METODE ILMIAH DALAM PENGEMBANGAN IMUNOLOGI

 

Re-edited  20 December, 2000

 

Copyright © 2000 Ening Wiedosari   

Makalah  Falsafah Sains (PPs 702)

Program Pasca Sarjana

Institut Pertanian Bogor

 

Dosen:  Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng

 

METODE ILMIAH DALAM PERKEMBANGAN IMUNOLOGI

 

Oleh:

Ening Wiedosari

(Research Institute for Veterinary Science)

 

I. PENDAHULUAN

            Imunologi ialah, ilmu yang mempelajari sistem imunitas tubuh manusia maupun hewan, merupakan disiplin ilmu yang dalam perkembangannya berakar dari pencegahan dan pengobatan penyakit infeksi. Keberhasilan dalam perkembangan imunologi telah dapat memberantas penyakit polio di hampir semua negara dan menghilangkan penyakit cacar yang sangat menakutkan dari dari bumi ini. Sejak tahun 1960 imunologi sudah merupakan disiplin yang lebih luas lagi yang tidak hanya terbatas pada pemberantasan penyakit infeksi saja. Disfungsi sistem imun yang berperanan dalam patogenesis berbagai penyakit semakin banyak diketahui, misalnya AIDS atau Sindrom defisiensi imun didapat.

            Dalam 20 terakhir ini terlihat  perkembangan yang sangat pesat dalam bidang imunologi seluler dan molekuler. Penemuan-penemuan berbagai molekul yang berperanan dalam inflamasi dan respons imun seperti  mediator, sitokin dan lain sebagainya telah dapat menjelaskan berbagai mekanisme respon imun/inflamasi.

            Pengetahuan imunologi yang maju telah dapat dikembangkan untuk menerangkan patogenesis serta menegakkan diagnosis berbagai penyakit yang sebelumnya masih kabur. Kemajuan dicapai dalam pengembangan berbagai vaksin dan obat-obat yang digunakan dalam memperbaiki fungsi sistem imun dalam memerangi infeksi dan keganasan, atau sebaliknya digunakan untuk menekan inflamasi dan fungsi sistem imun yang berlebihan pada penyakit hipersensitivitas.

            Pemikiran lain yang timbul dari kemajuan dalam bidang imunologi yaitu terapi gen. Dengan menyisipkan gen yang defisien atau tidak ditemukan dalam tubuh, diharapkan akan dapat memberikan responnya terutama dalam menanggulangi penyakit defisiensi imun.

            Tulisan ini bertujuan untuk menunjukkan bahwa imunologi sabagai salah salah satu ilmu yang tumbuh dan berkembang dengan cepat, berbagai penemuan dan hasil penelitian telah banyak yang diterima sebagai konsep baru untuk mempelajari imunologi selanjutnya , sehingga menyebabkan hal-hal yang semula dianggap benar menjadi tidak sesuai lagi. Tetapi tentu saja untuk mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu yang dalam hal ini adalah imunologi harus tetap melalui prosedur yang disebut metode ilmiah.

 

 

II. KONSEP DASAR IMUNOLOGI

Sistem Imunitas Tubuh

 

Yang dimaksudkan dengan ” sistem imun ialah semua mekanisme yang digunakan tubuh untuk mempertahankan keutuhan tubuh sebagai perlindungan terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan berbagai bahan dalam lingkungan hidup”. Berbagai bahan organik dan anorganik, baik yang hidup maupun yang mati asal hewan, tumbuhan, jamur, bakteri, virus, parasit, berbagai debu dalam polusi, uap, asap dan lain-lain iritan, ditemukan dalam lingkungan hidup sehingga setiap saat bahan-bahan tersebut dapat masuk ke dalam tubuh dan menimbulkan berbagai penyakit bahkan kerusakan jaringan. Selain itu, sel tubuh yang menjadi tua dan sel yang bermutasi menjadi ganas, merupakan bahan yang tidak diingini dan perlu disingkirkan.

            Kemampuan tubuh untuk menyingkirkan bahan asing yang masuk ke dalam tubuh tergantung dari kemampuan sistem imun untuk mengenal molekul-molekul asing atau antigen yang terdapat pada permukaan bahan asing tersebut dan kemampuan untuk melakukan reaksi yang tepat untuk menyingkirkan antigen. Kemampuan ini dimiliki oleh komponen-komponen sistem imun yang terdapat dalam jaringan limforetikuler yang letaknya tersebar di seluruh tubuh, misalnya di dalam sumsum tulang, kelenjar limfe, limpa, timus, sistem saluran nafas, saluran cerna dan organ-organ lain. Sel-sel yang terdapat dalam jaringan ini berasal dari sel induk dalam sumsum tulang yang berdiferensiasi menjadi berbagai jenis sel, kemudian beredar dalam tubuh melalui darah, sistem limfatik, serta organ limfoid yang terdiri dari timus dan sumsum tulang (organ limfoid primer ), dan limpa, kelenjar limfe dan mukosa ( organ limfoid sekunder ), dan dapat menunjukkan respons terhadap suatu rangsangan sesuai dengan sifat dan fungsi masing-masing ( GAMBAR 1).

 

Pembagian Sistem Imun

Terdapat 2 sistem imun yaitu sistem imun nonspesifik dan spesifik yang mempunyai kerja sama yang erat dan yang satu tidak dapat dipisahkan dari yang lain, sistem imun ini semuanya terdiri dari  bermacam-macam sel leukosit ( sel darah putih ). Sistem imun nonspesifik, disebut demikian karena telah ada dan berfungsi sejak lahir dan  merupakan pertahanan tubuh terdepan dalam menghadapi serangan berbagai mikroorganisme, serta dapat memberikan respon langsung terhadap antigen. Sel-selnya terdiri dari  sel makrofag, sel NK ( Natural Killer ) dan sel mediator.  Sedang sistem imun spesifik membutuhkan waktu untuk mengenal antigen terlebih dahulu  sebelum dapat memberikan responnya atau dengan kata lain sistem ini dapat menghancurkan benda asing yang berbahaya bagi tubuh yang sudah dikenal sebelumnya ( spesifik ). Sel-selnya terdiri dari sel-sel limfosit   T dan B.

 

 

 


           

 

Text Box:     GAMBAR 1.  REGULASI SISTEM IMUN DAN SISTEM  NEUROENDOKRIN

 

 

 

Sistem imun spesifik terdiri dari  sel limfosit , merupakan kunci pengontrol sistem imun. Sebetulnya sistem ini dapat bekerja sendiri tanpa bantuan sistem imun nonspesifik. Terdapat 2 macam yaitu: sistem imun spesifik humoral ( sel B ), menghasilkan antibodi

yang berfungsi sebagai pertahanan terhadap infeksi ekstraseluler virus dan bakteri, sedangkan sistem imun spesifik seluler ( sel T ) untuk pertahanan terhadap bakteri yang hidup intraseluler, virus, jamur, parasit dan keganasan. 

 

Lintas Arus Sel Limfosit

            Sel limfosit berdiferensiasi dan menjadi matang di organ limfoid primer untuk kemudian masuk dalam sirkulasi darah. Sel B diproduksi dan menjadi matang dalam sumsum tulang sebelum masuk dalam darah dan organ limfoid sekunder. Prekusor sel T meninggalkan sumsum tulang, menjadi matang dalam timus sebelum bermigrasi ke organ limfoid sekunder.

            Limfosit yang sudah ada dalam organ limfoid sekunder tidak tinggal di sana, tetapi bergerak dari organ limfoid yang satu ke organ limfoid yang lain, saluran dalam sistem limfatik dan darah ( GAMBAR 1). Dari sirkulasi limfosit memasuki organ limfoid sekunder atau rongga-rongga organ dan kelenjar limfe. Resirkulasi tersebut terjadi terus menerus. Keuntungan dari resirkulasi limfosit tersebut ialah bahwa sewaktu terjadi infeksi alamiah, akan banyak limfosit berpapasan dengan antigen asal mikroorganisme. Keuntungan lain dari resirkulasi limfosit ialah bahwa bila ada organ limfoid misalnya limpa yang defisit limfosit karena infeksi, radiasi atau trauma, limfosit dari jaringan limfoid lainnya melalui sirkulasi akan dapat dikerahkan ke dalam organ limfoid tersebut dengan mudah. Hanya iradiasi yang mengenai seluruh tubuh akan dapat menghentikan pertumbuhan sel sistem imun seluruhnya.

            Pada keadaan normal ada lintas arus limfosit aktif terus menerus melalui kelenjar limfe, tetapi bila ada antigen masuk, arus limfosit dalam kelenjar limfe akan berhenti sementara. Sel yang spesifik terhadap antigen ditahan dalam kelenjar limfe untuk menghadapi antigen tersebut dan hal ini akan menimbulkan kelenjar bengkak yang sering terjadi pada infeksi.

 

 

Sitokin atau Interleukin

            Pada reaksi imunologik  banyak substansi yang bekerja serupa hormon yang dilepaskan oleh sel leukosit, yang berfungsi sebagai sinyal interseluler yang mengatur respon imunologi lokal maupun sistemik terhadap rangsangan dari luar. Substansi tersebut secara umum dikenal dengan nama sitokin, yang kemudian pada tahun 1979 nama yang disepakati adalah interleukin ( IL ) yang berarti adanya komunikasi antar sel leukosit.

            Sitokin  yang diproduksi dan bekerja sebagai mediator pada imunitas nonspesifik misalnya IFN ( interferon ), TNF ( Tumor Necrotic Faktor ) dan IL-1 sedang yang lainnya terutama berperanan pada imunitas spesifik. Pada yang akhir sitokin bekerja sebagai pengotrol aktivasi, proliferasi dan diferensiasi sel. Produksi sel sistem imun dikontrol oleh sitokin yang juga mengatur hematopoiesis yang secara kolektif disebut Colony Stimulating Factor ( CSF ). Sitokin merupakan messenger kimia atau perantara dalam komunikasi interseluler yang sangat poten. Dewasa ini  lebih dari 100 jenis sitokin yang sudah diketahui.

 

III. PERKEMBANGAN IMUNOLOGI

Konsep baru sistem imun

            Pandangan sekarang: “ sistem imun tidak hanya berfungsi sebagai pertahanan tubuh tetapi sistem imun juga sebagai organ sensor seperti susunan saraf pusat ,yang bekerja sama dengan sistem neuroendokrin untuk mempertahankan homeostasis”.  Sebelum menjadi konsep baru teori ini dinyatakan dalam bentuk hipotesis oleh Husband (1995 ). Hal ini disebabkan adanya fakta-fakta yang menunjang /mendukung hipotesis tersebut yaitu, bahwa sekitar 100 tahun yang lalu  ilmuwan fisiologi dari Perancis yaitu Claude Bernard mengobservasi tentang “ La fixite du milieu interieur est la condition de la vie libre”. Selanjutnya oleh ilmuwan fisiologi dari Amerika yaitu Walter B Cannon ( 1939 ), diterjemahkan sebagai homeostasis yang kemudian didefinisikan sebagai suatu proses fisiologi di dalam tubuh yang diperantarai oleh sistem saraf pusat untuk mengontrol pergerakan dan komposisi cairan, pertumbuhan dan perbaikan jaringan, pemanfaatan energi dan menjaga agar suhu tubuh tetap konstan, yang kemudian sering disebut sebagai aktivitas untuk bertahan atau “cybernetics”.

            Untuk menguji kebenaran dari hipotesis tersebut di atas maka ditetapkan 3 kriteria yang harus dipenuhi, yaitu:

1.      Harus ada regulasi antara sistem imun dan sistem saraf pusat, karena sistem saraf pusat ini merupakan mediator pada proses homeostasis.

2.      Interaksi antara ke 2 sistem tersebut harus berlangsung 2 arah.

3.      Regulasi dari sistem imun juga harus berpengaruh pada proses fisiologi lainnya

 

Ad 1. Regulasi sistem imun dan sistem neuroendokrin

Ada bukti-bukti yang menunjukkan Susunan Saraf Pusat berpengaruh atas fungsi sistem imun baik langsung atau tidak langsung melalui sistem endokrin atau hormon ( GAMBAR 1  ), yaitu:

-          Inervasi jaringan limfoid: Timus, limpa dan kelenjar limfe menerima inervasi    simpatetik non  adrenergik yaitu mengontrol aliran darah melalui jaringan limfoid, jadi pasti akan mempengaruhi arus lintas limfosit (sistem imun spesifik).

-          Pituitrin/aksis Adrenal: Stres dapat mempengaruhi penglepasan hormon adrenokortikotropik ( ACTH ) dari pituitrin. Hal ini akan melepas glukokortikoid yang bekerja imunosupresif. Juga limfosit memproduksi steroid sebagai respon terhadap corticotrophin-releasing factor, dan medula adrenal melepas katekolamin yang dapat mengubah gambaran migrasi leukosit dan respon limfosit.

-          Endokrin dan regulasi neuropeptida: limfosit memiliki reseptor terhadap banyak hormon seperti insulin, tiroksin, growth hormon dan somastostatin. Hormon-hormon tersebut dilepas selama stres, memodulasi fungsi sel T dan B yang kompleks yang tergantung dari kadar mediator.

 

Ad 2. Interaksi antara sistem imun dan neuroendokrin harus berlangsung 2 arah.

Hormon dan neurotransmiter merupakan messenger molekul dari sistem neuroendokrin ke sistem imun apabila ada perubahan dari lingkungan misalnya stres, sebaliknya sitokin berfungsi serupa pada sistem imun terhadap sistem neuroendokrin apabila ada infeksi mikroorganisme ( antigen ), buktinya:

-          Tikus C57/BL adalah jenis yang resisten terhadap infeksi parasit protozoa Leishmania major, untuk itu diperlukan sistem imun spesifik seluler berupa dikeluarkanya substansi sitokin berupa IL-2 (Interleukin 2 ) dan IFN-g ( Interferon g ) oleh  sel limfosit T. Dan ternyata tikus ini adalah jenis yang menunjukkan respon yang rendah terhadap hormon kortikosteroid.

-          Sebaliknya tikus BALB/c sangat peka terhadap infeksi parasit ini karena ternyata jenis tikus ini menunjukkan respon yang tinggi terhadap hormon kortikosteroid. Padahal hormon ini justru menyebabkan tertekannya sistem imun seluler, sehingga tidak terbentuk substansi sitokin ( IL-2 dan IFN-g ) .

 

Ad 3. Pengaruh terhadap proses fisiologi lainnya akibat aktivasi sistem imun

Adanya respon akut  yang ditunjukkan berupa kerusakan jaringan setelah terjadinya infeksi sebetulnya merupakan manifestasi dari tubuh dalam rangka mencapai homeostasis. Setelah infeksi maka sistem imun akan teraktivasi dan akan melepaskan substansi  sitokin  seperti IL-1, IL-6 dan Interferon.Ternyata sitokin-sitokin ini dengan sistem saraf pusat sebagai mediator, menghasilkan gejala klinis yang bersifat fisiologis. Misalnya IL-1 dan IL-6 menyebabkan demam dan tidak ada nafsu makan, bahkan IL-6 menyebabkan kelumpuhan dan depresi, begitu juga dengan interferon dapat menyebabkan demam. anoreksia dan vomiting. Semua jenis respon tersebut di atas sering disebut “ sickness behaviour”,  dan sesungguhnya karena gejala-gejala seperti inilah yang menyebabkan imunoterapi menggunakan sitokin sering dihindari.

           

Dari penjelasan diatas yang didukung oleh data empiris ,maka hipotesis itu diterima sebagai konsep baru dari sistem imun. Tetapi dalam hal ini konsep yang lama tentang sistem imun tidak ditinggalkan, karena pada dasarnya konsep baru tersebut hanya sebagai pengembangan konsep lama. Kemudian sesuai dengan ciri-ciri spesifik dari pengetahuan maka dari hasil penelitian tersebut manusia berusaha untuk memanfaatkannya, atau sering dikatakan bahwa dengan ilmu manusia mencoba memanipulasi dan menguasai alam,  yaitu dengan cara memanipulasi sistem imun dengan pemberian hormon atau sitokin untuk pengobatan atau imunoterapi.

Dengan teknik rekombinan DNA, sitokin dapat diproduksi dalam jumlah besar. Sesuai dengan peranan biologiknya, maka sitokin dapat digunakan sebagai sebagai pengganti komponen sistem imun yang defisien atau untuk mengerahkan sel-sel yang diperlukan dalam menanggulangi defisiensi imun, merangsang sel sistem imun dalam respons terhadap tumor, infeksi virus atau bakteri yang berlebihan. Antisitokin telah digunakan untuk mengontrol penyakit autoimun dan pada keadaan dengan sistem imun yang terlalu aktif. Terapi hormon juga banyak dilakukan pada manusia, tetapi untuk hewan hal ini sering memberikan efek samping tidak baik bagi manusia, terutama  ternak yang dagingnya dikonsumsi manusia berupa residu hormon.

 

IV. PENUTUP

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa imunologi yang merupakan salah satu dari ilmu yang mempelajari tentang alam/isinya, maka dalam penyusunnannya harus didasarkan sepenuhnya pada kombinasi metode  deduktif-induktif, melalui suatu jembatan berupa proses pengembangan hipotesis. Yang oleh John Jewey digolongkan sebagai “reflective thinking”. Bahkan akhirnya dianut sebagai metode ilmiah modern yang dikenal sebagai metode “logico-hypotetico-verifikatif”.

Terlihat disini  hakekat keilmuan dari imunologi, bahwa ilmu tidak bertujuan untuk mencari kebenaran absolut melainkan kebenaran yang bermanfaat bagi manusia dalam tahap perkembangan tertentu. Hipotesis yang sampai saat ini tidak ditolak kebenarannya, dan mempunyai manfaat bagi kehidupan, dianggap sebagai pengetahuan yang sahih dalam keluarga keilmuan. Bahwa hipotesis ini kemudian hari ternyata tidak benar, itu tidak terlalu penting selama mempunyai kegunaan. Seperti ucapan bahwa dalam ilmu sekiranya ditemukan kebenaran baru tidak lalu menyalahkan yang terdahulu, melainkan hanya mengucapkan selamat jalan.

 

 

V. DAFTAR PUSTAKA

Husband,A.J.1995. The immune system and integrated homeostasis. Immunology and Cell   Biologi, 73:377-382.

Roit, I.M.1991. Essential Immunology, 7nd ed. Blackwell Scientific Publication. London.

Suriasumantri, J,S. 1998. Filsafat Ilmu:Sebuah Pengantar Populer. Pustaka Sinar Harapan.

Tizard, I. 1992. Veterinary Immunology, 4th ed. Saunder College Publishing. Philadelphia.

 

Ening Wiedosari (P18600001/sains veteriner)

Balai Penelitian Veteriner
(Research Institute for Veterinary Science)
Jl. RE. Martadinata No. 30
Bogor  16114
Telepon  : 62 + 0251 - 334456
Fax : 62 + 0251 - 336425
E-mail :
balivet@indo.net.id