© 2004
Yulistyo Posted
Makalah pribadi
Pengantar ke
Falsafah Sains (PPS702)
Sekolah Pasca
Sarjana / S3
Institut
Pertanian Bogor
Januari 2004
Dosen :
Prof.Dr.Ir.
Rudy C. Tarumingkeng.
OTONOMI DAERAH:
TANTANGAN DAN PELUANG DALAM
PENGELOLAAN
SUMBERDAYA PERIKANAN
Oleh
:
C561030154
1. Pendahuluan
Salah satu produk reformasi adalah ditetapkannya
otonomi daerah (Otda) melalui penetapan UU Nomor 22/1999 tentang Pokok-pokok
Pemerintahan di Daerah. Otda
tersebut telah dirancang untuk mengoreksi pola pembangunan yang sentralistik
sebagaimana di praktekkan
selama Orde Baru. UU ini juga di rancang sebagai langkah
peningkatan partisipasi dan tanggung jawab daerah dalam proses pembangunan
di daerahnya sendiri dalam kerangka mewujudkan pembangunan yang berkeadilan.
Hal menarik yang
patut di cermati adalah adanya salah satu
pasal yang mengatur kewenangan daerah dalam pengelolaan wilayah perairan laut dalam skenario Otda.
Disebutkan dalam Pasal 10, bahwa daerah
provinsi berwenang mengelola wilayah laut sejauh 12 mil dari garis pantai,
sementara daerah tingkat dua (Dati II) berwenang mengelola wilayah laut sejauh
4 mil laut. Jenis kewenangan tersebut mencakup peraturan
kegiatan-kegiatan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan
laut. Kewenangan tersebut terwujud dalam bentuk pengaturan kepentingan
administratif, pengaturan tata ruang, serta penegakan hukum. Dengan demikian,
jelas bahwa implementasi Otda membawa sejumlah implikasi terhadap aktivitas
pemanfaatan sumberdaya perikanan.
Pertama,
sudah
seharusnya daerah mengetahui potensi perikanan serta batas-batas wilayahnya
sebagai dasar meregulasi pengelolaan sumberdaya, seperti penetuan jenis dan
tipe kegiatan perikanan yang sesuai di daerahnya.
Kedua,
derah dituntut bertanggung jawab atas kelestarian sumberdaya perikanan dan
kelautan di daerahnya itu. Ketiga, semakin terbuka peluang bagi
masyarakat lokal (nelayan) untuk terlibat dalam proses pengelolaan sumberdaya.
2. Batasan Desentralisasi / Otonomi
Desentralisasi adalah pelaksanaan tugas-tugas pemerintah
pusat oleh pemerintah daerah. Pomeroy dan Berkes (1997) dalam Nikijuluw
V.P.H Tahun 2002 mendefinisikan desentralisasi sebagai penyerahan kekuasaan,
wewenang, dan tanggung jawab secara sistematis dan rasional dari pemerintah
pusat kepada pemerintahan yang secara vertikal ada di bawahnya atau kepada
lembaga lokal dari pemerintah pusat ke pemerintah provinsi pada kasus negara
kesatuan.
Seterusnya,
kepada pemerintah daerah atau lokal atau bahkan kepada organisasi masyarakat. Pendekatan
desentralisasi adalah pemerintah pusat
menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada pemerintah yang ada di bawahnya atau
instansi pemerintah yang lebih rendah. Oleh karena itu otonomi lokal atau
otonomi daerah merupakan hal yang terpenting dalam proses desentralisasi. Umumnya,
kekuasaan dan wewenang pemerintah pusat dialihkan kepada pemerintah daerah
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ditetapkan pemerintah pusat.
Selain
definisi atau batasan desentralisasi tadi, definisi yang khas Indonesia
tercantum dalam Undang-undang No. 22 tahun 1999 (UU 22/99) tentang Pemerintahan
Daerah. Pada Bab 1 tentang Ketentuan
Umum UU ini, paling sedikit, ada tiga definisi yang menunjukkan
penyerahan kekuasaan, wewenang, dan tanggung jawab pemerintah pusat ke
pemerintah daerah. Ketiga definisi
tersebut adalah :
(1)
Desentralisasi adalah
penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintahan pusat kepada Daerah Otonom
dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Daerah otonom yang di maksudkan di
sini adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu yang
berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan NKRI.
(2)
Dekonsentrasi adalah
pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada gubernur sebagai wakil
pemerintah dan/ atau perangkat pusat di daerah.
(3)
Tugas
Pembantuan adalah penugasan dari
pemerintah pusat kepada daerah dan desa, dan dari daerah ke desa, untuk
melaksanakan tugas tertentu yang disertai pembiayaan, sarana dan prasarana,
serta sumberdaya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan
mempertanggung jawabkannya kepada pihak yang menugaskan.
- Kewenangan Pemerintah Pusat dalam Bidang
Kelautan
1) Penetapan
kebijakan dan pengaturan eksplorasi, konservasi, pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam
perairan di wilayah laut di luar perairan 12 mil, termasuk perairan Nusantara
dan dasar lautnya serta Zone Ekonomi Ekslusif (ZEE) dan landasan kontinen.
2) Penetapan kebijakan dan pengaturan
pengelolaan dan pemanfaatan benda berharga dari kapal tenggelam di luar
perairan laut 12 mil.
3) Penetapan kebijakan dan pengaturan
batas-batas maritim yang meliputi batas-batas daerah otonom di laut dan
batas-batas ketentuan hukum internasional.
4). Penetapan standar pengelolaan pesisir
pantai dan pulau-pulau kecil.
5). Penegakan hukum di wilayah laut diluar
perairan 12 mil dan di dalam perairan 12 mil yang menyangkut hal spesifik serta
berhubungan dengan internasional.
- Kewenangan Pemerintah
Propinsi dalam Bidang Kelautan
1) Penataan
dan pengelolaan perairan di wilayah laut Provinsi.
2)
Eksplorasi , eksploitasi, konservasi
dan pengelolaan kekayaan laut sebatas wilayah laut kewenangan Provinsi.
3) Konservasi dan pengelolaan plasma nutfah spesifik lokasi serta suaka perikanan
di wilayah laut kewenangan Provinsi.
4) Pelayanan izin usaha pembudidayaan dan
penangkapan ikan pada perairan laut di wilayah laut kewenangan Provinsi.
5) Pengawasan pemanfaatan sumberdaya ikan di
wilayah laut kewenangan Provinsi.
3. Tantangan
Terdapat beberapa tantangan berkaitan dengan
institusionalisasi Otda untuk konteks
wilayah laut, antara lain :
a.
Belum adanya institusi/lembaga pengelola khusus yang
menangani masalah pengembangan pesisir dan laut. Implikasinya, tidak
tersedianya instrumen hukum perbatasan antar provinsi tersebut (RTRW, zonasi)
untuk dapat diketahui masyarakat luas, khususnya dunia usaha yang diharapkan
dapat menanamkan investasinya, serta pedoman bagi instansi di daerah (Tk I dan
II) dalam pengelolaan dan pengembangan wilayah laut guna peningkatan
kesejahteraan masyarakat.
b.
Keterbatasan sumberdaya manusia (aparat pemerintahan)
dalam bidang pesisir dan laut yang terdidik dan terlatih. Sehingga kendala yang
di hadapi adalah kesulitan dalam pendayagunaan serta peningkatan perangkat
instansi daerah yang ada terhadap pengelolaan di wilayah pesisir dan 12 mil laut serta 4 mil laut yang
merupakan kewenangan kabupaten/kota. Sebagai contoh adalah kesiapan regulasi
tentang pemanfaatan lahan peisisir untuk kegiatan pembangunan (pariwisata,
permukiman dan lain sebagainya), pengaturan pemanfaatan sumberdaya laut,
pengaturan alur pelayaran; dan lain-lainnya.
c.
Ketersediaan data dan informasi perikanan sangat
terbatas. Dengan pelaksanaan Otda yang memberikan otonomi terutama kepada
kabupaten/kota, maka tingkat kepatuhan kabupaten/kota untuk mengumpulkan dan
megirimkan data kepada provinsi, yang selanjutnya akan dikirimkan ke
pusat, menjadi rendah.
d.
Terbatasnya wahana dan sarana dalam penerapan dan
pendayagunaan teknologi bidang perikanan. Akiibatnya, upaya penerapan ilmu
pengetahuan dan teknologi pengelolaan sumberdaya perikanan/SDL dalam usaha
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, belum bisa terwujud.
Selain itu bersamaan dengan dikeluarkannya UU No.
22 tahun 1999, pemerintah juga mengeluarkan UU No. 25 tahun 1999 tentang
perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Dalam UU tersebut
diatur bagaimanan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah, termasuk di
dalamnya keuangan yang berasal dari kegiatan perikanan di daerah. Pada Pasal 6
ayat 5 dikatakan bahwa penerimaan negara dari sumberdaya alam (SDA) sektor
perikanan dibagi dengan imbalan 20 persen untuk pemerintah pusat dan 80 persen
untuk pemerintah daerah. Namun demikian pada penjelasan Pasal 6 ayat 5 ternyata
terlihat bahwa ada perbedaan yang sangat
mencolok antara pengaturan pembagian keuangan pusat-daerah di sektor
perikanan dan kehutanan serta pertambangan umum.
Untuk sektor
kehutanan, sektor pendapatan adalah iuran Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Provinsi
sumberdaya hutan, beserta dana reboisasi
yang secara khusus dicantumkan pada Pasal 8 ayat 4. Untuk pertambangan umum,
sumber pendapatan adalah iuran eksplorasi dan iuran eksploitasi (royalti).
Sementara untuk perikanan, sumber pendapatan adalah pungutan pengusahaan
perikanan dan pungutan hasil perikanan.
Pembagian 80
persen hasil HPH dan iuran tetap pertambangan umum yaitu 16 persen untuk
provinsi dan 64 persen untuk kabupaten/kota penghasil. Pembagian 80 persen
provisi sumberdaya hutan dan iuran eksplorasi dan eksploitasi pertambangan umum
yaitu 16 % untuk provinsi, 32 % untuk kabupaten/kota yang bersangkutan
(penghasil), dan 32 % untuk kabupaten atau kota lainnya dalam provinsi itu.
Sementara
itu, baik pungutan pengusahaan perikanan maupun pungutan hasil perikanan, 80 %
alokasi pendapatan untuk daerah ternyata bukan hanya untuk daerah yang bersangkutan tetapi dibagi
secara merata kepada seluruh daerah kebupaten/kota di Indonesia.
Dengan
demikian untuk kasus pendapatan dari sumber perikanan, daerah kabupaten/kota
penghasil mendapat bagian yang sama daerah kabupaten/kota yang lain. Dengan
adanya aturan yang berlaku ini maka daerah-daerah yang memang memiliki
sumberdaya perikanan tidak dapat memetik manfaat lebih dari daerah yang tidak
memiliki sumberdaya perikanan.
Sementara
daerah yang memiliki sumberdaya kehutanan akan meraih manfaat yang lebih besar
dari daerah lain yang bukan penghasil. Dengan kata lain, daerah yang mempunyai
sumberdaya perikanan secara relatif tidak lebih diuntungkan dengan adanya UU
Nomor 25 tahun 1999.
Dengan adanya aturan yang berlaku ini maka
daerah-daerah yang memang memiliki sumberdaya perikanan tidak dapat memetik
manfaat lebih dari daerah yang tidak memiliki sumberdaya perikanan. Sementara
daerah yang memiliki sumberdaya kehutanan akan meraih manfaat yang lebih besar
dar daerah lain yang bukan penghasil.
4. Peluang
Untuk menciptakan otonomi
daerah yang benar-benar bermanfaat bagi pembangunan daerah dan kesejahteraan
masyarakat khususnya dalam konteks wilayah laut, maka setiap pemerintah daerah
baik provinsi dan kabupaten/kota perlu di dorong untuk mengupayakan hal-hal
berikut :
1) Pemerintah
daerah perlu memaksimalkan dan mengoptimalkan kelembagaan yang sudah ada dalam
rangka melaksanakan otonomi daerah di wilayah laut. Bukan apa-apa, otonomi ini
selain memberikan kewenangan untuk mengelola sumberdaya pesisir dan laut di
wilayahnya disisi lain juga menuntut tanggung jawab bagi penciptaan kepastian
hukum dan pelestarian hukum dan pelestarian lingkungan. Tanggung jawab ini
tentu saja akan melibatkan kepentingan
lintas provinsi atau lintas kabupaten yang yang menuntut kedewasaan berpikir
semua pihak untuk tidak mementingkan kepentingan daerahnya saja dengan
mengabaikan kepentingan daerah dan masyarakat tetangganya.
2) Peningkatan
kemampuan sumberdaya manusia terkait dengan sumberdaya kelautan dan perikanan
baik kemampuan teknis maupun manajerial. Peningkatan kemampuan ini bisa
dilakukan melalui kegiatan-kegiatan pelatihan, kemitraan dengan mitra usaha,
maupun studi banding ke instansi atau ke daerah lain.
3)
Mengupayakan ketersediaan, baik melalui survei maupun
pengadaan data yang sudah ada di lembaga-lembaga penyedia data-data dan
informasi kelautan dan perikanan. Untuk meningkatkan kemampuan masyarakat
nelayan, pembudidaya ikan dan pengolah, perlu dikembangkan dan ditingkatkan
akses mereka terhadap informasi baik informasi mengenai iptek, pasar, sampai
kepada informasi lokasi penangkapan ikan. Data dan informasi tersebut sampai
saat ini dirasakan masih sangat kurang dalam mendukung setiap pengambilan
kebijakan maupun antisipasi terhadap kejadian-kejadian khusus seperti tumpahan
minyak. Indonesia selalu ketinggalan baik dalam waktu dan akurasi, dalam
melakukan klaim atas kejadian tumpahan minyak di perairannya karena tiadanya
data dan informasi sumberdaya kelautan dan perikanan tersebut. Dengan kemudahan
mendapatkan informasi secara cepat dan akurat akan dapat meningkatkan daya
saing mereka terhadap nelayan asing.
4)
Mengembangkan wahana dan sarana yang ada untuk mendukung
penerapan dan pendayagunaan teknologi kelautan dan perikanan. Hal ini sangat
penting untuk mempercepat upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui
aplikasi-aplikasi teknologi terutama teknologi tepat guna dan ramah lingkungan
dalam mendukung kegiatan-kegiatan peningkatan nilai tambah produk perikanan
(ikan, udang, rumput laut, alga dan lain-lain).
5. Alternatif Pemecahan Pengelolaan Sumberdaya
Perikanan
Berdasarkan permasalahan-permasalahan pengelolaan
sumberdaya perikanan dengan mepertimbangkan peran dari dimensi pemerintah,
pasar, dan masyarakat, dapat dirumuskan alternatif yang representatif untuk
menunjang otonomi daerah.
Pemecahan
alternatif pengelolaan dan pemanfaatan
sumberdaya perikanan untuk menunjang era otonomi daerah lebih diarahkan
untuk memperkuat dan mengembangkan kelembagaan serta partisipasi masyarakat
lokal. Tipe kolaborasi manajemen yang berkembang bergantung pada peran
masing-masing pemangku kepentingan di semua level, yaitu masyarakat, daerah
kabupaten/kota, dan antar daerah kabupaten/kota.
5.1 Peran Pemerintah
Langkah
menuju desentralisasi pengelolaan
sumberdaya perikanan harus di tempuh melalui berbagai upaya berdasarkan
tingkatannya.
Pertama, pada tingkatan masyarakat. Prinsipnya adalah
pemerintah harus mengurangi intervensinya pada suatu tatanan sosial yang sebenarnya telah berjalan mapan
di masyarakat. Di sini, pemerintah harus percaya pada kemampuan masyarakat
untuk mengatur dirinya sendiri. Begitu pula pada setiap program bantuan,
masyarakat perlu diberi ruang untuk menentukan kebutuhanya sendiri. Selanjutnya,
diberi ruang untuk menentukan jenis bantuan yang di perlukan.
Kedua,
pada tingkatan kabupaten/kota
pemerintah dituntut untuk mampu meningkatkan kapasitasnya selaku regulatornya
dengan melakukan hal-hal yang memang tidak dapat dilakukan masyarakat. Meski
demikian, upaya-upaya penting pada tingkatan tersebut harus dilakukan secara
parsitipatif. Hal ini untuk menjamin efektivitas dan efisiensi program,
mengingat pada kerangka ini, masyarakat
akanmerasa memiliki program tersebut dan merasa kepentingannya terjaga. Pada
akhirnya, tanggung jawab masyarakat pun akan muncul dengan sendirinya.
Beberapa
masalah pokok yang perlu ditangani pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya
perikanan, antara lain :
a.
Peningkatan kapasitas orang dan lembaga birokrasi dalam
pengelolaan sumberdaya perikanan;
b.
Penyiapan rencana strategis pengelolaan sumberdaya
perikanan daerah yang di dalamnya
mencakup berbagai upaya :
·
Identifikasi potensi daerah (sumberdaya, ekonomi, dan
sosial),
·
Penetapan
kebijakan fiskal sumberdaya,
·
Penetapan zonasi dan jenis aktivitas produksi secara
partisipatif,
·
Penetapan model pengelolaan secara partisipatif yang
mencakup Total Allowable Catch, jumlah, dan jenis alat tangkap, serta
waktu produksi, dan
·
Penetapan model pengawasan berbasis masyarakat.
Ketiga, pada tingkat antar kabupaten/kota pemerintah
dituntut untuk melakukan koordinasi dan kerjasama dengan daerah lain dalam
pengelolaan dan pengawasan sumberdaya ikan. Selanjutnya, dituntut untuk
mewujudkan regulasi tentang kewenangan wilayah laut antar daerah dan regulasi
penggunaan teknologi penangkapan ikan yang ramah lingkungan, lintas kabupaten,
serta mewujudkan kebijakan fiskal (pungutan hasil perikanan) lintas daerah.
Keempat, baik pada tingkat kabupaten maupun antar
kabupaten, pemerintah perlu memfasilitasi regulasi konflik nelayan, baik
konflik kelas, agraria, maupun primordial.
5.2 Peran Pasar
Langkah
menuju pengelolaan sumberdaya perikanan pada era otonomi di tempuh melalui tiga
tingkatan :
Pertama, pada tingkat masyarakat.
Pemerintah diharapkan dapat menyediakan fasilitas pemasaran pada masyarakat
nelayan agar tidak bergantung pada pedagang besar dan pedagang perantara. Dalam tingkatan ini,
pemerintah juga diharapkan dapat mengendalikan fluktuasi harga komoditas
perikanan untuk menjamin kesejahteraan masyarakat nelayan.
Kedua, Pada tingkat kabupaten. Pemerintah diharapkan
dapat memberi fasilitas akses dan jaringan pemasaran antara kalangan pengusaha
besar dan masyarakat melalui sistem insentif dan disinsentif. Sejalan dengan
itu, pemerintah diharapkan lebih berorientasi pada pasar.
Ketiga, tingkat antar
kabupaten. Ada dua hal yang dapat dilaksanakan pemerintah pada tingkatan antar
kabupaten, yaitu menjadikan hubungan pemasaran antara hulu-hilir lebih baik dan
mewujudkan mekanisme kontrol dan pengawasan terhadap pasar gelap dan antar
daerah.
5.3 Peran Masyarakat
Pada peran masyarakat kita dapat memahami langkah alternatif solusi pengelolaan sumberdaya
perikanan dalam era otonomi menurut tingkatannya.
Pertama,
pada level masyarakat, ada tiga hal yang perlu
mendapat perhatian khusus dalam mengelola sumberdaya perikanan yaitu :
·
Menguatkan kelembagaan dan institusi lokal untuk
meningkatkan partsipasi masyarakat dalam pengelolaan dan pengawasan sumberdaya
perikanan;
·
Melakukan upaya pemberdayaan ekonomi masyarakat nelayan
berbasis masyarakat; dan
·
Pengembangan industri perikanan yang mampu memberi nilai
tambah melalui diversifikasi produk perikanan.
Kedua, pada level kabupaten/kota, masyarakat diharapkan dapat menghasilkan pengetahuan dan
ketrampilannya serta mengembangkan institusi lokal dalam pengawasan dan
pengelolaan sumberdaya peraikanan karena aturan lokal dalam penegakan hukum
masih bersifat parsial. Satu hal yang tidak dapat dilupakan adalah mewujudkan
mekanisme kelembagaan untuk mengkoordinasikan antara birokrasi pemerintah dan
nelayan.
Ketiga, pada tingkat antar
kabupaten/kota, prioritas adalah menjalin kerjasama nelayan dengan dengan
daerah lain tentang pengelolaan sumberdaya perikanan seperti melalui stok ikan
yang diidentifikasi serta di kelola secara bersama-sama. Ini penting bagi semua
daerah, terlebih bagi daerah-daerah yang pengelolaannya bersifat frontier-based management.
Alasan - alasan perlunya kehadiran Pemerintah
pusat pada rezim desentralisasi pengelolaan
sumberdaya perikanan adalah sebagai berikut :
1.
Pemerintah pusat tetap memegang kebijakan makro
pembangunan perikanan, khususnya pengelolaan sumberdaya perikanan. Kebijakan
ini tidak mungkin dilaksanakan pemerintah daerah karena ketidak mampuan serta
inkompetensinya dalam hal ini. Selain itu, kebijakan makro pembangunan
perikanan berskala nasional harus dilaksanakan seluruh daerah. Oleh karena itu,
daerah tidak memiliki kekuasaan untuk menetakan kebijakan makro ini.
2.
Pemerintah pusat perlu hadir untuk mengelola,
mengendalikan, serta memecahkan konflik yang mungkin muncul di antara daerah
yang berdekatan atau menjadi mediator dalam menyelesaikan masalah-masalah
lintas daerah. Dalam hal ini ini, pemerintah pusat harus bertindak adil,
obyektif, dan tidak memberikan hak atau perlakuan khusus kepada daerah
tertentu.
3.
Pemerintah pusat perlu mengkoordinasikan mekanisme
manajemen antar provinsi atau antar daerah. Peran pemerintah pusat dalam hal
ini terutama sebagai fasilitator dalam mengembangkan ko-manajemen antara
pemerintah pusat dengan beberapa pemerintah daerah yang wilayahnya dibatasi
perairan yang sama. Masalah yang biasanya muncul adalah daerah-daerah yang
berbatasan dalam perairan yang sama seringkali mengalami kesulitan dalam
menentukan jumlah kapal penangkapan ikan yang boleh beroperasi dan menjamin
keberlanjutan sumberdaya perikanan. Jika salah satu daerah membatasi jumlah
kapal penangkapan ikan, sementara daerah
lain tidak melakukan hal itu, secara keseluruhan kapal penangkapan akan
bertambah dan akhirnya keberlanjutan sumberdaya menjadi terancam. Jika ini
terjadi, mungkin saja daerah yang tadinya membatasi jumlah kapal akan melakukan
kebijakan seperti retaliasi, yaitu tidak membatasi jumlah kapalnya. Keadaan
semacam ini harus diatasi melalui kehadiran pemerintah pusat pada skema
ko-managemen yang di kembangkan.
4.
Tujuan-tujuan pengelolaan sumberdaya perikanan di daerah
harus sejalan atau tidak bertentangan dengan tujuan pembangunan nasional. Oleh
karena itu, kehadiran pemerintah pusat untuk mendamaikan kemungkinan
pertentangan antara tujuan daerah dan tujuan nasional. Jika tujuan nasional
adalah melakukan konservasi sumberdaya melalui pengembangan suaka perikanan ,
pemerintah daerah harus mendukung hal itu. Sebaliknya, jika pemerintah daerah
menilai bahwa sebagian perairan di daerahnya perlu di lindungi dan di jadikan
daerah konservasi, hak tersebut perlu didukung pemerintah pusat melalui hukum
atau aturan formal yang dikeluarkannya.
5.
Masih ada beberapa tugas manajemen sumberdaya perikanan.
Umpamanya, dalam hal menduga stok ikan
atau mengumpulkan dan menganalisis data potensi ikan yang tidak efektif atau
kurang akurat jika di lakukan oleh pemerintah daerah. Oleh karena itu,
kehadiran pemerintah pusat diperlukan untuk melaksanakan tugas-tugas seperti
ini. Tugas seperti ini jika dilaksanakan oleh pemerintah daerah tidak akan
efektif dan akurat. Hal ini di sebabkan pendugaan potensi ikan harus
dilaksanakan untuk suatu wilayah perairan, bukan suatu wilayah administrasi
pemerintahan.
6.
Pemerintahan pusat adalah yang berwenang untuk
melaksanakan urusan perbatasan antara daerah dengan negara lain atau urusan
yang berkaitan dengan adanya pemilikan stok ikan bersama dengan negara lain,
serta urusan yang berkaitan dengan
komitmen internasional dalam pengelolaan
sumberdaya perikanan.
7.
Pemerintah pusat menyediakan mekanisme legislasi
serta serta yudisial untuk menjamin
penegakan dan perlindungan atas aturan-aturan manajemen sumberdaya perikanan
yang ditetapkan daerah. Banyak aturan daerah atau aturan tradisional, hukum
adat, serta hak ulayat yang berdasarkan sifatnya hanya berlaku untuk daerah
atau masyarakat daerah itu. Orang luar atau daerah tetangga tidak diatur
aturan-aturan seperti ini. Oleh karena itu, mereka akan melanggar atau tidak
mematuhi peraturan yang berlaku di daerah lain itu. Dengan demikian, kehadiran
pemerintah pusat diperlukan untuk melindungi aturan-aturan lokal tersebut dalam
wilayah yurisdiksi daerah bersangkutan. Dengan cara itu, setiap orang yang
masuk ke perairan daerah itu harus mematuhi semua aturan yang berlaku.
8.
Pemerintah pusat menyediakan pedoman, tolok ukur, rujukan secara formal yuridis maupun
informal kepada daerah dalam mengembangkan sistem yang terdesentralisasi. Arahan
pemerintah pusat seperti ini perlu dilakukan sehingga ada suatu tatanan
skema desentralisasi, pasti ada daerah
yang mampu dan tidak mampu. Oleh karena itu, perlu ada arahan yang bersifat
nasional hingga daerah, terutama daerah yang tidak mampu agar dapat merujuk
pada arahan tersebut dalam mengembangkan
skema desentralisasi di daerahnya.
9.
Pemerintah pusat menyediakan skema pengembangan kapasitas
kelembagaan, sumberdaya manusia, serta pengembangan administrasi pengelolaan sumberdaya perikanan di daerah. Tugas-tugas
seperti ini memiliki biaya transaksi yang cukup mahal jika di laksanakan di
setiap daerah. Oleh karena itu, tuga-tugas ini dapat dilaksanakan di tingkat
pusat sehingga semakin efektif dan efisien. Melalui sentralisasi tugas-tugas
seperti ini, proses saling belajar dan saling
membagi pengalaman antar daerah dapat dilaksanakan.
6. Penutup
Dengan diberlakukannya UU No. 22 tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah, daerah propinsi mempunyai kewenangan untuk mengelola
wilayah lautnya hingga batas 12 mil, yang meliputi eksplorasi, eksploitasi,
konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut. Hal ini memang
memperjelas hak-hak daerah, namun dalam perkembangannya telah menimbulkan
permasalahan, baik antar kabupaten/kota, kabupaten/kota dengan Propinsi, maupun
antara Pusat dengan Daerah. Oleh karena itu Pemerintah Pusat dalam hal
ini Departemen Kelautan Perikanan akan menempuh kebijakan yang mangarah pada
penegasan pembagian kewenangan antara Pusat dengan Daerah, terutama yang menyangkut : penentuan potensi sumberdaya ikan (SDI),
penetapan JTB (jumlah tangkapan yang diperbolehkan), penetapan alokasi
pemanfaatan sumberdaya ikan,
pengendalian penangkapan ikan dan pengawasan dan penegakan hukum.
Di akui bahwa masyarakat seharusnya
memiliki kekuatan besar untuk mengatur dirinya sendiri dalam pengelolaan
sumberdaya perikanan di era desentralisasi ini. Namun demikian, ada beberapa hal
yang masih harus menjadi tangung jawab pemerintah, khususnya soal kebijakan
fiskal sumberdaya, pembangunan sarana dan prasarana, tata ruang
pesisir , serta perangkat hukum pengelolaan sumberdaya. Meski
itu menjadi bagian dari kewenangan pemerintah tidak berarti masyarakat absen
dalam setiap formulasi kebijakan, agar kebijakan tersebut menyentuh persoalan
yang sebenarnya dan tidak merugikan kepentingan masyarakat. Dalam tinjauan teoritis
telah terbukti bahwa model-model pengelolaan sumberdaya yang berbasis
masyarakat sangat efektif. Efektifitas ini tercipta karena masyarakat merasa
bertanggung jawab terhadap kondisi sumberdaya di sekitarnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Bratakusumah, D.S dan D.
Solihin. 2002. Otonomi
Penyelenggaraan Pemerintah Daerah. Kewenangan Daerah. PT
Gramedia Pustaka Umum.
Dahuri, R. 2002. Membangun
Kembali Perekonomian Indonesia Melalui Sektor Perikanan dan Kelautan.
Lembaga
Dahuri, R., dkk. 2002. Menuju Desentralisasi
Kelautan. Menuju Implementasi Otonomi Daerah Dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Pusat Kajian Agraria IPB, Partnership For Governance Reform in
Nurjana, M.L. dalam Cholik,
F., dkk. 2002. Menggapai
Cita-cita Luhur : Perikanan Sebagai Sektor Andalan
Nasional. Kebijaksanaan Dalam Pengendalian Perikanan Tangkap. Ikatan Sarjana
Perikanan Indonesia (ISPIKANI). Jakarta.
Nikijuluw, V.P.H. 2002. Rezim
Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Ko-Manajemen : Rezim Desentralisasi. Pusat Pemberdayaan dan Pembangunan Regional (P3R) dan
PT Pustaka Cidesindo,