Makalah Pengantar ke Falsafah Sains

 

Re-edited  20 December, 2000

Copyright © 2000 Teti Arabia 

Makalah  Falsafah Sains (PPs 702)

Program Pasca Sarjana - S3

Institut Pertanian Bogor

 

Dosen:  Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng

 

 

FILOSOFI DARI PROSES PEMBENTUKAN, PENGGUNAAN DAN PENGELOLAAN TANAH SPODOSOL

 

 

 

Oleh :

TETI ARABIA

NRP. 995030/ TNH

 

 

KATA PENGANTAR

 

            Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT , karena atas izinNya penulis dapat menyelesaikan pembuatan makalah mata kuliah Pengantar ke Falsafah Sains.  Penulisan ini dikaitkan antara Ilmu Tanah dengan Falsafah Sains, khususnya proses pembentukan (pedogenesis) tanah Spodosol.  Penulisan ini didasarkan pada beberapa penelitian tentang tanah Spodosol.

            Pada kesempatan ini penulisan mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Rudy C. Tarumingkeng, Ph.D., selaku dosen mata kuliah Pengantar Ke Falsafah Sains yang telah banyak memberikan bekal pengetahuan, bimbingan dan pengarahan selama berlangsungnya mata kuliah.

            Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam makalah ini, oleh karena itu masukan dan kritikan yang membangun sangat penulis harapkan untuk lebih menyempurnakan penulisan  dan dimasa yang akan datang.  Akhir kata semoga makalah ini bermanfaat adanya, khususnya bagi penulis maupun bagi mereka yang membacanya.

 

 

 

Bogor, 12 Desember 2000

 

Penulis

 

 

PENDAHULUAN

Sejarah Perkembangan Genesis dan Klasifikasi Tanah

 

            Sebelum ilmu pengetahuan tentang tanah berkembang, sistem klasifikasi tanah masih bersifat sederhana.  Tanah hanya dibedakan atas dasar baik buruknya bagi pertumbuhan tanaman.  Semakin berkembang ilmu tanah, semakin kompleks sistem klasifikasinya.  Kadang-kadang sistem klasifikasi dapat dijadikan sebagai suatu indiktor untuk menilai telah sejauh mana tingkat pengetahuan suatu bangsa terhadap suatu objek.  Kubiena (1948, dalam Hardjowigeno, 1993) seorang ahli fisika Ampere menyatakan ; tunjukkan sistem klasifikasimu agar saya dapat menunjukkan sejauh mana kamu mendalami masalah-masalah penelitianmu.

            Perkembangan klasifikasi secara umum sangat dipengaruhi oleh konsep dasar pemahaman tentang tanah, disamping tingkat pengetahuan yang telah dicapai.  Konsep tersebut nampaknya berhubungan erat dengan pengetahuan manusia tentang tanah, dan perkembangan ilmu tanah yang menonjol pada masanya.  Oleh karena itu, konsep tanah yang telah dianut dalam sejarah kebudayaan manusia merupakan deret waktu yang cukup panjang, lebih menyerupai evolusi.  Wirjodiharjo (1953 dalam Rachim, 2000) menyimpulkan ada empat konsepsi dasar pemahaman tanah yaitu : konsep manfaat, kimia, geologi dan pedologi.

 

Konsep Manfaat    

            Konsep ini memandang tanah dari sudut manfaatnya.  Tanah dipandang sebagai : media pertumbuhan tanaman, tempat tinggal, penghasil sandang, pangan dan papan, serta tempat memelihara ternak.

            Sejak sebelum penanggalan tahun masehi, konsep tanah terkait pada pertanian praktis.  Berdasarkan catatan, peradaban bangsa-bangsa seperti Yunani, Romawi, Mesopotamia, Mesir dan Cina telah memanfaatkan tanah untuk pertanian, terutama disekitar daerah dataran aliran sungai .

 

Konsep Kimia

            Konsep ini berkembang pada awal abad 19 di Eropa Barat, setelah di abad sebelumnya ilmu kimia berkembang pesat.  Dalam konsep ini tanah dipandang sebagai laboratorium kimia, terjadi reaksi pembongkaran dan penyusunan secara tersembunyi (tidak dapt dilihat langsung oleh mata).  Konsep ini mula-mula dikembangkan oleh Julius von Liebig pada tahun 1861 di Jerman, kemudian diikuti oleh Albrecht von Thaer, dan Knop

            Pemahaman konsep ini menciptakan budaya para petani yng selalu membuang sisa-sisa makanan ternak yang telah tercemar kotorannya ke lahan pertanian mereka.  Sehingga menghasilkan horison permukaan yang sekarang disebut : epipedon plagen.

Konsep Geologi

            Julius von Liebig tahun 1843 mengemukakan ide bahwa tanaman hanya mengabsorpsi zat-zat mineral dari dalam tanah.  Ide ini sangat berpengaruh terhadap pendirian sekolah agrogeologi sebagai implementasi konsep geologi.  Konsep geologi di Jerman oleh Albert Fallow (dianggap sebagai pendiri pedologi) dan Von Richtopen.  Konsep ini memahami tanah lebih menekankan asal geologinya.  Albert Fallow tahun 1862 telah membuat klasifikasi tanah atas dasar bahan induknya terdiri dari dua kelas yaitu : tanah residual dan tanah aluvial.

            Konsep ini selanjutnya dirasakan tidak memuaskan, setelah dijumpai tanah-tanah yang beragam pada suatu daerah yang kompleks baik iklim maupun topografinya, walaupun bahan induknya seragam.  Para penganut konsep geologi di Jerman mulai berpaling kepada konsep baru yang dikembangkan ahli tanah Rusia yaitu konsep pedologi.

 

Konsep Pedologi

            Menurut  konsep ini, tanah dipandang sebagai benda alam bebas yang komplek yang dihasilkan oleh sejumlah proses pedogenesis (pembentuk tanah).  Pencetus ide ini adalah Vasilii Dokuchaev (1846-1903) seorang ahli geologi yang dianggap sebagai “Bapak Ilmu Tanah Dunia” yang sangat banyak pengalamannya di lapangan.  Ia menemukan filosofi tentang sejumlah hubungan dan interaksi yang banyak bentuknya diantara batuan, geomorfologi, tanah, air permukaan, air tanah, iklim mikro, flora, fauna dan manusia.  Tanah pada hakekatnya mirip dengan mahluk hidup (organisme) dalam arti fungsi dan sifatnya yang berubah menurut ruang dan waktu.  Tanah adalah hasil kerja interaksi faktor-faktor pembentukan tanah.

            Konsep ini setelah tahun 1914 baru menyebar ke Dunia Barat, yang dikembangkan oleh murid Dokuchaev terutama Sibirtzev dan Glinka.  Di Amerika Serikat konsep ini dikembangkan dan dimodifikasi terutama sekali oleh Marbut.  Konsep pedologi merupakan dasar pengembangan ilmu tanah hingga sekarang.   Dalam perkembangan konsep ini selanjutnya ahli-ahli dari Amerika Serikat lebih memegang peranan.  Bersamaan dengan perkembangan survei dan klasifikasi tanah pengertian tentang tanah terus berubah dan diperbaiki, hingga terakhir tahun 1998 (Soil Survey Staff, 1999) definisi tanah diperluas pengertiannya hingga mencakup tanah-tanah yang tidak mampu menyokong pertumbuhan tanaman secara aktual, disebabkan oleh pengaruh iklim saat sekarang yang sangat keras, seperti didaerah kutub dan gurun yng sangat panas.

            Dalam hal ini definisi tanah adalah : tubuh alam yng tersusun dari bahan padatan (bahan mineral dan bahan organik), cairan dan gas, terjadi pada permukaan lahan menutupi ruang, dan dicirikan oleh salah satu atau kedua hal berikut : horison-horison atau lapisan lapisan yang dapat dibedakan dari proses penambahan, kehilangan transfer, dan perubahan bentuk dari energi dan bahan, atau kemampuan menyokong tanaman berakar dalam lingkungan alami.  Dengan definisi tersebut tanah di Antartika yang sebelumnya tidak dapat dikatakan sebagai tanah karena tidak mampu menyokong pertumbuhan tanaman, sekarang dapat dikatakan sebagai tanah.  Hingga sekarang dikenal ada 12 ordo tanah, salah satunya tanah Spodosol.

            Faktor pembentuk tanah merupakan faktor yang menentukan dalam pembentukan jenis-jenis tanah.  Adapun faktor-faktor pembentukan tanah pada mulanya dikemukakan oleh Dokuchaev (1883) dengan persamaan : T= f (i, o, b) wo, dimana T= tanah, i= iklim, o= organisme, b= bahan induk, dan wo=umur tanah.  Oleh Jenny (1941) menyatakan sebenarnya banyak faktor pembentuk tanah tetapi yang terpenting adalah selain iklim, organisme, bahan induk, dan waktu juga faktor relief (topografi), sedangkan faktor lain seperti gravitasi, gempa bumi dll.  Sehingga hubungan antara tanah dengan faktor pembentuk tanah ditulis : T= f (i, o, r, b, w).

            Mengenai jenis faktor pembentuk tanah yang berpengaruh pada proses pembentukan tanah, tampaknya berbeda disetiap tempat.  Tanah Spodosol merupakan tanah tua (senile) yang berkembang dari bahan induk berpasir, dengan tingkat kesuburan rendah sehingga perlu diketahui kendala-kendala usaha pengelolaannya.              

            Dalam kaitannya dengan Falsafah Sains maka tulisan ini dapat ditelaah melalui empat pendekatan :

1. Epistemologi : bagaimana/mencari cara-cara untuk mempelajari dalam suatu kerangka berpikir yang logik dan rasional ® Apa itu tanah Spodosol ?

2. Ontologi        :    ilmu tentang kejadian/keberadaan (genesis/existing) ® syarat, proses, faktor dan sifat-sifat serta penyebaran tanah spodosol.

3.  Aksiologi     :    ilmu yang mempelajari tentang nilai-nilai ® penggunanaan tanah Spodosol.

4. Teleologi       :    ilmu yang mempelajari tentang penyebab/tujuan akhir (cause/purpose final) ® pengelolaan tanah Spodosol.

 

PENGERTIAN TANAH SPODOSOL

            Spodosol berasal dari kata spodos dan sol.  Spodos berasal dari bahasa Yunani yang berarti abu, sedangkan sol (solum) berasal dari bahasa Latin yang berarti tanah.  Spodosol adalah tanah yang memiliki horison spodik pada kedalaman kurang dari 2 m.

            Horison tanah adalah : lapisan yang kira-kira sejajar dengan permukaan tanah.  Ia memiliki sekumpulan sifat yang dihasilkan oleh proses pembentukan tanah, dan memiliki beberapa sifat yang tidak terdapat dilapisan atas ataupun dibawahnya.

            Horison Spodik adalah : horison penimbunan (iluviasi) dengan ³ 85% bahan spodik, tebal ³ 2,5 cm.

Bahan Spodik adalah : bahan tanah mineral yang didominasi oleh bahan amorf aktif yang bersifat iluvial yang tersusun oleh bahan organik Al, dengan atau tanpa Fe ; pH H2O £ 5,9 : C-organik ³ 0,6.  Mempunyai nilai ODOE (optical density of oxalate exctract) sebesar ³ 0,25 dan nilai tersebut biasanya minimal 2 kali lipat dari nilai ODOE didalam horison eluvial (pencucian) diatasnya.

            Dari penjelasan diatas dapat di buat hipotesis sebagai berikut:

Ho :     proses pembentukan horison spodik tidak menyebabkan terbentuknya tanah Spodosol

H1 :     proses pembentukan horison spodik menyebabkan terbentuknya tanah Spodosol.

 

SIFAT-SIFAT DAN PENYEBARAN SPODOSOL

Syarat-syarat Terbentuknya Spodosol

            Tanah Spodosol dicirikan oleh adanya lapisan pasir masam berwarna putih abu-abu (horison albik/putih) diatas lapisan lempung berpasir yang berwarna gelap.  Terbentuknya tanah ini pada bahan induk pasir kursa dipercepat oleh adanya vegetasi yang menghasilkan serasah masam.  Senyawa-senyawa organik dipermukaan tercuci kebawah bersama air perlokasi sehingga permukaan tanah berwarna terang, sedangkan horison bawah menjadi berwarna gelap karena terjadinya selaput organik pada butir-butir tanah.  Walaupun demikian berdasarkan atas banyaknya variasi tanah Spodosol dan penyebarannya diberbagai zone iklim, proses yang sebenarnya terjadi tampaknya tidak begitu sederhana (Hardjowigeno, 1993).

 

Proses Pembentukan Tanah

            Horison penciri Spodosol adalah adanya horison spodik yang berwarna gelap dibawah horison albik.  Pada horison spodik menghasilkan suatu akumulasi Fe, Al dan/atau bahan organik (podsolisasi).

 

Faktor-faktor Pembentukan Tanah

            Faktor-faktor pembentukan tanah yang mempengaruhi pembentukan Spodosol adalah :

1.  Bahan induk    :    umumnya berlempung sampai berpasir

2.  Iklim                  :    umumnya boreal (dingin) atau iklim lain

3.  Topografi         :    datar

4. Vegetasi           :    conifer (berdaun jarum), atau campuran conifer dan deciduous (berdaun lebar)

5.  Waktu               :    200-2000 tahun (Hardjowigeno, 1993)

 

Sifat-sifat Spodosol

            Sifat-sifat Spodosol umumnya mempunyai reaksi tanah (pH) masam, miskin basa-basa dapat dipertukarkan, unsur hara dan kapasitas tukar kation rendah, teksturnya kasar berdebu - berpasir yang tidak mempunyai muatan umumnya didominasi pasir kuarsa yang miskin, bulk density Fe dan Al di horison spodik, dan daya memegang air rendah, serta kesuburan yang rendah.

 

Penyebaran Tanah Spodosol

            Penyebaran Spodosol terdapat pada berbagai iklim mulai dari dataran rendah pantai (coastal low land) sampai ke pegunungan tinggi.  Spodosol pada dataran rendah coastal terdapat pada beach ridge (punggung pantai).  Di Indonesia Spodosol yang terdapat didaerah ini disebut sebagai : podsol air tanah, sedangkan menurut Soil Taxonomy US. Setara dengan Aquad (Spodosol yang mempunyai regim kelembaban akuik/air).  Sedangkan pada daerah pegunungan tinggi seperti di Nepal (Guggenberger, Baumler dan Zech, 1998) dinamai dengan Cryod (Spodosol dengan regim temperatur cryik/sangat dingin).

            Adapun bahan induk umumnya berlempung sampai berpasir, tetapi ada juga Spodosol yang berkembang dari tekstur berdebu seperti di Sabuk Alpine Rondane Norwegia, walaupun demikian dia mempunyai kapasitas sangga yang rendah seperti Sparagmite (Stutzer, 1999).

            Pembentukan tanah dipegunungan Khumbu Himal Nepal dalam suatu profil tanah terdapat lebih dari satu bahan induk yang disebut dengan diskontinuitas litologi yaitu : perubahan yang nyata dalam distribusi besar butir atau susunan mineralogi (Guggenberger etal., 1998).

            Disamping itu tanah spodosol mempunyai sifat yang khas yaitu adanya bisequum yaitu : dalam suatu profil terjadi dua proses yang berbeda.  Sequum I terjadi karena proses pelapukan bahan induk, sedangkan sequum II terbentuk dari tanah yang sudah ada secara suksesif.  Dalam penelitian di daerah Bacho Thailand dijumpai Spodosol dengan bisequum (Yonebayashi dan Nomura dalam Kyuma, Vijarnsorn dan Zakaria, 1992).

            Di Suriname ditemukan giant podsol dengan horison albik setebal 3 m, dan di dataran pantai North Carolina US, ditemukan Spodosol dengan horison Spodik setebal 9 m (Hardjowigen, 1993).

            Pada Spodosol vegetasi yang tumbuh umumnya tanaman berdaun jarum, disamping itu dijumpai juga semak kerdil, lichen dan bercampur dengan tanaman berdaun lebar.  Menurut penelitian Stutzer (1999) dipegunungan Rondane Norwegia dengan nama Orthod (true Spodosol) pada sabuk alpine rendah dengan ketinggian 1100 m dpl. didominasi oleh tanaman berdaun jarum, alpine tengah dengan ketinggian 1260 m dpl. didominasi dengan belukar kerdil seperti Birch, Crowberry, Heath, dan Rush Family, sedangkan pada alpine tinggi dengan ketinggian 1600 m dpl. didominasi oleh lichen (jamur kerak).

            Sedangkan menurut Kyuma dan Vijarnsorn (dalam Kyuma etal., 1992) di propinsi Narathiwat Thailand yang terdapat didaerah beach ridge dengan nama Tropaquod (Spodosol yang dipengaruhi air tanah) vegetasinya didominasi oleh Melaleuca leucadendrom (Myrtle Family).

            Pada daerah Alger County Michigan (US) terjadinya deforestasi akibat penebangan pohon Oak selama seabad (100 tahun), sehingga tinggal Stump-praire, sehingga terjadi penurunan proses podsolisasi (depodsolisasi) pada tanah spodosol (Barrett dan Schaetzl, 1998)

 

PENGGUNAAN SPODOSOL

            Tanah Spodosol tropika seperti di Indonesia, Malaysia dan Thailand terbentuk pada dune dan deposit teras marin berpasir.  Vegetasi alaminya miskin, kerdil dan jarang yang terdiri dari tanaman campuran yang disebut : kerangas.  Setelah tanah dibuka tumbuh Melaleuca leucadendron, di Indonesia dan Malaysia disebut gelam, sedang di Thailand disebut samet yang relatif tahan terhadap kondisi tanah yang jelek.  Di Malaysia pada tanah ini ditanami dengan jambu mete (Cashew nut) dan kelapa (Kyuma dan Vijarnsorn dalam Kyuma etal., 1992)

            Selain menurut Hardjowigeno (1993) Spodosol banyak digunakan sebagai hutan dan untuk daerah rumput makanan ternak (pasture)serta tempat rekreasi.  Tanaman yang biasa ditanam di daerah ini adalah kentang, jagung, apel, strowberi, rasberi dan lain-lain.

 

PENGELOLAAN SPODOSOL

            Kendala utama dalam penggunaan tanah Spodosol di Thailand adalah kekurangan air, ini disebabkan karena kapasitas memegang air dari tanah berpasir sangat rendah.  Beberapa ameliorasi dicobakan untuk memperbaiki kekurangan air selama musim kering pada daerah Narathiwat yang sebagian besar tidak mempunyai sistem irigasi (Nagano etal., 1992)

            Dari data curah hujan yang ada menunjukkkan kekurangan air hujan merupakan problema yang serius untuk manajemen pertanian pada musim kering, maka penting untuk menjaga permukaan tanah tetap basah pada musim kering.  Usaha-usaha yang mereka pakai adalah : dengan menggunakan vynil chloride film yang diatasnya diberi mulsa seperti sekam dan jerami yang berguna untuk :

a.  Memotong pergerakan kapilaritas ke atas dari kualitas air yang jelek

b.  Memungkinkan penggunaan dari presipitasi musim kering

c.  Melindungi hara terbawa aliran permukaan

d.  Memperpendek kontrol air pada lapisan bajak.

Pada daerah ini ditanami jagung manis, kacang-kacangan, semangka, lobak dan tomat.

            Disamping vynil digunakan juga polymer buatan dengan absorpsi air tinggi yang dapat merubah kapasitas memegang air dari tanah selama musim kering (Mei, Juni, Juli dan Agustus)

 

KESIMPULAN

1. Proses pembentukan horison Spodik menyebabkan terbentuknya tanah Spodosol.  Ho ditolak, Hi diterima.

2.  Sifat-sifat Spodosol mempunyai tingkat kesuburan tanah rendah dengan kendala pH tanah masam, miskin basa-basa dapat dipertukarkan, kapasitas tukar kation dan unsur hara rendah, daya memegang air rendah.

3. Penyebaran Spodosol terdapat pada berbagai iklim dari coastal low land sampai pegunungan tinggi dengan vegetasi tanaman berdaun jarum, semak kerdil, lichen, serta mempunyai bahan induk berdebu-berpasir.

4.  Pegunungan tanah untuk hutan, daerah rekreasi dan pastura.

5.  Pengelolaan tanah untuk menjaga permukaan tanah tetap basah pada musim kering dengan menggunakan film vynil chloride yang diatasnya diberi mulsa, serta polymer buatan.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Barrett, L.R., J.S. Randall. 1998.  Regressive Pedogenesis Following a Century of Deforestation : Evidence for Depodzolization.  Soil Science 163 : 482-497.

 

Guggenberger, G., R. Baumler, and Zech. 1998. Weathering of Soil Developed in Eolian Material  Overlying Glacial Deposit in Eastern Nepal.  Soil Science 163 : 325-337

 

Hardjowigeno, S. 1993.  Klasifikasi tanah dan Pedogenesis. Akapres.  Jakarta.

 

Kyuma, K., P. Vijarnsorn, and A. Zakaria. 1992.  Coastal Low Land Ecosystem in Southern Thailand and Malaysia. Showado-Printing Co., Kyoto

 

Rachim, D. A. 2000.  Pengenalan Taksonomi Tanah.  Diklat Kuliah Jurusan Tanah Fakultas Pertanian IPB, Bogor.

 

Soil Survey Staff. 1999.  Kunci Taksonomi Tanah. USDA, Ed.2 Cet.1.  Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat.  Badan Litbang Pertanian, Bogor.

 

Stutzer, A. 1999.  Podzolisation as a Soil Forming Process in the Alpine Belt of Rondane, Norway.  Geoderma 91 : 237-248.