@2003 Prastowo Posted
Makalah falsafah Sains (PPs 702)
Program Pasca Sarjana/S3
Institut Pertanian
Desember 2003
Dosen:
Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng (Penanggung
Jawab)
Prof. Dr. Ir. Zahrial Coto
MASALAH SUMBERDAYA AIR DI
Oleh :
PRASTOWO
F161030102
I.
PENDAHULUAN
Luas hutan yang ideal untuk menunjang keseimbangan
ekosistem – seperti tercantum dalam Undang-Undang (UU) Nomor 41 tentang
Kehutanan – minimal harus 30 persen dari luas wilayah. Dengan luasan tersebut diharapkan sebagian
curah hujan yang turun pada musim hujan dapat disimpan dalam lapisan tanah, dan
dialirkan sebagai aliran dasar (base flow)
pada musim kemarau. Fluktuasi debit sungai pada sebagian besar daerah aliran
sungai (DAS) di Indonesia cenderung meningkat, yaitu relatif besar pada musim
hujan (seringkali menyebabkan banjir) dan relatif kecil pada musim kemarau
(seringkali menyebabkan kekeringan).
Kondisi ini memberikan gambaran tentang telah terjadinya kerusakan DAS
yang berdampak terhadap permasalahan surplus/defisit neraca air sepanjang
tahun.
Disisi lain, kebutuhan air untuk pertanian, domestik, dan
industri di Indonesia semakin meningkat. Prasarana supali air yang telah dibangun untuk
memenuhi berbagai keperluan tersebut belum sepenuhnya dapat melayani masyarakat
sesuai dengan kebutuhannya. Pada
kenyataannya, efisiensi pemanfaatan air di tingkat pengguna masih relatif
kecil, sehingga menambah permasalahan kelangkaan sumberdaya air.
Dimasa mendatang, dua pokok permasalahan sumberdaya air tersebut
diatas harus dapat diselesaikan dengan baik.
Keberhasilan upaya pengendalian kerusakan DAS serta upaya peningkatan
efisiensi pemanfaatan air akan menjamin keberlanjutan penyediaan air untuk
berbagai keperluan. Sebaliknya, apabila
upaya tersebut mengalami kegagalan, maka masalah sumberdaya air akan merupakan
ancaman yang serius bagi kelangsungan kehidupan masyarakat di Indonesia.
I.
INDIKATOR KERUSAKAN DAS
Tingkat kerusakan daerah aliran sungai
dapat diketahui dari beberapa indikator,
antara lain adalah : rasio debit sungai
maksimum/minimum, koefisien
limpasan (run-off),
erosi dan sedimentasi, muka airtanah, dan debit mata air
a.
Rasio Debit Sungai Maksimum/Minimum
(Rasio Qmax/Qmin)
Nilai rasio debit sungai maksimum (terjadi pada musim
hujan) dan debit minimum (terjadi pada musim kemarau) menunjukkan efektifitas
suatu daerah aliran sungai dalam menyimpan surplus air pada musim hujan yang kemudian
dapat dialirkan pada musim kemarau.
Indikator ini juga dapat ditunjukkan oleh hidrograf satuan (unit hydrograph) sungai yang
bersangkutan. Semakin curam hidrograf
satuan suatu sungai menunjukkan bahwa debit limpasan semakin besar sedangkan
aliran dasar (base-flow) semakin kecil. Debit limpasan menyebabkan banjir pada musim
hujan, sedangkan aliran dasar menghasilkan debit aliran sungai pada musim
kemarau.
Tabel 1 menyajikan nilai rasio Qmax/Qmin
beberapa sungai di Indonesia, yaitu berkisar antara 8 – 2500 (Kementerian lingkungan
hidup, 2003). Meskipun batasan nilai
rasio Qmax/Qmin berbeda untuk setiap sungai, namun data
tersebut memberi gambaran bahwa telah terjadi kerusakan di beberapa daerah
aliran sungai di Indonesia.
Tabel
1. Data rasio Qmax/Qmin pada beberapa sungai di Indonesia
No |
Sungai |
rasio
Qmax/Qmin |
No |
Sungai |
Rasio
Qmax/Qmin |
1 |
S.Citarum |
57 – 1667 |
13 |
S. Bt. Kuantan |
56 |
2 |
S.Cibuni |
78 |
14 |
S. Bt. Kampar |
68 –
101 |
3 |
S.
Ciujung |
22 – 179 |
15 |
S. Bt. Rokan |
59 |
4 |
S.
Solo (Jateng) |
106 |
16 |
S. A. Dikit |
25 |
5 |
S.
Serayu |
1667 |
17 |
S. Bt. Hari (Jambi) |
18 –
357 |
6 |
S.
Lusi |
345 |
18 |
S. Musi |
9 –
47 |
7 |
S.
Progo |
400 – 588 |
19 |
S. Tulang Bawang |
175 –
256 |
8 |
S.
Solo (Jatim) |
164 |
20 |
S. Sekampung |
667 |
9 |
S.
Brantas |
8 – 12 |
21 |
S. Paguyaman |
2500 |
10 |
S.
Asahan |
42 |
22 |
S. Randangan |
72 |
11 |
S.
Pasaman |
33 |
23 |
S. Cenranae |
60 –
2000 |
12 |
S.Bt.Hari
(Sumbar) |
139 |
24 |
S. Mapili |
588 |
|
|
|
25 |
S. L. Sampara |
13 |
b.
Koefisien Limpasan (Run-off Coefficient)
Koefisien limpasan adalah rasio jumlah limpasan
terhadap jumlah curah hujan, dimana
nilainya tergantung pada tekstur tanah,
kemiringan lahan, dan jenis penutupan
lahan. Pada daerah aliran sungai
(DAS) berhutan dengan tekstur tanah liat
berpasir, nilai koefisien limpasan berkisar antara 0.10 - 0.30. Pada lahan pertanian
dengan tekstur tanah yang sama, nilai koefisien limpasan adalah 0.30 –
0.50.
Berikut disajikan studi kasus nilai koefisien limpasan di
DAS Ciliwung Hulu. Berdasarkan data
debit dan curah hujan di DAS Ciliwung (Tahun 1981 s/d 2001) terlihat bahwa
debit Sungai Siliwung Hulu adalah 2.363mm/th dengan rata-rata curah hujan
tahunan sebesar 3.519 mm/th. Hal ini
berarti bahwa koefisien limpasan tahunan
di Sub-DAS ini telah mencapai 67 %.
Dapat diperkirakan bahwa
koefisien limpasan maupun kejadian hujan tunggal tidak jauh berbeda.
Dari data hidrograf juga dapat dilihat bahwa koefisien aliran permukaan di
Ciliwung Hulu berkisar antara 60 – 75 % dari total curah hujan. Nilai koefisien limpasan tersebut
menggambarkan bahwa kondisi penutupan lahan oleh hutan di Sub-DAS Ciliwung Hulu
telah mangalamai kerusakan, sehingga memerlukan perhatian serius (Tim IPB,
2002)
c.
Erosi dan Sedimentasi
Sedimentasi merupakan dampak lanjutan dari terjadinya
erosi di daerah hulu sungai, yang diakibatkan oleh limpasan. Hilangnya vegetasi (hutan)
pada suatu daerah aliran sungai,
selain menyebabkan limpasan juga sekaligus
meningkatkan laju erosi. Erosi yang berlangsung secara terus menerus
pada musim hujan dapat menyebabkan
hilangnya lapisan tanah atas (top-soil),
yang kemudian terbawa
aliran sungai dan seterusnya menyebabkan sedimentasi di sungai (pendangkalan
sungai). Disamping itu, erosi juga
menyebabkan menurunnya tingkat kesuburan tanah.
Laju erosi di berbagai DAS saat ini relatif tinggi. Misalnya di Sub-DAS Ciliwung Hulu, secara
kumulatif laju erosi yang terjadi adalah 19.3 ton/ha/tahun, dengan Indeks Erosi
sebesar 1.29 (lebih besar dari 1) yang berarti bahwa (ditinjau dari segi erosi)
DAS tersebut tergolong dalam kondisi jelek.
Kehilangan lapisan tanah atas akibat erosi sebesar 1.6 mm/tahun. Nilai TSS (total suspended solid) dan TDS (total
disolved solid) pada beberapa sungai di Indonesia telah melampaui 100
mg/liter. Hal ini menunjukkan adanya
tingkat erosi yang tinggi di daerah hulu DAS akibat berkurangnya areal hutan (Kementerian
Lingkungan Hidup, 2003).
Sedimentasi juga telah menyebabkan pendangkalan beberapa
danau/setu di Indonesia. Jumlah setu di kawasan Jabotabek telah mengalami
penurunan, yaitu dari 218 situ pada awal tahun 1970, saat ini tinggal tersisa 50 – 100 situ. Danau
sentani di Provinsi Papua sejak tahun 1999 mengalami pendangkalan rata-rata 5
meter per tahun. Danau Tondano di Provinsi Sulawesi Utara pada tahun 1970 titik
terdalamnya mencapai 50 meter, sekarang tinggal sekitar 10 meter. (Kementerian
Lingkungan Hidup, 2003)
Di Kabupaten Bogor, 67 % dari jumlah setu yang ada dalam
keadaan rusak, yaitu akibat adanya gulma, sedimentasi, dan alih fungsi menjadi
kawasan terbangun. Luas setu berkurang
24,59 %, yaitu dari 501 hektar tahun 1995 menjadi 446,67 hektar tahun 2002 (Dirjen
Penataan Ruang Departemen Kimpraswil, 2002)
Kejadian sedimentasi juga terjadi di Segara Anakan. Pada periode Tahun 1987 - 1992 telah
terjadi pengurangan areal seluas 2 490 hektar atau 166 hektar/tahun. Pada periode Tahun 1992 – 2002 telah terjadi
lagi pengurangan areal seluas 600 hektar atau 60 hektar/tahun (Agus Maryono dalam Kementerian Lingkungan Hidup, 2003).
d.
Muka Airtanah (Groundwater
Table)
Penggunaan airtanah berlebihan telah mengakibatkan
terjadinya penurunan muka air tanah, penurunan muka tanah (land subsidence), dan intrusi air laut semakin jauh ke darat. Di
kota Bandung, penurunan muka airtanah pada akuifer menengah (intermediate
well, 40-150 meter) berkisar antara 0,12 – 8,76 meter per tahun dan pada
akuifer dalam (deep well, >150
meter) berkisar antara 1,44 – 12,48 meter per tahun. Di Jakarta (di kawasan
Cengakareng, Grogol, Cempaka Putih, dan Cakung) telah terjadi penurunan muka
airtanah sampai 17 meter (Kementerian Lingkungan Hidup, 2003).
Di Jakarta, penurunan muka airtanah yang dalam dan luas
membentuk sebuah kerucut, terjadi di empat kawasan, yaitu Daan Mogot Barat,
Daan Mogot Timur – Kapuk, Cakung – Cilincing, dan Jalan Raya Bekasi – Pondok
Ungu yang mencapai 40 – 50 meter di bawah permukaan laut. Dibanding tahun 1999,
daerah yang mengalami kerucut penurunan muka airtanah telah bertambah luas,
terutama pada akuifer tengah sesuai dengan peningkatan jumlah pengambilan air
tanah. Gejala amblesan terjadi di hampir seluruh wilayah Jakarta dengan kisaran
10 – 100 cm. Amblesan yang lebih besar dari 80 cm terjadi di daerah Daan Mogot,
Jakarta Barat. (Kementerian Lingkungan Hidup, 2003)
Di Semarang, penurunan muka airtanah lebih dari dua meter
dihitung dari kondisi awal, bahkan terjadi kerucut penurunan muka airtanah pada
kedudukan 20 meter di bawah muka air laut (Kementerian Lingkungan Hidup, 2003).
Di Kabupaten Nganjuk – Jawa Timur, sejak tahun 1996, pada
wilayah Kecamatan Gondang, Rejoso, dan Sukomoro, pompa pada sumur dalam (deep well) harus diturunkan 1 – 3 meter
di bawah permukaan tanah untuk dapat menaikkan airtanah pada musim kemarau. Pada
tahun 1998 pompa harus diturunkan 1 – 5 meter dibawah permukaan tanah untuk
dapat menaikkan air pada musim kemarau. Beberapa sumur dangkal (shalow well) tidak dapat dieksploitasi
pada musim kemarau karena kedalaman sumur yang relatif dalam, yaitu 12 – 20
meter. Eksploitasi sumur airtanah dengan jarak antar sumur yang rapat (lebih
kecil dari jarak optimum) telah meningkatkan penurunan muka airtanah (Liyantono,
2001).
e.
Debit Mata Air
Ekosistem
mata air merupakan salah satu ekosistem lahan basah dan seringkali sebagai
permulaan dari sebuah aliran sungai.
Sumber air ekosistem mata air adalah aliran airtanah yang muncul ke
permukaan tanah secara alami, yang disebabkan oleh terpotongnya aliran airtanah
oleh bentuk topografi setempat dan keluar dari batuan. Pada umumnya mata air muncul di daerah kaki
perbukitan atau bagian lereng, lembah perbukitan, dan di daerah dataran.
Kondisi daerah resapan (recharge area) sangat
berpengaruh terhadap debit mata air dan kualitas airnya. Tata guna lahan pada daerah resapan
berpengaruh langsung terhadap bagian air hujan yang masuk ke dalam tanah
sebagai aliran airtanah (sumber mata air).
Pada saat ini, beberapa daerah resapan mata air (khususnya di P.Jawa)
telah mengalami kerusakan yang mengkhawatirkan.
Beberapa mata air di daerah Bogor, Purwokerto, dan Malang telah
mengalami penurunan debit bila dibandingkan dengan kondisi tahun 1970 an. Apabila tidak ada
upaya pengendalian kerusakan ekosistem mata air, maka dapat dipastikan bahwa pemanfaatan
mata air di masa mendatang akan terganggu.
Penurunan/hilangnya debit mata air juga berarti kerusakan
ekosistem mata air secara keseluruhan sebagai salah satu ekosistem lahan basah.
Di Wilayah Bogor, hingga Tahun 2001 telah terjadi penurunan debit mata air yang
dimanfaatkan oleh PDAM setempat, yaitu sebesar 4 – 15 % (Prastowo, 2001).
II.
KINERJA PEMANFAATAN AIR
Potensi air permukaan di Indonesia adalah sebesar 1.789
miliar m3/tahun. Air permukaan tersebut tersebar pada berbagai badan
air, yaitu 5.886 buah sungai, 186 buah danau/situ dan waduk, sertta rawa seluas
33 juta hektar. (Ditjen Pengairan Dep PU 1994 dalam Laporan Status Lingkungan Hidup Indonesia Tahun 2002). Potensi
airtanah di Indonesia relatif cukup besar, yaitu 4,7 x 109 m3/tahun
yang tersebar di 224 cekungan air tanah. Penyebaran potensi airtanah tersebut
antara lain di Pulau Jawa dan Madura sebesar 1,172 x 109 m3/tahun
(24.9 %); pulau Sumatera 1,0 x 109 m3/tahun (21.3 %);
Pulau Sulawesi 358 x 106 m3/tahun (7.6 %), Papua sebesar
217 x 106 m3/tahun (4.6 %) dan Kalimantan sebesar 830 x
106 m3/tahun (17.7 %); sedangkan sisanya sebesar 1.123 x
106 m3/tahun (23.9 %) berada di pulau-pulau lainnya. (Dit.
Geologi Tata Lingkungan dalam Kementerian
Lingkungan Hidup, 2003)
Total ketersediaan air permukaan dan airtanah di
Indonesia adalah 691 x 109 m3/tahun, tersebar pada
beberapa wilayah. Kebutuhan air pada
Tahun 1995 sebesar 108.8 x 109 m3/tahun, sedangkan
proyeksi kebutuhan pada Tahun 2000 meningkat menjadi 156.4 x 109 m3/tahun. Meskipun secara nasional ketersediaan air
lebih besar dari kebutuhan air, namun beberapa pulau/provinsi telah mengalami
defisit neraca air, yaitu Pulau Jawa
sebesar 32.3x109 m3/tahun dan Bali 1.5x109 m3/tahun. Pada Tahun 2015, selain Pulau Jawa dan Bali,
wilayah yang diperkirakan akan mengalami defisit neraca air adalah Sulawesi dan
Nusa Tenggara Timur (Kementerian Lingkungan Hidup, 2003)
Kebutuhan air terbesar berdasarkan sektor kegiatan adalah
kebutuhan air untuk pertanian (irigasi), domestik, dan industri. Kebutuhan air untuk irigasi pada Tahun 1990
sebesar 74.9 x109 m3/tahun dengan perkiraan peningkatan
sebesar 6.7 % pertahun. Kebutuhan air
untuk keperluan domestik pada Tahun 1990 adalah sebesar 3.1 x109 m3/tahun
dengan proyeksi peningkatan sebesar 6.7 % per tahun, sedangkan kebutuhan air
untuk industri pada Tahun 1990 sebesar 0.7 x 109 m3/tahun
dengan proyeksi peningkatan 12.5 % per tahun (Kementerian Lingkungan Hidup,
2003)
1.
Pemanfaatan Air Untuk
Irigasi
Luas sawah irigasi di Indonesia adalah 4.14 juta hektar atau
sekitar 91 % dari luas petak tersier yang sudah dikembangkan (4.529.292 Ha).
Apabila dibandingkan dengan luas lahan potensial irigasi (7.59 juta hektar),
rasio sawah irigasi dengan lahan potensial sekitar 54 %. Namun apabila dibandingkan dengan luas baku
irigasi (12.335.823 Ha), prosentase sawah irigasi hanya sekitar 34 % (Departemen
Pertanian, 2003). Data tersebut
menunjukkan bahwa efisiensi pemanfaatan air irigasi pada jaringan/infrastruktur
irigasi yang telah dibangun relatif sangat kecil.
2.
Pemanfaatan Air Untuk
Domestik
Jumlah Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) di seluruh
indonesia meningkat dari 432 unit pada tahun 1995 menjadi 465 unit pada tahun
1999.
Distribusi air bersih dari PDAM ke rumah tangga di Indonesia pada tahun 2000 (tidak termasuk
Povinsi Nangroe Aceh Darussalam dan Maluku) meningkat sekitar 10 persen
dibandingkan dengan keadaan pada tahun 1999. Berdasarkan wilayah kepulauan,
persentase tertinggi rumah tangga yang terlayani oleh PDAM pada tahun 2000
adalah di Bali, yaitu sebesar 48,3 persen, dan terendah di Papua sebesar 13.5
persen (Kementerian Lingkungan Hidup, 2003).
Data tahun 2000 menunjukkan bahwa secara nasional
sebagian besar rumah tangga (sekitar 74 persen) menggunakan airtanah sebagai
sumber air minum. Sisanya menggunakan air sungai (3,4 persen), dan sumber lain
(1,4 persen). Penggunaan air sumur tertinggi adalah di Pulau Jawa dan Nusa
tenggara, yaitu sekitar 79 persen rumah
tangga, sedangkan terkecil di Pulau Bali sekitar 46,5 persen rumah tangga. Di
Kalimantan, 45 persen rumah tangga menggunakan air sungai dan air hujan sebagai
sumber air minum. Provinsi Kalimantan Barat merupakan pengguna terbesar air
sungai dan air hujan sebagai sumber air minum rumah tangga, yaitu sekitar 73
persen rumah tangga (Kementerian Lingkungan Hidup, 2003)
Tabel 3. Persentase Rumah Tangga Dengan Sumber Air Minum
Selain Dari PDAM Berdasarkan Wilayah Kepulauan Tahun 2000
NO. |
WILAYAH**) |
AIR
TANAH*) |
AIR
SUNGAI |
AIR
HUJAN |
LAINNYA |
1. |
Sumatera |
70,24 |
5,28 |
7,20 |
1,04 |
2. |
Jawa |
80,52 |
0,67 |
0,40 |
1,69 |
3. |
Bali |
47,84 |
2,06 |
2,06 |
2,45 |
4. |
Nusa
Tenggara |
75,63 |
3,35 |
3,35 |
0,54 |
5. |
Kalimantan |
27,87 |
27,89 |
27,89 |
0,67 |
6. |
Sulawesi |
71,73 |
2,43 |
2,43 |
0,94 |
7. |
Maluku |
- |
- |
- |
- |
8. |
Papua |
55,70 |
18,44 |
18,44 |
0,00 |
TOTAL |
74,21 |
3,42 |
2,78 |
1,42 |
|
|
|
|
|
|
Sumber : BPS,
2000 dalam Kementerian LH, 2003
Keterangan : *) Termasuk
pompa, sumur terlindung dan tak terlindung, serta mata air terlindung dan tak
terlindung
**) Tidak termasuk Propinsi Nangroe Aceh
Darussalam
3. Pemanfaatan Air Untuk Industri
Mengingat keterbatasan kualitas air permukaan yang dapat
dimanfaatkan oleh industri, maka telah terjadi peningkatan penggunaan airtanah
terutama di kota-kota besar di Pulau Jawa, seperti Jakarta, Bandung, Semarang,
dan Surabaya. Pemanfaatan airtanah untuk sektor industri di Kota Bandung
mencapai 66,9 x 106 m3/tahun, dan di Kota Semarang 39.98
x 106 m3/tahun. Penggunaan
airtanah yang berlebihan menyebabkan terjadinya penurunan muka airtanah dan
penurunan muka tanah (land subsidence) di Kota-Kota Jakarta,
Bandung, dan Semarang (Kementerian Lingkungan Hidup, 2003).
III.
STRATEGI DAN ARAH
KEBIJAKAN YANG DIPERLUKAN
Sejalan dengan semangat otonomi daerah yang saat ini cenderung lebih
mengutamakan pendapatan asli daerah, maka pemerintah pusat maupun pemerintah
daerah harus mampu merumuskan kebijakan yang berkaitan dengan pendayagunaan
sumberdaya alam (khususnya DAS), melalui penerapan tiga kriteria pemanfaatan, yaitu : efisien, adil dan
berkelanjutan.
Strategi yang dapat ditempuh oleh pemerintah untuk mencapai tujuan serta
mengatasi berbagai permasalahan sumberdaya air adalah :
1) Perencanaan tata ruang wilayah dengan mempertimbangkan daya dukung
lingkungan, diikuti dengan pentaatan dan penegakkan peraturan secara terus
menerus.
2) Pencegahan dan pengendalian untuk kerusakan DAS (hutan, tanah, dan air)
serta memulihkan/merehabilitasi DAS yang telah mengalami kerusakan
3) Peningkatan kapasitas kelembagaan pemerintah dan masyarakat dalam
pengelolaan DAS dan pemanfaatan air untuk berbagai keperluan
4) Penyelesaian hambatan-hambatan struktural dalam pengelolaan sumberdaya air yang
berkelanjutan.
Strategi tersebut perlu dijalankan secara simultan oleh Pemerintah Pusat
dan Pemerintah Daerah agar laju kerusakan DAS dapat diminimalkan. Pengetahuan dan pemahaman terhadap permasalahan
sumberdaya air harus dimiliki oleh seluruh stakeholders
(pemangku kepentingan). Oleh karena itu
diperlukan pula suatu sistem pengambilan keputusan dan sistem kontrol yang partisipatif,
melalui peranserta para pemangku kepentingan.
Beberapa prinsip yang perlu diterapkan dalam kebijakan
pengelolaan sumberdaya air, adalah prinsip kemanfaatan, prinsip keadilan,
prinsip efisiensi dan partisipasi, serta prinsip legalitas. Kebijakan tersebut hendaknya didasarkan untuk
mengatasi dan mengendalikan
masalah-masalah pokok yang terjadi, dan ditujukan agar berbagai lapisan
masyarakat yang selama ini belum mendapat alokasi cukup atas pemanfaatan
sumberdaya air, dapat mempunyai peluang yang memadai.
DAFTAR
PUSTAKA
Departemen
Pertanian. 2003. Buku Pintar Irigasi. Jakarta.
Ditjen Penataan Ruang
Departemen Kimpraswil. 2002. Kaji Ulang
Penataaan Ruang Kawasan Bopunjur/Kabupaten Bogor Dalam Rangka Mitigasi Banjir
DKI Jakarta. Executive Summary. Jakarta.
Kementerian Lingkungan
Hidup. 2003. Laporan
Status Lingkungan Hidup Tahun 2002.
Jakarta.
Liyantono. 2001. Potensi dan
Pola Pemanfaatan Air Tanah di Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Fateta-IPB, Bogor.
Prastowo. 2001. Kerusakan Ekosistem Mata Air. Makalah Workshop. Bapedal, Jakarta.
Tim IPB. 2002.
Peningkatan Kapasitas Pengelolaan DAS Ciliwung Untuk Pengendalian Banjir
Di Ibukota Jakarta. Makalah Sintesa,
Lokakarya. Pemda DKI, Jakarta.