© 2004  Alex Abdi Chalik                                                   Posted  10 March 2004

Makalah pribadi

Pengantar ke Falsafah Sains (PPS702)

Sekolah Pasca Sarjana / S3

Institut Pertanian Bogor

Maret  2004

 

 

Dosen:

Prof  Dr Ir  Rudy C Tarumingkeng

 

 

 

 

 

 

 

EVALUASI PEMBANGUNAN PRASARANA DAN SARANA AIR LIMBAH DOMESTIK 

DI INDONESIA

 

 

Oleh :

 

Alex Abdi Chalik

Nrp:P062034084

aa_chalik@yahoo.com

 

I.              PENDAHULUAN

 

Pencemaran lingkungan akibat dihasilkannya limbah domestik memberikan dampak yang sangat luas bagi kehidupan umat manusia.

Secara nasional, BPS, 1990, melaporkan bahwa kematian akibat penyakit diare (mortality rate) di Indonesia mencapai 783 orang per 100.000 penduduk dan merupakan penyakit dengan peringkat paling atas dibandingkan dengan penyakit-penyakit yang lainnya, sedangkan United Nation Development Programme (UNDP) pada tahun 1999 menerbitkan suatu Index pembangunan yang terkait dengan tingkat kesejahteraan manusia yang disebut dengan Human Development Index (HDI) yang salah satu kriterianya adalah kesehatan disamping pendidikan dan ekonomi,dimana berdasarkan Index ini UNDP menempatkan Indonesia pada ranking 105 dari 180 negara di Dunia (Farid Anfasa Moeloek, 2000) yang artinya dari kedua data tersebut menunjukan bahwa penanganan Sanitasi Lingkungan di Indonesia pada saat ini, yang salah satu unsurnya adalah “Pengelolaan Limbah Domestik” bisa dikatakan sangat memprihatinkan dan sangat tertinggal dengan negara-negara lainnya.

 

Menurut laporan dari World Health Organization (WHO) (Harday & Satterhwaite, 1991) menunjukkan bahwa sumber pencemaran terbesar disebagian besar-kota-kota di Negara berkembang (developed countries) adalah limbah tinja (human excreta) dan 3,2 juta anak-anak dibawah umur 5 tahun meninggal setiap tahunnya akibat buruknya sanitasi, terkontaminasinya air minum dan kebersihan makanan. Kematian akibat penyakit diare pada anak-anak yang tinggal dengan kecukupan sarana air bersih dan sanitasi adalah 60 % lebih rendah dari kota yang tidak memiliki fasilitas air bersih dan sanitasi.

 

Dari data tersebut dapatlah ditarik kesimpulan bahwa:pengelolaan air limbah merupakan hal yang sangat penting  yang harus dilakukan dalam rangka mencegah penurunan kualitas lingkungan hidup kesehatan masyarakat dan kebersihan lingkungan , dan untuk mengatasi hal tersebut diperlukan suatu kerangka pemikiran (kebijakan ) dan strategi dalam penanganan air limbah, untuk menjawab kenyataan yang menunjukan bahwa : “Penyelenggaraan air limbah domestik di Indonesia  baik kualitas maupun kuantitas tidak mengalami peningkatan secara berarti semenjak tahun 1980, akibat tekanan pertumbuhan penduduk (ADB,1998).

 

II.        PERMASALAHAN PENGELOLAAN AIR LIMBAH DI INDONESIA

2.1   Permasalahan saat ini

 

Beberapa kondisi yang menjadi permasalahan dalam pengelolaan air limbah di Indonesia antara lain :

Hanya 55 % penduduk di Kota Metropolitan dan Kota Besar, serta 45 % penduduk di Kota Sedang dan Kota Kecil yang memiliki fasilitas pembuangan tinja yang dibangun sesuai standart, 27 % dibawah standart, sedangkan sisanya ± (18 - 28%) tidak memiliki fasilitas pembuangan tinja (langsung dibuang ke parit atau sungai).

 

Menurut laporan dari World Bank dalam Urban Public Infrastructure Services (1993) di kawasan Asia Indonesia merupakan negara yang terendah tingkat pelayanan sanitasinya yang layak untuk rumah tangga di Perkotaan.

 

Data yang dikemukakan oleh BPS (1996) dikemukakan bahwa secara nasional :   

50% penduduk telah menggunakan sarana sanitasi pribadi, (80% nya di perkotaan).

13 % sanitasi komunal.

10 % sanitasi umum.

28 % belum menggunakan sarana sanitasi atau menggunakan sarana lainnya.

 

Sebagai contoh di kota Surabaya (BPS, 1996), menunjukkan bahwa air limbah rumah tangga dibuang melalui 30 % tangki septic, 6 % ke kolam, 23 % ke sungai , 25 % ke galian tanah , 5 % ke pekarangan, dan 9% ke tempat lainnya.

 

2.2.      Kecenderungan Permasalahan Masa Mendatang

 

Terjadinya krisis multidimensi yang hingga saat ini masih dirasakan, memberikan dampak yang sangat signifikan di dalam penyelenggaraan air limbah domestik akibat menurunnya kemampuan ekonomi masyarakat dan pemerintah. Di lain pihak tekanan pertambahan penduduk di masa yang akan datang, khususnya di Perkotaan menuntut adanya peningkatan pelayanan air limbah.

Pada tahun 2020 diperkirakan akan terdapat lonjakan pertambahan penduduk sekitar 65 juta orang yang perlu mendapatkan pelayanan, yang sebagian besar ( ± 52 % ) berada di wilayah Perkotaan , baik kota metropolitan maupun kota-kota besar.

Terkonsentrasinya penduduk di perkotaan akan mengubah daya dukung lingkungan akibat kepadatan penduduk yang meningkat, dimana on site sanitation yang sebelumnya dipandang layak menjadi tidak layak lagi. Dengan demikian off site sanitation merupakan pilihan system yang harus dilakukan dalam pengelolaan air limbah domestik, untuk mempertahankan kualitas perkotaan yang menghadapi persaingan antar kota-kota di dunia pada era globalisasi di masa yang akan datang.

 

III.      SEWERAGE SYSTEM (OFF SITE SANITATION)

 

Sampai dengan saat ini pembangunan sewerage system Off Site (pelayanan terpusat) di Indonesia hanya terdapat di beberapa kota saja, dengan cakupan pelayanan yang masih sangat rendah. Jakarta, dengan jumlah penduduk 9,5 juta jiwa pada tahun 1999 dengan tingkat pertumbuhan penduduk rata-rata 2,4 % pertahun , sampai dengan saat ini hanya memiliki pelayanan air limbah secara terpusat (sewerage system) yang hanya mampu melayani 4,7 % dari luas wilayah Jakarta dengan jumlah pelayanan sekitar 170.000 orang . Terdapat beberapa aspek yang mempengaruhi kondisi pengelolaan air limbah di Indonesia antara lain :

 

3.1   ASPEK INSTITUSI DAN PERATURAN PERUNDANGAN

 

Sebagian besar institusi pengelola air limbah system terpusat adalah PDAM kecuali untuk kota Jakarta, Yogyakarta dan Tangerang. Umumnya penetapan ini berdasarkan keputusan dari kepala daerah. Secara umum organisasi pengelola air limbah kurang memiliki kewenangan terutama yang menyangkut pendanaan.

Peraturan perundangan yang ada hingga saat ini masih belum dapat mendukung peran serta dunia usaha pengelolaan air limbah.

 

3.2   ASPEK PEMBIAYAAN

 

Pembangunan system sewerage memerlukan biaya yang cukup besar sehingga pembangunannya memerlukan waktu yang cukup lama (multi years project). Biaya investasi per m3/hari air limbah terolah yang paling besar di Yogyakarta sebesar US $ 2,260. Hal ini disebabkan oleh karena tingkat efluen yang diinginkan cukup baik (20 mg/liter  BOD) serta proyek ini merupakan hibah dari pemerintah Jepang yang dibuat dengan kualitas yang sangat baik.

 

Bila dibandingkan dengan sektor air bersih, sektor sanitasi masih belum merupakan prioritas bila dilihat dari dana yang disediakan untuk pembangunan.

sebagai contoh Dalam Repelita V (1998 / 1989 –1993 / 1994), hanya US $ 300 Juta dana yang digunakan untuk sektor sanitasi  (air limbah setempat dan terpusat ), sedangkan sektor air bersih menggunakan US $ 1.760 juta dalam jangka waktu yang sama. Ini berarti untuk dana pembangunan yg dialokasikan untuk sektor air limbah hanya sebesar 17 % dari pembangunan air bersih. Namun demikian, selama Repelita VI terdapat kenaikan alokasi pembiayaan untuk pembangunan air limbah dimana disediakan dana 43 % dari alokasi dana sektor air bersih atau sebesar US $ 590 juta. Hal ini menunjukkan adanya perhatian yg sedikit  lebih besar dari pemerintah untuk pembangunan air limbah.

 

3.3        ASPEK OPERASIONAL

 

Daerah pelayanan yang ada saat ini, umumnya air limbah  system terpusat melayani kawasan komersional di pusat kota . Di Surakarta, Cirebon dan Tangerang system ini juga melayani Perumahan , Perumnas. Di Jakarta, hampir sebagian besar pelayanan ditujukan untuk bangunan Hotel, Apartemen dan Perkantoran.

 

Dari luas daerah pelayanan, Bandung memiliki daerah pelayanan yang paling besar (2800 Ha), atau 17 % dari seluruh luas Kota. Di Medan, luas daerah pelayanan hanya 2% dari luas Kota, sedangkan Yogyakarta telah terlayani sebesar 6 % dari seluruh luas daerah perkotaan.

Jumlah sambungan air limbah yang terbesar saat ini terdapat di Kota Bandung (hampir 90.000 sambungan) atau sama dengan tingkat pelayanan bagi 450.000 penduduk. Jumlah penduduk terlayani di kota-kota lainnya adalah Cirebon (47.000 jiwa), Yogyakarta (110.000 jiwa), Jakarta (60.000 jiwa), sedangkan kota-kota lain umumnya memiliki tingkat pelayanan di bawah 20.000 jiwa. Angka tingkat pelayanan untuk Bandung terlihat sangat besar, yang disebabkan karena penanganan air limbah terpusat juga menggunakan sambunagan dari inseptor dan bak kontrol drainase air hujan (merupakan system tercampur).

 

Sistem pengolahan air limbah yang digunakan juga bervariasi. Pemilihan teknologi pengolahan sangat dipengaruhi oleh kombinasi pengolahan yang diinginkan serta ketentuan kualitas air limbah yang dibuang (efluen). Kolam stabilisasi dengan aerator umum yang digunakan saat ini. Di Medan, proses anaerobic dengan menggunakan UASB digunakan sebelum pengolahan dengan aerasi.

 

Pemeliharaan saran dan prasarana terlihat sangat terbatas, terutama di Kota Tangerang system sewerage di Perumnas Karawaci saat ini sangat memerlukan perhatian dalam pemeliharaannya. Di Yogyakarta, sebagian pipa sewer penuh dengan sampah, Lumpur dan lemak. Juga ditemui hilangnya tutup bak kontrol atau terbenam di bawah permukaan jalan. Berbeda dengan situasi di Medan dan Bandung, secara umum pemeliharaan pipa sewer dan pompa terlihat lebih baik.

 

3.4             ASPEK PERAN SERTA MASYARAKAT

 

Informasi merupakan hal yang penting dalam meningkatkan peran serta masyarakat. Di Medan ditemui pelanggan yang tidak mengerti harus memberi tahu pihak mana bila terjadi penyumbatan saluran. Di beberapa kota lain banyak pelanggan yang memutuskan sambungan karena pipa yang tersumbat dan mengalirkan air limbahnya ke tempat lain. Namun demikian beberapa pelanggan di Yogyakarta , Jakarta, Tangerang dan Cirebon sangat mendukung system ini dan mengungkapkan bahwa pemeliharaan yang dilakukan selama ini dirasa cukup baik.

 

IV.              KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENGELOLAAN AIR LIMBAH

 

Konsep Dasar penanganan air limbah domestik dapat dibagi menjadi 3 tahap:

Tahapan

Sasaran

Penanganan

Pertama

Dikaitkan dengan kebutuhan dasar manusia dengan cara memutuskan kontaminasi air limbah terhadap manusia.

(ISOLATE THE WASTE WATER)

Usaha yang diperlukan adalah menyingkirkan air limbah  terhadap kontak langsung dengan manusia. Hal yang dapat dilakukan adalah dengan cara menggali dan menanam air limbah atau tinja.

 

Ke dua

 

Dikaitkan dengan kebutuhan minimum manusia.

(REMOVE THE WASTE WATER)

 

Dilakukan dengan upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dan lingkungannya, dengan cara menggunakan air limbah system setempat, pembuatan tanki septic dan cubluk, yang berasal dari kakus (black water), sedangkan air limbah yang berasal dari dapur kamar mandi (gray water) mash dialirkan bersama dengan saluran drainase.

 

 

Ke tiga

 

Dikaitkan dengan upaya melindungi badan air , tanah dan kegiatan manusia yang merupakan tahap kebutuhan maksimum manusia.

(TREATE THE WASTE WATER)

 

Menangani semua air limbah domestik , baik yang berasal dari dapur, kamar mandi (grey water) maupun dari WC (black water), dengan penanganan air limbah system terpusat . Tingkat pengolahanny harus pula memenuhi syarat air buangan yang telah ditentukan oleh perturan yang berlaku.

 

 

Permasalahan dan kondisi yang berkembang dalam pengelolaan air limbah di Indonesia , memerlukan suatu kebijakan dan strategi yang spesifik untuk dapat memelihara, mengembangkan dan meningkatkan pengelolaan air limbah. Kantor Menteri Negara Pekerjaan Umum (saat ini Kimpraswil) dalam rangka pengelolaan air limbah 2001 / 2005 menetapkan suatu kebijakan dalam pengelolaan air limbah di wilayah perkotaan dan perdesaan, yang memerlukan keterlibatan semua stakeholder.

 

Kebijakan bidang air limbah diperkotaan dapat dijelaskan sebagai berikut:

a.           Pengolahan air limbah diprioritaskan pada kawasan yang sangat padat diperkotaan.

b.           Bantuan Pemerintah Pusat diberikan untuk pemantapan kelembagaan melalui pembinaan teknis di bidang manajemen pengolahan air limbah dan bantuan peralatan berikut fasilitas pendukungnya kepada daerah yang betul-betul membutuhkan dan belum memiliki kemampuan sumber daya  maupun manajemennya.

c.           Untuk kota-kota Metropolitan dan kota besar, pembangunan prasarana dan sarana air limbah diusahakan dengan system terpusat dan semaksimal mungkin menggunakan prinsip pemulihan biaya, dengan prioritas pelayanan pada kawasan hunian dengan kepadatan bangunan yang tinggi dan dengan permukaan air tanah yang tinggi.

d.           Penanganan air limbah di kawasan permukimam pada dasarnya adalah tanggung jawab masyarakat sendiri, sedangkan fasilitas penunjangnya dapat dibantu atau disediakan oleh Pemerintah Daerah tanpa atau dengan bantuan Pemerintah Pusat, ataupun kerja sama dengan pihak swasta.

e.           Konsep dasar yang dapat digunakan dalam menangani air limbah di kawasan perumahan dan permukiman adalah bagaimana mengelola air limbah secara terintegrasi, sehingga tepat guna (efektif), berdaya guna (efisien) dan terjangkau serta dapat dioperasikan secara berkelanjutan, dengan bertumpu kepada kemitraan antara masyarakat, pemerintah dan dunia usaha.

 

Sedangkan kebijaksanaan air limbah di perdesaan adalah :

a.          Bantuan pemerintah untuk pengelolaan air limbah perdesaan dilaksanakan melalui Inpres(saat ini DAU) dan program sektoral.

b.          Pengelolaan air limbah perdesaan melalui program sektoral terutama diprioritaskan untuk penyediaan sarana pembuangan air limbah setempat, di desa permukiman transmigrasi, permukiman nelayan, desa-desa pusat pertumbuhan, desa rawan penyakit dan rawan bencana atau desa kritis lainnya, baik secara individual maupun komunal.

 

Berdasarkan kepada kondisi yang berkembang dan kebikajan pengelolaan air limbah, terdapat 4 (empat) strategi pengelolaan air limbah, antara lain :

1.             Strategi teknis yang menekankan pilihan teknologi tepat guna yang sesuai dengan kondisi di Indonesia. Strategi teknis dapat dirinci sebagai berikut :

a.             Implementasi proyek sewerage (air limbah system terpusat) di daerah yang baru dikembangkan dan di daerah yang tak dapat memakai sanitasi setempat, didasarkan pada pendekatan bertahap (stepwise approach). Proyek dibatasi dalam ukuran yang harus sanggup membiayai sendiri, paling sedikit untuk operasi dan pemeliharaannya. Jenis jaringan sewerage, seperti sewerage konvensional atau proyek sewerage biaya rendah (small bore sewer atau shallow sewer), hendaknya didesain memenuhi kondisi daerah.

b.             Pemantapan teknis operasi dan pemeliharaan yang tepat pada jaringan sewer dan IPAL sehingga fasilitas air limbah dapat berfungsi secara efisien.

c.             Pengembangan system sanitasi setempat yang tepat guna (misalnya JOHKASO yang didesain memenuhi kondisi daerah setempat).

d.             Penyediaan subsidi dan bantuan teknis bagi masyarakat kurang mampu untuk membangun dan merenovasi fasilitas pembuangan tinja individu dan komunal hendaknya dilanjutkan termasuk pengembangan proyek kredit seperti system dana berputar.

e.             Pembangunan kakus umum/komunal bagi mereka yang tak mampu membangun  asalkan masyarakat atau pengguna dapat menggunakan dan melakukan pemeliharaannya dengan patut.

f.               Program pendidikan dan penyebaran informasi dapat dilakukan dan diarahkan kepada pengguna untuk menjamin kesinambungan manfaat, operasi dan pemeliharan fasilitas. Dalam hal ini, setiap kota harus memiliki alat penyedot tinja (Vacuum Truck) dan IPTL (Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja) untuk melayani masyarakat yang menggunakan air limbah setempat.

g.             Komponen program untuk strategi teknis terdiri dari :

-           Daerah dengan kapadatan tinggi (> 300 orang / ha) dan daerah pengembangan baru harus dilayani dengan system terpusat , yang dibiayai developer dengan pengembalian oleh pengguna.

-           Daerah kepadatan sedang (>100 – 300  /ha) harus dilayani dengan interceptor dan fasilitas pengolahan air limbah ukuran kecil atau komunal.

-           Daerah kepadatan rendah ( 50 - 100 orang /ha) dengan lingkungan berkualitas tinggi harus dilayani dengan interceptor berkaitan dengan program Prokasih (Program Kali Bersih).

-           Daerah kepadatan sedang dengan kecepatan perkolasi tinggi (>3 cm / menit) atau muka air tanah tiggi (<1,5 m) harus dilayani dengan shallow sewer dan tangki septic komunal.

-                Daerah kepadatan rendah dengan kecepatan perkolasi rendah rendah (<3 cm /menit) dan muka air tanah rendah (>1,5 m) harus menggunakan tangki septic dengan desain khusus.

-                Seleksi pemilihan metoda pengolahan air limbah dan Lumpur tinja hendaknya dilakukan mulai dari teknologi yang paling sederhana (operasi dan pemeliharaan), biaya yang rendah (investasi dan operasi), teknologi yang tepat (diterima masyarakat, berguna dan efektif dalam pengolahannya.)

 

Teknologi tersebut dapat berupa :

-           Kolam stabilisasi (bila lahan tersedia).

-           Kolam aerasi (aeration pond).

-           Parit Oksidasi (oxidation ditch).

-           Trickling Filter.

-           UASB (Upflow Anaerobic Sludge Blanket).

-           Bio Filter (Rotating Biological Contactor).

-           Activated Sludge.

-           Kombinasi dari yang tersebut diatas.

 

2.        Strategi Institusi  menekankan pada peningkatan kemampuan institusi yang ada, yang diuraikan dibawah ini :

a.             Pemerintah Daerah Tingkat II harus membentuk dan mengkoordinasikan unit pelaksanaan yang bertanggung jawab atas penanganan air limbah domestik.

b.             Pada umumnya, direkomendasikan untuk meningkatkan kemampuan unit pelaksana yang ada dan mengatur kembali unti-unit tersebut untuk melakukan tugas mereka yang baru. Namun demikian pendiriran organisasi baru hanya diperbolehkan ketika sangat diperlukan, dan sangat tergantung dari klasifikasi kota, karakteristik masyarakat, potensi masyarakat, serta peraturan yang berlaku.

c.             Untuk mengelola air limbah setempat termasuk pengangkutan dan pengolahan akhir di IPLT dapat diserahan kepada Dinas Pekerjaan Umum atau Dinas Kebersihan.

d.             Untuk pengelolaan air limbah terpusat pada jangka pendek, bentuk kelembagaannya dapat ditampung di bawah PDAM, yang merupakan Unit Pengelola Unit Teknis (UPT) tersendiri yang bertanggung jawab langsung kepada Direktur Utama PDAM terhadap permasalahan teknis, operasi / pemeliharaan. Hal ini dipertimbangkan mengingat PDAM telah memiliki sumber daya, keahlian teknis dan administrasi. Namun demikian, perlu dilakukan kelayakan finansial  dan ekonomi dikaitkan dengan tanggung jawab pemulihan biaya investasi dan biaya operasi/ pemeliharaannya (cost recover) agar pengelolaan air limbah ini tidak mengalami kerugian.

e.             Untuk jagka menengah, bentuk kelembagaannya dapat ditampung dibawah PDAM, yang merupakan Divisi tersendiri yang bertanggung jawab langsung kepda Direktur Utama PDAM terhadap permasalahan teknis, operasi, dan pemeliharaan.

f.               Untuk jangka panjang, setelah tingkat ekonomi masyarakat lebih baik, pengelolaannya dapat ditingkatkan menjadi PDAL (Perusahaan Daerah Air Limbah). Pilihan ini akan memungkinkan terdapatnya upaya yang lebih terkordinir di dalam penanganan air limbah sekaligus memberikan dasar yang lebih mantap secara organisatoris, manajemen, pembiayaan dan hukum.

g.             Tanggung jawab pemerintah pusat yaitu memberi petunjuk, pemantauan dan strategi,pengembangan sumber daya manusia, peningkatan kemampuan pmerintah daerah dalam persiapan proyek dan pelaksanaan proyek pilot, dan penyediaan investasi awal untuk pemerintah daerah dalam pembangunan prasarana sanitasi.

h.             Program pelatihan bagi staf pemerintah daerah dan penyuluhan sanitasi yang bersifat nasional harus dimulai sebagai bagian dari strategi.

i.               Tanggung jawab pemerintah daerah diantaranya adalah membuat rencana kegiatan (Action Plan) di daerah masing-masing dengan penekanan pada pelaksanaan sanitasi setempat, membangun fasilitas kakus komunal, melaksanakan proyek sewerage dengan bantuan dana dari pemerintah pusat jika memungkinkan dan memelihara sistem sewerage dan penyedotan lumpur tinja serta mengawasi dan mengendalikan bantuan teknik bagi fasilitas sanitasi setempat.

j.                Program Pembangunan Prasarana Kota Terpadu (P3KT) harus memberikan kontribusinya dalam memperluas wawasan pemerintah daerah dalam menyiapkan rencana pengelolaan air limbah domestik.

k.             Proyek sanitasi setempat yang ada harus diperluas dan dikembangkan menjadi suatu program yang berkesinambungan.Setahap demi setahap pemerintah daerah mengambil peran yang dibantu oleh konsultan.

l.                Pemerintah daerah harus mengkoordinasikan program penanganan air limbah dengan proyek perbaikan kampung (KIP) dan instansi daerah lainnya yang terkait.

m.           Promosi partisipasi masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan dan operasi serta pemeliharaan fasilitas sanitasi komunal harus diteruskan . Organisasi non Pemerintah (NGO) dan pembinaan kesejahteraan keluarga (PKK) harus dilibatkan untuk mempromosikan partisipasi masyarakat secara aktif.

n.             Penerbitan dan pelaksanaan peraturan daerah tentang :

-       Izin Mendirikan Bangunan yang mengatur bahwa setiap banginan harus memiliki tangki septik yang sesuai dan / atau IPAL yang memenuhi standar efluen.

-       Membuat sambungan fasilitas pembuangan air limbah individual ke sistem sewerage apabila ada.

-       mengendalikan proses pengumpulan dan pembuangan lumpur tinja.

 

3.                                                      Strategi Pendanaan untuk menunjang investasi dari masyarakat dan sektor swasta, dan untuk mempromosikan mekanisme pengembalian biaya dan peningkatan pendapatan.

 

a.        Investasi swasta dan masyarakat dalam, pembuangan tinja harus ditunjang dan dipromosikan dengan upaya sebagai berikut:

·          Kegiatan promosi.

·          Spesifikasi dan peraturan bangunan.

·          Pedoman teknis untuk konstruksi dan operasi serta pemeliharaan fasilitas sanitasi.

·          Fasilitas pendanaan (sistem kredit) dan bantuan bagi konstruksi fasilitas pembuangan tinja secara individual atau komunal.

b.        Mekanisme pengembalian biaya dan pengumpulan pendapatan perlu dirinci lebih lanjut.

c.         Bantuan teknis dan bantuan keuangan bagi fasilitas individual atau komunal dngan sanitasi setempat harus diperpanjang dan dana  dialokasikan untuk sistem kredit berbeda tergantung kondisi setempat.

d.        Biaya bersama satu kelompok untuk sistem individual, harus juga diperkenalkan bagi fasilitas komunal yang digunakan oleh sejumlah kecil rumah tangga.

 

4.             Strategi Promosi yang ekstensif secara nasional. Untuk mendidik dan menambah kesadaran pemerintah daerah dan masyarakat tentang pentingnya sanitasi yang baik, harus dilaksanakan strategi promosi. Promosi ini lebih baih dilaksanakan melalui program “Pemasaran Sosial” yang diharapkan untuk menunjang keinginan masyarakat untuk menggunakan fasilitas pembungan tinja yang baik dan sehat.

 

V.    EVALUASI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN

           

Evaluasi terhadap implementasi kebijakan disini dilakukan terhadap terjadinya kegagalan-kegagalan yang dialami dalam proses penyelenggaraan pembangunan prasarana dan sarana (PRASAR) sejak tahap penyiapan proyek hingga operasi dan pemeliharaan sistem sewerage (off site sanitation) yang telah beroperasi di beberapa kota di Indonesia.

 

Pada umumnya permasalahan yang terjadi adalah :

1.             Tidak adanya kesepakatan antara stakeholders (masyarakat, pemerintah, legislatif, para ahli/LSM)

2.             Penyelenggaraan sosialisasi yang terlambat dilakukan.

3.             Kurangnya keterlibatan stakeholders.

4.             Pembangunan yang masih sentralistik.

5.             Kurang Profesionalismenya  penyelenggara proyek, (Birokrat).

6.             Birokrasi yang menghambat dalam pengambilan keputusan.

 

Kasus-kasus yang terjadi di beberapa kota antara lain :

 

NO

KOTA

KASUS YANG TERJADI

1

DKI JAKARTA

Penyiapan proyek yang sentralistik

Kurangnya kesepakatan antar stakeholders

Pelaksanaan sosialisasi yang terlambat

Pendekatan system yang tidak bertahap (non stape wise)

Pengambilan keputusan yang berlarut-larut (SLA, DED)

Kontrak TA yang bersifat global yang kurang menguntungkan.

Tidak dibukanya opsi untuk keterlibatan sektor swasta.

MORAL HAZARD akibat tidak adanya kontrol kualitas effluent dari IPAL setiabudi.

2

DENPASAR /

KUTA BALI

Penyelenggaraan proyek yang sentralistik

Penyelenggaraan sosialisasi yang terlambat dilakukan

Kurangnya kesepakatan antar Stakeholders

Kontrak TA yang bersifat global yang merugikan

keterlambatan pembentukan Institusi pengelola

Tidak siapnya Pemda untuk menerbitkan Perda yang diperlukan mengenai pengelolaan air limbah, retribusi.

Keterlambatan penyiapan DED.

Pertentangan kepentingan antar Stakeholder.

Tidak dibukanya opsi keterlibatan sektor swasta.

3

SURABAYA

Penyiapan proyek yang sentralistik

Keterlambatan pelaksanaan sosialisasi

Kurangnya kesepakatan pada stakeholders.

Keterlambatan DEDE akibat pembebasan tanah.

Pendekatan perencanaan yang kurang komprehensif (wilayah pelayanan, biaya SR, sistem IPAL, pengabaian tenaga kerja tradisional)

4

MATARAM

Penyelenggaraan proyek yang sentralistik

Kurangnya kesepakatan antar stakeholder.

Tidak adanya sosialisasi.

Tidak adanya institusi pengelola.

Pembangunan yang berorientasi pada proyek (Project oreinted)

Kurang profesionalnya penyelenggara proyek

Pengambilan keputusan yang lambat.

5

JAYAPURA

Penyelenggara proyek yang sentralistik.

Kurangnya kesepakatan antar stakeholder.

Project oriented.

Pengambilan keputusan yang lambat dilakukan.

Penyiapan Institusi yang terlambat dilakukan.

6

BANDUNG

MORAL HAZARD akibat pemberlakuan sistem tarif yang dikaitkan dengan pemakaian air minum PDAM.

Terjadinya ketidakadilan dalam pelayanan.

Sumber : Hasil Evaluasi  Penulis,2004

 

VI.  PENDEKATAN PENYELENGGAAN AIR LIMBAH

 

Penyelenggaraan Prasar air limbah domestik dipengaruhi oleh kemauan, kesiapan serta kemampuan masyarakat. Oleh karenanya aspek ini memainkan peranan yang sangat menentukan dalam keberhasilan penyelenggaraan prasar air limbah domestik. Pendekatan yang seharusnya dilakukan (Menurut Penulis) dalam setiap penyelenggaraan prasar air limbah domestik di perkotaan selayaknya mengikuti alur sebagaimana di bawah ini :

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


VI.   KESIMPULAN

 

Pembuangan air limbah dan tinja merupakan bahan diskusi yang berkembang secara nasional dan masih perlu mencari tindakan tepat guna mengendalikan dampak negatifnya. Tanggung jawab ini bukan hanya dari pihak pemerintah namun juga oleh pihak swasta dan masyarakat. Dalam  menunjang kesadaran masyarakat dan aparat pemerintah perlu dilakukan beberapa kegiatan yaitu diantaranya peningkatan kemampuan institusi yang mengelola air limbah melalui pelatihan, penyiapan pedoman, penyebaran informasi kepada masyarakat, dan penyediaan prasarana sebagai percontohan.

 

Khusus untuk pengelolaan air limbah sistem terpusat, tinjauan lebih lanjut terhadap pengelolaan teknis dan manajemen pengelolaan  yang sudah ada di Jakarta, Tangerang, Yogyakarta, Surakarta, Medan, Cirebon, dan Bandung diharapkan dapat menjadi pelajaran (learning by experience) dalam menentukan strategi jangka panjang,. dalam pembangunan Prasar Air Limbah. Pelatihan dan penyuluhan merupakan hal yang penting, karena melalui kegiatan tersebut akan  dapat meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pelayanan air limbah yang pada gilirannya dapat meningkatkan permintaan atas fasilitas atau instalasi yang sesuai dan memenuhi persyaratan dan standar yang ditentukan.

 

VII. DAFTAR PUSTAKA

 

1.                                                      ADB,Strengthening of Urban Waste Management Policies and Strategies, Towards a National Environmental Sanitation Program for Indonesia, Jakarta,1998.

2.                                                      Dept. P.U. DJCK, Denpasar Sewerage Develoopment Project, Jakarta 1998

3.                                                      Dep. P.U. DJCK, Sistem Modular Pengumpulan dan Pembangunan Air Limbah kota-kota percontohan, Jakarta, 1997.

4.                                                      Dep. P.U. Draft I, Rancangan Repelita VI Sub Sektor Perum.ahan dan Permukiman, Jkt, 1993.

5.                                                      The Directur for Technicl Dev DGHS Policy and Strategy of the
Waste water Development in Repelita VI,
Yogyakarta 1996.

6.                                                      Rachmadi B. Sumadhijo, Kebijakan Pembangunan Perumahan dan Permukiman dalam Repelita VI, Jakarta, 1994.

7.                                                      Dep. P.U. DJCK, Engineering Service for Waste water Disposal Project in the City of Jakarta, 1998.