© 2003  Wilson Novarino                                       Posted, 12 November 2003
Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS702)

Program Pasca Sarjana / S3

Institut Pertanian Bogor

November  2003

 

Dosen:

Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng (Penanggung Jawab)

Prof. Dr. Zahrial Coto

 

 

PERSEPSI LINGKUNGAN DALAM FALSAFAH ADAT MINANGKABAU

 

 

Oleh:

 

Wilson Novarino

E 061030051/IPK

e-mail : wilson_n_id@yahoo.com

 

PENDAHULUAN

Adat Minangkabau yang dipusakai turun temurun  telah menyusun dan mengatur masyarakat baik dibidang ekonomi, sosial, pemerintahan, budaya dan kepercayaan. Aturan-aturan adat ini disampaikan secara lisan dalam kiasan-kiasan pantun yang tumbuh dalam masyarakat Minangkabau. Penyampaian secara lisan ini dikenal dengan istilah Tambo, sehingga lebih jauh paparan mengenai adat Minangkabau dikenal dengan istilah Tambo Adat Minangkabau. Jika ingin memahami aturan-aturan adat yang penuh kiasan ini, kita tentunya harus mengetahui sifat unsur yang diambil sebagai perumpamaan didalam pantun-pantun tersebut.

Tulisan ini merupakan telaah pemahaman  masalah lingkungan dalam pemakaiannya sebagai kiasan dalam adat Minangkabau. Unsur-unsur tersebut  biasanya berupa faktor lingkungan (baik biotis maupun abiotis) yang tersebar disekeliling masyarakat Minangkabau. Hal ini terlihat jelas dalam dasar utama proses pembelajaran dan penyusunan adat istiadat di Minangkabau yang dinyatakan dalam pantun berikut;

Panakiak pisau sirauik, Ambiak galah batang lintabuang, Silodang ambiak ka nyiru

Nan satitiak jadikan lauik, Nan sakapa jadikan gunuang, Alam takambang  jadi guru

(Untuk menakik ambil pisau siraut, untuk galah batang lintabuang, Selodang untuk  niru. Setetes air jadikan laut, sekepal tanah jadikan gunung, alam terkembang jadikan guru).

Pantun diatas merupakan landasan utama dalam penyusunan adat Minangkabau, yaitu menjadikan alam sekitar sebagai guru, masyarakat Minangkabau diminta untuk membaca, merenungkan, dan mempelajari  apa-apa yang ada disekitarnya kemudian mempergunakannya sesuai dengan sifat unsur tersebut. Seperti untuk galah haruslah diambil batang yang lurus, liat dan kokoh sedangkan untuk niru sebaiknya digunakan selodang. Kemampuan untuk mempelajari tanda-tanda alam ini, menurut tatanan adat Minangkabau juga merupakan suatu ilmu. Dalam tatanan adat Minangkabau ilmu dibagi atas empat yaitu; tahu pada diri, tahu pada orang, tahu pada alam dan tahu pada Allah SWT (Hakimy, 1997).

 

LINGKUNGAN DALAM ADAT MINANGKABAU

            Sebagai salah satu negara “megadiversity country” Indonesia memiliki berbagai budaya tradisional yang berkaitan dengan pengetahuan dan pemanfaatan keanekaragaman hayati dalam lingkungannya. Budaya ini akan sangat berbeda diantara masing-masing suku bangsa, dan biasanya merupakan suatu harmoni antara masyarakat dan ekosistem yang ditempatinya. Interaksi alamiah antara penduduk lokal dengan lingkungannya disadari memiliki peranan penting dalam upaya perlindungan lingkungan, sehingga     banyak ilmuwan yang mulai tertarik untuk mengkaji pengetahuan pribumi (indigenous knowledge) dan pemahaman lingkungan oleh masyarakat setempat.

Minangkabau merupakan salah satu suku bangsa di Indonesia yang mendiami daerah yang dikenal dengan Sumatera Barat sekarang ini. Minangkabau berasal dari kata “Minang” yang berarti kemenangan dan  “Kabau” yang berarti kerbau. Penamaan ini berhubungan dengan sejarah terbentuknya Minangkabau yang diawali dengan kemenangan dalam suatu pertandingan adu kerbau, untuk mengenang kisah ini, masyarakat Minangkabau juga mewujudkan dalam bentuk atap rumah adat (Rumah Bagonjong) dan pakaian wanitanya (Baju Tanduak Kabau). Hal yang paling terkenal dari masyarakat Minangkabau adalah pola garis keturunannya yang bersifat Matrilineal dan kecenderungan masyarakatnya untuk merantau (Rice, 1998). Sistem garis keturunan ini sangat baik untuk kaum perempuan, karena tingkat perlindungan yang diberikan akan lebih tinggi dibandingkan sistem patrilineal, terutama jika terjadi kasus perceraian (Osakada, 1995).

Keunikan-keunikan sistem adat di Minangkabau ini sangat dipahami oleh pemerintahan Belanda sewaktu menjajah Indonesia. Sehingga dalam pengembangan perkebunan kopi di Minangkabau, pemerintahan Belanda melakukan pendekatan-pendekatan yang sesuai dengan pola adat yang berlaku (Allen, 2001). Pola ini sayangnya tidak dipahami oleh pemerintah Indonesia dizaman kemerdekaan sehingga muncul beberapa konflik (Hadller, 1998). Sistem dan  tatanan pemerintahan tradisional Minangkabu diubah dengan sistem nasional dengan ditetapkannya Undang-undang No 5 tahun 1979 tentang pemerintahan daerah yang mulai diterapkan di Sumatera Barat pada tahun 1983.

Pemberlakuan Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 mengenai Otonomi Daerah, memungkinkan kesalahan-kesalahan ini   diperbaiki oleh pemerintah daerah, dengan kembali menata ulang pemerintahan pada tingkat lokal sesuai   tatanan adat yang ada. Dengan gerakan “Babaliak Ka Nagari” atau kembali ke sistem pemerintahan Nagari (pola pemerintahan sesuai adat Minangkabau), mengharuskan masyarakat Minangkabau mempelajari kembali tatanan adat yang   bagi sebagian kalangan masyarakatnya sudah tidak difahami lagi.

Gambar 1. Rumah adat Minangkabau

 

            Dalam tatanan masyarakat Minangkabau dikenal adanya suatu tuntunan hidup yang dikenal sebagai Adat. Adat merupakan suatu aturan cara hidup yang disampaikan secara lisan dari generasi ke generasi yang harus dipatuhi oleh seluruh masyarakat dengan sanksi pelanggaran berupa sanksi sosial dan denda sesuai tingkatan kesalahan yang dilakukan. Aturan-aturan adat ini mengatur seluruh aspek kehidupan, mulai dari aturan dalam lingkungan keluarga, hubungan antara individu, perkawinan, harta warisan, bermasyarakat dan pemerintahan. Tatanan yang dibuat dan dijalankan biasanya telah disesuaikan dengan sistem alami yang berlaku dalam ekosistem disekitarnya, sehingga terlihat aturan-aturan tersebut sangat memperhitungkan konsep-konsep ilmu lingkungan. Sebagai contoh syarat suatu kelompok masyarakat diakui sebagai nagari (setingkat dengan desa)   adalah apabila telah memenuhi syarat sebagai berikut :

Nagari bapaga dangan undang, kampuang bapaga jo pusako, dibari basasok bajurami, balabuah batapian, bapandam bapakuburan, bakorong bakampuang,

barumah batanggo, babalai bamusajik,

(Negeri berpagar dengan undang-undang, kampung dibatasi oleh pusaka, diberi sasok dan jerami, punya jalan dan tepian, punya pekuburan, ada korong dan kampung, rumah tangga, balairung dan mesjid)

            Pantun diatas jelas menyatakan bahwa  suatu negeri harus diatur dengan undang-undang, mempunyai batas yang jelas, serta mempunyai kelengkapan sarana dan prasarana perekonomian (jalan, sawah dan ladang), sosial (tepian pemandian, lokasi pemakaman, tempat tinggal, kampung), hukum (balairung) dan keagamaan (mesjid). Hampir seluruh perkampungan tradisional yang ada di Minangkabau sekarang ini masih menunjukkan berlakunya aturan tersebut, walaupun pada beberapa daerah kelengkapan tersebut tidak bisa berperan sesuai fungsinya.

            Dalam penyusunan suatu perkampungan, penempatan fasilitas-fasilitas sosial tersebut juga memperhatikan aspek lingkungan dan kondisi masyarakat. Hal ini terlihat jelas apabila kita memperhatikan lokasi yang ditetapkan sebagai tempat pembangunan mesjid pada masa dahulu. Sebahagian besar mesjid-mesjid tua yang ada di Minangkabau biasanya terletak dekat dengan sumber air dan dengan sistem pengairan yang baik. Hal ini tentunya sangat terkait dengan kenyataan bahwa air sangat diperlukan dalam pelaksanaan kegiatan ibadah umat islam. Balairung biasanya ditempatkan pada lokasi dengan aksessibilitas yang tinggi bagi masyarakat dan dengan bentuk bangunan yang mempunyai banyak jendela atau terbuka yang menyiratkan bahwa setiap persidangan adat dan hukum bersifat terbuka bagi seluruh masyarkat, dan masyarakat bisa melihat kinerja pemimpinya.

Dalam penentuan peruntukan suatu areal, tatanan adat Minangkabau juga sudah mengenal adanya prinsip konservasi landsekap, hal ini tercermin dalam pantun berikut :

Nan lunak ditanam baniah, nan kareh dibuek ladang, nan bancah palapeh itiak, ganangan ka tabek ikan, bukik batu katambang ameh, tambang timbago dengan perak, tambang batubaro dengan minyak, batanam nan bapucuak mamaliharo nan banyawa, sawah batumpak dinan data, ladang babidang din nan lereang, banda baliku turun bukik

(Yang lunak ditanami benih, yang keras jadikan ladang, yang basah tempat melepas itik, genangan untuk memelihara ikan, bukit batu untuk tambang emas, tembaga, perak, batubara dan minyak, bercocok tanam tumbuhan, memelihara yang bernyawa, sawah berpetak di tempat yang datar, ladang berbidang di tempat yang lereng, selokan berliku menuruni bukit)

            Pantun diatas, selain menyiratkan pengertian yang mendalam mengenai azas pemanfaatan berdasarkan keunikan masing-masing unsur, secara nyata juga menjabarkan pentingnya rencana tata ruang wilayah. Pembuatan ladang didaerah yang lereng tentunya akan bisa mengurangi laju erosi karena ladang di Minangkabau bersifat tahunan dan dengan pola tanam secara “multi layer tree species” sehingga mendekati stratifikasi hutan alami (Syahbuddin, Noviandi and Yoneda, 1996).

Pemilihan lokasi untuk berladang dan bersawah, secara tradisional juga dilakukan berdasarkan pengamatan terhadap kondisi tanah, seperti tekstur, warna dan fisiographinya, konsepsi-konsepsi tradisional ini ternyata sejalan dengan konsep-konsep didalam ilmu tanah (Kamidouzono, Ishida, Rasyidin, Hutagaol and Wakatsuki, 1997). Sedangkan untuk sistem pengairan sawah telah dilakukan pembuatan sistem irigasi yang mengikuti kontur daerah sekitarnya. Pemanfaatan genangan alami sebagai kolam tentunya akan bisa mengatasi berbagai kendala dengan sistem perairan, karena tempat itu tentulah berada didaerah cekungan   yang merupakan bagian sistem pengairan alami.

Pantun diatas juga menunjukkan bahwa sebenarnya untuk pemenuhan kebutuhan perekonomiannya masyarakat Minangkabau lebih dititikberatkan kepada upaya budidaya baik itu tanaman (sawah, ladang) ataupun beternak (ikan, itik dan lain-lain) serta kegiatan pertambangan. Sedangkan kemampuan masyarakat Minangkabau dalam bidang perdagangan besar kemungkinan ada kaitannya dengan kebiasaan hidup merantau yang dilakoni oleh kaum mudanya.

Masyarakat Minangkabau juga memberikan penghargaan yang besar terhadap fungsi sebatang pohon. Hal ini tercermin dari pantun adat yang mengibaratkan fungsi seorang pemimpin dikalangan masyarakat sebagai fungsi sebatang pohon ditengah kampung. Secara lengkap seperti tercantum pada pantun berikut ini :

Kayu gadang ditangah koto, ureknyo tampek baselo, batang gadang tampek basanda, dahan kuaik buliah bagantuang, daun rimbun buliah balinduang, buah labek dapek dimakan, tampek balinduang kapanehan, tampek bataduah kahujanan.

(Kayu besar ditengah koto, akarnya tempat duduk bersila, batang besar untuk bersandar, dahan kuat untuk bergantung, daun rimbun untuk berlindung, buah lebat bisa dimakan, tempat berlindung kepanasan, berteduh kehujanan)

            Dalam pantun diatas terlihat betapa tingginya pemahaman masyarakat Minangkabau dahulu terhadap arti penting sebatang pohon, dan kemampuan mereka untuk memanfaatkan bagian-bagian pohon tersebut sesuai dengan “keunikannya”. Pantun diatas selain menyiratkan bahwa seorang pemimpin harus bisa mengayomi masyarakat dalam berbagai keadaan, secara lahiriah juga menunjukkan arti penting perlindungan yang dapat diberikan sebatang pohon. Kesadaran akan pentingnya perpohonan ini juga tercermin dalam kebiasaan pada beberapa daerah di Minangkabau untuk menanam pohon Surian (Toona sureni) yang dilakukan jika lahir seorang anak perempuan dalam suatu keluarga.

Secara tradisional berbagai jenis tumbnuhan yang ada disekitarnya juga telah dimanfaatkan oleh masyarakat Minangkabau sebagai bahan pengobatan tradisional. Berbagai jenis tumbuhan yang sering digunakan dalam upaya pengobatan biasanya ditanam dipekarangan rumah ataupun ladang disekitar rumah yang secara lokal dikenal dengan nama “Parak”. Didalam “Parak” ini jugalah biasanya berbagai jenis tumbuhan buah-buahan dan bumbu dapur ditanam. Pada perkampungan tradisional sampai saat ini setiap rumah masih memiliki “Parak” yang biasanya ditempatkan dibagian belakang rumah, sehingga memudahkan pemanenannya.

            Ketentuan-ketentuan adat secara nyata juga telah mengatur peruntukan lahan hutan sebagai ulayat, hal ini tercermin dalam pantun berikut:

Sekalian nego hutan tanah, baiakpun jirek nan sabatang, baiak pun rumpuik nan sahalai, baiak pun kasiak nan saincek, kabawah sampai takasiak bulan,

kaateh nyato taambun jantan, pangkek panghulu punyo ulayat

( Semua yang tumbuh di tanah hutan, baik itu sebatang pohon “Jirek”, ataupun sehelai rumput, sebutir pasir, kebawah sampai kedalam bumi, keatas sampai keangkasa, adalah ulayat kepunyaan penghulu ).

Penguasaan hutan ulayat oleh penghulu menunjukkan adanya sistem konservasi yang sangat baik. Status ulayat menunjukkan kedudukan yang tinggi, harta ini diakui sebagai “pusaka tinggi” yang tidak bisa diperjual belikan, kecuali dalam kondisi khusus sesuai aturan adat, untuk memasukinya harus minta izin secara adat, pengambilan hasil hutan baru bisa dilakukan setelah adanya musyawarah dan mufakat diantara kaum suku yang memiliki ulayat tersebut. Pantun ini juga menunjukkkan sudah adanya antisipasi terhadap konflik antara hutan lindung dan pertambangan seperti yang terjadi pada beberapa kawasan dewasa ini.

Ketentuan-ketentuan hukum hutan ulayat sekarang  ini telah dimasukkan dalam Undang-undang no 41 tahun 1999 mengenai Kehutanan. Sistem hutan ulayat ini tentunya juga sangat cocok dengan sistem “social forestry” yang tengah dikembangkan oleh pihak Departemen Kehutanan. Kesadaran melindungi hutan disekitarnya ini menjadikan Propinsi Sumatera Barat sampai saat ini masih mempunyai luas tutupan hutan yang cukup luas dibandingkan kawasan lain di Sumatera.

Walaupun demikian, masyarakat adat tidak menafikan pengambilan hasil alam. Pemanenan sumber daya alam, demi pemenuhan kebutuhan hidup merupakan hal yang mutlak dilakukan, seperti tercermin dalam pantun berikut;

Kasawah babungo ampiang, karimbo babungo kayu, kasungai babungo batu,

katambang babungo ameh

(Kesawah berbunga Emping, ke hutan berbunga kayu, ke sungai berbunga batu, ke tambang berbunga emas)

Pantun diatas menunjukkan bahwa setiap upaya ekonomi yang dilakukan akan memberikan hasil sesuai dengan usaha yang dilakukan. Untuk kelangsungan pemanenannya tentulah harus diperhatikan keberlanjutan sumberdaya tersebut sehingga yang diambil adalah “bunga”-nya, bukan batang atau pokoknya.

Dalam menggambarkan perilaku negatif yang dimiliki seseorang, dalam penyampaiannya, masyarakat Minangkabau juga terbiasa untuk menggunakan kiasan dari tanda-tanda alam, seperti tercermin pada pantun berikut:

Bak balam talampau jinak, bak damuik badak jantan bak si riang-riang asam

(Seperti burung Balam terlalu jinak, seperti kulit Badak jantan, seperti riang-riang asam)

 

            Pada pantun diatas terlihat kemampuan membaca sifat-sifat yang dimiliki oleh tumbuhan, hewan liar maupun hewan yang sudah dipelihara. Sifat seperti burung balam biasanya ditujukan kepada pemimpin yang tidak mempunyai inisaitif dalam memimpin, dan terlalu menurutkan kemauan orang disekitarnya, sifat seperti kulit badak jantan, ditujukan pada orang yang tidak peduli pada keadaan sekitarnya, sedangkan seperti riang-riang asam adalah orang yang tidak mempunyai pendirian, kemana angin berhembus dia cenderung untuk condong kesana.

Dari pepatah, petitih, bidal yang diuraikan diatas, terlihat secara nyata bahwa sumber dasar adat Minangkabau yang diturunkan semenjak Datuak Perpatih Nan Sabatang dan Datuak Katamanggungan merupakan ketentuan alam yang disusun menjadi pepatah dan petitih. Tentunya penyajian aturan tersebut bukan muncul begitu saja tetapi berdasarkan hasil perenungan yang mendalam. Masyarakat Minangkabau pada masa dahulu dengan sistem pendidikan di Surau-surau (cenderung menyerupai sistem Pesantren di Jawa) berperan besar dalam membentuk kemampuan perenungan ini. Kemampuan untuk melihat diri sendiri dan mempersonifikasikannya  dengan unsur alam lain tentunya membutuhkan kecintaan terhadap unsur-unsur alam, inilah yang menjadikan masyarakat Minangkabau peduli akan kondisi lingkungannya.

 

PENUTUP

Uraian diatas menunjukkan kemampaun masyarakat Minangkabau dalam memandang dirinya sendiri dan memposisikannya dirinya didalam lingkungannya. Kemampuan “merenung” ini pada masa pergerakan dan awal kemerdekaan  telah melahirkan para tokoh bangsa seperti Tan Malaka, Mohammad Yamin, Mohammad Hatta, Sutan Syahrir, Haji Agus Salim, Mohammad Natsir, Buya HAMKA. Masyarakat Minangkabau dahulunya juga terbukti mempraktekkan azas-azas ekologis dalam pengelolaan dan pemanfaatan lingkungannya, yang sayangnya sangat sedikit diikuti oleh generasi berikutnya. Hal ini ternyata juga telah diprediksi, sebagai tercermin dalam pantun berikut

Dima kain ka baju, lah diguntiang indak sadang, alah takanak mangko diungkai

Dima nagari kamaju, adapt sajati nan lah hilang, dahan jo rantiang nan dipakai

(Dimana kain untuk baju, sudah digunting tidak cukup, sudah dipakai baru diurai kembali, Dimana negeri bisa maju, adat sejati yang telah hilang, dahan dan ranting yang dipakai)

 


DAFTAR PUSTAKA

 

Allen, D. 2001. Indonesia: Effects Of Development On Culture And Environment. http://www.trinity.edu/dspener/global_free/presentations_2001/environ/two%20of%20two.htm. akses 26 Oktober 2003

 

Hadler. J. 1998. A  Historian among the Anthropologists: Post-Fieldwork Rantings http://www.einaudi.cornell.edu/SoutheastAsia/outreach/SEAPbulletin/bulletin_fa98/hadler_fa98.htm.   akses 26 Oktober 2003

 

Hakimy, I. 1988. Pokok-pokok Pengetahuan Adat Alam Minangkabau. Remadja Karya. Bandung.

 

________. 1997. Rangkaian Adat Basandi Syarak di Minangkbau. Remaja Rosdakarya. Bandung

 

________. 1997b. Pegangan Penghulu, Bundo Kanduang dan Pidato Alua Pasambahan Adat di Minangkabu. Remaja Rosdakarya. Bandung

 

Kamidouzono, A., F. Ishida, A. Rasyidin, P. Hutagaol and T. Wakatsuki. 1997. Ethnopedology of Minangkabu. II. The Case Study of Sipisang Village, Middle Stream of Batang Anai Watershed, West Sumatra, Indonesia. Annual report of FBRT Project no 3. JICA-Univ. Andalas. 238-252.

 

Osakada, K. 1995. Outline of Minangkabau Village. Case Study of Sipisang. Annual report of FBRT Project no 1. JICA-Univ. Andalas. 26-34.

 

Rice, D. 1998. Minangkabau Life and Culture.  http://www.haqq.com.au/~salam/ bayua/minang.html. akses 26 Oktober 2003.

 

Syahbuddin, D. Noviandi and T. Yoneda. 1996. Ownership, Management and Stucture of Plants Community at a Village Garden in Sipisang Annual report of FBRT Project no 2. JICA-Univ. Andalas. 181-187.