© 2003 Supijatno i
Posted
Makalah Pribadi
Pengantar
Ke Falsafah Sains (PPS702)
Sekolah Pasca Sarjana, Program S3
Institut Pertanian
Desember 2003
Dosen:
Prof.
Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng
Prof
Dr Ir Zahrial Coto
PEMANFAATAN SUMBERDAYA GENETIK PADI GOGO
UNTUK LAHAN KERING DI BAWAH NAUNGAN
Supijatno
NRP. A361020021 AGR
E-mail: supijatno@yahoo.com
RINGKASAN
Kendala utama dalam pengembangan padi gogo sebagai tanaman sela di bawah
tegakan tanaman di lahan kering ialah rendahnya intensitas cahaya, kekeringan,
keracunan Al dan kahat hara. Oleh karena
itu, diperlukan program pengembangan padi gogo yang memiliki toleransi ganda
(multitoleran) terhadap naungan dan faktor pembatas lainnya (multitoleran) pada
sistem tumpangsari tersebut. Pada saat
ini telah terdapat beberapa potensi genetik (galur-galur) tanaman padi gogo
yang menunjukan tingkat toleransi terhadap masing-masing faktor pembatas
tersebut. Dengan menyeleksi galur-galur tersebut pada kondisi berbagai cekaman
(tanah masam, naungan dan kekeringan), mempelajari mekanisme toleransi sebagai
salah satu penentu karakter seleksi dan persilangan Dialel Selective Matting
dan seleksi Restricted Bulk, kemungkinan memperoleh galur-galur harapan yang
memiliki sifat multi toleran dapat terwujud.
Kata Kunci
: Padi gogo, lahan kering, multitoleran
Pendahuluan
Pada saat ini, masalah ketersediaan beras merupakan
masalah yang cukup memprihatinkan, karena selain perubahan fungsi lahan
pertanian menjadi lahan non pertanian, juga akibat timbulnya masalah baru pada
beberapa saat terakhir ini seperti adanya musim kering yang panjang,
keterlambatan masa tanam dan adanya krisis ekonomi yang menyebabkan harga
saprodi meningkat. Salah satu upaya
untuk mengatasi masalah ini adalah memperluas areal pertanaman padi ke lahan
kering di luar Jawa, di antaranya dengan memanfaatkan lahan kering di bawah
tegakan tanaman perkebunan, HTI atau hutan sosial.
Potensi lahan kering di Indonesia cukup besar, sekitar
50.5 juta ha telah dimanfaatkan, di antaranya 8.6 juta ha untuk tegalan/kebun,
3.2 juta ha ladang/huma, 8.7 juta ha tanaman kayu-kayuan, 12.1 juta ha
perkebunan swasta/negara (BPS, 1999).
Setiap tahunnya sekitar 3-4 % dari areal perkebunan merupakan tanaman
baru (replanting) yang bisa dimanfaatkan untuk pengembangan padi gogo sampai
tanaman perkebunan berumur 4 tahun.
Pengembangan padi gogo untuk
tumpangsari sebagai tanaman sela pada areal di bawah tegakan akan menghadapi
berbagai kendala, yaitu intensitas cahaya yang rendah, kekeringan, pH rendah
dengan Al tinggi serta penyakit blas/karat daun (Pyricularia oryzae Cav.).
Dari semua kendala tersebut, intensitas cahaya yang rendah akan
merupakan faktor pembatas terpenting untuk produksi padi gogo sebagai tanaman
sela dalan sistem tumpangsari tersebut, walaupun demikian perlu diperhatikan
berbagai kendala lainnya. Usahatani padi gogo relatif kurang berkembang, yang
dicerminkan oleh luas pertanaman padi gogo yang tidak meningkat dari tahun ke
tahun, dan malah cenderung menurun sampai tahun 1995. Dengan rata-rata hasil
2.1 ton/ha (1.95-2.17 ton/ha) dewasa ini, sumbangan usahatani padi gogo
terhadap peningkatan produksi padi nasional baru mencapai 6 %, yaitu dengan
produksi nasional hanya sekitar 2.83 juta ton (Harahap et al., 1995). Dibandingkan
dengan hasil padi sawah (rata-rata 4.6 ton/ha), hasil padi gogo jauh lebih
rendah. Hal ini disebabkan terbatasnya
varietas unggul yang dapat dibudidayakan pada lahan marginal, seperti Podsolik
Merah Kuning, sehingga masih banyak petani yang menanam varietas lokal berumur
dalam dengan tingkat produksi yang rendah (<1.5 ton/ha). Tingkat penggunaan varietas unggul padi gogo
yang ada sekarang masih sangat rendah, karena kurangnya ketersediaan benih dan
kurangnya minat penangkar memproduksi benih.
Menurut Kaher (1993), kesulitan peningkatan produksi padi gogo
disebabkan oleh kendala fisik, biologi dan sosial ekonomi. Lahan pertanaman umumnya bereaksi masam
dengan kejenuhan Al tinggi, selain itu sering terjadi kekeringan dan kahat
hara. Sifat-sifat padi gogo yang diinginkan untuk kondisi biofisik semacam itu
adalah berumur genjah hingga sedang,
anakan sedang, batang agak tegak, tahan blas dan toleran Al, kekeringan dan
naungan (Lubis et al., 1993).
Malakah ini
bertujuan menyajikan kemungkinan pengembangan galur-galur harapan padi gogo
yang memiliki sifat multitoleran terhadap kondisi biofisik lahan kering di
bawah naungan melalui evaluasi daya adaptasi galur-galur padi gogo terpilih,
mekanisme fisiologi toleransi dan melakukan persilangan.
Kondisi Lahan Kering Di Bawah Naungan
Pada
lahan kering masalah utama adalah ketersediaan air yang sangat sedikit serta
fluktuasi kadar air tanah yang besar. Hal ini menyebabkan seluruh proses
metabolisme tanaman akan terhambat. Upaya pengembangan padi gogo akan
dihadapkan pada kendala ketersediaan air yang rendah. Toleransi tanaman terhadap cekaman kekeringan
dapat melalui berbagai mekanisme seperti : menghindari stres (drought escape), mempertahankan
potensial air yang tinggi dalam jaringan dan mempertahankan turgor melalui
penyesuaian osmotik (osmotic adjusment) dengan mensintesis senyawa osmotikum
seperti prolin, glycine betaine dan lainnya (Jones et al., 1981). Toleransi tanaman pada umumnya berkaitan
dengan kemampuannya untuk mensintesa garam-garam terlarut seperti prolin dan
glycine betaine.
Tanaman
padi gogo tergolong tanaman perlu cahaya, sehingga kekurangan cahaya berakibat
fatal yaitu terganggunya proses metabolisme yang berimplikasi kepada
tereduksinya laju fotosintesis dan turunnya sintesis karbohidrat (Murty et al., 1992; Watanabe et al., 1993; Jiao et al., 1993; Yeo et al.,
1994). Faktor ini secara langsung mempengaruhi tingkat
produktivitas padi gogo yang rendah di bawah naungan. Hale dan Orcutt (1987)
berpendapat bahwa adaptasi terhadap naungan dapat melalui 2 cara: (a)
meningkatkan luas daun sebagai upaya mengurangi penggunaan metabolit; contohnya
perluasan daun ini menggunakan metabolit yang dialokasikan untuk pertumbuhan
akar, (b) mengurangi jumlah cahaya yang ditransmisikan dan direfleksikan.
Intensitas cahaya juga mempengaruhi bentuk
dan anatomi daun termasuk sel epidermis dan tipe sel mesofil. Perubahan
tersebut sebagai mekanisme untuk pengendalian kualitas dan jumlah cahaya yang
dapat dimanfaatkan oleh kloroplas daun. Daun genotipe padi gogo toleran berbeda
dengan yang peka dilihat dari warna kehijauan (greeness), luas, ketebalan, serta ketegakan dan bentuknya (Sopandie
et al., 1999; Chozin et al., 2000). Selain itu, anatomi daun seperti ukuran
palisade, klorofil dan stomata sangat menentukan efisiensi fotosintesis
(Sahardi, 2000).
Kekuatan melawan degradasi klorofil akibat
kurangnya cahaya sangat penting bagi daya adaptasi terhadap naungan, yaitu
dengan meningkatkan jumlah kloroplas per luas daun (Hale dan Orchut, 1987) dan
dengan peningkatan jumlah klorofil pada kloroplas (Okada et al., 1992). Ini
ditunjukkan oleh genotipe toleran padi gogo
yang memiliki kadar klorofil a dan b lebih tinggi dibanding yang peka
(Chowdury et al., 1994; Sulistyono et al., 1999). Selain itu, Intensitas cahaya mempengaruhi aktivitas
rubisco (Portis, 1992), dimana naungan menyebabkan rendahnya aktivitas rubisco
(Bruggeman dan Danborn, 1993). Genotipe toleran naungan akan memiliki aktivitas
rubisco yang lebih tinggi (Sopandie et al.,
1999 dan 2001a) dan kandungan N terlarut yang lebih rendah (Sulistyono et al., 1999) dibandingkan dengan yang
peka.
Pada intensitas cahaya rendah terjadi
gangguan translokasi karbohidrat. Murty dan Sahu (1987) melaporkan peningkatan
kandungan total amino-N dan N terlarut pada varietas padi yang peka, yang
menyebabkan terganggunya sintesis protein dan rendahnya ketersediaan karbohidrat dan tingginya kehampaan. Galur
toleran padi gogo memperlihatkan kandungan pati pada daun dan batang yang lebih
tinggi daripada yang peka saat dinaungi 50 % saat vegetatif aktif (Sopandie et
al., 1999 dan 2001a).
Pada lahan kering juga ditemui
masalah kahat hara.Kemampuan tanaman untuk dapat menyerap hara dengan baik pada
kondisi cekaman kahat hara, merupakan suatu bentuk adaptasi penghindaran terhadap cekaman kahat hara (Marchsner,
1995). Dengan kemampuan menyerap hara yang
tinggi pada kondisi cekaman kahat hara, tanaman dapat tetap mempertahankan kandungan
hara dalam jaringan tanaman, sehingga menghindarkan jaringan yang aktif
bermetabolisme dari kondisi cekaman hara.
Penyerapan hara yang efisien sangat ditentukan oleh morfologi akar. Genotipe yang efisien umumnya mempunyai
nisbah akar tajuk yang besar (Vose, 1990; Duncan dan Baligar, 1990).
Hasil
penelitian Jagau (2000) dan Trikoesoemaningtyas (2001) menunjukkan bahwa
terdapat keragaman dalam efisiensi hara N, dan K diantara galur-galur padi
gogo. Galur-galur landrace seperti
Krowal dan Banih Kuning mempunyai tingkat efisiensi hara yang lebih baik
dibandingkan varietas unggul padi gogo.
Potensi Genetik Padi Gogo
Dari gambaran
tersebut dapat dijelaskan bahwa pengembangan padi gogo dihadapkan pada berbagai
kendala yang sangat kompleks, sehingga diperlukan perbaikan varietas yang
berdaya hasil tinggi dengan sifat
multitoleran terhadap faktor biofisik di lahan kering yang ternaungi
seperti diuraikan di atas. Lubis et al. (1993), menyatakan bahwa untuk
pengembangan padi gogo sebagai tanaman sela di bawah tegakan, diperlukan
varietas berumur sangat genjah hingga sedang (80-120 hari), tinggi tanaman
110-125 cm, anakan sedang, bentuk batang agak serak, tahan blas, toleran Al,
toleran kekeringan dan naungan.
Perbaikan
varietas padi gogo untuk lahan kering telah dilakukan cukup lama oleh beberapa
peneliti (Lubis et al., 1993; Kaher,
1993; Lubis et al., 1994; Harahap dan
Lubis, 1995; Suwarno dan Lubis, 1995; Harahap et al., 1995). Sebagai contoh adalah Varietas Jatiluhur diketahui
toleran terhadap naungan. Potensi hasil
varietas ini berkisar antara 2.5 - 3.5 ton/ha pada berbagai kondisi yang
beragam, lebih tinggi dari varietas dodokan (1.0 - 3.9 ton/ha). Pada kondisi ternaungi 40 %, varietas
Jatiluhur masih mampu berproduksi 2.0 ton/ha, 65 % lebih tinggi dari
Dodokan. Selain toleran naungan,
varietas Jatiluhur juga tahan penyakit blas, berumur genjah (102-110 hari),
namun tidak toleran terhadap cekaman Al, serta rasa nasinya pera (Harahap et al., 1995). Beberapa galur seperti
IRAT, Gajah Mungkur dan Selir Pikit yang dihasilkan oleh Balai Penelitian Padi
menunjukan sifat-sifat tang toleran terhadap kekeringan.
Tim peneliti
IPB telah mengembangkan padi gogo sebagai tanaman sela untuk sistem tumpangsari
tersebut, yaitu dengan melakukan penelitian pada aspek fisiologi, genetik,
pemuliaan dan biologi molekuler untuk toleransi terhadap naungan (Chozin et al.,
1998, 1999, 2000; Sopandie et al.,
1999; 2001a, 2001b). Hasil penyaringan terhadap 200 nomor pada berbagai kondisi
naungan menghasilkan 25 genotipe toleran. Pada saat ini telah diperoleh populasi 21
kombinasi antar tetua toleran naungan, toleran Al dan efisien hara dan toleran
kekeringan (Trikoesoemaningtyas,2001).
Selain itu, hasil penelitian Triekoesoemaningtyas (2001) menunjukan
bahwa galur Krowal, Grogol, Banih Kuning dan Hawara Bunar relatif toleran
terhadap kecaman tanah masam dengan Al tinggi.
Namun demikian, evaluasi terhadap daya
adaptasi yang lebih luas (multitoleran) pada sistem tumpangsari tersebut
seperti toleran cahaya rendah sekaligus toleran Al dan pH rendah dan toleran
kekeringan belum pernah dilakukan secara terintegrasi. Tersedianya keragaman
dalam sifat toleransi diantara galur-galur padi gogo memungkinkan untuk
dilakukannya seleksi dan pemuliaan untuk mendapatkan varietas padi gogo dengan
tingkat efisiensi hara yang tinggi untuk menunjang pertanian berkelanjutan (low input sustainable agriculture) di lahan kering.
Rekombinasi Genetik Melalui Persilangan Buatan
Langkah pertama
dari suatu program pemuliaan tanaman adalah mengidentifikasi populasi tanaman
yang menunjukkan keragaman genetik yang cukup besar dari sifat atau kombinasi
sifat tertentu. Pembentukan rekombinasi melalui persilangan pemilihan tetua
merupakan tahapan terpenting Pemilihan tetua sangat penting karena akan
menentukan besar dan bentuk keragaman pada generasi F2 dan menentukan batas
keberhasilan seleksi pada generasi bersegregasi (Allard, 1960).
Pemilihan
tetua dilakukan dengan memperhatikan karakter-karakter yang dikehendaki dalam
tujuan pemuliaan padi gogo ini yaitu untuk adaptasi terhadap kondisi biofisik
di lahan kering di bawah naungan. Kultivar padi gogo yang beradaptasi terhadap
kondisi lahan kering juga harus resisten terhadap penyakit blas daun.
Untuk sifat
ketahanan terhadap naungan pemilihan tetua dapat berdasarkan hasil penelitian
Chozin et al. (1998) seperti varietas
Jatiluhur sebagai tetua tenggang naungan.
Untuk sifat ketenggangan terhadap cekaman Al pemilihan tetua dilakukan
berdasarkan deskripsi karakter hasil penelitian Makmur et al. (1999) dan Jagau (2000) yaitu Krowal, B8503E-TB-9-0-3,
dan CT6510-24-1-3 mewakili sifat
ketahanan terhadap cekaman Al dan efisiensi hara. Untuk sifat tahan kekeringan
dapat digunakan Gajah Mungkur sebagai tetua tenggang kekeringan dan Situgintung
sebagai tetua tahan penyakit blas daun.
Untuk penggabungan beberapa sifat ketahanan diperlukan
rancangan persilangan yang memungkinkan terjadinya rekombinasi yang luas.
Dengan Rancangan Dialel Selective Mating (DSM) memungkinkan terjadinya
rekombinasi yang lebih luas karena digunakannya tetua dalam jumlah yang lebih
banyak (Stoskopf et al., 1993). Selain itu rancangan DSM juga memungkinkan
masuknya tetua-tetua baru dalam setiap seri dialel. Metode persilangan ini
selain dapat membentuk populasi dasar untuk seleksi bulk juga dapat dilanjutkan
untuk membentuk rekombinasi baru yang lebih luas dengan melakukan persilangan
antar generasi F1 dalam seri persilangan dialel yang kedua dan seterusnya. Dari setiap seri persilangan dialel dapat
dilakukan pembentukan populasi bulk dan dilakukan seleksi. Metode ini telah
dilakukan (Surjono et al., 2001)
dimana dari persilangan separuh dialel dari 6 tetua diperoleh 15 kombinasi
persilangan.
Metode Seleksi Bulk
Pewarisan
sifat adaptasi terhadap cekaman lingkungan abiotik, umumnya dikendalikan oleh
gen-gen poligenik dengan pola pewarisan yang tidak sederhana melibatkan tidak
saja aksi gen-gen aditif tetapi juga interaksi gen epistasis (Jagau, 2000;
Trikoesoemaningtyas,2001). Dengan pola pewarisan yang kompleks, seleksi
terhadap sifat adaptasi terhadap tanah masam tidak dapat dilakukan pada
generasi awal, tetapi harus dilakukan pada generasi lanjut.
Metode pemuliaan dengan populasi bulk merupakan metode
yang ekonomis dalam menghasilkan galur-galur yang homozigot untuk kemudian
diseleksi. Metode ini memberikan
keuntungan jika diterapkan dalam pemuliaan untuk sifat-sifat kuantitatif yang
memerlukan seleksi pada generasi lanjut (Poelhman, 1986). Metode populasi bulk juga memberikan seleksi
awal berupa tekanan seleksi bagi genotipe-genotipe yang kurang adaptif dan
mempunyai nilai agronomi yang buruk pada saat
pembentukan bulk dimana genotipe akan ditanaman pada kerapatan yang
tinggi sehingga menimbulkan persaingan antar genotip sebagai tekanan seleksi
alam.
Dari segi waktu diperlukan kurang lebih 3
sampai 4 tahun untuk memperoleh galur-galur harapan padi gogo yang memiliki
sifat multi toleran. Pada tahun pertama merupakan tahap awal untuk mengevaluasi
galur-galur tetua (yang tadinya hanya memiliki satu sifat toleransi) pada
kondisi multi cekaman (kekeringan, tanah masam dan naungan) dan pada tahun ini
juga dimungkinkan untuk dilakukan persilangan dari tetua-tetua yang terpilih
hasil evaluasi. Pada tahun kedua dapat dilakukan evaluasi terhadap F1 hasil
persilangan tetua. Evaluasi ini lebih
diarahkan mencari karakter fisiologi yang dapat digunakan untuk seleksi
hasil-hasil persilangan selanjutnya. Pada tahun ini juga dilakukan persilangan
dialel dengan tujuan menggabungkan karakter yang diinginkan. Pada tahun ketiga
dilakukan pembentukan populasi bulk dengan metode restrited bulk. Salah satu kriteria yang digunakan untuk
seleksi adalah hasil evaluasi fisiologi.
Pembentukan popuilasi terus dilakukan sampai dengan generasi ke 5. Setelah itu calon galur yang terpilih,
diseleksi pada kondisi multi cekaman untuk mendapatkan galur-galur harapan.
Penutup
Dari segi sumberdaya genetik yang ada
serta metode untuk pelaksanaan persilangan dan seleksi untuk mendapatkan
galur-galur harapan yang memiliki sifat multi toleran maka pengembangan padi
gogo untuk lahan karing di bawah naunngan mungkin untuk dilakukan. Masalahnya diperlukan waktu yang cukup lama
dan kesabaran yang tinggi untuk mewujudkan hal ini.
Pustaka Acuan
Allard, R.W. 1960.
Principles of Plant Breeding. John Wiley and Sons. Inc. NY.
Biro Pusat Statistik. 1999.
Statistic of Year 1999. BPS. Jakarta.
Bruggeman, W. and B. Dunborn. 1993. Long term chilling of young tomato plants
under low light. III. Leaf development as reflected by photosynthesis
parameters. Plant Cell Physiol. 73:507-510.
Chozin, M.A., D. Sopandie, S. Sastrosumarjo dan Suwarno. 1998. Physiology and genetic of upland rice adaptation to shade. Report of Graduate Team Research Grant, URGE Project. Directorate General of Higher Education, Ministry of Education and Culture.
Chozin, M.A., D. Sopandie, S. Sastrosumarjo dan Suwarno. 1999.
Physiology and genetic of upland rice adaptation to shade. Report of Graduate Team Research Grant, URGE
Project. Directorate General of Higher
Education, Ministry of Education and Culture.
Chozin, M.A., D. Sopandie, S. Sastrosumarjo dan Suwarno. 2000.
Physiology and genetic of upland rice adaptation to shade. Final Report of Graduate Team Research Grant,
URGE Project. Directorate General of
Higher Education, Ministry of Education and Culture.
Duncan, R. R. And V. C. Baligar. 1990. Genetics, breeding, and physiological mechnism of nutrient uptake and use efficiency: An overview. In. V.C. Baligar and R.R. Duncan (eds.) Crop as Enchancer of Nutrient Use. Academic Press Inc. San Diego.
Hale, M. G. and D.M. Orcutt. 1987. The Physiology of Plants under Stress. John Wiley and Sons, New York. 206p.
Harahap, Z., Suwarno,
E. Lubis dan T.W. Susanto. 1995. Padi Unggul Toleran Kekeringan
dan Naungan. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Litbang Pertanian. 21hal.
Harahap. Z dan E. Lubis. 1995. Pengembangan Padi Gogo sebagai Tanaman Sela
di Daerah Perkebunan. Balittan, Bogor.
Jagau, Y. 2000. Fisiologi dan Pewarisan Efisiensi Nitrogen dalam Keadaan
Cekaman Aluminium pada Padi Gogo (Oryza
sativa L.). Disertasi. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor,
Bogor.
Jiao, D.M., H.Y. Tong, and J.X. Zhang.
1993. Identification of photosynthetic
characteristics adapted to wide range of light intensities in rice
varieties. Chinese J. Rice Sci. 7(4):243-246.
Kaher, A. 1993. Perbaikan Varietas Padi Gogo pada
Lahan Kering Marginal. Dalam M. Syam, Hermanto,
A. Musaddad dan Sunihardi (Eds.), hal.448-459. Kinerja Penelitian Tanaman Pangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Badan Litbang Pertanian.
Lubis, E., Z. Harahap,
M.Diredja dan B. Kustianto.
1993. Perbaikan
Varietas Padi Gogo. Dalam M. Syam, Hermanto, A. Musaddad dan Sunihardi (Eds.), hal. 437-447. Kinerja Penelitian Tanaman Pangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Badan Litbang Pertanian.
Makmur, A.,D. Sopandie,
H. Aswidinoor dan Sutjahjo, S.H.
1999. Breeding upland rice for
adaptation to acid soil: Physiology and inheritance of nutrient element
efficiency under alluminium stress condition. Final Report.
URGE –Graduate Team Research Grant Batch II.
Marschner, H. 1995. Mineral Nutrition of Higher
Plants. 2nd ed. Academic Publisher. London.
Murty K.S., S.K. Dey, P.
Swain, and M.J. Baig. 1992.
Low light adapted restorers of different maturity durations for hybrid
rice breeding. Int. Rice Res.
Newsletter. 17(6):6-7.
Murty, K.S. and G. Sahu. 1987. Impact of low light stress on growth and
yield of rice. p. 94-100. In S.K. Dey and M.J. Baig (Eds.), pp
94-100. Weather and rice, Proc. International workshop on impact of weather
parameters on growth and yield of rice.
IRRI. Los Banos. Phillippines.
Okada, K.,
I. Yasunori, S. Kazuhiko, M. Tadahiko
and K. Sakae. 1992. Effect of light on degradation of chlorophyll
and proteins during senescence of detaches rice leaves. Plant Cell Physiol.
33(8):1183-1191.
Poelhman, J.M. 1987. Breeding Field Crop. An Avi
Book. NY.
Sahardi. 2000. Seleksi Plasmanutfah dan Karakter Morfologi
dan Pola Pewarisan Sifat Toleransi Terhadap Naungan pada Padi
Gogo. Disertasi Doktor. Program Pascasarjana,
IPB
Sopandie, D. M. A Chozin, S. Sastrosumarjo,
Suwarno, A.P. Lontoh and T.
Takano. 1999. Upland rice tolerance to shade: Field
screening and preliminary study on physiological mechanisms. Proceeding of
International Plant Breeding Symposium.
Okayama, September 25-26, Japan.
Sopandie, D., M.A Chozin,
N. Khumaida and T. Takano. 2001a. Differential shading tolerance of upland rice
genotypes related to morphological responses, Rubisco
activity and its gene expression.
Breeding Sci.
(Submitted).
Sopandie, D., N. Khumaida
dan T. Takano.
2001b. Adaptasi
kedelai terhadap cekaman naungan: Ekspresi gen fotosintetik
pada beberapa genotipe kedelai toleran. Simposium Pemuliaan Tanaman Lingkungan Spesifik, Cekaman Abiotik dan Biotik. Jurusan Budidaya Pertanian, Faperta-IPB.
Auditorium Rektorat, IPB, 24-25 April 2001
Sulistyono, E., D. Sopandie,
M.A. Chozin dan Suwarno. 1999. Adaptasi padi gogo terhadap
naungan: Pendekatan morfologi dan fisiologi. Communicationes agriculturae (COMM AG) Vol. 4(2): 62-68.
Sutjahjo, S.H et al., 2001. Pemuliaan padi gogo bagi adaptasi terhadap tanah masam : Seleksi
dengan metode populasi bulk dan penanda molekular Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD).
Laporan Kemajuan RUT
VIII.1
Suwarno dan E. Lubis. 1995.
Uji daya hasil dan adaptasi
galur harapan padi gogo di wilayah perkebunan. Balittan, Bogor.
Trikoesoemaningtyas. 2001. Fisiologi dan Pewarisan Sifat Efisiensi Kalium dalam Keadaan Tercekam
Aluminium pada Padi Gogo (Oryza sativa L.). Disertasi. Program Pasca Sarjana.
Institut Pertanian Bogor.
Vose, P.B. 1990. Plant nutrition relationship
at the whole plant level. In. V.C. Baligar and R.R.
Duncan (eds.) Crop as Enchancer of Nutrient Use.
Academic Press Inc. San Diego.
Watanabe,
N., C. Fujii, M. Shirota,
and Y. Furuta.
1993. Changes in chlorophyll, thylakoid proteins and photosynthetic adaptation to sun and
shade environments in diploid and tetraploid Oryza punctuata Kotschy and diploid Oryza eichingeri
Peter. Plant Physiol.
Biochem. Paris. 31(4):469-474.
Yeo M.E., A.R. Yeo, and T.J.
Flowers. 1994.
Photosynthesis and photorespiration in the genus oryza. J. Exp. Bot. 45
(274):553-560.