© 2004  Ansofino                                                                                                      Posted , 26  April 2004

Makalah pribadi

Pengantar ke Falsafah Sains (PPS702)

Sekolah Pasca Sarjana / S3

Institut Pertanian Bogor

April  2004

 

 

Dosen:

Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng (penanggung jawab)

Prof. Dr. Ir. Zahrial Coto

Dr Ir Hardjanto

 

 

 

 

COLLECTIVE CHOISE & PROSES POLITIK VOTING:

APAKAH JALAN MENUJU KESEJAHTERAAN MASYARAKAT ?[1]

(Kajian Dalam Perspektif Falsafah Sain)

 

 

 

 

 

Oleh:

 

Ansofino[2]

P036010031/PWD

ansofino2001@yahoo.com ; ansofino@hotmail.com

 

 

I.       PENDAHULUAN (Suatu Tinjauan Ontologi Penulisan)

 

A.     Latar Belakang Masalah

Tetangga saya secara bersama-sama mendiskusikan apa yang mereka dapat lakukan  untuk mencegah pencurian  di sebahagian wilayah kota mereka.  Di lembaga legislatif  terjadi perdebatan  untuk mengeluarkan keputusan dengan tujuan untuk mengurangi polusi udara. Pada pertemuan kelompok pengusaha industri peralatan elektronik  mendiskusikan tujuan legislatif untuk meningkatkan tarif atas barang-barang import dari Jepang. Di suatu wilayah pedesaan, para petani marah dalam perdebatan bagaimana mengarahkan tetangganya yang menjual susunya, seperti yang lainnya membuang susunya sebagai boikot mereka terhadap keputusan harga susu. Para pemberi suara merasa bimbang apakah membaca pampleth para pemilih lebih berharga atau sesungguhnya voting itu sendiri lebih berharga ?(Stevens, 1993:1)

 

Situasi ini semuanya melibatkan collective choice dalam keputusan ekonomi. Pandangan yang sederhana dari collective choice adalah setiap orang dalam suatu kelompok datang secara bersama-sama untuk memutuskan suatu materi yang penting dari kepentingan bersama (common interest). Hal ini mengundang pemikiran dan pandangan masyarakat, rasa memiliki, dan tanggungjawab, tetapi karakteristik tersebut hanya sebahagian kecil dari collective choice. Untuk satu hal, partisipasi adalah sebuah outcome dari sebuah sistem incentif (Stevens, 1993). Partisipasi dalam collective choice biasanya adalah kesukarelaan(voluntary), tetapi terkecuali jika tekanan sosial, civic pride, atau prospek untuk keuntungan yang disebabkan oleh karena seseorang berpartisipasi, kesukarelaan mungkin berarti tidak berpartisipasi. Kita mungkin berpartisipasi dengan memilih, tetapi suara kita hanya satu dari sekian banyak pemilih, dan ketidak hadiran suara kita mungkin tidak dicatat oleh yang kalah. Jadi kita mungkin memutuskan untuk tidak memilih. Kita dapat melakukan pemilihan seorang kandidate yang akan bekerja untuk lembaga legislatif (DPR), tetapi mengundang pemilihan mungkin tidak berhasil dengan sepenuhnya. Kita dapat bekerja untuk agent pemerintah  dimana kita dapat berpartisipasi  dalam collective choice  dengan membantu  untuk menyelesaikan dengan mengundang anggota legislatif.

Jadi partisipants di dalam collective choice itu adalah terdiri dari voters, senatorial candidate, dan pegawai pemerintah yang tidak hanya berpartisipasi di dalam collective chioce, bisnis firms, trade association, labor unions, non profits organization, dan banyak kelompok kepentingan lain yang juga berpartisipasi. Semuanya mereka mungkin berpartisipasi di dalam collective choice, mereka mungkin dipilih, diangkat, mungkin disewa, atau mereka mungkin adalah sukarelawan untuk berpartisipasi. Dan satu hal lagi mereka mungkin sangat berbeda titik pandangnya tentang bagaimana menyelesaikan issu diatas. Semua yang terlibat dengan collective choice diatas, memperlihatkan element yang harus ada dalam collective choice; yakni siapa yang terlibat di dalam collective choice tersebut, mereka adalah element yang penting di dalam keputusan bersama itu.

Element kedua dari collective choice itu adalah menyangkut dengan metode pembuatan keputusan itu. Diantara metoda dari pengambilan keputusan bersama itu adalah:

1.      Seorang Diktator; adalah pembuat keputusan pokok dalam suatu negara yang sangat tersentralisasi, yang selalu terkait dengan kepercayaan, tradisi, atau kekuatan militer sebagai basis kekuasaannya.

2.      Pasar sebagai suatu cara yang di desentralisasi untuk membuat keputusan; individu akan memilih apa yang mereka beli atau jual. Pada tingkatan yang lebih besar, masyarakat membuat pilihan keputusan mereka tentang dimana akan hidup, dimana akan berkerja, pakaian apa yang akan dibeli, dan dimana untuk berbelanja bahan makanan. Kita secara bersama-sama memutuskan untuk membiarkan pilihan individu untuk melakukan kapan kita menentang kontrol yang terpusat atas type-tipe keputusan ini.

3.      Para ahli atau pihak yang berkepentingan (Competence or  Expertise); memberikan gambaran pada nasehat seseorang yang memiliki keahlian khsusus yang biasanya di bidang ilmu pengetahuan dan tehnologi. Tetapi hal ini tidaklah menjamin masyarakat akan mengikutinya. Sebagai contoh, para ahli kesehatan mengatakan bahwa merokok dapat menyebabkan kanker, tetapi sebahagian besar orang tetap melakukannya.

4.      Konsensus; adalah cara lain untuk membuat keputusan bersama, dengan cara ini suatu kelompok tidak dapat memutuskan  sampai setiap orang setuju  atas issu yang mendasar, walaupun mereka mungkin masih tidak setuju atas detailnya. Terkadang DPR mencapai kesepakatan dalam perundang undangan pokok  dengan suatu kebulatan suara, yang mengindikasikan bahwa para anggota DPR mencpai konsensus  atas issu tersebut. Tetapi prose pencapaian konsensus dapat menjadi lambat, dan kadang-kadang tidak bisa ditunggu. Apakah suatu konsensus adalah benar juga dapat diperdebatkan

5.      Voting; karena kita sering tidk bisa menunggu suatu pencapaian konsensus, maka sering digunakan voting  untuk memeutuskan suatu issu. Sebelum kita memilih, kita akan memutuskan apa yang akan kita pilih, keputusan atas aturan pemilihan (voting rule), dan memutuskan siapa yang dapat memilih. Haruskah kita mengunakan majority rule, kebulatan suara (unanimity), suara terbanyak (plurality) atau beberapa metoda lain dari voting ?

6.      Reprentation; dengan memilih orang untuk mewakili kita atas lembaga sekolah, dewan kota dan dalam DPR. Ini adalah altenatif yang practice, pertanyaannya seharusnya tidakkah kita seharusnya memiliki perwakilan tetapi apakah tipe dari aturan dan insentif  akan menyebabkan wakil kita tersebut bertanggung jawab pada kebutuhan  dan keinginan kita, hal ini bukanlah hal yang sepele.

7.      Governance by Elite; yang berasal dari rakyat jelata. Jika kekuatan yang telah didasarkan kepada kekuasaan dari elite ini, kita dapat barangkali memperhatikan elite sebagai dictator, tetapi jika kekuasaan mereka didasarkan atas competence, seperti pilot pesawat, dokter specialis kekuasaan atas tipe ini mungkin dapat diterima.

8.      Volunteers; untuk membuat collective choice, hal ini mungkin kelihatan seperti mengundang pada sistem kediktatoran, tetapi proses keterwakilan kita secara aktual melibatkan kesepakatan dengan voluntarism dengan mereka yang dicalonkan untuk menjadi anggoata kongress, berkerja untuk agent pemerintah, atau melayani kepentingan kelompok dan organisasi non pemerintah lainnya. Karena mereka adalah volunteers, mereka mungkin memiliki pandangan yang kuat untuk issu tertentu, dan ini sering mengundang partisipasi oleh volunteers lain dengan pandangan yang berlawanan.

Dari delapan metoda untuk pengambilan keputusan terhadap collective choice diatas, maka dalam tulisan ini lebih memfokuskan pada metoda voting di dalam lembaga legislatif seperti DPR, yang menyangkut dengan issu tentang pengelolaan dan pemanfaatan sumbedaya alam milik masyarakat komunal lokal. Keputusan pengelolaan dan pemanfaatan sumbedaya alam adalah merupakan keputusan yang menyangkut denga kepentingan publik, maka dalam tulisan ini akan dikaji lebih jauh persoalan ini, tentu saja dengan mengunakan konsep-konsep pada public choice sebagai sebuah disiplin ilmu ekonomi khusus, terutama dipelajari oleh para ilmuwan yang akan bergelut dengan sistem perencanaan pembangunan ke depan.          

Sejak keluarnya UU No: 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah dan UU No: 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah, merupakan titik balik bagi momentum pengelolaan sumber daya alam yang selama ini terpusat dan sentralistik menjadi pengelolaan sumber daya alam yang berbasis masyarakat komunal lokal. Setiap daerah menuntut bahwa otonomi daerah, berarti daerah memiliki kebebasan seperti republik-republik kecil, sebagaimana lazimnya sebuah nagari di wilayah Minangkabau dahulu. Segala sumber daya alam dan ekonomi yang menjadi penopang kehidupan masyarakat komunal menjadi wewenang sepenuhnya masyarakat komunal lokal melalui proses demokrasinya yang disebut dengan demokrasi sosial, sehingga pemanfaatan sumber daya alam benar-benar disesuaikan dengan keinginan dan kebutuhan masyarakat lokal.

Sementara itu, terbentuknya negara, yang mengklaim bahwa semua kekayaan alam dikuasai oleh negara, dan negara memiliki kewajiban dan fungsi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang tercermin dalam fungsi minimum pemerintah dalam penyediaan public goods seperti: pertahanan, hukum dan ketertiban, mengatur hak-hak (property right) menajemen makro ekonomi, melindungi golongan miskin dan kesehatan masyarakat. Fungsi intermediate negara yang harus dijalankan oleh pemerintah adalah mengatasi eksternalitas negatif; seperti perlindungan lingkungan, mengatur monopoli; seperti kebijakan anti trus, mengatasi imperfect informasi; seperti jaminan hari tua dan asuransi kesehatan, menyediakan jaminan sosial; seperti  asuransi tenaga kerja.

Sedangkan fungsi aktifitas negara yang yang harus dijalankan oleh pemerintah adalah mengkoordinasikan aktifitas swasta; seperti pengembangan ekonomi pasar, dan melakukan redistribusi asset/lahan dan kapital. Ternyata semua fungsi negara yang seharusnya dijalankan oleh pemerintah ini tidak mampu dilaksanakan dengan baik, terbukti semakin banyaknya jumlah masyarakat miskin, kualitas sumberdaya manusia yang rendah, tidak adanya jaminan pensiun dan jaminan tenaga kerja, dan yang paling parah adalah perkembangan ekonomi pasar yang memporakporandakan sistem ekonomi rakyat di pedesaan, karena di kota tumbuh ekonomi agglomerasi yang menjadikan wilayah pedesaaanya seperti wilayah koloni, sehingga lingkage antar wilayah tidak terjadi, sehingga terjadi masalah –masalah di perkotaan, seperti tingginya urbanisasi, kongesti dan lain sebagainya. 

Anti tesis demikian, bermula dari tesis kegagalan sistem pengelolaan terpusat oleh negara dan birokrat yang telah terbukti menyengsarakan bahkan menimbulkan kantong-kantong kemiskinan masyarakat, dimana pengelolaan sumber daya alam yang dimotori negara dalam bentuk perwujudannya Hak Penguasaan/pengusahaan wilayah Hutan (HPH) dan PERHUTANI sebagai badan usaha milik negara di wilayah mereka. Secara konstitusional memang penguasaan oleh negara telah dijustifikasi di dalam pasal 33 UUD 1945 yang berbunyi:

“Ayat 1: Perekonomian di susun sebagai usaha bersama berdasarkan azaz kekeluargaan

  Ayatl 2 : Pokok-pokok usaha yang penting yang menguasai hayat hidup orang banyak di kuasai oleh negara, dan dipergunakan sepenuhnya untuk kepentingan bersama.

  Ayat  3  : Bumi, air dan kekayaan alam apa saja yang terkandung di dalamnya di kuasai oleh negara, dan dipergunakan sebesar besarnya bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. “

 

Amanat dalam ayat 3 pasal 33 UUD 1945, di buat dengan asumsi bahwa pemerintah sebagai penyelenggara negara merupakan institusi yang mewakili kepentingan peningkatan kemakmuran bagi semua warga negara, benevolent institution, karena pemerintah dan birokrat terbentuk berdasarkan kontrak sosial yang terjadi antara penguasa dan rakyat, penguasa mendapat kepercayaan dari rakyat untuk menjalankan kekuasaan pemerintahan negara untuk menjalankan kepentingan bersama, dalam bahasa ekonominya pengaturan barang-barang publik yang bermanfaat dan meningkatkan utiliti dan profit bagi semua masyarakatnya. Kewajiban utama pemerintah adalah pengaturan sumber daya milik publik untuk dipergunakan sepenuhnya bagi kesejahteraan rakyat. Sedangkan hak pemerintah adalah berhak dipilih oleh rakyat untuk mengurus dan mengelola sumber daya alam milik publik. Sedangkan kewajiban masyarakat adalah mentaati aturan yang dibuat oleh para penyelenggara negara untuk kepentingan bersama, sedangkan hak masyarakat adalah mendapatkan utiliti dan kesejahteraan bagi semua anggota masyarakat tanpa deffrensiasi sosial.

Namun dalam prakteknya, pemerintah telah gagal di dalam menjalankan amanat rakyat dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam milik publik untuk dipergunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat luas. Bukti telah berada di depan mata, seperti krisis moneter, krisis ekonomi, yang membawa kemiskinan bagi masyarakat lokal yang tinggal di sekitar lokasi sumber daya alam yang di kelola oleh negara  melalui instrumennya HPH dan PERHUTANI. Ada beberapa penyebab yang menjadi sumber kegagalan ini:

1.      Pemerintah dalam  mendelegasikan wewenang pengelolaan dan pengusahaan hutan telah menyerahkan kepada pihak swasta yang berorientasi profit(profit motif) yang tidak mengerti/tidak menghiraukan sama sekali masalah konservasi lahan hutan, wilayah mana yang menjadi penyangga resapan air, jenis kayu (timber) mana yang tidak boleh di tebang untuk menjaga kelestarian sumber daya air, sehingga yang terjadi adalah tebang habis; seperti di Kalimantan dan di Sumatera. Perusahaan yang memperoleh izin HPH tersebut berkolusi dengan birokrat terkait, sehingga biaya transaksinya menjadi tinggi.

2.      Oleh karena kebanyakan badan usaha yang diberi wewenang pengelolaan dan penguasaan hutan itu beraktifitas jauh dari lokasi hutan tersebut, maka kepeduliannya terhadap kerusakan lingkungan yang terjadi seperti longsor, banjir, kabut asap dan emisi karbon rendah sekali, karena mereka tidak merasakan  akibatnya.

3.      Sikap rent seeking dari pejabat pemerintah yang selalu ingin memungut rente dari sumberdaya alam yang ada, sehingga bagi pengusaha menimbulkan biaya yang tinggi, maka dengan sendirinya mereka melakukan penebangan melebihi kapasitas yang dibolehkan untuk menutupi biaya yang telah mereka keluarkan dalam perizinan dan birokrasi lainnya.

 Maka dalam kerangka reformasi ekonomi yang berkaitan dengan reformasi pengelolaan sumberdaya alam, dan barang-barang publik yang berguna bagi kepentingan peningkatan kesejahteraan masyarakat, choice terhadap kebijakan dan keputusan apa yang akan diambil  dalam upaya meningkatkan kesejahteraan bersama sangat sulit, karena pengambil kebijakan dan pengambil keputusan itu juga memiliki kepentingan ekonomi yang berusaha memaksimumkan utilitynya terlebih dahulu kemudian baru memenuhi utility masyarakat, artinya apakah welfare masyarakat itu ukurannya adalah penjumlahan dari utility individual atau utility dari keseluruhan masyarakat.

Kemudian, di dalam pengambilan keputusan menyangkut dengan public goods yang biasanya di putuskan oleh lembaga legislatif di badan perwakilan, maka juga menimbulkan pertanyaan yang menyangsikan kemungkinan terjadinya keputusan yang bertujuan untuk mengejar welfare masyarakat, karena para pemilih (voters) dalam hal ini wakil-wakil rakyat yang duduk di DPR memiliki pengetahuan dan pemahaman yang memadai terhadap pengetahuan ekonomi public goods dan public choice, sepertinya para voters ini harus dibekali dengan pengetahuan yang menjangkut dengan ilmu ekonomi public dan ekonomi politik. Selain itu, dipertanyakan kredibilitas dari voters khsususnya di negara Indonesia, karena sesudah reformasi terjadi di perkirakan terjadi penurunan kualitas dari para anggota dewan baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, karena sistem rekruitmen politik yang berlaku di sistem kepartaian lebih menuju pada ikatan emosional diantara anggotanya, sehingga kader-kader partai belum dibekali dengan kemampuan intelektual dan kecakapan yang di isyaratkan sebagai seorang senator dan wakil rakyat yang benar-benar memperjuangkan aspirasi rakyat.

Kebanyak selama ini para voters ini di lembaga pengambil keputusan publik lebih banyak hanya mengutamakan utility individualnya saja, dan keputusan yang diambil itu adalah masih didasarkan pada kepentingannya dan kelompoknya, itulah sebabnya sekarang ini lagi marak praktek korupsi di lembaga DPR yang ramai dibicarakan, karena sejak reformasi pengawasan dan keputusan penting negara terletak di tangan DPR sementara lembaga ini tidak menyiapkan dengan baik anggotanya untuk menghadapi tugas-tugas berat seperti itu, sehingga keputusan terhadap public goods seperti pemba gunan sekolah, jalan dan fasilitas umum lainnya lebih banyak berdasarkan interest pribadi dan kelompok dari voters.

Sebenarnya, di dalam ilmu public choice menyangkut dengan public goods dan common resource, maka peralatan ilmu ekonomi konvensional tidak dapat digunakan lagi di dalam mengukur  tingkat welfare, karena sudah menyangkut dengan kesejahteraan masyarakat, dan tidak mungkin mencapai Pareto Optimum; seseorang akan merasa well off tanpa menyebabkan orang lain worse off, oleh karena itu muncul dalil ketidak mungkinan Arrow (1968) yang menyatakan sifat transitif dari teori utility tidak mungkin lagi terpenuhi di dalam pengambilan keputusan publik di lembaga pengambil keputusan, karena sifat dari pilihan public tersebut tidak dapat memenuhi sifat transitifitas dari teori utility, sehingga selalu bersifat intransitif. Oleh karena itu, inilah yang menyebabkan terjadinya kolusi korupsi di lembaga pengambil keputusan ini, karena memang untuk mencapai single mayority dengan single picked adalah sulit, dibutuhkan kerjasama diantara voters untuk mencapai kesepakatan.  

Jadi di dalam pemgambilan keputusan pada lembaga legislatif menyangkut dengan keputusan tentang public goods dan kepentingan publik, diantara voters akan terjadi bargaining, sehingga untuk mencapai kesepakatan tunggal atau single mayority tidak mungkin, maka yang terjadi adalah konsfederasi atau konspirasi diantara voters untuk pengambilan keputusan. Oleh karena itu, pada sistem pemilihan yang tidak mencapai single picked, maka solusinya akan selalu terjadi kolusi dan kerjasama diantara voters.

Pada sisi lain, pada keadaan sistem pengambilan keputusan yang menyangkut dengan kepentingan publik dan public good itu sendiri, terdapat perbedaan kepentingan antara kelompok –kelompok yang berbeda tujuan, kepentingan dan aspirasi politiknya yang tentu saja akan didasarkan pada kepentingan ekonomi group atau masyarakat yang diwakilinya, misalnya kepentingan antara melindungi golongan miskin melalui program anti kemiskinan, bantuan bencana alam, jaminan sosial: seperti redistribusi pensiun, Asuransi kerja dan redistribusi asset atau kapital dengan kepentingan kelompok yang lebih kaya seperti pengusaha, masyarakat kota, industriawan dan lain lain. Perbedaan kepentingan tersebut akan tercermin di dalam proses keputusan di lembaga legislatif diantara voters, sehingga yang dominan itu adalah keputusan voters atau decision makers yang dipengaruhi oleh utilitinya, kelompoknya dan presure group lainnya yang mampu memberikan kepadanya utility yang paling tinggi.  

Bagi masyarakat kaya, atau bagi kelompok industriawan di kota, kemiskinan penduduk atau angkatan kerja yang membutuhkan pekerjaan dengan upah yang rendah kadang-kadang dibutuhkan, bagi masyarakat kaya dan kaum elit, mereka membutuhkan kelompok masyarakat miskin sebagai simbol dari kemakmuran dan kelas bourjouis yang mereka sandang, karena kemiskinan adalah fungsional bagi kemakmuran itu sendiri, dengan adanya masyarakat miskin, maka akan tersedia kelompok masyarakat yang mau bekerja kasar seperti tukang kebun, tukang kuda, tukang rumput, pembantu rumah tangga, pembersih rumah, pencuci piring, buruh bangunan, buruh harian dengan upah yang bisa ditekan seminimum mungkin dan lain-lain, semuanya itu dibutuhkan bagi kemakmuran. Oleh karena itu, masyarakat yang lebih makmur yang kepentingan politiknya diwakili di lembaga legislatif dengan menempatkan wakil-wakilnya yang akan mengambil keputusan tentu akan lebih berpihak kepada kelompok masyarakat kaya dan kaum bourjouis ini, sehingga kepentingan dan tujuan untuk mengentaskan kemiskinan sebagai salah satu program pemerintah yang keputusannya itu harus diputuskan di lembaga legislatif akan selalu kalah dalam pemilihan, apalagi kalau dalam penmgambilan keputusan yang menyangkut dengan kepentingan publik ini di lakukan dengan proses bargaining yang membutuhkan biaya dan waktu, sehingga sulit akan keluar keputusan yang akan berpihak kepada kelompok masyarakat miskin tersebut.

 

B. Perumusan Masalah Dan Fokus Kajian 

Dalam kerangka demikian, tulisan ini mencoba untuk mengupas persoalan kenapa keputusan yang menjangkut dengan pengambilan keputusan yang menyangkut dengan kepentingan publik sulit berpihak kepada kepentingan bersama itu, secara teori untuk mencapai kebutusan bersama yang lebih mengutamakan kepentingan masyarakat luas atau kesejahteraan masyarakat sulit tercapai, terkecuali jika para voters mengabaikan kepentingan memaksimumkan utilitynya dan kepentingan kelompok yang mendukungnya sebagai kelompok kepentingan politik yang diwakilinya. Bagaimana  mencapai keputusan publik yang berpihak kepada kepentingan publik itu sendiri, terutama pada keadaan para voters lebih mementingkan kepuasaan utilitynya dan kelompoknya, bagaimana jalan keluar yang bisa ditawarkan, terutama dari sudut pandang  ilmu ekonomi publik untuk mencapai keputusan yang berpihak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat luas? Mekanisme yang bagaimana yang seharusnya ditempuh di lembaga legislatif agar keputusan yang dibuat tidak mengecewakan semua pihak, melainkan keputusan yang diambil mampu meningkatkan welfare masyarakat.

Selanjutnya, untuk lebih menajamkan kerangka analisis, maka dirumuskan persoalan yang lebih mendasar, yakni sebagai berikut:

1.      Bagaimana motivasi ekonomi dalam proses pengambilan keputusan yang menjangkut dengan kepentingan publik dan public goods seperti program pengentasan kemiskinan (poverty alleviation), pertahanan keamanan, kesehatan dan pendidikan. ?

2.      Mengapa dalam proses voting sulit mencapai single picked, sehingga single mayority merupakan suatu hal yang sulit diwujudkan, dan bagaimana caranya mencapai single mayority dalam proses pengambilan keputusan.

3.      Apa implikasi dalil ketidak mungkinan Arrow (1951) bagi  keputusan public goods, bagaimana mencapai keputusan yang dapat memaksimumkan kesejahteraan masyarakat itu ?

Dari rumusan masalah yang dikemukakan ini akan tercermin fokus kajian dalam makalah ini yakni bagaimana pengambilan keputusan yang menyangkut dengan public goods dan kepentingan publik, yang memaksimumkan kesejahteraan masyarakat.

 

C. Tujuan Penulisan                    

Tulisan ini bertujuan untuk mengungkapkan dan menjelaskan bagaimana proses pengambilan keputusan yang menyangkut dengan public good, atau choice terhadap pilihan pengunaan public goods memberikan solusi yang menguntungkan semua pihak, dan proses voting yang dilakukan, para voters dalam menentukan pilihannya mempertimbangkan untuk memaksimumkan utilitynya atau memaksimumkan kesejahteraan masyarakat, bagaimana hal ini dicapai secara sekaligus.

Lebih jauh bertujuan untuk menjawab pokok persoalan yang dirumuskan diatas yakni:

1.      Untuk menjelaskan sifat-sifat dan kepentingan dari agent ekonomi di dalam pengambilan keputusan ekonomi public dan public goods mengenai program kemiskinan, pertahan keamanan, kesehatan dan pendidikan.

2.      Menjelaskan kenapa sulit mencapai keputusan single mayority di dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut public goods dan kepentingan public seperti mengatur hak-hak (property right, pertahanan keamanan, kesehatan masyarakat, pendidikan, program pengentasan kemiskinan, dan lain-lain.

3.      Menjelaskan implikasi dari dalil ketidak mungkinan Arrow terhadap pengambilan keputusan kepentingan publik dan public goods.

 

D. Kegunaan Penulisan (Tinjauan Aksiologis)           

Tulisan ini memberikan pemahaman ekonomi publik dan public choice bagi para pembaca, sehingga menyadari bahwa proses politik voting di lembaga perwakilan yang bertanggung jawab di dalam mengambil keputusan yang menyangkut dengan fungsi minimum pemerintah yang mengutamakan kepentingan masyarakat, sulit dicapai secara teoritis, oleh karena itu diperlukan peralatan analisis ekonomi publik dan ekonomi politik, sehingga solusi bisa ditawarkan untuk mengurangi kemiskinan, meningkatkan kesehatan dan pendidikan masyarakat.

Lebih jauh, tulisan ini berguna untuk memenuhi salah satu tugas yang diberikan dalam mata kuliah Falsafah Sain (PPS702), tugas yang diberikan terasa sangat membantu sekali dalam memahami materi perkuliahan lebih lanjut, karena dimuati dengan nuansa filsafat yang mendasari proses berpikir logis dari paradigma positifisme dari ilmu ekonomi, terutama dalam analisis fondasi logic  sistem demokrasi konstitusional, dimana dengan memahami ekonomi publik ini, akan lebih menambah ketajaman dalam menganalisis kejadian kejadian politik di lembaga legislatif, seperti yang terjadi di DPR sekarang ini, yang mulai terasa nuansa kolusi dan korupsi di kalangan pengambil keputusan tersebut. Oleh karena itu, tulisan ini akan memberikan nuansa pemikiran baru bagi para pembaca bagaimana sebetulnya bahwa proses politik di DPR itu semuanya berjalan atas dasar hitung-hitungan ekonomi, sebagaimana yang dikatakan oleh James Buchanan dan Tullock (1962) dengan istilah “Calculus to concern”

 

II. Pembahasan (Tinjauan Epistemologis dan Aksiologis Penulisan)        

A.     Kerangka Konseptual  Individual Rationality Dalam Sosial Choice

Dalam suatu pemahaman yang sesungguhnya, teori ekonomi adalah juga teori tentang collective choice, yang memberikan kita penjelasan bagaimana kepentingan individu secara terpisah di pertautkan kembali melalui mekanisme perdagangan dan pertukaran (Buchanan, (162: 4). Apabila kepentingan individu diasumsikan identik, maka main body teori ekonomi tidak akan ada, seperti cerita Robinson Cruso, teori ekonomi hanya menjelaskan bagaimana manusia bekerjasama melalui pertukaran dan perdagangan, mereka melakukan pertukaran karena mereka berbeda; terutama dalam kepemilikan resource dan kepentingannya terhadap resource itu sendiri. Manakala, kepentingan individu itu mulai mengumpal dalam bentuk kepentingan kelompok, maka muncul keputusan politik untuk distribusi resource dan pengelolaannya.

Konsepsi dari rationalist democracy telah didasarkan atas asumsi bahwa konflik kepentingan individu akan dan harus lenyap sekali ketika pemilihan menjadi di imformasikan sepenuhnya, kepentingan individu dikorbankan untuk kepentingan bersama, tetapi hal itu dalam demokrasi ekonomi merupakan suatu hal yang vanish (hilang, tidak ada), sebab individu dalam ilmu ekonomi bertindak atas dasar rationalitas, sehinga keputusan untuk melakukan pertukaran barang dan jasa, seperti juga pertukaran dalam sistem politik, adalah didasarkan atas upaya memaksimumkan utilitinya.

Individu tidak dapat secara kompeten memilih antara kepentingan public dengan kepentingan privatenya dalam suatu keadaan khusus hingga hasil dari alternatif pilihan dapat dianalisisnya, akhir pembuatan keputusan diasumsikan menjadi keputusan individu. Namun, kebulatan suara dalam keputusan yang menyangkut dengan collective action memerlukan kebulatan suara (full concensus) pada level pengambilan keputusan konstitusional, maka dapatkah individu mengorbankan kepentingan privatenya, untuk mencapai konsensus dalam collective action? Jawabannya adalah dapat tetapi sangat costly. Biaya dan manfaat dari collective action; sebagaimana pertentangan yang dihadapi oleh pilihan individual, dapat dinilai hanya atas dasar beberapa analisis dari keberagaman pilihan. 

Ada aturan yang penting bagi collective choice yakni simple majority  voting, aturan ini mengharuskan proses pemungutan suara hingga sampai kepada pengambilan keputusan didasarkan pada suara terbanyak atau lima puluh di tambah satu. Pada collective choice, seorang individu melakukan tindakan  dimana tindakan individu dalam berpartisipasi pada pembuatan keputusan dengan kendala kelembagaan atas tindakan manusia harus menjadi bebas dari semua kepentingan private mereka, keberadaan kelembagaan politik harus digabungkan dengan struktur kelembagaan yang ada seperti partai politik, lembaga perwakilan, kepemimpinan eksekutif dan karakteristik pemerintah moderen lainnya. Jadi individu bertindak dipengaruhi oleh nilai norma yang telah melembaga di dalam kehidupannya, kemudian hal itu tercermin di dalam keputusan bersama pada partai atau kelompok kepentingan. Maka disinilah, terasa argumen bahwa keputusan partai dan keputusan kelompok kepentingan tidak mungkin akan mencapai kesejahteraan masyarakat umumnya, karena partai dan kelompok kepentinganya telah memiliki platformnya masing-masing, sesuai dengan visi dan misinya.

Kebanyak dari anggota partai yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan di lembaga legislatif, lebih mengutamakan kepentingan individualnya, ketimbang mementingkan kepentingan orang lain, kemudian kepentingan individu tercapai selanjutkan dengan kepentingan kelompoknya sebagai interest group yang mendukung partai ketika masa-masa kampanye. Hal ini sejalan dengan teory human action, yang memandang bahwa unit decision making itu adalah individu yang membuat pilihan dan membangun semuanya bagi siapa pilihan dibuat. Persoalan akan muncul adalah apabila individu mempertimbangkan collective action, apakah ia mempertimbangkan kebersamaan sebagai unit pengambilan keputusan, dan oleh karenanya individu menskala dan mengurutkan (ordering) collective choice dalam mencapai tujuan sosial atau sejumlah tujuan bersama lainnya, dan yang paling mendapat prioritas adalah dalam ordering yang dibuatnya adalah memaksimumkan utilitynya, sesudah itu pada urutan kedua dan ketiga adalah memaksimumkan profit kelompok kepentingannya, group, dan pada urutan yang lebih tinggi di belakang adalah baru kepentingan bersama. Jadi diskusi rational behavioral dari individu hanyalah mempertimbangkan tujuan-tujuan individu yang ingin dicapainya berdasarkan interes pribadi.

Oleh karena itu, adalah sulit mencari individu atau figur decision making unit yang menempatkan pada order pertama kepentingan bersama, atau kepentingan publik sebagai prioritasnya. Secara ekonomi, jika ini terjadi dianggap tidak rational, sementara secara politik figur inilah yang harus dicari yakni pemimpin yang memberikan keteladan dengan; lebih mengutamakan kepentingan bersama dengan menomor duakan kepentingan pribadi dan kelompoknya. Maka dengan sendirinya secara ekonomi individu yang rational adalah individu yang berusaha memaksimumkan  utilitinya terlebih dahulu (more than less), namun ternyata utiliti itu secara teori juga bersifat non satiation; artinya kepusaan itu tidak ada batasnya, setiap individu ingin kepuasaan yang lebih tinggi. Itulah sebabnya dalam teori pengambilan  keputusan muncul dalil ketidak mungkinan Arrow (1962). Jadi sifat-sifat transitifitas dari teori utiliti, ternyata dalam proses pengambilan keputusan di lembaga politik tidak dapat berlaku, artinya bersifat intransitif. Maka diperlukan mutlak kerjasama diantara voters untuk mencapai keputusan bersama itu.

Disinilah peluang bagi aktor-aktor politik itu untuk bermain dengan bekerja sama, yang dalam istilah sehari hari sekarang disebut dengan kolusi, korupsi dan nepotisme di lembaga DPR. Secara teori ternyata hal ini tidak bisa dielakan.

Secara khusus, pilihan individu dapat merangking alternatif collective sama seperti pilihan pasar dan bahwa rangking ini akan menjadi transitive. Dengan kata lain, individu diasumsikan dapat memilih diantara alternatif hasil dari collective action yang mana rank order yang lebih tinggi dinyatakan oleh fungsi utilitynya sendiri, dan hal ini mungkin diletakan di dalam sesuatu yang lebih umum dan bentuk familiar jika kita mengatakan bahwa individu diasumsikan mampu untuk merangking keberagaman bundle public atau collective goods dalam cara yang sama ketika ia merangking private goodsnya. 

Selanjutnya, jika diaplikasikan pada kasus keputusan public seperti keputusan tentang perlu tidaknya program pengentasan kemiskinan, peningkatan kesehatan dan pendidikan masyarakat, collective action yang diinginkan sulit tercapai karena terkendala oleh keinginan individu sebagai unit decision making  lebih menempatkan kepuasaannya pada utility individualnya. Oleh karena itu, agar individu dapat menyusun rank ordernya dengan menempatkan keputusan collective seperti program pengentasan kemiskinan, pembiayaan kesehatan dan pendidikan masyarakat diletakan pada prioritas utama, maka di perlukan persyaratan sebagai berikut:

1.      Decision making unit itu haruslah individu yang concern dengan persoalan kepentingan bersama, oleh karenanya, ia harus di enforce dengan nilai dan paham kebangsaan, nilai-nilai kebersamaan, nilai-nilai social capita, struktur insentif yang memadai, sehingga jika struktur insentifnya telah memadai, diharapkan ia akan berperilaku sesuai dengan kepentingan bersama.

2.      Harus ada yang mengenforce individu yang bertindak sebagai decision unit untuk mengambil keputusan untuk berpihak kepada kepentingan bersama seperti program pengentasan kemiskinan tersebut, melalui kekuatan presure group seperti lembaga sosial masyarakat (LSM), lembaga pemerhati masalah sosial dan lembaga-lembaga lainnya yang peduli dengan masalah kemiskinan dan pendidikan masyarakat. Sedangkan untuk kasus pendidikan masyarakat, lembaga seperti organisasi Muhammdiyah, Taman Siswa adalah kelompok presure yang dapat melakukan peran untuk mengenforce decision unit untuk menempatkan program peningkatan pendidikan menempati urutan pertama di didalam membuat bundle public goodsnya. Untuk proses ini dibutuhkan lobi politik yang rapi dan kuat, sehingga keputusan akan perlunya kepentingan publik lebih diutamakan dapat diwujudkan. Sebab kalau tidak demikian, kepentingan bersama akan selalu dikalahkan oleh kepentingan individu dari pengambil keputusan.

3.      Menyangkut dengan pembiayaan masalah public goods seperti pendidikan dan peningkatan kesehatan masyarakat ini dibiayai oleh pajak dan subsidi, dimana dalam sistem anggaran negara, pajak dn subsidi ini diperoleh dari aktifitas ekonomi dari kelompok masyarakat kaya di perkotaan, sedangkan pembiayaan publik goods lebih ditujukan pada masyarakat miskin, sehingga tentu akan menempatkan keputusan itu akan terasa berpihak pada kelompok miskin. Oleh karena itu, individu yang bertindak sebagai decision unit haruslah berimbang antara kelompok masyarakat kaya dengan kelompok masyarakat miskin, artinya kompisisi anggota DPR haruslah bukan hanya berdasarkan perimbangan partai, tetapi juga perimbangan golongan yang ada di tengah masyarakat, dan pasti juga harus dipilih, tidak seperti utusan golongan yang ada pada masa Orde Baru. Untuk itu diperlukan konspirasi yang kuat di DPR untuk mengolkan keputusan tentang peningkatan anggaran pendidikan dan pengentasan kemiskinan.

4.      Diperlukan anggota parlemen yang memiliki wawasan ekonomi publik dan ekonomi politik yang kuat agar dalam keputusan akan program pemerintah yang akan dijalankan itu, lebih berorientasi pada perbaikan kehidupan bangsa untuk jangka panjang.   

 

Jadi dalam proses voting di DPR agar kepentingan public dapat lebih di utamakan adalah dengan memberikan pengetahuan dan pemahaman pada para anggota legislatif itu tentang pengetahuan analisis public choice dan analisis pengambilan keputusan serta analisis konflik. Semuanya memerlukan kerjasama diantara semua pihak, sehingga hasil yang optimal dapat dicapai, sebab jika salah satu pihak mengambil jalan mementingkan diri sendiri, maka hasil yang maksimal tidak tercapai, karena proses voting yang berlangsung di lembaga perwakilan yang dilakukan oleh individu, lebih didasarkan atas kepentingan pribadinya, sehingga kepentingan yang lebih besar dan kepentingan orang banyak diabaikan. Dengan melihat motivasi ekonomi dalam pengambilan keputusan yang berkenaan dengan penentuan program pengentasan kemiskinan, peningkatan pendidikan masyarakat pendidikan, maka mustahil program ini dapat diputuskan, karena bagi pencari keuntungan, program semacam ini tidak memberikan nilai profit yang maksimum. Sehingga harus dicari argumen lain yakni economic welfare, economic public choice dan analisis konflik, semuanya memberikan argumen yang tepat untuk perlunya lebih memperhatikan kepentingan publik.

Kemudian, di dalam konsep ekonomi pilihan publik, keputusan invidu sangat tergantung pada preferencenya, dengan didasarkan pada asumsi rationalitas; dimana individu di dalam bertindak selalu lebih menyukai preference yang memberikan kepuasan yang lebih tinggi, maka sifat transitifitas dari teori utility, di dalam pengambilan keputusan terhadap barang public, maka individu tidak bisa lagi mempertahankan sifat transitifitas dari utilitynya, sehingga dalam mengambil keputusan yang menyangkut dengan barang publik individu akan bersifat intransitifitas; dengan arti akan terjadi kerjasama diantara voters. 

 

B.     Analisis Pembuatan Keputusan Public Choice Dan Public Goods

 

Public Choice mempelajari bagaimana keputusan kolektif di buat dalam suatu demokrasi, di dalam suatu demokrasi perwakilan seseorang boleh membayar lebih tinggi pajak dan mempunyai polisi yang lebih besar dengan harapan angka kejahatan yang lebih rendah; yang lain  boleh menyukai suatu tarif pajak yang lebih rendah, polisi lebih kecil, dan lebih tinggi angka kejahatan. Dengan cara yang sama, seseorang boleh menginginkan polisi untuk mengurangi pencurian, yang lain  untuk mengurangi perkosaan, dan sepertiga untuk mengurangi pengunaan obat. Jika mungkin untuk membeli jasa polisi yang secara efisien di dalam pasar pribadi, kita bisa masing-masing mempunyai kwantitas yang optimal. Jika orang membeli secara bersama, bagaimanapun, mereka harus menjangkau suatu kompromi. Kompromi adalah jumlah maksimum seseorang,ditambah dengahn jumlah maksimum orang lain, atau di tengahnya. Tidak ada cara untuk masing-masing mempunyai jumlah maksimumnya sendiri, ketika dia bisa jika dia memborong pasar pribadi. 

     Adanya barang publik menyebabkan Pareto optimal tidak mungkin tercapai, sebab syarat kompetitif equilibrium, marginal utilty  adalah sama dengan marginal cost (MU = MC) tidak pernah bisa tercapai. Penyebabnya adalah adanya free rider problem yang dapat menikmati barang tanpa perlu membayar. Untuk dapat kembali mencapai Pareto optimal maka pembiayaan barang publik harus dilakukan oleh negara melalui penarikan pajak. Besarnya pajak harus sebanding dengan barang publik yang dinikmatinya. Sementara itu, keputusan berapa besarnya pajak yang harus dibayar merupakan keputusan pemerintah yang harus ditentukan lewat voting di lembaga perwakilan. Ada beberapa cara penentuan pajak untuk membiayai barang publik yakni: skema beban pajak yang ditentukan bersifat tetap; artinya setiap orang membayar beban yang sama untuk membiayai public good x misalnya. Bentuk pembiayaan pajak lainnya adalah pajak proporsional; dimana orang yang terkaya membayar pajak tinggi, sedangkan orang yang paling miskin membayar paling sedikit.

Dalam sistem pajak yang tetap, dan dalam sistem keuangan negara yang ditentukan secara mayority voting. Pemilihan tersebut dilakukan untuk memilih tingkat output barang publik yang dinginkan masyarakat, seperti anggaran untuk penyelengaraan dan penyediaan infrastruktur pendidikan. Menyelenggarakan pemilihan ini sampai ditemukan suatu tingkat output yang secara mayoritas dikehendaki oleh masyarakat dibandingkan dengan tingkat output lainnya. Jumlah barang publik yang terpilih adalah beban pajak tetap yang merupakan equilibrium yang ditentukan dengan mayoritas voting.

Keuntungan dari sistem mayority voting paling tidak ada dua, Pertama: relatif mudah dan bersifat menyeluruh. Sistem mayority voting dapat dengan mudah dimengerti oleh orang yang melaporkan jumlah barang publik yang diinginkan dan memilihnya. Kedua; kecenderungan untuk salah interpretasi dan duplikasi tidak menyolok meskipun kecenderungan tetap ada. Kemudian menyangkut dengan kelemahan single mayority voting adalah; tidak ada keterkaitan antara beban pajak dengan marginal utility dari barang publik. Keterkaitan antara beban pajak dengan marginal utility hanya terjadi bagi orang yang ada ditengah (median).  

Sebenarnya pembiayaan barang publik bisa dilakukan tidak hanya oleh pemerintah, tetapi dengan dibeli oleh pihak private untuk hak mengelolanya, sehingga ada individu i yang membayar untuk jumlah tertentu barang-barang publik yang kemudian menjadi tersedia bagi orang lain. Tetapi dengan adanya kasus free rider problem  kesediaan barang publik menjadi bermasalah. Mereka yang menikmati barang publik dan fasilitas publik tanpa mau membayar tidak mencerminkan kebutuhan mereka terhadap barang publik. Maka selalu ada kekurangan produksi barang publik. Itulah salah satu alasan mengapa barang publik harus disediakan oleh pemerintah.

Prosedur mayority voting mempunyai keunggulan kardinal, sehingga tidak seperti prosedur Pareto, untuk kasus dua pilihan selalu dapat dihasilkan keputusan. Pada sisi lain mayority voting juga konsisten dengan kriteria Pareto; artinya jika secara Pareto dikatakan bahwa x lebih disukai daripada y, maka secara mayority voting harus juga x lebih disukai dari pada y. Kriteria majoriy voting mempunyai kelemahan yakni intransitif sehingga dimungkinkan oleh adanya pilihan yang bersifat siklus, untuk mengatasi masalah tersebut dapat ditemukan single pickedness ordering yang menghasilkan single picked. Jika single pickedness terpenuhi maka preferensi sosial menjadi komplit dan transitif, sehingga dapat dihasilkan pilihan sosial yang terbaik 

Tradisi dari mayority voting rule mempunyai akar egalitarian dari aliran pertumbuhan demokrasi moderen. Banyak aspek voting dari choice terhadap aturan keputusan, termasuk isu-isu yang penting dari hak pilih, atau siapa yang dapat memilih. Topik yang menjadi perhatian penting ahli ekonomi adalah masalah aggregation of preference, atau bagaimana menambah suara. Untuk beberapa alasan kebanyak kesimpulan dari para ekonom adalah bahwa single mayority rule tidak dapat dicapai atau diberikan oleh pemilih.

Namun  demikian dalam pengetahuan public choice dan ekonomi publik, keputusan voting untuk mencapai mayority rule dapat dilakukan dengan 4 persyaratan:

 

1.      Voters harus memahami bagaimana pemungutan suara akan berlangsung dan derajat kepercayaan dalam keseluruhan metodanya.

2.      Metodanya harus adil bagi para pemilih dan bagi para Candidate

3.      Pengumpulan suara harus jelas dan konsisten, diulangi dan pasti perlu mendorong kearah hasil yang sama di dalam suatu cara yang dapat diramalkan

4.      Metoda pemungutan suara harus mengarah pada hasil yang efisien.

 

Majority rule kelihatannya dapat memenuhi pertama dari dua alasan yang layak lainnya, hal itu dilakukan  dan selalu kelihatan lebih adil.  Ada dua alasan pokok untuk mempertahankannya, bukan mempertemukan antara persyaratan konsistensi dengan persyaratan efisiensi dengan baik, tetapi bagaimanapun kita membutuhkan untuk menuju kepada kedua isu ini, pada permulaan satu yang lebih mudah yang perlu segera ditangani yakni persyaratan efisiensi. Sebagai contoh bagaimana majority rule dapat mengarah kepada outcomes yang tidak efisien, yakni antara pilihan akan keindahan jalan jalur hijau di perkotaan dengan meluasnya penyakit yang disebabkan oleh pohon yang terlalu rindang., sehingga pilihan antara mempertahankan keindahan oleh penduduk kota yang lebih kaya untuk rekreasi atau memindahkan pohon ke tempat yang lebih baik, sehingga penyakit tidak mudah menular. Pemilih minoritas menganggap memindahkan pohon jalur hijau sama dengan menelanjangi kota. Jadi penjumlahan preference melalui mayority rule – satu orang, satu suara--  tidak akan  membantu kehebatan minoritas, dan hal itu juga akan menyebabkan sumberdaya dialokasikan secara tidak efisien oleh mayority rule.

Dalam pada itu, mayority rule voting akan menghasilkan keputusan yang cycle, sehingga dalam collective choice disebut dengan Arrow peroblem, disana tidak ada cara untuk mengaggregasikan preference tanpa melakukan penjimpangan dari ketentuan yang ada yakni: Pareto optimality, Non dictatorship, unrestricted domain, rationality, dan independence of irrelevant alternative. Ada dua cara untuk mengatasi cycle problem dalam mayority voting. Pertama adalah kontrol agenda terhadap beberapa orang, kelompok, sesuatu apa yang  dijadikan teladan atau keputusan hukum apa yang akan dilakukan, implikasi apa yang tidak akan dilakukan.  Kedua, bahwa cycling mungkin dihindari dalam mayority voting untuk single picked preference yang ada, karena adanya dua puncak (dual picked preference adalah apa yang menyesatkan kita sebelumnya. Kita menyusun X, Y dan Z atas sumbu horizontal, pola-pola preference  dari V1, dan V2 mempunyai satu puncak dalam bentuk utility. V3 memiliki dua puncak , keduanya X dan Z lebih dipilih daripada Y. keadaan ini disebabkan oleh cycling problem  adalah lebih sedikit menganggu, karena semua dari tiga ordering yang kelihatan beralasan dan dapat dipertahankan. Walaupun V3 menpunyai dua puncak, ini berarti bahwa V3 diletakan sebagai prioritas yang lebih utama atas pengembangan sumberdaya manusia dan sumberdaya alam .

Jadi di dalam voting rule, yang akan menghadapi dual picked, maka ordering dari pilihan yang ada akan diletakan sebagai prioritas yang akan dipilih  dalam suatu dimensi tunggal (single dimension) yakni jika mereka disusun berdasarkan perencanaan spatial, sehingga para pemilih dapat memilih dimensi mana yang akan diputuskan.

Meskipun kemungkinan adanya perbedaan di dalam metoda voting untuk situasi yang berbeda, kita selalu memilih majority rule  untuk collective decision karena hal ini terbelenggu di dalam  konsep egalitarian yang kuat: one person one vote. Majority  rule decision mungkin menjadi keputusan yang tidak effesien, bagaimanapun karena majority rule secara sederhana mengabaikan betapa kuatnya preference  dari monoritas. Jika mayoritas pemilih memiliki preference yang lemah dan minoritas memiliki preference yang kuat, outcome akan menjadi tidak efisien, hal ini sering mudah terjadi didalam majority rule.   

Bagaimanapun, preference yang diaggregatekan  dalam collective choice melibatkan dillema fundamental. Jika kita memilih mayority rule atas dasar keinginan kebersamaan (egalitarian), kita menghadapi resiko pembuatan keputusan kelompok yang tidak efisien. Suatu minoritas yang kuat dapat dengan mudah menderita kerugian yang besar dari pasifnya mayoritas yang mungkin lebih senang dengan keuntungan. Tetapi minoritas akan masih kehilangan di bawah mayority rule. Kuatnya preference minoritas mungkin diungkapkan melalui alternatif metoda voting, walaupun hal ini mungkin mengarah kepada outsome yang kontradiksi dan melalui inovasi sebagaimana proses yang melahirkan permintaan(demand). Koalisasi adalah alternatif praktek utama yang digunakan oleh minoritas untuk sejalan dengan status minoritas mereka; mereka mencoba untuk menemukan isu-isu yang terkait dan koalisi dua atau lebih issu ke dalam satu kelompok yang dapat mendukungnya.

Majority rule  adalah memiliki sifat dasar yang tidak stabil, sebagaimana diperlihatkan oleh dalil ketidak mungkinan Arrow. Stabilitas dalam diperbaiki  dengan single –peaked preference dan dengan median voters jika issunya adalah single dimension, yakni jika mereka disusun di sepanjang perencanaan spatial. Ideologi; sebagaimana diwujudkan melalui suatu spectrum politik liberal-konservatif, menawarkan perjanjian sebagai suatu single dimension, dan agenda control; seperti komite legislatif yang memiliki kekuasaan penting  atas labor, kesehatan, dan sumberdaya alam lainnya,  adalah cara untuk memperbaiki stability di bawah majority rule. Kedua tipe stabilisasi ini—ideologi dan agenda kontrol--  adalah ditawarkan dengan dipilihnya perwakilan yang akan dibebani biaya pembentukan koalisi dalam pertukaran pada suara kita.

 

C. Peranan Pemerintah Di Dalam Kepentingan Publik

Jadi pengambilan keputusan di dalam ekonomi, yang mempertimbangkan masalah efisiensi dan equity yang biasanya dicapai melalui mekanisme pasar, tetapi ketika mekanisme pasar ini tidak bisa berjalan (market failure) karena sifat dari public goods ( non rival , non excludability, dan indivisible), maka salah satu jalan keluarnya adalah dicapai melalui voluntary action yang dilakukan oleh pemerintah, sehingga problemnya adalah bagaimana mencapai kebulatan suara di dalam mengambil keputusan yang menyangkut dengan public goods dan kepentingan puiblik seperti pengentasan kemiskinan, pertahanan dan keamanan, pendidikan dan kesehatan masyarakat.

Oleh karena itu salah satu metoda yang digunakan adalah majority rule. Ternyata majority rule memiliki kelemahan dimana tidak dapat mencapai single picked, sehingga dicarikan jalan keluarnya yakni dengan membuat rank order berdasarkan dimensi spatial yang menjadi prioritas keputusan yang akan diambil, sehingga solusi ini dapat memberikan jalan keluar dari problem fundamental voting yakni cycle problem dalam proses voting. Disamping itu, solusi yang lain adalah melalui koalisi yang dibentuk; yang pada dasarnya koalisi itu adalah bukan koalisi kelompok tetapi koalisi isu –isu yang akan diputuskan menyangkut dengan kepentingan publik, seperti pengentasan kemiskinan, dan lain sebagainya itu.

Jadi voluntary action mungkin membantu menyelesaikan kegagalan pasar (market failure), tetapi tidak keseluruhan memadai, oleh karena itu di perlukan peran pemerintah yang memiliki coercion, power  dan kekuasaan untuk mengenforce pembayaran pajak untuk pembangunan jalan, pendidikan, dan kesehatan. Pengambilan keputusan ini semua lebih baik mengunakan prinsip keterwakilan pemerintah di lembaga legislatif (representative government). Oleh karena pemerintah itu memiliki dillema sendiri yakni pada dasarnya pemerintah berasal dari rakyat; tetapi masyarakat mengajarkan bahwa mereka tidaklah mampu untuk mengatur dirinya sendiri. Dan juga para pemimpin dikuatirkan sewenang-wenang dan berubah-ubah sifatnya dari aturan kekuasaan yang mereka pegang. Oleh kaena itulah ada 3 peralatan konstitusi yang mengatasi dillema ini sebagai suatu solusi yakni:

1.      Pemerintahan federal yang di disain untuk memelihara keteraturan dan stabilitas  melawan meluasnya peningkatan mayoritarian.

2.       Pemerintahan yang di disain memiliki dua lembaga legislatif yakni Senat untuk kaum aristocrat dan  a House (conggress) untuk kaum demokrat.

3.      Pemerintahan perwakilan( representative government); untuk melindungi dan mengantisipasi ekses dari majority rule.

Pemerintahan perwakilan di dalam pengambilan keputusan di dasarkan pada model dasar economic dari pemerintahan legislative yang didasarkan pada asumsi tingkah laku kepentingan diri sendiri diantara participant. Di dalam model ini legislator akan dipandang sebagai suppliers politik yang dilpilih, warganegara, firm, dan kelompok kepentingan yang membuat demand atas pemerintah dipandang sebagai demanders dari political action. Administrators ini kerjanya adalah mengirim barang dan jasa kepada demanders yang akan dipandang sebagai yang kelompok yang menetapkan suppliers politik. Untuk lebih jelasnya akan digambarkan sebagai berikut:

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Gambar ini memberikan kita cara yang sederhana  untuk mengambarkan konsep  self interest dalam menganalisis collective choice. Para ekonom melihat bahwa pemerintah dan pasar keduanya terlibat secara substantial dari element self-interest. Utility konsumen dan profit produsen dibentuk dari self interest ini.  Di asumsikan bahwa Demanders dari tindakan politik mencoba untuk memaksimumkan probability dari pemilihan (election). Dan suppliers politik yang diangkat mencoba untuk memaksimalisasikan dimensi lain dari self-intrest sebelumnya, biasanya ukuran dari budget mereka. Secara umum ada 4 model apakah kita bisa berharap dari suppliers politik yang telah dipilih atau kita pilih itu di lembaga legislatif yakni:

1.      Good Fairy model; dimana suppliers politik bertindak hanya untuk menyelesaikan situasi dimana pasar telah gagal atau akan mengalami kegagalan. Suppliers membatasi tindakan mereka pada membangun infrastruktur pendidikan yang dibutuhkan bukan pendidikan yang sedang dibangun. Suppliers yang dipilih akan membawa dan menwujudkan Pareto improvement, benevolent outcome seperti ini mungkin terjadi, tetapi kejadian tersebut sangat jarang.

2.      Semigood Fairy Model; penguna infrastruktur pendidikan dan kesehatan mungkin menerima sejumlah besar benefit yang mereka akan meninggalkan sesuatu sesudah kompensasi dari orang yang kehilangan dari kehilangan dari kerugian mereka, jika mereka memiliki kerugian. Di dalam pemahamn Pareto improvement, efisiensi akan diperkuat oleh pembangunan infrastruktur pendidikan dan kesehatan. Efect distribusi bagaimanapun mungkin tidaklah diinginkan. Siapa yang memiliki tanah; sebagai lokasi pembangunan fasilitas pendidikan  atau jalan mungkin merasa worse off, sama sesudah mereka dibayar sepenuhnya dari nilai pasar tanah mereka. Mereka mungkin merasa bahwa kompensasi  ada nada tidak senang dengan bahaya akan ditimbulkan dalam pembangunan infrastruktur pendidikan dan kesehatan tersebut.

3.      Uncertain World Model; model yang memperhatikan bahwa efisiensi mungkin dikurangi dengan collective action, tetapi hanya karena ketidak pastian dan ketidak sempurnaan pengetahuan. Oleh karena untuk mendisain problem, biaya untuk membangun infrastruktur pendidikan dan kesehatan serta jalan mungkin menghasilkan kelebihan benefit, tetapi hal ini tidak diketahui kapan keputusan telah dibuat untuk pembangunan infrastruktur pendidikan dan kesehatan serta jalan. Dalam model ini suppliers yang dipilih, ingin menghasilkan output yang efisien atau keuntungan dari kelompok tertentu  dalam suatu cara yang efisien, tetapi keadaan dan keterbatasan pengetahuan mungkin menjimpan ini dari kejadiannya.

4.      Wicked witch model;  model ini mengatakan bahwa suppliers yang dipilih adalah seperti mempromosikan bilamana issu itu diletakan pada keuntungan yang ada. Menurut pandangan ini, jika efisiensi terjadi untuk diperkuat, hal itu hanya akan menjadi satu sisi pengaruh dari suatu keberhasilan penawaran bagi pemilihan kembali. Secara umum self interest legislators menjadi berkurang karena mereka memperkenalkan program redistribusi untuk pemilih yan beruntung pada pembiayaan efisiensi ekonomi. Para suppliers yang dipilih ini seharusnya tidak menjadi orang yang jahat, tetapi incentive framework diantara proses politik gagal untuk mendorong mereka menjadi lebih efisien. 

5.       

Di dalam negara demokrasi, keputusan diambil oleh lembaga perwakilan rakyat, yang diplih melalui PEMILU, persoalannya adalah bagaimana partai politik yang ada bersaing untuk mendudukan wakil-wakilnya di lembaga perwakilan melalui pemilihan untuk untuk membuat kebijakan yang menguntungkan kelompok kepentingannya. Maka dalam PEMILU masing-masing partai politik memiliki platform atau sejumlah kebijakan yang diusulkan untuk para pemilih dilembaga perwakilan pada setiap periode Pemilu. Kebijakan yang diformulasikan oleh partai politik dalam aturan untuk memenangkan pemilihan lebih baik dari pemilihan yang dimenangkan dalam rangka untuk memformulasikan kebijakan. Persoalan ini telah dikaji lebih luas oleh Anthony Down, (1957) dalam bukunya  an “Economic Theory of Democracy”.

Individu yang di dudukan di dalam lembaga perwakilan menyerupai individu yang menjadi agent di dalam sistem ekonomi pasar persaingan. Seorang individu yang bertindak sebagai seorang voters lebih memiliki kekuatan dari pada individu yang bertindak sebagai agent di dalam sistem pasar persaingan di dalam mempengaruhi harga. Konsumen dapat secara langsung mempengaruhi outcome pasar dengan membeli private goods, tetapi individu voters hanya memiliki sedikit kontrol atas outcome voting., yang selalu adalah menyangkut dengan public goods.

Jadi, di dalam pengambilan keputusan yang menyangkut public good voters memungkinkan untuk bekerjasama dengan kelompok kepentingan dan partai politik yang platformnya sama dengan kepentingannya pribadinya. Itu lah sebabnya voters ini kedudukannya sangat strategis di dalam pengambilan keputusan di lembaga legislatif. Jika voters lebih besar incentifnya yang diberikan oleh kelompok kepentingan tertentu, maka aia akan melakukan pemilihan yang sesuai dengan kepentingan partai politik yang memberinya incentif yang lebih tinggi. Oleh karena itu, tidak aakan ada keputusan public goods yang bertujuan untuk mendukung seperangkat kebijakan yang struktur insentifnya yang diberikan sangat kecil diterima oleh voters. Artinya voters memilih keputusan yang memberikan strukutr dan opportunity yang lebih rendah bagi dirinya, dan benefit yang lebih tinggi, tidak peduli apakah hal itu dapat memenuhi preference minoritas.

 

D.    Implikasinya Pada Kasus Pemerintahan Indonesia

 

Pemerintahan Indonesia pada dasarnya merupakan pemerintahan demokrasi dengan memakai sistem perwakilan, sehingga pemerintahan yang bertindak sebagai institusi yang bertanggung jawab menjalankan amanat peningkatan kesejahteraan rakyat menurut UUD 1945 yang telah diamandemen. Pemerintahan yang terbentuk adalah pemerintahan yang dipimpin oleh partai yang keluar sebagai pemenang di dalam pemilu. Di dalam hal ini, karena pemerintahan di dominir oleh partai pemenang pemilu, maka usulan kebijakan yang akan dilakukan itu adalah usulan kebijakan oleh partai yang ditawarkan kepada rakyat pada saat pemilu yang pada umumnya adalah flatform partai ketika menghadapi kampanye.

Namun demikian, belum tentu platform partai yang keluar di dalam pemenang pemilu adalah dapat diterjemahkan ke dalam program-program pemerintah terutama program-program yang menjadi tugas utama pemerintahan di dalam pengaturan publik goods. Pada  dasarnya voters individual yang diangkat oleh partai pemenang pemilu tidak akan begitu saja melakukan pemilihan suara untuk mengeluarkan keputusan yang memaksimumkan preferensi mayoritas, karena tergantung seberapa besar incentif yang akan diterima oleh para voters ini yang diberikan oleh proses voting yang diselenggarakan untuk mengambil keputusan, semakin besar incentif yang diterima dari kelompok kepentingan tertentu, semakin cenderunglah ia memilih keputusan yang menguntungkan dirinya sendiri dan kelompok kepentingannya, partai, groupnya dan lain sebagainya. Sehingga dengan sistem perwakilan tersebut memungkinkan bahwa DPR melakukan korupsi, terkecuali jika lembaga ini diawasi oleh lembaga perencana pembangunan yang independent.

Peran pemerintah seperti yang telah disinggung sebelumnya, yakni mengatasi kegagalan pasar atau kalau pasar akan mengalami kegagalan (market failure), tetapi sebenarnya tugas pemerintah jauh lebih  itu adalah penyediaan dan pengaturan public goods, memperbaiki pemerataan, mengkoordinasikan aktifitas swasta, menyediakan layanan sosial, mengatasi imperfect informasi. Untuk lebih jelasnya dikemukakan tugas-tugas pemerintah menyangkut dengan kepentingan publik dan public goods sebagai berikut:

 

 

 

 

Tabel: Tugas-Tugas Pemerintahan Dalam Public Goods

         

 

Berdasarkan tabel diatas, fungsi minimum pemerintah itu adalah terutama dalam penyediaan barang public murni dan melindungi golongan miskin. Fungsi Penyediaan barang public tersebut lebih diutamakan untuk mengatasi kegagalan pasar (market failure) karena penyediaan barang publik akan berbeda kepentingannya dengan sistem pasar persaingan yang pada umumnya lebih bertujuan untuk memacu pertumbuhan ekonomi, dan lebih berorientasi pada ekonomi agglomerasi terutama di perkotaan. Sedangkan fasilitas publik sangat dibutuhkan bagi prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi masyarakat pedesaan. Oleh karena itu, akan menjadi tugas pemerintah untuk membuat pemerataan kesempatan menikmati barang publik dan fasilitas ekonomi yang sama dengan masyarakat lain; terutama masyarakat perkotaan. Sehingga rasa keadilan masyarakat akan terpenuhi.

Persoalannya sekarang di Indonesia adalah para politisi di pemerintahan dan lembaga perwakilan yang akan mengambil keputusan untuk investasi pemerintah di lakukan atas dasar kepentingan individu dan kelompok dari para voters. Oleh karena itu, voters ini harus mengerti dan memahami tugas minimum dan fungsi minimum pemerintahan itu sebenarnya. Kemudian di perlukan lembaga khusus perencana pembangunan di tingkat lokal dan Nasional untuk mengkaji dan mengawasi kebijakan pemerintahan yang menyangkut dengan public goods dan barang public. DPR harus bisa diawasi oleh lembaga perencanaan pembangunan ini, sehingga fungsi minimum pemerintah ini dapat dijalankan.         

Dalam pada itu, berkaitan dengan proses voting menyangkut dengan pelaksanaan tugas minimum pemerintahan ini, jika pengambilan keputusannya dilakukan melalui proses voting, hal ini sulit akan keluar keputusan yang benar-benar berpihak kepada kepentingan public dan kebijakan publik, oleh sebab itu, keputusan  politik mengenai pelaksanaan tugas-tugas minimum pemerintah ini harus diputuskan secara otoriter oleh pengambil kebijakan, atau harus dicapai melalui konsensus Nasional karena hal ini menyangkut dengan kepentingan Nasional yang tidak boleh tidak harus segera dijalankan. Sedangkan untuk kepentingan kebijakan yang bertujuan untuk memacu pertumbuhan ekonomi hal ini boleh di putuskan melalui proses voting di DPR yang di dalam keputusan mana akan terdapat kepentingan kelompok dan kepentingan individu yang berusaha memaksimumkan utilitinya.

Sedangkan tugas pemerintah pada tingkat intermediate adalah: pertama:  mengatasi eksternalitas; seperti perlindungan lingkungan, pendidikan dasar. Kedua: mengatur monopoli; seperti kebijakan anti trust, pengaturan energi (utilitinya). Ketiga: adalah  menyediakan jaminan sosial seperti; pengaturan dana pensiun, dukungan keuangan keluarga, dan jaminan tenaga kerja.

Selanjutnya, tugas pemerintahan dalam fungsi aktifitas adalah mengkoordinasikan aktifitas swasta seperti mengembangkan ekonomi pasar, mengelompokan gagasan. Redistribusi asset; seperti redistribusi lahan dan kapital. Semua fungsi pemerintah tersebut bisa dijalankan kalau memenuhi beberapa syarat sebagai berikut:

1.      Pemerintah harus benar dalam asumsi bahwa ia adalah benevolent institution; yakni lembaga yang melindungi rakyat dan bertujuan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Selama ini, aparat pemerintah lebih banyak menampakan dirinya sebagai predatory institution; yang berperilaku rent seeking, sehingga kesejahteraan masyarakat tidak tercapai.

2.      Lembaga pemgambil keputusan dan kebijakan harus memahami betul-betul masalah public goods dan kepentingan public, pejabat yang menduduki lembaga ini harus benar-benar aspiratif dan representatif dari berbagai kelompok kepentingan dan pressure group.

3.      Perlu dibedakan antara perencanaan pembangunan bagi pertumbuhan ekonomi yang dilakukan oleh pihak swasta, dengan perencanaan pembangunan yang menyangkut dengan public goods. Antara yang dilakukan oleh pemerintahan daerah dan perencanaan pembangunan yang dilakukan pemerintahan pusat; artinya disatu sisi di perlukan perencanaan partisipatif untuk kepentingan public, di sisi lain, diperlukan perencanaan overview atau muddling throught untuk mencapai pemerataan kesempatan ekonomi yang diperoleh oleh masing-masing wilayah yang ada.

4.      Keputusan menyangkut dengan public goods dan barang public sebaiknya dicapai melalui konsensus Nasional, karena melalui proses voting, sulit keluar keputusan yang berpihak kepada ekonomi masyarakat komunal, karena kelemahan konstitusional yang ada, sehingga yang mewakili kepentingan masyarakat komunal dan masyarakat miskin sering di kalahkan dalam proses voting, itulah sebabnya, perlu ada konsensus Nasional yang menyangkut dengan keputusan masalah pengentasan kemiskinan (poverty alleviation), pendidikan masyarakat oleh karena itu, perlu ada lembaga yang memfasilitasinya sehingga memungkinkan proses bargaining berjalan dengan baik. Sebaliknya, jika aktifitas ekonomi tersebut masih bisa dicover melalui pasar, maka pengambilan keputusannya masih bisa dilakukan melalui pasar, terkecuali bagi keputusan yang menyangkut dengan pengelolaan sumber daya yang sudah tidak lagi melalui pasar, atau selagi Pareto efisien masih dapat dicapai, sehingga pengunaan sumberdaya dapat secara effesien, maka keputusannya sebaiknya melalui mekanisme pasar, tetapi jika Pareto Efisien dan Nash Equilibrium tidak bisa lagi dicapai, maka di perlukan pengambilan keputusan melalui mekanisme konsensus.  

Demikianlah, solusi yang dapat ditawarkan, sehingga jika kesejahteraan masyarakat itu sulit dicapai dengan proses voting dan mekanisme pasar, maka keputusan menyangkut public goods dapat dilakukan dengan melalui konsensus Nasional, dengan syarat diperlukan kelembagaan yang dapat memfasilitasi terjadinya bargaining terus menerus.

 

III. Penutup     

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan diatas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:     

1.      Motivasi ekonomi dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut dengan kepentingan publik  dan public goods dari para voters di lembaga perwakilan adalah didasarkan pada motivasi individual dari para voters, mereka berusaha memaksimalkan utility individual mereka terlebih dahulu, sehingga di dalam mengururtkan preferencenya, maka rank order yang pertama itu adalah self interestnya, bukan pada kepentingan publik. Oleh karena itu, keputusan yang menyangkut dengan kepentingan publik, baru tercapai setelah para voters dapat mencapai kepuasaanya dalam utilitynya, jika ia tidak bersiafat non satiation, maka sesudah utilitynya tercapai, maka dia baru akan berpihak kepada kepentingan publik, maka adalah wajar kalau sekarang ini anggota DPR di seluruh Indonesia melakukan upaya korupsi karena mereka kebanyakan adalah kelompok masyarakat yang secara ekonomi belumlah matang, sehingga rangk order preferencenya adalah self interestnya dulu. Dengan demikian solusinya untuk mengatasi ini haruslah membuat persyaratan kematangan ekonomi di dalam menentukan calon voters di DPR itu. Atau utilitynya yang membuat rank orders dengan kepentingan bersama sebagai urutan prioritas.

  1.  Di dalam proses voting sulit mencapai single picked,  single mayority suatu hal yang sangat sulit diwujudkan karena sifat sifat intransitifitas dari sifat utility konsumen, sehingga di dalam proses voting ada kecenderungan para pemilih dan pembuat keputusan itu untuk berkoalisi, jika tidak mayotias mutlak tidak akan tercapai, karena sifat self interes dan sifat voters yang selalu ingin memaksimumkan utilitynya sebagai rank order yang utama di dalam urutan preference.  Oleh karena itu, cara mencapai single mayority rule itu dalam proses pengambilan keputusan itu adalah:

·        Decision making unit harus dienforce dengan struktur incentif yang lebih baik, dengan nilai dan paham kebangsaan, nilai kebersamaan, nilai social capital, sehingga lebih berpihak kepada kepentingan publik

·        Kemudian di dalam strategi voting itu sendiri, para voters ini di enforce dengan adanya pressure group di luar parlement seperti aksi mahasiswa, dukungan politik masyarakat dan LSM

·        Perimbangan anggota legislatif itu dari berbagai golongan yang ada di tengah masyarkat, bukan berdasarkan wakil partai, karena partai hanya mengutamakan kepentingan kelompok.

·        Angota parlemen tersebut harus memiliki wawasan tentang ekonomi publik dan ekonomi politik, sehingga lebih dapat berpikir bagaimana tugas sebenarnya dari pemerintah terutama di adalam penyediaan barang publik.

  1. Implikasi dari dalil ketidak mungkinan Arrow terhadap pengambilan keputusan kepentingan publik dan publik goods adalah bahwa di lembaga pengambila keputusan akan selalu terjadi loby-loby politik yang didasari oleh motif ekonomi, oleh karena itu anggota legislatif itu haruslah telah memiliki kematangan di alam penghidupan ekonomi dan memiliki pengetahuan ekonomi publik dan ekonomi politik yang memadai.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Axelrod, R. (1997). Agent-Based Model of Competition and Collaboration, Princeton University Press, New Jersey.

Buchanan, J.M and Tullock, G. (1990). The Calculus  of Consent; Logical Foundation of Constitutional Democracy, The University of Michigan Press

Mallarangeng, R. (2002). Liberalizing New Order Indonesia: Ideas, Epistemic Community and Economic Policy Change, 1986-1992, KPG, Gramedia, Jakarta.

Muthoo, Abinary. ( 1999). Bargainning Theory with Applications, Cambridge University Press. London.

Ordeshook,  P.C. ( 1992). A Political Theory Primers, Routledge Chapmann and Hall Inc, New York.

Raghbendra Jha, ( 1998). Modern Public  Economics, Routledge , London.

Steven .J. B. (1993). The Economics of Collective Choice, West View Press, Boulder, San Francisco.

Tarumingkeng, R. C. T (2002) CD Kumpulan Bahan Kuliah Falsafah Sain (PPS 702), Pasacasarjana, IPB Bogor, tt.

 

 



[1]  Makalah Disampaikan Untuk Tugas Akhir Mata Kuliah Falsafah Sain (PPS 702) Sekolah Pascasarjana IPB Bogor, di Bawah  Bimbingan Prof. Dr. Ir. Rudy  C. Tarumingkeng, MSc. Prof. Dr. Ir. Syahrial Choto, Dr. Ir. Hardjanto.

[2]    Mahasiswa Program Doktor Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan (PWD), Sekolah Pascasarjana  IPB Bogor