© 2004  Sekolah Pasca Sarjana IPB                                                                                  Posted  26 April  2004

Makalah Kelompok 8,  Sem. 2,  T.A. 2003/4

Materi Diskusi Kelas

Pengantar Falsafah Sains (PPS702)

Sekolah Pasca Sarjana -  S3

Institut Pertanian Bogor

 

Dosen:

Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng (penanggung jawab)

Prof. Dr. Ir. Zahrial Coto

Dr. Ir. Hardjanto

 

 

 

STRATEGI RESTORASI LAHAN TERDEGRADASI

 

 

 

 

Oleh  Kelompok 8 :

 

 

Abimanyu D. Nusantara - E061030132/IPK

Enny Widayati - E051020211/IPK

Iwan Sasli – A361030131/AGR

M. Arief Diragontoro - A161030081/EPN

Untung Susanto - A361034011/AGR

 

 

 

 

Shall we not learn from life its laws, dynamics, balances? Learn to base our needs not on death, destruction, waste, but on renewal… Learn at last to shape a civilization in harmony with the earth.” (Ansel Adams, 1960).

 

 

I. Pendahuluan

 

Degradasi lahan belakangan ini telah menjadi sumber kekuatiran umat manusia. Degradasi lahan adalah penyusutan kemampuan lahan, aktual dan potensial, untuk menghasilkan barang dan jasa kuantitatif dan kualitatif atau nilainya sebagai sumberdaya ekonomi sebagai akibat satu atau lebih proses degradatif (UNEP, 1982; Stocking dan Murnaghan, 2003). Ditinjau dari gatra (aspect) produktivitas, degradasi lahan disebabkan oleh ketidaksesuaian (mismatch) antara mutu lahan dengan penggunaan lahan sedangkan mekanisme yang mengawali degradasi lahan diantaranya adalah proses-proses fisik, kimia dan hayati (Eswaran et al., 2001). Proses yang mendegradasikan tanah dapat berjalan lambat atau dipercepat oleh tingkah laku manusia. Proses degradatif tersebut dapat bersifat fisik, kimia dan hayati. Degradasi dapat disebabkan oleh alam misalnya kekeringan, perubahan iklim, dan aktivitas vulkanik, tapi juga dapat disebabkan oleh aktivitas manusia.

 

Ada dua alasan mengapa degradasi lahan menjadi sumber keprihatinan umat manusia yaitu karena (i) menyebabkan menurunnya kapasitas produktif sebuah ekosistem, dan (ii) mempengaruhi iklim global melalui kemampuannya dalam mengubah kesetimbangan air dan energi dan merusak daur biogeokimia. Melalui pengaruhnya terhadap produktivitas pertanian dan lingkungan, degradasi lahan menyebabkan instabilitas sosial politik, meningkatkan laju penggundulan hutan, mengerosi keragaman hayati,  meningkatkan penggunaan lahan marjinal dan lahan rapuh, memacu aliran permukaan dan erosi, mencemari sumber-sumber air, emisi gas-gas rumah kaca ke atmosfir, dan menghilangkan prospek pembangunan ekonomi swalanjut (sustainable) dari pertanian dan sumberdaya  hutan. Hilangnya sumberdaya pangan merupakan salah satu lonceng tanda bahaya kemiskinan yang tercermin dari rendahnya pendapatan, kurang gizi, rendahnya pendidikan dan kesehatan, dan rentan terhadap resiko kehidupan. Sejarah telah membuktikan bahwa degradasi lahan berkaitan erat dengan kesengsaraan manusia seperti pada kasus bangsa Babylonia, Mesir, China, Yunani, Romawi kuno,  dan bangsa-bangsa Mesoamerika (Inca, Aztek dan Maya) (Juo dan Wilding, 2001). 

 

Luasan lahan kritis di Indonesia pada akhir Pelita VI adalah sebesar 23.242.881 ha, dari luasan  tersebut yang ada di dalam kawasan hutan sebesar 8.136.647 ha (35%) dan sisanya di luar kawasan hutan sedangkan kemampuan pemerintah merehabilitasi lahan semenjak tahun 1999 s/d 2002 hanya mencapai 702.044 ha ( 3%). Jika diasumsikan semenjak tahun 2002 tidak ada penambahan lahan kritis dan kemampuan serta kemauan pemerintah dalam merehabilitasi lahan kritis tetap seperti kondisi sekarang maka luasan lahan kritis tersebut baru akan selesai direhabilitasi setelah 33 tahun. Tentu, asumsi demikian hanyalah utopia belaka mengingat laju deforestasi semenjak 1996 telah mencapai 2 juta ha-1 tahun-1 (Forest Watch Indonesia dan Global Forest Watch, 2002). Pembukaan hutan  menyebabkan permukaan bumi menjadi kian terbuka dan dicirikan oleh adanya bahan induk belum terlindi dengan daya hantar listrik, kadar SO4, Mg, Ca, dan Na yang tinggi, kadangkala ditumbuhi oleh tanaman pendatang, umumnya tanaman berumur pendek, tidak adanya tanah pucuk, bagian bawah tanah yang bereaksi sangat masam dan memiliki kapasitas jerapan fosfat tinggi (Dias et al., 1996), suhu permukaan tanah tinggi, dan kadar lengas rendah. 

 

Tanggapan umum terhadap degradasi lahan adalah dengan menggantungkan diri kepada suksesi hutan alami untuk memulihkan kesuburan tanah, kekayaan spesies, dan produktivitas biomassa. Proses pemulihan demikian memakan waktu yang sangat lama dan hasilnyapun belum tentu memuaskan dan menghasilkan keuntungan langsung. Karena itu manusia harus berupaya memulihkan lahan terdegradasi menjadi produktif kembali melalui restorasi lahan.  Keberhasilan sebuah program restorasi lahan ditentukan oleh banyak faktor, setidak-tidaknya ada dua unsur penting yang harus diperhatikan yaitu adanya teknologi yang spesifik lokasi dan masalah, dan peranserta masyarakat sekitar lokasi yang direstorasi. Keuntungan yang dihasilkan oleh program restorasi haruslah dapat dimanfaatkan seluas-luasnya untuk kepentingan semua mahluk hidup yang hidup pada atau di sekitar lahan yang direstorasi. Budidaya-budidaya baru, misalnya agroforestri, dan sistem pengelolaan sumberdaya pertanian yang lebih efisien dapat membantu proses tersebut dan menjamin pertanian akan tetap swalanjut dan dengan demikian meminimalkan tekanan-tekanan lokal pada ekosistem hutan alami.

 

II. Proses degradasi LAHAN

 

Degradasi lahan bermula dari degradasi tanah. Pada prinsipnya ada tiga macam degradasi tanah yaitu degradasi fisik, kimia, dan hayati. Masing-masing degradasi tanah tersebut memiliki proses yang berbeda namun kesemuanya berujung kepada dampak sosial ekonomi yang sama (Gambar 1).

       

Gambar 1. Jenis, proses dan dampak degradasi lahan

Degradasi fisik merujuk kepada deteriorasi atau rusaknya sifat-sifat fisik tanah, termasuk diantaranya (i) pemadatan dan pengerasan tanah, (ii) erosi dan sedimentasi, (iii) laterisasi. Pada lokasi-lokasi pertambangan, kondisi demikian diperparah dengan kerusakan bentang lahan (landscape) akibat terbentuknya kolam-kolam dan lubang-lubang dalam. Kesemuanya kemudian dapat menimbulkan akibat baru berupa naiknya suhu permukaan tanah dan munculnya degradasi hayati.

Degradasi kimia tanah dapat disebabkan antara lain oleh (i) pengurasan hara, (ii) pelindian kation-kation secara berlebihan, (iii) membludaknya penggunaan bahan-bahan kimia pertanian (agrochemicals) dan pembuangan sembarangan limbah, sampah, dan sisa aktivitas manusia, (iv) adanya ketidakimbangan unsur-unsur yang dapat merusak pertumbuhan tanaman, (v) subsidensi tanah-tanah organik, dan (vi) terpaparnya senyawa-senyawa kimia yang terdapat dalam lapis bawah tanah (sub soil) akibat operasi pertambangan. Degradasi kimia akan terjadi jika total pelepasan hara dari fraksi cadangan atau fraksi padat tanah (mineral dan bahan organik) tidak mampu mengimbang laju permintaan hara untuk pembentukan biomassa. Dampak akhir yang ditimbulkan adalah munculnya degradasi hayati tanah.

Degradasi hayati tanah adalah perusakan atau pemusnahan satu atau lebih aktivitas dan populasi murad (significant) jasad hidup tanah, yang seringkali diikuti dengan perubahan proses biogeokimia di dalam ekosistem yang bersangkutan misalnya menyusutnya kandungan bahan organik dan karbon biomassa, serta daur hara dan air. Degradasi hayati tanah dapat disebabkan oleh tingginya suhu tanah dan udara, penggunaan bahan-bahan kimia dan pencemar tanah secara sembarangan dan berlebihan, ataupun aktivitas manusia misalnya dalam kegiatan pertambangan, pengelolaan hutan, pengolahan tanah dan lain sebagainya. Setidak-tidaknya ada empat indikator degradasi hayati tanah yaitu (i) biologi dan keragaman populasi, (ii) daur hara, (iii) pelonggokan molekul-molekul pencemar, dan (iv) perubahan tahana redoks tanah.

 

Dari sudut pandang ekologi, degradasi lahan boleh disebut sebagai peubah yang bekerjanya lambat yang dalam jangka panjang berinteraksi dengan berbagai kendala hayati dan sosial ekonomi. Masalah degradasi bukanlah semata-mata berupa kekahatan hara, mengerasnya lapis olah tanah  atau kebanjiran. Masalah utama adalah hilangnya kesempatan untuk memperoleh sandang, pangan, dan papan dari tanah yang akan berujung kepada munculnya kemiskinan dalam segala hal.

 

Para pengguna lahan, baik petani dan rimbawan, telah melakukan berbagai upaya untuk menyembuhkan akibat yang ditimbulkan oleh degradasi lahan. Namun demikian usaha demikian seringkali terkendala oleh keterbatasan dalam mengakses informasi teknologi, keterbatasan kepemilikan sumberdaya, dan terlalu sedikitnya insentif yang diberikan untuk upaya-upaya tersebut. Semakin tinggi modal (finansial dan teknologi) pengguna lahan, yang berarti semakin banyak pilihan sumberdaya yang dapat digunakan, biasanya semakin baik caranya mengelola lahan. Pengguna lahan yang miskin modal (finansial dan teknologi) biasanya memiliki keterbatasan dalam hal mengakses dan mengadopsi teknologi, mengelola lahan, rendah elastisitasnya terhadap resiko, dan tidak mau menunggu terlalu lama untuk mendapatkan keuntungan. Menjadi tanggung jawab kita bersama untuk memberdayakan pengguna lahan yang miskin demikian agar kehidupannya menjadi sejahtera dalam lingkungan hidup yang swalanjut yang dengan kata lain ada harmonisasi dengan seluruh unsur kehidupan. 

 

III. BATASAN PENGERTIAN RESTORASI LAHAN

 

Sebuah ekosistem memiliki dua atribut utama, yaitu struktur dan fungsi, yang  dapat digunakan untuk mentakrifkan dan menggambarkan kerusakan yang diderita oleh sebuah ekosistem (Magnuson et al., 1980; Bradshaw, 1987). Degradasi mendorong terjadinya pengurangan nilai salah satu atau kedua atribut tersebut, bahkan tidak jarang melenyapkannya. Ekosistem terdegradasi biasanya akan berupaya menyembuhkan dirinya sendiri melalui proses alami dari suksesi primer (Miles dan Walton, 1993). Suksesi alami pada ekosistem darat berlangsung lebih lambat, bahkan dapat amat sangat lambat, karena degradasi tidak jarang menyisakan substrat yang bersifat merusak bagi mahluk hidup misalnya kadar logam berat yang tinggi, sisa pestisida, dan lain sebagainya. 

 

Ada beberapa istilah yang umum digunakan dalam memulihkan ekosistem terdegradasi yaitu rehabilitasi, remediasi, reklamasi, reboisasi dan restorasi,. Penjelasan empat istilah pertama dapat ditemukan dalam Oxford English Dictionary (1971) dan disederhanakan seperti Gambar 2.

 

 

Gambar 2. Berbagai pilihan pemulihan ekosistem terdegradasi atas dasar dua karakteristik utama ekosistem (struktur dan fungsi). Jika terjadi degradasi maka kedua karakteristik tersebut akan menurun, sekalipun tidak selalu sama besar. Dengan anak panah ditunjukkan bahwa restorasi berupaya memulihkan kembali fungsi dan struktur ekosistem ke keadaan awal sebelum degradasi. Untuk  mencapai kondisi demikian ada beberapa alternatif misalnya rehabilitasi yaitu restorasi yang belum mencapai hasil akhir, dan reklamasi atau penggantian keadaan awal dengan kondisi yang berbeda. (Bradshaw, 2002)

 

Rehabilitasi ditakrifkan (define) sebagai the action of restoring a thing to a previous condition or statue. Takrif itu mirip dengan takrif restorasi, perbedaannya adalah rehabilitasi tidak memiliki implikasi kesempurnaan sama sekali karena ekosistem yang direhabilitasi tidak diharapkan menjadi serupa atau sesehat ekosistem sebelum terdegradasi (Francis et al., 1979), upaya-upaya yang dilakukan hanya bertujuan mengubah gatra-gatra komunitas tanaman saja (Young dan Chan, 1997). Takrif yang lebih tepat untuk  rehabilitasi lahan adalah perbaikan-perbaikan yang dilakukan pada lahan atau ekosistem yang terdegradasi (Box, 1978; Wali, 1992).

 

Remediasi adalah the  act of remedying sedangkan to remedy adalah to rectify, to make good. Pada remediasi yang ditekankan adalah prosesnya bukan hasil akhirnya. Membuat kondisi lebih baik, atau membuat kondisi yang sudah bagus menjadi semakin bagus, sama sekali tidak mengandung implikasi menuju kondisi asal. Dalam remediasi dikenal pula istilah bioremediasi yaitu penggunaan keragaman hayati untuk meningkatkan fungsi dan mutu lingkungan (Young dan Chan, 1997).

 

Kata reklamasi berasal dari kata to reclaim yang bermakna to bring back to proper state, sedangkan takrif umum reklamasi adalah the making of land fit for cultivation. Membuat keadaan lahan menjadi lebih baik untuk dibudidayakan, atau membuat sesuatu yang sudah bagus menjadi lebih bagus, sama sekali tidak mengandung implikasi pemulihan ke kondisi asal tapi yang lebih diutamakan adalah asas kemanfaatan lahan. Takrif demikian juga dapat diterjemahkan sebagai kegiatan-kegiatan yang bertujuan mengubah peruntukan sebuah lahan atau mengubah kondisi sebuah lahan agar sesuai dengan keinginan manusia. (Young dan Chan, 1997). Jadi, menurut takrifnya reklamasi dapat menghasilkan dua akibat yang saling bertolakbelakang, pada satu sisi reklamasi dapat bersifat destruktif misalnya mengubah ekosistem pantai menjadi pemukiman, dan di sisi lain reklamasi dapat bersifat konstruktif misalnya pada kasus reklamasi lahan pasca tambang menjadi hutan atau lahan pertanian. 

 

Mitigasi adalah semua tindakan yang dilakukan untuk memperbaiki atau mengkompensasi dampak lingkungan suatu kegiatan. Seringkali tindakan yang dilakukan bertujuan untuk memunculkan suatu jenis komunitas pada suatu lokasi, yang sebelumnya tidak ada, untuk menyetimbangkan hilangnya komunitas yang sejenis sebagai akibat aktivitas manusia (Young dan Chan, 1997). Mitigasi biasanya dilaksanakan untuk memenuhi kewajiban hukum atau perjanjian. Gatra hukumnya lebih menonjol daripada remediasi lingkungan.

 

Reboisasi adalah kegiatan penanaman tanaman pada tanah-tanah yang terbuka dengan tanaman native ataupun eksotik di luar kawasan hutan. Tujuan utama reboisasi bukanlah untuk memulihkan keberadaan tanaman pada suatu lokasi melainkan mencegah erosi dan meningkatkan daya simpan air tanah. Karena itu terjadinya pergeseran spesies atau komunitas tanaman bukanlah sebuah masalah yang perlu dipikirkan jalan keluarnya. Waktu biasanya menjadi kendala utama, hasil reboisasi biasanya harus dapat dirasakan dalam waktu singkat. Waktu yang terlalu panjang berarti akan memperlama terjadinya erosi dan meningkatkan dampak offsite erosion.

 

Kata restoration bermakna to act of restoring to former state or position or to an unimpaired or perfect condition. Kata to restore bermakna to bring back to the original state or to healty or vigorous state. Pada awalnya restorasi dimaknai sebagai proses untuk memulihkan lingkungan yang rusak akibatkan aktivitas manusia menjadi ekosistem semula yang dinamis (Jakson et al., 1995), yang kemudian diperluas  menjadi proses yang membantu pemulihan dan pengelolaan intergritas ekosistem (SER, 1996). Yang dimaksud integritas ekosistem adalah keterpaduan antara keragaman hayati, proses-proses dan struktur ekosistem, konteks regional dan kesejarahan, dan praktek-praktek budidaya yang swalanjut. Memulihkan ekosistem ke kondisi semula, yang berarti kedua atributnya sempurna dan sehat, membawa implikasi-implikasi penting. Struktur dan fungsi ekosistem yang rusak atau punah harus dikembalikan ke kondisi asalnya. Memulihkan struktur ekosistem tanpa memulihkan fungsinya, atau fungsinya memiliki konfigurasi yang tidak alami atau tidak mirip sama sekali dengan fungsi asal, tidak dapat disebut sebagai restorasi. Karena itu kemudian Bradshaw (2002) dan SER (2002) menyempurnakannya menjadi semua tindakan memulihkan kondisi sebuah ekosistem sedekat atau sesama mungkin dengan kondisi ekosistem tersebut sebelum adanya degradasi yang bersifat merusak atau menghancurkan.

 

Tujuan utama restorasi ekosistem adalah memulihkan komposisi, struktur dan fungsi spesies warga ekosistem asal sebelum terjadinya perubahan atau degradasi yang dengan kata lain mengemulasi atau mengkopi sistem alami yang berfungsi, swadiri, dan swalanjut yang menyatu dengan bentang lahan dimana ekosistem itu ada (National Research Council, 1992). Setidak-tidaknya ada tiga tujuan operasional yang hendak dicapai dalam sebuah program restorasi, yaitu :

a.             Proteksi yaitu menutupi ruang terbuka dengan vegetasi sehingga tanah menjadi tidak mudah tererosi dan menekan aliran permukaan (run off) dan menciptakan kondisi yang sesuai untuk ditumbuhi tanaman lain

b.             Konservasi yaitu melestarikan potensi lahan karena restorasi dapat mendorong terjadinya rekolonisasi spesies (hewan ataupun tanaman) native atau spesies lain dan melestarikan spesies-spesies spesifik lokasi yang berpotensi tinggi khususnya spesies-spesies yang bernilai ekonomi tinggi

c.             Produksi yaitu menghasilkan produk-produk yang berguna untuk masyarakat misalnya menghasilkan tanaman-tanaman yang dapat menyuburkan tanah, menghasilkan tanaman-tanaman yang menghasilkan kayu dan produk-produk selain kayu  misalnya bunga, buah, daun, atau produk lain yang bernilai ekonomi tinggi

 

Restorasi dapat dibagi menjadi dua yaitu restorasi pasif dan restorasi aktif. Restorasi pasif adalah membiarkan alam untuk menyembuhkan dirinya sendiri dari segala kerusakan yang dideritanya tanpa adanya masukan atau campur tangan manusia sama sekali dengan kata lain suksesi alami merupakan aktor utamanya. Suksesi alami pada lokasi terdegradasi menyatu dengan peningkatan struktur (komposisi dan kerumitan spesies) dan fungsi ekosistem dan sebagai konsekuensinya mendorong terbentuknya sebuah ekosistem. Namun demikian, faktor-faktor alami saja tidak akan cukup cepat untuk mengembangkan ekosistem dan dengan demikian diperlukan campur tangan atau masukan dari manusia. Faktor lain yang harus dipertimbangkan adalah restorasi pasif tidak akan berdampak positif kepada kondisi sosial ekonomi masyarakat di sekitar lokasi yang direstorasi. Jadi, restorasi berguna untuk mempercepat dan mengarahkan suksesi alami sekaligus mendatangkan keuntungan ekonomi tertentu.

 

Restorasi aktif bermakna manusia secara aktif menyiapkan dan mengendalikan berlangsungnya proses restorasi. Supaya masukannya tepat tentu harus diketahui terlebih dulu faktor-faktor yang membatasi berlangsungnya suksesi pada setiap tahap restorasi. Pada umumnya, tidak ada degradasi yang benar-benar merusak sebuah lokasi;  degradasi tidak jarang masih menyisakan sedikit sisa-sisa propagul tanaman atau hewan, atau bahan organik dari ekosistem sebelumnya, atau sisa-sisa lainnya, termasuk sifat-sifat abiotik lokasi. Sisa-sisa tersebut merupakan bahan dasar untuk merekonstruksi ekosistem. Jadi restorasi mengutamakan inisiasi, pertumbuhan, dan perkembangan sisa-sisa fragmen sebuah habitat. Sejarah sebuah ekosistem sebelum terjadi degradasi sangat penting artinya dalam upaya merekonstruksi lahan atau ekosistem yang terdegradasi. Satu hal yang perlu dipahami adalah restorasi menyeluruh sampai seperti kondisi awal sebelum terjadinya perusakan sangat sulit tercapai atau bahkan tidak mungkin tercapai, karena informasi ekologis rinci kondisi awal boleh dikata tidak ada, tehnik-tehnik untuk merekolonisasi ekosistem rusak dengan spesies asal masih belum cukup sempurna, atau biasanya tidak tersedia sumberdaya hayati yang cukup untuk merekolonisasi ekosistem rusak tersebut.

 

Restorasi bukanlah sebuah alternatif, tapi merupakan pelengkap dan merupakan bagian yang dinamis dari strategi konservasi secara keseluruhan. Ringkasnya, konservasi lingkungan merupakan tujuan, sedangkan restorasi merupakan salah satu cara untuk mencapai tujuan tersebut. Restorasi ekosistem merupakan kunci penentu untuk tindakan-tindakan konservasi di masa mendatang dan tampaknya akan lebih efisien jika dilaksanakan dengan menggunakan prinsip-prinsip ekologi dan konservasi.

 

Pada sebagian besar program restorasi biasanya melibatkan revegetasi berbagai spesies pohon hutan dan bertujuan untuk membentuk kembali ekosistem hutan yang diyakini tadinya telah menumbuhi bentang lahan yang ada. Sekalipun restorasi ekosistem secara ekstrim dapat menghasilkan pemulihan keragaman hayati, namun mahalnya biaya penerapannya telah membuatnya secara ekonomis tidak menarik untuk diterapkan dalam skala besar-besaran di negara-negara kawasan tropika terkecuali pada kondisi yang sangat khusus, misalnya pada lahan bekas tambang (Parrotta dan Knowles, 1999), atau habitat-habitat terdegradasi dalam satuan-satuan konservasi dan pada lahan milik pribadi (Goosem dan Tucker, 1995). Apa yang dibutuhkan untuk penerapan skala besar-besaran di banyak negara adalah sistem rehabilitasi dan pengelolaan hutan yang secara simultan memacu regenerasi ekosistem hutan alami kaya spesies dan menghasilkan produk-produk hutan yang bernilai ekonomis dan sosial.

 

IV. STRATEGI RESTORASI LAHAN

 

Merestorasi lahan sesungguhnya merupakan suatu bentuk pertanggungjawaban umat manusia (human accountability)  kepada alam semesta. Karena itu manusia yang memutuskan metoda-metoda dan cara-cara menggunakan, mengelola, dan merestorasi sebuah lahan serta secara aktif menentukan seberapa jauh restorasi harus dikerjakan. Lahan bukanlah barang atau benda yang dengan mudah disimpan, diganti, dirusak, dibuat, atau didaurulangkan lagi seperti benda-benda lain yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Lahan merupakan sistem yang sangat rumit yang melibatkan berbagai anasir hayati dan non-hayati yang bekerja bagaikan sebuah simfoni yang terbentuk dalam waktu yang sangat lama. Prinsip dasar restorasi lahan adalah sama dengan prinsip dalam suksesi ekologis. Karena itu ada dua hal mendasar yang harus diketahui terlebih dulu yaitu i) memahami bagaimana sebuah ekosistem berfungsi, dan ii) memahami penerapan prosedur-prosedur ilmiah yang mampu merestorasi sebuah ekosistem. Agar program restorasi lahan dapat berhasil maka setidak-tidaknya strategi yang diterapkan adalah seperti bagan berikut:

Gambar 3. Strategi restorasi lahan

 

Pradiagnosis

 

Pada tahap pra-diagnosis harus berhasil dijawab beberapa pertanyaan mendasar seperti sejarah sistem penggunaan lahan sebelum terjadinya degradasi dan bagaimana lahan dan sistem pendukungnya bekerja sehingga bersifat produktif, termasuk siapa saja penggunanya baik perusahaan atau orang perseorangan. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan demikian akan menentukan faktor kunci yang harus diperhitungkan misalnya kombinasi dari sumberdaya, teknologi, dan tujuan penggunaan lahan yang selama ini diberlakukan, tujuan yang ingin dicapai dari penggunaan sebuah lahan serta strategi pengaturan anasir-anasir yang terlibat. Lahan-lahan yang telah ratusan tahun digunakan untuk kepentingan pertanian, seperti yang banyak terjadi di P. Jawa,  tidak mungkin direstorasi mengingat telah hilangnya unsur-unsur kesejarahan lahan tersebut. Lahan-pahan di P. Jawa, misalnya, tidak mungkin dipulihkan seperti ketika masih berhutan rimba. Pelestarian kemampuan lahan mungkin akan lebih tepat. Namun untuk lahan-lahan di luar P. Jawa yang baru saja mengalami degradasi dan sejarahnya masih utuh dalam ingatan manusia maka program restorasi akan menjadi sangat penting artinya.

 

Alokasi penggunaan lahan juga harus memikirkan dimensi sosial, ekonomi, politik dan semua isu kebijakan publik. Jadi, alokasi penggunaan lahan tidak hanya menyangkut optimalisasi keuntungan, minimisasi biaya atau minimisasi dampak negatif lingkungan, tetapi termasuk juga isu-isu publik. Alokasi lahan harus mempertimbangkan keberadaan berbagai macam interest group yang memiliki tujuan yang beragam dan seringkali bertentangan satu dengan lainnya karena motivasi dan kekuatan sosial ekonomi yang berbeda.  Dalam mencapai tujuan tersebut, kelompok-kelompok ini menggunakan politik yang sah, seperti perundingan, membentuk koalisi dengan kelompok yang lain, mencari dukungan dari kelompok yang kuat atau birokrat. Oleh sebab itu semenjak awal harus ditemukan model kompromi yang bercirikan tingkan pencapaian tujuan yang meminimalkan ketidakpuasan antar kelompok-kelompok pengguna lahan yang terlibat.

 

Diagnosis

 

Penyelesaian pada tahap pradiagnosis akan menghasilkan kemampuan mendiagnosis permasalahan dan faktor pembatas yang bekerja pada sebuah lahan dan restorasi lahan. Faktor kunci yang harus dipehitungkan diantaranya adalah i) faktor pembatas fisik, kimia, dan hayati apa saja yang terdapat pada sebuah bentang lahan yang akan direstorasi, ii) seberapa banyak teknologi yang tersedia, seberapa mudah adopsi teknologi tersebut, dan seberapa murah teknologi dan bahan yang diperlukan untuk merestorasi lahan, dan iii) faktor pendukung dan pembatas dalam pemberdayaan masyarakat. Termasuk dalam faktor pendukung diantaranya adalah peraturan perundang-undangan nasional, regional dan internasional yang mendukung kelestarian sumberdaya alam dan hayati. Termasuk dalam faktor pembatas adalah peraturan perundang-undangan yang lebih mengedepankan masalah eksploitasi sumberdaya alam dan hayati daripada pelestariannya.

 

Rancangan teknologi dan evaluasi

 

Pemahaman mengenai informasi-informasi tersebut akan memungkinkan dirancangnya teknologi yang yang tepat dan spesifik lokasi lahan yang direstorasi dan intervensi-intervensi yang diperlukan untuk meningkatkan kinerja teknologi sehingga dapat dimunculkan model pemantauan dan evaluasinya. Dalam model pemantauan harus dapat dijelaskan indikator-indikator apa saja yang harus dipantau, bagaimana dan kapan serta seberapa sering pemantauan harus dilakukan. Dalam model evaluasinya harus secara jelas ditunjukkan ukuran keberhasilan dan kegagalan program restorasi serta skenario-skenario alternatifnya.

 

Manipulasi lingkungan dan sumberdaya

 

Manipulasi lingkungan dapat berupa manipulasi fisik, kimia, dan hayati. Manipulasi fisik bertujuan untuk menyiapkan lahan sedemikian rupa sehingga pelaksanaan manipulasi berikutnya menjadi lebih mudah dilaksanakan. Pada tahap ini kegiatan yang dapat dilakukan diantaranya adalah mengatur tumpukan tanah pucuk, menyingkirkan bahan yang beracun dan berbahaya termasuk peralatan yang sudah tidak digunakan lagi, menyiapkan prasarana dan sarana transportasi, pengaturan pembuangan limbah dan sebagainya.  Pematangan tanah demikian harus dikerjakan terlebih dulu sebelum upaya restorasi lain dilaksanakan agar tercipta kondisi yang kondusif untuk pertumbuhan benih dan bibit tanaman (Javurek, 2003). Yang paling sulit diatasi adalah masalah fisik berupa amplitudo suhu harian yang tinggi yang diikuti dengan laju evaporasi tinggi dan pada akhirnya melahirkan banyak cekaman (stress).

 

Manipulasi kimia bertujuan untuk mengubah sifat-sifat kimia tanah dan sifat tanah yang terkait lainnya agar tanah mampu ditumbuhi oleh tanaman, untuk kepentingan itu dapat digunakan amandemen tanah (Dailey, 2003). Yang dimaksud dengan amandemen tanah disini adalah semua bahan yang diberikan dan atau dicampurkan ke dalam tanah (Whiting et al., 2003). Contoh amandemen adalah bahan organik, bahan alkalin (kapur, batuan fosfat, dan bakterisida), hidrogel dan lain sebagainya.

 

Ada tidaknya bahan organik tanah merupakan faktor penentu laju pemulihan ekosistem terusik menuju ekosistem yang swalanjut, berumur panjang, dan produktif (Faulconer et al., 1996; Wali, 1999) karena bahan organik dapat memperbaiki struktur dan daya hantar air, meningkatkan kapasitas tukar kation sehingga mencegah pelindian hara, menambahkan hara, menghambat oksidasi pirit, mengkhelasi ion-ion logam berat (Skousen et al., 1998), mengatur pH tanah melalui sifat amfoternya dan meningkatkan populasi jasad hidup tanah. Persoalannya sekarang adalah bagaimana menempatkan bahan organik demikian dalam skala usaha yang besar. Daur C dan N akan terbentuk dengan sendirinya jika cara penempatannya benar, dilakukan bersama penyebaran benih tanaman penutup tanah atau tanaman lain (Faulconer et al., 1996). 

 

Pupuk buatan dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman pada tanah terdegradasi (Dailey, 2003), efektivitasnya ditentukan spesies tanaman, kondisi tanah yang direklamasi, agroklimatnya, dan kelarutan, dan cara pemberiannya. Masalahnya adalah  daun-daun yang kaya unsur hara biasanya menghasilkan warna-warna yang menarik perhatian hewan herbivora, selain itu belum ada bukti-bukti yang menunjukkan bahwa pupuk buatan dapat meningkatkan tandon hara dalam tanah. Pemberian pupuk buatan pada media yang bertekstur kasar ataupun yang kapasitas tukar kationnya rendah juga akan menyebabkan hilangnya pupuk tersebut. Pada kondisi demikian penambahan bahan organik jauh lebih efektif daripada pupuk buatan.

 

Seresah, seperti halnya tanah pucuk juga mengandung propagul tertentu, juga dapat disebarkan pada permukaan tanah yang direklamasi. Seresah disebarkan pada luasan 250 – 300 m2 dengan takaran 125 g m-2 bahkan ada juga yang menaburkannya dengan takaran 1000 – 1500 kg ha-1. Salah satu keuntungan cara ini adalah seresah dapat disimpan dalam waktu yang lebih lama dari tanah pucuk dengan tanpa menurunkan viabilitas biji yang ada. Seresah juga lebih mudah penanganannya karena dapat disebarkan dengan bantuan tangan. Keuntungan lain, adalah seresah atau mulsa akan menciptakan iklim mikro yang lembab dan gelap yang cocok untuk perkembangbiakan fauna tanah. Salah satu diantaranya adalah cacing tanah, khususnya cacing tanah yang memiliki masa dormansi lama dan tahan pH rendah (Witt, 2003). Kerugiannya adalah seresah dapat membawa propagul-propagul yang tidak diinginkan.

 

Filosofi dibalik penggunaan bahan-bahan alkalin untuk menetralkan atau mencegah pembentukan asam adalah berdasarkan akuntansi asam basa yaitu kesetimbangan antara kapasitas total penetralan atau Neutralization Potential (NP) dari bahan alkalin dengan kapasitas total pembentukan asam atau Maximum Potential Acidity (MPA) dari bahan yang akan dinetralkan. Batuan kapur sering digunakan dalam reklamasi tanah mengingat harganya yang murah, alkalinitasnya mudah tersedia, memiliki NP 75 – 100%, tidak membahayakan, mudah ditangani, tapi batuan kapur tidak memiliki sifat sementasi sehingga tidak dapat digunakan sebagai bahan penghalang. Hasil penelitian menunjukkan NP > 3% dan nisbah NP/MPA > 2 sebagai batas ambang keberhasilan bahan alkalin untuk menetralkan bahan-bahan pembentuk asam. Pencampuran dan penempatan bahan alkalin akan jauh lebih penting artinya daripada nilai NP dan nisbah NP/MPA. Pencampuran dan penempatan yang tepat akan memungkinkan air dapat melalui seluruh bahan asam dan alkalin.

 

Batuan dolomit (MgCO3)  lebih sesuai daripada kalsit (CaCO3) ataupun gypsum (CaSO4) untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman pada tanah-tanah yang tanah pucuknya telah hilang dan bersifat fitotoksik karena kemasamannya dan kadar logamnya tinggi (McHale dan  Winterhalder, 1996). Tanaman legum  lebih peka terhadap nisbah Ca : Mg daripada tanaman rumput, tindak balas tanaman terhadap nisbah tersebut lebih besar pada dosis pengapuran rendah, dan tindak balas tersebut makin nyata jika tanahnya semakin toksik. Pengaruh nisbah Ca : Mg dari bahan kapur bersifat rumit, interaktif, dan sulit ditafsirkan  bergantung kepada jenis tanaman dan tanah yang diteliti. Efikasi gypsum ditentukan oleh jumlah dan watak mineral liatnya (Farina et al., 2000). Batuan fosfat, misalnya apatite, dilaporkan berhasil menekan konsentrasi Fe yang dibebaskan dalam oksidasi pyrite dan kemudian membentuk lapisan yang bersifat tidak larut (Choi dan West, 1996). Abu terbang yang dihasilkan oleh pembakaran batu bara yang kadar belerangnya tinggi juga dapat digunakan sebagai bahan alkalin karena memiliki nilai NP antara 20 sampai 40% dan cenderung mengeras seperti semen setelah dibasahi (Farina et al., 2000).

 

Hydrogels merupakan bahan kimia yang mampu menyerap air dalam jumlah sangat besar  yaitu sebesar 400 – 500 g per g bobot kering bahan (Peterson, 2003) sehingga membantu pertumbuhan tanaman pada tanah-tanah dengan   kandungan air sangat rendah, berpotensi untuk menurunkan erosi dan sedimentasi, mampu menyerap hara untuk kemudian dilepaskan secara bertahap, dan membantu perkembangan inokulan hayati seperti mikoriza, bakteri penyemat nitrogen, dan sebagainya. Namun demikian, aspek yang paling penting dari hydrogel adalah tindak balasnya yang bersifat spesifik lokasi karena ditentukan oleh sifat-sifat tanah dan sifat-sifat pupuk yang digunakan, khususnya kadar garam dan unsur hara dan spesifik spesies karena berkaitan erat dengan kondisi untuk pertumbuhan normal spesies tertentu. Perubahan yang ditimbulkan oleh hidrogel dapat bersifat permanen ataupun temporer tergantung pada kondisi dimana ia digunakan. Sifat-sifat tanah dapat mempengaruhi sifat hidrogel misalnya komposisi garam dalam air dapat menurunkan kapasitas hydrogel memegang air.

 

Manipulasi hayati pada hakekatnya bertujuan untuk memberikan substrat, revegetasi spesies-spesies tertentu, dan  inokulasi jasad renik yang kesemuanya berperan dalam proses biogeokimia khususnya pedogenesis dan penyediaan hara. Perubahan proses biogeokimia dapat menciptakan kondisi tanah yang kondusif untuk ditanami kembali. Substrat yang dapat diberikan diantaranya adalah tanah pucuk (top soil), bahan organik termasuk seresah, sari limbah (sewage sludge), biosolid atau kotoran manusia yang telah mengompos (humanure),  serbuk gergaji, pupuk kandang, kompos dan sebagainya.  

 

Tanah pucuk merupakan sumber propagule dan bahan organik yang baik sekali. Tanah pucuk dapat diambil dari jeluk (depth) 50 – 60 mm (Schuna, 2003) atau sampai batas horizon A yang masih kaya akan bahan organik (Wali, 1999). Tujuan pengambilan tersebut supaya ada proporsi yang bagus antara bobot tanah dengan jumlah biji tanaman yang ada. Sembilan puluh persen biji ditemukan pada 50 mm teratas lapisan tanah, 97% biji ditemukan pada 60 mm teratas dari sebuah profil tanah. Jika dilaksanakan dengan baik, penambahan tanah pucuk seperti itu akan mempercepat regenerasi, dan akan menghasilkan penutupan tanah dalam tempo 3 tahun dan dengan komposisi spesies yang kurang lebih sama dengan aslinya.

 

Upaya revegetasi hutan yang merupakan bagian dalam upaya restorasi hutan merupakan hal yang mutlak untuk dilakukan untuk memulihkan lahan dari kerusakan yang telah terjadi dan membangun keragaman hayati yang baru, seterusnya akan menjadi tandon stok keanekaragaman hayati untuk menjawab kebutuhan di masa yang akan datang. Penutupan oleh vegetasi pada lahan terbuka juga berkaitan erat dengan gatra estetika karena dapat menghilangkan kesan kumuh dan melahirkan keindahan yang enak dipandang mata, sejuk, dan teduh. Oleh sebab itu vegetasi yang diharapkan dapat mempercepat perbaikan lahan antara lain harus memiliki karakteristik  adaptif, tumbuh cepat, katalitik, dan eksploitatif. Contoh tanaman memenuhi kriteria tersebut diantaranya adalah : Dillenia suffructicosa, Endospermum sp., Ficus dubia, Ficus kerkhovenii, Ficus microcarpa, Hibiscus tiliaceus, Macaranga hypoleuca, Trema orientalis, Mallotus sp., Vitex pubescent.

 

Bioteknologi tanaman memungkinkan manusia untuk memasukkan satu atau beberapa gen unggul sehingga memunculkan satu jasad hidup (tanaman dan jasad renik) super tahan terhadap cekaman lingkungan biotik maupun abiotik. Melalui teknologi tersebut, diharapkan dapat dirakit jasad hidup (flora dan fauna) yang dapat tumbuh dan berkembang lebih baik dibandingkan dengan jasad hidup yang telah ada di lahan terdegradasi, sehingga dapat menjadi perintis pada lahan marginal yang sedang direstorasi. Dengan adanya biota perintis tersebut, diharapkan revegetasi dapat berjalan lebih cepat dan lahan  terdegradasi dapat terus dikurangi. Kontroversi tanaman transgenik yang berkembang di masyarakat dapat diatasi dengan penggunaan vegetasi transgenik yang produk-produknya tidak dikonsumsi oleh manusia dan jasad hidup lain yang nantinya akan dimanfaatkan daging atau telurnya oleh manusia. Vegetasi transgenik yang dipilih misalnya adalah yang mampu menyerap logam berat dalam jumlah tinggi tanpa keracunan, tahan suhu dan radiasi tinggi, tahan cekaman hara dan air, mampu menyemat nitrogen dan melarutkan hara, dan sebagainya.

 

Untuk meningkatkan keberhasilan revegetasi lahan terdegradasi dapat dilakukan inokulasi mikroba fungsional misalnya cendawan mikoriza arbuskula (CMA), bakteri pelarut fosfat, dan bakteri penambat nitrogen. Hal ini untuk membantu ketersediaan hara makro yang menjadi kendala utama dan menghasilkan zat pemacu tumbuh yang penting untuk pertumbuhan bibit pada lahan yang sangat marginal tersebut. 

 

CMA diketahui memainkan peranan penting di dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman, pelarutan dan penyerapan unsur hara oleh tanaman, penangkalan patogen, peningkatan daya tanaman terhadap cekaman lengas, pembentukan struktur dan peningkatan  kemantapan tanah serta menekan aktivitas dan serapan logam berat  di dalam sebuah eksosistem  yang tidak ramah (Setiadi, 1999; Jeffries et al., 2003). Ada beberapa masalah yang dihadapi dalam pemanfaatan CMA yaitu penyimpanan, reaktifasi, dan ketersediaan inokulum jika akan digunakan dalam skala besar (Jeffries et al., 2003). Beberapa penelitian pemanfaatan tanaman tenggang logam berat (heavy metal tolerant) yang dikombinasikan dengan CMA telah dilakukan di Indonesia. Hasilnya menunjukkan Eucalyptus urophyla, Duabanga molucana, Cananga odorata, Paraseriantes falcataria dan Acacia mangium mampu tumbuh pada media limbah pengolahan tambang emas dengan baik jika diberi kompos dan inokulasi CMA (Supriyanto, 2002), bibit Gmelina arborea dan E. pellita dapat tumbuh baik pada kondisi tersebut apabila ditambah pupuk organik (casting) dan inokulasi CMA Glomus fasciculatum (Anwar, 2002).  

 

Nitrogen merupakan unsur esensial bagi tumbuhan dan hewan.  Molekul dinitrogen (N2) merupakan 4/5 bagian atmosfer bumi atau kurang lebih 78 % setara dengan berat  1015 ton dalam bentuk gas (Maier and Tripplet, 1996).  Akan tetapi bentuk ini tidak dapat dimetabolisme secara langsung oleh tumbuhan tingkat tinggi maupun hewan.  Asosiasi legum-Rhizobium sering dimanfaatkan dalam restorasi lahan karena sebagian besar tanaman legum termasuk golongan pioner  yang cepat tumbuh sehingga cepat terjadi penutupan tajuk, cepat menghasilkan seresah yang banyak dan cepat terdekomposisi karena tingginya kadar N (Dias et al., 1996).  Pertumbuhan Acacia mangium yang diinokulasi dengan 3 isolat terpilih Rhizobium meningkat 2-3 kali lipat dibanding kontrol atau setara dengan perlakuan Urea sebanyak 140 – 240 kg (Setiadi, 1999).

 

Unsur P diserap oleh tanaman dalam bentuk ion fosfat (H2PO4-; HPO42- ataupun PO4-3), akan tetapi ion ini bersifat radikal (segera berikatan dengan ion-ion logam) membentuk garam-garam logam fosfat yang relatif sukar diserap oleh tanaman. Beberapa jasad renik tanah dapat mensintesis ensim fosfatase yang dapat melepaskan ikatan P-logam sehingga menjadi ion yang siap diserap oleh tanaman. Dalam aktivitasnya, jasad renik pelarut P akan menghasilkan asam-asam organik seperti asam sitrat, glutamat, suksinat, laktat, oksalat, glioksalat, malat, fumarat, tartrat dan α-ketobutirat  dan enzim fosfatase yang dapat memineralisasi P organik dalam tanah (Alexander, 1978). 

 

Pemberdayaan masyarakat

 

Sebagus apapun teknologi restorasi namun jika tidak dapat diadopsi oleh masyarakat luas tentu akan tidak ada gunanya.  Proses adopsi adalah serangkaian kegiatan dalam memutuskan untuk menerima atau menolak suatu inovasi atau teknologi selama periode waktu tertentu (Rogers dan Shoemaker, 1971). Proses ini mempunyai lima tahapan, yaitu tahap (i) sadar, (ii) penilaian, (iii) mencoba, dan (iv) adopsi.  Kelancaran proses dan diterimanya suatu inovasi sangat tergantung pada keberadan inovasi itu sendiri.  Suatu inovasi mempunyai ciri-ciri tertentu.  Ada lima ciri suatu inovasi, yaitu  (Rogers dan Shoemaker, 1971; Rogers, 1983):

1.      Keuntungan relatif (relative advantage) merupakan tingkatan suatu ide baru dianggap lebih baik daripada ide-ide yang ada sebelumnya.  Tingkat keuntungan relatif ini seringkali dinyatakan dalam bentuk keuntungan ekonomi (biaya lebih rendah atau keuntungan lebih tinggi), teknis (produktivitas tinggi, tahan terhadap resiko kegagalan dan gangguan yang menyebabkan ketidakberhasilan), dan sosial-psikologis (pemenuhan kebutuhan fisiologis, psikologis, dan sosiologis)

2.      Kesesuaian (compability) adalah tingkat suatu inovasi dianggap konsisten dengan kebutuhan, pengalaman masa lalu, kepercayaan, sistem nilai dan norma penerima atau masyarakat.  Inovasi yang tidak sesuai dengan ciri -sistem sosial tidak akan diadopsi secepat inovasi yang sesuai, serta jaminan keberhasilan lebih kecil dan resiko kegagalan lebih besar bagi penerima.

3.      Kerumitan (complexity) adalah tingkat suatu inovasi dianggap relatif sulit untuk dimengerti dan digunakan jika dibandingkan dengan inovasi sebelumnya.  Suatu inovasi dapat digolongkan ke dalam kontinum “ Rumit-Sederhana sampai dengan Rumit-Kompleks” berdasarkan urutan waktunya.  Ini berarti makin rumit suatu inovasi bagi seseorang, maka makin lambat proses adopsinya. Kerumitan suatu inovasi dapat juga dilihat dari penerimanya, ada inovasi yang mudah diterima oleh penerima tertentu, sedangkan penerima lainnya belum tentu.

4.      Dapat dicoba (triability) adalah tingkat suatu inovasi dalam skala kecil.  Inovasi yang dapat dicoba, biasanya lebih cepat diadopsi daripada inovasi yang tidak dapat dicoba lebih dahulu dan akan memperkecil resiko kegagalan bagi adopter.

5.      Dapat diamati (observability) adalah tingkat suatu inovasi yang dapat diamati oleh orang lain.  Berapa inovasi tertentu mudah diamati dan dikomunikasikan kepada orang lain, dibandingkan beberapa inovasi lainnya.  Semakin tinggi tingkat suatu inovasi dapat diamati, maka semakin cepat proses adopsinya di dalam masyarakat.

 

Ada empat kriteria yang berperan dalam mempercepat proses adopsi suatu inovasi, yaitu: validitas tinggi, kemanfaatan besar, tidak rumit, dan kesesuaian tinggi (Havelock, 1971).  Bila suatu inovasi mempunyai validitas tinggi, kemanfaatan besar, tidak rumit, dan kesesuaiannya tinggi, maka relatif akan mempengaruhi seseorang untuk mengadopsi inovasi tersebut dalam jangka waktu yang singkat.  Menurut Mosher (1978), kecepatan adopsi suatu inovasi dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu:

1.      Kesesuaian inovasi dengan kondisi lokal di daerah tersebut diperkenalkan.  Ini berarti meskipun inovasi sudah diperkenalkan kepada masyarakat, tetapi kondisi dan situasi daerah tidak mendukung, maka proses adopsi tidak akan berjalan dengan baik.

2.      Keuntungan inovasi dapat dihitung secara pasti dengan perbandingan antara harga input dan produk yang dihasilkan oleh suatu inovasi. Kecepatan difusi suatu inovasi dapat diharapkan hanya pada inovasi yang memberikan keuntungan tinggi.

3.      Pengaturan distribusi perolehan input yang dibutuhkan oleh inovasi tersebut

4.      Faktor budaya termasuk sistem nilai biasanya menghambat proses adopsi dan difusi inovasi.  Kadang-kadang suatu inovasi tidak diadopsi sebagian atau semuanya oleh suatu masyarakat karena ada konflik dengan sistem nilai yang ada.

 

Menurut Slamet (1978), karakteristik individu sangat besar pengaruhnya terhadap cepat lambatnya proses adopsi suatu inovasi.  Karakteristik individu tersebut meliputi: umur, pendidikan, status sosial ekonomi, pola hubungan, keberanian mengambil resiko, sikap terhadap sesuatu, motivasi berkarya, aspirasi, fatalisme atau ketidakmampuan membaca masa depan, dogmatisme atau sistem kepercayaan tertutup.

 

Dapat disimpulkan bahwa agar program restorasi dapat melibatkan masyarakat luas maka perlu dilakukan langkah-langkah berikut :

1.      Mensintesis dan menyebarkan informasi mengenai proses degradasi dan restorasi lahan serta dampak yang ditimbulkannya dan berbagai alternatif teknologi yang dapat diadopsi masyarakat dari segala lapisan

2.      Meragamkan alternatif teknologi yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat termasuk tekonologi yang spesifik lokasi yang telah lama digunakan oleh masyarakat setempat (local wisdom) dengan penekanan kepada pemanfaatan sumberdaya alam dan hayati yang tepat, sesuai, dan swalanjut

3.      Memberdayakan masyarakat dengan mengutamakan kerja kelompok dan meningkatkan kemampuan masyarakat untuk membangun kapital supaya  mampu menghidupi diri dan membangun lingkungan hidupnya

4.      Mengidentifikasi dan merespon berbagai kebijakan dan kendala-kendala pelaksanaan kebijakan tersebut yang berkaitan dengan pelaksanaan program restorasi, misalnya membuat kebijakan yang menghasilkan insentif bagi masyarakat yang melaksanakan penelitian dan program restorasi secara tepat dan benar

5.      Mengembangkan berbagai metoda untuk mengidentifikasi dan mengukur dampak perluasan program restorasi misalnya metoda evaluasi dan pemantauan, penciptaan pasar produk-produk restorasi, hama-penyakit, fungsi daerah aliran sungai, dan lain sebagainya

6.      Membangun jaringan kerjasama kelembagaan baik di dalam negeri maupun dengan luar negeri

 

Pemantauan dan evaluasi

 

Lahan disebut berhasil direstorasi dan bersifat swalanjut manakala dapat memenuhi kriteria-kriteria berikut  (i) persen daya hidup bibit yang ditanam adalah tinggi, (ii) pertumbuhan vegetasinya normal dan swalanjut, (iii) perkembangan akar dapat menembus tanah asli (yang berkepadatan tinggi) dan menjangkau bagian lain, (v) penutupan tajuknya cepat, terstratifikasi dan menyebar, (v) lahan menghasilkan seresah yang melimpah dan terdekomposisi dengan cepat yang ditunjukkan dengan nisbah C:N yang cepat turun dan konstan, (vi) terjadi rekolonisasi spesies-spesies spesifik lokasi, dan (vii) tercipta habitat bagi beraneka jenis satwa liar (Setiadi, 2004). Setidak-tidaknya ada lima hal penting yang harus diingat sehubungan dengan restorasi yaitu i) rekolonisasi, ii) retensi hara dan air, iii) salingtindak  biotik,  iv) produktivitas, dan v) keswalanjutan.

 

Berubahnya sifat-sifat kimia lahan pasca tambang setelah direvegetasi merupakan salah satu bukti betapa tingginya peran revegetasi (Wali, 1999). Daya hantar listrik (DHL) dan garam-garam terlarut (Na, K, Ca, Mg, dan SO4) turun dengan cepat dalam periode 17 tahun pertama. Penurunan tercepat terjadi pada periode 7 tahun pertama yang kemudian diikuti dengan penurunan lambat pada periode waktu sesudahnya. Sebaliknya kadar P, bahan organik (BO) dan N meningkat pada periode tersebut. Dari kadar bahan organik dapat ditentukan kadar atau persen C organik dan nisbah C : N. Pada saat  C : N naik menunjukkan adanya pelonggokan (accumulation) seresah segar dan immobilisasi N yang lebih besar dari laju dekomposisi dan mineralisasi N. Namun sejalan dengan waktu akan tercapai rasio kesetimbangan yaitu sekitar  12 : 1 sampai 10 : 1 seperti pada tanah yang dibiarkan tidak ditambang.

 

Membaiknya kondisi kesuburan tanah yang diikuti dengan membaiknya lingkungan mikro akan mendorong berlangsungnya suksesi ekologis atau berevolusinya nasabah (relations) tanaman-jasad renik, tanaman-tanaman, dan tanaman-hewan khususnya satwa liar. Suksesi ekologis secara sederhana dapat disebut sebagai perubahan komunitas dalam suatu ekosistem dimana satu kelompok jasad hidup digantikan oleh komunitas lain sejalan dengan waktu. Sekalipun banyak faktor yang terlibat dalam suksesi tersebut, namun faktor utamanya adalah kelompok spesies pionir menciptakan habitat yang lebih ramah untuk kolonisasi spesies lain. 

 

Keberhasilan sebuah program restorasi hendaknya tidak hanya diukur berdasarkan efektivitas (jangkauan keberhasilan) dan efisiensinya (nisbah masukan dan luaran) saja akan tetapi harus juga dikaitkan dengan gatra kesejarahan, politik, hukum, ekonomi, estetika, dan moral spiritual (Higgs, 1997). Indikator-indikator sosial ekonomi keberhasilan program restorasi adalah seperti terbaca pada tabel berikut:

 

 

Tabel 1. Indikator-indikator sosial kemasyarakatan yang bernuansa ekologis dalam program restorasi lahan

(adaptasi dari Ling dan Griffiths, 2000)

 

Tujuan

Indikator

Sub indikator

Keterlibatan masyarakat

Pada saat dimulainya program restorasi

Meningkatnya kesadaran, konsultasi, dan peranserta, serta tanggapan kelembagaan pada setiap tahap program restorasi misalnya dalam bentuk proyek-proyek lanjutan yang mendorong keswalanjutan restorasi

Selama studi kelayakan

Selama perencanaan dan pengembangan

Selama pelaksanaan restorasi

Selama periode pemeliharaan

Kesadaran ekologis

Dimasukkannya sejarah lokasi dalam rancang-an program restorasi

Seberapa jauh penilaian, pemasukan, dan tanggapan kelembagaan terhadap setiap unsur dari sejarah lokasi, kondisi bentang lahan dan lingkungan, dan tehnik-tehnik yang digunakan

Dimasukkannya kondisi bentang lahan sebagai salah satu unsur dalam rancangan program restorasi

Digunakannya tehnik-tehnik yang tidak merusak lingkungan, termasuk kearifan lokal, dalam rancangan program restorasi

Masuknya pengetahuan pentingnya lingkungan hidup dan pelestariannya dalam kurikulum pendidikan

Keswalanjutan

Keswalanjutan ekologis

Setiap unsur perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi harus dikaitkan dengan setiap unsur keswalanjutan. Termasuk yang berkaitan dengan aspek etika dan moral, hukum, dan politik

Keswalanjutan ekonomi

Keswalanjutan sosial

 

Degradasi lahan secara langsung maupun tidak langsung berkaitan erat dengan masalah demokrasi dan penerapan hak-hak asasi manusia. Perusakan lahan oleh generasi masa kini sama saja dengan pelanggaran demokrasi dan hak asasi manusia karena telah menyebabkan hilangnya kesempatan generasi mendatang untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik. Selain itu akan menjadikan generasi mendatang memiliki kewajiban yang jauh lebih berat mengingat jumlah manusia yang semakin bertambah sedangkan luasan lahan semakin sempit dan itupun dengan produktivitas yang jauh lebih rendah. Tentu tidak adil jika kesemua itu harus ditanggung oleh generasi masa mendatang.

 

Pada saat lahan terdegradasi direstorasi biasanya masyarakat luas tidak peduli, namun begitu lahan terdegradasi tekah berubah menjadi hutan barulah muncul berbagai interest group. Pertentangan antara interest group dalam suatu sistem sesungguhnya menggambarkan demokrasi politik yang dikontrol oleh lembaga publik. Namun demikian, pada kenyataannya sangat sulit untuk mempersatukan pandangan dan keinginan dari interest group yang beragam tersebut. Perusahaan swasta dan industri-industri yang memanfaatkan lahan, misalnya HPH, mempunyai tujuan menggunakan lahan untuk produksi ekonomi dari kayu dan produksi hutan lainnya untuk memaksimumkan keuntungan dan memberikan pekerjaan. Para ahli ekologi dan lingkungan menganjurkan melestarikan flora dan fauna untuk mempertahankan ekosistem lahan atau hutan. Sedangkan masyarakat lainnya mempunyai tujuan bagaimana memanfaatkan lahan hutan semaksimal mungkin misalnya digunakan sebagai daya tarik, sumber air, makanan ternak, energi listrik, irigasi dan transpotasi, tempat rekreasi dan memancing dan lain sebagainya. Dapat dipahami betapa sulitnya penetapan tujuan umum bagi semua interest group demikian itu.  Tujuan umum dapat dicapai jika ada semacam kompromi yang hanya dapat dicapai hanya dengan perundingan atau dialog antar kelompok dalam koridor  peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.

 

Program restorasi lahan tidak hanya tergantung kepada political will para eksekutif pemerintah saja namun juga harus menjadi perhatian dan tanggung jawab pihak-pihak lain. Para eksekutif bertanggung jawab secara keseluruhan terhadap keberhasilan pelaksanaan program restorasi. Para eksekutif sebaiknya tidak memandang program restorasi hanya sebagai sebuah pelaksanaan proyek yang berakhir pada satu tahun anggaran saja. Keberlangsungan dan pemeliharaan program restorasi yang di dalamnya terdapat unsur pemberdayaan masyarakat seharusnya menjadi pusat perhatian para eksekutif. Para legislatif dan yudikatif bertanggung jawab mengeluarkan produk-produk hukum, yang tidak bertentangan satu dengan lainnya, yang lebih memihak kepada masyarakat kecil dan keswlanjutan lingkungan hidup sekaligus melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan program restorasi. Kaum akademisi bertanggung jawab dalam perolehan teknologi dan penyadaran masyarakat melalui penelitian, pendidikan, dan pemberdayaan pada masyarakat bersama-sama dengan lembaga swadaya masyarakat. Para pengusaha berkewajiban mengalihkan sebagian keuntungannya untuk membantu pelaksanaan program-program restorasi. Dalam batas-batas tertentu, misalnya untuk perusahaan HPH, melaksanakan program restorasi merupakan kewajiban.. 

 

Restorasi lahan akan menjadi retorika belaka manakala didalamnya terjadi eksploitasi manusia oleh manusia yang ujung-ujungnya hanya melahirkan keuntungan untuk satu pihak saja. Tidak sepantasnya sebuah perusahaan HPH setelah memungut hasil hutan kemudian meminta negara dan masyarakat luas untuk merestorasi hutan yang telah terdegradasi. Perusahaan HPH hendaknya bertindak proaktif mendorong keterlibatan masyarakat luas dalam pelaksanaan restorasi hutan. Masyarakat sekitar lokasi lahan yang direstorasi akan melibatkan diri secara langsung jika memperoleh keuntungan-keuntungan ekonomi. Untuk itu program restorasi tidak dapat menggantungkan diri sepenuhnya kepada alam. Manusia harus meniru perilaku alam dalam suksesi hutan primer yaitu dengan melakukan kegiatan agroforestri (Hairiah et al., 2003). Diantara pokok-pokok pohon yang digunakan untuk merestorasi lahan, masyarakat luas diijinkan untuk menanam tanaman pertanian secara bebas namun diberi tanggung jawab untuk memelihara pohonnya. Namun demikian kepada masyarakat pengguna harus diberikan teknologi yang dapat menghindarkannya dari bahaya-bahaya tertentu misalnya adanya serapan logam berat, adanya asam tambang, dan sebagainya. 

 

Pertimbangan mengenai keindahan sebuah lokasi yang direstorasi merupakan pengejawantahan apresiasi masyarakat terhadap alam (Wilson, 1991). Pengaturan pekarangan dan taman merupakan satu contoh betapa umat manusia menghargai keindahan dan harmoni antar spesies yang ada di dalamnya. Untuk itu lahan yang direstorasi harus diatur sedemikian rupa sehingga tidak ditumbuhi oleh invasive species yang seringkali menjadikan sebuah lokasi terlihat kumuh. Jika program restorasi dapat dikaitkan dengan keindahan maka sangat berkemungkinan untuk memunculkan multiplier effect yang menguntungkan semua pihak, misalnya dirancang sebagai bagian dari ekowisata (Milton et al., 2003)

 

Motivasi antroposentris dalam mengelola sumberdaya alam dan hayati hendaknya diubah menjadi motivasi biosentris dan ekosentris yang subyek moral primernya adalah untuk kesejahteraan dan harmoni alam semesta. Banyak kasus yang membuktikan lestarinya lingkungan hidup jika dikaitkan dengan masalah moral dan spiritual. Masyarakat petani agroforestri damar di Krui, Sumatra Selatan, telah mengembangkan moral untuk tidak menjual tanah warisan dan kebanggaan mewariskan lahan agroforestri yang berhasil kepada keturunannya. Moral demikian telah terbukti mampu mempertahankan dan melestarikan agroforestri selama bertahun-tahun. Masyarakat Badui dan Kubu juga megembangkan moral “pamali” atau larangan untuk menebang pohon-pohon pada lokasi tertentu dengan alasan-alasan yang terlihat seperti takhayul. Moral dibalik itu sesungguhnya adalah suatu bentuk pelestarian sumberdaya alam dan hayati yang sangat berharga bagi harmoni lingkungan hidup. Moral demikian tidak sepantasnya dipandang oleh manusia yang mengaku dirinya modern sebagai suatu bentuk keterbelakangan. Kearifan masyarakat lokal hendaknya dipandang sebagai pengetahuan yang tidak boleh diabaikan begitu saja. Merestorasi lahan terdegradasi hendaknya dipandang sebagai salah satu bentuk ibadah. Manusia harus mulai merestorasi lahan terdegradasi berdasarkan pertimbangan pertanggungjawaban moralnya kepada Tuhan Maha Pencipta.

 

 

V. KESIMPULAN

 

Degradasi lahan merupakan masalah yang skalanya telah bersifat global dan berdampak negatif terhadap semua aspek kehidupan mahluk hidup di permukaan bumi. Restorasi lahan merupakan upaya untuk memulihkan lahan terdegradasi sesama mungkin dari segi struktur, fungsi, dan keswalanjutan lahan sebagai bagian dari ekosistem. Merestorasi lahan merupakan bentuk tanggung jawab manusia kepada alam dan pelaksanaannya menjadi tanggung jawab bersama serta  bersifat lintas disiplin ilmu. Keberhasilan restorasi lahan tidak dapat diukur dari adanya perubahan fisik lahan belaka namun juga harus diiringi dengan reformasi moral, etika, hukum, sosial, dan ekonomi.

 

SENARAI PUSTAKA

 

Alexander, M. 1978. Introduction to Soil Microbiology 2nd Ed. John Wiley&Son. New York.

Anwar, C. A., 2002. Manipulasi sifat kimia lumpur tailing pada pertambangan emas Pongkor sebagai media tanaman melalui aplikasi pupuk organik, arang aktif dan mikoriza untuk menunjang pertumbuhan tanaman indikator pada rehabilitasi lahan kritis. Prosiding Diskusi Hasil-hasil Litbang Rehabilitasi dan Konservasi Sumber Daya Hutan, 23 Desember 2002. Bogor.

Box, T.W. 1978. The significance and responsibility of rehabilitating drastically disturbed land. Pages 1-10 in F.W. Schaller and P. Sutton, eds. Reclamation of Drastically Disturbed Lands. American Soc. of Agronomy, Madiosn, Wisconsin.

Bradshaw, A.D. 1987. The reclamation of derelict land and the ecology of ecosystems. Pages 53-74 in W.R. Jordan, M.E. Gilpin, and J.D. Aber (eds). Restoration Ecology. Cambridge University Press, Cambridge, UK.

Bradshaw, A.D. 2002. Introduction and philosophy. Pages 3-9 in M. R. Perrow and A.J. Davy (eds). Handbook of Ecological Restoration. Vol 1: Principles of Restoration. Cambridge University Press, The Edinburgh Building, Cambridge CB2 2RU, UK

Choi, J.C and T.K. West. 1996. An apatite drain: new method for iron and aluminum removal from highly contaminated acid mine drainage. Pages 375-383 in W.L. Daniels, J.A. Burger, and CE. Zipper (eds). Proceedings 1996 Annual Meeting of the American Society for Surface Mining and Reclamation, Knoxville, 7V May 18 - 23, 1996. Virginia Tech Research Division, Powell. River Project, Blacksburg, VA, USA.

Dailey, M. 2003. Using soil amendments in salt marsh restoration along the southern California coast. http://www.hort.agri.umn.edu/h5015/dailey.htm

Davis, M.A., J.F. Murphy and R.S. Boyd, 2001. Nickel increases susceptibility of a nickel hyper-accumulator to turnip mozaic virus. Journal of Env. Qual. 30: 85-90.

Dias, L.E., A.A. Franco, E.F.C. Campello, and S.M. de Faria. 1996. The use of leguminous trees in reclamation of tropical mined soils. Pages 601-612 in W.L. Daniels, J.A. Burger, and CE. Zipper (eds). Proceedings 1996 Annual Meeting ofthe American Societyfor Surface Mining and Reclamation, Knoxville, 7V May 18 - 23, 1996. Virginia Tech Research Division, Powell. River Project, Blacksburg, VA, USA.

Eswaran, H., R. Lal, and P.F. Reich. 2001. Land degradation: An overview. Pages 20-35 in E.M. Bridges, I.D. Hannam, L.R. Oldeman, F.W.T. Penning de Fries, S.J. Scherr, and S. Sombatpanit. Response to Land Degradation. Science Publ., Inc. Plymouth, U.K.

Farina, M.P.W., P. Channon, and G.R. Thibaud. 2000. A comparison of strategies for ameliorating subsoil acidity: II. Long-term soil effects. Soil Sci. Soc. Am. J. 64: 652-658

Faulconer, R.D., J.A. Burger, S.H. Schoenholtz, and RE. Kreh. 1996. Organic amendment effects on nitrogen and carbon mineralization in an Appalachian minesoil. Pages 613-620 in W.L. Daniels, J.A. Burger, and CE. Zipper (eds). Proceedings 1996 Annual Meeting ofthe American Societyfor Surface Mining and Reclamation, Knoxville, 7V May 18 - 23, 1996. Virginia Tech Research Division, Powell. River Project, Blacksburg, VA, USA.

Forest Watch Indonesia and Global Forest Watch. 2002. The State of the Forest: Indonesia. Forest Watch Indonesia, Bogor, Indonesia and Global Forest Watch, Washington DC:

Francis, G.R., J.R. Magnuson, H.A. Regier, and D.R. Talhelm. 1979. Rehabilitating Great Lakes Ecosystems. Ann Arbor Sci., Ann Arbor, Michigan.

Gaspar, G.M. and A. Anton, 2002. Heavy metal uptake by two radish varieties. Acta Biologica Szegediensis 46: 113-114

Goosem, S. and N.I.J. Tucker. 1995. Repairing the Rainforest: Theory and Practice of Rainforest Re-establishment in North Queensland’s Wet Tropics. Wet Tropics Management Authority, Cairns, Queensland, Australia.

Hairiah, K., M.A. Sardjono, and S. Sabarnurdin. 2003. Agroforestri. World Agroforestry Centre, Bogor.

Havelock, R.G.  1971.  Planning for Innovation.  Through Dissemination and Utilization of Knowledge.  Center for Research on Utilization of Scientific Knowledge Institute for Social Research The University of Michigan. Ann Arbor.  Michigan.

Higgs, E.S. 1997. What is good ecological restoration?. Conservation Biology 11(2): 338-348

Jackson, L.L., N. Lopoukhine, D. Hillyard. 1995. Ecological restoration: A definition and comments. Restoration Ecology 3(2):71-75.

Javurek, K. 2003. Techniques used for reclamation of mined lands in England. http://www.hort.agri.umn.edu/ h5015/javurek.htm

Jeffries, P., S. Gianinazzi, S. Perotto, K. Turnau, and J.M. Barea. 2003. The contribution of arbuscular mycorrhizal fungi in sustainable maintenance of plant health and soil fertility. Biol Fertil Soils 37:1 – 16

Juo, A.S.R. and L.P. Wilding. 2001. Land and civilization: An historical perspective.Pages 13-19 in E.M. Bridges, I.D. Hannam, L.R. Oldeman, F.W.T. Penning de Fries, S.J. Scherr, and S. Sombatpanit. Response to Land Degradation. Science Publ., Inc. Plymouth, U.K.

Ling, C. and E. Griffiths. 2000. Community Participative and Ecologically Informed Derelict Land regeneration in the United Kingdom. Toolkits for Community Led Regeneration of Derelict Land. Centre for Urban and Regional Ecology School of Planning and Landscape. University of Manchester

Magnuson, J.J., H.A. Regier, W.J. Christien and W.C. Sonzogi. 1980. To rehabilitate and restore Great Lakes ecosystems. Pages 95-112 in J. Cairns (ed). The Recovery Process in Damaged Ecosystems. Ann Arbor Science, Ann Arbor, Michigan.

Maier R.J. and Tripplet E.W. 1996. Toward more productive, efficient and competitive nitrogen-fixing symbiotic bacteria.  Critical Reviews in Plant Sciences 15: 191-234.

McHale, D. and K. Winterhalder. 1996. The relative merits of dolomitic and calcitic limestone in detoxifying and revegetating acidic, nickel- and copper-contaminated soils in the Sudbury mining and smelting region of Canada. Pages 504-515 in W.L. Daniels, J.A. Burger, and CE. Zipper (eds). Proceedings 1996 Annual Meeting ofthe American Societyfor Surface Mining and Reclamation, Knoxville, 7V May 18 - 23, 1996. Virginia Tech Research Division, Powell. River Project, Blacksburg, VA, USA.

Miles, J. and D.W.H. Walton. 1993. Primary Succession on Land. Blackwell Sci. Publ., Oxford, UK.

Milton, S.J., R.J. Dean, and D. M Richardson.2003. Economic incentives for restoring naturalcapital in southern African rangelands. Front. Ecol. Environ. 1(5): 247–254

Mosher, A.T.  1978.  An Introduction to Agricultural Extension.  Agricultural Development Council.  New York.

National Research Council, 1992. Restoration of Aquatic Ecosystems: Science, Technology and Public Policy. National Academic Press, Washington, D.C

Parrotta, J.A. and O.H. Knowles. 1999. Restoration of tropical moist forest on bauxite mined lands in the Brazilian Amazon. Restoration Ecology 7: 103-116

Peterson, D. 2003. Hydrophilic polymers – effects and uses in the landscape. http://www.hort.agri.umn.edu/ h5015/peterson.htm

Rogers, E.M.  1983.  Diffusion of Innovations.  Third Edition.  The Free Press.  New York

Rogers, E.M., and F.F. Shoemaker.  1971.  Communication of Innovations.  Second Edition.  The Free Press.  New York.

Schuna, B. 2003. Techniques for heathland restoration in England. http://www.hort.agri.umn.edu/h5015/ schuna.htm

Setiadi, Y. 2004. Bahan Kuliah Ekologi Restorasi. Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan, Sekolah Pasca Sarjana, IPB.

Setiadi, Y., 1999. Status penelitian pemanfaatan cendawan mikoriza arbuskula untuk rehabilitasi lahan terdegradasi. Prosiding Seminar Mikoriza I. Y. Setiadi, dkk (editor).  Kerjasama Asosiasi Mikoriza Indonesia, Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam, British Council. Bogor.

Skousen, J.,  A. Rose, G. Geidel, J. Foreman, R. Evans, W. Hellier. 1998. Handbook of Technologies for Avoidance and Remediation of Acid Mine Drainage. The National Mine Land Reclamation Center, West Virginia University, Morgantown, West Virginia

Slamet, M.  1978.  Kumpulan Bahan Bacaan Penyuluhan Pertanian.  Institut Pertanian Bogor.

Society for Ecological Restoration Science & Policy Working Group (SER). 2002. The SER Primer on Ecological Restoration. www.ser.org

Society for Ecological Restoration Science (SER). 1996. The SER Primer on Ecological Restoration. www.ser.org

Stalker, J., A.W. Rose and L.H. Michaud. 1996. Remediation of acid mine drainage within strip mine spoil by sulfate reduction using waste organic matter. Pages 321-335 in W.L. Daniels, J.A. Burger, and CE. Zipper (eds). Proceedings 1996 Annual Meeting ofthe American Societyfor Surface Mining and Reclamation, Knoxville, 7V May 18 - 23, 1996. Virginia Tech Research Division, Powell. River Project, Blacksburg, VA, USA.

Stocking, M.A. and N. Murnaghan. 2003.  Handbook for the Field Assessment of Land Degradation. Earthscan Publication, Ltd., London, UK.

Supriyanto, 2002. Rehabilitasi lahan bekas pertambangan emas: memupuk tanah bukan memupuk tanaman. Prosiding Diskusi Hasil-hasil Litbang Rehabilitasi dan Konservasi Sumber Daya Hutan, 23 Desember 2002. Bogor.

Tongbin, C., W. Chaoyang, H. Zechun, H. Qifei L. Quanguo and F. Zilan, 2002. Arsenic Hyper-accumulator Pteris vitata L and its Arsenic accumulation. Chinese Science Bulletin 47(11): 902-905)

UNEP. 1982. World Soil Policy. United Nations Environment Program, Nairobi, Kenya.

Wali, M.K. 1992. Ecology of the rehabilitation process. Pages 3-26 in M. Wali (ed). Ecosystem Rehabilitation. SPB Academic Publishing, The Hague.

Wali, M.K. 1999. Ecological succession and the rehabilitation of disturbed terrestrial ecosystems. Plant and Soil 213: 195–220

Whiting, D., C. Wilson, and A. Card. 2003. Organic Soil Amendments. Colorado Master Gardener Training CMG Fact Sheet #S-41. Colorado State University Cooperative Extension Service

Wilson, A. 1991. The Culture of Nature. Between the Lines Press, Toronto, Canada.

Witt, B. 2003. Using soil fauna to improve soil health. http://www.hort.agri.umn.edu/h5015/witt.htm

Young, T. and F. Chan. 1997. Key questions in restoration ecology. Growing Points 1(6):2