© 2004  Putut Marhayudi                                                                 Posted , 27 April 2004

Makalah pribadi

Pengantar ke Falsafah Sains (PPS702)

Sekolah Pasca Sarjana / S3

Institut Pertanian Bogor

April  2004

 

 

Dosen:

Prof  Dr Ir  Rudy C Tarumingkeng

 

 

 

PENAMBANGAN DI KAWASAN HUTAN LINDUNG

DALAM PERPESTIF EKOLOGI

 

 

 

 

Oleh:

 

 

Putut Marhayudi

P062034244

prabumarhayudi@yahoo.com

 

 

Abstrac

 

Ada kabar yang cukup mengagetkan dan sangat tidak menarik bagi para ilmuwan dan pemerhati lingkungan dengan telah diterbitkanya Perpu Nomor 1/2004 tertanggal 11 maret tentang izin penambangan di hutan lindung. Padahal luas hutan lindung kini tinggal 23 % dan luas kawasan konservasi tinggal hanya 16 % dari total luas seluruh hutan di Indonesia. Upaya mengubah peruntukan dan fungsi kawasan hutan lindung untuk pertambangan hanya akan mendatangkan kerugian yang jauh lebih besar dibanding dengan manfaatnya. Dan seandainya penambangan itu dilakukan dengan pola terbuka maka  tidak menutup kemungkinan pada 5 – 10 tahun akan datang tidak ada lagi areal hutan yang tersisa. Dan yang ada adalah ancaman bencana alam seperti banjir dan tanah longsor. Padahal setelah generasi ini masih ada generasi yang akan datang yang juga memiliki hak yang sama untuk bisa hidup tenang tanpa adanya ancaman bencana.

  

Kata kunci : Penambangan, Hutan Lindung, Ekologi

 

 

I.       PENDAHULUAN

 

Latar Belakang

 

Indonesia terletak di garis Khatulistiwa yang terkenal akan kekayaan alamnya berupa hutan tropis dan sumberdaya perairan berupa hamparan laut, sehingga Indonesia dikenal oleh masyarakat dunia sebagai negara hutan dan juga negara maritim (laut). Selain kekayaan akan keanekaragaman hayati (bio-diversity) yang hidup dan terkandung di dalam hutan dan hamparan laut tersebut, Indonesia juga dikenal akan kekayaannya akan sumber daya mineral berupa tambang yang terkandung dalam perut buminya.

Kekayaan akan sumberdaya alam tersebut menjadi modal utama Pemerintah Indonesia selama ini untuk membangun guna mengangkat harkat dan martabat bangsanya agar dapat berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa besar lainnya di dunia. Upaya pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah selama ini adalah dengan mengeksploitasi hutan secara besar-besaran melalui usaha konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan berbagai kebijakan pembukaan hutan untuk lokasi transmigrasi, pencetakan lahan pertanian, ekstensifikasi perkebunan dengan pola monokultur, serta berbagai kegiatan lainnya.

Demikian juga halnya dengan potensi di bidang pertambangan. Berbagai jenis potensi tambang yang ada ditawarkan kepada para investor luar guna menanamkan modalnya di Indonesia, khususnya pada usaha eksploitasi tambang.

Sesuai dengan sifat dan karakteristikya, deposit tambang yang ada menyebar di berbagai lokasi menurut sejarah pembentukannya. Kekayaan akan sumberdaya tambang minyak bumi ditemui menyebar dari daratan sampai dengan di wilayah perairan lepas pantai. Demikian juga halnya dengan deposit timah, emas dan potensi tambang lainnya, menyebar dari puncak gunung sampai dengan di wilayah perairan. Kondisi demikian mengakibatkan potensi tambang sangat tidak mungkin dipilah-pilah menurut batasan-batasan administrasi pemerintahan yang ada. Demikian juga halnya dengan batasan-batasan ekologis yang ditemui di bagian permukaan, potensi tambang yang tersimpan di perut bumi sangat tidak mungkin dipilah-pilah menurut wilayah batasan ekologis yang ada. Sehingga sangat wajar sering ditemui adanya potensi tambang yang terkandung di dalam perut bumi beberapa kawasan yang telah ditetapkan sebagai kawasan lindung.

Tujuan ditetapkannya suatu kawasan lindung yang telah disepakati oleh seluruh negara-negara secara internasional pada dasarnya adalah guna menyelamatkan dan mempertahankan keberlangsungan suatu proses yang ada di suatu kawasan tertentu secara alami (tanpa adanya campur tangan manusia). Sehingga diharapkan melalui upaya penyelamatan proses alami tersebut nantinya kekayaan plasma nutfah (gene-resources) yang dikandung dalam suatu kawasan lindung dapat diwariskan pada genearsi berikutnya. Selain dari pada itu, umat manusia pada generasi berikut nantinya dapat mewarisi ilmu pengetahuan dan dapat belajar dari proses-proses alami yang terus-menerus berlangsung di kawasan tersebut. Jadi pada hakikatnya keberadaan suatu kawasan lindung lebih berorientasi pada kepentingan generasi yang akan datang. Sehingga pemanfaatan potensi tambang yang dikandung pada perut bumi suatu kawasan lindung akan menjadi terkesan egois dan lebih mengedepankan kepentingan ekonomi jangka pendek saat ini.

 

Tidak dapat dipungkiri bahwa kebijakan pemerintah melalui usaha eksploitasi sumberdaya alam yang dimiliki dengan menggandeng pemilik modal dalam negeri maupun asing yang berjalan selama ini telah sangat membantu dalam upaya membangun negeri dari ketertinggalan. Namun sering ditemui bahnwa upaya pemanfaatan dan pengeksploitasian sumberdaya tersebut secara keseluruhan dilakukan tanpa memperhitungkan faktor daya dukung lingkungan. Akibat yang sering ditemui di sekitar kawasan pembangunan tersebut adalah terjadinya perubahan komponen-komponen lingkungan akibat pembangunan yang telah dilakukan, sehingga mengakibatkan menurunnya kualitas lingkungan, yang pada gilirannya akan berakibat pada berubah dan menurunnya fungsi-fungsi lingkungan yang ada selama ini.

Hal yang dikhawatirkan tersebut juga sangat besar kemungkinan akan terjadi di berbagai lokasi usaha pertambangan. Teknologi eksploitasi potensi tambang yang ada dan tersedia selama ini mengharuskan pemegang kontrak karya dan kuasa pertambangan tersebut membuka kawasan dan menggali perut bumi, sehingga sangat besar kemungkinan akan terjadi proses pengrusakan dan pencemaran lingkungan. Hal tersebut diperberat lagi dengan ekses-ekses sosial yang muncul akibat beroperasinya usaha pertambangan semakin memperkuat kekhawatiran para pemerhati lingkungan yang “kurang sependapat” dengan ide pemanfaatan (eksploitasi) potensi tambang di beberapa kawasan hutan lindung.

 

 

II.  TINJAUAN PUSTAKA

 

 

 

Berdasarkan fungsi utamanya, Keputusan Presiden Nomor: 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung membedakan antara Kawasan Lindung dengan Kawasan Hutan Lindung. Yang dimaksud dengan Kawasan Lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber alam, sumberdaya buatan dan nilai sejarah serta budaya bangsa guna kepentingan pembangunan berkelanjutan.

Sedangkan yang dimaksud dengan Kawasan Hutan Lindung adalah kawasan hutan yang memiliki sifat khas yang mampu memberikan perlindungan kepada kawasan sekitar maupun bawahannya sebagai pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta memelihara kesuburan tanah.

Jadi pengelolaan kawasan lindung dalam hal ini adalah merupakan upaya penetapan, pelestarian dan pengendalian pemanfaatan kawasan lindung yang bertujuan untuk mencegah timbulnya kerusakan fungsi lingkungan hidup. Sedangkan sasaran pengelolaan kawasan lindung itu sendiri adalah mencakup:

1.   Meningkatkan fungsi lindung terhadap tanah, air, iklim, tumbuhan dan satwa serta nilai sejarah dan budaya bangsa, dan

2.  Mempertahankann keanekaragaman tumbuhan, satwa, tipe ekosistem dan keu-nikan alam.

Pengertian Kawasan Lindung tersebut di atas terdiri dari berbagai kawasan termasuk di dalamnya adalah Kawasan Hutan Lindung, yaitu mencakup:

  1. Kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya, yaitu terdiri dari: kawasan hutan lindung, kawasan bergambut dan kawasan resapan air,
  2. Kawasan perlindungan setempat, yaitu terdiri dari: sempadan pantai, sempadan sungai, kawasan sekitar danau/waduk dan kawasan sekitar mata air,
  3. Kawasan suaka alam dan cagar budaya, yaitu terdiri dari: kawasan suaka alam, kawasan suaka alam laut dan perairan lainnya, kawasan pantai berhutan bakau, taman hutan raya, taman nasional, taman wisata alam serta kawasan cagar budaya & ilmu pengetahuan,
  4. Kawasan rawan bencana alam.

Undang-undang Nomor: 41 tentang Kehutanan menetapkan hutan berdasarkan fungsi pokoknya, yaitu terdiri dari:

1.      Hutan Konservasi,

2.      Hutan Lindung, dan

3.      Hutan Produksi.

Disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Hutan Lindung adalah kawasan hutan yang yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut dan memelihara kesuburan tanah.

Sedangkan yang dimaksud dengan Hutan Konservasi adalah kawasan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, yaitu yang terdiri dari: kawasan hutan suaka alam, kawasan hutan peletarian alam, serta taman buru.

Kawasan Hutan Suaka Alam adalah hutan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan. Sedangkan yang dimaksud dengan Kawasan Hutan Pelestarian Alam adalah hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya.

Perbedaan prinsip Kawasan Hutan Pelestarian Alam dibandingkan dengan Kawasan Hutan suaka adalah diperbolehkannya memanfaatkan kawasan dengan tetap memperhatikan aspek kelestariannya.

Sebagaimana difahami bersama bahwa pengelolaan (termasuk aspek pemanfaatan) sumberdaya alam yang beraneka ragam di daratan, di lautan dan di udara, perlu dilakukan secara terkoordinasi dan terpadu dengan sumberdaya manusia dan sumberdaya buatan dalam pola pembangunan yang berkelanjutan dengan mengembangkan tata ruang dalam satu kesatuan tata lingkungan yang dinamis serta tetap memelihara kelestarian kemampuan lingkungan hidup sesuai dengan pembangunan berwawasan lingkungan.

Dalam upaya penataan ruang tersebut di atas, perencanaan yang dilakukan harus tetap mengacu pada fungsi utama kawasan yang meliputi kawasan lindung dan kawasan budidaya (Undang-undang Nomor : 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang).   

Pengertian Kawasan Lindung menurut UU No.24  tahun 1992 tersebut adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam dan sumberdaya buatan. Sedangkan Kawasan Budidaya adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan sumberdaya buatan.

Kegiatan pertambangan sering dinamakan kegiatan hulu dari rangkaian industri. Bahan tambang merupakan salah satu umpan untuk perindustrian yang kemudian diolah dalam berbagai bentuk atau benda sesuai dengan kehendak manusia Sudradjat, 1999). Pada pertambangan sendiri terdapat beberapa tahapan kegiatan, yaitu tahapan penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan atau feasibility study, penyiapan AMDAL, konstruksi, eksploitasi (penambangan dan pengolahan), transportasi, dan pemasaran atau penjualan.

Tahap eksploitasi atau penambangan adalah merupakan tahap yang paling utama dari seluruh rangkaian kegiatan penambangan sumberdaya mineral (Sudradjat, 1999). Semua penyelidikan yang telah dilakukan, sejak mencari mineral sampai ditemukannya mineral tersebut pada akhirnya bermuara pada kegiatan penambangan.

Secara garis besar penambangan dapat dibagi menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu penambangan terbuka (open pit) dan penambangan dalam/bawah tanah (underground mining). Dampak utama dari penambangan terbuka adalah  borosnya penggunaan lahan. Bekas penambangan akan berubah sama sekali, baik topografinya maupun kehidupan di atasnya. Tanah subur yang telah terbentuk ratusan tahun, telah dipindahkan (overburden). Dampak lainnya adalah buangan (tailing) hasil penggalian dan hasil pengolahan, yang bisa berbentuk zat padat, air ataupun kimia.  

 

Secara ringkas dampak utama kegiatan pertambangan (Sudradjat, 1999) dapat dikelompokkan dalam kerusakan bentuk permukaan bumi, ampas buangan (tailing), kebisingan, polusi udara, tumpahan minyak bumi, menurunnya permukaan bumi (land subsidence) , dan kerusakan karena transportasi alat dan pengangkut berat.

Kerusakan yang terekam adalah perubahan bentang alam akibat kematian biota, musnahnya kehidupan di sekitar lokasi serta kerusakan habitat dari ekosistem aslinya. Selain itu proses pelumpuran yang membawa material yang terkontaminasi merkuri dan asam-asam kuat yang digunakan pada proses tersebut menjadi bumerang bagi masyarakat mengingat bahwasanya mereka juga menggantungkan sumber air bersihnya dari sungai/badan air tersebut. Sedangkan untuk merkuri karena mempunyai potensi kontak langsung ataupun melalui rantai pangan, namun bahayanya memang tidak terasakan secara langsung karena sifatnya yang komulatif (Moersidik, 2001).

Penambangan timah, nikel, bauksit dan batubara pada umumnya dilakukan dengan pertambangan terbuka. Emas, perak, tembaga dan mineral logam ikutan lainnya ditambang baik secara terbuka maupun dengan teknik pertambangan bawah tanah. Pertambangan terbuka lebih banyak menimbulkan dampak lingkungan dibandingkan dengan pertambangan bawah tanah (Sudradjat, 1999).

Jika disarikan, dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh pengusahaan komoditas mineral indonesia adalah sebagai berikut (Sudradjat, 1999):

 

 

Tabel 1. Dampak Lingkungan Akibat Pertambangan Mineral

 

Komoditas Mineral

Komponen Lingkungan Yang Terkena Dampak

Timah

Tanah, topografi, flora & fauna, air & biota, sosial budaya

Nikel

Tanah,  flora & fauna, air & biota, sosial budaya

Bauksit

Tanah,  flora & fauna, air & biota, sosial budaya

Batubara

Tanah, topografi, flora & fauna, air & biota, udara &  kebisingan, sosial budaya

Tembaga

Tanah, topografi, flora & fauna, air & biota, udara &  kebising-an, sosial budaya, warisan nasional (cagar alam & cagar budaya)

Emas

Tanah, topografi, flora & fauna, air & biota, udara &  kebising-an, sosial budaya, warisan nasional (cagar alam & cagar budaya)

Perak

Tanah, topografi, flora & fauna, air & biota, udara &  kebising-an, sosial budaya, warisan nasional (cagar alam & cagar budaya)

Bahan Galian Gol.C

Tanah, topografi, flora & fauna, warisan nasional (cagar alam & cagar budaya)

 

 

 

Penambangan timah di Pulau Bangka dan pulau lainnya telah berlangsung lebih dari 150 tahun . dampak lingkungan yang dihadapi terutama adalah menyangkut masalah topografi (Sudradjat, 1999). Tercatat lebih kurang 185 km2 luas lobang total di Pulau Bangka dibandingkan dengan luas pulau 11.582 km2 (±  1,6%).

Batubara banyak ditambang di Sumatera Selatan, Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan. Pengusahaan sumberdaya mineral batubara secara besar-besaran dilakukan dengan metode pertambangan terbuka. Lubang-lubang yang ditinggalkan tidak dapat ditata kembali dengan baik. Biasanya lubang berisi lumpur, bukan saja air genangan dari hujan, namun juga berasal dari rembesan tanah. Sementara itu pencucian batubara dapat merusak kualitas air. Material lepas yang menumpuk sebagai tanah galian sangat mudah tererosi. Sungai dapat tercemari oleh muatan material tanah dan lumpur.

 

Dampak pertama dari usaha pertambangan tembaga-emas Grasberg, Irian Jaya yang diusahakan oleh PT. Freeport Indonesia adalah jumlah ampas (tailing) yang mencapai 66.000 metrik ton/hari. Dengan akan ditingkatkannya produksi menjadi 300 ribu metrik ton/hari, maka ampas (tailing) yang dihasilkan akan menjadi 4 kali lebih besar (Sudradjat, 1999). Dampak lingkungan yang sangat unik dari  pertambangan ini adalah dugaan menciutnya glasier atau es abadi satu-satunya yang terdapat di daerah tropis akibat adanya kegiatan pertambangan tersebut.

 

Dampak lainnya yang juga unik dari pertambangan tersebut adalah masalah sosial budaya. Dapat dibayangkan bahwa kegiatan pertambangan yang menggunakan teknologi super dan serba modern tersebut langsung dihadapkan dengann masyarakat yang berada pada tahap pre-mo.

 

Dalam hal penambangan emas, usaha yang selama ini beroperasi di Indonesia (Saruan, 2001) pada umumnya terdiri:

 

1.      Pertambangan Skala Besar

 

Terdiri dari Kontrak Karya (KK) dan Kuasa Pertambangan (KP).

Kontrak Karya (KK) adalah persetujuan kerjasama antara pemerintah dengan pihak swasta asing atau joint venture Indonesia untuk mengusahakan pertam-bangan non-migas.

Sedangkan Kuasa Pertambangan (KP) adalah suatu pedrtambangan yang diberikan kepada Perusahaan Negara, Perusahaan Daerah dcan badan lain atau perorangan untuk melakukan usaha pertambangan.

2.      Pertambangan Rakyat (Skala Kecil)

Terdiri dari Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) dan Pertambangan Skala Kecil (PSK).

Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) adalah suatu wilayah pertambangan yang dikelola oleh rakyat secara tradisional dan semi mekanis. Bentuk perizinannya adalah Surat Izin Pertambangan Rakyat Daerah (SIPRD). Sedangkan Pertambangan Skala Kecil (PSK) adalah suatu wilayah pertambangan yang dikelola oleh rakyat (tergabung dalam suatu koperasi) secara semi mekanik dan mekanik.

3.  Pertambangan Tanpa Izin; yaitu pertambangan yang dilakukan oleh rakyat secara illegal yang dilakukan bukan pada lokasi resmi yang telah ditentukan oleh pemerintah.

Kegiatan penambangan emas tanpa izin (PETI) menimbulkan pembukaan dan penghancuran bahu-bahu sungai sampai sejauh 50 sampai 200 m di kedua sisinya (Sudewo, 2001). Akibat kegiatan ini terjadi proses pengendapan lumpur secara besar-besaran pada sungai sehingga menyebabkan peningkatan beban sedimen dan penyempitan pada aliran sungai.

Selain itu, penggunaan larutan merkuri secara berlebihan menyebabkan terkontaminasinya air sungai di sekitarnya yang merupakan sumber air minum masyarakat. Sebagian merkuri terbuang ke sistem sungai/aliran sungai dan terbawa oleh air atau mengendap di dalam sedimen sungai dalam bentuk anorganik atau mengendap sebagai sedimen sungai. Merkuri anorganik dapat berubah bentuk dengan proses mikro-organisme. Bentuk anorganik tersebut sangat beracun sebagaimana dapat/siap larut dan mampu berakumulasi secara biologi di dalam jaring rantai makanan (Sudewo, 2001).

Sifat senyawa merkuri tidak dapat terurai dan terakumulasi di lingkungan dalam jangka waktu yang lama. Merkuri melalu reaksi kimia dapat berubah dalam bentuk yang sangat beracun, yaitu metil merkuri yang dapat larut dengan mudah dan diserap oleh biota air (plankton, benthos dan ikan). Metil merkuri sangat lambat lepas dari tubuh sehingga terakumulasi pada biota air. Sekitar 80% jumlah merkuri ditemukan pada ikan adalah dalam bentuk yang sangat beracun (metil merkuri).

Melalui proses jaring rantai makanan (food chain), merkuri akan terakumulasi dari biota air yang kecil sampai dengan ikan yang lebih besar yang tertangkap dan dimakan oleh penduduk. Ikan tersebut mengandung merkuri yang tnggi (walaupun kadar merkuri di dalam air tidak begitu tinggi. Hal tersebut berpotensi mempengaruhi kesehatan masyarakat yang hidup di tepi sungai, umumnya dalam jangka pendek dan jangka panjang. Gejala psikologi merkuri dan logam berat pada manusia seperti sakit kepala, fungsi otak, fungsi otot, fungsi ginjal dan kelainan lahir dan kematian. Pengaslaman yang telah dialami oleh masyarakat Minamata di Jepang menjadi kesaksian dari dampak yang mematikan dan berjangka waktu panjang dari kontaminasi merkuri terhadap lingungan.

Berdasarkan hasil survey terhadap para penambang (Inkiriwang, 2001), didapatkan bahwa dari jumlah merkuri yang dipergunakan mereka, 20% terbuang ke perairan dan hilang dalam proses pembakaran (menguap). Merkuri yang hilang dalam proses pembakaran dapat dihirup oleh penambang sedangkan yang lainnya akan lepas ke udara dan melalui proses presipitasi akan kembali ke bumi sebagai hujan yang mengandung merkuri. Sedangkan merkuri yang terbuang ke perairan dalam bentuk bebas atau anorganik, bentuk ini dapat berubah menjadi merkuri organik melalui proses metilisasi bakteri yang bersifat lebih toksik.

Perubahan lingkungan yang ditimbulkan oleh penambangan tanpa izin di Cagar Alam Panua terhadap sistem sungai (Sudewo, 2001) adalah:

·  Sedimentasi di dalam sistem sungai dengan nilai partikel-partikel yang terlarut dan tingkat kekeruhan di sungai melebihi nilai ambang batas. Sedimentasi yang dihasilkan dari proses erosi yang luas akibat terjadi kegiatan penambangan,

·  Nilai kandungan merkuri di daerah Cagar Alam Panua sudah di atas ambang batas,

·  Sungai-sungai di daerah Cagar Alam Panua mengalami degradasi lingkungan,

·  Akibat adanya kegiatan penambangan, luas hutan yang terbuka di daerah Cagar Alam Panua sekitar 173,1567 ha.

Beroperasinya pertambangan tanpa ijin (PETI) dapat menyebabkan beberapa hal (Inkiriwang, 2001), di antaranya adalah:

·  Hilangnya penerimaan daerah,

·  Kerusakan lingkungan hidup,

·  Iklim investasi menjadi semakin tidak kondusif,

·  Terjadinya pemborosan sumberdaya mineral,

·  Terjadinya pelecehan hukum, serta

·  Mengakibatkan kerawanan sosial.

 

III. TELAAH EKOLOGI

 

 

 

 

a.   Pencemaran Lingkungan

 

a.1.   Pencemaran Udara dan Kebisingan

 

Kegiatan pertambangan di berbagai lokasi, termasuk di kawasan lindung diperkirakan akan menimbulkan dampak terhadap komponen kualitas udara dan kebisingan. Berbagai komponen kegiatan yang diperkirakan akan menimbulkan dampak tersebut adalah kegiatan mobilisasi alat berat dan material, kegiatan pematangan lahan, pembangunan infrastruktur.

Kegiatan pematangan tanah akan menimbulkan debu yang berasal dari tanah yang tersebar ke udara. Sebaran dampak terhadap kualitas udara dan kebisingan tersebut dapat menyebar di sepanjang jalan yang dilalui kendaraan pengangkut. Demikian juga halnya dengan kegiatan pembangunan infrastruktur dan utilitas, sumber dan sebaran dampaknya sama seperti kegiatan pematangan tanah.

Kegiatan mobilisasi kendaraan bermotor (pengangkut alat berat dan material) diperkirakan akan meningkatkan konsentrasi gas-gas pencemar udara terutama NOX, CO, SO2, hidrokarbon dan debu. Gas pencemar ini diemisikan dari pembakaran bahan bakar kendaraan tersebut, terlebih apabila kendaraan tersebut menggunakan bahan bakar solar, sehingga akan sangat mempengaruhi kualitas udara di kawasan.

Menurunnya kualitas udara akan sangat berpengaruh terhadap kualitas kehidupan biota yang tinggal dan hidup dalam kawasan. Debu-debu yang beterbangan akan menempel pada permukaan daun sehingga menutup permukaan daun dan mulut daun (stomata). Akibatnya tumbuhan akan sulit bernafas dan cahaya matahari akan terhalang mengakibatkan proses fotosintesa menjadi terhambat, yang pada gilirannya akan menurunkan kualitas hidup flora. Demikian juga halnya dengan peeningkatan kebisingan akan berpengaruh terhadap kualitas hidup satwa yang hidup di dalam kawasan. Satwa-satwa menjadi stress sehingga akan berpengaruh terhadap tingkat produktivitas (kemampuan menghasilkan keturunan).

 

a.2.   Pencemaran Badan Air  Permukaan (Sungai/Danau)

 

Pada tahap konstruksi komponen kegiatan yang diperkirakan akan menjadi sumber dampak terhadap kualitas air sungai atau danau adalah kegiatan pematangan lahan. Kegiatan pematangan lahan yang dilakukan dengan cara penebangan vegetasi/tumbuhan, pengupasan tanah pucuk (topsoil), penggalian dan pengurugan tanah (cut and fill) akan mengakibatkan berubahnya bentuk lahan dan hilangnya vegetasi penutup tanah. Pada saat kegiatan pematangan lahan ini dilakukan, diperkirakan akan menimbulkan erosi apabila kegiatan pematangan lahan tidak dilakukan dengan teknik yang baik (misalnya tidak dibangun tanggul-tanggul pengendali erosi dan kolam pengendap lumpur). Keadaan ini dapat menyebabkan meningkatnya kandungan lumpur atau sedimen di sungai dan danau  terutama jika pematangan lahan dilakukan pada musim hujan. Dengan demikian, kualitas air dari badan air yang ada di sekitar kawasan akan menurun, terutama untuk parameter kekeruhan, zat padat terlarut, zat padat tersuspensi, dan larutnya unsur hara, misalnya nitrogen, fospat dan silika akan meningkat konsentrasinya.

Peningkatan kadar lumpur secara langsung akan meningkatkan kekeruhan air akibat bertambahnya kadar zat padat terlarut (TDS) dan zat pada tersuspensi (TSS) di dalam air sungai.

Air yang keruh akibat masuknya partikel zat padat terlarut dan tersuspensi akan menghambat penetrasi cahaya matahari ke dalam air sehingga proses fotosintesis dari biota air yang berfungsi sebagai produsen primer, misalnya fitoplankton, ferifiton dan tumbuhan air lainnya akan terhambat. Terjadinya gangguan proses fotosintesis selain akan mengakibatkan turunnya populasi biota juga akan menurunkan produksi oksigen terlarut di dalam air. Pelumpuran pada air sungai akan meningkatkan pula kelarutan unsur hara (seperti nitrogen dan fospat) serta silika. Peningkatan proses dekomposisi senyawa kimia yang berasal dari proses erosi tersebut juga akan meningkatkan kebutuhan oksigen kimiawi (Chemical Oxygen Demand/COD), sehingga kadar oksigen terlarut dalam air sungai akan semakin rendah.

Pada tahap operasi penambangan dilakukan, sumber pencemaran yang paling potensial adalah berupa buangan lumpur (tailing) atau juga bahan-bahan kimia tertentu yang bersifat B3 (bahan berbahaya dan beracun) serta logam-logam berat yang dipergunakan dalam proses penambangan. Bahan-bahan tersebut terlepas (terbuang) selama proses penambangan berlangsung, sehingga masuk ke badan-badan air sungai/danau. Sedangkan cemaran bahan-bahan kimia B3 dan logam-logam berat yang lepas ke perairan umum akan bersenyawa dengan ion-ion garam dan membentuk senyawa yang bersifat akumulatif dan toxic bagi penduduk yang memanfaatkan keberadaan air permukaan sungai/danau tersebut.

 

b.      Kerusakan Lingkungan

 

b.1.  Struktur & Kesuburan Tanah

 

Kemungkinan yang akan terjadi akibat dilakukannya eksploitasi tambang di lokasi kawasan adalah perubahan kondisi morfologi dengan adanya kegiatan pematangan tanah. Selain dari pada itu terjadi pula perubahan tekstur dan struktur tanah. Perubahan tekstur dan struktur tanah ini akan mempengaruhi tingkat permeabilitas tanah yang selanjutnya akan mempengaruhi kemampuan resapan air.

Pada tahap operasi penambangan dilakukan, tanah akan digali dan diangkat ke luar sehingga kembali akan terjadi pembalikan tanah yang berakibat pada perubahan tekstur dan struktur tanah. Perubahan tekstur dan struktur tanah ini akan mempengaruhi tingkat kesuburan tanah. Lapisan top-soil yang subur akan terkupas, sehingga yang tertinggal adalah lapisan yang relatif kurang subur. Kehidupan organisme tanah menjadi terganggu, sehingga semakin memperkuat terjadinya penurunan tingkat kesuburan tanah kawasan.

Berkurangnya tingkat kesuburan tanah dengan sendirinya akan sangat berpengaruh pada pertumbuhan vegetasi di atasnya. Padahal vegetasi (tum buhan) merupakan faktor penentu tingkat produktivitas suatu kawasan melalui kemampuannya berfotosintesis. Tingkat produktivitas yang menurun akan berakibat pada struktur pola kehidupan ekosistem kawasan.

 

b.2.  Kuantitas Air Tanah

 

Kegiatan yang diperkirakan akan mempengaruhi kuantitas air tanah pada tahap konstruksi adalah pematangan tanah, mobilisasi tenaga kerja dan pembangunan infrastruktur serta utilitas. Air tanah diperlukan untuk keperluan konstruksi bangunan (pengadukan material dan sebagainya) maupun untuk keperluan tenaga kerja konstruksi (buruh) seperti MCK. Dengan adanya pengambilan air tanah untuk keperluan tersebut maka diperkirakan akan dapat menurunkan kuantitas air tanah di dalam tapak. Sedangkan adanya pembangunan infrastruktur akan mengurangi lahan terbuka yang berfungsi meresapkan air ke dalam tanah.

Berkurangnya kuantitas air tanah dengan sendirinya akan mempengaruhi kualitas hidup tumbuhan serta kehidupan organisme tanah. Menurunnya jumlah (kuanrtitas) air tanah akan sangat berpengaruh pada kemampuan daya serap hara (nutrien) bagi tumbuhan. Sedangkan organisme tanah sangat berperan dalam proses perombakan bahan-bahan organik, yang pada gilirannya akan mempengaruhi penyediaan hara bagi kehidupan tumbuhan (flora). Ketersediaan hara yang berkurang karena dipengaruhi oleh keterbatasan kuantitas air tanah akan berpengaruh terhadap kualitas hidup flora yang tumbuh di atasnya; sedangkan kualitas hidup tumbuhan (flora) akan sangat mempengaruhi kehidupan seluruh biota yang ada lainnya di kawasan tersebut.

 

b.2.  Rusaknya Habitat

 

Sebagaimana difahami bahwa teknologi kegiatan penambangan yang ada dan tersedia sampai dengan saat ini adalah melalui pembongkaran tanah dimana lokasi deposit tambang tersebut berada. Pembongkaran tanah pada lokasi tersebut dengan sendirinya akan berakibat pada keberadaan vegetasi yang ada, struktur dan tekstur tanah berubah, pola aliran tata air kawasan terganggu, yang pada gilirannya kondisi habitat secara keseluruhan menjadi berubah dan terganggu.

Habitat adalah merupakan tempat dari berbagai organisme hidup, termasuk di dalamnya adalah satwa untuk makan dan minum, berlindung serta berkembang biak. Komponen-komponen biotik dan abiotik kawasan menjadi terganggu, pola kehidupan dan rantai makanan ekosistem menjadi rusak, yang pada gilirannya tujuan idealis ditetapkannya suatu kawasan lindung yaitu untuk menyelamatkan dan mempertahankan keberlangsungan suatu proses yang ada di suatu kawasan tertentu secara alami (tanpa adanya campur tangan manusia) menjadi tidak tercapai. Pewarisan kekayaan plasma nutfah (gene-resources) yang dikandung dalam suatu kawasan lindung guna dapat diwariskan pada generasi berikutnya, serta pewarisan ilmu pengetahuan agar generasi berikut nantinya dapat belajar dari proses-proses alami yang terus-menerus berlangsung di kawasan tersebut menjadi gagal.

 

b.3.   Keanekaragaman Hayati (Bio-diversity)

 

Penetapan suatu kawasan lindung pada awalnya didasarkan pada kekhasan yang dimiliki oleh suatu kawasan tertentu sedemikian rupa sehingga dianggap perlu untuk dipertahankan keberadaanya secara alami. Sehingga penetapan kawaasan tersebut nantinya diharapkan dapat dijadikan sumber ilmu pengetahuan serta dapat diwariskan kepada generasi berikutnya. Diantara kekhasan yang dimiliki kawasan tersebut sehingga ditetapkan sebagai kawasan lindung adalah kekayaan kawasan tersebut akan plasma nutfah (keanekaragaman hayati).

Secara alami plasma nutfah yang terkandung dalam kawasan akan secara terus menerus melakukan proses alami (termasuk juga di dalamnya terjadi perkawinan silang antar gen) sehingga secara alami pula kawasan tersebut menjadi bank genetik (gene-resources) yang sangat potensial dan langka. 

Dengan akan dilakukannya kegiatan penambangan di kawasan tersebut yang difahami akan melakukan penebangan vegetasi dan pembongkaran tanah, maka habitat bagi hidupnya berbagai jenis plasma nutfah tersebut dengan sendirinya menjadi rusak. Proses alami yang diharapkan akan menjadi sumber bank genetik (gene-resources) yang sangat potensial dan langka menjadi hilang secara percuma.

 

b.4.   Pencemaran Genetis

 

Dengan akan dilakukannya kegiatan penambangan pada suatu kawasan, maka aktivitas ekonomi di kawasan tersebut akan menigkat serta secara bertahap konsentrasi penduduk di sekitar kawasan akan meningkat. Berbagai kegiatan dilakukan oleh penduduk tersebut, baik yang bekerja sebagai pekerja tambang maupun yang memanfaatkan aktivitas penambangan tersebut sebagai peluang dan kesempatan untuk berusaha. Segala kegiatan sehari-hari dilakukan oleh penduduk pada kawasan tersebut, termasuk di antaranya adalah beternak dan memelihara hewan-hewan peliharaan seperti anjing, kucing dan sebagainya, termasuk juga bertanam berbagai jenis tanaman pertanian dan perkebunan yang jenisnya berasal dari luar kawasan (jenis eksotik).

Masuk dan berkembangnya jenis-jenis eksotik tersebut dengan sendirinya kemungkinan akan terjadi “perkawinan silang” antara jenis eksotik dengan jenis-jenis hayati setempat (jenis endemik); sehingga dikhawatirkan akan terjadi pencemaran genetis yang menyimpang dari harapan semula, yaitu kawasan lindung sebagai bank genetik (gene-resources) alami tanpa campur tangan manusia yang diharapkan dapat dijadikan sebagai sumber ilmu pengetahuan bagi umat manusia.

 

b.5.   Hilangnya Sumber Ilmu Pengetahuan

 

Dengan rusaknya habitat kawasan akibat kegiatan penambangan, serta kemungkinan terjadinya “pencemaran genetis” antara jenis plasma nutfah endemik setempat dengan jenis eksotik yang dibawa oleh penduduk yang bermukim di sekitar kawasan, maka kehidupan biota kawasan serta proses alami perkawinan silang antar berbagai jenis endemik menjadi terganggu.

Akibat yang sangat tidak diharapkan dari terganggunya kehidupan biota kawasan serta proses alami perkawinan silang antar berbagai jenis endemik tersebut adalah hilangnya fungsi kawasan sebagai bank genetik (gene-resources) alami dan sebagai sumber ilmu pengetahuan bagi umat manusia.

 

c.   Rusaknya Struktur Sosial-Ekonomi Masyarakat

c.1.   Berubahnya Pola Mata Pencaharian.

 Indonesia selama ini dikenal sebagai negara agraris yang sebagain besar masyarakatnya menggantungkan hidupnya dengan cara bertani. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa nasib para petani Indonesia selama ini masih sangat jauh dari memadai. Diantara berbagai jenis pekerjaan dan mata pencaharian yang dijalani oleh masyarakat di Indonesia, nasib para petani secara umummasih tertinggal dan memprihatinkan dibandingkan dengan yang lainnya.

Mulai dari bercocok tanam, perawatan sampai dengan siap panen, para petani menghadapi

Banyak gangguan dan ancaman terhadap tanaman yang mereka tanam yang harus mereka hadapi, mulai dari bercocok tanam, perawatan sampai dengan siap panen. Gangguan dan ancaman tersebut diantaranya adalah menyangkut: harga pupuk dan pestisida yang tinggi, tingkat kualitas benih yang rendah, gangguan jamur dan penyakit, serangan hama sampai dengan tantangan dari alam berupa banjir dan musim kekeringan, dan seterusnya. Sehingga kesemuanya itu mengakibatkan ketidakpastian yang sangat tinggi. Hal tersebut masih lagi harus dihadapkan dengan tingkat harga jual yang belum memihak kepada para petani.

Oleh sebab itu, bagi masyarakat petani, khususnya generasi muda, tawaran pekerjaan dari sektor lain yang menjanjikan suatu kepastian yang relatif tinggi akan sangat menarik. Hal tersebut terlihat dengan semakin tingginya tingkat urbanisasi masyakrakat pedesaan yang mencari kerja di perkotaan. Demikian juga halnya dengan banyaknya generasi muda di pedalaman Kalimantan yang saat ini bekerja sebagai penambang pada kegiatan Pertambangan Emas Tanpa Ijin (PETI).

Kecenderungan yang sama akan terjadi apabila dibuka kegiatan pertambangan di beberapa kawasan lindung, yang pada umumnya berlokasi di pedalaman (pedesaan). Kegiatan pertambangan tersebut dengan sendirinya akan “menarik” dan menyedot tenaga kerja, khususnya generasi muda, dari masyarakat petani yang ada di pedesaan di sekitar kawasan.

Hal tersebut tentunya akan mengancam keberadaan negara Indonesia sebagai negara agraris dan semakin menjauh dari cita-cita swasembada pangan. Kondisi negara yang saat ini yang masih banyak mengimpor produk-produk pertanian dari negera luar, akan semakin terpuruk dan tergantung dari negara luar sebagai negara penghasil produk pertanian yang lebih mapan.

 

c.2.   Pola Hidup Konsumtif & Berubahnya Tata Nilai

 

Masyarakat petani Indonesia selama ini dikenal sebagai masyarakat yang arif dan hemat, selalu dapat mengatur penghasilan mereka guna menghadapi musim-musim paceklik, seperti musim kemarau dan musim banjir. Dalam pengaturan terserbut, dimasyarakat dikenal adanya “lumbung” dan bedrbagai istilah lainnya yang ada di setiap daerah di Indonesia. Lumbung tersebut pada hakekatnya adalah kearifan mereka guna membantu sesama petani yang menghadapi kesulitan keuangan dikarenakan bencana hama penyakit tanaman, bencana alam seperti banjir dan kekeringan, dan sebagainya.

Dengan akan dibukanya kegiatan pertambangan di beberapa kawasan lindung, yang pada umumnya berlokasi di pedalaman (pedesaan), dengan sendirinya akan “menarik” dan menyedot tenaga kerja, khususnya generasi muda, dari masyarakat petani yang ada di pedesaan di sekitar kawasan. Pola dan kearifan berhemat untuk menghadapi masa paceklik tersebut dengan sendirinya menjadi tidak akrab lagi di kalangan mereka. Yang tumbuh dan berkembang justru adalah pola hidup “konsumtif”. Tingkat resiko terhadap penghasilan mereka menjadi relatif aman dibanding pada saat menjadi petani, sehingga pola hidup konsumtif tersebut menjadi pola yang populer. Yang pada gilirannya tata nilai yang tertanam pada mereka adalah tata nilai materialistis, yang menilai dan mengukur tingkat keberhasilan hidup sesorang pada ukuran kepemilikan materi.

 

 

c.3.   Meningkatnya Perjudian, Prostitusi & Kriminalitas

 

Sudah menjadi gambaran umum, bahwa suatu kawasan usaha pertambangan selalu tumbuh menjadi pusat-pusat pertumbuhan ekonomi masyarakat. Dengan besarnya modal yang ditanamkan dalam suatu usaha pertambangan, maka dengan sendirinya peredaran uang berikut transaksi dagang banyak terjadi di lokasi sekitar kawasan. Mudahnya mendapatkan uang di kawasan sekitar lokasi tersebut semakin menjadi daya tarik bagi sebagian masyarakat, sehingga konsentrasi pendudukpun semakin meningkat.

Mengingat lokasi kawasan merupakan kawasan yang terpencil dan jauh dari berbagai aktifitas lainnya, maka sebagian besar masyarakat yang terkonsentrasi tersebut (yang relatif memiliki uang yang “berlebih”) sangat membutuhkan sarana hiburan. Sarana hiburan yang biasa tersedia adalah  berbagai bentuk perjudian.

Para pekerja tambang yang biasanya bekerja dan tinggal di sekitar lokasi tambang umumnya bekerja dengan meninggalkan keluarganya di desa asal mereka; dan mereka biasanya kembali ke keluarga masing-masing pada waktu-waktu tertentu dengan membawa pulang uang hasil kerja. Dikarenakan bekerja jauh dari keluarga selama jangka waktu tertentu, maka prostitusi juga biasanya berkembang bersamaan dengan berbagai bentuk perjudian yang tersedia. Pada gilirannya, kriminalitas juga akan meningkat seiring dengan perjudian dan prostitusi tersebut.

 

Dari berbagai dampak terhadap struktur sosial-ekonomi masyarakat tersebut di atas, yang paling mengkhawatirkan adalah setelah kegiatan pertambangan tersebut selesai. Sumber perputaran uang di sekitar lokasi kawasan pertambangan tersebut yang selama ini menjadi andalan sudah tidak ada, maka masyarakat (pekerja tambang) yang selama ini relatif mudah mendapatkan uang menjadi kehilangan sumber. Sedangkan selama ini pola hidup sudah terbiasa konsumtif dengan tata nilai materialistis. Hal tersebut diperparah lagi dengan ketrampilan yang dimiliki selama ini terbatas hanya sebagai pekerja tambang (tidak terampil lagi untuk bertani). Sehingga pada akhirnya kesemuanya akan menjadi “beban sosial” bagi pemerintah.

 

 

V. PENUTUP

 

 

Masalah kerusakan lingkungan akibat penambangan di hutan lindung merupakan masalah kompleks  yang terkait dengan berbagai sektor kehidupan lain. Tindakan pemerintah yang melegalkan penambangan dengan metode terbuka di hutan lindung melalui Perpu nomer 1 tahun 2004 akan mengancam kehidupan manusia yang selama ini bergantung pada peranan ekologis hutan lindung. Padahal penduduk yang hidup di sekitar di hutan lindung yang berada di 25 kabupaten kota di Indonesia umumnya dalam kondisi yang jauh dari kecukupan. Bahkan  30 persen diantaranya masih hidup di bawah garis kemiskinan. Kesimpulanya perlu meninjau kembali Perpu nomer 1 tahun 2004 yang melegalkan penambangan secara terbuka di hutan lindung karena  secara ekologis kegiatan tersebut akan mengancam kehidupan manusia.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

 

1. Direktorat Bangda Depdagri. 1993. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Ta-hun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. dalam: Himpunan Peraturan Perundang-undangan di Bidang Pemerintahan Daerah dan Lingkungan Hidup. Jakarta. Hal.169-199.

 

2. Direktorat Bangda Depdagri. 1993. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor: 32 Tahun 1990 tantang Pengelolaan Kawasan Lindung. dalam: Himpunan Peraturan Perundang-undangan di Bidang Pemerintahan Daerah dan Lingkungan Hidup. Jakarta. Hal.457-468.

 

3.      Direktorat Bangda Depdagri. 1993. Undang-undang Nomor: 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang. dalam: Himpunan Peraturan Perundang-undangan di Bidang Pemerintahan Daerah dan Lingkungan Hidup. Jakarta. Hal.285-298

 

4.      Gunalan, Nurbaity, I dan Widayati, N. 2001. Standarisasi Metodologi Penelitian Dalam Pemantauan Pencemaran Limbah/Tailing. dalam: Rumusan Seminar & Lokakarya Nasional Manajemen Pertambangan Berwawasan Lingkungan. Dipublikasikan oleh Universitas Sam Ratulangi. Jakarta. Hal.147-152.

 

5.      Inkiriwang, P. 2001. Pertambangan Tanpa Izin (PETI) Serta Dampak Yang Ditim-bulkannya. dalam: Rumusan Seminar & Lokakarya Nasional Manajemen Pertambangan Berwawasan Lingkungan. Dipublikasikan oleh Universitas Sam Ratulangi. Jakarta. Hal.274-278.

 

6.      www. Kompas, Artikel penambangan di hutan lindung

 

7.       Nuzuluddin, N dan Nasrullah. 2000. Penambangan Pasir di Muara Sungai Liku Dalam Rangka Pengembangan Wilayah Kecamatan Paloh. Tugas Mata Kuliah Pengembangan Wilayah Program Studi Rekayasa Pertambangan ITB. Tidak diterbitkan. 17 hal.

 

8.      Moersidik, S.S. 2001. Pengendalian Pencemaran Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) Akibat Pertambangan Tradisionil. dalam: Rumusan Seminar & Lokakarya Nasional Manajemen Pertambangan Berwawasan Lingkungan. Dipublika-sikan oleh Universitas Sam Ratulangi. Jakarta. Hal.139-146.

 

9.      Saruan, J. 2001. Kebijakan Pengelolaan Pertambangan Skala Kecil dan Pertambang-an Skala Besar di Sulawesi Utara. dalam: Rumusan Seminar & Lokakarya Nasional Manajemen Pertambangan Berwawasan Lingkungan. Dipublika-sikan oleh Universitas Sam Ratulangi. Jakarta. Hal.153-162.

 

10.  Soedewo, W. 2001. Dampak Kegiatan Penambangan Tanpa Izin di Gunung Pani Terhadap Sistem Sungai. dalam: Rumusan Seminar & Lokakarya Nasional Manajemen Pertambangan Berwawasan Lingkungan. Dipublikasikan oleh Universitas Sam Ratulangi. Jakarta. Hal.207-217.

 

11.   Sudradjat, A. 1999. Tteknologi & Manajemen Sumberdaya Mineral. Penerbit ITB Bandung. Bandung. 254 hal.

 

12.   Pembaruan, Artikel Izin Penambangan di hutan Lindung dan kawasan konservasi 7 Pebruari 2004-04-27

 

13.  www.papuaindependent.com, Artikel penambangan di hutan lindung ancam kehidupan 7 juta orang

 

14.  www.tempo.co.id, Artikel pemerintah terbitkan Perpu Izin tambang di Hutan Lindung