© 2004 Sekolah Pasca Sarjana IPB Posted
26 April 2004
Makalah Kelompok
8, Sem. 2, T.A. 2003/4
Materi Diskusi Kelas
Pengantar Falsafah
Sains (PPS702)
Sekolah Pasca Sarjana
- S3
Institut Pertanian
Bogor
Dosen:
Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng
(penanggung jawab)
Prof. Dr. Ir.
Zahrial Coto
Dr. Ir. Hardjanto
STRATEGI RESTORASI LAHAN TERDEGRADASI
Oleh Kelompok 8 :
Abimanyu D. Nusantara
- E061030132/IPK
Enny Widayati
- E051020211/IPK
Iwan Sasli –
A361030131/AGR
M. Arief
Diragontoro - A161030081/EPN
Untung Susanto
- A361034011/AGR
Shall
we not learn from life its laws, dynamics, balances? Learn to base our needs
not on death, destruction, waste, but on renewal… Learn at last to shape a
civilization in harmony with the earth.” (Ansel Adams, 1960).
I. Pendahuluan
Degradasi
lahan belakangan ini telah menjadi sumber kekuatiran umat manusia. Degradasi lahan adalah penyusutan kemampuan lahan,
aktual dan potensial, untuk menghasilkan barang dan jasa kuantitatif dan
kualitatif atau nilainya sebagai sumberdaya ekonomi sebagai akibat satu atau
lebih proses degradatif (UNEP, 1982; Stocking dan Murnaghan, 2003). Ditinjau
dari gatra (aspect) produktivitas,
degradasi lahan disebabkan oleh ketidaksesuaian (mismatch) antara mutu lahan dengan penggunaan lahan sedangkan
mekanisme yang mengawali degradasi lahan diantaranya adalah proses-proses
fisik, kimia dan hayati (Eswaran et al.,
2001). Proses yang mendegradasikan tanah dapat berjalan lambat atau dipercepat
oleh tingkah laku manusia. Proses degradatif tersebut dapat bersifat fisik,
kimia dan hayati. Degradasi dapat disebabkan oleh alam misalnya kekeringan,
perubahan iklim, dan aktivitas vulkanik, tapi juga dapat disebabkan oleh
aktivitas manusia.
Luasan
lahan kritis di
Tanggapan umum terhadap degradasi lahan adalah dengan
menggantungkan diri kepada suksesi hutan alami untuk memulihkan kesuburan
tanah, kekayaan spesies, dan produktivitas biomassa. Proses pemulihan demikian
memakan waktu yang sangat lama dan hasilnyapun belum tentu memuaskan dan
menghasilkan keuntungan langsung. Karena itu manusia harus berupaya memulihkan
lahan terdegradasi menjadi produktif kembali melalui restorasi lahan. Keberhasilan
sebuah program restorasi lahan ditentukan oleh banyak faktor, setidak-tidaknya
ada dua unsur penting yang harus diperhatikan yaitu adanya teknologi yang
spesifik lokasi dan masalah, dan peranserta masyarakat sekitar lokasi yang
direstorasi. Keuntungan yang dihasilkan oleh program restorasi haruslah
dapat dimanfaatkan seluas-luasnya untuk kepentingan semua mahluk hidup yang
hidup pada atau di sekitar lahan yang direstorasi. Budidaya-budidaya baru,
misalnya agroforestri, dan sistem pengelolaan sumberdaya pertanian yang lebih
efisien dapat membantu proses tersebut dan menjamin pertanian akan tetap
swalanjut dan dengan demikian meminimalkan tekanan-tekanan lokal pada ekosistem
hutan alami.
II. Proses
degradasi LAHAN
Degradasi lahan
bermula dari degradasi tanah. Pada prinsipnya ada tiga macam degradasi tanah
yaitu degradasi fisik, kimia, dan hayati. Masing-masing degradasi tanah
tersebut memiliki proses yang berbeda namun kesemuanya berujung kepada dampak
sosial ekonomi yang sama (Gambar 1).
Dari sudut pandang ekologi, degradasi lahan boleh disebut sebagai peubah
yang bekerjanya lambat yang dalam jangka panjang berinteraksi dengan berbagai kendala
hayati dan sosial ekonomi. Masalah degradasi bukanlah semata-mata berupa
kekahatan hara, mengerasnya lapis olah tanah
atau kebanjiran. Masalah utama adalah hilangnya kesempatan untuk
memperoleh sandang, pangan, dan papan dari tanah yang akan berujung kepada
munculnya kemiskinan dalam segala hal.
Para pengguna lahan, baik petani dan rimbawan, telah melakukan berbagai
upaya untuk menyembuhkan akibat yang ditimbulkan oleh degradasi lahan. Namun
demikian usaha demikian seringkali terkendala oleh keterbatasan dalam mengakses
informasi teknologi, keterbatasan kepemilikan sumberdaya, dan terlalu
sedikitnya insentif yang diberikan untuk upaya-upaya tersebut. Semakin tinggi
modal (finansial dan teknologi) pengguna lahan, yang berarti semakin banyak
pilihan sumberdaya yang dapat digunakan, biasanya semakin baik caranya
mengelola lahan. Pengguna lahan yang miskin modal (finansial dan teknologi)
biasanya memiliki keterbatasan dalam hal mengakses dan mengadopsi teknologi,
mengelola lahan, rendah elastisitasnya terhadap resiko, dan tidak mau menunggu
terlalu lama untuk mendapatkan keuntungan. Menjadi tanggung jawab kita bersama
untuk memberdayakan pengguna lahan yang miskin demikian agar kehidupannya
menjadi sejahtera dalam lingkungan hidup yang swalanjut yang dengan kata lain
ada harmonisasi dengan seluruh unsur kehidupan.
III. BATASAN PENGERTIAN RESTORASI
LAHAN
Sebuah ekosistem memiliki dua atribut utama, yaitu struktur dan fungsi,
yang dapat digunakan untuk mentakrifkan
dan menggambarkan kerusakan yang diderita oleh sebuah ekosistem (Magnuson et al., 1980; Bradshaw, 1987). Degradasi
mendorong terjadinya pengurangan nilai salah satu atau kedua atribut tersebut,
bahkan tidak jarang melenyapkannya. Ekosistem terdegradasi biasanya akan
berupaya menyembuhkan dirinya sendiri melalui proses alami dari suksesi primer
(Miles dan Walton, 1993). Suksesi alami pada ekosistem darat berlangsung lebih
lambat, bahkan dapat amat sangat lambat, karena degradasi tidak jarang
menyisakan substrat yang bersifat merusak bagi mahluk hidup misalnya kadar
logam berat yang tinggi, sisa pestisida, dan lain sebagainya.
Ada beberapa istilah yang umum digunakan dalam memulihkan ekosistem
terdegradasi yaitu rehabilitasi, remediasi, reklamasi, reboisasi dan
restorasi,. Penjelasan empat istilah pertama dapat ditemukan dalam Oxford
English Dictionary (1971) dan disederhanakan seperti Gambar 2.
Gambar 2. Berbagai pilihan pemulihan ekosistem
terdegradasi atas dasar dua karakteristik utama ekosistem (struktur dan
fungsi). Jika terjadi degradasi maka kedua karakteristik tersebut akan menurun,
sekalipun tidak selalu sama besar. Dengan anak panah ditunjukkan bahwa
restorasi berupaya memulihkan kembali fungsi dan struktur ekosistem ke keadaan
awal sebelum degradasi. Untuk mencapai
kondisi demikian ada beberapa alternatif misalnya rehabilitasi yaitu restorasi
yang belum mencapai hasil akhir, dan reklamasi atau penggantian keadaan awal
dengan kondisi yang berbeda. (Bradshaw, 2002)
Rehabilitasi
ditakrifkan (define) sebagai the action of restoring a
thing to a previous condition or statue. Takrif itu mirip dengan takrif restorasi, perbedaannya adalah
rehabilitasi tidak memiliki implikasi kesempurnaan sama sekali karena ekosistem
yang direhabilitasi tidak diharapkan menjadi serupa atau sesehat ekosistem
sebelum terdegradasi (Francis et al.,
1979), upaya-upaya yang dilakukan hanya bertujuan mengubah gatra-gatra
komunitas tanaman saja (Young dan Chan, 1997). Takrif yang lebih tepat
untuk rehabilitasi lahan adalah
perbaikan-perbaikan yang dilakukan pada lahan atau ekosistem yang terdegradasi
(Box, 1978; Wali, 1992).
Remediasi
adalah the act of remedying sedangkan to
remedy adalah to
rectify, to make good. Pada remediasi
yang ditekankan adalah prosesnya bukan hasil akhirnya. Membuat kondisi lebih
baik, atau membuat kondisi yang sudah bagus menjadi semakin bagus, sama sekali
tidak mengandung implikasi menuju kondisi asal. Dalam remediasi dikenal pula
istilah bioremediasi yaitu penggunaan keragaman hayati untuk meningkatkan
fungsi dan mutu lingkungan (Young dan Chan, 1997).
Kata reklamasi berasal dari kata to reclaim yang bermakna to bring back to proper state, sedangkan takrif umum reklamasi adalah the making of land fit for cultivation. Membuat keadaan lahan menjadi lebih baik untuk
dibudidayakan, atau membuat sesuatu yang sudah bagus menjadi lebih bagus, sama
sekali tidak mengandung implikasi pemulihan ke kondisi asal tapi yang lebih
diutamakan adalah asas kemanfaatan lahan. Takrif demikian juga dapat
diterjemahkan sebagai kegiatan-kegiatan yang bertujuan mengubah peruntukan
sebuah lahan atau mengubah kondisi sebuah lahan agar sesuai dengan keinginan
manusia. (Young dan Chan, 1997). Jadi, menurut takrifnya reklamasi dapat
menghasilkan dua akibat yang saling bertolakbelakang, pada satu sisi reklamasi
dapat bersifat destruktif misalnya mengubah ekosistem pantai menjadi pemukiman,
dan di sisi lain reklamasi dapat bersifat konstruktif misalnya pada kasus
reklamasi lahan pasca tambang menjadi hutan atau lahan pertanian.
Mitigasi
adalah semua tindakan yang dilakukan untuk memperbaiki atau mengkompensasi
dampak lingkungan suatu kegiatan. Seringkali tindakan yang dilakukan bertujuan
untuk memunculkan suatu jenis komunitas pada suatu lokasi, yang sebelumnya
tidak ada, untuk menyetimbangkan hilangnya komunitas yang sejenis sebagai
akibat aktivitas manusia (Young dan Chan, 1997). Mitigasi biasanya dilaksanakan
untuk memenuhi kewajiban hukum atau perjanjian. Gatra hukumnya lebih menonjol
daripada remediasi lingkungan.
Reboisasi adalah kegiatan penanaman tanaman pada tanah-tanah
yang terbuka dengan tanaman native
ataupun eksotik di luar kawasan hutan. Tujuan utama reboisasi bukanlah untuk
memulihkan keberadaan tanaman pada suatu lokasi melainkan mencegah erosi dan
meningkatkan daya simpan air tanah. Karena itu terjadinya pergeseran spesies
atau komunitas tanaman bukanlah sebuah masalah yang perlu dipikirkan jalan
keluarnya. Waktu biasanya menjadi kendala utama, hasil reboisasi biasanya harus
dapat dirasakan dalam waktu singkat. Waktu yang terlalu panjang berarti akan memperlama
terjadinya erosi dan meningkatkan dampak offsite
erosion.
Kata restoration
bermakna to act of restoring to former
state or position or to an unimpaired or perfect condition. Kata to
restore bermakna to
bring back to the original state or to healty or vigorous state. Pada awalnya restorasi dimaknai sebagai proses untuk
memulihkan lingkungan yang rusak akibatkan aktivitas manusia menjadi ekosistem
semula yang dinamis (Jakson et al.,
1995), yang kemudian diperluas menjadi
proses yang membantu pemulihan dan pengelolaan intergritas ekosistem (SER,
1996). Yang dimaksud integritas ekosistem adalah keterpaduan antara keragaman
hayati, proses-proses dan struktur ekosistem, konteks regional dan kesejarahan,
dan praktek-praktek budidaya yang swalanjut. Memulihkan ekosistem ke kondisi
semula, yang berarti kedua atributnya sempurna dan sehat, membawa
implikasi-implikasi penting. Struktur dan fungsi ekosistem yang rusak atau punah harus
dikembalikan ke kondisi asalnya. Memulihkan struktur ekosistem tanpa memulihkan
fungsinya, atau fungsinya memiliki konfigurasi yang tidak alami atau tidak
mirip sama sekali dengan fungsi asal, tidak dapat disebut sebagai restorasi.
Karena itu kemudian Bradshaw (2002) dan SER (2002) menyempurnakannya menjadi semua tindakan memulihkan kondisi sebuah
ekosistem sedekat atau sesama mungkin dengan kondisi ekosistem tersebut sebelum
adanya degradasi yang bersifat merusak atau menghancurkan.
Tujuan utama restorasi ekosistem
adalah memulihkan komposisi, struktur dan fungsi spesies warga ekosistem asal
sebelum terjadinya perubahan atau degradasi yang dengan kata lain mengemulasi
atau mengkopi sistem alami yang berfungsi, swadiri, dan swalanjut yang menyatu
dengan bentang lahan dimana ekosistem itu ada (National Research Council,
1992). Setidak-tidaknya ada tiga tujuan operasional yang hendak dicapai dalam
sebuah program restorasi, yaitu :
a.
Proteksi yaitu menutupi ruang
terbuka dengan vegetasi sehingga tanah menjadi tidak mudah tererosi dan menekan
aliran permukaan (run off) dan
menciptakan kondisi yang sesuai untuk ditumbuhi tanaman lain
b.
Konservasi yaitu melestarikan
potensi lahan karena restorasi dapat mendorong terjadinya rekolonisasi spesies
(hewan ataupun tanaman) native atau spesies lain dan melestarikan
spesies-spesies spesifik lokasi yang berpotensi tinggi khususnya
spesies-spesies yang bernilai ekonomi tinggi
c.
Produksi yaitu menghasilkan
produk-produk yang berguna untuk masyarakat misalnya menghasilkan
tanaman-tanaman yang dapat menyuburkan tanah, menghasilkan tanaman-tanaman yang
menghasilkan kayu dan produk-produk selain kayu
misalnya bunga, buah, daun, atau produk lain yang bernilai ekonomi
tinggi
Restorasi dapat dibagi menjadi dua yaitu restorasi pasif dan restorasi
aktif. Restorasi pasif adalah membiarkan alam untuk menyembuhkan dirinya
sendiri dari segala kerusakan yang dideritanya tanpa adanya masukan atau campur
tangan manusia sama sekali dengan kata lain suksesi alami merupakan aktor
utamanya. Suksesi alami pada lokasi terdegradasi menyatu dengan peningkatan
struktur (komposisi dan kerumitan spesies) dan fungsi ekosistem dan sebagai
konsekuensinya mendorong terbentuknya sebuah ekosistem. Namun demikian,
faktor-faktor alami saja tidak akan cukup cepat untuk mengembangkan ekosistem
dan dengan demikian diperlukan campur tangan atau masukan dari manusia. Faktor
lain yang harus dipertimbangkan adalah restorasi pasif tidak akan berdampak
positif kepada kondisi sosial ekonomi masyarakat di sekitar lokasi yang
direstorasi. Jadi, restorasi berguna untuk mempercepat dan mengarahkan suksesi
alami sekaligus mendatangkan keuntungan ekonomi tertentu.
Restorasi aktif bermakna manusia
secara aktif menyiapkan dan mengendalikan berlangsungnya proses restorasi.
Supaya masukannya tepat tentu harus diketahui terlebih dulu faktor-faktor yang
membatasi berlangsungnya suksesi pada setiap tahap restorasi. Pada umumnya,
tidak ada degradasi yang benar-benar merusak sebuah lokasi; degradasi tidak jarang masih menyisakan
sedikit sisa-sisa propagul tanaman atau hewan, atau bahan organik dari
ekosistem sebelumnya, atau sisa-sisa lainnya, termasuk sifat-sifat abiotik
lokasi. Sisa-sisa tersebut merupakan bahan dasar untuk merekonstruksi
ekosistem. Jadi restorasi mengutamakan inisiasi, pertumbuhan, dan perkembangan
sisa-sisa fragmen sebuah habitat. Sejarah sebuah ekosistem sebelum terjadi
degradasi sangat penting artinya dalam upaya merekonstruksi lahan atau
ekosistem yang terdegradasi. Satu hal yang perlu dipahami adalah restorasi
menyeluruh sampai seperti kondisi awal sebelum terjadinya perusakan sangat
sulit tercapai atau bahkan tidak mungkin tercapai, karena informasi ekologis
rinci kondisi awal boleh dikata tidak ada, tehnik-tehnik untuk merekolonisasi
ekosistem rusak dengan spesies asal masih belum cukup sempurna, atau biasanya
tidak tersedia sumberdaya hayati yang cukup untuk merekolonisasi ekosistem
rusak tersebut.
Restorasi bukanlah sebuah alternatif, tapi merupakan pelengkap dan
merupakan bagian yang dinamis dari strategi konservasi secara keseluruhan.
Ringkasnya, konservasi lingkungan merupakan tujuan, sedangkan restorasi
merupakan salah satu cara untuk mencapai tujuan tersebut. Restorasi ekosistem
merupakan kunci penentu untuk tindakan-tindakan konservasi di masa mendatang
dan tampaknya akan lebih efisien jika dilaksanakan dengan menggunakan
prinsip-prinsip ekologi dan konservasi.
Pada sebagian besar program restorasi
biasanya melibatkan revegetasi berbagai spesies pohon hutan dan bertujuan untuk
membentuk kembali ekosistem hutan yang diyakini tadinya telah menumbuhi bentang
lahan yang ada. Sekalipun restorasi ekosistem secara ekstrim dapat menghasilkan
pemulihan keragaman hayati, namun mahalnya biaya penerapannya telah membuatnya
secara ekonomis tidak menarik untuk diterapkan dalam skala besar-besaran di
negara-negara kawasan tropika terkecuali pada kondisi yang sangat khusus,
misalnya pada lahan bekas tambang (Parrotta dan Knowles, 1999), atau
habitat-habitat terdegradasi dalam satuan-satuan konservasi dan pada lahan
milik pribadi (Goosem dan Tucker, 1995). Apa yang dibutuhkan untuk penerapan
skala besar-besaran di banyak negara adalah sistem rehabilitasi dan pengelolaan
hutan yang secara simultan memacu regenerasi ekosistem hutan alami kaya spesies
dan menghasilkan produk-produk hutan yang bernilai ekonomis dan sosial.
IV. STRATEGI RESTORASI LAHAN
Merestorasi lahan sesungguhnya merupakan suatu bentuk pertanggungjawaban
umat manusia (human accountability) kepada
alam semesta. Karena itu manusia yang memutuskan metoda-metoda dan cara-cara
menggunakan, mengelola, dan merestorasi sebuah lahan serta secara aktif
menentukan seberapa jauh restorasi harus dikerjakan. Lahan bukanlah barang atau
benda yang dengan mudah disimpan, diganti, dirusak, dibuat, atau didaurulangkan
lagi seperti benda-benda lain yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Lahan
merupakan sistem yang sangat rumit yang melibatkan berbagai anasir hayati dan
non-hayati yang bekerja bagaikan sebuah simfoni yang terbentuk dalam waktu yang
sangat lama. Prinsip dasar restorasi lahan adalah sama dengan prinsip dalam
suksesi ekologis. Karena itu ada dua hal mendasar yang harus diketahui terlebih
dulu yaitu i) memahami bagaimana sebuah ekosistem berfungsi, dan ii) memahami
penerapan prosedur-prosedur ilmiah yang mampu merestorasi sebuah ekosistem.
Agar program restorasi lahan dapat berhasil maka setidak-tidaknya strategi yang
diterapkan adalah seperti bagan berikut:
Gambar 3.
Strategi restorasi lahan
Pradiagnosis
Pada tahap pra-diagnosis
harus berhasil dijawab beberapa pertanyaan mendasar seperti sejarah sistem
penggunaan lahan sebelum terjadinya degradasi dan bagaimana lahan dan sistem
pendukungnya bekerja sehingga bersifat produktif, termasuk siapa saja
penggunanya baik perusahaan atau orang perseorangan. Jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan demikian akan menentukan faktor kunci yang harus
diperhitungkan misalnya kombinasi dari sumberdaya, teknologi, dan tujuan
penggunaan lahan yang selama ini diberlakukan, tujuan yang ingin dicapai dari
penggunaan sebuah lahan serta strategi pengaturan anasir-anasir yang terlibat.
Lahan-lahan yang telah ratusan tahun digunakan untuk kepentingan pertanian,
seperti yang banyak terjadi di P. Jawa,
tidak mungkin direstorasi mengingat telah hilangnya unsur-unsur
kesejarahan lahan tersebut. Lahan-pahan di P. Jawa,
misalnya, tidak mungkin dipulihkan seperti ketika masih berhutan rimba.
Pelestarian kemampuan lahan mungkin akan lebih tepat. Namun untuk lahan-lahan
di luar P. Jawa yang baru saja mengalami degradasi dan sejarahnya masih utuh
dalam ingatan manusia maka program restorasi akan menjadi sangat penting
artinya.
Alokasi penggunaan lahan juga
harus memikirkan dimensi sosial, ekonomi, politik dan semua isu kebijakan
publik. Jadi, alokasi penggunaan lahan tidak hanya menyangkut optimalisasi
keuntungan, minimisasi biaya atau minimisasi dampak negatif lingkungan, tetapi
termasuk juga isu-isu publik. Alokasi lahan harus mempertimbangkan keberadaan
berbagai macam interest group yang memiliki tujuan yang beragam dan
seringkali bertentangan satu dengan lainnya karena motivasi dan kekuatan sosial
ekonomi yang berbeda. Dalam mencapai
tujuan tersebut, kelompok-kelompok ini menggunakan politik yang sah, seperti
perundingan, membentuk koalisi dengan kelompok yang lain, mencari dukungan dari
kelompok yang kuat atau birokrat. Oleh sebab itu semenjak awal harus ditemukan
model kompromi yang bercirikan tingkan pencapaian tujuan yang meminimalkan
ketidakpuasan antar kelompok-kelompok pengguna lahan yang terlibat.
Diagnosis
Penyelesaian pada tahap
pradiagnosis akan menghasilkan kemampuan mendiagnosis permasalahan dan faktor
pembatas yang bekerja pada sebuah lahan dan restorasi lahan. Faktor kunci yang
harus dipehitungkan diantaranya adalah i) faktor pembatas fisik, kimia, dan
hayati apa saja yang terdapat pada sebuah bentang lahan yang akan direstorasi,
ii) seberapa banyak teknologi yang tersedia, seberapa mudah adopsi teknologi
tersebut, dan seberapa murah teknologi dan bahan yang diperlukan untuk
merestorasi lahan, dan iii) faktor pendukung dan pembatas dalam pemberdayaan
masyarakat. Termasuk dalam faktor pendukung diantaranya adalah peraturan
perundang-undangan nasional, regional dan internasional yang mendukung
kelestarian sumberdaya alam dan hayati. Termasuk dalam faktor pembatas adalah
peraturan perundang-undangan yang lebih mengedepankan masalah eksploitasi
sumberdaya alam dan hayati daripada pelestariannya.
Rancangan teknologi dan
evaluasi
Pemahaman mengenai
informasi-informasi tersebut akan memungkinkan dirancangnya teknologi yang yang
tepat dan spesifik lokasi lahan yang direstorasi dan intervensi-intervensi yang
diperlukan untuk meningkatkan kinerja teknologi sehingga dapat dimunculkan
model pemantauan dan evaluasinya. Dalam model pemantauan harus dapat dijelaskan
indikator-indikator apa saja yang harus dipantau, bagaimana dan kapan serta
seberapa sering pemantauan harus dilakukan. Dalam model evaluasinya harus secara
jelas ditunjukkan ukuran keberhasilan dan kegagalan program restorasi serta
skenario-skenario alternatifnya.
Manipulasi lingkungan dan
sumberdaya
Manipulasi lingkungan dapat berupa
manipulasi fisik, kimia, dan hayati. Manipulasi fisik bertujuan untuk
menyiapkan lahan sedemikian rupa sehingga pelaksanaan manipulasi berikutnya
menjadi lebih mudah dilaksanakan. Pada tahap ini kegiatan yang dapat dilakukan
diantaranya adalah mengatur tumpukan tanah pucuk, menyingkirkan bahan yang
beracun dan berbahaya termasuk peralatan yang sudah tidak digunakan lagi,
menyiapkan prasarana dan sarana transportasi, pengaturan pembuangan limbah dan
sebagainya. Pematangan tanah demikian
harus dikerjakan terlebih dulu sebelum upaya restorasi lain dilaksanakan agar
tercipta kondisi yang kondusif untuk pertumbuhan benih dan bibit tanaman
(Javurek, 2003). Yang paling sulit diatasi adalah masalah fisik berupa
amplitudo suhu harian yang tinggi yang diikuti dengan laju evaporasi tinggi dan
pada akhirnya melahirkan banyak cekaman (stress).
Manipulasi kimia bertujuan untuk
mengubah sifat-sifat kimia tanah dan sifat tanah yang terkait lainnya agar
tanah mampu ditumbuhi oleh tanaman, untuk kepentingan itu dapat digunakan
amandemen tanah (Dailey, 2003). Yang dimaksud dengan amandemen tanah disini
adalah semua bahan yang diberikan dan atau dicampurkan ke dalam tanah (Whiting et al., 2003). Contoh amandemen adalah
bahan organik, bahan alkalin (kapur, batuan fosfat, dan bakterisida), hidrogel
dan lain sebagainya.
Ada tidaknya bahan organik tanah merupakan faktor penentu laju pemulihan
ekosistem terusik menuju ekosistem yang swalanjut, berumur panjang, dan
produktif (Faulconer et al., 1996;
Wali, 1999) karena bahan organik dapat memperbaiki struktur dan daya hantar
air, meningkatkan kapasitas tukar kation sehingga mencegah pelindian hara,
menambahkan hara, menghambat oksidasi pirit, mengkhelasi ion-ion logam berat
(Skousen et al., 1998), mengatur pH tanah melalui sifat
amfoternya dan meningkatkan populasi jasad hidup tanah. Persoalannya sekarang
adalah bagaimana menempatkan bahan organik demikian dalam skala usaha yang
besar. Daur C dan N akan terbentuk dengan sendirinya jika cara penempatannya
benar, dilakukan bersama penyebaran benih tanaman penutup tanah atau tanaman
lain (Faulconer et al., 1996).
Pupuk buatan dapat meningkatkan
pertumbuhan tanaman pada tanah terdegradasi (Dailey, 2003), efektivitasnya
ditentukan spesies tanaman, kondisi tanah yang direklamasi, agroklimatnya, dan
kelarutan, dan cara pemberiannya. Masalahnya adalah daun-daun yang kaya unsur hara biasanya
menghasilkan warna-warna yang menarik perhatian hewan herbivora, selain itu
belum ada bukti-bukti yang menunjukkan bahwa pupuk buatan dapat meningkatkan
tandon hara dalam tanah. Pemberian pupuk buatan pada media yang bertekstur
kasar ataupun yang kapasitas tukar kationnya rendah juga akan menyebabkan
hilangnya pupuk tersebut. Pada kondisi demikian penambahan bahan organik jauh
lebih efektif daripada pupuk buatan.
Seresah, seperti halnya tanah pucuk juga
mengandung propagul tertentu, juga dapat disebarkan pada permukaan tanah yang
direklamasi. Seresah disebarkan pada luasan 250 – 300 m2 dengan
takaran 125 g m-2 bahkan ada juga yang menaburkannya dengan takaran
1000 – 1500 kg ha-1. Salah satu keuntungan cara ini adalah seresah
dapat disimpan dalam waktu yang lebih lama dari tanah pucuk dengan tanpa
menurunkan viabilitas biji yang ada. Seresah juga lebih mudah penanganannya
karena dapat disebarkan dengan bantuan tangan. Keuntungan lain, adalah seresah
atau mulsa akan menciptakan iklim mikro yang lembab dan gelap yang cocok untuk
perkembangbiakan fauna tanah. Salah satu diantaranya adalah cacing tanah,
khususnya cacing tanah yang memiliki masa dormansi lama dan tahan pH rendah
(Witt, 2003). Kerugiannya adalah seresah dapat membawa propagul-propagul yang
tidak diinginkan.
Filosofi dibalik penggunaan bahan-bahan alkalin untuk menetralkan atau
mencegah pembentukan asam adalah berdasarkan akuntansi asam basa yaitu
kesetimbangan antara kapasitas total penetralan atau Neutralization Potential (NP) dari bahan alkalin dengan kapasitas
total pembentukan asam atau Maximum
Potential Acidity (MPA) dari bahan yang akan dinetralkan. Batuan kapur
sering digunakan dalam reklamasi tanah mengingat harganya yang murah,
alkalinitasnya mudah tersedia, memiliki NP 75 – 100%, tidak membahayakan, mudah
ditangani, tapi batuan kapur tidak memiliki sifat sementasi sehingga tidak
dapat digunakan sebagai bahan penghalang. Hasil penelitian menunjukkan NP >
3% dan nisbah NP/MPA > 2 sebagai batas ambang keberhasilan bahan alkalin
untuk menetralkan bahan-bahan pembentuk asam. Pencampuran dan penempatan bahan
alkalin akan jauh lebih penting artinya daripada nilai NP dan nisbah NP/MPA.
Pencampuran dan penempatan yang tepat akan memungkinkan air dapat melalui
seluruh bahan asam dan alkalin.
Batuan dolomit (MgCO3) lebih sesuai daripada kalsit (CaCO3)
ataupun gypsum (CaSO4) untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman pada
tanah-tanah yang tanah pucuknya telah hilang dan bersifat fitotoksik karena
kemasamannya dan kadar logamnya tinggi (McHale dan Winterhalder, 1996). Tanaman legum lebih peka terhadap nisbah Ca : Mg daripada
tanaman rumput, tindak balas tanaman terhadap nisbah tersebut lebih besar pada
dosis pengapuran rendah, dan tindak balas tersebut makin nyata jika tanahnya
semakin toksik. Pengaruh nisbah Ca : Mg dari bahan kapur bersifat rumit,
interaktif, dan sulit ditafsirkan
bergantung kepada jenis tanaman dan tanah yang diteliti. Efikasi gypsum
ditentukan oleh jumlah dan watak mineral liatnya (Farina et al., 2000). Batuan fosfat, misalnya apatite, dilaporkan berhasil
menekan konsentrasi Fe yang dibebaskan dalam oksidasi pyrite dan kemudian
membentuk lapisan yang bersifat tidak larut (Choi dan West, 1996). Abu terbang yang dihasilkan oleh pembakaran
batu bara yang kadar belerangnya tinggi juga dapat digunakan sebagai bahan
alkalin karena memiliki nilai NP antara 20 sampai 40% dan cenderung mengeras
seperti semen setelah dibasahi (Farina et
al., 2000).
Hydrogels merupakan bahan kimia yang mampu
menyerap air dalam jumlah sangat besar
yaitu sebesar 400 – 500 g per g bobot kering bahan (Peterson, 2003)
sehingga membantu pertumbuhan tanaman pada tanah-tanah dengan kandungan air sangat rendah, berpotensi
untuk menurunkan erosi dan sedimentasi, mampu menyerap hara untuk kemudian
dilepaskan secara bertahap, dan membantu perkembangan inokulan hayati seperti
mikoriza, bakteri penyemat nitrogen, dan sebagainya. Namun demikian, aspek yang
paling penting dari hydrogel adalah tindak balasnya yang bersifat spesifik
lokasi karena ditentukan oleh sifat-sifat tanah dan sifat-sifat pupuk yang
digunakan, khususnya kadar garam dan unsur hara dan spesifik spesies karena berkaitan
erat dengan kondisi untuk pertumbuhan normal spesies tertentu. Perubahan yang
ditimbulkan oleh hidrogel dapat bersifat permanen ataupun temporer tergantung
pada kondisi dimana ia digunakan. Sifat-sifat tanah dapat mempengaruhi sifat
hidrogel misalnya komposisi garam dalam air dapat menurunkan kapasitas hydrogel
memegang air.
Manipulasi hayati pada hakekatnya bertujuan untuk memberikan substrat,
revegetasi spesies-spesies tertentu, dan
inokulasi jasad renik yang kesemuanya berperan dalam proses biogeokimia
khususnya pedogenesis dan penyediaan hara. Perubahan proses biogeokimia dapat
menciptakan kondisi tanah yang kondusif untuk ditanami kembali. Substrat yang
dapat diberikan diantaranya adalah tanah pucuk (top soil), bahan organik termasuk seresah, sari limbah (sewage sludge), biosolid atau kotoran manusia yang telah mengompos (humanure), serbuk
gergaji, pupuk kandang, kompos dan sebagainya.
Tanah pucuk merupakan sumber propagule dan
bahan organik yang baik sekali. Tanah pucuk dapat diambil dari jeluk (depth) 50 – 60 mm (Schuna, 2003) atau
sampai batas horizon A yang masih kaya akan bahan organik (Wali, 1999). Tujuan
pengambilan tersebut supaya ada proporsi yang bagus antara bobot tanah dengan
jumlah biji tanaman yang ada. Sembilan puluh persen biji ditemukan pada 50 mm
teratas lapisan tanah, 97% biji ditemukan pada 60 mm teratas dari sebuah profil
tanah. Jika dilaksanakan dengan baik, penambahan tanah pucuk seperti itu akan
mempercepat regenerasi, dan akan menghasilkan penutupan tanah dalam tempo 3
tahun dan dengan komposisi spesies yang kurang lebih sama dengan aslinya.
Upaya revegetasi hutan yang
merupakan bagian dalam upaya restorasi hutan merupakan hal yang mutlak untuk
dilakukan untuk memulihkan lahan dari kerusakan yang telah terjadi dan membangun
keragaman hayati yang baru, seterusnya akan menjadi tandon stok keanekaragaman
hayati untuk menjawab kebutuhan di masa yang akan datang. Penutupan oleh
vegetasi pada lahan terbuka juga berkaitan erat dengan gatra estetika karena
dapat menghilangkan kesan kumuh dan melahirkan keindahan yang enak dipandang
mata, sejuk, dan teduh. Oleh sebab itu vegetasi yang diharapkan dapat
mempercepat perbaikan lahan antara lain harus memiliki karakteristik adaptif, tumbuh cepat, katalitik, dan
eksploitatif. Contoh tanaman memenuhi kriteria tersebut diantaranya adalah : Dillenia suffructicosa, Endospermum sp., Ficus dubia, Ficus kerkhovenii, Ficus
microcarpa, Hibiscus tiliaceus, Macaranga hypoleuca, Trema orientalis, Mallotus
sp., Vitex pubescent.
Bioteknologi tanaman memungkinkan
manusia untuk memasukkan satu atau beberapa gen unggul sehingga memunculkan
satu jasad hidup (tanaman dan jasad renik) super tahan terhadap cekaman
lingkungan biotik maupun abiotik. Melalui teknologi tersebut, diharapkan dapat
dirakit jasad hidup (flora dan fauna) yang dapat tumbuh dan berkembang lebih
baik dibandingkan dengan jasad hidup yang telah ada di lahan terdegradasi,
sehingga dapat menjadi perintis pada lahan marginal yang sedang direstorasi.
Dengan adanya biota perintis tersebut, diharapkan revegetasi dapat berjalan
lebih cepat dan lahan terdegradasi dapat
terus dikurangi. Kontroversi tanaman transgenik yang berkembang di masyarakat
dapat diatasi dengan penggunaan vegetasi transgenik yang produk-produknya tidak
dikonsumsi oleh manusia dan jasad hidup lain yang nantinya akan dimanfaatkan
daging atau telurnya oleh manusia. Vegetasi transgenik yang dipilih misalnya
adalah yang mampu menyerap logam berat dalam jumlah tinggi tanpa keracunan,
tahan suhu dan radiasi tinggi, tahan cekaman hara dan air, mampu menyemat
nitrogen dan melarutkan hara, dan sebagainya.
Untuk meningkatkan keberhasilan
revegetasi lahan terdegradasi dapat dilakukan inokulasi mikroba fungsional
misalnya cendawan mikoriza arbuskula (CMA), bakteri pelarut fosfat, dan bakteri
penambat nitrogen. Hal ini untuk membantu ketersediaan hara makro yang menjadi
kendala utama dan menghasilkan zat pemacu tumbuh yang penting untuk pertumbuhan
bibit pada lahan yang sangat marginal tersebut.
CMA diketahui memainkan peranan
penting di dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman, pelarutan dan penyerapan
unsur hara oleh tanaman, penangkalan patogen, peningkatan daya tanaman terhadap
cekaman lengas, pembentukan struktur dan peningkatan kemantapan tanah serta menekan aktivitas dan
serapan logam berat di dalam sebuah
eksosistem yang tidak ramah (Setiadi,
1999; Jeffries et al., 2003). Ada
beberapa masalah yang dihadapi dalam pemanfaatan CMA yaitu penyimpanan,
reaktifasi, dan ketersediaan inokulum jika akan digunakan dalam skala besar
(Jeffries et al., 2003). Beberapa
penelitian pemanfaatan tanaman tenggang logam berat (heavy metal tolerant) yang dikombinasikan dengan CMA telah
dilakukan di Indonesia. Hasilnya menunjukkan Eucalyptus urophyla, Duabanga
molucana, Cananga odorata, Paraseriantes falcataria dan Acacia mangium mampu tumbuh pada media
limbah pengolahan tambang emas dengan baik jika diberi kompos dan inokulasi CMA
(Supriyanto, 2002), bibit Gmelina arborea
dan E. pellita dapat tumbuh baik pada
kondisi tersebut apabila ditambah pupuk organik (casting) dan inokulasi CMA Glomus
fasciculatum (Anwar, 2002).
Nitrogen merupakan unsur
esensial bagi tumbuhan dan hewan.
Molekul dinitrogen (N2) merupakan 4/5 bagian atmosfer bumi
atau kurang lebih 78 % setara dengan berat
1015 ton dalam bentuk gas (Maier and Tripplet, 1996). Akan tetapi bentuk ini tidak dapat
dimetabolisme secara langsung oleh tumbuhan tingkat tinggi maupun hewan. Asosiasi legum-Rhizobium sering dimanfaatkan dalam restorasi lahan karena sebagian
besar tanaman legum termasuk golongan pioner
yang cepat tumbuh sehingga cepat terjadi penutupan tajuk, cepat
menghasilkan seresah yang banyak dan cepat terdekomposisi karena tingginya
kadar N (Dias et al., 1996). Pertumbuhan
Acacia mangium yang diinokulasi
dengan 3 isolat terpilih Rhizobium
meningkat 2-3 kali lipat dibanding kontrol atau setara dengan perlakuan Urea
sebanyak 140 – 240 kg (Setiadi, 1999).
Unsur P diserap oleh tanaman
dalam bentuk ion fosfat (H2PO4-; HPO42-
ataupun PO4-3), akan tetapi ion ini bersifat radikal
(segera berikatan dengan ion-ion logam) membentuk garam-garam logam fosfat yang
relatif sukar diserap oleh tanaman. Beberapa jasad renik tanah dapat
mensintesis ensim fosfatase yang
dapat melepaskan ikatan P-logam sehingga menjadi ion yang siap diserap oleh
tanaman. Dalam
aktivitasnya, jasad renik pelarut P akan menghasilkan asam-asam organik seperti
asam sitrat, glutamat, suksinat, laktat, oksalat, glioksalat, malat, fumarat,
tartrat dan α-ketobutirat dan enzim fosfatase yang dapat memineralisasi
P organik dalam tanah (Alexander, 1978).
Pemberdayaan masyarakat
Sebagus
apapun teknologi restorasi namun jika tidak dapat diadopsi oleh masyarakat luas
tentu akan tidak ada gunanya. Proses
adopsi adalah serangkaian kegiatan dalam memutuskan untuk menerima atau menolak
suatu inovasi atau teknologi selama periode waktu tertentu (Rogers dan
Shoemaker, 1971). Proses ini mempunyai lima tahapan, yaitu tahap (i) sadar,
(ii) penilaian, (iii) mencoba, dan (iv) adopsi.
Kelancaran proses dan diterimanya suatu inovasi sangat tergantung pada
keberadan inovasi itu sendiri. Suatu inovasi mempunyai
ciri-ciri tertentu.
1. Keuntungan relatif (relative advantage) merupakan tingkatan
suatu ide baru dianggap lebih baik daripada ide-ide yang ada sebelumnya. Tingkat keuntungan relatif ini seringkali
dinyatakan dalam bentuk keuntungan ekonomi (biaya lebih rendah atau keuntungan
lebih tinggi), teknis (produktivitas tinggi, tahan terhadap resiko kegagalan
dan gangguan yang menyebabkan ketidakberhasilan), dan sosial-psikologis
(pemenuhan kebutuhan fisiologis, psikologis, dan sosiologis)
2. Kesesuaian (compability) adalah tingkat suatu
inovasi dianggap konsisten dengan kebutuhan, pengalaman masa lalu, kepercayaan,
sistem nilai dan norma penerima atau masyarakat. Inovasi yang tidak sesuai dengan ciri -sistem
sosial tidak akan diadopsi secepat inovasi yang sesuai, serta jaminan keberhasilan
lebih kecil dan resiko kegagalan lebih besar bagi penerima.
3.
Kerumitan
(complexity) adalah tingkat suatu
inovasi dianggap relatif sulit untuk dimengerti dan digunakan jika dibandingkan
dengan inovasi sebelumnya. Suatu inovasi dapat digolongkan ke dalam kontinum “ Rumit-Sederhana sampai
dengan Rumit-Kompleks” berdasarkan urutan waktunya. Ini berarti makin rumit suatu inovasi bagi
seseorang, maka makin lambat proses adopsinya. Kerumitan suatu inovasi dapat
juga dilihat dari penerimanya, ada inovasi yang mudah diterima oleh penerima
tertentu, sedangkan penerima lainnya belum tentu.
4.
Dapat dicoba (triability) adalah tingkat suatu inovasi
dalam skala kecil. Inovasi yang dapat
dicoba, biasanya lebih cepat diadopsi daripada inovasi yang tidak dapat dicoba
lebih dahulu dan akan memperkecil resiko kegagalan bagi adopter.
5.
Dapat diamati (observability) adalah tingkat suatu
inovasi yang dapat diamati oleh orang lain.
Berapa inovasi tertentu mudah diamati dan dikomunikasikan kepada orang
lain, dibandingkan beberapa inovasi lainnya.
Semakin tinggi tingkat suatu inovasi dapat diamati, maka semakin cepat
proses adopsinya di dalam masyarakat.
Ada empat kriteria
yang berperan dalam mempercepat proses adopsi suatu inovasi, yaitu: validitas
tinggi, kemanfaatan besar, tidak rumit, dan kesesuaian tinggi (Havelock,
1971). Bila suatu inovasi mempunyai
validitas tinggi, kemanfaatan besar, tidak rumit, dan kesesuaiannya tinggi,
maka relatif akan mempengaruhi seseorang untuk mengadopsi inovasi tersebut
dalam jangka waktu yang singkat. Menurut
Mosher (1978), kecepatan adopsi suatu inovasi dipengaruhi oleh beberapa hal,
yaitu:
1.
Kesesuaian inovasi dengan
kondisi lokal di daerah tersebut diperkenalkan.
Ini berarti meskipun inovasi sudah diperkenalkan kepada masyarakat,
tetapi kondisi dan situasi daerah tidak mendukung, maka proses adopsi tidak
akan berjalan dengan baik.
2.
Keuntungan inovasi dapat
dihitung secara pasti dengan perbandingan antara harga input dan produk yang
dihasilkan oleh suatu inovasi. Kecepatan difusi suatu inovasi dapat diharapkan hanya
pada inovasi yang memberikan keuntungan tinggi.
3.
Pengaturan distribusi
perolehan input yang dibutuhkan oleh inovasi tersebut
4.
Faktor budaya termasuk
sistem nilai biasanya menghambat proses adopsi dan difusi inovasi. Kadang-kadang suatu inovasi tidak diadopsi
sebagian atau semuanya oleh suatu masyarakat karena ada konflik dengan sistem
nilai yang ada.
Menurut Slamet
(1978), karakteristik individu sangat besar pengaruhnya terhadap cepat
lambatnya proses adopsi suatu inovasi.
Karakteristik individu tersebut meliputi: umur, pendidikan, status
sosial ekonomi, pola hubungan, keberanian mengambil resiko, sikap terhadap
sesuatu, motivasi berkarya, aspirasi, fatalisme atau ketidakmampuan membaca
masa depan, dogmatisme atau sistem kepercayaan tertutup.
Dapat disimpulkan bahwa agar program restorasi dapat
melibatkan masyarakat luas maka perlu dilakukan langkah-langkah berikut :
1.
Mensintesis dan
menyebarkan informasi mengenai proses degradasi dan restorasi lahan serta
dampak yang ditimbulkannya dan berbagai alternatif teknologi yang dapat
diadopsi masyarakat dari segala lapisan
2.
Meragamkan
alternatif teknologi yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat termasuk
tekonologi yang spesifik lokasi yang telah lama digunakan oleh masyarakat
setempat (local wisdom) dengan penekanan
kepada pemanfaatan sumberdaya alam dan hayati yang tepat, sesuai, dan swalanjut
3.
Memberdayakan
masyarakat dengan mengutamakan kerja kelompok dan meningkatkan kemampuan
masyarakat untuk membangun kapital supaya
mampu menghidupi diri dan membangun lingkungan hidupnya
4.
Mengidentifikasi
dan merespon berbagai kebijakan dan kendala-kendala pelaksanaan kebijakan
tersebut yang berkaitan dengan pelaksanaan program restorasi, misalnya membuat
kebijakan yang menghasilkan insentif bagi masyarakat yang melaksanakan
penelitian dan program restorasi secara tepat dan benar
5.
Mengembangkan
berbagai metoda untuk mengidentifikasi dan mengukur dampak perluasan program
restorasi misalnya metoda evaluasi dan pemantauan, penciptaan pasar
produk-produk restorasi, hama-penyakit, fungsi daerah aliran sungai, dan lain
sebagainya
6.
Membangun
jaringan kerjasama kelembagaan baik di dalam negeri maupun dengan luar negeri
Pemantauan dan evaluasi
Lahan disebut berhasil
direstorasi dan bersifat swalanjut manakala dapat memenuhi kriteria-kriteria
berikut (i) persen daya hidup bibit yang
ditanam adalah tinggi, (ii) pertumbuhan vegetasinya normal dan swalanjut, (iii)
perkembangan akar dapat menembus tanah asli (yang berkepadatan tinggi) dan
menjangkau bagian lain, (v) penutupan tajuknya cepat, terstratifikasi dan
menyebar, (v) lahan menghasilkan seresah yang melimpah dan terdekomposisi
dengan cepat yang ditunjukkan dengan nisbah C:N yang cepat turun dan konstan,
(vi) terjadi rekolonisasi spesies-spesies spesifik lokasi, dan (vii) tercipta habitat
bagi beraneka jenis satwa liar (Setiadi, 2004). Setidak-tidaknya ada lima hal
penting yang harus diingat sehubungan dengan restorasi yaitu i) rekolonisasi,
ii) retensi hara dan air, iii) salingtindak
biotik, iv) produktivitas, dan v)
keswalanjutan.
Berubahnya sifat-sifat kimia lahan pasca tambang setelah direvegetasi
merupakan salah satu bukti betapa tingginya peran revegetasi (Wali, 1999). Daya
hantar listrik (DHL) dan garam-garam terlarut (Na, K, Ca, Mg, dan SO4)
turun dengan cepat dalam periode 17 tahun pertama. Penurunan tercepat terjadi
pada periode 7 tahun pertama yang kemudian diikuti dengan penurunan lambat pada
periode waktu sesudahnya. Sebaliknya kadar P, bahan organik (BO) dan N
meningkat pada periode tersebut. Dari kadar bahan organik dapat ditentukan
kadar atau persen C organik dan nisbah C : N. Pada saat C : N naik menunjukkan adanya pelonggokan (accumulation) seresah segar dan
immobilisasi N yang lebih besar dari laju dekomposisi dan mineralisasi N. Namun
sejalan dengan waktu akan tercapai rasio kesetimbangan yaitu sekitar 12 : 1 sampai 10 : 1 seperti pada tanah yang
dibiarkan tidak ditambang.
Membaiknya kondisi kesuburan
tanah yang diikuti dengan membaiknya lingkungan mikro akan mendorong berlangsungnya
suksesi ekologis atau berevolusinya nasabah (relations) tanaman-jasad renik, tanaman-tanaman, dan tanaman-hewan
khususnya satwa liar. Suksesi ekologis secara sederhana dapat disebut sebagai
perubahan komunitas dalam suatu ekosistem dimana satu kelompok jasad hidup
digantikan oleh komunitas lain sejalan dengan waktu. Sekalipun banyak faktor
yang terlibat dalam suksesi tersebut, namun faktor utamanya adalah kelompok
spesies pionir menciptakan habitat yang lebih ramah untuk kolonisasi spesies lain.
Keberhasilan sebuah program
restorasi hendaknya tidak hanya diukur berdasarkan efektivitas (jangkauan
keberhasilan) dan efisiensinya (nisbah masukan dan luaran) saja akan tetapi
harus juga dikaitkan dengan gatra kesejarahan, politik, hukum, ekonomi,
estetika, dan moral spiritual (Higgs, 1997). Indikator-indikator sosial ekonomi
keberhasilan program restorasi adalah seperti terbaca pada tabel berikut:
Tabel 1. Indikator-indikator sosial kemasyarakatan yang bernuansa ekologis
dalam program restorasi lahan
(adaptasi dari Ling dan Griffiths, 2000)
Tujuan |
Indikator |
Sub indikator |
Keterlibatan masyarakat |
Pada saat dimulainya program restorasi |
Meningkatnya kesadaran, konsultasi, dan peranserta, serta
tanggapan kelembagaan pada setiap tahap program restorasi misalnya dalam
bentuk proyek-proyek lanjutan yang mendorong keswalanjutan restorasi |
Selama studi
kelayakan |
||
Selama
perencanaan dan pengembangan |
||
Selama
pelaksanaan restorasi |
||
Selama
periode pemeliharaan |
||
Kesadaran ekologis |
Dimasukkannya
sejarah lokasi dalam rancang-an program restorasi |
Seberapa jauh
penilaian, pemasukan, dan tanggapan kelembagaan terhadap setiap unsur dari sejarah
lokasi, kondisi bentang lahan dan lingkungan, dan tehnik-tehnik yang
digunakan |
Dimasukkannya
kondisi bentang lahan sebagai salah satu unsur dalam rancangan program
restorasi |
||
Digunakannya tehnik-tehnik yang tidak merusak lingkungan, termasuk
kearifan lokal, dalam rancangan program restorasi |
||
Masuknya pengetahuan pentingnya lingkungan hidup dan pelestariannya dalam
kurikulum pendidikan |
||
Keswalanjutan |
Keswalanjutan
ekologis |
Setiap unsur perencanaan,
pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi harus dikaitkan dengan setiap unsur
keswalanjutan. Termasuk yang berkaitan
dengan aspek etika dan moral, hukum, dan politik |
Keswalanjutan
ekonomi |
||
Keswalanjutan
sosial |
Degradasi lahan secara langsung maupun tidak langsung berkaitan erat dengan
masalah demokrasi dan penerapan hak-hak asasi manusia. Perusakan lahan oleh
generasi masa kini sama saja dengan pelanggaran demokrasi dan hak asasi manusia
karena telah menyebabkan hilangnya kesempatan generasi mendatang untuk
memperoleh kehidupan yang lebih baik. Selain itu akan menjadikan generasi
mendatang memiliki kewajiban yang jauh lebih berat mengingat jumlah manusia
yang semakin bertambah sedangkan luasan lahan semakin sempit dan itupun dengan
produktivitas yang jauh lebih rendah. Tentu tidak adil jika kesemua itu harus
ditanggung oleh generasi masa mendatang.
Pada
saat lahan terdegradasi direstorasi biasanya masyarakat luas tidak peduli,
namun begitu lahan terdegradasi tekah berubah menjadi hutan barulah muncul
berbagai interest group. Pertentangan
antara interest group dalam suatu
sistem sesungguhnya menggambarkan demokrasi politik yang dikontrol oleh lembaga
publik. Namun demikian, pada kenyataannya sangat sulit untuk mempersatukan
pandangan dan keinginan dari interest
group yang beragam tersebut. Perusahaan swasta dan industri-industri yang
memanfaatkan lahan, misalnya HPH, mempunyai tujuan menggunakan lahan untuk
produksi ekonomi dari kayu dan produksi hutan lainnya untuk memaksimumkan
keuntungan dan memberikan pekerjaan. Para ahli ekologi dan lingkungan
menganjurkan melestarikan flora dan fauna untuk mempertahankan ekosistem lahan
atau hutan. Sedangkan masyarakat lainnya mempunyai tujuan bagaimana
memanfaatkan lahan hutan semaksimal mungkin misalnya digunakan sebagai daya
tarik, sumber air, makanan ternak, energi listrik, irigasi dan transpotasi,
tempat rekreasi dan memancing dan lain sebagainya. Dapat dipahami betapa
sulitnya penetapan tujuan umum bagi semua interest
group demikian itu. Tujuan umum
dapat dicapai jika ada semacam kompromi yang hanya dapat dicapai hanya dengan
perundingan atau dialog antar kelompok dalam koridor peraturan dan perundang-undangan yang
berlaku.
Program
restorasi lahan tidak hanya tergantung kepada political will para eksekutif pemerintah saja namun juga harus
menjadi perhatian dan tanggung jawab pihak-pihak lain. Para eksekutif
bertanggung jawab secara keseluruhan terhadap keberhasilan pelaksanaan program
restorasi. Para eksekutif sebaiknya tidak memandang program restorasi hanya
sebagai sebuah pelaksanaan proyek yang berakhir pada satu tahun anggaran saja.
Keberlangsungan dan pemeliharaan program restorasi yang di dalamnya terdapat
unsur pemberdayaan masyarakat seharusnya menjadi pusat perhatian para
eksekutif. Para legislatif dan yudikatif bertanggung jawab mengeluarkan
produk-produk hukum, yang tidak bertentangan satu dengan lainnya, yang lebih
memihak kepada masyarakat kecil dan keswlanjutan lingkungan hidup sekaligus
melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan program restorasi. Kaum akademisi
bertanggung jawab dalam perolehan teknologi dan penyadaran masyarakat melalui
penelitian, pendidikan, dan pemberdayaan pada masyarakat bersama-sama dengan
lembaga swadaya masyarakat. Para pengusaha berkewajiban mengalihkan sebagian
keuntungannya untuk membantu pelaksanaan program-program restorasi. Dalam
batas-batas tertentu, misalnya untuk perusahaan HPH, melaksanakan program
restorasi merupakan kewajiban..
Restorasi
lahan akan menjadi retorika belaka manakala didalamnya terjadi eksploitasi
manusia oleh manusia yang ujung-ujungnya hanya melahirkan keuntungan untuk satu
pihak saja. Tidak sepantasnya sebuah perusahaan HPH setelah memungut hasil
hutan kemudian meminta negara dan masyarakat luas untuk merestorasi hutan yang
telah terdegradasi. Perusahaan HPH hendaknya bertindak proaktif mendorong
keterlibatan masyarakat luas dalam pelaksanaan restorasi hutan. Masyarakat
sekitar lokasi lahan yang direstorasi akan melibatkan diri secara langsung jika
memperoleh keuntungan-keuntungan ekonomi. Untuk itu program restorasi tidak
dapat menggantungkan diri sepenuhnya kepada alam. Manusia harus meniru perilaku
alam dalam suksesi hutan primer yaitu dengan melakukan kegiatan agroforestri
(Hairiah et al., 2003). Diantara
pokok-pokok pohon yang digunakan untuk merestorasi lahan, masyarakat luas
diijinkan untuk menanam tanaman pertanian secara bebas namun diberi tanggung
jawab untuk memelihara pohonnya. Namun demikian kepada masyarakat pengguna
harus diberikan teknologi yang dapat menghindarkannya dari bahaya-bahaya
tertentu misalnya adanya serapan logam berat, adanya asam tambang, dan
sebagainya.
Pertimbangan
mengenai keindahan sebuah lokasi yang direstorasi merupakan pengejawantahan
apresiasi masyarakat terhadap alam (Wilson, 1991). Pengaturan pekarangan dan
taman merupakan satu contoh betapa umat manusia menghargai keindahan dan
harmoni antar spesies yang ada di dalamnya. Untuk itu lahan yang direstorasi
harus diatur sedemikian rupa sehingga tidak ditumbuhi oleh invasive species yang seringkali menjadikan sebuah lokasi terlihat
kumuh. Jika program restorasi dapat dikaitkan dengan keindahan maka sangat
berkemungkinan untuk memunculkan multiplier
effect yang menguntungkan semua pihak, misalnya dirancang sebagai bagian dari
ekowisata (Milton et al., 2003)
Motivasi
antroposentris dalam mengelola sumberdaya alam dan hayati hendaknya diubah
menjadi motivasi biosentris dan ekosentris yang subyek moral primernya adalah untuk
kesejahteraan dan harmoni alam semesta. Banyak kasus yang membuktikan
lestarinya lingkungan hidup jika dikaitkan dengan masalah moral dan spiritual.
Masyarakat petani agroforestri damar di Krui, Sumatra Selatan, telah
mengembangkan moral untuk tidak menjual tanah warisan dan kebanggaan mewariskan
lahan agroforestri yang berhasil kepada keturunannya. Moral demikian telah
terbukti mampu mempertahankan dan melestarikan agroforestri selama
bertahun-tahun. Masyarakat Badui dan Kubu juga megembangkan moral “pamali” atau
larangan untuk menebang pohon-pohon pada lokasi tertentu dengan alasan-alasan
yang terlihat seperti takhayul. Moral dibalik itu sesungguhnya adalah suatu
bentuk pelestarian sumberdaya alam dan hayati yang sangat berharga bagi harmoni
lingkungan hidup. Moral demikian tidak sepantasnya dipandang oleh manusia yang
mengaku dirinya modern sebagai suatu bentuk keterbelakangan. Kearifan
masyarakat lokal hendaknya dipandang sebagai pengetahuan yang tidak boleh
diabaikan begitu saja. Merestorasi lahan terdegradasi hendaknya dipandang
sebagai salah satu bentuk ibadah. Manusia harus mulai merestorasi lahan
terdegradasi berdasarkan pertimbangan pertanggungjawaban moralnya kepada Tuhan
Maha Pencipta.
V.
KESIMPULAN
Degradasi
lahan merupakan masalah yang skalanya telah bersifat global dan berdampak
negatif terhadap semua aspek kehidupan mahluk hidup di permukaan bumi.
Restorasi lahan merupakan upaya untuk memulihkan lahan terdegradasi sesama
mungkin dari segi struktur, fungsi, dan keswalanjutan lahan sebagai bagian dari
ekosistem. Merestorasi lahan merupakan bentuk tanggung jawab manusia kepada
alam dan pelaksanaannya menjadi tanggung jawab bersama serta bersifat lintas disiplin ilmu. Keberhasilan
restorasi lahan tidak dapat diukur dari adanya perubahan fisik lahan belaka
namun juga harus diiringi dengan reformasi moral, etika, hukum, sosial, dan
ekonomi.
SENARAI
PUSTAKA
Alexander, M. 1978. Introduction to Soil Microbiology 2nd Ed. John
Wiley&Son.
Anwar, C. A., 2002. Manipulasi sifat kimia lumpur tailing pada pertambangan emas Pongkor
sebagai media tanaman melalui aplikasi pupuk organik, arang aktif dan mikoriza
untuk menunjang pertumbuhan tanaman indikator pada rehabilitasi lahan kritis.
Prosiding
Diskusi Hasil-hasil Litbang Rehabilitasi dan Konservasi Sumber Daya Hutan, 23
Desember 2002.
Box, T.W. 1978. The
significance and responsibility of rehabilitating drastically disturbed land.
Pages 1-10 in F.W. Schaller and P.
Sutton, eds. Reclamation of Drastically
Disturbed Lands. American Soc. of Agronomy,
Bradshaw, A.D. 1987.
The reclamation of derelict land and the ecology of ecosystems. Pages 53-74 in W.R. Jordan, M.E. Gilpin, and J.D.
Aber (eds). Restoration Ecology.
Bradshaw, A.D. 2002.
Introduction and philosophy. Pages 3-9 in M. R. Perrow and A.J. Davy (eds). Handbook
of Ecological Restoration. Vol 1: Principles of Restoration.
Choi, J.C and T.K. West. 1996. An apatite drain: new method for iron and
aluminum removal from highly contaminated acid mine drainage. Pages 375-383 in
W.L. Daniels, J.A. Burger, and CE. Zipper (eds). Proceedings 1996 Annual Meeting of the American Society for Surface
Mining and Reclamation,
Dailey,
M. 2003. Using soil amendments in salt
marsh restoration along the southern
Davis, M.A., J.F. Murphy and R.S. Boyd, 2001. Nickel
increases susceptibility of a nickel hyper-accumulator to turnip mozaic virus. Journal of Env. Qual. 30: 85-90.
Dias, L.E., A.A. Franco, E.F.C. Campello, and S.M. de Faria. 1996. The
use of leguminous trees in reclamation of tropical mined soils. Pages 601-612
in W.L. Daniels, J.A. Burger, and CE. Zipper (eds). Proceedings 1996 Annual Meeting ofthe American Societyfor Surface
Mining and Reclamation,
Eswaran, H., R. Lal,
and P.F. Reich. 2001. Land degradation: An overview. Pages 20-35 in E.M. Bridges, I.D. Hannam, L.R.
Oldeman, F.W.T. Penning de Fries, S.J. Scherr, and S. Sombatpanit. Response to Land Degradation. Science
Publ., Inc.
Farina, M.P.W., P.
Channon, and G.R. Thibaud. 2000. A
comparison of strategies for ameliorating subsoil acidity: II. Long-term soil
effects. Soil Sci. Soc. Am. J.
64: 652-658
Faulconer, R.D., J.A. Burger, S.H. Schoenholtz, and RE. Kreh. 1996.
Organic amendment effects on nitrogen and carbon mineralization in an
Appalachian minesoil. Pages 613-620 in W.L. Daniels, J.A. Burger, and CE.
Zipper (eds). Proceedings 1996 Annual
Meeting ofthe American Societyfor Surface Mining and Reclamation,
Francis, G.R., J.R.
Magnuson, H.A. Regier, and D.R. Talhelm. 1979. Rehabilitating
Gaspar, G.M. and A. Anton, 2002. Heavy metal uptake by
two radish varieties. Acta Biologica
Szegediensis 46: 113-114
Goosem, S. and N.I.J. Tucker. 1995. Repairing the Rainforest: Theory and
Practice of Rainforest Re-establishment in North
Hairiah, K., M.A. Sardjono, and S. Sabarnurdin. 2003. Agroforestri. World Agroforestry Centre,
Higgs, E.S. 1997. What
is good ecological restoration?. Conservation
Biology 11(2): 338-348
Javurek,
K. 2003. Techniques used for reclamation of mined lands in
Jeffries, P., S. Gianinazzi, S. Perotto, K. Turnau,
and J.M. Barea. 2003. The contribution of arbuscular mycorrhizal fungi in
sustainable maintenance of plant health and soil fertility. Biol Fertil Soils 37:1 – 16
Juo, A.S.R. and L.P.
Wilding. 2001. Land and civilization: An historical perspective.Pages 13-19 in E.M. Bridges, I.D. Hannam, L.R.
Oldeman, F.W.T. Penning de Fries, S.J. Scherr, and S. Sombatpanit. Response to Land Degradation. Science
Publ., Inc.
Ling, C. and
Magnuson, J.J., H.A.
Regier, W.J. Christien and W.C. Sonzogi. 1980. To rehabilitate and restore
Maier R.J. and Tripplet E.W. 1996. Toward more
productive, efficient and competitive nitrogen-fixing symbiotic bacteria. Critical
Reviews in Plant Sciences 15: 191-234.
McHale, D. and K. Winterhalder. 1996. The relative merits of dolomitic
and calcitic limestone in detoxifying and revegetating acidic, nickel- and
copper-contaminated soils in the
Miles, J. and D.W.H.
Walton. 1993. Primary Succession on Land.
Blackwell Sci. Publ.,
Mosher, A.T.
1978. An Introduction to Agricultural Extension. Agricultural Development Council.
National Research
Council, 1992. Restoration of Aquatic
Ecosystems: Science, Technology and Public Policy. National Academic Press,
Parrotta, J.A. and O.H. Knowles. 1999. Restoration of
tropical moist forest on bauxite mined lands in the Brazilian Amazon. Restoration Ecology 7: 103-116
Peterson,
D. 2003. Hydrophilic polymers – effects
and uses in the landscape. http://www.hort.agri.umn.edu/ h5015/peterson.htm
Rogers, E.M.
1983. Diffusion of Innovations.
Third Edition. The Free
Press.
Rogers, E.M., and F.F. Shoemaker. 1971. Communication of Innovations. Second Edition. The Free Press.
Schuna,
B. 2003. Techniques for heathland
restoration in
Setiadi, Y. 2004. Bahan Kuliah Ekologi Restorasi. Program Studi Ilmu
Pengetahuan Kehutanan, Sekolah Pasca Sarjana, IPB.
Setiadi, Y., 1999. Status penelitian pemanfaatan cendawan
mikoriza arbuskula untuk rehabilitasi lahan terdegradasi. Prosiding Seminar
Mikoriza I. Y. Setiadi, dkk (editor).
Kerjasama Asosiasi Mikoriza Indonesia, Puslitbang Hutan dan Konservasi
Alam, British Council.
Skousen, J., A. Rose, G. Geidel, J. Foreman, R. Evans, W.
Hellier. 1998. Handbook of Technologies
for Avoidance and Remediation of Acid Mine Drainage. The
Slamet, M. 1978.
Kumpulan Bahan Bacaan Penyuluhan Pertanian. Institut Pertanian
Society for Ecological
Restoration Science & Policy Working Group (SER). 2002. The SER Primer
on Ecological Restoration. www.ser.org
Society for Ecological
Restoration Science (SER). 1996. The SER Primer on Ecological Restoration.
www.ser.org
Stalker, J., A.W. Rose and L.H. Michaud. 1996. Remediation of acid mine
drainage within strip mine spoil by sulfate reduction using waste organic
matter. Pages 321-335 in W.L. Daniels, J.A. Burger, and CE. Zipper (eds). Proceedings 1996 Annual Meeting ofthe
American Societyfor Surface Mining and Reclamation,
Stocking, M.A. and N. Murnaghan. 2003. Handbook for the Field Assessment of Land
Degradation. Earthscan Publication,
Ltd.,
Supriyanto, 2002. Rehabilitasi
lahan bekas pertambangan emas: memupuk tanah bukan memupuk tanaman. Prosiding Diskusi
Hasil-hasil Litbang Rehabilitasi dan Konservasi Sumber Daya Hutan, 23 Desember
2002. Bogor.
Tongbin, C., W. Chaoyang, H.
Zechun, H. Qifei L. Quanguo and F. Zilan, 2002. Arsenic Hyper-accumulator Pteris
vitata L and its Arsenic
accumulation. Chinese Science Bulletin
47(11): 902-905)
UNEP. 1982. World Soil Policy. United Nations Environment Program,
Wali, M.K. 1992. Ecology of the rehabilitation
process. Pages 3-26 in M. Wali (ed). Ecosystem Rehabilitation. SPB Academic
Publishing,
Wali, M.K. 1999.
Ecological succession and the rehabilitation of disturbed terrestrial ecosystems.
Plant and Soil 213: 195–220
Whiting, D., C.
Wilson, and A. Card. 2003. Organic Soil Amendments. Colorado
Master Gardener Training CMG Fact Sheet #S-41.
Witt,
B. 2003. Using soil fauna to improve
soil health. http://www.hort.agri.umn.edu/h5015/witt.htm
Young, T. and F. Chan. 1997. Key questions
in restoration ecology. Growing Points
1(6):2