  Indikator ini juga dapat ditunjukkan oleh hidrograf satuan (unit hydrograph) sungai yang bersangkutan.  Semakin curam hidrograf satuan suatu sungai menunjukkan bahwa debit limpasan semakin besar sedangkan aliran dasar (base-flow) semakin kecil.  Debit limpasan menyebabkan banjir pada musim hujan, sedangkan aliran dasar menghasilkan debit aliran sungai pada musim kemarau.

 

Tabel 1 menyajikan nilai rasio Qmax/Qmin beberapa sungai di Indonesia, yaitu berkisar antara 8 – 2500 (Kementerian lingkungan hidup, 2003).  Meskipun batasan nilai rasio Qmax/Qmin berbeda untuk setiap sungai, namun data tersebut memberi gambaran bahwa telah terjadi kerusakan di beberapa daerah aliran sungai di Indonesia.

 

Tabel 1. Data rasio Qmax/Qmin pada beberapa sungai di Indonesia

 

No

Sungai

rasio Qmax/Qmin

No

Sungai

Rasio Qmax/Qmin

1

S.Citarum

57 – 1667

13

S. Bt. Kuantan

56

2

S.Cibuni

78

14

S. Bt. Kampar

68 – 101

3

S. Ciujung

22 – 179

15

S. Bt. Rokan

59

4

S. Solo (Jateng)

106

16

S.  A. Dikit

25

5

S. Serayu

1667

17

S. Bt. Hari (Jambi)

18 – 357

6

S. Lusi

345

18

S. Musi

9 – 47

7

S. Progo

400 – 588

19

S. Tulang Bawang

175 – 256

8

S. Solo (Jatim)

164

20

S. Sekampung

667

9

S. Brantas

8 – 12

21

S. Paguyaman

2500

10

S. Asahan

42

22

S. Randangan

72

11

S. Pasaman

33

23

S. Cenranae

60 – 2000

12

S.Bt.Hari (Sumbar)

139

24

S. Mapili

588

 

 

 

25

S. L. Sampara

13

 

b.                             Koefisien Limpasan (Run-off Coefficient)

 

Koefisien limpasan adalah rasio jumlah limpasan terhadap jumlah curah hujan, dimana nilainya tergantung pada tekstur tanah, kemiringan lahan, dan jenis penutupan lahan.  Pada daerah aliran sungai (DAS) berhutan dengan tekstur tanah liat berpasir, nilai koefisien limpasan berkisar antara 0.10 - 0.30.  Pada lahan pertanian dengan tekstur tanah yang sama, nilai koefisien limpasan adalah 0.30 – 0.50. 

 

Berikut disajikan studi kasus nilai koefisien limpasan di DAS Ciliwung Hulu.  Berdasarkan data debit dan curah hujan di DAS Ciliwung (Tahun 1981 s/d 2001) terlihat bahwa debit Sungai Siliwung Hulu adalah 2.363mm/th dengan rata-rata curah hujan tahunan sebesar 3.519 mm/th.  Hal ini berarti bahwa  koefisien limpasan tahunan di Sub-DAS ini telah mencapai 67 %.  Dapat diperkirakan bahwa  koefisien limpasan maupun kejadian hujan tunggal tidak jauh berbeda. Dari data hidrograf juga dapat dilihat bahwa koefisien aliran permukaan di Ciliwung Hulu berkisar antara 60 – 75 % dari total curah hujan.  Nilai koefisien limpasan tersebut menggambarkan bahwa kondisi penutupan lahan oleh hutan di Sub-DAS Ciliwung Hulu telah mangalamai kerusakan, sehingga memerlukan perhatian serius (Tim IPB, 2002)

 

c.                              Erosi dan Sedimentasi

 

Sedimentasi merupakan dampak lanjutan dari terjadinya erosi di daerah hulu sungai, yang diakibatkan oleh limpasan.  Hilangnya vegetasi (hutan) pada suatu daerah aliran sungai, selain menyebabkan limpasan juga sekaligus meningkatkan laju erosi.  Erosi yang berlangsung secara terus menerus pada musim hujan dapat menyebabkan hilangnya lapisan tanah atas (top-soil),  yang kemudian terbawa aliran sungai dan seterusnya menyebabkan sedimentasi di sungai (pendangkalan sungai).  Disamping itu, erosi juga menyebabkan menurunnya tingkat kesuburan tanah.

 

Laju erosi di berbagai DAS saat ini relatif tinggi.  Misalnya di Sub-DAS Ciliwung Hulu, secara kumulatif laju erosi yang terjadi adalah 19.3 ton/ha/tahun, dengan Indeks Erosi sebesar 1.29 (lebih besar dari 1) yang berarti bahwa (ditinjau dari segi erosi) DAS tersebut tergolong dalam kondisi jelek.  Kehilangan lapisan tanah atas akibat erosi sebesar 1.6 mm/tahun.  Nilai TSS (total suspended solid) dan TDS (total disolved solid) pada beberapa sungai di Indonesia telah melampaui 100 mg/liter.  Hal ini menunjukkan adanya tingkat erosi yang tinggi di daerah hulu DAS akibat berkurangnya areal hutan (Kementerian Lingkungan Hidup, 2003).

 

Sedimentasi juga telah menyebabkan pendangkalan beberapa danau/setu di Indonesia. Jumlah setu di kawasan Jabotabek telah mengalami penurunan, yaitu dari 218 situ pada awal tahun 1970,  saat ini tinggal tersisa 50 – 100 situ. Danau sentani di Provinsi Papua sejak tahun 1999 mengalami pendangkalan rata-rata 5 meter per tahun. Danau Tondano di Provinsi Sulawesi Utara pada tahun 1970 titik terdalamnya mencapai 50 meter, sekarang tinggal sekitar 10 meter. (Kementerian Lingkungan Hidup, 2003)

 

Di Kabupaten Bogor, 67 % dari jumlah setu yang ada dalam keadaan rusak, yaitu akibat adanya gulma, sedimentasi, dan alih fungsi menjadi kawasan terbangun.  Luas setu berkurang 24,59 %, yaitu dari 501 hektar tahun 1995 menjadi 446,67 hektar tahun 2002 (Dirjen Penataan Ruang Departemen Kimpraswil, 2002)

 

Kejadian sedimentasi juga terjadi di Segara Anakan.  Pada periode Tahun 1987 - 1992   telah terjadi pengurangan areal seluas 2 490 hektar atau 166 hektar/tahun.  Pada periode Tahun 1992 – 2002 telah terjadi lagi pengurangan areal seluas 600 hektar atau 60 hektar/tahun (Agus Maryono dalam Kementerian Lingkungan Hidup, 2003).

 

d.                             Muka Airtanah (Groundwater Table)

 

Penggunaan airtanah berlebihan telah mengakibatkan terjadinya penurunan muka air tanah, penurunan muka tanah (land subsidence), dan intrusi air laut semakin jauh ke darat. Di kota Bandung, penurunan muka airtanah pada akuifer menengah  (intermediate well, 40-150 meter) berkisar antara 0,12 – 8,76 meter per tahun dan pada akuifer dalam (deep well, >150 meter) berkisar antara 1,44 – 12,48 meter per tahun. Di Jakarta (di kawasan Cengakareng, Grogol, Cempaka Putih, dan Cakung) telah terjadi penurunan muka airtanah sampai 17 meter (Kementerian Lingkungan Hidup, 2003).

 

Di Jakarta, penurunan muka airtanah yang dalam dan luas membentuk sebuah kerucut, terjadi di empat kawasan, yaitu Daan Mogot Barat, Daan Mogot Timur – Kapuk, Cakung – Cilincing, dan Jalan Raya Bekasi – Pondok Ungu yang mencapai 40 – 50 meter di bawah permukaan laut. Dibanding tahun 1999, daerah yang mengalami kerucut penurunan muka airtanah telah bertambah luas, terutama pada akuifer tengah sesuai dengan peningkatan jumlah pengambilan air tanah. Gejala amblesan terjadi di hampir seluruh wilayah Jakarta dengan kisaran 10 – 100 cm. Amblesan yang lebih besar dari 80 cm terjadi di daerah Daan Mogot, Jakarta Barat. (Kementerian Lingkungan Hidup, 2003)

 

Di Semarang, penurunan muka airtanah lebih dari dua meter dihitung dari kondisi awal, bahkan terjadi kerucut penurunan muka airtanah pada kedudukan 20 meter di bawah muka air laut (Kementerian Lingkungan Hidup, 2003).

 

Di Kabupaten Nganjuk – Jawa Timur, sejak tahun 1996, pada wilayah Kecamatan Gondang, Rejoso, dan Sukomoro, pompa pada sumur dalam (deep well) harus diturunkan 1 – 3 meter di bawah permukaan tanah untuk dapat menaikkan airtanah pada musim kemarau. Pada tahun 1998 pompa harus diturunkan 1 – 5 meter dibawah permukaan tanah untuk dapat menaikkan air pada musim kemarau. Beberapa sumur dangkal (shalow well) tidak dapat dieksploitasi pada musim kemarau karena kedalaman sumur yang relatif dalam, yaitu 12 – 20 meter.  Eksploitasi sumur airtanah  dengan jarak antar sumur yang rapat (lebih kecil dari jarak optimum) telah meningkatkan penurunan muka airtanah (Liyantono, 2001).

 

e.                                          Debit Mata Air

 

Ekosistem mata air merupakan salah satu ekosistem lahan basah dan seringkali sebagai permulaan dari sebuah aliran sungai.  Sumber air ekosistem mata air adalah aliran airtanah yang muncul ke permukaan tanah secara alami, yang disebabkan oleh terpotongnya aliran airtanah oleh bentuk topografi setempat dan keluar dari batuan.  Pada umumnya mata air muncul di daerah kaki perbukitan atau bagian lereng, lembah perbukitan, dan di daerah dataran.

 

Kondisi daerah resapan (recharge area) sangat berpengaruh terhadap debit mata air dan kualitas airnya.  Tata guna lahan pada daerah resapan berpengaruh langsung terhadap bagian air hujan yang masuk ke dalam tanah sebagai aliran airtanah (sumber mata air).  Pada saat ini, beberapa daerah resapan mata air (khususnya di P.Jawa) telah mengalami kerusakan yang mengkhawatirkan.  Beberapa mata air di daerah Bogor, Purwokerto, dan Malang telah mengalami penurunan debit bila dibandingkan dengan kondisi tahun 1970 an.  Apabila tidak ada upaya pengendalian kerusakan ekosistem mata air, maka dapat dipastikan bahwa pemanfaatan mata air di masa mendatang akan terganggu.  Penurunan/hilangnya  debit mata air juga berarti kerusakan ekosistem mata air secara keseluruhan sebagai salah satu ekosistem lahan basah. Di Wilayah Bogor, hingga Tahun 2001 telah terjadi penurunan debit mata air yang dimanfaatkan oleh PDAM setempat, yaitu sebesar 4 – 15 % (Prastowo, 2001).

 

II.                            KINERJA PEMANFAATAN AIR

 

Potensi air permukaan di Indonesia adalah sebesar 1.789 miliar m3/tahun. Air permukaan tersebut tersebar pada berbagai badan air, yaitu 5.886 buah sungai, 186 buah danau/situ dan waduk, sertta rawa seluas 33 juta hektar. (Ditjen Pengairan Dep PU 1994 dalam Laporan Status Lingkungan Hidup Indonesia Tahun 2002).  Potensi airtanah di Indonesia relatif cukup besar, yaitu 4,7 x 109 m3/tahun yang tersebar di 224 cekungan air tanah. Penyebaran potensi airtanah tersebut antara lain di Pulau Jawa dan Madura sebesar 1,172 x 109 m3/tahun (24.9 %); pulau Sumatera 1,0 x 109 m3/tahun (21.3 %); Pulau Sulawesi 358 x 106 m3/tahun (7.6 %), Papua sebesar 217 x 106 m3/tahun (4.6 %) dan Kalimantan sebesar 830 x 106 m3/tahun (17.7 %); sedangkan sisanya sebesar 1.123 x 106 m3/tahun (23.9 %) berada di pulau-pulau lainnya. (Dit. Geologi Tata Lingkungan dalam Kementerian Lingkungan Hidup, 2003)

 

Total ketersediaan air permukaan dan airtanah di Indonesia adalah 691 x 109 m3/tahun, tersebar pada beberapa wilayah.  Kebutuhan air pada Tahun 1995 sebesar 108.8 x 109 m3/tahun, sedangkan proyeksi kebutuhan pada Tahun 2000 meningkat menjadi 156.4 x 109 m3/tahun.  Meskipun secara nasional ketersediaan air lebih besar dari kebutuhan air, namun beberapa pulau/provinsi telah mengalami defisit neraca air, yaitu  Pulau Jawa sebesar 32.3x109 m3/tahun dan Bali 1.5x109 m3/tahun.  Pada Tahun 2015, selain Pulau Jawa dan Bali, wilayah yang diperkirakan akan mengalami defisit neraca air adalah Sulawesi dan Nusa Tenggara Timur (Kementerian Lingkungan Hidup, 2003)

 

Kebutuhan air terbesar berdasarkan sektor kegiatan adalah kebutuhan air untuk pertanian (irigasi), domestik, dan industri.  Kebutuhan air untuk irigasi pada Tahun 1990 sebesar 74.9 x109 m3/tahun dengan perkiraan peningkatan sebesar 6.7 % pertahun.  Kebutuhan air untuk keperluan domestik pada Tahun 1990 adalah sebesar 3.1 x109 m3/tahun dengan proyeksi peningkatan sebesar 6.7 % per tahun, sedangkan kebutuhan air untuk industri pada Tahun 1990 sebesar 0.7 x 109 m3/tahun dengan proyeksi peningkatan 12.5 % per tahun (Kementerian Lingkungan Hidup, 2003)

 

1.        Pemanfaatan Air Untuk Irigasi

 

Luas sawah irigasi di Indonesia adalah 4.14 juta hektar atau sekitar 91 % dari luas petak tersier yang sudah dikembangkan (4.529.292 Ha). Apabila dibandingkan dengan luas lahan potensial irigasi (7.59 juta hektar), rasio sawah irigasi dengan lahan potensial sekitar 54 %.  Namun apabila dibandingkan dengan luas baku irigasi (12.335.823 Ha), prosentase sawah irigasi hanya sekitar 34 % (Departemen Pertanian, 2003).  Data tersebut menunjukkan bahwa efisiensi pemanfaatan air irigasi pada jaringan/infrastruktur irigasi yang telah dibangun relatif sangat kecil. 

 

2.        Pemanfaatan Air Untuk Domestik

 

Jumlah Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) di seluruh indonesia meningkat dari 432 unit pada tahun 1995 menjadi 465 unit pada tahun 1999.  Distribusi air bersih dari PDAM ke rumah tangga  di Indonesia pada tahun 2000 (tidak termasuk Povinsi Nangroe Aceh Darussalam dan Maluku) meningkat sekitar 10 persen dibandingkan dengan keadaan pada tahun 1999. Berdasarkan wilayah kepulauan, persentase tertinggi rumah tangga yang terlayani oleh PDAM pada tahun 2000 adalah di Bali, yaitu sebesar 48,3 persen, dan terendah di Papua sebesar 13.5 persen (Kementerian Lingkungan Hidup, 2003).

 

Data tahun 2000 menunjukkan bahwa secara nasional sebagian besar rumah tangga (sekitar 74 persen) menggunakan airtanah sebagai sumber air minum. Sisanya menggunakan air sungai (3,4 persen), dan sumber lain (1,4 persen). Penggunaan air sumur tertinggi adalah di Pulau Jawa dan Nusa tenggara,  yaitu sekitar 79 persen rumah tangga, sedangkan terkecil di Pulau Bali sekitar 46,5 persen rumah tangga. Di Kalimantan, 45 persen rumah tangga menggunakan air sungai dan air hujan sebagai sumber air minum. Provinsi Kalimantan Barat merupakan pengguna terbesar air sungai dan air hujan sebagai sumber air minum rumah tangga, yaitu sekitar 73 persen rumah tangga (Kementerian Lingkungan Hidup, 2003)

 

Tabel 3. Persentase Rumah Tangga Dengan Sumber Air Minum Selain Dari PDAM Berdasarkan Wilayah Kepulauan Tahun 2000

 

 

NO.

WILAYAH**)

AIR TANAH*)

AIR SUNGAI

AIR HUJAN

LAINNYA

1.

Sumatera

70,24

5,28

7,20

1,04

2.

Jawa

80,52

0,67

0,40

1,69

3.

Bali

47,84

2,06

2,06

2,45

4.

Nusa Tenggara

75,63

3,35

3,35

0,54

5.

Kalimantan

27,87

27,89

27,89

0,67

6.

Sulawesi

71,73

2,43

2,43

0,94

7.

Maluku

-

-

-

-

8.

Papua

55,70

18,44

18,44

0,00

TOTAL

74,21

3,42

2,78

1,42

 

 

 

 

 

 

 

Sumber : BPS, 2000 dalam Kementerian LH, 2003

Keterangan : *)  Termasuk pompa, sumur terlindung dan tak terlindung, serta mata air terlindung dan tak terlindung

**)  Tidak termasuk Propinsi Nangroe Aceh Darussalam

 

 

 

3. Pemanfaatan Air Untuk Industri

 

Mengingat keterbatasan kualitas air permukaan yang dapat dimanfaatkan oleh industri, maka telah terjadi peningkatan penggunaan airtanah terutama di kota-kota besar di Pulau Jawa, seperti Jakarta, Bandung, Semarang, dan Surabaya. Pemanfaatan airtanah untuk sektor industri di Kota Bandung mencapai 66,9 x 106 m3/tahun, dan di Kota Semarang 39.98 x 106 m3/tahun.  Penggunaan airtanah yang berlebihan menyebabkan terjadinya penurunan muka airtanah dan penurunan muka tanah (land subsidence) di Kota-Kota Jakarta, Bandung, dan Semarang (Kementerian Lingkungan Hidup, 2003).

 

III.                            STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN  YANG DIPERLUKAN

 

Sejalan dengan semangat otonomi daerah yang saat ini cenderung lebih mengutamakan pendapatan asli daerah, maka pemerintah pusat maupun pemerintah daerah harus mampu merumuskan kebijakan yang berkaitan dengan pendayagunaan sumberdaya alam (khususnya DAS), melalui penerapan tiga kriteria pemanfaatan, yaitu : efisien, adil dan berkelanjutan.

 

Strategi yang dapat ditempuh oleh pemerintah untuk mencapai tujuan serta mengatasi berbagai permasalahan sumberdaya air adalah :

1)      Perencanaan tata ruang wilayah dengan mempertimbangkan daya dukung lingkungan, diikuti dengan pentaatan dan penegakkan peraturan secara terus menerus.

2)      Pencegahan dan pengendalian untuk kerusakan DAS (hutan, tanah, dan air) serta memulihkan/merehabilitasi DAS yang telah mengalami kerusakan

3)      Peningkatan kapasitas kelembagaan pemerintah dan masyarakat dalam pengelolaan DAS dan pemanfaatan air untuk berbagai keperluan

4)      Penyelesaian hambatan-hambatan struktural dalam pengelolaan sumberdaya air yang berkelanjutan.

 

Strategi tersebut perlu dijalankan secara simultan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah agar laju kerusakan DAS dapat diminimalkan.  Pengetahuan dan pemahaman terhadap permasalahan sumberdaya air harus dimiliki oleh seluruh stakeholders (pemangku kepentingan).  Oleh karena itu diperlukan pula suatu sistem pengambilan keputusan dan sistem kontrol yang partisipatif, melalui peranserta para pemangku kepentingan.

 

Beberapa prinsip yang perlu diterapkan dalam kebijakan pengelolaan sumberdaya air, adalah prinsip kemanfaatan, prinsip keadilan, prinsip efisiensi dan partisipasi, serta prinsip legalitas.  Kebijakan tersebut hendaknya didasarkan untuk mengatasi  dan mengendalikan masalah-masalah pokok yang terjadi, dan ditujukan agar berbagai lapisan masyarakat yang selama ini belum mendapat alokasi cukup atas pemanfaatan sumberdaya air, dapat mempunyai peluang yang memadai.

DAFTAR PUSTAKA

 

 

 

Departemen Pertanian.  2003.  Buku Pintar Irigasi.  Jakarta.

 

Ditjen Penataan Ruang Departemen Kimpraswil.  2002. Kaji Ulang Penataaan Ruang Kawasan Bopunjur/Kabupaten Bogor Dalam Rangka Mitigasi Banjir DKI Jakarta.  Executive Summary. Jakarta.  

 

Kementerian Lingkungan Hidup.  2003. Laporan Status Lingkungan Hidup Tahun 2002.  Jakarta.

 

Liyantono. 2001. Potensi dan Pola Pemanfaatan Air Tanah di Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur.  Fateta-IPB, Bogor.

 

Prastowo. 2001.  Kerusakan Ekosistem Mata Air.  Makalah Workshop.  Bapedal, Jakarta.

 

Tim IPB.  2002.  Peningkatan Kapasitas Pengelolaan DAS Ciliwung Untuk Pengendalian Banjir Di Ibukota Jakarta.  Makalah Sintesa, Lokakarya.  Pemda DKI, Jakarta.