Re-edited
Copyright © 2000 Sangle Yohannes Randa
Makalah Falsafah Sains (PPs 702)
Program Pasca Sarjana - S3
Institut Pertanian
Dosen: Prof Dr Ir Rudy C
Tarumingkeng
KETERBATASAN
EMPIRISME DALAM
METODE ILMIAH
Oleh:
Sangle Yohannes Randa
(P04600002/PTK)
a. Latar Belakang
Dalam
perjalanan sejarah kehidupan manusia tercatat bahwa untuk mendapatkan
kebenaran, baik kebenaran yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya, manusia
senantiasa mempergunakan seluruh keberadaanya secara utuh dan menyeluruh. Dengan cara seperti itu telah memungkinkan
dihasilkannya berbagai macam metode sebagai suatu sarana atau instrumen bagi
manusia dalam mendapatkan kebenaran. Dari sekian metode yang ada untuk
memperoleh kebenaran, metode ilmiah merupakan salah satu metode yang besar
sekali pengaruhnya dalam kehidupan manusia.
Metode ilmiah ini pada prinsipnya adalah hasil pengembangan dari
penerapan dua paham berpikir filosofis, yakni paham rasionalisme dan empirisme
(Suriasumantri, 1996; Beerling et al., 1997).
Namun demikian apabila
dengan cermat kita memperhatikan perjalanan sejarah perkembangan kedua aliran
itu, rasionalisme dan empirisme, keduanya tidak terlepas dari berbagai
kritik. Hal ini menunjukkan bahwa baik
rasionalisme maupun empirisme mengandung titik-titik lemah yang dapat kita
anggap sebagai keterbatasan dari kedua aliran filsafat tersebut.
b. Penetapan
Masalah, Tujuan dan Hipotesis
Alasan pengkajian terhadap
empirisme adalah karena kedudukannya yang sangat penting dalam metode ilmiah.
Dalam studi-studi ilmiah yang dilakukan dengan teknik eksperimentasi,
penggunaan metode empiris sangatlah menonjol dan memberi pengaruh yang
kuat. Hasil penarikan kesimpulan sebagai
salah satu bentuk kebenaran yang diperoleh dengan kajian ilmiah, sangat besar
ditentukan oleh pemikiran empiris. Tidak
jarang penarikan kesimpulan yang diambil dari suatu penelitian ilmiah mempunyai
nilai kebenaran yang rendah, oleh karena hanya kesalahan dalam penggunaan
metode empirisnya. Sebab itu kritik atau
telaahan terhadap kelemahan dalam metode empiris dimaksudkan untuk membangun
kewaspadaan bagi para ilmuwan dalam menggunakan metode ilmiah.
Atas
dasar itulah makalah ini mencoba mengungkapkan dan menganalisis fakta-fakta apa
saja dalam empirisme yang menjadi titik lemah atau keterbatasan metode tersebut
dan mengapa hal-hal itu dapat terjadi.
Selain itu, makalah ini memberikan beberapa solusi alternatif guna
mencoba menjawab persoalan tersebut, sehingga paling tidak keterbatasan
empirisme dapat diminimalisasi.
Dari
permasalahan segaimana telah diajukan, hipotesis yang dirumuskan adalah bahwa
keterbatasan empirisme dalam metode ilmiah dapat dikendalikan sehingga tidak
menyebabkan terjadinya penarikan kesimpulan ilmiah yang salah secara
signifikan. Hipotesis lain yang bisa
juga dikemukakan adalah bahwa keterbatasan empirisme sesungguhnya merupakan
suatu peluang untuk menimbulkan keraguan terhadap kesimpulan ilmiah sehingga
memungkinkan dikembangkannya lagi suatu pengkajian ulang terhadap kebenaran
ilmiah tersebut.
Sebagai
suatu paham atau aliran dalam filsafat, empirisme menekankan pengalaman sebagai
sumber utama untuk mendapatkan pengetahuan.
Istilah
empirisme berasal dari bahasa Yunani empeiria
yang berarti coba-coba atau pengalaman. Dalam penafsiran lain dikatakan bahwa kata
empeiria itu terbentuk dari en
- di dalam; dan peira - suatu
percobaan. Jadi artinya suatu cara
menemukan pengetahuan berdasarkan pengamatan dan percobaan.
Pemikiran
empirisme lahir sebagai suatu sanggahan terhadap aliran filsafat rasionalisme
yang mengutamakan akal sebagai sumber pengetahuan. Untuk lebih memahami filsafat empirisme kita
perlu terlebih dahulu melihat dua ciri pendekatan empirisme, yaitu: pendekatan
makna dan pendekatan pengetahuan.
Pendekatan makna menekankan pada pengalaman; sedangkan, pendekatan
pengetahuan menekankan pada kebenaran
yang diperoleh melalui pengamatan (observasi), atau yang diberi istilah dengan
kebenaran a posteriori.
Para
tokoh filsafat mengembangkan pemikiran empiris karena mereka tidak puas dengan
cara mendapatkan pengetahuan sebagaimana dipercayai oleh aliran
rasionalisme. Orang-orang rasionalisme
dalam mencari kebenaran sangat menjunjung tinggi penalaran atau yang disebut
dengan cara berpikir deduksi, yaitu pembuktian dengan menggunakan logika. Sebaliknya, bagi John Locke, berpikir deduksi
relatif lebih rendah kedudukannya apabila dibandingkan dengan pengalaman indera
dalam pengembangan pengetahuan. Locke
sangat menentang pendapat mazhab rasionalisme yang menyatakan bahwa pengetahuan
seseorang sudah dibawa sejak lahir.
Menurut Locke, pikiran manusia ketika lahir hanyalah berupa suatu
lembaran bersih (tabula rasa), yang
padanya pengetahuan dapat ditulis melalui pengalaman-pengalaman inderawi
(McCleary, 1998). Lebih lanjut ia
berpendapat bahwa semua fenomena dari pikiran kita yang disebut ide berasal
dari pengamatan atau refleksi. Inilah
tesis dasar dari empirisme. Dengan tesis
inilah, Locke mempergunakannya sebagai titik tolak dalam ia menjelaskan
perkembangan pikiran manusia (Brower dan Heryadi, 1986).
Selain
John Locke, Bacon juga berkesimpulan bahwa logika hanyalah membawa kerugian
daripada keuntungan. Sebab bagi Bacon,
penalaran hanya berupa putusan-putusan yang terdiri dari kata-kata yang
menyatakan pengertian tertentu. Sehingga
bilamana pengertian itu kurang jelas maka hanyalah dihasilkan suatu abstraksi
yang tidak mungkin bagi kita untuk membangun pengetahuan di atasnya (Verhaak
dan Imam, 1997).
Bacon beranggapan bahwa untuk mendapatkan
kebenaran maka akal budi bertitik pangkal pada pengamatan inderawi yang khusus
lalu berkembang kepada kesimpulan umum.
Pemikiran Bacon yang demikian ini, kemudian melahirkan metode berpikir
induksi.
Sistematika dalam metode
ilmiah sesungguhnya merupakan manifestasi dari alur berpikir yang dipergunakan
untuk menganalisis suatu permasalahan.
Alur berpikir dalam metode ilmiah memberi pedoman kepada para ilmuwan
dalam memecahkan persoalan menurut integritas berpikir deduksi dan induksi.
Pola
berpikir yang dikembangkan dalam metode ilmiah memperlihatkan dengan jelas
peran penting empirisme yang menakankan pembuatan kesimpulan secara
induksi. Empirisme berfungsi untuk
menguji hasil penalaran terhadap permasalahan yang dibangun atas dasar
deduksi. Penalaran yang dilakukan dengan
mengkaji teori-teori dalam memahami permasalahan fakta hanya bisa sampai pada
perumusan hipotesis. Penalaran hanya
memberi jawaban sementara, bukan kesimpulan akhir.
Oleh
sebab itu agar sampai kepada kesimpulan akhir, empirisme diperlukan untuk
menguji berbagai kemungkinan jawaban dalam hipotesis. Untuk menguji jawaban-jawaban yang ada,
ilmuwan harus masuk ke alam nyata.
Fakta-fakta atau bukti-bukti yang relevan dengan obyek permasalahan
harus dikumpulkan, disusun dan dianalisis.
Di sinilah tugas empirisme.
Namun
demikian peranan empirisme bukan saja hanya berkaitan dengan tugas pencarian
bukti-bukti atau yang lebih dikenal dengan pengumpulan data. Tetapi, sejak awal pengkajian masalah
sebenarnya kerja empirisme sudah terlibat.
Pengalaman-pengalaman ilmuwan yang berkaitan dengan obyek permasalahan
sudah diperlukan dalam memberi analisis terhadap fakta permasalahan. Mekanisme ini merupakan sisi lain dari
empirisme dalam metode ilmiah. Jadi
empirisme tidak saja hanya diperlukan dalam pengumpulan data, tetapi sudah
dimulai sejak awal perumusan masalah (Suriasumantri, 1996).
Keterbatasan
empirisme dalam perannya menyumbangkan pengetahuan melalui metode ilmiah
dianalisis dari kritik-kritik yang diberikan terhadapnya. Kritik terhadap empirisme yang diungkapkan
oleh Honer dan Hunt (1968) dalam
Suriasumantri (1994) terdiri atas tiga bagian. Pertama, pengalaman yang
merupakan dasar utama empirisme seringkali tidak berhubungan langsung dengan
kenyataan obyektif. Pengalaman ternyata
bukan semata-mata sebagai tangkapan pancaindera saja. Sebab seringkali pengalaman itu muncul yang
disertai dengan penilaian. Dengan kajian
yang mendalam dan kritis diperoleh bahwa konsep pengalaman merupakan pengertian
yang tidak tegas untuk dijadikan sebagai dasar dalam membangun suatu teori
pengetahuan yang sistematis. Disamping
itu pula, tidak jarang ditemukan bahwa hubungan berbagai fakta tidak seperti
apa yang diduga sebelumnya.
Kedua,
dalam mendapatkan fakta dan pengalaman pada alam nyata, manusia sangat
bergantung pada persepsi pancaindera.
Pegangan empirisme yang demikian menimbulkan bentuk kelemahan lain. Pancaindera manusia memiliki
keterbatasan. Sehingga dengan
keterbatasan pancaindera, persepsi suatu obyek yang ditangkap dapat saja keliru
dan menyesatkan.
Ketiga,
di dalam empirisme pada prinsipnya pengetahuan yang diperoleh bersifat tidak
pasti. Prinsip ini sekalipun merupakan
kelemahan, tapi sengaja dikembangkan dalam empirisme untuk memberikan sifat
kritis ketika membangun sebuah pengetahuan ilmiah. Semua fakta yang diperlukan untuk menjawab
keragu-raguan harus diuji terlebih dahulu.
Dewey
menyebutkan bahwa hal yang paling buruk dari metode empiris adalah pengaruhnya
terhadap sikap mental manusia. Beberapa
bentuk mental negatif yang dapat ditimbulkan oleh metode empiris antara lain:
sikap kemalasan dan konservatif yang salah.
Sikap mental seperti ini menurutnya, lebih berbahaya daripada sekedar
memberi kesimpulan yang salah. Sebagai
contoh dikatakan bahwa apabila ada suatu penarikan kesimpulan yang dibuat
berdasarkan pengalaman masa lalu menyimpang dari kebiasaan, maka kesimpulan
tersebut akan sangat diremehkan.
Sebaliknya, apabila ada penegasan yang berhasil, maka akan sangat
dibesar-besarkan.
Terhadap
empirisme Immanuel Kant juga memberi kritiknya bahwa meskipun empirisme menolak
pengetahuan yang berasal dari rasio, tetapi pengalaman dan persepsi yang
merupakan dasar kebenaran dalam empirisme tidak dapat memberi suatu pengetahuan
yang kebenarannya adalah universal dan bernilai penting.
Kritik
lain yang juga diungkapkan oleh Brower dan Heryadi (1986) bahwa tidak mungkin
unsur-unsur khusus menghasilkan suatu kebenaran yang bersifat universal. Meskipun diakui bahwa munculnya pengetahuan
dan legitimasinya berasal dari pengamatan, tetapi pada kenyataan tidak semua
sumber pengetahuan hanya terdapat dalam pengamatan.
Telaah terhadap kritik
yang ditujukan kepada empirisme tidak dimaksudkan untuk menimbulkan keraguan tentang peranan empirisme dalam pembentukan pengetahuan melalui metode ilmiah. Kritik kepada empirisme haruslah dipandang sebagai acuan dalam
mencari solusi alternatif mengatasi kelemahan-kelemahan dalam empirisme. Penggunaan pancaindera yang memiliki
keterbatasan harus dibantu dengan teknologi yang sempurna untuk menyempurnakan
pengamatan. Metode-metode eksperimen
yang dijalankan harus ditetapkan secara benar sehingga bias karena keterbatasan
pengamatan manusia dapat diminimalisasikan.
Pengalaman-pengalaman yang dibangun
sebagai dasar kebenaran harus didukung dengan teori-teori yang relevan. Bergantung pada pengalaman pribadi saja bisa
menimbulkan subyektivitas yang tinggi.
Oleh sebab itu kajian terhadap pengetahuan-pengetahuan yang sudah ada
sebelumnya harus dilakukan sehingga kebenaran yang ingin didapatkan memiliki
sifat obyektivitas yang tinggi. Pengetahuan
tidak semata-mata mulai dari pengalaman saja, tetapi ia harus menjelaskan
dirinya dengan pengalaman-pengalaman itu.
Dari sudut pandang yang lain, kritik
terhadap empirisme perlu juga dipahami sebagai kritik terhadap ilmu
pengetahuan. Dengan adanya keterbatasan
dalam empirisme sebagai salah satu prosedur dari metode ilmiah, memberi
gambaran kepada kita bahwa kebenaran dalam ilmu pengetahuan bukanlah
satu-satunya kebenaran yang ada. Tetapi
sebagai ilmuwan, kita harus dengan rendah hati mengakui bahwa di luar ilmu
pengetahuan masih terdapat kebenaran lain.
Dengan demikian, kebenaran ilmu pengetahuan tidak bisa berjalan sendiri,
tetapi didalam membangun keharmonisan dan keseimbangan hidup, kebenaran ilmu
pengetahuan perlu berdampingan dengan kebenaran-kebenaran dari pengetahuan
lain, seperti seni, etika dan agama.
Pengetahuan-pengetahuan lain di luar ilmu pengetahuan ilmiah perlu
dipahami pula dengan baik oleh para ilmuwan agar dapat menciptakan atau
menghasilkan nuansa yang lebih dinamis pada pengetahuan ilmiah.
Anonimous, 2000. Western Philosopic Thought.
http://members.aol.com/rhrrr/philmodn.htm, dikunjungi 13 Oktober 2000.
Bakker, A. 1986. Metode-metode Filsafat. Ghalia Indonesia,
Jakarta.
Beerling,
Kwee, Mooij, dan Van Peursen, 1997.
Pengantar Filsafat Ilmu. Cet.ke-4. Alih Bahasa: S. Soemargono. Tiara
Wacana, Yogyakarta.
Brower, M.A.W. dan Heryadi, P. 1986.
Sejarah Filsafat Barat dan
Sezaman. Penerbit Alumni,
dikunjungi 13 Oktober 2000.
David, H. 1999. The New Empiricism: Systematic Musicology in
Postmodern Age. http://www.musiccog.ohio-state.edu/Music220/Bloch.lectures/3.Methodology.html dikunjungi 21 Oktober 2000.
Honer, S.M. dan T.C. Hunt,
1968. Metode dalam mencari pengetahuan:
rasionalisme, empirisme dan metode keilmuan. Dalam Suriasumantri, J. 1994. Ilmu Dalam Perspektif, Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta.
McCleary, 1998. Philosophy of Science. http://mrrc.bio.uci.edu/se10/philosophy.html
dikunjungi
Morton, Adam. 1997. A Guide Through the
Theory of Knowledge. 2nd Ed. Blackwell Publishers,
Ltd.,
Nasoetion, A.H. 1999. Pengantar
ke Filsafat Sains. Cet. Ke-3.
Pustaka Litera AntarNusa, Bogor.
Qadir, 1988. Ilmu Pengetahuan dan Metodenya. Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta.
Semiawan, C.R., I.M.
Putrawan dan I. Setiawan. 1999. Dimensi
Kreatif Dalam Filsafat Ilmu. Cet.ke-4.
Remaja Rosdakarya Offset, Bandung.
Suriasumantri, J.S.
1996. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar
Populer. Cet. Ke-10. Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta.
Ward, L.G. dan R. Throop, 2000.
Empirical and Scientific Thinking of John Dewey. http://paradigm.soci.brocku.ca/~lward/Dewey/dewey12k.html/ dikunjungi 21 Oktober 2000.