5. 

BIOLOGI DAN PENGENDALIAN RAYAP 
HAMA BANGUNAN DI INDONESIA

 Oleh:  Prof. Rudy C Tarumingkeng, PhD

Rayap dalam biologi adalah sekelompok hewan dalam salah satu ordo yaitu ordo Isoptera dari kelas Artropoda. Ordo Isoptera beranggotakan sekitar 2.000 spesies dan di Indonesia telah tercatat kurang lebih 200 jenis (spesies). Nama lain dari rayap adalah anai-anai, semut putih, rangas dan laron (khusus individu bersayap, alates.

Teks acuan berikut masih cukup baik untuk mempelajari biologi rayap dalam hubungannya dengan pengendalian:

1. C. A. Kofoid (ed.), 1934 : Termites and Termite Biology, Univ. of Calif. Press, Berkeley.

2. K. Krishna & F. M. Weesner (eds.), 1969/1970 : Biology of Termites, Vols. I & II, Academic Press.

3. W. V. Harris, 1971 : Termites, Their Recognition and Control, Longmans - Green, London 4.

4. N. E. Hickin, 1971 : Termites -- A World Problem, The Rentokil Library, Hutchinson of London.

 

Jenis-jenis rayap hama bangunan di Indonesia

Sampai saat ini baru beberapa jenis rayap yang dapat dikenal secara pasti sampai pada spesiesnya karena peneliti taksonomi rayap yang benar-benar mencurahkan perhatiannya pada masalah ini di Indonesia belum ada. Identifikasi-indentifikasi yang dilakukan sebagian besar hanya berdasarkan perbandingan visual dan kalaupun dilakukan secara mikrokospik indentifikasi didasarkan atas ukuran tubuh yang sangat membingungkan mengingat variasi ekotipe dan polimorfisme rayap yang sangat tinggi. Untuk keperluan praktek, publikasi:

Biologi dan Pengenalan Rayap Perusak Kayu Indonesia, -- Laporan LPHH No. 138 oleh Rudy C. Tarumingkeng, 1971, 

 

masih dapat digunakan. Untuk keperluan ilmiah tentunya diperlukan kajian-kajian lanjutan dari hasil-hasil penelitian para ahli taksonomi rayap seperti Light, Kemner, Hagen serta kompilasi yang dilakukan peneliti Pakistani, Muzaffer Ahmad.

Genera rayap perusak kayu bangunan dan perabot yang terpenting di Indonesia adalah :

1. Rayap Subteran dan rayap tanah (Famili Rhinotermitidae dan Termitidae) : Coptotermes, Schedorhinotermes,
    Odontotermes
, Macrotermes dan Microtermes.

2. Rayap kayu kering (Famili Kalotermitidae) :  Cryptotermes.

 

Perilaku

Seketurunan rayap selalu hidup dalam satu kelompok yang disebut koloni dengan pola hidup sosial. Satu koloni terbentuk dari sepasang laron (alates) betina dan jantan yang melakukan kopulasi dan mampu memperoleh habitat yang cocok yaitu bahan berselulosa untuk membentuk  sarang utama. Koloni rayap dapat juga terbentuk dari fragmen koloni yang terpisah dari koloni utama karena sesuatu bencana yang menimpa koloni utama itu. Individu betina pertama yang dapat kita sebut ratu meletakkan beribu-ribu telur yang kemudian menetas dan berkembang menjadi individu-individu yang polimorfis -- sub-kelompok yang berbeda bentuk yaitu kasta pekerja, kasta prjurit dan neoten -- di samping terdapat juga indivdu-individu muda (pradewasa) yang biasa disebut nimfa (ada literatur yang menyebutnya "larva"). Kasta pekerja merupakan kasta pengatur ("pemerintah") -- mungkin karena mereka yang mencari makan ! Bila ada prajurit yang sudah tua dan tak dapat mempertahankan sarangnya lagi, ia akan dimakan oleh pekerja (sifat kanibalistik). Demikian juga betina dan jantan baik "ratu", "raja" maupun neoten (reproduktif sekunder) yang tidak mempu menjalankan fungsinya untuk berkembang biak lagi akan mengalami nasib yang sama. Pengaturan energi koloni yang sangat efisien ini merupakan manifestasi pola homeostatika dari koloni rayap untuk mempertahankan eksistensinya. Demikian efisien organisasi hidupnya sehingga kita sulit mengendalikannya, apalagi memberantasnya. Beberapa pola perilaku rayap yang perlu dikemukakan -- di samping yang telah dikemukakan di atas -- adalah sifat kriptobiotik atau sifat selalu menyembunyikan diri -- mereka hidup dalam tanah dan bila akan invasi mencari obyek makanan juga menerobos di bagian dalam, bila perlu lapisan logam tipis dan tembok (apalagi plastik) ditembusinya -- dan bila terpaksa harus berjalan di permukaan yang terbuka mereka membentuk pipa pelindung dari bahan tanah atau humus (sheltertubes). Makanan rayap adalah selulosa baik berbentuk arsip kantor, buku, perabot, kayu bagian konstruksi, serash, sampah, tunggak. Kayu-kayu yang tertimbun di bawah fondasi bangunan (ini merupakan bahan sarang yang baik karena kelak mereka dimungkinkan untuk "naik"), kayu sisa cetakan beton yang tidak dikeluarkan dari konstruksi, dan lain-lain. Jadi, untuk menghindar dari serangan rayap jelas perlu kita hindarkan obyek-obyek makanan rayap ini, kecuali bila bahan kayu memang diperlukan maka perlu perlakuan perlindungan seperti perlakuan tanah dengan insektisida (soil treatment), pengawetan kayu (wood preservation). Atau kita biarkan saja sampai rayap menyerang kemudian rayapnya kita serang -- tapi kerugian besar tak terhindarkan dan pengendalian rayap akan sangat sulit (sifat kritobiotik !). Sifat trofalaksis (trophallaxis) merupakan ciri khas diantara individu-individu dalam koloni rayap : masing-masing individu sekali-sekali mengadakan hubungan dalam bentuk menjilat, mencium dan mengosokkan tubuhnya satu dengan yang lainnya. Sifat ini diinterprestasikan sebagai cara untuk memperoleh protozoa flagellata bagi individu yang baru saja ganti kulit (ekdisis), karena pada saat ekdisis kulit usus juga tanggal sehingga protozoa simbiont yang diperlukan untuk mencerna selulosa ikut keluar dan diperlukan "re-infeksi" dengan jalan trofalaksis. Sifat ini juga diperlukan (kata para ahli) agar terdapat pertukaran feromon di antara para individu ini. Feromon adalah hormon yang dikeluarkan (ke luar tubuh) untuk pengaturan populasi koloni misalnya mengatur individu mana yang akan menjadi neoten (neoten adalah individu yang mampu berreproduksi, dan mereka terdapat dalam jumlah yang besar), menjadi pekerja, prjurit dan fungsi-fungsi fisiologi lainnya. Dalam literatur lama, sifat trofalaksis merupakan dasar  untuk menganjurkan pengendalian rayap kayu kering dengan bubuk insektisida (seperti chloropicrin) yang disuntikkan pada kayu yang terserang dan individu-individu yang kena racun akan menyebarkan racun tersebut ke dalam koloninya melalui trofalaksis. Sifat kanibalistik juga membantu penyebaran insektisida karena individu-individu yang mati kena racun mungkin akan dimakan oleh yang belum terkena racun sehingga terjadi penyebaran racun secara  efisien. Perilaku rayap perlu dikaji dan dikembangkan lebih lanjut dalam usaha pengendalian rayap, terutama dalam penentuan formulasi insektisida, agar pengendalian lebih efisien, ekonomis dan hal ini juga meminimumkan penyebaran racun dalam lingkungan hidup kita.

 

Pencapaian obyek serangan

Rayap mencapai obyek serangan terutama kayu, karena:

1. Obyek berhubungan langsung dengan tanah.

 2. Rayap membangun pipa perlindungan (sheltertubes) dari tanah sampai obyek serangan.

3. Melalui celah, retak kecil (minimum 0,4 mm) misalnya pada fondasi bangunan, dinding, dll.

4. Menembus obyek-obyek penghalang seperti plastik, logam tipis, dll, walaupun penghalang ini bukan merupakan
    obyek makanannya.

 

Hal ini terutama berlaku untuk rayap subteran yang hidupnya mutlak tergantung dari adanya air, dan tanah merupakan sumber air utama bagi kehidupan darat. Itu sebabnya rayap subteran sering disebut rayap tanah karena memang ia terutama bersarang dalam tanah, tapi lebih banyak mencari makan di atas tanah. Namun rayap subteran mampu membuat sarang pada obyek di atas tanah. Tanpa berhubungan dengan tanah asalkan kebutuhan mutlaknya yaitu air tersedia. Dari uraian ini kita dapat menyimpulkan sendiri cara-cara yang dapat imanipulasikan untuk diterapkan dalam usaha-usaha pengendalian rayap perusak bangunan. Rayap kayu kering dapat menyerang biasanya melalui dua cara  yaitu :

1. Laron (alates) yang bersialang datang ke obyek dan mampu berkembang karena obyek tidak tertutup (misalnya oleh cat pelindung yang toksik),obyek/kayu  tidak awet atau tidak diawetkan dll.

2. Obyek terserang oleh rayap yang berasal dari obyek lain yang telah diserang dan letaknya berdekatan (misalnya membawa piano yang terserang Cryptotermes ke dalam suatu ruangan tentunya mengandung resiko bahwa obyek-obyek kayu dalam ruangan itu dapat diserang rayap kayu kering tersebut.

 

Penutup

Uraian di atas hanya sekadar memberikan beberapa aspek biologi yang dianggap penting dan relevant dalam usaha pengendalian rayap perusak bangunan. Dari padanya dapat diambil beberapa deduksi untuk aplikasi di lapangan. Sebagai penutup perlu disinggung masalah pestisida, khususnya insektisida yang kini dianggap efisien dalam pengendalian rayap, khususnya rayap subteran. Insektisida mutakhir dibagi atas dua golongan besar yaitu :racun akut  dan racun kronik.

Racun akut yang kebanyakan dari kelompok fosfat-organik atau organofosfat  (organophosphates) dan karbamat (carbamates) kurang dapat mengen­dalikan populasi rayap karena sifatnya yang tidak tahan lama (non persistent) di lingkungan, walaupun keakutannya luar biasa. Salah satu contoh fosfat organik yang sering digunakan untuk soil treatment terhadap rayap penyerang bangunan adalah chlorpyrifos. Insektisida persisten yang digunakan sebagai racun kronis pada masa silam adalah golongan hidrokarbon-berklor (chlorinated hydrocarbons) atau organoklorin seperti Heptachlor, Chlordane, Dieldrin dll.Insektisida ini kini tak boleh digunakan lagi karena persistensinya yang sangat membahayakan lingkungan hidup. Kini sedang dikembangkan berbagai insektisida derivat botanis terutama jenis-jenis piretroida dan ternyata banyak di antaranya memiliki sifat persisten dan tidak membahayakan lingkungan hidup. Bahan-bahan penghambat sintesis kuitikel (kulit serangga) juga kini banyak diteliti dan dicoba untuk mengendalikan serangan rayap.