© 2004  Sekolah Pasca Sarjana IPB                                                                                       Posted  2  March  2004

Makalah Kelompok 1,  Sem. 2,  t.a. 2003/4

Materi Diskusi Kelas

Pengantar Falsafah Sains (PPS702)

Program Pasca Sarjana -  S3

Institut Pertanian Bogor

Maret  2004

 

 

Dosen:

Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng (penanggung jawab)

 

 

 

 

RETROSPEK DAN PROSPEK BOGOR SEBAGAI KOTA AGROPOLITAN JABODETABEK

 

 

oleh:

 

Kelompok I

Kelas Darmaga, IPB

 

 

1.       Elan Masbulan                 P036010011(elanmasbulan@yahoo.com)

2.       Ansofino             P036010031(ansofino@hotmail.com)

3.       Marwan Rahman Yantu    P063020021(mryantu@yahoo.com)

4.       Nyoman Utari Vipriyanti    P063020031(mangtiutari@yahoo.com)

5.       Umar Mansyur                P063020041(umarmansyur@hotmail.com)

6.       Maman Hilman                P063020071(mamanhilman@hotmail.com)

 

Abstract

Development failure of countryside in Bogor region has caused migration of abundant people to Bogor city. This subsequently generates various problems. Hence, to solve these problems, spatial (system) approach of development, a new paradigm for agripolitan is  needed.

This kind of system approach requires multidiscipline, which in a long-term need studies ontological basis from each science branch and in short-term methodologies developed from  cross-disciplines will be needed. Thus, study of epistemology becomes important.

Development of Bogor agropolitan will concern values and non values. Therefore, implementation of pragmatism methodology is needed. The methodology refers to truth criterion, coherence, correspondence, and pragmatic (coherence-correspondence).

This study of retrospect and prospect of Bogor City yield development strategies translated into various programs (prescriptive knowledge). For further implementation of the methodologies, tests on their pragmatic truth (workability test) and the axiology to the beneficiaries are needed.

 

Keywords: agropolitan, ontology, epistemology, axiology, pragmatism methodology, prescriptive knowledge, coherence, correspondence.

 

 

1.  PENDAHULUAN

1.1. Kecenderungan Perkembangan Ekonomi di Era Otonomi Daerah

Perekonomian internasional memperlihatkan kecenderungan: (1) globalisasi dalam segala sektor terutama ekonomi, politik dan informasi, (2) keterbukaan perdagangan dunia dengan kesepakatan GATT dan (3) runtuhnya sistem ekonomi sosialis. Implikasi tersebut di atas mengarah kepada terjadinya suatu relokasi kegiatan produksi dari negara-negara maju dan industri baru ke negara ber-kembang yang diikuti persaingan sebagai tuan rumah yang semakin ketat.

Sedangkan perekonomian nasional pasca menurunnya harga minyak bumi yang menyebabkan peran pendistribusian keuangan pemerintah pusat ke daerah menjadi berkurang, sehingga pertumbuhan di daerah menjadi sangat terbatas. Hal tersebut menyebabkan perekonomian daerah tidak dapat lagi menunggu hingga dinamika pertumbuhan ekonomi mencapai wilayahnya, tetapi harus aktif meraih dan menarik dinamika tersebut.

Dimensi kota atau wilayah yang berkelanjutan (Oetomo,2001) meliputi: eko-nomi wilayah atau kota (pekerjaan dan kesejahteraan); masyarakat wilayah atau kota (koherensi sosial dan solidaritas sosial); permukiman wilayah dan kota (ru-mah layak yang terjangkau untuk semua golongan); lingkungan wilayah dan kota (ekosistem yang stabil); akses wilayah dan kota (mobilitas konservasi sumber-daya); kehidupan wilayah dan kota (pembangunan kota yang liveable); dan de-mokrasi wilayah dan kota (pemberdayaan masyarakat).

Disadari bersama bahwa globalisasi dan liberalisasi telah menjadi payung kehidupan berbangsa di dunia disamping tuntutan kehidupan pembangunan ber-kelanjutan. Disamping itu desentralisasi di Indonesia telah menciptakan egoisme kedaerahan dan raja-raja kecil, sehingga antardaerah saling memangsa.

Implikasinya pada daerah tersebut adalah kecenderungan munculnya berba-gai persoalan, baik dalam tataran wilayah maupun lokal (kota atau kabupaten), seperti kesemrawutan dalam penataan kota dan ketimpangan antarwilayah atau kawasan dalam kota atau kabupaten tersebut seperti halnya Kota Bogor.

1.2. Perkembangan Ekonomi Kota Bogor

Pembangunan Wilayah Bogor secara historis sejak masa kolonial diarahkan ke pembangunan pertanian, hal ini dapat ditunjukan banyaknya lembaga-lembaga yang terkait dengan bidang pertanian, baik pendidikan pertanian dan lembaga penelitian pertanian (termasuk IPB hingga sekarang), maupun pengembangan per-tanian.Penetapan kota Bogor sebagai kota berbasis pembangunan pertanian tentu-nya memiliki latar belakang dan pertimbangan yang mendasar. Secara geografis Bogor dapat merupakan simpul perdagangan pangan untuk mendukung wilayah ibu kota Jakarta sebagai pusat pemerintahan, industri dan perdagangan baik na-sional maupun internasional. Sedangkan secara agroekosistem kawasan Bogor dengan curah hujan yang tinggi, didukung oleh iklim yang sejuk dan lahan yang bersifat vulkanik dan subur adalah berpotensi untuk dikembangkan berbagai jenis tanaman baik tanaman pangan, hortikultura, perkebunan dan peternakan/per-ikanan sebagai komplemen dari sistem pengembangan pertanian.  Dan yang lebih penting adalah secara sosial budaya masyarakat Bogor sangat familiar dengan budaya tani, religius dan egaliter (terbuka) baik antar masyarakat setempat mau-pun dengan masyarakat pendatang.

Hingga kini, dinamika pembangunan ekonomi Bogor, selama setengah abad terakhir (khususnya dalam 25 tahun) telah mengalami perubahan mendasar. Se-cara konseptual pembangunan Bogor lebih diarahkan kepada konsep strategi kutub pertumbuhan (growth pole strategy) dimana trickle down effect-nya di-arahkan ke hinterland-nya yang ternyata net-effect-nya dan malah menimbulkan masive backwash effect. Di tingkat pelaksanaan banyak mengalami misleading policy yang menyesatkan, sehingga dampaknya menjadi semakin jauh dari tujuan-tujuan pembangunan yang diinginkan. Dalam pembangunan spatial terutama menyangkut tata ruang perdesaan sebenarnya tidak dapat diatur secara terisolir tanpa melihat interaksi spatial dengan kawasan perkotaan. Tata ruang perdesaan selain dipengaruhi oleh pengaturan legal dan perlu memperhatikan kekuatan-kekuatan ekonomi, sosial dan politik.

Pembangunan Kota Bogor saat ini nampaknya telah menganut The First Fundamental Theorem of Welfare Economics, yaitu konsep temuan Simon Kuznets (1966) dengan kurva U-terbalik yang menyatakan bahwa bagi negara/daerah yang pendapatannya rendah, maka bertumbuhnya perekonomian harus mengorbankan pemerataan (trade off antara pertumbuhan dan pemerataan). Pemberian legitimasi dominasi peranan pemerintah untuk memusatkan pengalokasian sumberdaya pada sektor-sektor atau wilayah-wilayah yang berpotensi besar dalam menyumbang pada pertumbuhan ekonomi. Keadaan ini telah menyebabkan terjadinya net trans-fer sumberdaya daerah ke kawasan pusat kekuasaan secara besar-besaran mau-pun melalui ekspor kepada negara-negara maju.

Implikasi dari penekanan pertumbuhan ekonomi adalah polarisasi spatial (geografis) alokasi sumberdaya (capital investment) antar wilayah melalui aglomerasi industri di tempat-tempat yang paling kompetitif (kawasan kota-kota besar). Program bantuan pembangunan daerah tidak mampu mengurangi ke-timpangan yang terjadi. Proteksi pemerintah sektor industri cenderung mengor-bankan sektor pertanian dan perdesaan yang merupakan sektor basis masyarakat Bogor. Akibatnya transformasi struktur ekonomi tidak diikuti dengan transformasi struktur pasar tenaga kerja.

Korban pada sisi sektor pertanian adalah cepatnya pengalihfungsian lahan pertanian produktif yang bersifat irreversible akibat tidak mampunya Badan Perta-nahan merancang sistem perencanaan dan perpajakan lahan secara dinamik yang disesuaikan dengan perubahan-perubahan kemajuan aktivitas ekonomi masya-rakat. Pererencanaan tataguna lahan melalui struktur insentif perpajakan ber-tujuan untuk menciptakan manfaat sosial yang optimal, karena lahan-lahan yang dialihfungsikan banyak dipakai untuk alat spekulatif yang menimbulkan kemu-baziran. Dan pada gilirannya turut mendorong terjadinya berbagai krisis dan per-masalahan sosial dan ekonomi wilayah di Bogor.

Misleading policy telah menimbulkan berjuta orang merana dan menderita kerugian. Konsepsi pembangunan yang hingga kini digunakan telah terjebak dalam beberapa asumsi teori yang tidak realistik dengan apa yang terjadi di dunia nyata.

1.3.   Permasalahan

Kegagalan pembangunan perdesaan adalah akibat langsung dan tidak langsung dari perencanaan dan keputusan yang bersifat spatial karena tidak atau kurang difahaminya masalah-masalah pembangunan perdesaan dan pertanian selama ini, dimana para penentu kebijaksanaan (policy makers) memiliki  prefe-rensi yang bias ke wilayah perkotaan (urban bias).

Kegagalan pembangunan perdesaan di wilayah Bogor menimbulkan migrasi penduduk yang berlebihan dari perdesaan ke kota Bogor dan menimbulkan persoalan-persoalan dalam masyarakat dalam kawasan kota Bogor, terutama seperti: (1) masalah Pedagang Kaki Lima (PKL) dimana dengan semakin banyak-nya PKL yang menempati areal/lokasi yang tidak sesuai dengan peruntukannya menyebabkan penataan kota semakin tidak tertib, (2) masalah kemiskinan dan Usaha Kecil Menengah (UKM), sebagai dampak dari tingginya arus migrasi dari perdesaan ke kota sebagai implikasi dari tingginya persaingan antara tenaga kerja pendatang dengan penduduk kota Bogor yang diikuti  lemahnya kinerja UKM, sehingga ketersediaan lapangan kerja terbatas dan akibatnya tingkat pengang-guran bertambah dan dampak selanjutnya menimbulkan masalah-masalah kera-wanan sosial perkotaan, (3) masalah transportasi, merupakan masalah yang dapat dirasakan secara langsung oleh semua warga masyarakat Bogor sehingga menim-bulkan transaction cost yang tinggi dari warga Bogor, (4) masalah pemukiman, kesehatan, dan kebersihan lingkungan yang merupakan masalah penting dan sangat mendasar, masalah pemukiman tidak dapat dihindari karena kota Bogor merupakan kawasan suburban dari kota metropolitan Jakarta, dimana hampir separuh tenaga kerja yang pekerjaannya di Jakarta lebih memilih bertempat tinggal di Bogor, sehingga berimplikasi kepada timbulnya masalah kebersihan dan kesehatan lingkungan, (5) masalah Good Governance, masalah ini sebenarnya merupakan sumber penyebab dari empat masalah yang telah diungkapkan se-belumnya dan masalah ini menjadi isu penting dan menjadi sorotan hampir semua kalangan masyarakat; adanya misleading policy dan mismanagement dalam penataan dan pengelolaan kota Bogor menyebabkan hampir sebagian besar prog-ram pembangunan kota Bogor belum mengenai sasaran, sehingga menyebabkan lemahnya kinerja pemerintahan dan pembangunan Kota Bogor.  Dari kelima masalah tersebut di atas akan berimplikasi kepada menurunnya produktivitas dan ekonomi wilayah.

Sementara itu, cara berpikir dan kemampuan mengelola kawasan kota-kota dan penentu kebijaksanaan nasional umumnya kurang cepat mengalami pening-katan kapabilitas dan kapasitasnya dalam mengatasi permasalahan yang kian membesar dan berdimensi banyak. Sehingga permasalahan hubungan antar kawasan perkotaan dan perdesaan menjadi semakin kompleks dan sulit untuk memperoleh pemecahannya.

Padahal tujuan semula, perkembangan kawasan perkotaan diharapkan menjadi pusat pertumbuhan ekonomi wilayah keseluruhan yang memberikan tetesannya ke wilayah peresaan di sekitarnya. Perkotaan diharapkan menjadi pusat-pusat pertumbuhan perekonomian wilayah bagi keseluruhan negara.

Posisi bargaining perdesaan yang sudah lemah jadi makin lemah karena sentralisasi pengambilan keputusan di kawasan kota-kota besar. Sedangkan per-tumbuhan ekonomi perkotaan relatif menjadi semakin besar yang diikuti terjadinya eksploitasi sumberdaya di wilayah perdesaan, dimana akan mendorong terjadinya kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan hidup serta akan berpengaruh pada masyarakat secara keseluruhan.

Investasi-investasi di wilayah perdesaan, baik secara fisik dan sumberdaya sosial (social capital) serta kebijaksanaan pengembangan teknologi umumnya tidak dilakukan secara memadai, bahkan cenderung terabaikan. Posisi masyarakat perdesaan lemah dan rawan terhadap berbagai bentuk eksploitasi, sehingga sum-berdaya perdesaan terkuras (depletion) dan nilai-nilai dan kemampuan masyarakat menjadi terkikis. Nilai tambah perdesaan banyak disedot oleh sektor-sektor kegiatan di kawasan perkotaan besar.

Sebaliknya, dampak negatif (externalities) yang tertinggal di wilayah perdesa-an menimbulkan biaya-biaya sosial besar yang harus ditanggung oleh masyarakat yang lemah. Sebagai akibatnya, maka beberapa sumberdaya mengalami kelangka-an yang gawat bahkan ada yang mengarah kepada irriversibility yang berdampak juga ke kawasan perkotaan.

Sumberdaya di perkotaan diolah menjadi produk-produk industri lanjut, yang meskipun menghasilkan nilai tambah, tetapi karena lemahnya hak-hak masyarakat lapisan menengah dan bawah perkotaan, maka menimbulkan dampak eksternalitas lagi dalam berbagai bentuk seperti pencemaran dan kesemrawutan.

1.4. Tujuan

Missleading policy yang mengarah kepada tidak seimbangnya kecepatan pembangunan antara kedua kawasan perkotaan (urban) dan perdesaan (rural) berakar dari ketidak merataan hak-hak (entitlement) antara kedua komunitas masyarakatnya yang secara spatial berbeda sifat-sifat lingkungannya.

Oleh karena itu salah satu tujuan dari pembangunan wilayah  perdesaan ada-lah menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dan perkembangan sosial politik di-antara kedua kawasan, melalui investasi-investasi sumberdaya manusia (human capital), sumberdaya sosial (social capital), sumberdaya modal material (man-made capital)  dan pemeliharaan sumberdaya alam (natural capital) yang se-imbang antara kedua kawasan.

Di masa mendatang diperkirakan kehidupan sosial akan mengarah kepada demokratisasi meskipun masih mendapat beberapa hambatan. Pengawasan ter-hadap birokrasi pembangunan di masa depan akan makin ketat dan mengarah pada "good governance", karena makin efektifnya pengawasan langsung oleh berbagai pihak (stakeholders). Oleh karena itu struktur dan mekanisme pemba-ngunan ekonomi nasional dan regional juga akan mengalami perubahan-peru-bahan, terutama yang berkaitan dengan kebijaksanaan ekonomi campuran (policy mixed) antara kebijaksanaan pengaturan dari pemerintah dan mekanisme "pasar" yang melalui persaingan.

Atas dasar latar belakang dan permasalahan tersebut di atas, maka diperlu-kan perubahan paradigma pembangunan wilayah dan perdesaan, mengingat kehidupan masyarakat perdesaan umumnya memperihatinkan dan terampas hak-haknya sehingga menjadi miskin, karena terjadinya urban bias. Kemiskinan di perdesaan menjadi penyebab dan menjadi akibat terjadinya kerusakan sumber-daya alam perdesaan yang berdampak pada masyarakat luas, oleh karena itu pen-dekatan pembangunan spatial dengan menyesuaikan pada perubahan pemikiran pembangunan dan paradigma baru berupa pembangunan agropolitan merupakan langkah tepat untuk dijadikan agenda pembangunan kota Bogor di masa depan.

Pembangunan agropolitan berarti membentuk kota-kota kecil dan menengah di daerah perkotaan dan atau perdesaan yang berbasis pertanian melalui duku-ngan pembangunan infrastruktur perkotaan yang memadai.  Pertumbuhan kota digeser ke wilayah lain seperti perdesaan atau pesisir sehingga akumulasi modal yang dapat berputar dan mengendap di sana untuk membiayai pemberdayaan ekonomi lokal selanjutnya. Namun demikian, pembangunan kota-kota kecil mene-ngah baru sangatlah mahal dan memerlukan waktu yang lama.  Oleh karena itu dalam mengembangkan agropolitan diberdayakan kota-kota kecil yang sudah ada dengan terlebih dahulu dilakukan uji coba untuk wilayah-wilayah tertentu untuk melihat dampak berbagai aspek teoritis yang ada.

Konsep agropolitan yang diterapkan dalam suatu wilayah perencanaan pem-bangunan dengan memperhatikan kondisi, interaksi dan dinamika spasial antara pusat pertumbuhan baru dengan hinterlandnya. Kegiatan agroindustri (terdiri dari beberapa perusahaan yang berkompetisi) yang sesuai dengan komoditas yang dihasilkan wilayah hinterland dibangun di pusat pertumbuhan baru. Sementara itu, komoditas yang dikembangkan di wilayah hinterland harus disesuaikan dengan keunggulan komparatif dan kompetitifnya sesuai dengan konsep pewilayahan komoditas yang ada. Kemudian, jika dengan pertimbangan geografis Indonesia sebagai negara maritim dengan potensi kelautan yang besar, maka konsep agro-politan ini tidak saja dapat diterapkan di daratan, tetapi juga dapat diterapkan di wilayah pesisir/pantai sebagai pusat pertumbuhan dengan lautan sebagai hinter-landnya.  Dalam hal ini, agropolitan dikembangkan melalui konsep/program sabuk ekonomi kelautan dan dapat  berbasis pulau-pulau kecil dan kota-kota pantai kecil.

Penerapan konsep agropolitan ini diharapkan dapat menetralisir pola pemba-ngunan yang bias kepada pembangunan kawasan perkotaan. Sehingga dengan tersedianya fasilitas perkotaan di wilayah perdesaan (kota-kota kecil atau mene-ngah baru) dapat mencegah arus urbanisasi yang berlebihan ke kota-kota besar. Sehingga migrasi dapat diredam dengan mendorong  industri berlokasi di wilayah perdesaan melalui struktur insentif fiskal dan penyediaan prasarana yang dibu-tuhkan, sehingga permasalahan lain yang timbul sebagai akibat urbanisasi berlebihan (excessive urbanization) dapat dikurangi.

2.    TINJAUAN TEORITIS

2.1.Pembangunan Ekonomi Wilayah yang Berimbang dan Berkelanjutan

  Perencanaan pembangunan wilayah diharapkan dapat mewujudkan keada-an yang balance dan sustainable  dari resource endowment yang dimiliki oleh masyarakat di wilayah tersebut.  Keadaan yang berimbang berarti menekan ada-nya kesenjangan antardaerah, kelompok dan golongan masyarakat. Pembangunan wilayah yang berimbang mengimplikasikan pertumbuhan yang merata di daerah yang berbeda.  Namun hal ini bukan berarti bahwa setiap daerah dibangun dengan cara yang sama atau dengan pola pengembangan ekonomi serta industri yang sama. Pembangunan yang tidak berimbang disebabkan oleh faktor-faktor geografi, sejarah, politik, kebijakan pemerintah, administrasi dan sosial ekonomi. 

Pembangunan yang berkelanjutan adalah suatu keadaan dimana pembangu-nan tidak menyebabkan keadaan yang semakin memburuk dari waktu ke waktu.  Konsep ini menerapkan konsep waktu yang tidak terbatas tetapi tujuan pemba-ngunan harus dicapai pada batas waktu tertentu.  Untuk mencapai keadaan ini, benefit dan cost di masa yang akan datang harus didiscount sehingga memiliki nilai yang sama dengan saat sekarang.  Pembangunan yang berkelanjutan meng-isyaratkan tingkat perubahan pembangunan (rate of change of development) yang bernilai positif sepanjang waktu.

2.2. Aglomerasi Ekonomi Perkotaan

Pembentukan sebuah kota menurut sejarahnya selalu bermula pada wilayah-wilayah yang subur seperti di pinggiran sungai dan lembah-lembah yang subur pada suatu wilayah, hal ini mengindikasikan bahwa kota terbentuk pada awal karena adanya aktifitas pertukaran ekonomi penduduk yang menetap pada suatu wilayah tertentu. Pembentukan kota ini selalu ditandai dengan terkonsentrasinya aktifitas ekonomi di kawasan perkotaan ini, sehingga memang bahwa kota meru-pakan bahagian yang sangat komplek dari struktur keseimbangan umum ekonomi yang berkaitan dengan aktifitas produksi dan konsumsi serta perdagangan.

Dalam mencapai efisiensi produksi yang tinggi, maka skala ekonomi akan di-cirikan oleh akan terus menurunnya biaya-biaya produksi bersamaan dengan me-ningkatnya hasil-hasil produksi, baik pada tingkat perusahaan maupun pada tingkat industri, keadaan berkumpulnya sejumlah produsen pada suatu lokasi tertentu untuk keperluan efisiensi biaya dan pencapaian economic of scale, inilah yang disebut dengan aglomerasi ekonomi. Oleh karena itu terjadinya aglomerasi dari sejumlah rumah tangga produsen di suatu kota dapat menyediakan sejumlah besar tenaga kerja yang dipekerjakan oleh perusahaan-perusahaan, hal ini me-mungkinkan karena dengan semakin terus menurunnya biaya rata-rata dan biaya marginal  dalam memproduksi barang-barang dan jasa yang lebih banyak.

Jadi, aglomerasi ekonomi mengurangi biaya yang terjadi karena aktifitas ekonomi yang dilaksanakan pada suatu ruang tertentu. Konsep aglomerasi eko-nomi; yakni keuntungan yang dicapai dari konsentrasi spasial aktifitas ekonomi  telah menyebabkan adanya range aglomerasi ekonomi dari keuntungan yang terus meningkat, sehingga pada gilirannya kemapanan benefit ini mengundang peru-sahaan lain untuk memasuki wilayah yang sama, sehingga aglomerasi semakin bertambah kuat. Ada beberapa tipe aglomerasi ekonomi tersebut, yaitu:

1. Internal aglomerasi ekonomi; adalah pengurangan biaya per unit yang terus berambah pada perusahaan yang memperluas aktifitasnya dalam suatu wilayah tertentu. Karena perusahaan yang melakukan ekspansi juga menerima benefit dari ekspansi yang dilakukan, maka aglomerasi ekonomi adalah “internal” bene-fit yang ditangkap oleh perusahaan yang terlibat dalam aktifitas. Aspek spasial adalah penting dalam konsep aglomerasi ekonomi, dimana pengurangan biaya yang dicapai oleh perluasan dari keberadaan perusahaan akan mewakili internal economic of scale dan internal aglomerasi of economic. Dalam setting spasial, suatu peningkatan aktifitas yang lebih rendah biayanya dari menghasilkan pro-duk lain pada lokasi itu adalah juga internal aglomerasi ekonomi. Penyebaran fixed cost selama output yang lebih besar adalah alasan penting bagi aglomerasi ekonomi internal dan sumber lain dari aglomerasi ekonomi adalah:

·    Lebih besarnya division of labor.

·    Alternatif pengunaan teknologi potensial.

·    Saving melalui pembelian yang besar.

2. Keterkaitan antar Industri; tendensi  suatu perusahaan yang berdagang dengan yang lainnya  dalam suatu wilayah yang sama adalah sesuatu yang penting ter-jadinya aglomerasi industri. Aglomerasi antarindustri terjadi melalui dua keter-kaitan ke depan dan ke belakang. Ada dua Keterkaitan antar industri: Forward lingkage; melibatkan supplier yang menarik buyers dan Backward lingkage; me-libatkan buyers yang menarik supplier. Pertanyaannya sekarang apakah forward dan backward lingkage secara umum lebih penting pengaruhnya bagi peren-canaan pembangunan ? jika forward lingkage lebih penting, bila pembuat kebija-kan akan memilih berkonsentrasi pada pembangunan aktifitas produksi primer seperti: minyak, bahan mentah dan pertanian. Jika backward lingkage lebih efektif, kemudian strategi ekonomi mungkin akan memfokuskan pertama atas pembangunan produksi akhir seperti pakaian, pengalengan makanan. Sekali mencapai establish, aktifitas ini akan mendorong pertumbuhan lebih lanjut me-lalui backward lingkage.

Menurut Hirshman(1972) negara berkembang dicirikan oleh rendah dan  lemahnya saling ketergantungan(interdepedence) dan keterkaitan(lingkage). Peru-sahaan tersebut tidak berdagang dengan masing-masing dalam suatu wilayah. Pertanian dan aktifitas yang melingkupinya merupakan sektor utama kurang di-kembangkan oleh negara, hanya sedikit keterkaitan ke belakang yang terjadi. Selanjutnya, dikatakan bahwa kurangnya keterkaitan ke depan produksi bahan mentah mungkin dihasilkan oleh aktifitas yang tidak mendorong pembangunan yang penting di tempat lain. Oleh karenanya, minyak, mineral dan produk pertani-an sering diekspor tanpa mendorong tambahan aktifitas ekonomi lokal. Seperti aktifitas yang menangkap finishing dari produk impor, pengepakan dan modifikasi kecil-kecilan dsb. Jadi forward lingkage tidak diabaikan, tetapi mereka tidak diper-timbangkan sebagai aktifitas dalam mendorong pertumbuhan lebih lanjut sebagai-mana backward lingkage.

Analisis Hirshman lebih menyukai estabilishnya pabrik mobil dengan fasilitas asemblingnya di wilayah yang kurang berkembang. Pada awalnya, mesin, ban, casis dan input lainnya adalah asembling yang diimpor, tetapi menurut Hirsman impor akan secepatnya dirubah oleh produk lokal. Lokalilsasi produk input mem-punyai keuntungan kompetitif atas input yang diimpor karena biaya transportasi akan berkurang dan pembeli dapat mengembangkan komunikasi. Lokalisasi input yang diproduksi dapat lebih responsif pada kebutuhan asembling perusahaan. Pendekatan ini konsisten dengan pendekatan pembangunan substitusi-impor.

2.3. Konsep Pengembangan Agropolitan

Konsep agropolitan seringkali disamakan dengan mikropolitan karena seba-gian besar mikropolitan merupakan daerah potensial untuk pengembangan per-tanian. Menurut Tweeten dan Brinkman (1976), mikropolitan mengacu pada kon-sep kota kecil yang pada masa yang lalu digambarkan sebagai pembangunan perdesaan karena perubahan gaya hidup masyarakatnya.  Pembangunan mikro-politan ditujukan untuk memperluas kesempatan kerja, pelayanan untuk masyara-kat, kehidupan yang lebih baik dan memperbaiki lingkungan fisik dan sosial di suatu kota kecil, desa serta masyarakat pertanian.

Nurbaya (1999) dalam Hastuti (2001) menyatakan terdapat empat prinsip dalam pengembangan konsep agropolitan tersebut yaitu: (1) prinsip produksi dengan bobot sektor pertanian,(2) prinsip ketergantungan(interdepedensi) dengan aktivitas pertanian sebagai neuro systemnya, (3) prinsip pengaturan kelembagaan dan (4) prinsip seimbang dan dinamis.  Sedangkan Anwar (1999) menekankan bahwa agropolitan dapat menjadi tempat yang berperan sebagai pusat di wilayah perdesaan yang akan mendukung kegiatan pembangunan pertanian mulai dari usaha tani, pengolahan, kegiatan pascapanen, hingga pemasarannya.  Tiga aspek yang harus memperoleh perhatian yang berimbang dalam pengembangan agropo-litan  adalah: (1)  aspek  sumber  daya  manusia  dan  kelembagaan  perdesaan, (2) aspek spasial dengan wilayah desa sebagai wadah kegiatan, (3) aspek jaringan kerja desa kota yang harmonis.

Agropolitan (Agro= pertanian dan Politan= kota) adalah kota pertanian yang tumbuh dan berkembang yang mampu memacu berkembangnya sistem & usaha agribisnis sehingga dapat melayani, mendorong, menarik, menghela kegiatan pem-bangunan pertanian (agribisnis) di wilayah sekitarnya. Kawasan agropolitan, terdiri dari Kota Pertanian dan Desa-Desa sentra produksi pertanian yang ada di sekitar-nya, dengan batasan yang tidak ditentukan oleh batasan administrasi Pemerintah-an, tetapi lebih ditentukan dengan memperhatikan skala ekonomi yang ada. Dengan kata lain Kawasan Agropolitan adalah Kawasan Agribisnis yang memiliki fasilitas perkotaan.

Pengembangan kawasan agropolitan adalah pembangunan ekonomi berbasis pertanian di kawasan agribisnis, yang dirancang dan dilaksanakan dengan jalan mensinergikan berbagai potensi yang ada untuk mendorong berkembangnya sis-tem dan usaha agribisnis yang berdaya saing, berbasis kerakyatan, berkelanjutan dan terdesentralisasi, yang digerakkan oleh masyarakat dan difasilitasi oleh Pe-merintah.

3.    LANDASAN FILOSOFIS

Pembangunan hasus dipahami sebagai proses multidimensi yang mencakup perubahan orientasi dan organisasi sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan. Hal ini berarti bahwa pembangunan kota memerlukan multidisiplin ilmu. Selanjutnya,tuju-an akhir dari pembangunan ialah meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat yang berarti bahwa titik sentral pembangunan adalah manusia.

Sayangnya, baik model tradisional maupun modern telah gagal mendeskrip-sikan realitas empirik di negara-negara yang sementara berkembang (Nicholson, 1981).  Sebenarnya, kegagalan model secara mikro individual dapat ditelusuri dari landasan ontology (Tarumingkeng,2004) dari ilmunya. Hampir semua cabang ilmu yang muncul terbangun di barat, yang memiliki karakteristik kultur yang sangat berbeda dengan negara-negara sementara berkembang (NSB). Oleh karena itu, ilmu dan juga model tersebut gagal bila digunakan menjelaskan realitas empirik NSB. Secara macrosystem seharusnya ada metodologi lintas disiplin, sehingga persoalan-persoalan normatif bisa dikaji dengan model-model positif, dan sebalik-nya. Ini berarti tataran epistemology (Tarumingkeng, 2004) dari setiap ilmu men-jadi penting.

Dalam perencanaan pembangunan menuju Bogor Agropolitan, maka Kota Bogor dipandang sebagai suatu sistem wilayah, yang terdiri atas lingkungan (fisik, biofisik dan ipoleksosbudgam), teknologi, kelembagaan, tujuan pembangunan, dan partisipan(stakeholder). Oleh karena itu, pendekatan sistem menjadi hal terpen-ting.  Pendekatan ini memerlukan orientasi metodologi yang bisa mengakomodasi-kan persoalan-persoalan nilai dan bukan nilai.  Ini berarti metodologi pragmatisme (Johnson,1986) perlu diaplikasikan dalam pembangunan Bogor Agropolitan. Meto-dologi ini menggunakan kriteria kebenaran koherensi, korespondensi, dan pragma-tis. Kebenaran pragmatis yang dikemukakan di sini, tidak sebagaimana yang di-kenal secara luas dan salah kaprah, melainkan kebenaran yang memadukan kohe-rensi dan korespondensi.

Metodologi pragmatisme menghasilkan prescriptive knowledge, sehingga memerlukan uji workability  atas rancangan strategi dan program-program pemba-ngunan Kota Bogor, untuk mengetahui manfaat axiology (Tarumingkeng, 2004) dari metodologi tersebut.  Uji workability akan berfokus pada peubah-peubah yang menentukan tingkat kesejahteraan masyarakat kota, yaitu lapangan usaha, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan dan kesehatan. 

  Oleh karena masyarakat kota berhadapan dengan complexity (Axelord dan Cohen, 1999) yang mengarah ke Chaos (Tarumingkeng, 2002) dan pendekatan sistem wilayah dalam pembangunan Kota Bogor berfokus pada partisipan (masya-rakat-stakeholder), maka perencanaan pembangunan Bogor Agropolitan bisa me-manfaatkan agent-based modelling (Axelord, 1997) untuk merancang strategi pe-ngembangan dan selanjutnya program-program pembangunan. Jadi, metode ini match dengan metodologi pragmatisme.

Perkembangan kota sangat terkait dengan cara memandang atau pema-haman manusia atau masyarakat terhadap ruang dan tempat (faktor dan azas lokasi).  Ungkapan masalah tempat dan area ditentukan oleh faktor-faktor geog-rafis dapat dikelompokkan dalam dua hal: (1) karakteristik abstraks ruang; secara tradisional terkadang daerah-daerah tertentu lebih bermanfaat atau menarik dari tempat lainnya, karena kemungkinan lebih menyenangkan untuk kegiatan ekonomi atau menjadi titik perhatian bagi transportasi, perdagangan maupun komunikasi dan lain-lain, dan (2) mutu muka bumi yang beragam; dengan adanya mutu ekonomi yang beragam, daerah pegunungan, dataran, atau rawa-rawa. Terkadang lebih menyenangkan orang-orang desa yang mempunyai variasi dan pengalaman yang berbeda, masyarakat desa yang mempunyai pengalaman langsung sangat tergantung dengan kondisi ruang yang ada dan sangat tergantung pada mutu muka bumi yang beraneka ragam coraknya. 

Atas dasar hal ini proses yang telah berkembang di masa lalu sangat ber-peran dalam proses perkembangan lokasi di masa depan.  Sehingga berawal dari “teori lokasi (ruang)” tersebut di atas, maka berkembanglah “faktor aglomerasi”, yaitu suatu pengelompokan orang atau kegiatan untuk suatu keuntungan timbal balik.  Pengaruhnya terhadap faktor lokasi, karena aglomerasi meminimalkan jarak yang memisahkan mereka, maka keuntungan aglomerasi akan diperoleh pada kegiatan ekonomis, geografis, dan psikologis.  Aglomerasi dari kegiatan penduduk yang merupakan pengelompokan kegiatan penduduk di suatu wilayah akan mem-perluas kepuasan social dan interaksi sosial dalam tukar-menukar informasi.  Pe-ngelompokan kegiatan penduduk ini juga menimbulkan gebrakan bisnis dan kon-sumsi regional di tempat tersebut.  Alur proses yang telah digambarkan tersebut melahirkan “Growth Pole Theory” dan akhirnya terbentuklah kota dan perkotaan.

Selanjutnya menciptakan “Konsep Polarisasi”, pertumbuhan cepat dari “lea-ding Industry”, merangsang terjadinya polarisasi dari unit ekonomi lain ke arah polar pertumbuhan. Sehingga implisit dalam proses polarisasi terjadi aglomerasi ekonomis. Polarisasi ekonomis ini tidak dapat terelakan, sehingga menuju pola-risasi geografis dengan aliran sumberdaya ke dan konsentrasi kegiatan ekonomis pada sejumlah terbatas pusat-pusat dalam suatu wilayah, dengan pengembangan industri yang menonjol, tetapi terjadi disekonomis regional dan dalam jangka panjang meningkatkan biaya sosial.

4.   PEMBAHASAN

4.1. Fenomena Jabodetabek

Pengembangan dan pertumbuhan suatu kota secara spasial (keruangan) seringkali tidak sejalan dengan kondisi dan kenyataan berdasarkan batas admi-nistratifnya serta seringkali tidak ada keterkaitannya antara konsep pengem-bangan kota yang satu dengan kota lainnya yang berdekatan (Sastrawan, 1996).

Sehingga prinsip pembangunan terpusat dan cenderung urban bias yang menyebabkan seluruh dinamika nasional terpusat di Jakarta yang hegemoninya mempengaruhi perkembangan daerah sekitarnya, seperti: Bogor, Depok, Tange-rang dan Bekasi. Interaksi antarkota tersebut di atas menciptakan pola perjalanan kommuter yang mencapai angka 3 juta jiwa yang telah mengakibatkan kemacetan lalulintas pada setiap pintu masuk Kota Jakarta (koridor kota inti dan hinterland-nya).

Hubungan fungsional ekologis-ekonomis antara wilayah tersebut sangat sulit untuk dipisahkan secara tegas, karena aktifitas ekonomi di Bodetabek (Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi) dipengaruhi oleh aktifitas di Kota Jakarta dan sebaliknya untuk aktifitas ekologisnya.

Menurut Rustiadi dan Panuju (1999) mengatakan bahwa suburbanisasi yang diartikan sebagai proses terbentuknya permukiman-permukiman baru dan juga kawasan-kawasan industri di pinggiran wilayah perkotaan akibat perpindahan pen-duduk kota terindikasi telah terjadi di Jakarta. Paling sedikit terdapat tiga tahapan proses suburbanisasi di wilayah pinggiran Jakarta, khususnya Bekasi: (1) pra-sub-urbanisasi (hingga tahun 1970), (2) suburbanisasi tahap pertama (awal 1980-an), dan (3) suburbanisasi tahap kedua (mulai 1990-an). Tahap pra-suburbanisasi di wilayah Bekasi dicirikan dengan rendahnya tingkat kepadatan penduduk dan rendahnya produktifitas lahan sawah dan pertanian pada umumnya.

Kota Jakarta merupakan daerah tujuan migrasi yang utama. Suburbanisasi tahap pertama menciptakan pola penggunaan lahan yang kompleks sebagaimana ciri konsep “desa-kota”. Suburbanisasi tahap kedua dicirikan dengan semakin menurunnya luasan lahan sawah seiring dengan semakin pesatnya pertambahan jumlah penduduk dan meluasnya lahan urban khususnya perumahan berareal luas tipe real-estate.

Proses suburbanisasi ini juga telah mempercepat proses konversi lahan di Jakarta dan sekitarnya. Konversi penggunaan lahan di dalam proses suburbanisasi umumnya merupakan proses konversi dari lahan-lahan pertanian yang umumnya paling produktif. Laju pertumbuhan ekonomi yang disertai konversi lahan di wila-yah Jabotabek merupakan proses yang kontraproduktif dengan upaya memper-tahankan sentra-sentra produksi beras utama di sepanjang pantai utara (Pantura) Pulau Jawa.

Fenomena commuting (melaju) yang sangat besar dapat dijadikan sebagai salah satu indikator pelengkap yang menunjukkan telah terjadinya proses suburbanisasi. Faktor kenyamanan tempat tinggal dan harga lahan yang relatif lebih murah dibandingkan dengan Jakarta menjadi sebagian alasan dari perpindahan kaum urbanit untuk berpindah dari Jakarta ke pinggiran kota Jakarta.

Konsep perkembangan kota dan urbanisasi serta industrialisasi tentang model pusat pelayanan jasa (central place) mengedepankan faktor: ukuran, lokasi dan fungsi suatu kota. Sehingga berdasarkan kenyataan bahwa kompleksnya perkem-bangan suatu kota, maka diusulkan (Juoro, 1996) bahwa sebaiknya kota-kota kecil berperan sebagai pelayanan jasa kepada perdesaan, kota-kota menengah sebagai usaha jasa dan manufaktur dan kota besar sebagai dominasi jasa dan pelayanan.

Namun kenyataannya proses sub-urbanisasi yang terjadi dipicu oleh arus migrasi pada awalnya yang cukup besar menuju Kota Jakarta dan meluas ke arah Bodetabek telah berdampak pada menurunnya sektor pertanian di wilayah tersebut dan khusus Bogor juga mengalami keadaan yang lambat pemulihannya setelah krisis, karena terjadi konversi lahan secara besar-besaran pada wilayah-wilayah tersebut.

4.2. Kota Bogor

Kota Bogor secara geografis sangat strategis, karena kedekatannya yang hanya berjarak + 54 km dari Ibukota Negara Kota Jakarta. Disamping itu dikelilingi oleh Gunung Salak, Pangrango dan Gede, sehingga menjadikan Kota Bogor yang berada di dataran ketinggian menjadi salahsatu kota yang indah dengan kehijau-an dan kesejukannya serta terkenal dengan sebutan Kota Hujan.

Predikat kota hujan tersebut tidak terlepas dari posisinya yang terletak pada 106048’ Bujur Timur dan 60036’ Lintang Selatan pada ketinggian antara 190-330 meter di atas permukaan laut. Selain itu di tengah kotanya terdapat Kebun Raya Bogor dengan luas 87 Ha yang dibangun sejak tahun 1817 oleh seorang ahli Botani yaitu Prof.R.C.Reinwardth yang didalamnya terdapat berbagai jenis tana-man yaitu kurang lebih 20.000 dari 6.000 spesies, sehingga disebut kebun raya terbesar di Asia Tenggara dan merupakan ciri khas kota (FWB, 2003).

Sebagai kota yang mempunyai kelebihan tersebut dan seperti pada umumnya kota di Indonesia yang mempunyai luas wilayah 11. 850 hektar adalah terdiri dari 6 kecamatan dan 68 kelurahan dengan batas administrasi di sebelah Utara: kecamatan Kemang, Bojong Gede dan Sukaraja Kabupaten Bogor; di sebelah Timur: Kecamatan Dramaga dan Ciomas Kabupaten Bogor; di sebelah Selatan: Kecamatan Cijeruk dan Caringin Kabupaten Bogor; dan di sebelah Barat: Kecama-tan Dramaga dan Kecamatan Ciomas Kabupaten Bogor.

Pada saat ini penduduk Kota Bogor berjumlah + 750.000 jiwa dengan kepadatan rata-rata 70 jiwa/ha. Sebagai salah satu kota di wilayah Jabodetabek dan identik sebagai kawasan permukiman yaitu sekitar 64% dari wilayah kotanya dan selebihnya merupakan kawasan terbuka hijau yaitu 29%.

Kebun raya tersebut dikelilingi oleh jalan lingkar dalam kota dan sebagai pusat aktivitas penduduknya, seperti: Pasar Bogor, Terminal Bus Baranangsiang, Pasar Anyar, Stasiun Kereta Api, Kantor Pemkot, beberapa sekolah, perguruan tinggi, herbarium, museum, kantor perbankan, perhotelan dan aktivitas jasa lain-nya. Selain itu terdapat + 20 perguruan tinggi dengan pelopor IPB dan beberapa pusat penelitian berskala nasional dan internasional.

Tingkat pertumbuhan ekonomi kota mencapai 4,6% dengan PAD sebesar Rp.26,7 Milyar (2001) dan pendapatan perkapita rata-rata Rp.3.200.000/tahun. Aktivitas ekonomi yang mendominasi adalah jasa, industri tekstil dan pakaian jadi, agroindustri dan agrobisnis berkualitas ekspor, sehingga Bogor menjadi salah satu simpul perdagangan regional Provinsi Jawa Barat. Sebagai kota tujuan wisata, Bogor terkenal sebagai pusat jajanan dan makanan serta saat ini berkembang pula secara cepat adalah pertokoan mall dan factory outlet.

Sosial budaya masyarakat Kota Bogor adalah sangat heterogen dan terbuka serta tingkat regilius yang masih dipertahankan. Disamping itu sumberdaya manu-sianya sangat potensial sehingga indeks pendidikan dan prestasi manusianya ter-masuk tertinggi di Jawa Barat.

Fasilitas dan utilitas kota sebagai salah satu pelayanan pemerintah telah sebagian besar dirasakan oleh masyarakat, seperti: listrik, telepon, air bersih dan sebagian kecil gas alam. Selain itu pelayanan lainnya adalah terdapat 5 buah rumah sakit besar, 5 mall, 3 pasar induk dan tradisional dan 5 hotel berbintang dan lain-lainnya sebagai layaknya kota besar lainnya di Indonesia.

Kota Bogor yang telah mencoba memvisikan jati dirinya menjadi Kota dalam Taman Menuju Kota Internasional yang berfungsi sebagai kawasan permukiman dengan kendala topografi bergelombang dan keterbatasan pemerintah kotanya dalam hal sumberdaya manusia dan finansial serta faktor eksternal lainnya.

Beberapa persoalan kota yang secara prioritas membutuhkan penanganan jangka pendek dan menengah diantaranya adalah: kesemrawutan pedagang kaki lima, tingginya angka kemiskinan, kemacetan lalulintas, menurunnya kebersihan lingkungan dan kesehatan masyarakat serta sistem kepemerintahan yang belum membaik.

4.3. Pedagang Kaki Lima

Pedagang kaki lima(PKL) merupakan salah satu bentuk dari kegiatan ekonomi sektor informal di perkotaan yang telah muncul sejak terbentuknya kota dan ter-bentuknya aglomerasi ekonomi di wilayah kota, kemudian jumlahnya semakin ber-tambah seiring dengan terjadinya krisis ekonomi yang pada dasarnya memper-lihatkan kegagalan sektor formal di dalam memperkuat ekonomi Nasional.

Sektor informal muncul karena tidak memberikan ruang lingkup bagi kegiatan ekonomi yang cukup, sehingga kegiatan ekonomi berlangsung di luar sektor yang terorganisir. Sektor ini terutama diisi oleh golongan kurang mampu dan gejalanya semakin menjamur di negara sedang berkembang yang tengah melakukan prog-ram industrialisasi, terjadi pertumbuhan penduduk yang pesat, terdapat peningkat-an jumlah pengangguran, kemiskinan, serta kesenjangan ekonomi. Sering disebut underground economy karena sifatnya yang illegal dari sisi hukum atau peraturan. Dampak negatifnya muncul karena upaya penanganan yang tidak akomodatif terhadap kenyataan yang ada, sehingga diperlukan strategi lain dalam penyele-saian masalah ini.

Sektor informal sering disinyalir kehadirannya merupakan akibat dari kesen-jangan pendapatan, perkembangan industrialisasi yang tidak merata, dan kesalah-an dalam strategi implementasi, akibat banyaknya pengangguran dan kurang mapannya sistem ekonomi yang berkembang di negara bersangkutan.

Konsep sektor informal, pertama kali diperkenalkan oleh Hart, yang membagi secara tegas kegiatan ekonomi yang bersifat formal dan informal. Sementara itu, sebelumnya dikenal istilah sektor tradisional sebagai lawan dari sektor modern.

Kegiatan sektor informal umumnya terjadi di kawasan yang sangat padat penduduknya, dimana pengangguran (unemployment) dan pengangguran terselu-bung (disguised unemployment) merupakan masalah yang utama. Untuk Indone-sia, keberadaannya sangat menonjol di beberapa kota besar di Pulau Jawa, tempat tekanan penduduk sudah sedemikian kritis. Apabila dikaitkan dengan sistem pen-didikan, ternyata sistem pendidikan yang ada belum mampu menyelesaikan masa-lah ketenagakerjaan yang terjadi.

Dari beberapa penelitian disebutkan bahwa terjadinya sektor informal karena kurangnya lapangan pekerjaan dan proses industrialisasi yang terpusat ke wilayah perkotaan yang padat modal, konsekuensinya hanya tenaga kerja terampil saja yang dapat memasuki sektor modern yang formal. Sebab lain adalah karena urbanisasi, dimana menurut Todaro (2000) urbanisasi banyak disebabkan oleh perbedaan penghasilan yang diharapkan. Banyak diantara para migran yang memasuki sektor informal karena cenderung mudah. Sehingga ada anggapan yang menyatakan bahwa sektor informal dikenal sebagai katup pengaman dari masalah ketenagakerjaan. Selain itu juga sektor informal tidak memiliki akses terhadap sumberdaya. Posisinya yang lemah menyulitkan pemerintah untuk menjalin hubu-ngan formal lewat lembaga-lembaga yang ada.

Program industrialisasi yang dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia pada masa orde baru cenderung padat modal, sehingga tidak memberikan kesematan yang besar bagi tenaga kerja yang berlimpah. Program industrialisasi yang padat karya, baru sampai pada tingkat semangat yang gagal diimplementasikan. Kenya-taan ini mempunyai pengaruh tersendiri terhadap perkembangan sektor informal yang kian membengkak karena industrialisasi yang berkembang masih didominasi oleh industri berat dengan teknologi tinggi serta peralatan yang kian modern. Ternyata industri kecil lebih mampu menyerap tenaga kerja yang besar daripada industri besar menurut McCawley. Juga menurut Thee Kian Wie, bahwa industri besar dan sedang hanya mampu menyerap tenaga kerja 3% saja selama kurun waktu 1975-1982.

Selama ini, sektor informal dan formal berjalan dengan pertumbuhannya masing-masing. Sektor informal menjadi penyangga dari transformasi dari struktur tenaga kerja yang pincang.Ketika disadari bahwa sektor informalpun mampu mem-berikan kontribusi yang berarti, baik dalam penyerapan tenaga kerja maupun ka-pasitas outputnya, maka cara pandang terhadap sektor ini mulai diubah. Sektor informal bukan lagi hanya sebagai tempat penampungan, tetapi juga menjadi al-ternatif yang komplementer terhadap sektor formal.

Jika program pemerintah mampu menstimulasikan perkembangan dan efisi-ensi sektor informal ini, maka program seperti KIK, program Inpres,program padat karya, pengembangan industri kecil dan sebagainya membantu memperbaiki ke-adaan. Sebaliknya, jika pemerintah mengambil keputusan yang tidak memadai, maka masalah sektor informal perkotaan akan bertambah pelik, khususnya bagi kelompok masyarakat bawah yang tidak mempunyai perlindungan hukum secara memadai.

Dikotomi sektor formal dan informal juga dianalisis oleh Mazumdar, khusus-nya dalam konteks pasar tenaga kerja yang terfragmentasi. Dalam kerangka ana-lisis seperti ini sektor formal adalah sektor yang lebih mendapatkan proteksi, sedangkan sektor informal tidak mendapatkan proteksi. Dikotomi seperti ini mam-pu menjelaskan kondisi struktural dari pasar tenga kerja tersebut, khususnya dalam kaitan kebebasan dan rintangan dari mobilitas buruh.

Menurut Dieter-Evers bahwa bentuk kegiatan ekonomi bayangan sektor infor-mal dan sektor penunjangnya mengandung makna yang ilegal dan memiliki ciri seperti yang ada pada keadaan sebelum revolusi industri. Dengan ciri seperti itu sulit bagi mereka yang bergerak dalam sistem ekonomi bayangan memperoleh peluang yang sama dengan mereka yang bergerak di sektor informal.

Beberapa alasan yang menyebabkan distorsi yang semakin lebar antara sektor informal dengan sektor formal, yaitu:

1.  Pranata dan prinsip yang mendukung kegiatan sektor informal sama sekali ter-lepas kaitannya.

2.  Tingkat produktivitasnya yang pincang antara kedua sektor tersebut.

3.  Pemanfaatan teknologi yang sangat ber-beda satu sama yang lainnya.

4. Tingkat upah yang berbeda antara keduanya.

Berdasarkan studi yang dilakukan oleh FWB,2003 teridentifikasi jumlah PKL adalah + 10.350 pedagang yang tersebar di 51 lokasi dengan komposisi asal dari luar kota 82% dan dari dalam kota 18%. Pedagang kaki lima tersebut menempati lokasi berdagang pada trotoar, badan jalan dan jalur hijau yang merupakan hak publik serta terkonsentrasi di pusat kota (pasar, terminal dan stasiun). Jenis daga-ngannya seperti: makanan, pakaian, elektronik, alat rumah tangga dan lainnya de-ngan tipologi yang lama, perpanjangan bandar, musiman dan toko berjalan. Peda-gang kaki lima diperkirakan omsetnya perhari adalah berkisar Rp.500 ribu hingga Rp.1 juta.

Dampak yang ditimbulkan oleh keberadaan PKL di Bogor diantaranya adalah: menghambat lalulalangnya orang dan kendaraan, kelihatan kumuh, semrawut, kotor oleh sampah, merusak trotoar/jalan/jalur hijau dan rawan kriminalitas.

4.4. Kemiskinan Kota

Kemiskinan dapat terjadi akibat adanya fluktuasi ekonomi agregat, produkti-vitas yang rendah,ketidaksempurnaan dan hambatan pasar, budaya serta ciri pem-bawaan. Fenomena kemiskinan di Indonesia menjadi kontradiktif ketika dikaitkan dengan berlimpahnya natural resource endowment yang dimiliki seperti lahan yang subur, iklim yang kondusif, lahan yang luas, serta laut yang kaya. Dewayanti,2003,  mendefinisikan kemiskinan sebagai akibat dari tidak atau kurang dilibatkannya kelompok miskin di dalam proses pengambilan keputusan yang terkait dengan pengaturan sumberdaya yang penting untuk menjamin kelangsungan hidupnya. 

Faktor-faktor penyebab kemiskinan dapat dibedakan dalam 3 kelompok yaitu: (1)kemiskinan struktural, (2) kemiskinan alami dan (3) kemiskinan kultural. Kemis-kinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh kondisi sosial, ekonomi dan politik yang membelenggu masyarakat sehingga terjadi proses kemiskinan.  Ini disebabkan antara lain oleh kebijakan pembangunan yang tidak memihak ma-syarakat miskin, ketiadaan tata pemerintah yang bersih dan baik, pengelolaan sumberdaya alam yang tidak arif dan adil.  Kemiskinan alamiah melihat kemiskinan disebabkan oleh faktor kondisi sumber daya alam yang miskin dan tidak memadai.  Sedangkan kemiskinan kultural sering dikaitkan dengan budaya seperti malas, boros dan tidak efisien.

Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh BPS bekerjasama dengan Bappenas dan UNDP tahun 1999, bahwa setelah krisis ekonomi tahun 1998, terjadi pening-katan variasi indeks kemiskinan manusia antar propinsi dari tahun 1996 sebesar 4,6 menjadi 5,1 tahun 1999.  Peningkatan ini terutama terjadi dalam komponen akses masyarakat terhadap sarana kesehatan.

Hasil diskusi Forum Warga Bogor dengan Mahasiswa Program Studi PWD IPB, 2003, menemukan bahwa fenomena kemiskinan juga menjadi masalah utama dalam pembangunan Bogor. Akar permasalahan kemiskinan tersebut adalah ku-rangnya lapangan kerja formal relatif terhadap jumlah penduduk yang secara umum disebabkan oleh rendahnya kepemilikan modal masyarakat serta rendahnya tingkat pendidikan.  Pekerjaan informal selain memberikan penghasilan yang tidak mencukupi bagi masyarakat untuk dapat hidup diatas garis kemiskinan juga tidak menentu.   

Tingkat kemiskinan di Kota Bogor mencapai 21,37% (20.956KK) pada akhir tahun 2002 dengan karakteristik miskin perkotaan dan perdesaan serta bertipologi miskin struktural (fakir) dan sementara (potensial). Ciri-cirinya adalah tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar, tidak mampu berusaha, tidak mampu mengakses sumberdaya sosial dan ekonomi serta berdaya mengubah nasib sendiri.

Kebijakan anti kemiskinan yang ditujukan untuk mengurangi jumlah orang miskin telah banyak ditetapkan.  Namun kemiskinan masih saja menjadi masalah utama pemerintah. Berbagai faktor diduga menghambat keberhasilan program anti kemiskinan tersebut. Pemilihan strategi dalam rangka mengurangi kemiskinan harus disesuaikan dengan penyebab kemiskinan yang terjadi.Agenda tingkat nasio-nal menekankan pada pemberdayaan manusia sebagai kunci dari upaya peng-hapusan kemiskinan yang mencakup (HDR,1999 dalam Pembangunan Manusia 2001):

·    Pemberdayaan individu-individu, rumah tangga dan masyarakat untuk memiliki kontrol yang lebih besar terhadap kehidupan dan sumberdaya yang ada.

·    Meningkatkan kesetaraan jender untuk memberdayakan wanita.

·    Mempercpat pertumbuhan yang pro rakyat miskin.

·    Meningkatkan globalisasi.

·    Menjamin komitmen aktif negara untuk menghapuskan kemiskinan.

·    Melakukan langkah-langkah khusus untuk keadaan-keadaan khusus guna men-dukung perkembangan daerah-daerah yang termiskin dan terlemah.

Penanggulangan kemiskinan di Bogor telah dilakukan melalui program Garda Emas yaitu suatu program penanggulangan kemiskinan yang digarap secara ber-sama antara pemerintah, Pinbuk-model LSM. Pada intinya Garda Emas adalah ge-rakan pemberdayaan ekonomi masyarakat.  Kunci keberhasilan gerakan ini adalah kemitraan dan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan yang bersih serta transparansi. Melalui bantuan modal, masyarakat diharapkan mampu menjalankan usaha kecil dan mikronya sehingga memperoleh penghasilan Rp. 20.000,- perhari. 

4.5. Transportasi Kota

Akses dari lokasi tempat tinggal dan perusahaan serta kepentingan lain dalam kota terkait dengan penggunaan lahan. Sistem transportasi perkotaan menjadi faktor utama penentu akses tersebut, terutama dalam memahami bekerjanya perekonomian suatu kota. Sistem transportasi (Blair, 1991) dikatakan berdampak pada: (1) intermetropolitan dan (2) intraurban, yang mempengaruhi: produktivitas, penggunaan lahan, nilai lahan dan bentuk kota serta menimbulkan eksternalitas polusi udara dan suara serta kemacetan.

Kusbiantoro(1997) mengatakan bahwa sistem transportasi terdiri dari: sistem kegiatan (demand system), sistem jaringan (supply system), sistem pergerakan (flow system), sistem kelembagaan (institution system), sistem lingkungan internal (internal environmental system), sistem lingkungan eksternal atau terbuka (exter-nality environmental system). Dan analisanya tidak terlepas dari gabungan tiga obyek atau komponen utama, yaitu: penggunaan lahan (land use), persediaan angkutan (transport supply) dan lalulintas (traffic).

Selain itu sistem transportasi kota terkait juga dengan ekonomi politik, di-mana pemerintah sebagai penyedia pelayanan publik diharapkan mempertimbang-kan juga kebijakan perpajakan, deregulasi serta privatisasi yang berpihak kepada rakyat (publik), termasuk isu kesejahteraan yang terkait dengan penetapan harga sistem transportasi publik.

Sistem transportasi Kota Bogor didukung oleh banyaknya trayek angkutan yaitu 17 dengan jumlah angkutan kota sebanyak 2.242 unit dan angkutan per-kotaan 6.000 unit. Volume kendaraan puncak mencapai 1.400 smp/jam yang sirku-lasinya terkonsentrasi ke pusat kota (terpusat), karena terminal dan stasiunnya terpusat di kota. Hal tersebut menyebabkan terdapatnya 21 lokasi titik kemacetan, baik oleh kapasitas jalan yang rendah dan terbatas maupun karena banyaknya masyarakat kommuter Jakarta-Bogor setiap hari yaitu sekitar + 250.000 orang.

Beberapa upaya pemerintah kota dalam mengatasi persoalan transportasi tersebut di antaranya adalah penambahan sarana dan prasarana transportasi dan sosialisasi perlalu-lintasan serta manajemen angkutan umum dan mengkordinasi-kannya dengan dinas terkait.

Secara umum persoalan kemacetan, kecelakaan dan pelanggaran lalulintas disebabkan oleh:

·      prasarana dan sarana transportasi yang masih terbatas.

·      rencana terintegrasi sistem transportasi belum ada.

·      kedisiplinan pengendara dan penumpang masih rendah.

·      lemahnya penegakan hukum.

·      masih lemahnya koordinasi dan kerjasama institusi terkait tingkat lokal.

·      Tidak adanya koordinasi dan kerjasama institusi terkait antar wilayah di Jabo-detabek.

4.6. Kebersihan dan Kesehatan Lingkungan

Masalah kebersihan dan Kesehatan Lingkungan merupakan masalah umum di perkotaan, begitupun yang terjadi di Kota Bogor. Berdasarkan data dan isu perma-salahan yang berkembang di Kota Bogor sebagai indikatornya adalah: Pertama, masalah sampah menumpuk di mana-mana (yaitu di pusat-pusat perdagangan, di kawasan padat penduduk seperti kompleks perumahan, di kawasan keramaian seperti tempat rekreasi, terminal bis, stasiun kereta api dan lain-lain). Kedua, masalah kesehatan antara lain: masih adanya bayi kekurangan gizi dan gampang-nya berjangkit berbagai macam penyakit, kurang efektifnya posyandu-posyandu untuk mengkampanyekan masalah kesehatan, seperti penyuluhan masalah gizi dan kesehatan. Ketiga,masalah lingkungan: masih tumpang tindihnya fungsi peng-gunaan fasilitas, zoning, RDTRK, RDTRW, RUTR, penegakan hukum dan over loadnya standar fisik lingkungan akibat bertambahnya jumlah penduduk.

Secara umum akar masalah kebersihan dan kesehatan lingkungan adalah:

·     Lemahnya kinerja Pemerintah Kota Bogor.

·     Rendahnya pengetahuan masyarakat tentang kebersihan, gizi dan kesehatan lingkungan.

·     Lemahnya ekonomi masyarakat.

·     Kurangnya rasa memiliki Kota Bogor.

Sedangkan Akar masalah kesehatan lingkungan tersebut adalah:

·     Pengetahuan, sikap dan perilaku tentang kesehatan lingkungan rendah ter-masuk rendahnya kesadaran warga.

·     Keterbatasan kemampuan PEMDA Bogor di bidang kesehatan lingkungan.

·      Rendahnya daya beli warga.

dan akar masalah kesehatan kota adalah:

·     Rendahnya kesadaran warga akan pentingnya kebersihan kota.

·     Keterbatasan kemampuan PEMDA Bogor di bidang kebersihan dan kesehatan lingkungan.

·     Kurangnya rasa memiliki warga terhadap Kota Bogor.

Fokus isu kebersihan dan kesehatan lingkungan adalah:

·     Kualitas lingkungan dan kesehatan masyarakat menurun bahkan mengkha-watirkan.

·     Penduduk kota merasa tidak aman, tidak nyaman dan aktivitas sehari-hari banyak terganggu sehingga tidak produktif.

·     Sampah menumpuk, got mampet dan lalu-lintas jadi macet.

       Solusi kebersihan dan kesehatan lingkungan sebagai berikut:

·      Meningkatkan kinerja Pemda Kota Bogor, diantaranya melalui :

a. Meningkatkan sosialisasi dan penegakan peraturan.

b. Memperbanyak sarana prasarana (memperbanyak jumlah petugas, jumlah ar-mada angkut sampah, dan membangun TPS/TPA sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan meningkatkan kemampuan manajemen pengelolaan sampah (perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan yang lebih efektif).

c. Meningkatkan kemampuan daur ulang.

d. Meningkatkan penyuluhan tentang pentingnya kebersihan dan kesehatan lingkungan.

e. Meningkatkan fasilitas kesehatan masyarakat dan fasilitas lingkungan.

·      Meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya keber-sihan dan kesehatan lingkungan.

·      Memperkuat ekonomi masyarakat sehingga daya beli masyarakat meningkat.

·      Meningkatkan rasa memiliki kota bogor agar masyarakat tidak membuang sampah sembarang, lebih terlibat dalam pembangunan khususnya bidang ke-bersihan dan kesehatan lingkungan serta memiliki kontrol terhadap kinerja pemerintah.

·     Sistem yang jelas dan transparan mengenai RDTRK, RDTRW, RUTR, zoning dan aturan pembangunan sarana prasarana lingkungan dan perumahan (properti).

Berdasarkan kajian FWB,2003 diidentifikasi bahwa jumlah produksi sampah sebesar 2005 m3 perhari dengan komposisi sampah organik 80% dan non-organik 20% dengan jenis domestik 40% dan pasar/umum 60%. Sedangkan daya angkut ke TPA sebanyak 40% menggunakan incenerator 4 unit yang dirasakan masih kurang optimal serta lokasi TPA Galuga yang berada 33 km dari Kota Bogor yang masih berstatus sewa.

Beberapa program tindak pemerintah dan masyarakat Kota Bogor diharapkan dapat:

·      Meningkatkan pengetahuan dan kesadaran warga tentang kebersihan dan kese-hatan lingkungan.

·      Meningkatkan kinerja pemerintah dalam penanganan masalah kebersihan dan kesehatan lingkungan.

·      Meningkatkan rasa memiliki (sense of belonging) oleh warga dan Pemerintah terhadap Kota Bogor.

Fenomena yang muncul di kota Bogor, kalau dibiarkan terus menerus tanpa penanganan yang serius dan profesional akan mengakibatkan dampak yang sangat mengkhawatirkan masyarakat dan Kota Bogor itu sendiri menjadi tidak aman, tidak tertib, tidak nyaman dan menjadi kota yang semrawut dan acak-acakan. Berdasar-kan kenyataan tersebut di atas, maka dapat diduga bahwa terdapat fenomena yang sangat mengkhawatirkan Kota Bogor.

4.7. Kepemerintahan yang Baik (Good Governance)

Dalam konsep ekonomi tentang pilihan kolektif ada asumsi bahwa adminis-trator, seperti pemberi suara, perusahaan, dan legislator, termotivasi oleh kepen-tingan diri. Bagaimanapun juga, kepentingan diri itu adalah selalu egois (Stevens,  1993).

Kepentingan diri itu pula yang diduga menyebabkan akar permasalahan good governance di Kota Bogor, yaitu sebagai berikut :

·      Etika dan norma yang baik tidak melekat pada perilaku aparat pemerintah (ek-sekutif dan legislatif).

·      Rendahnya supremasi hukum.

·     Parpol tidak memiliki format kerja partai.

Fokus isu good governance di Kota Bogor yang dapat dikemukakan adalah:

·     Rendahnya political will apalagi political action dari pemerintah.

·     Rendahnya kinerja dan kedisiplinan aparat pemerintah.

·     Masih banyaknya praktek KKN.

·     Tidak tepatnya sasaran program pembangunan.

·     Rendahnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan kota.

Tujuan akhir yang ingin dicapai dari good governance ialah terciptanya keper-cayaan masyarakat pada pemerintah yang dapat diwujudkan dengan :

·      Meningkatkan kinerja dan kedisiplinan pemerintah.

·      Memberantas praktek KKN.

·      Mewujudkan program pembangunan yang tepat sasaran.

·      Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan.

·      Meningkatkan etika dan moral pejabat/aparat pemerintah.

·     Menegakkan supremasi hukum.

Strategi pengembangan yang perlu diimplementasikan ialah (i) membangun kesadaran dan keberdayaan, serta kekuatan masyarakat melalui lembaga-lembaga swadaya masyarakat, lembaga perguruan tinggi, serta meningkatkan peran media massa sebagai kontrol social; (ii) membangun jaringan dan komunikasi yang kuat dan harmonis antar-lembaga swadaya masyarakat dalam rangka membangun ke-kuatan, dan motivator serta fasilitator pembangunan masyarkat; (iii) menumbuh-kembangkan dan meningkatkan kepedulian dan kepekaan dunia usaha terhadap masalah-masalah pembangunan, kemasyarakatan, dan kepemerintahan, jadi tidak hanya berorientasi pada keuntungan maksimum.

5.  KESIMPULAN

Makalah ini lebih bersifat tinjauan filsafat yang dapat diartikan sebagai ber-pikir metodologis kritis, yang bisa disebut sebagai aspek obyektif dari filsafat.  Dengan mengambil Kota Bogor sebagai topik kajian dimaksudkan bahwa fenomena riil dapat dirasakan oleh kita semua yang tinggal di Bogor.  Akibat dari penerapan teori pengembangan wilayah yang tidak tepat, terjadi misleading-conception, yang berimplikasi pada misleading-policy dan mis-management dalam sistem penataan dan pengelolaan Kota Bogor.  Dampak yang dirasakan nampak-nya tidak hanya dirasakan di perkotaan, namun juga dirasakan oleh masyarakat perdesaan di sekitarnya.  Sehingga menciptakan dis-economic regional dan ketim-pangan wilayah, yang pada akhirnya menyebabkan buruknya kinerja pemba-ngunan Kota Bogor secara holistik.

Kota Bogor masa depan seyogyanya mengedepankan konsep sebagai kota yang berfungsi permukiman, rekreasi, bisnis, infrastruktur dan beridentitas. Kelima konsep tersebut di atas akan efisien dan efektif bila didukung oleh sejarah perkem-bangan Kota Bogor dan kondisi potensial daerah hinterlandnya yang berbasis pertanian, yaitu guna mendukung sebagai Kota Agropolitan masa depan.

Visi pembangunan Kota Bogor diharapkan secara realistis dan pragmatis dapat mengedepankan pembangunan yang berorientasi pada pencapaian pemba-ngunan kota agropolitan dengan menjadikan:

·     sebagai kota yang menyediakan infrastruktur aktifitas pertanian hinterlandnya;

·     perwujudan PKL sebagai salah satu pelaku ekonomi yang mandiri dan taat hukum (menerbitkan produk hukum, menumbuhkan kesadaran hukum dan ke-mandirian PKL);

·     perwujudan warga sejahtera mandiri guna mengaktualisasikan hidupnya dalam dinamika perkembangan kota (meningkatkan kualitas SDM, meningkatkan akses pada informasi dan modal, meningkatkan kualitas hidup dan mensinergikan program pemberdayaan keluarga miskin);

·     penciptaan sistem transportasi yang aman, tertib, lancar dan sehat (mening-katkan kedisiplinan berlalu-lintas, meningkatkan kinerja aparat dan meningkat-kan sarana dan prasarana transportasi);

·     penciptaan kota yang sehat, bersih, indah, nyaman dan aman (meningkatkan kesadaran, pengetahuan dan perilaku masyarakat dan pemerintah tentang pen-tingnya arti kebersihan, kelestarian lingkungan dan kesehatan masyarakat); dan

·     perwujudan pemerintahan (eksekutif dan legislatif) yang berorientasi pada ke-sejahteraan masyarakat (memberantas KKN, menciptakan hubungan harmonis antara pemerintah dan masyarakat, meningkatkan transparansi dan akuntabili-tas, menegakkan supremasi hukum secara pasti dan adil serta meningkatkan pelayanan masyarakat).

Strategi pembangunan yang telah diterjemahkan ke dalam berbagai program (prescriptive knowledge) dalam pembahasan kajian di atas perlu diimplementasi-kan secara nyata untuk menguji kebenaran pragmatisnya (Uji workability). Hal itu dilakukan karena tanpa pelaksanaan, maka keseluruhan konsepsi yang ideal dan mungkin juga utopian tersebut tidak efisien dan tidak efektif (mubazir).

Perencanaan pembangunan kota merupakan suatu kegiatan moral dalam upaya menyeimbangkan keputusan politik dengan pertimbangan moral, sehingga peran perencana pembangunan diharapkan tidak lagi hanya sebagai instrumen penyelesaian persoalan pembangunan Kota Bogor, tetapi lebih sebagai agen moral yang bertanggung jawab dan berdampingan dengan semua stakeholders kota serta pemerintah (eksekutif dan legislatif) mewujudkan Kota Agropolitan Bogor .


DAFTAR PUSTAKA

1.       Anwar,Affendi,2002, Kumpulan Materi Kuliah PWD-IPB 2002-2004, Program     Studi PWD-IPB, Bogor.

2.       Axelord, Robert, 1997, The Complexity of Cooperation, Agent-Based Models of Competition and Collaborational, Princetown University Press, Princetown, New Jersey.

3.       Axelord, Robert and Michel D.Cohen,1999, Harnessing Complexity, Organiza-tional Implications of a Scientific Frontier,The Free Press,New York.

4.       Blair,John P.,1991,Urban and Regional Economics,Richard D.Irwin,Inc.,Boston.

5.       BPS,Bappenas dan UNDP,2001, Menuju Konsensus baru: Demokrasi dan Pem-bangunan Manusia di Indonesia, Laporan Pembangunan Manusia Indonesia 2001, Jakarta.

6.       Forum Warga Bogor, 2003, Rakyat Bogor Bicara Kotanya, Forum Warga Bogor Bogor.

7.       Johnson, Glenn L.,1986, Research Methodology for Economists, Philosophy and Practice, Macmillan Publishing Company, New York.

8.       Juoro,Umar,1996,PerkembanganPerkotaan Pertumbuhan Ekonomi dan Peran-serta Masyarakat, Makalah Konvensi Nasional IAP-CIDES, Jakarta.

9.       Nicholson, Norman, K,1981, Applications of Public Choice Theory to Rural Development: A Statement of the Problem, dalam Russell, Clifford S. and Norman K.Nicholson (Editor),1981, The proceedings of a conference Public Choice and Rural Development, Washington, D.C

10.  Oetomo,Andi,2001, Transmisi Otonomi Daerah di Indonesia: Dilema bagi  Penataan Ruang Berkelanjutan, Makalah Seminar 42 tahun Teknik Planologi ITB, Bandung.

11.  O’Sullivan, Arthur, 2000, Urban Economics, Fourth Edition, Irwin McGraw-Hill, Boston.

12.  Rustiadi, E. dan D.R. Panuju,1999, Suburbanisasi Kota Jakarta.  Disampaikan pada Seminar Nasional Tahunan VII, Persada Tahun 1999, Bogor.

13.  Sastrawan,Alexander,1996,Kecenderungan Perkembangan Kota Baru di Indo-nesia, Makalah Seminar Program Magister Unpar, Bandung.

14.  Steven, Joe B., 1993, The Economics of Collective Choice, Westview Press, Boulder, San Francisco.

15.  Tarumingkeng, Rudy,C.,2004, Falsafah Sains, Materi Kuliah III, Sekolah Pasca-sarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

16.  Tarumingkeng, Rudy, C., 2002, Chaos, Materi CD Falsafah Sains, Program Pas-casarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

 

 

 

 

 Lampiran: Hubungan Sistemik Perkembangan Kota Bogor

                                                 

FAKTOR                           MIGRASI            ALAMI             SOSIAL BUDAYA         `SOSIAL EKONOMI

PERKEMBANGAN

KOTA

                                   

PERTAMBAHAN PENDUDUK                   PERKEMBANGAN AKTIFITAS

 

 


KONSEKUENSI

PERKEMBANGAN                                                 KOTA BOGOR

 


 

 


ANGGOTA KELOMPOK I:

·       Elan Masbulan, Lahir di Indramayu,12 Agustus 1960. Pendidikan S2 Ekonomi Univer-sitas Gajah Mada Yogyakarta (M.S.) dan S3 Program Studi Ilmu PWD IPB Bogor, 2001-skrg. Tugas tetap sebagai peneliti Pusat Balitbang Peternakan Bogor (PNS Deptan).

·       Ansofino, Lahir di Salimpaung, 27 Maret 1966. Pendidikan S2 PWD Universitas Anda-las Padang (M.S.) dan S3 Program Studi Ilmu PWD IPB Bogor,2001-skrg. Tugas tetap sebagai staf pengajar Universitas Muhammadiyah Padang (PNS Kopertis Wilayah X).

·       Marwan Rahman Yantu, Lahir di Gorontalo,2 Juni 1961. Pendidikan S2 PWD KPK IPB-UNSRAT(M.S.) dan S3 Program Studi Ilmu PWD IPB Bogor, 2002-skrg. Tugas tetap sebagai staf pengajar Univeritas Tadulaku Palu (PNS Untad).

·       Nyoman Utari Vipriyanti, Lahir di Bandung,28 November 1964. Pendidikan S2 PWD IPB Bogor (M.S.) dan S3 Program Studi Ilmu PWD IPB Bogor, 2002-skrg. Tugas tetap sebagai staf pengajar Univeritas Mahasaraswati Denpasar (PNS Kopertis Wilayah VIII).

·       Umar Mansyur, Lahir di Makassar,15 Oktober 1967. Pendidikan S2 PWK ITB Bandung (M.T.) dan S3 Program Studi Ilmu PWD IPB Bogor,2002-skrg. Tugas tetap sebagai staf pengajar Univeritas Empat Lima Makassar (PNS Kopertis Wilayah IX).

·      Maman Hilman, Lahir di Bandung, 16 Desember 1946. Pendidikan S2 PSL IKIP Ban-dung (M.Pd.) dan S2 Arsitektur Unpar Bandung (M.S.A.) dan S3 Program Studi Ilmu PWD IPB Bogor, 2002-skrg. Tugas tetap sebagai staf pengajar Univeritas Pendidikan Indonesia Bandung (PNS UPI).