© 2004  Sekolah Pasca Sarjana IPB                                                                                       Posted  17  March  2004

Makalah Kelompok 4,  Sem. 2,  t.a. 2003/4

Materi Diskusi Kelas

Pengantar Falsafah Sains (PPS702)

Program Pasca Sarjana -  S3

Institut Pertanian Bogor

Maret  2004

 

 

Dosen:

Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng (penanggung jawab)

Prof. Dr. Ir. Zahrial Coto

Dr Ir Hardjanto

 

 

 

 

STRATEGI ALTERNATIF PERCEPATAN PEMBANGUNAN 

DI KASAWAN TIMUR INDONESIA

 

 

Disusun Oleh :

Kelompok IV

 

Lukman Malanuang (PWD/A165030071)

M. Ilyas (PWD/A165030031)

Sonny Rambet (PWD/A165030011)

Marthy L. Stella Taulu (ENT/A461034011)

 

I.                   PENDAHULUAN

 

1.1.  Latar Belakang

Diskursus tentang dua kawasan yakni Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI) selalu menjadi perhatian serius dari perencana wilayah. Namun persoalan mendasar yang memicu kecemburuan dan membayangi pembangunan  Indonesia dimasa yang akan datang adalah disparitas hasil pembangunan antar wilayah yakni (1) disparitas antara wilayah jawa (inner island) dengan wilayah luar Jawa (outer island) (2) Antara Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI). Karena kebijaksanaan pembangunan yang sentralistik dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi selama ini, maka hasil-hasil pembangunan cenderung bias Kawasan Barat Indonesia (KBI), khususnya pulau Jawa. Disparitas regional tercermin oleh perbedaan pertumbuhan gross domestic product (GDP) antara Kawasan Barat Indonesia dan kawsan Timur Indonesia. Dari data pertumbuhan kawasan tercatat bahwa pertumbuhan GDP 1996 di KBI 82,80% per tahun, sedangkan di KTI hanya 17,26%.

Sementara itu, pada tahun 1997 secara rinci kita melihat bahwa dari produk domestik bruto (PDRB) Indonesia, kue pembangunan sebanyak Rp. 425,64 miliar, Jakarta menikmati Rp. 69,47 miliar atau sekitar 16,32%, Jawa Barat memperoleh Rp. 71,16 miliar (16,72%), Jawa Timur mendapat Rp. 64,85 miliar (15,24%), dan Jawa Tengah menikmati kue pembangunan sebanyak Rp. 43,12 miliar atau sebesar 10,13% (jurnal Pasar Modal, Januari 2000).

Bandingkan dengan kue yang dinikmati wilayah KTI. Laporan Jurnal ini selanjutnya mencatat, tahun yang sama (1997), Irian Jaya yang dikenal dengan tambang emas dan tembaganya hanya memperoleh Rp. 7,2 miliar (1,70%), Maluku Rp. 3,0 miliar (0,72%). Sulawesi Tenggara Rp. 1,6 miliar (0,39%), Sulawesi Selatan Rp. 9,8 miliar (2,32%), Sulawesi Tengah Rp. 2,3 miliar (0,54%), Sulawesi Utara Rp. 2,8 miliar (0,66%), Nusa Tenggara Barat Rp. 3,3 miliar (0,79%), dan Kalimantan Barat mendapat Rp. 7,2 miliar (1,70%).

Padahal jika dilihat dari persentase struktur fiscal, maka Irian Jaya menduduki urutan teratas , yakni sebesar 40,63%, sedangkan Maluku 15,55%, Sultra 10,68%, Sulsel 12,36%, Selteng 4,81%, Sulut 10,36%, Kaltim 30,46%, Kalsel 19,04%, Kalteng 23,32%, Kalbar 13,67%, NTT 4,72%, NTB 5,01%. Bandingkan dengan Jakarta 10,82%, Jabar 2,39%, Jateng 1,78% dan Jatim 2,22%. Fakta inilah yang menimbulkan kecemburuan dan ketimbangan yang sangat besar.

Kebijaksanaan pembangunan yang salah arah (misleading policy) dari pemerintah pusat yakni pertama kebijaksanaan pengelolaan sumberdaya alam. Hak pemanfataan sumberdaya alam selama orde baru diatur oleh pemerintah pusat dan penghasilan yang diperoleh dari sumberdaya alam tersebut kemudian dimasukkan dalam penerimaan negara yang kemudian sebagian dialokasikan kembali untuk membiayai pembangunan daerah. Selain dana rutin, maka dana tersebut dialokasikan dalam bentuk dana pembangunan berbentuk DIP (Daftar Isian Proyek) yang menggunakan pendekatan sektoral-vertikal-departemental dan dalam bentuk dana Inpres (Instruksi Presiden) yang menggunakan pendekatan regional.

Formulasi pengalokasian dana pembangunan daerah tersebut untuk setiap propinsi tidak pernah tetap dan tanpa didasari alasan yang jelas dan selalu mengalami perubahan. Menurut Azis (1991) pada tahun anggaran 1983-1984 terdapat formula “ 5 ditambah 22 “ yaitu propinsi (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Selatan dan Sumatera Utara) memperoleh dana pembangunan masing-masing Rp. 11 milyar, sedang 22 propinsi sisanya masing-masing 9 milyar. Formulasi ini menimbulkan frustasi dan ketidakberdayaan daerah, khususnya bagi daerah-daerah penghasil sumberdaya alam seperti Aceh dan Riau di KBI serta Kalimantan Timur dan Irian Jaya di KTI.

Kebijaksanaan kedua, yang diduga berpengaruh terhadap terjadinya disparitas hasil pembangunan wilayah adalah kebijaksaan antar sektoral. Tingginya proteksi terhadap industri manufaktur yang terpusat di Jawa dibanding sektor primer (khususnya pertanian), berbelit-belit prosedur perijinan dan pemusatan kekuasaan di Jakarta, kelengkapan prasarana dan sarana, serta beberapa kebijaksanaan yang diskriminatif terhadap perkembangan industri di daerah seperti pemusatan pengelolaan rotan dan kayu di Jawa menyebabkan Kawasan Barat Indonesia, khususnya pulau Jawa memperoleh keuntungan dibandingkan wilayah-wilayah di Kawasan Timur Indonesia.

Kawasan Timur Indonesia selama ini cenderung diposisikan sebagai underdog karena situasi dan tingkat kehidupan social-ekonominya dinilai tertinggal – sehingga tidak mampu berkembang seperti kawasan barat. Disisi lain, sebagai dampak dari rendahnya kualitas sumberdaya manusia, penguasaan teknologi dan penerapannya dalam upaya pembangunan wilayah berada pada kondisi yang kurang mendukung upaya-upaya modernisasi. Hal ini diperparah dengan kenyataan bahwa sebagian KTI terletak di wilayah terisolasi, baik secara infrastruktur maupun secara social, namun dari sisi positifnya KTI sering dikedepankan sebagai the new frontier for invesment mengingat tingginya kekayaan alam yang belum dikelola secara optimal. Bahkan, wilayah seperti Irian Jaya dan Maluku Tenggara relatif kurang tersentuh kegiatan pembangunan. Selain itu, karena kekayaan sumberdaya alam dan keragaman budaya serta keunikan ekosistemnya yang tinggi seperti di Irian Jaya, sering dijuluki sebagai the country’s last frontier (Manuel Kasiepo, 2003)

Sebagaimana telah didiskripsikan diatas, permasalahan besar yang dihadapi Kawasan Timur Indonesia dalam pembangunan wilayah adalah selain belum tuntasnya pembagian wewenang yang berkeadilan antara pusat dan daerah, misalnya dalam pengelolaan sumberdaya alam juga menyangkut masalah kelengkapan infrastruktur dan rendahnya sumberdaya manusia (SDM). Program pembangunan infrastruktur oleh pemerintah selama ini salah satunya didasari sejauhmana kebutuhan akan inftrastruktur tersebut yang dinilai dari adanya aktifitas ekonomi wilayah. Sebaliknya aktifitas ekonomi wilayah yang diukur dari adanya kegiatan perdagangan dan investasi sektor swasta sulit untuk terwujud apabila mereka belum melihat ketersediaan infrastruktur wilayah, khususnya infrastruktur publik. Untuk itu antara penyediaan infrastruktur dan mengundang investasi swasta seperti lingkaran setan yang harus diputus oleh pemerintah sendiri dengan lebih banyak mengalokasikan investasi pembangunan inftrastruktur di Kawasan Timur Indonesia, khusnya dalam hal membuka aksessibilitas seperti jalan, jembatan dan pelabuhan, baik laut maupun udara yang memudahkan Kawasan Timur Indonesia berhubungan dengan daerah lain maupun langsung dengan luar negeri.

Menyeimbangkan pembangunan antara Kawasan Timur Indonesia dengan Kawasan Barat Indonesia menurur Prof. Dr. Lucky Sondakh (rector universitas Sam Ratulangie Manado) dengan didukung oleh political will pemerintah pusat yang dilakukan secara berkesinambungan, memerlukan waktu 80 tahun dengan asumsi pertumbuhan kota Surabaya nol dan Makassar 7 %. Pembangunan inftrastruktur yang membuka aksessibilitas Indonesia Timur harus diikuti dengan peningkatan kemampuan dan kualitas sumberdaya manusia masyarakat Indonesia Timur yang biasanya memerlukan waktu lebih panjang. Pembangunan infrastruktur tanpa peningkatan SDM hanya akan menambah tingkat kebocoran regional (regional leakages) Indonesia Timur yang semakin besar selama ini.

1.2.  Perumusan Masalah

Sesungguhnya pemerintah pusat sangat menyadari adanya disparitas pembangunan antara Kawasan Barat Indonesia dengan Kawasan Timur Indonesia dan serangkaian kebijaksanaan telah dilakukan untuk mengantisipasi ancaman separatisme dan disentegrasi. Masalah KTI sudah menjadi pusat perhatian umum di Indonesia setelah pidato kenegaraan Presiden Soeharto pada 1991 yang menekankan ketertinggalan KTI dari wilayah lain di Indonesia. Pada masa pemerintahan Presiden Habibie terlihat adanya kebijaksanaan pemerintah yang sangat memihak kepada pembangunan KTI dengan pembentukan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET), namun strategi itupun belum menampakkan hasil yang menggembirakan. Pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid dibentuk Menteri Muda Percepatan Pembangunan Wilayah KTI, namun pendekatan kementrian ini cenderung bernuansa politis karena dibawah koordinasi Menteri Koordinator Politik dan Keamanan (Menkopolkam), bukan dibawah Menteri Koordinator Perekonomian (Menkoekuin). Jadi pendekatan pembagunan KTI lebih kepada pendekatan keamanan (security approach) bukan pendekatan kesejahteraan (prosperity approach).

Isu kesenjangan KTI dan KBI seolah menghilang setelah pemerintah memberlakukan UU No. 22 tentang Otonomi Daerah dan UU No. 22 tentang Perimbangan Pusat dan Daerah pada tahun 1999. Dengan UU tersebut pembangunan nasional Indonesia seolah-olah dihadapkan pada strategi baru yang menerapkan otonomi dan desentralisasi fiskal di semua wilayah Indonesia, baik KBI maupun KTI. Setelah berjalan selama tiga tahun penerapan otonomi daerah dan desentralisasi fiscal belum juga mampu memperbaiki taraf kesejahteraan masyarakat, bahkan dari hasil penelitian menunjukkan kondisi daerah menjelang desentralisasi fiskal berada pada kondisi yang memprihatinkan karena krisis multidimensional. Kondisi tersebut  ditandai oleh meningkatnya jumlah penduduk miskin, banyaknya pengangguran, ketimpangan distribusi pendapatan  dan kualitas hidup yang menurun serta memburuknya infrastruktur yang ada di daerah. Demikian pula kemampuan pembiayaan  keuangan  daerah  masih rendah, sehingga sebagian besar daerah propinsi dan kabupaten/kota,  pembiayaan pembangunan daerahnya  masih bergantung dengan dana transfer dari pemerintah pusat.  Dilihat dari pola pengeluaran daerah yang tercermin dalam APBD, maka pola pengeluaran daerah masih didominasi oleh pengeluaran rutin. Rata-rata 65%-70% dana APBD digunakan untuk pengeluaran rutin yakni untuk gaji pegawai dan di beberapa daerah terjadinya kenaikan gaji anggota DPR propinsi dan DPR kabupaten.

Dari diskripsi diatas permasalahannya adalah apakah kesenjaangan KBI dan KTI akan terus berlanjut? Untuk itu perlu dirumuskan suatu strategi alternatif dan terobosan yang cerdas sebagai paradigma baru pembanguan Kawasan Timur Indonesia dimasa depan.

1.3.   Tujuan

Setelah serangkaian kebijaksanaan pemerintah yang dinilai “gagal” untuk membangun KTI maka perlu dirumuskan suatu strategi alternatif percepatan pembangunan KTI untuk membebaskan kawasan tersebut dari ketertinggalan dengan konsentrasi pada :

1.                  Bagaimana strategi yang bisa ditawarkan untuk mengurangi ketimpangan hasil pembangunan secara kuantitatif antara Kawasan Timur Indonesia dan Kawasan Barat Indonesia.

2.                  Bagaimana membebaskan wilayah-wilayah di Kawasan Indonesia Timur agar tidak tergantung pada Kawasan Barat

3.                  Bagaimana merumuskan strategi kemandirian wilayah dari aspek  kelembagaan, individu, managerial dan kepemimpinan sesuai dengan karakter Dan cirri khas pelaku pembangunan di Kawasan Timur Indonesia

4.                  Bagaimana menawarkan kebijaksanaan baru kepada pemerintah pusat untuk melakukan percepatan pembangunan Kawasan Timur Indonesia

 

 

 

 

II.                KERANGKA PEMIKIRAN

 

2.1.            Perspektif Sejarah

Sesungguhnya semangat untuk memajukan Kawasan Timur Indonesia (KTI) bukanlah tidak mempunyai akar sejarah dimasa lalu. Abad ke – 18 adalah “periode Bugis” dalam sejarah Melayu. Dibawah kepemimpinan adik Sultan Abdul Jalil, Raja Muda keturunan Bugis, pusat pemerintahan dipindahkan dari Sungai Johor ke kepulauan Riau. Raja muda inilah yang mengembangkan Riau – tanah tumpah darah kaum “orang laut” yang mendukung kerajaan Melayu- menjadi entropot. Pada mulanya, raja-raja Melayu tidak memandang suku Bugis-Makassar sebagai ancaman, bahkan mereka dipandang sebagai asset dalam mengembangkan kawasan ekonomi dan politik mereka sendiri. Ini disebabkan karena penghargaan tinggi yang diberikan oleh raja-raja itu terhadap kemarihan navigasi dan perdagangan yang pengaruh Dan peranannya membentang dari kepulauan rempah-rempah di Maluku hingga ke Aceh, bahkan keturunan Bugis ini berhasil pula menyusup ke kerajaan Aceh melalui perkawinan Dan persamaan budaya Islam sehingga melahirkan raja-raja Aceh keturunan Bugis. Francis Light, orang Inggris pendiri Penang, menulis pada tahun 1974 sebagai berikut :

Mereka adalah pedagang yang paling unggul dari kepulauan Timur. Nilai kargonya yang amat tinggi membuta kedatangan mereka sangat diharapkan oleh semua orang dagang.

Perlindungan orang-orang Bugis terhadap suatu pelabuhan, kata Andaya at.al, dapat merupakan kunci keberhasilan.

Keunggulan suku Bugis lainnya dan perlu ditekankan di sini adalah kemahiran berperang, sehingga suku-suku Bugis ini dimanfaatkan oleh raja-raja Melayu, hingga juga oleh VOC. Seorang tokoh Bugis yang terkenal adalah Daeng Marewa yang berhasil mencapai posisi yang dipertuan muda, disingkat menjadi kata-kata Bugis Yamtuan Muda yang berhasil mengawini salah seorang putri Sultan Mahmud dari keturunan Johor. Dialah karena keberhasilannya menahan serangan raja kecil, keturunan minang yang berbasis di Siak, berhasil pula membangun keturunan Riau-Johor, yang menguasai daerah tambang Timah di Selangor, Kelang dan Linggi di Semenanjung. Raja haji dari Bugis adalah salah seornga yang berhasil menguasai perdagangan di Selat Malaka dan pernah sebagai panglima perang yang gagah berani, mengejar-ngejar Belanda yang lari-lari hingga ke Semenanjung.

 

Dalam sejarah telah dijelaskan bahwa dengan kekuatan maritimnya, Indonesia Timur lebih sejahtera. Namun setelah masuk dalam managemen pemerintahan berwawasan kontinental semata, kemudian kesejahteraan orang-orang Indonesia Timur memudar.

Menurut sejarah bahwa kepopuleran pulau Rum dikepulauan Banda, sebagai pengahasil pala, telah terdengar sampai di eropah. Bersamaan dengan merajalelanya penyakit menular seperti disentri, pes di Portugis, Spanyol dan Inggris ditemukan sekaligus dimitoskan

2.2.      Kerangka Pemikiran Pembangunan Wilayah

Ilmu Ekonomi Pembangunan merupakan ilmu yang relatif baru, karena baru mendapat perhatian ahli ekonomi dan berkembang setelah Perang Dunia ke II, khususnya ditujukan kepada persoalan pembangunan ekonomi di negara-negara terbelakang dan sedang berkembang. Konsep ekonomi neoklasik yang pernah diterapkan untuk mendorong percepatan pembangunan di negara berkembang terbukti gagal, karena adanya perbedaan kondisi dan perimbangan kualitas sumber daya manusia pelaku ekonomi di negara maju dengan di negara sedang berkembang. Hal ini terbukti dengan program Perencanaan Marshall atau Marshall Plan, yang berhasil membangun kembali ekonomi Jerman dan pembangunan Israel, tetapi kurang berhasil diterapkan terhadap negara sedang berkembang seperti India, Philipina, maupun Sri Langka dan Indonesia. Marshal Plan yang tujuannya mendorong pertumbuhan ekonomi dengan program investasi kapital, ternyata menghasilkan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi diikuti oleh memburuknya tingkat distribusi pendapatan, sehingga hanya sebagian kecil masyarakat yang menikmati hasil pembangunan.

Persoalan pembangunan di negara sedang berkembang kemudian disadari, tidak hanya menyangkut perlunya investasi pembangunan untuk memanfaatkan sumberdaya yang dimiliki yang mendorong pertumbuhan, tetapi juga harus memperhatikan aspek distribusi dan pemerataan hasil pembangunan, sehingga hasil pembangunan dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat secara adil dan proporsional. Dalam kerangka spatial, maka pemerataan hasil pembangunan adalah adanya keseimbangan kemajuan antar-wilayah.

Program pembangunan bisa mencakup pembangunan nasional (negara) dan bisa pula merupakan pembangunan regional daerah atau wilayah tertentu). Antara pembangunan nasional dan pembangunan regional (wilayah) memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaan pembangunan nasional (dengan pembangunan wilayah adalah bahwa keduanya sama-sama mempunyai tujuan pembangunan manusia seutuhnya melalui pembangunan ekonomi, khususnya dalam peningkatan pendapatan, kesempatan kerja, distribusi pendapatan, dari kesejahteraan masyarakat pada umumnya. Sedang perbedaannya hanyalah terletak dalam pertimbangan-pertimbangan yang menyangkut sifat dan keadaan masing­masing ruang lingkupnya. Dalam pembangunan wilayah lebih ditekankan kepada memanfaatkan sifat keadaan daerah dan lokal yang bersangkutan terutama aspek yang menyangkut sumberdaya fisik dan sosiokultural yang hidup di masing-masing wilayah (Anwar, 1989).

Selama ini dalam penerapan untuk mencapai tujuan pembangunan di atas tampak penekanannya adalah untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan nasional, sedang kebijaksanaan pembangunan wilayah adalah dalam kerangka menunjang pembangunan nasional. Dalam kondisi demikian, tujuan-tujuan pembangunan wilayah menjadi sangat tergantung kepada kebijaksanaan yang diambil oleh Pemerintah Pusat (sentralistik). Untuk itu sejauhmana intensitas perwakilan daerah yang memiliki akses dalam setiap pengambilan keputusan di tingkat pusat menjadi sangat menentukan terhadap kepentingan-kepentingan pembangunan wilayahnya.

Program pembangunan lima tahunan (Repelita) yang dilaksanakan oleh Pemerintah Orde Baru dimulai pada kondisi sudah terdapat disparitas kemajuan antar-wilayah, khususnya KBI (Jawa+Sumatera) yang telah memiliki infrastruktur yang lebih baik dan kepadatan penduduk yang jauh lebih tinggi dibanding dengan wilayah KTI. Mengacu pada tujuan pembangunan nasional di atas yang lebih menekankan kepada pertumbuhan ekonomi, maka wilayah KBI sudah lebih siap dibanding KTI. Selain itu akses perwakilan wilayah KBI di tingkat pusat sangat dominan dibanding KTI dalam setiap pengambilan keputusan untuk kebijaksanaan pembangunan wilayah. Dengan demikian selama 32 tahun Pemerintahan Orde Baru telah terjadi disparitas hasil pembangunan yang semakin besar secara relatif antara KBI dengan KTI.

Pembangunan wilayah adalah proses atau tahapan kegiatan pembangunan di suatu wilayah tertentu yang dalam perwujudannya melibatkan interaksi antara sumberdaya manusia dengan sumberdaya lain termasuk sumberdaya alam dan lingkungannya melalui kegiatan investasi pembangunan. Dalam investasi pembangunan nasional, maka pertimbangan pemerataan dan keberlanjutan pembangunan antar-wilayah, sering menjadi masalah yang belum dapat diatasi secara baik sampai saat ini.

Selama dasar justifikasi ekonomi yang digunakan yaitu pertumbuhan ekonomi nasional, maka KBI akan tetap menjadi pilihan pertama untuk investasi usaha. (untuk percepatan pembangunan KTI pada saat permulaan diperlukan justifikasi non ekonomi, khususnya untuk tujuan mengurangi disparitas kemajuan pembangunan antar-wilayah atau pemerataan hasil pembangunan secara spatial. Perubahan kebijaksanaan yang dimaksud adalah bertujuan : (1) Meningkatkan insentif bagi pelaku usaha untuk masuk ke KTI dengan memberikan kompensasi terhadap biaya tambahan yang mungkin dikeluarkan berupa keringanan-keringanan dalam investasi usaha seperti keringanan pajak, penyediaan infrastruktur, kemudahan perijinan, penyediaan lahan, dan lain-lain; dan (2) Peningkatan kualitas dan kuantitas SDM agar kemajuan wilayah yang diperoleh dapat ditangkap oleh penduduk setempat.

Pada periode waktu tertentu dengan justifikasi non ekonomi di atas, kebijaksanaan yang mendorong kemajuan wilayah, khususnya wilayah di KTl akan berdampak kepada melambatnya pertumbuhan ekonomi nasional. Akan tetapi setelah di daerah (KTI) telah terjadi interaksi sektor-sektor ekonomi dan tercipta nilai pengganda tertentu, maka akan terjadi kontribusi yang positif untuk menunjang tujuan pembangunan nasional.

2.3.      Kebijaksanaan Perdagangan dan Dampaknya terhadap Pemerataan Pembangunan Antar Sektor dan Antar Wilayah

Kandungan sumberdaya alam wilayah menentukan tingkat pendapatan dan kesempatan kerja di tiap wilayah. Pemanfaatan sumberdaya alam berperan 30 % terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Bahkan untuk pulau Sumatera, Kalimantan, Irian Jaya, dan Maluku peran sumberdaya alam sebesar 50 % atau lebih dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), sedang pulau Sulawesi dan Kepulauan Nusa Tenggara peran sumber daya alam berkisar 40 % dari PDRB, dan hanya pulau Jawa peran sumberdaya alam kurang dari 20 % dari PDRB. Dengan adanya keragaman struktur perekonomian wilayah menyebabkan penentuan kebijaksanaan perdagangan yang diberlakukan berdampak kepada struktur insentif dan perkembangan pembangunan ekonomi antar sektor maupun antar wilayah di Indonesia.

Selama periode pembangunan di Indonesia, khususnya sejak priode pemerintahan orde baru terdapat berbagai intervensi kebijaksanaan perdagangan yang diberlakukan pemerintah terhadap pasar, sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai dan kondisi pasar komoditas yang diintervensi. Menurut teori ekonomi terdapat beberapa intervensi kebijaksanaan perdagangan yang dapat dilakukan pemerintah yaitu : (1) Pengenaan tarif; (2) Pemberian subsidi;. (3) Kebijaksanaan dukungan harga; (4) Pemberlakuan kuota; atau (5) Pemberlakuan pembatasan pergerakan barang dan jasa antar pulau atau wilayah. Ke lima intervensi kebijaksanaan di atas adalah kebijaksanaan intervensi langsung yang berdampak langsung kepeda komoditi bersangkutan. Apabila suatu kebijaksanaan intervensi terhadap suatu komoditi juga berdampak kepada komoditi lain, maka dampak kepada komoditi terakhir disebut kebijaksanaan intervensi tidak langsung.

Kebijaksanaan intervensi yang diberlakukan pemerintah selama ini berbeda antar komoditi dan atau antar sektor Perbedaan disini bisa diukur berdasar tingkat insentif (pembebasan pajak atau pernberian subsidi) dan disinsentif (pelarangan/pembatasan pergerakan barang atau pengenaan pajak) yang diberikan. Perbedaan yang diberikan dapat pula berupa insentif dengan pemberian proteksi terhadap persaingan dalam perdagangan internasional. Kebijaksanaan intervensi yang berbeda terhadap berbagai komoditi dan atau antar sektor akan berdampak kepada insentif produksi antar komoditi, antar sektor, maupun antar wilayah atau pulau yang pada akhirnya terhadap tingkat pendapatan dan kesempatan kerja antar sektor dan antar wilayah.

Selama ini hampir 131 komoditi dari klasifikasi 166 komoditi tabel input-­output mengalami intervensi berupa kebijaksanaan proteksi dalam perdagangan internasional (Garcia Garcia, 1997). Clntuk mengukur dampak kebijaksanaan proteksi tersebut terhadap distribusi pendapatan antar sektor dan antar wilayah dibedakan atas kebijaksanaan intewensi iangsung dan kebijaksanaan intervensi tidak langsung.

Intervensi langsung diukur dengan tolok ukur : (1) Tingkat proteksi nomi­nal (Nominal Rate of Protection = NRP) dan (2) Tingkat Proteksi Efektif (Effective Rate of Protection = ERP). NRP adalah mengukur dampak kebijaksanaan inteivensi terhadap harga domestik, sedang ERP mengukur dampak kebijaksanaan intervensi terhadap nilai tambah aktifitas produksi komoditi yang dibayar terhadap faktor produksi.

2.4.      Ketimpangan Pembangunan Antar Wilayah

Indonesia merupakan negara kepulauan yang termasuk luas yang terdiri atas pulau-pulau besar dan kecil yang mencapai jumlah kurang lebih 17.000 pulau. Wilayah Indonesia membentang dari ujung barat pulau Sumatera ke ujung timur Irian Jaya sepanjang 5.000 Km memiliki keragaman wilayah baik dari sumberdaya fisik, sosial, ekonomi, maupun kultural. Perhatian terhadap pembangunan wilayah di Indonesia masih merupakan sesuatu yang relatif belum lama, yaitu sejak jaman Pemerintahan Orde Baru, kurang lebih 30 tahun terakhir Hal ini disebabkan sejak jaman kolonial sampai dengan jaman Pemerintahan Orde Lama, pembangunan wilayah belum mempunyai momentum yang baik.

Secara historis ketimpangan pembangunan wilayah di Indonesia yang lebih terpusat di Kawasan Barat Indonesia, dan pulau jawa khususnya merupakan suatu proses dampak kumulatif yang sangat lama. Pada jaman pemerintahan kolonial selama lebih dari 350 tahun yang wilayahnya mencakup wilayah Indonesia saat ini tidak dapat diharapkan adanya perhatian terhadap pembangunan wilayah. Apabila terjadi pembangunan wilayah di beberapa wilayah tertentu, seperti pembangunan infrastruktur irigasi di pulau Jawa adalah suatu kebetulan yang tidak disengaja atau bukan berlandaskan kepada perencanaan pembangunan wilayah bersangkutan, tetapi bertujuan untuk penanaman tebu yang hasil olahannya berupa gula dijual untuk keuntungan pemerintah kolonial (Anwar, 1989). Selain itu pada jaman kolonial belum terdapat pemikiran perencanaan pembangunan wilayah yang bertumpu kepada pelayanan untuk kepentingan umum, tetapi lebih bertumpu kepada kepentingan individual atau swasta termasuk pemerintahan kolonial sendiri yang pada awalnya adalah dengan maksud berdagang (VOC). Pembangunan wilayah yang didasarkan atas keputusan swasta sifatnya adalah jangka pendek dengan horizon pandangan yang sempit (myopic). Keputusan swasta adalah bersifat lokasional dengan dasar keunggulan komparatif wilayah, sehingga pulau Jawa dan KBI umumnya yang mempunyai sumberdaya fisik lahan dan air yang lebih subur, dan ketersediaan tenaga kerja yang lebih besar dibanding KTI menjadi pilihan pertama dalam pengembangan pertanian, khususnya pada bidang perkebunan dan agro-industri. Dengan demikian melalui pengalaman sejarah yang panjang, dampak dari keputusan lokasional swasta di atas yang bersifat kumulatif dalam jangka waktu yang sangat lama, pada umumnya bertanggung jawab atas terjadinya pemusatan kegiatan ekonomi atau menimbulkan dampak polarisasi pembangunan wilayah di Indonesia. Dampak polarisasi ini sebagai akibat dari adanya proses aglomerasi atas wilayah-wilayah inti, khususnya pulau Jawa menjadi cikal bakal dan unsur-unsur penentu disparitas pertumbuhan ekonomi inter regional yang terjadi sampai saat ini (Anwar, 1989).

Disamping ketimpangan pembangunan antar wilayah, maka ketimpangan pendapatan antar golongan sosial-ekonomi masyarakat juga secara umum disebabkan oleh warisan historis politik kolonial. Dalam rangka memecah belah berbagai golongan masyarakat untuk mempertahankan kekuasaan, pemerintah kolonial juga membedakan berbagai golongan masyarakat dalam hal memberikan akses terhadap sumberdaya tertentu, termasuk akses dalam bidang ekonomi, pendidikan, dan sosial-politik. Dengan perbedaan tersebut, maka terjadi hambatan intitusional (artificial institutional barrier) yang dapat menimbulkan rente ekonomi di segelintir elit golongan masyarakat waktu itu, tetapi di pihak lain pada sebagian besar golongan masyarakat, khususnya pribumi kelas bawah menimbulkan himpitan sosial yang besar dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.

Dari warisan historis kolonial di atas menjadi cikal bakal adanya ketimpangan pembangunan antar wilayah maupun ketimpangan pendapatan antar golongan dalam masyarakat. Dari kondisi yang demikian, maka sejak Indonesia memperoleh kemerdekaan pada tahun 1945 telah dihadapkan kepada ke dua masalah ketidakmerataan di atas. Namun selama dua dekade dalam Pemerintahan Orde Lama, boleh dikatakan bahwa belum ada kesempatan bagi Pemerintah untuk melakukan perencanaan pembangunan wilayah yang terencana. Hal ini disebabkan di awal-awal kemerdekaan pemerintah dan masyarakat sering menghadapi kegoncangan oleh kemelut politik yang berkepanjangan, sehingga aspek pembangunan ekonomi yang berdampak kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat sering terabaikan. Bahkan terjadinya beberapa pemberontakan di beberapa daerah sebenarnya bersumber dari ketidakpuasan, karena masyarakat di daerah merasa dianaktirikan dengan tidak adanya pembangunan wilayah yang adil dan merata.

Setelah masa Pemerintahan Orde Baru, khususnya pada awal Repelita I, masalah pembangunan wilayah belum menjadi perhatian utama, karena perhatian Pemerintah masih ditujukan kepada pemecahan masalah pembangunan ekonomi seperti menangani rehabilitasi infrastruktur yang terabaikan, pengendalian inflasi, dan pemulihan stabilitas politik dan keamanan, serta mencari modal tunai dalam permulaan program pembangunan. Sejak Repelita ll perhatian terhadap pembangunan wilayah mulai terencana dengan dikeluarkannya Keppres No 15/ 1974 tentang pembentukan Badan Perencana Pembangunan Daerah (Bappeda).

Sejak Repelita II ini pula muncul gagasan tentang usaha penyusunan perwilayahan atau regionalisasi yang didasarkan pada konsep pusat pertumbuhan. Menurut konsep yang pertama kali dilontarkan oleh Francois Perroux bahwa proses pembangunan dan perkembangan wilayah itu lokasinya hanya terjadi secara selektif di tempat-tempat tertentu saja; karenanya di dalam wilayah suatu negara terjadinya pembangunan tidak dapat terjadi secara serentak yang merata di semua wilayah. Dengan demikian untuk pembangunan wilayah terlebih dahulu harus dapat diidentifikasi dan diciptakan terjadinya pusat-pusat pertumbuhan di beberapa tempat tertentu. Identifikasi pusat-pusat pertumbuhan disusun berdasarkan pro­file susunan hierarkhi distribusi sistem daerah urban (sistem kota-kota) yang kriteria utamanya didasarkan atas jumlah dan kepadatan penduduk, fasilitas dan lembaga sosial ekonomi yang terdapat di masing-masing wilayah pernbangunan. Dengan penciptaan titik-titik pertumbuhan pembangunan tersebut diharapkan akan terjadi proses penjalaran (spread effect) ke seluruh wilayah belakangnya (hinterland).

Setelah konsep perencanaan pembangunan wilayah diatas berjalan selama PJP 1, ternyata apa yang diramalkan dalam teori kurang dapat didukung oleh kenyataan-kenyataan yang terjadi dalam praktek. Salah satu yang terjadi adalah bahwa proses penjalaran yang diharapkan terjadi secara otomatis dari wilayah maju (pusat pertumbuhan) ke wilayah belakangnya dan menjadikan terjadinya keseimbangan pertumbuhan wilayah, ternyata kalah atas kekuatan lain yang menentangnya yang disebut dampak pencucian (backwash effect), disamping keadaan struktur sosial setempat yang kurang mendukung. Dampak polarisasi atau dampak balik ini telah dikemukakan oleh Gunnar Myrdal yang menyatakan bahwa dampak balik yang bersifat merugikan mengatasi dampak sebar yang bersifat positif. Dampak balik yaitu terjadinya perpindahan sumberdaya manusia berkualitas, modal dan perdagangan yang menguntung wilayah maju dan menyebabkan wilayah belum berkembang semakin tertinggal. Sedang dampak sebar yaitu penyebaran momentum pembangunan dari wilayah maju yang bergerak secara sentrifugal ke wilayah belakangnya. Menurut Anwar (1989), walaupun konsep sistem perwilayahan berdasar pusat-pusat pertumbuhan mengandung kelemahan, namun konsep tersebut masih berguna untuk alokasi sumberdaya dalam membantu perencanaan wilayah, dan disamping itu diperlukan keluasan interpretasi dan peninjauannya bahwa interaksi ruang yang sebenarnya merupakan persoalan lebih kompleks. Interaksi tersebut meliputi peninjauan jenis jenis proyek pembangunan yang dibina, kekuatan-kekuatan ekonomi, sosial dan politik, serta penentuan alokasi sumber­-sumberdaya yang menekankan kepada pencapaian peningkatan kesejahteraan masyarakat yang lebih luas.

Dari warisan historis dan upaya-upaya pembangunan wilayah, khususnya pada masa Orde Baru, hingga saat ini belum dapat mengatasi masalah ketimpangan pembangunan wilayah dan ketimpangan pendapatan antar golongan masyarakat. Dalam perkembangannya bahkan terjadi hubungan interdependensi asimetrik atau hubungan ketergantungan wilayah terbelakang terhadap wilayah maju yang dalam hal ini antara wilayah-wilayah di KTI terhadap wilayah-wilayah di KBI. Ketergantungan ini akan semakin besar apabila tidak terdapat perubahan kebijaksanaan pembangunan wilayah yang telah dilaksanakan selama ini. Secara macro-spatial hubungan antar wilayah KBI-KTI dapat digambarkan sebagai berikut (Gambar 1)

 

Gambar 1. Hubungan Macro-Spatial Kawasan Urban di KBI dengan Kawasan Rural di KTI

 

Dari Gambar 1 di atas bukan berarti tidak terdapat wilayah rural enclave di KBI atau industri modern perkotaan di KTI, demikian pula di sektor tradisional bukan berarti tidak terdapat wilayah pedesaan dengan masyarakat miskin di KBI, dan sektor informal perkotaan di KTI, namun diagram pada gambar 1 di atas mewakili sebagian besar kondisi yang ada di ke dua kawasan itu saat ini. Sektor industri modern, terutama industri manufaktur, saat ini sebagian besar terdapat di KBI, khususnya di pulau Jawa. Sedang industri modern di daerah yang sebagian besar berbentuk industri ekstraktif seperti minyak bumi dan gas alam, batu bara, nikel, tembaga, emas dan bahan tambang lainnya, serta kehutanan dan sub sektor perkebunan besar, sebagian besar bersifat rural enclave banyak terdapat di KTI seperti di Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur, dan Irian Jaya. Hubungan industri modern manufaktur yang terdapat di KBI dan industri ekstraktif di KTI adalah merupakan hubungan input-output, dan mempunyai keterkaitan besar dengan pasar internasional dalam perdagangan internasional (kegiatan ekspor-impor). Sebagian besar kegiatan ekonomi dan peredaran kapital terdapat di sektor mod­ern ini, dimana untuk KTI diduga tidak banyak mendapat nilai tambah dalam kegiatan ekonomi tersebut untuk pembangunan wilayahnya. Hal ini disebabkan setiap industri yang bersifat ekstraktif (rural enclave) akan mengandung tingkat kebocoran regional yang besar. Industri modern di perkotaan di wilayah KBI pada umumnya membutuhkan tenaga kerja yang mempunyai keterampilan dan keahlian (skill) tertentu yang sebagian besar sulit dipenuhi, disamping kesempatannya terbatas dan kecil dibanding dengan jumlah pihak pencari kerja. Oleh karena itu sektor informal di perkotaan menjadi satu-satunya alternatif bagi masyarakat di sektor tradisional untuk mendapatkan lapangan pekerjaan dan mencari penghidupan (garis putus-putus menunjukkan aliran perpindahan penduduk). Hal ini sangat terasa di kota-kota di KBI, khususnya di pulau Jawa yang menjadi tempat tujuan pencari kerja.

III.       LANDASAN FILOSOFIS

Secara filosofis pengembangan Kawasan Timur Indonesia (KTI) jangan hanya dipahami dalam pandangan ekonomi an sich semata, apalagi dimensinya hanya didekati dangan paradigma pertumbuhan yang berbasis konglomerasi (yang seharusnya berbasis rakyat). Tetapi harus bersinergi dengan pembangunan social, politik dan budaya local. Caranya dengan mengutamakan local resources sebagai basis pengembangannya. Maka, tesis yang diungkapkan oleh Amartya Kumar Sen (peraih hadiah nobel bidang ekonomi tahun 1998), yang memandang pembangunan sebagai teologi pembebasan (pembebasan dari kemiskinan, kesenjangan dan keterbelakangan), teologi ini dapat diwujudkan dalam pembangunan di KTI. Amartya Sen melihat sebuhan bangsa hanyan bisa mencapai kebahagiaan, kalau bangsa itu berani dan harus melakukan inovasi-inovasi baru. Dalam konteks pembangunan Kawasan Timur Indonesia, Inovasi baru dapat dilakukan karena KTI selama ini dikenal dengan keanekaragaman suku, budaya, agama, dan wilayah sebagai basis pembangunannya.

Lebih jauh Amartya Sen berpendapat, ada dua pendekatan untuk memahami ilmu ekonomi. Pendekatan pertama adalah pendekatan yang didasarkan pada “tradisi yang terkait dengan etika”. Pendekatan semacam ini dilakukan oleh Aristoteles, John Stuart Mill Dan Adam Smith. Pendekatan kedua adalah “pendekatan rekayasa” (engineering approach). Pendekatan ini banyak dipakai oleh Leon Warlas dan David Ricardo. Dalam konteks pembangunan masyarakat, kebebasan itu dapat dikembangkan menjadi dua, yaitu kebebasan sebagai sebuah tujuan utama (premary  end) dan kebebasan sebagai sarana pokok (principal means) pembangunan. Atas dasar kedua arah kebebasan itu, peran kebebasan dalam pembangunan masyarakat pun terbagi dua yaitu peran konstitutif dan peran instrumental.

Pertanyaannya, bagaimana membebaskan managemen otoritarian menuju kearah demokrasi? Pembebasan dari sistem yang otoriter itu menjadi urusan politik. Dan pembebasan dari kemiskinan, keterbelakangan menjadi urusan ekonomi. Sedangkan pembebasan dari rasa takut adalah urusan pertahanan dan keamanan. Tesis Amartya Sen menguraikan bahwa orang menjadi miskin, tertindas (secara kewilayahan) dan ketakutan karena struktur yang ada dibalik ekonomi, politik, social dan pertahanan keamanan tidak memberi ruang yang bisa berkembang. Pada dasarnya tesis tersebut anti-otoritarianisme, pro demokrasi dan sangat concerned terhadap penegakan Hak Asasi Manusia (HAM). Singkatnya, dimensi pembangunan di Indonesia Timur harus didorong tidak hanya dalam prespektif ekonomi, tetapi juga prespektif politik, social, budaya dan pertahanan keamanan. Sebab, ideologi kemakmuran inheren dengan HAM, yang menuntut tidak hanya kemakmuran itu sendiri, tetapi juga keadilan dan kesetaraan di dalam negara Republik Indonesia.

Dalam konsep pembangunan, ketergantungan memungkinkan terjadinya hegemonisasi. Jika pengembangan wilayah Indonesia Timur tergantung pada Indonesia Barat, artinya wilayah Indonesia Barat akan menghegemoni Indonesia Timur. Karena itu dalam konsep Pengembangan Kasawan Timur Indonesia ada pada aspek membebaskan wilayah-wilayah di Indonesia Timur dari kontrol yang kuat dari Kawasan Barat Indonesia (KBI) agar terbebas dari ketimpangan internal yang didorong atau dikondisikan kekuasaan terpusat.

Dalam pandangan ekonomi, sebenarnya posisi Indonesia Timur lebih independen. Karena resources diwilayah tersebut, cukup membiayai kepentingan internal maupun kepentingan nasional. Hanya saja pembagian kemakmuran selalu berdasarkan jumlah penduduk, dalam kelompok kesejahteraan dikesankan bahwa wilayah Indonesia Timur itu miskin, sangat tergantung pada pemerintah pusat. Aspek iniliah yang harus dibalikkan, dari posisi dependen ke posisi independen.

Lebih dari itu karena adanya keragaman sumberdaya alam dan adat istiadat serta pranata social di Kawasan Timur Indonesia dangan Kawasan Barat Indonesia, maka diperlukan strategi pembangunan yang berbeda dengan apa yang sudah diterapkan di Kawasan Indonesia Barat. Kondisi fisik geografis Indonesia Timur membentuk adat istiadat dan pranata social masyarakat di Indonesia Timur yang pada dasarnya dapat dibedakan atas dua kelompok yaitu : (1) Masyarakat daratan yang mencakup pulau Kalimantan dan Irian Jaya ; dan (2) Masyarakat kepulauan yang mencakup Sulawesi, Maluku dan Nusa Tenggara. Masyarakat daratan di Irian Jaya dan Kalimantan sebenarnya mirip dengan masyarakat daratan di pulau Jawa dan pulau Sumatera (KIB). Perbedaannya, pulau Jawa dan Sumatera memiliki tingkat kesuburan tanah lebih tinggi (tanah vulkanik dan pegunungan aktif) dan dihuni oleh masyarakat daratan yang sudah lebih maju dibanding Kalimantan dan utamanya Irian Jaya yang memiliki kesuburan yang lebih rendah. Sedangkan golongan masyarakat kepulauan menunjukkan interaksi masyarakatnya yang kuat dengan kehidupan di laut dan wilayah daratan yang relatif lebih sempit serta rawan.

 

IV.       PEMBAHASAN

4.1.      Kebijaksanaan dan Peranan Pengeluaran Pemerintah dalam Pembangunan Wilayah

Disadari bahwa secara geografis, Indonesia merupakan negara kepulauan dengan keragaman wilayah, baik dari segi ekologi, demografi, ekonomi, maupun budaya, maka Pemerintahan Orde Baru memandang perlu adanya pembangunan wilayah yang lebih merata untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Menurut Hill (1996) terdapat beberapa alasan pokok, mengapa isu pemerataan pembangunan wilayah menjadi sangat penting yaitu : (1) Terdapatnya ketimpangan antar wilayah dalam berbagai aspek seperti pertumbuhan ekonomi, kepadatan penduduk, potensi sumberdaya alam, potensi sumberdaya manusia, dan lain-lain; (2) Alasan politis dalam bentuk permasalahan etnis yang mendiami wilayah yang tersebar, dimana isu ketidakmerataan distribusi sumberdaya alam daerah yang harus diserahkan hampir seluruhnya kepada pusat dan bukannya kepada daerah penghasil itu sendiri; dan (3) Permasalahan dinamika spatial yang terjadi di daerah-daerah, yaitu sebagai suatu warisan historis dengan adanya ketidakseimbangan yang mencolok antara Jawa dengan luar Jawa.

Dengan pertimbangan di atas, maka Pemerintahan Orde Baru merancang perencanaan pembangunan wilayah yang secara kelembagaan diwujudkan dengan pembentukan Badan Perencanaan Rembangunan Daerah (BAPPEDA), baik di Daerah Tingkat I maupun di Daerah Tingkat II. Tugas pokok Bappeda adalah membantu Kepala Daerah dalam menentukan kebijaksanaan di bidang perencanaan pembangunan di daerah, serta melakukan penilaian dalam pelaksanaannya. Dalam pelaksanaan tugasnya, maka Bappeda bertugas menyusun produk-produk perencanaan daerah yaitu : (1) Pola Dasar Pembangunan (Poldas); (2) Rencana Pembangunan Lima Tahun Daerah (Repelitada); (3) Rencana Pembangunan Tahunan Daerah (Repetada); (4) Koordinasi Perencanaan; (5) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW); (6) Rancangan, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD); (7) Laporan Monitoring dan Evaluasi; dan (8) Tugas-­tugas lain dari Kepala Daerah yang berkaitan dengan perencanaan pembangunan daerah. Salah satu dari tugas pokok di atas yaitu penyusunan RAPBD sangat menentukan dalam keberhasilan pembangunan wilayah, terutama yang menyangkut sejauhmana ketersediaan dana untuk pembiayaan pembangunan wilayah dan bagaimana pengelolaan penggunaannya.

Pada dasarnya pembiayaan pembangunan wilayah dapat dikelompokkan atas tiga kelompok sumber dana (Azis, 1990) yaitu : (1) Pendapatan Asli Daerah (PAD); (2) Alokasi anggaran dari Pemerintah Pusat; dan (3) Dana Investasi Swasta. Pada umumnya sumber dana yang berasal dari PAD adalah sangat kecil dibandingkan dengan dana yang berasal dari Pemerintah Pusat (kecuali DKI Jakarta), sedang investasi swasta besarnya sangat tergantung kepada insentif yang diciptakan oleh daerah yang bersangkutan. Insentif tersebut menurut Azis (1990) dapat berupa insentif buatan seperti : keringanan pajak, kemudahan prosedur perijinan, penyediaan infrastruktur, penyediaan lahan atau dapat pula berupa insentif alamiah dalam bentuk potensi sumberdaya alam. Daya tarik berupa ketersediaan infrastruktur biasanya dibiayai oleh proyek pembangunan yang berasal dari dana anggaran Pemerintah Pusat atau dari PAD. Dengan demikian secara tidak langsung investasi swasta juga dipengaruhi oleh dana anggaran yang berasal dari Pemerintah Pusat.

Anggaran Pemerintah Pusat yang dialokasikan untuk pembiayaan pembangunan wilayah atau daerah terdiri atas dua bentuk yaitu (1) Anggaran DIP (Daftar Isian Proyek) yang mencerminkan fungsi "top down-sectoral" dan (2) Dana Inpres (Instruksi Presiden) yang mencerrninkan fungsi "bottum up-regional". Fungsi "top down-sectoral" artinya pendekatan perencanaan berasal dari atas ke bawah mengacu kepada program sektor-sektor pembangunan, sedang fungsi "bottum up-regional" artinya pendekatan perencanaan yang berasal atas kepentingan dari bawah yang sesuai dengan kondisi di wilayah bersangkutan. Kedua bentuk anggaran ini masuk dalam komponen pengeluaran pembangunan. Disamping itu dalam pengeluaran rutin Pemerintah Pusat juga terdapat komponen dana untuk daerah dalam bentuk subsidi daerah.

Dengan menganut sistem anggaran berimbang, maka setiap perencanaan dalam sisi pengeluaran pemerintah ditentukan oleh sejauhmana besarnya estimasi yang akan didapat dari sisi penerimaan. Dengan demikian alokasi anggaran pembangunan wilayah yang berasal dari anggaran Pemerintah Pusat juga sangat dipengaruhi oleh kemampuan sisi penerimaan anggaran Pernerintah Pusat. Selama PJP I, khususnya sejak Repelita II terdapat fluktuasi dalam penerimaan negara yang disebabkan oleh faktor internal maupun faktor eksternal. Pada tahun-tahun awal Pemerintahan Orde Baru dan periode Repelita, penerimaan anggaran pemerintah diperoleh sebagian dari dana pinjaman luar negeri, kemudian terjadi peningkatan penerimaan negara dari adanya rezeki minyak yang berlangsung dari tahun 1974 sampai tahun 1981. Setelah itu terjadi penurunan penerimaan negara akibat adanya dampak penurunan harga minyak dan gas bumi pada dekade 1980-­an. Bersamaan dengan itu pemerintah melakukan kebijakan penggalakan ekspor non migas dan peningkatan sumber penerimaan negara dari sektor pajak. Dengan kebijaksanaan ini, maka pada akhir dekade 1980-an terjadi perbaikan dalam penerimaan negara dari ekspor non migas dan dari pajak yang secara bertahap dapat menggantikan peran dominan ekspor migas. Selain itu dari sisi pengeluaran terdapat komponen utama pengeluaran yang menekan komponen pengeluaran lainnya, baik dalam pengeluaran rutin, maupun pengeluaran pembangunan, yaitu komponen kewajiban membayar hutang luar negeri yang mulai meningkat tajam sejak akhir dekade 1970-an dan sejak tahun 1986 menjadi pos pengeluaran terbesar pada pengeluaran rutin negara.

Dengan kondisi di atas, maka di sisi pengeluaran untuk pembangunan wilayah ikut terpengaruh walaupun secara khusus dikecualikan dengan penghematan terbatas atas pengeluaran yang langsung berkaitan dengan pembangunan wilayah seperti dana lnpres. Dalam periode penerimaan migas yang meningkat, dana bantuan pembangunan wilayah (lnpres) meningkat lebih dari tujuh kali lipat yaitu sebesar Rp 172.6 miliar pada Repelita l menjadi Rp 1304.7 miliar pada Repelita II, kemudian meningkat 3.5 kali lipat menjadi Rp 4658.1 miliar pada Repelita III. Pada saat penerimaan negara mengalami penurunan akibat harga migas menurun, maka dana (inpres laju pertumbuhannya menurun hanya rnenjadi 1.3 kali lipat yaitu menjadi Rp 6177.3 miliar pada Repelita IV, seiring dengan perbaikan penerimaan negara pada akhir dekade 1980-an dan isu pemerataan pembangunan wilayah, maka pada Repelita V dana Inpres kembali meningkat tajam sampai 2.5 kali lipat menjadi Rp 15. 826. 9 miliar. Bahkan pada Repelita VI dana Inpres akan meningkat lebih dari 2 kali lipat menjadi sekitar Rp 30-an ribu miliar. Yang sangat terpengaruh akan fluktuasi penerimaan negara adalah dana yang berasal dari DIP untuk pembangunan wilayah. Dana DIP yang bersifat "vertikal-sektoral­-departemental" menurun cukup tajam pada tahun 1986 yaitu lebih dari 50 % dari Rp 4466.5 miliar tahun 1985 menjadi hanya Rp 2003.5 miliar tahun 1986, dan ini terus berlanjut tahun 1987 seiring dengan semakin turunnya harga migas yang mencapai $ US 9.0 per barel. Setelah tahun 1987 terjadi peningkatan kembali dana DIP seiring dengan peningkatan penerimaan negara, dan baru tahun 1990 bisa kembali mencapai angka Rp 4853.7 miliar. Perlu diketahui bahwa walaupun dana DIP ini diperuntukkan untuk pembangunan wilayah, namun pengelolaannya tetap oleh Pemerintah Pusat.

Pada tingkat wilayah, baik Dati I maupun Dati II, juga terdapat dua kelompok pengeluaran utama yaitu pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan yang masuk dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Dati I atau Dati II. Seperti disebutkan di atas pembiayaan pembangunan dari dana Pemerintah Pusat, hanya dana inpres yang masuk dalam APBD, sedang dana DIP tidak masuk dalam APBD. Kebijaksanaan DIP yang masih dikelola oleh Pemerintah Pusat ini sangat ditentukan oleh kesiapan aparat di daerah dalam pengelolaan dana proyek pembangunan. Untuk masa mendatang, seiring dengan peningkatan sumberdaya manusia di daerah perlu ditingkatkan peran aparat di daerah dalam pemberian wewenang yang lebih luas dalam pengelolaan dana pembangunan, sesuai dengan perluasan program otonomi daerah. Struktur anggaran pembangunan yang bersumber dari angggaran pemerintah terdapat pada lampiran 1.

Sumber pembiayaan pembangunan wilayah yang berasal dari DIP dan lnpres sangat menentukan, khususnya kepada wilayah-wilayah yang tertinggal di KTI. Hal ini disebabkan sumber pembiayaan pembangunan lainnya seperti dari Pendapatan Asli daerah (PAD) masih sangat rendah peranannya (Lampiran 1). Sedang yang berasal dari investasi swasta juga ditentukan secara tidak langsung oleh dana DIP, berupa ketersediaan infrastruktur di daerah. Oleh karena itu setiap penambahan dan pengurangan alokasi dana Pemerintah Pusat ke daerah akan berdampak langsung kepada proses pembangunan wilayah di daerah bersangkutan.

Sayangnya penyaluran dana Pemerintah Pusat kepada daerah melalui DIP dan Inpres tidak atas suatu formula tertentu. Dalam perkembangan penyaluran dana Inpres untuk setiap daerah selalu mengalami perubahan dalam prosentasi terhadap total dana, walaupun terus terdapat kenaikan. Secara keseluruhan Propinsi-propinsi di KBI selalu mendapat bagian lebih besar, walaupun ada kecenderungan terus menurun, dan sebaliknya untuk Propinsi-propinsi di KTI. Data selengkapnya penyaluran dana bantuan pembangunan daerah (Inpres) dari Repelita III sampai dengan Repelita VI terdapat pada lampiran 2.

Pada era otonomi daerah sejak 2001 dan sesuai dengan UU No 25 tahun 2001, sistem transfer di Indonesia mengalami perubahan yang cukup berarti.  Saat ini ada tiga jenis transfer yang dalam UU no 25 tahun 1999 disebut  sebagai Dana Perimbangan yaitu Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak  ( pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, Bagi Hasil dari  sumber daya alam), serta Dana Alokasi Umum (DAU) dan  Dana Alokasi Khusus (DAK).

Telah dipahami oleh umum bahwa dalam dana perimbangan menurut UU No. 25 tahun 1999 terdiri dari dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Dana bagi hasil pajak akan menguntungkan daerah-daerah perkotaan, seperti Jakarta, karena mempunyai basis pajak yang besar.  Sementara dana bagi hasil sumber daya alam hanya menguntungkan beberapa propinsi seperti Riau dan Kaltim. Dengan aliran dana bagi hasil yang besar ke daerah perkotaan dan dana bagi hasil SDA yang besar ke daerah-daerah yang kaya sumber daya alam, maka dana perimbangan jika tidak ada unsur DAU, akan menimbulkan potensi ketimpangan baru antar daerah perkotaan dan daerah kaya SDA dengan daerah yang berbasis ekonomi perdesaan dan sumber daya alamnya kurang.  Oleh karena itu DAU digunakan sebagi instrumen pemerataan pembangunan antar daerah. Alokasi dana perimbangan dan penggunaannya merupakan persoalan yang cukup menonjol sejak desentralisasi fiskal diimplementasikan. Dilihat dari nilainya dan dibandingkan dengan sebelum desentralisasi, maka dana perimbangan yang merupakan transfer dari pusat ke daerah mengalami kenaikan yang cukup besar. Dana perimbangan tersebut pada tahun 2001 mencapai 83.6 trilyun rupiah dan pada tahun 2002 mencapai 91.4 trilyun rupiah[1]. Dilihat dari distribusinya pada tahun 2001 Sumatera memperoleh bagian sebesar 27%, Jawa 39%, Kalimantan 14%, Sulawesi 8%.  Total dana yang diterima oleh daerah  Bali, NTT dan NTB sebesar 7%. Sementara Maluku dan Papua memperoleh bagian 5%.  Distribusi tersebut pada tahun 2002 tidak jauh berbeda, kecuali Kalimantan porsi bagiannya menurun menjadi hanya 10% dan Sulawesi dari 8% menjadi 10%. Sementara distribusi dana transfer dari pemerintah pusat pada tahun 1996 adalah Sumatera memperoleh porsi transfer dari pemerintah pusat sebesar 24%, Jawa 41%, Kalimantan 11% dan  Sulawesi 10%, Bali,NTB dan NTT memperoleh bagian 5.5%,  Maluku 2% dan Irian Jaya 4%. Jadi ada beberapa daerah yang mengalami kenaikan porsi bagian dana transfer dari pusat yaitu Sumatera, Bali, NTT, NTB  dan Irian Jaya. Numun demikian, porsi yang besar ke Sumatera ternyata menunjukkan dominasi propinsi Riau yang kaya akan sumber daya alam. Sama dengan kondisi sebelum desentralisasi fiskal, porsi dana perimbangan rata-rata mencapai 81% dari APBD setiap daerah.   Jadi dana perimbangan  merupakan sumber utama penerimaan daerah. Dengan melihat komponen dana perimbangan yang terdiri dari bagi hasil pajak, bagi hasil non pajak , DAU dan DAK, maka DAU merupakan komponen terbesar dari dana perimbangan. Pada tahun 2001 dan 2002 porsi DAU terhadap dana perimbangan secara rata-rata mencapai 67% dan 70%. Sementara dana bagi hasil pajak rata-rata pada tahun 2001 dan 2002 hanya sebesar 15% dan 14% dari dana perimbangan. Bagi hasil sumber daya alam  secara rata-rata tahun 2001 dan 2002 mencapai 17% dan 14% dari total dana perimbangan.  Sementara DAK hanya 1% dari dana perimbangan pada tahun 2001 dan 2.6% pada tahun 2002. Persoalan yang cukup menonjol dalam kerangka peningkatan pendapatan daerah adalah respon pemerintah daerah yang salah dengan adanya pungutan daerah yang terkesan membabi buta. Alasan klasik yang dikemukan adalah meningkatkan PAD sehingga daerah dapat membiayai sendiri pembangunannya.  Persoalannya justru bukan demikian, melainkan tidak efisiennya  birokrasi pemerintah dalam alokasi anggaran, sehingga anggaran yang besar pun, misal dengan meningkatkan PAD sebesar-besarnya tidak menjamin adanya peningkatan pembangunan di daerah, karena sebagain besar dana digunakan untuk belanja rutin dan belum adanya standard spending assesment minimum untuk pelayanan publik. Justru pungutan baru di daerah yang terkesan membabibuta tersebut membuat iklim investasi di daerah menjadi tidak kondusif karena menimbulkan  bribery cost yang cukup besar.  Mestinya yang dilakukan daerah adalah membuat daerah menjadi menarik untuk investasi, sehingga  usaha-usaha di daerah tumbuh pesat. Dengan demikian pemerintah daerah telah memperbesar basis pendapatan asli daerahnya (Ryanto, 2003).

4.2.     Dampak Kebijaksanaan Percepatan Pembangunan KTI Terhadap Disparitas Pembangunan Ekonomi Wilayah

Hasil analisis Model Sistem Neraca Sosial Ekonomi –Antar Wilayah KBI-KTI Tahun 1993 (dalam Setia Hadi, 1998), menunjukkan bahwa terdapat nilai tambah yang kembali ke KBI pada setiap investasi yang dilakukan di KTI. Hal ini disebabkan adanya ketergantungan bahan baku input yang besar dari semua sektor produksi di KTI kepada sektor produksi di KBI. Selain itu terdapat perbedaan kebutuhan bahan baku input antara KBI dan KTI. KTI membutuhkan bahan baku input sebagian besar dari output sektor industri di KB1, sebaliknya KBI memerlukan bahan baku input sebagian besar dari output sektor primer di KTI. Dengan keadaan seperti di atas, maka tidaklah menarik bagi inves­tor, khususnya investor swasta untuk menanamkan modalnya di KTI, apalagi sektor produksi yang dituju adalah sektor industri, tujuan pasarnya adalah pasar domestik, dan memerlukan dukungan kelengkapan infrastruktur, serta sumberdaya manusia terlatih.

Untuk mempercepat pembangunan wilayah KTI diperlukan perubahan kebijaksanaan pemerintah dalam bentuk adanya kemauan politik untuk lebih menyeimbangkan pembangunan ke dua wilayah. Perubahan kebijaksanaan tersebut adalah : (1) Pemberian kebijaksanaan insentif buatan untuk investasi; (2) Pembangunan infrastruktur, khususnya dalam bentuk kelengkapan prasarana transportasi dan komunikasi yang memberi peluang wilayah KTI mencapai pasar intemasional secara langsung; dan (3) Pemberian wewenang yang lebih luas kepada aparat di daerah untuk mengelola dana pembangunan dari Pemerintah Pusat secara langsung, baik dalam perencanaan maupun operasionalisasinya dan memperbesar dana inpres untuk KTI. Insentif buatan bisa diberikan oleh Pemerintah Pusat dan/ atau Pemerintah Daerah dalam bentuk keringanan dan pembebasan pajak (tax holiday), kemudahan dan fasilitas dalam mendapat kredit usaha, kemudahan dalam pengurusan perijinan, fasilitas dan kemudahan dalam mendapatkan lokasi usaha, khususnya investasi dalam sektor yang memerlukan lahan luas seperti di sektor perkebunan, sektor kehutanan (Hutan Tanaman Industri), ataupun di sektor tanaman pangan. Insentif buatan ini diberikan dengan tujuan untuk memperkecil biaya transaksi dan untuk meningkatkan tingkat kelayakan usaha investasi di KTI. Selain itu pembangunan infrastruktur oleh Pemerintah pada sektor prasarana transportasi dan komunikasi merupakan daya tarik penting untuk menarik inves­tor swasta masuk ke KTI.

Sejak awal Pelita IV telah terdapat perhatian Pemerintah untuk percepatan pembangunan di KTI dalam pembangunan infrastruktur misalnya jalan trans Kalimantan atau jalan trans Sulawesi yang menghubungkan ke empat Propinsi di masing-masing pulau tersebut. Selain itu terdapat pula upaya meningkatkan perhubungan laut diantara pulau-pulau di KTI, seperti peningkatan armada perhubungan laut baik barang maupun penumpang, serta prioritas pembangunan pelabuhan-pelabuhan laut. Di sisi kelembagaan telah dibentuk Dewan Pengembangan Kawasan Timur Indonesia (DP-KTI) yang diketuai oleh Menteri Riset dan Teknologi. Saat ini telah banyak kajian dan studi yang memfokuskan pembangunan wilayah di KTI seperti dibentuknya Kawasan Pembangunan Ekonomi Terpadu (KAPET) di setiap Propinsi di KTI yang mengkaji potensi wilayah dari segala aspek seperti kandungan sumberdaya alam, sumberdaya manusia, keunggulan lokasi, dan lain-lain, serta usulan program berupa kelengkapan prasarana yang dibutuhkan dan usulan program investasi, serta siapa pelaku yang melaksanakannya. Untuk pembangunan infrastruktur seperti prasarana transportasi jalan, jembatan dan pelabuhan diperlukan dana Pemerintah Pusat, baik dana pembangunan ataupun dana rutin.

4.3.      Strategi Alternatif Percepatan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia

4.3.1.       Membentuk Kaukus Perdagangan Kawasan Timur Indonesia

Secara geografis Kawasan Timur Indonesia langsung berhadapan dengan negara-negara Taiwan, Korea Selatan dan Jepang di Utara, Papua New Gueni, kepulauan Hawai di Timur serta Timor Leste, Australia, New Zeeland di selatan. Regionalisasi perdagangan akan diberlakukan untuk AFTA tahun 2003 dan APEC 2020, halmana akan langsung bersentuhan secara geografis dengan dengan Kawasan Timur Indonesia. Model pengembangan ekonomi berpola regionalisme antar kawasan, saat ini telah menjadi trend dunia baik internasional, nasional maupun regional. Pada tingkat regional kita mengenal pengembangan kawasan Sijori dan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET). Jika Indonesia Timur membentuk hak yang sama, semangatnya dibangun dari asumsi demand side masyarakat yang semakin kompleks. Untuk memberi respon terhadap dinamika perkembangan masyarakat, diperlukan hubungan multilateral antar-region agar terjadi struktur permintaan pasar yang seimbang untuk menghindari adanya hegemoni wilayah. Tujuan dari regionalisasi perdagangan agar tercipta koordinasi dan kerjasama antardaerah dilakukan secara optimal dengan memanfaatkan potensi ekonomi daerah, sebagai upaya pemulihan dan pemberdayaan dunia usaha, dalam menunjang pembangunan perekonomian nasional pada umumnya dan pengbagunan perekonomian daerah. Hal itu akan lebih mendorong kemampuan dunia usaha untuk meningkatkan mutu produktifitas dan daya saing berbagai jenis komoditas dalam menghadapi globalisasi ekonomi. Kaukus perdagangan ini dibangun dengan filosofi kebebasan, kaukus perdagangan Kawasan Timur Indonesia dibagi dalam tiga grup yakni :

1.                  Alternatif kaukus pertama yakni kaukus Perdagangan yang beranggotakan propinsi di wilayah Nusa Tenggara (NTB dan NTT) dengan negara mitranya di selatan yakni Timor Leste, Australia dan Selandia Baru.

2.                  Alternatif kaukus kedua yakni kaukus perdagangan yang beranggotakan propinsi Irian Jaya Barat, Irian Jaya Timur dan Irian Jaya Tengah dengan negara mitranya di timur yakni negara Papua New Guine, kepulauan Panuatu dan kepulauan Hawai.

3.                  Alternatif kaukus ketiga yakni kaukus perdagangan yang beranggotakan propinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Gorontalo, Sulawesi Utara, Maluku Utara Dan Maluku Selatan dengan negara mitranya di utara yakni Taiwan, Philipina, Korea Selatan dan Jepang.

Ketiga kaukus perdagangan ini lebih berorientasi keluar (outward looking), tidak seperti KAPET, Iramasuka dan sejenisnya yang berorientasi kedalam (inward looking).

4.3.2.       Sumber Pendanaan Tidak Berorientasi APBD

Sumber pendanaan pembangunan daerah berasal dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), bagi hasil sumberdaya alam dan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Bila sumber pendanaan pembangunan wilayah KTI menjadikan APBD sebagai “sumber dana utama” seperti yang terjadi selama ini, maka cenderung akan menciptakan ketergantungan kepada pusat. Perlu adanya perubahan orientasi yakni menjadikan APBD hanya sebagai “dana suplemen”, dengan semangat tersebut akan mendorong para kepala daerah di KTI untuk melakukan inovasi kreatif mencari sumber lain diluar APBD. Alternatif strategi pendanaan yang demikian diharapkan akan mempercepat pengembangan wilayah KTI.

4.3.3.       Arus Balik Secara “masif” SDM Asal KTI Yang Berada di KBI

Selama 59 tahun usia RI, secara relatif telah banyak hasil yang dicapai diantaranya aspek SDM tidak terkecuali bagi Kawasan Timur Indonesia. Sejak masa pergerakan nasional anti kolonial, tokoh-tokoh tersebut telah aktif dalam pergerakan tersebut diantaranya Dr. Sam Ratulangie serta tokoh-tokoh Jong Celebes, Jong Ambon dan Jong Minahasa. Mereka turut berperan dalam Sumpah Pemuda 1928. Peran tokoh KTI terus berlanjut dalam masa awal kemerdekaan BPUPKI Dan PPKI, pada masa demokrasi terpimpin, masa orde baru Dan puncaknya ketika terjadi transisi kekuasaan yakni suksesi Mei 1998 yang menjadikan Prof. Dr. B.J. Habibie sebagai putra pertama KTI yang menjadi presiden RI ke-empat. Hal itu membuktikan bahwa tokoh-tokoh KTI cukup berperan dalam politik nasional di setiap masa di Indonesia. SDM KTI yang “berlimpah” tersebut akan menjadi daya dorong tersendiri bagi pembangunan wilayah KTI dengan memanfaatkan jaringan mereka ditingkat nasional, regional maupun internasional dalam dunia usaha, pemerintahan dan pendidikan. Untuk itu perlu adanya semangat GPK (Gerakan Pulang Kampung) dari SDM untuk secara sadar membangun wilayah Kawasan Timur Indonesia dari kemiskinan dan keterbelakangan.

V.         KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Kesimpulan yang dapat diambil dari makalah yang sederhana ini adalah :

1.                  Pembangunan Kawasan Timur Indonesia yang menggunakan pendekatan konvensional vertikal-sektoral-departemental selama orde baru terbukti menimbulkan disparitas yang semakin melebar antara Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia yang menimbulkan kecemburuan dan mengancam disentegrasi bangsa.

2.                   Tidak adanya kebijaksanaan yang konsisten dari pemerintah pusat untuk membangun Kawasan Timur Indonesia, kebijaksanaan yang muncul selama ini cenderung bernuansa politis, bukan pendekatan kesejahteraan.

3.                   Semakin banyak Investasi yang dilakukan di Kawasan Timur Indonesia terutama industri-industri ekstraktif yang beroperasi di daerah rural KTI yang kaya sumberdaya mineral (Papua, Maluku, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Barat) justru menimbulkan kebocoran wilayah yang sangat besar ke negara-negara maju yang menjadi negara asal MNC dan menguntungkan Kawasan Barat Indonesia. Kebocoran wilayah yang besar ini terjadi karena rendahnya kualitas SDM Dan penguasaan teknologi daerah penghasil sumberdaya mineral tersebut.

4.                   Untuk melakukan akselerasi pembangunan KTI pemerintah perlu menerbitkan kepres untuk membangun kawasan otorita seperti didaerah Batam. Kepada tokoh-tokoh KTI yang mempunyai jaringan nasional, regional maupun internasional dalam bidang dunia usaha, pemerintahan dan pendidikan.

5.                   Untuk menggalakkan investasi di Kawasan Timur Indonesia pemerintah perlu membangun inftrastruktur seperti jaringan jalan, pelabuhan udara, pelabuhan laut, sarana telekomunikasi.

 

 

Lampiran 1. Perkembangan PAD dan Peranannya terhadap APBD (dalam juta Rp)

 

Propinsi

Repelita III

(1983/1984)

Repelita IV

(1988/1989)

Repelita V

(1993/1994)

1994/1995

PAD

% thdp

APBD

PAD

% thdp

APBD

PAD

% thdp

APBD

PAD

% thdp

APBD

DI Aceh

12189

16.4

19883

12.5

39279

9.2

47663

10.7

Sumut

49030

22.1

79498

19.3

144207

15.8

198112

19.8

Sumbar

24504

24.6

25190

14.5

54056

13.1

73783

16.1

Riau

15189

16.8

20167

14.4

76338

15.0

86743

16.3

Jambi

8848

13.3

6718

7.8

21548

7.7

31582

10.5

Sumsel

26602

19.3

29414

13.3

60560

9.6

79596

10.2

Bengkulu

5120

15.2

6518

11.6

11977

7.3

17207

9.7

Lampung

19101

24.0

23992

14.2

42142

10.8

52691

11.5

DKI Jakarta

161211

51.7

317808

58.6

993656

59.5

1316885

60.2

Jabar

96966

22.4

153146

19.1

463416

22.2

652362

25.8

Jateng

92035

20.5

140218

18.1

303963

15.6

406724

19.6

DI Yogya

20323

24.8

19578

15.6

49979

17.9

67453

21.6

Jatim

255780

54.2

185879

20.9

403682

19.8

560015

23.8

 

KBI

 

 

786896

 

30.8

 

1028009

 

22.6

 

2664804

 

22.7

 

3590815

 

26.4

Kalbar

9311

12.6

14062

10.7

29976

8.5

39926

9.8

Kalteng

3795

7.3

5064

5.6

12826

3.6

18043

4.7

Kalsel

15320

21.1

14071

11.6

35334

9.9

46227

11.5

Sulut

12784

18.0

24903

17.8

85106

15.5

94920

15.0

Sulteng

3860

8.8

6208

6.8

16791

6.7

19582

7.1

Sulsel

33608

18.1

36017

14.6

79450

11.6

105058

13.6

Sultra

2045

4.7

4148

6.3

12082

5.8

15054

7.0

Bali

22327

28.8

34266

23.3

90787

25.2

151573

34.2

NTB

7068

12.2

9172

9.6

23605

9.0

30217

10.5

NTT

15915

17.6

11960

9.8

27544

7.0

31443

6.9

Maluku

5883

11.4

6831

7.5

15129

5.5

18306

6.1

Irja

5657

5.8

6376

4.4

27487

5.6

34236

5.6

Timtim

-

-

2367

5.1

6562

3.7

8226

4.0

 

KTI

 

 

151041

 

14.9

 

194047

 

11.6

 

498501

 

9.9

 

652025

 

11.4

 

Sumber : Pembangunan Daerah dalam Angka, Bappenas 1997 (Diolah)

 

 

 

 

 

Lampiran 2. Perkembangan Bantuan Pembangunan Daerah (Inpres) dari Repelita III sampai Repelita VI (Juta Rp)

Propinsi

Repelita III

Repelita IV

Repelita V

Repelita VI

s/d 1995/1996

Jumlah

% Total

Jumlah

% Total

Jumlah

% Total

Jumlah

% Total

Penunjang di Pusat

249574

5.4

303419

4.9

736511

4.7

1074796

4.3

DI Aceh

130912

2.8

192923

3.1

912382

3.2

1011250

4.1

Sumut

274452

5.9

365497

5.9

827378

5.2

1244310

5.0

Sumbar

144426

3.1

210251

3.4

475091

3.0

722363

2.9

Riau

103076

2.2

156197

2.5

461498

2.9

725198

2.9

Jambi

90489

1.9

132286

2.1

379683

2.4

564204

2.3

Sumsel

186358

4.0

243510

3.9

652265

4.1

1004808

4.0

Bengkulu

5080

1.6

106838

1.7

309203

2.0

487324

2.0

Lampung

258

3.1

195655

3.2

406652

2.6

696024

2.8

DKI Jakarta

93300

2.0

148922

2.4

329960

2.1

398427

1.8

Jabar

553784

11.9

649555

10.5

1519483

9.6

2321355

9.3

Jateng

487358

10.5

606993

9.8

1372561

8.7

2138019

8.6

DI Yogya

82408

1.8

107196

1.7

241654

1.5

321239

1.3

Atim

520198

11.2

635957

10.3

1521565

9.6

2233676

9.0

KBI

2888098

62.0

3751778

60.8

9051720

57.2

13868198

55.8

Kalbar

98128

2.1

121973

2.0

 

1.8

851983

3.4

Kalteng

148570

3.2

199798

3.2

 

3.5

719372

2.9

Kalsel

881081

1.9

135538

2.2

 

2.7

649761

2.6

Kaltim

109945

2.4

164945

2.7

 

2.5

660838

2.7

Sulut

84070

1.8

132473

2.1

 

2.5

629905

2.5

Ulteng

105966

2.3

136168

2.2

 

2.4

650021

2.6

Sulsel

98635

2.1

128121

2.1

 

2.4

1081048

4.4

Sultra

220164

4.7

266597

4.3

 

4.1

505129

2.0

Bali

88024

1.9

106771

1.7

 

2.0

365827

1.5

NTB

11765

2.4

151629

2.5

 

2.1

954218

2.2

NTT

129296

2.8

175199

2.8

 

3.3

701122

3.8

Maluku

83249

1.8

140826

2.3

 

2.5

701122

2.8

Irja

87388

1.9

155224

2.5

 

4.1

1067766

4.3

Timtim

67142

1.4

106842

1.7

 

2.2

504613

2.0

KTI

1520450

32.7

2122103

34.3

 

38.2

9894908

39.9

 

 

 

 

 

 



[1] Dana Transfer dari pusat tahun 1996/1997 hanya sebesar 17.8 trilyun rupiah