I. PENDAHULUAN

 

© 2001   Afra D.N. Makalew                                                                            Posted 13 June 2001  [rudyct]  

Makalah Falsafah Sains (PPs 702)   

Program Pasca Sarjana / S3

Institut Pertanian Bogor

Juni 2001

 

Dosen:

Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)

Prof Dr Ir Zahrial Coto

 

 

 

KEANEKARAGAMAN BIOTA TANAH PADA AGROEKOSISTEM 
TANPA OLAH TANAH (TOT)

 

Afra D.N. Makalew
Mahasiswa Program Pasca Sarjana Tanah,
Sub Program Studi Genesis & Klasifikasi Tanah

E-mail: adonatha@yahoo.com

 

 

 

ABSTRAK

Agroekosistem tanpa olah tanah (TOT) dicirikan oleh persiapan lahan yang tidak melalui pengolahan tanah, tanah yang terganggu tidak lebih dari 10% dari permukaan, dan residu tanaman sebelumnya berada di atas permukaan sebagai pelindung tanah.

Dengan tidak adanya pengolahan yang biasanya berfungsi untuk antara lain penghilangan gulma, maka pada TOT herbisida digunakan sebagai pengontrol gulma serta pestisida untuk pemberantasan hama dan penyakit. Pada paper ini bahasan ditinjau dari beberapa segi ilmu filsafat (Ontologi, Epistomologi, Aksiologi, dan Teleologi) yang dikemas sedemikian rupa khususnya dalam melihat pengaruh berbagai aktivitas agroekosistem TOT terhadap keanekaragaman biota tanah tertentu yang dibandingkan dengan agroekosistem lahan yang diolah.

Pengaruh persiapan lahan menunjukkan bahwa TOT cenderung memiliki lebih banyak efek positif terhadap keanekaragaman beberapa biota tanah dibanding dengan pengolahan tanah.

Sistem pertanaman seperti rotasi tanaman dan konversi vegetasi alami menjadi lahan pertanaman, ataupun pastura berpengaruh terhadap keanekaragaman biota tanah, pengaruh negatif lebih banyak disebabkan oleh pertanaman dan perkebunan dibanding pastura dan hutan alami. Penggunaan pupuk berpengaruh pada aktivitas biota terutama dikaitkan terhadap dinamika C dan N dalam tanah.Penggunaan herbisida dan pestisida memiliki efek positif maupun negatif terhadap aktivitas biota tanah terutama untuk pestisida.

 

 

I. PENDAHULUAN

 

Agroekosistem tanpa olah tanah (TOT) dicirikan oleh persiapan lahan yang tidak melalui pengolahan tanah, tanah yang terganggu tidak lebih dari 10 % dari permukaan, dan residu pertanaman sebelumnya berada di atas permukaan tanah sebagai pelindung tanah. Dengan tidak adanya pengolahan yang biasanya berfungsi untuk antara lain penghilangan gulma, maka pada TOT herbisida digunakan sebagai pengontrol gulma serta pestisida untuk pemberantasan hama dan penyakit.

Berbagai aktivitas pengelolaan pertanian dapat berpengaruh pada komunitas perombak dalam tanah, dengan sistem TOT akan menguntungkan fungi dibandingkan dengan sistem olah tanah (Guggenberger et al., 1999). Sistem pertanaman merupakan sumber bahan organik yang berasal dari tanaman yang berada di bagian atas maupun  bawah tanah yang didekomposisikan oleh mikroorganisme menjadi bahan yang mudah tersedia.

Potensi yang menguntungkan dari TOT adalah tidak terganggunya C-organik, pengkayaan atmosfer CO2 yang kurang berbahaya, dan meningkatnya kualitas tanah (Cole et al., 1995 dalam Six et al., 1999). Peningkatan C-organik dalam tanah sistem TOT oleh Paustian et.al, (1997) dalam Six et al., (1999) dikatakan sebagai akibat meningkatnya kombinasi antara kurangnya laju dekomposisi sisa-sisa tanaman dan kurangnya gangguan terhadap tanah. Berkurangnya laju dekomposisi sisa-sisa tanaman dapat diakibatkan oleh iklim mikro yang kurang kondusif terhadap aktivitas mikrobia di lapisan permukaan residu.

Sebaliknya agroekosistem lahan dengan pengolahan tanah yang secara fisik mempengaruhi agregasi tanah juga mempengaruhi dinamika organisma dalam tanah. Pengaruh penghancuran agregat tanah dalam pengolahan berkaitan erat dengan peningkatan laju dekomposisi bahan organik tanah yang akhirnya berkaitan dengan aktivitas biota tanah yang menggunakan bahan organik sebagai salah satu sumber bahan makan dan energi.

Perbedaan pengaruh yang ditimbulkan agroekosistem lahan TOT dan agroekosistem lahan dengan pengolahan tanah memberikan dampak yang positif dan negatif pada keanekaragaman biota tanah. Paper ini akan membahas tentang  berbagai aktivitas agroekosistem lahan TOT yang mempengaruhi keanekaragaman (aktivitas dan populasi) beberapa biota tanah tertentu yang dibandingkan dengan  agroekosistem lahan yang diolah.

 

II.  BIOTA TANAH DAN FAKTOR LINGKUNGAN TANAH
      YANG MEMPENGARUHINYA

 

2.1 Biota Tanah

Komponen dari biota tanah adalah akar tanaman, mikrobia (bakteri, aktinomycetes, fungi, dan alga), mikrofauna (protozoa), meso dan makrofauna  (Metting, 1993; Killham,1994). Pada Tabel 1 disajikan perkiraan biomassa komponen biota tanah yang utama di tanah  dengan vegetasi rumput di daerah temperate.

 

2.2. Faktor Lingkungan Tanah yang Mempengaruhi

2.2.1. Ketersediaan Hara dalam Tanah

Tanah merupakan sumber energi dan hara bagi biota tanah. Sumber hara tersebut berasal dari semua komponen tanah yakni mineral tanah, bahan organik tanah, udara, dan air dalam tanah. Aktivitas dan populasi mikrobia dalam tanah tentu akan dibatasi oleh sumberdaya tanah. Salah satu faktor adalah ketersediaan karbon. Smith dan Paul (1990) dalam Holmes and Zak (1994), menyebutkan bahwa aktivitas mikrobia di dalam tanah sangat dibatasi oleh masukan C yang berasal dari produksi bahan organik yang berasal dari sisa-sisa tanaman.  Selanjutnya dikatakan pula bahwa ketersediaan bahan makanan yang meningkat, akan meningkatkan populasi mikrobia tanah.

Ketersediaan bahan makanan tersebut tentu tidak lepas dari interaksi faktor lingkungan tanah lainnya seperti potensi air dan temperatur tanah. Follet dan Schimel (1989) dalam Kolberg et al. (1999) mendapatkan bahwa, pengaruh pengolahan tanah dapat meningkatkan potensi mineralisasi C dan N. Populasi mikrobia tanah rendah pada kondisi C terbatas (terjadi pada tanah yang diolah intensif). Penggunaan  TOT sangat disarankan dalam kaitannya peningkatan bahan organik tanah Wander dan Bollero (1999) yang merupakan salah satu sumber utama ketersediaan bahan makanan bagi biota tanah.

 

2.2.2         Air Tanah

Tingkat pengisian air pada pori tanah merupakan hal yang paling mendasar dalam menentukan aktivitas mikrobia tanah. Bakteri dan protozoa cenderung hidup dalam air tanah. Sedangkan fungi dalam tanah hidup disepanjang daerah pori yang terisi oleh air (Killham, 1994). Selanjutnya dikatakan pula bahwa air tanah tidak hanya secara langsung mempengaruhi aktivitas dan pertumbuhan biota tanah, tapi juga merupakan media yang mempengaruhi ketersediaan bahan makanan.

Kelembaban dan temperatur tanah merupakan faktor yang menentukan mineralisasi N dalam tanah. Hal tersebut berkaitan dengan bahan organik tanah, yakni dengan meningkatnya air dan temperatur dalam tanah akan meningkatkan dekomposisi bahan organik (Kolberg et. al., 1999).

 

2.2.3         Atmosfer Tanah

Tingkat pengisian air dalam pori tanah akan mempengaruhi komposisi gas dan udara dalam tanah (aerase tanah). Pada tanah yang beraerase baik, konsentrasi oksigen tidak akan kurang dari 20%, dan konsentrasi CO2 jarang melebihi 1%. Seperti diketahui aktivitas mikrobia tanah berada di dekat permukaan tanah terutama di daerak rizosfer, sehingga kondisi atmosfer pada daerah ini yang paling mempengaruhi (Killham, 1994).

 

2.2.4         Potensi Redoks Tanah

Potensi redoks merupakan kecenderungan dari senyawa menerima atau melepas elektron pada kondisi tertentu. Di dalam tanah, jumlah dari berbagai reaksi redoks dikuantifikasikan sebagai electrical potential (Eh) dengan satuan Volt atau mVolt. Pada Tabel 2 di bawah ini disajikan tentang sekuen terminal akseptor elektron yang digunakan dalam lingkungan tanah, serta biota tanah yang ikut berperan.

 

2.2.5. Kemasaman (pH) Tanah

Kemasaman tanah merupakan sifat fisik-kimia yang paling banyak diteliti pengaruhnya terhada ekologi mikrobia. Salah satu konsekuensi yang sangat penting dari pH tanah adalah pengaruhnya terhadap kelarutan hara (keracunan dan kekurangan), seperti unsur Fe, Mn, dan Zn akan berkurang ketersediaannya pada pH melampaui netral, dan akan bersifat racun bila pH di bawah 5. Hara P kurang tersedia pada pH rendah maupun tinggi. Pada pH rendah umumnya dijumpai dominasi fungi sedangkan bakteri (termasuk aktinomycetes) umumnya dominan pada pH 6-8. Permukaan koloid tanah biasanya memiliki pH yang lebih rendah  2 unit atau lebih dari pH larutan.

Kemasaman (pH) daerah rizosfer sebagian dikontrol oleh sumber hara nitrogen bagi tanaman. Dekomposisi bahan organik oleh mikrobia cenderung meningkatkan kemasaman tanah akibat asam organik yang dihasilkan (Killman, 1994).

 

2.2.6. Temperatur Tanah

Temperatur memiliki efek langsung maupun tidak langsung pada aktivitas biologi dalam tanah. Efek langsung yaitu terhadap laju reaksi fisik dalam tanah dan efek tidak langsung adalah mempengaruhi aktivitas mikrobia tanah melalui aspek lain seperti laju pelapukan mineral, laju difusi, potensi redoks, aktivitas air, dan lain-lain. Perlu diperhatikan bahwa temperatur tanah juga dapat berinteraksi dengan faktor lain dalam mengatur aktivitas mikrobia tanah (Killman, 1994).

 

2.2.7. Cahaya dalam Tanah

Cahaya juga mempengaruhi kegiatan biota tanah, yakni mempengaruhi distribusi dan aktivitas organisma yang berada di permukaan tanah dimana alga yang dominan, pada tanah tanpa penutup tanah, serta di permukaan batuan. Efek tidak langsung oleh cahaya terhadap mikrobia tanah adalah lebih penting. Cahaya merupakan sumber energi pada komponen fotoautotropik biota tanah. Sekitar 5% total radiasi matahari digunakan untuk reaksi  fotosintesis  mikrobia tanah (tanaman, alga, dan bakteri fotoautotropik), Killman (1994).

 

 

III.  AGROEKOSISTEM LAHAN TOT  VS. LAHAN DENGAN OLAH TANAH
             TERHADAP KEANEKARAGAMAN BEBERAPA BIOTA TANAH

 

3.1. Pengaruh Penyiapan Lahan

 

Aktivitas dalam pengolahan tanah pertanian telah sangat mempengaruhi ukuran dan komposisi komunitas mikrobia dalam tanah dilaporkan pula dalam Beare et al., 1992; Frey et al., 1999; Guggenberger et al., 1999. Beare (1997) dalam Guggenberger et al., (1999) menunjukkan bahwa penempatan sisa-sisa tanaman memperkuat pengaruh awal pada komposisi dari komunitas perombak bahan organik. Dalam sistem pengolahan tanah konvensional, dimana sisa-sisa tanaman dibenamkan, menguntungkan komunitas yang didominasi oleh bakteri, sementara pada sistem TOT, lingkungan tanah dimana sisa-sisa tanaman berada di permukaan tanah maka fungi yang relatif lebih banyak. Pada Tabel 3 berikut ini disajikan biomassa bakteri dan fungi pada sistem pengolahan tanah konvensional dan pada sistem TOT.

Pada Tabel  3 di atas ditunjukkan bahwa agroekosistem TOT (NT) secara konsisten memiliki biomassa fungi yang lebih tinggi dibandingkan dengan agroekosistem pada pengolahan tanah konvensional (CT). Di semua lokasi kecuali Manhattan, KS rasio biomassa fungi terhadap bakteri terlihat sangat nyata lebih besar pada sistem TOT dibanding pada pengolahan konvensional.

Pengaruh pengolahan tanah dikemukakan pula oleh Sahnas-Garcia et al., 1997 dalam Logsdon et al., 1999, bahwa setelah 16 tahun TOT terdapat jumlah C-organik (pada permukaan 5 cm) yang lebih banyak dibandingkan pada lahan yang diolah, tapi pada kedalaman 5-20 cm tidak berbeda nyata. Semakin banyak C-organik dalam tanah maka akan memberi pengaruh yang menguntungkan bagi aktivitas mikroorganisma tanah yang menggunakan C-organik sebagai sumber makanan. Sama halnya dengan Needelman et al., 1999 mendapatkan bahwa TOT meningkatkan bahan organik pada kedalaman 0-5 cm, 15% lebih banyak dibanding dengan lahan dengan pengolahan tanah konvensional. Namun pada kedalaman 5-15 cm dan 15-30 cm, jumlah bahan organik pada pengolahan tanah konvensional lebih besar 15,8% dan 2,3%, dikatakan pula bahwa pengolahan tidak mempengaruh biomassa mikroba tanah.

Pengaruh persiapan lahan terhadap rayap (salah satu ecosystem engineers) dilaporkan oleh Black dan Okwakol (1997) bahwa terjadi peningkatan jumlah species dan keragamannya pada lahan TOT dan pengolahan tanah dangkal dibanding pada pengolahan tanah dalam. Sebaliknya pada lahan dengan olah tanah dimana terjadi perusakan gundukan kecil di permukaan serta sarang-sarang di dekat permukaan tanah menyebabkan penurunan dalam jumlah maupun keragaman spesies rayap (Roy-Noel,1978; Wood dan Johnson, 1978; Watanabe dan Ruaysoongern, 1984;  Lavelle dan Pashanasi, 1989; Holt et al., 1993; Reddy et al., 1994; Black dan Okwakol, 1997).

Selain pengaruh pengolahan tanah pada aktivitas dan populasi rayap, maka pengaruh pengolahan juga memberikan pengaruh yang berbahaya terhadap cacing tanah (ecosystem enggineer). Hal ini seperti dilaporkan dalam Hubbard et al. (1999) bahwa pengolahan tanah akan merusak lubang-lubang cacing dan juga memungkinkan membunuh cacing selama proses pengolahan. Sebaliknya banyak studi telah menunjukkan bahwa jumlah cacing lebih besar dijumpai pada ekosistem lahan tanpa olah tanah dibanding pada agroekosistem lahan dengan pengolahan.

Tanpa mengesampingkan pengaruh yang positif dari ekosistem TOT terhadap aktivitas biota tanah maka salah satu permasalahan dalam sistem pengolahan lahan TOT yakni dijumpai pemadatan tanah, faktor yang dipengaruhi adalah densitas tanah yang tentunya sangat mempengaruhi aktivitas fauna tanah seperti cacing tanah (Logsdon et al., 1999).

 

3.2            Pengaruh Sistem Pertanaman

 

Friedel et al. (1996) menyatakan bahwa rotasi tanaman mempengaruhi tanah dan mikrobia tanah terutama terjadi pada bagian permukaan tanah. Yakni dengan meningkatkan aktivitas enzimatik, stabilitas agregat dan potensi mineralisasi C-organik dalam tanah yang ditemukan pada rotasi rape-sereal dibanding dengan legum-sereal. Dikatakan perbedaan kandungan C-organik menyebabkan perbedaan sifat-sifat mikrobia tanah.

Hasil penelitian pengaruh interaksi antara sistem pengolahan tanah dan rotasi tanaman dikemukakan oleh Hubbard et al., (1999), bahwa jumlah cacing A. trapezoides tertinggi dijumpai pada rotasi kedelai tanpa olah tanah/ residu kedelai tanpa olah tanah/ jagung tanpa olah tanah, dibandingkan dengan rotasi gandum tanpa olah tanah/residu gandum dengan olah tanah/jagung dengan olah tanah, maupun pada gandum tanpa olah tanah/ residu gandum tanpa olah tanah/ jagung tanpa olah tanah (Tabel 4).

Sumber : Hubbard et al. (1999).

 

Huruf yang sama dalam kolom atau baris tidak berbeda nyata pada tingkat 5% (Duncan),    (1) rotasi gandum tanpa olah tanah/residu gandum dengan olah tanah/jagung dengan olah tanah  (2) gandum tanpa olah tanah/ residu gandum tanpa olah tanah/ jagung tanpa olah tanah; (3) rotasi kedelai tanpa olah tanah/ residu kedelai tanpa olah tanah/ jagung tanpa olah tanah

Lavelle dan Pashanasi (1989) dalam Beare (1997) mengungkapkan  bahwa konversi hutan menjadi lahan pertanaman dan pastura di Yurimaguas Peru telah mempengaruhi populasi fauna tanah. Pada Tabel 5 ditunjukkan bahwa hutan primer memiliki keragaman dan biomassa fauna tanah yang paling tinggi. Perkebunan peach - palm dengan legum (kudzu) dijumpai banyak fauna hutan yang tinggal di bagian bawah pepohonan, dimana populasinya lebih rendah dan biomassanya lebih tinggi dari hutan primer dan sekunder. Sementara pada lahan pertanaman penurunan sangat jelas terlihat baik densitas, keragaman, maupun biomassa fauna tanah. Pada pastura memiliki keragaman yang rendah tapi biomassanya lebih tinggi. Pengaruh tersebut besar terjadi terhadap dominasi cacing Pontoscolex corethrurus.

 

Hasil penelitian tentang konversi lahan dan pengaruhnya terhadap fauna tanah dikemukakan pula oleh Fragoso et al. (1997) bahwa, komunitas cacing tanah yang asli (native species) berubah dengan adanya pergantian penggunaan lahan hutan tropik ke agroekosistem (pastura dan jagung). Secara umum penurunan jumlah spesies terjadi akibat sistem anthropik. Jumlah populasi dan biomassa meningkat pada pastura dan menurun pada pertanian. Hampir semua jenis penggunaan memiliki pola yang sama yakni penurunan jumlah spesies yang asli dan sebagian maupun total diganti oleh spesies pendatang (exotic species). Spesies pendatang tersebut lebih dominan akibat seringnya dilakukan pengolahan, penggunaan pestisida, dan masukan yang tinggi.

Pada Tabel 6 di bawah ini ditunjukkan hubungan antara iklim mikro tanah dan populasi invertebrata pada plot yang ditanami maupun tidak ditanami (semak belukar) di daerah humid tropik. Critchley et al. (1979) dalam Beare et al. (1997) mendapatkan bahwa diurnal temperatur pada tanah yang ditanami (0-10 cm) berkisar antara 26 - 32oC dibandingkan pada semak belukar yang hampir konstan 25oC. Selanjutnya dijumpai pula kelembaban tanah  pada tanah yang ditanami lebih rendah daripada tanah semak belukar, sehingga mempengaruhi aktivitas kebanyakan fauna tanah yang tinggal di permukaan tanah. Hal tersebut menyebabkan rendahnya populasi dijumpai pada tanah yang ditanami, dengan pengecualian untuk Prostigmata.

Pengaruh sistem pertanaman terutama pada populasi rayap dilaporkan oleh Black dan Okwakol, 1997 menunjukkan bahwa jumlah species lebih rendah pada tanaman budidaya dan perkebunan dibandingkan dengan vegetasi alamiah, namun jumlah populasi rayap lebih banyak dijumpai pada perkebunan dan pastura dibanding dengan pertanaman budidaya dan habitat yang tidak diganggu.

 

3.3  Pengaruh Penggunaan Pupuk

Penambahan N secara kontinu pada pertanaman akan mempengaruhi dinamika C dan N tanah setelah tanaman dipanen, karena yang diambil oleh tanaman hanya sebagian yang ditambahkan. Hal tersebut berpengaruh pada mineralisasi N. Menurut Kolberg et al. (1999) mineralisasi N yang juga dipengaruhi oleh kelembaban dan temperatur tanah, juga dipengaruhi oleh mikrobia tanah. Semakin meningkatnya dekomposisi bahan organik tanah semakin meningkat pula mineralisasi N. Sebaliknya semakin besar aktivitas mikrobia tanah maka memungkinkan untuk semakin tingginya tingkat immobilisasi N dan berkurangnya mineralisasi N.

Pengaruh pengapuran dan pemupukan P dan K terhadap aktivitas fauna tanah disampaikan oleh Geissen dan Brummer (1999), dimana aktivitas pada lahan yang dikapur tanpa pemupukan P dan K lebih rendah dibanding penambahan kapur dan pupuk P dan K.

 

3.4. Pengaruh Penggunaan Herbisida dan Pestisida

Herbisida adalah komponen yang sangat penting dalam sistem TOT. Dengan menggunakan bahan kimia dalam pengontrolan gulma akan membuat sistem TOT lebih praktis (Morrison et al., 1990  dalam Pantone et al., 1996). Pada lahan TOT permukaan tanah kurang terganggu akibat adanya residu tanaman yang menutupi permukaan, sedikitnya sekitar 30% sisa pertanaman sebelumnya masih berada dipermukaan tanah. Dengan demikian aplikasi herbisida dapat ditahan lebih lama oleh residu tanaman dan sebagian menguap ataupun tercuci (Stevenson, 1972; Stearman et al., 1989; Gish et al., 1995).

Aplikasi herbisida dapat meningkatkan ketersediaan hara dan secara simultan menurunkan total N dan hara lainnya (Hudska, 1990; Kolhe et al., 1988; Vitoosek dan Matson, 1985; Arthur dan Wang, 1999). Di lain pihak herbisida dikatakan pula menurunkan populasi dan aktivitas mikrobia tanah namun efek yang secara aktif adalah terhadap peningkatan kelembaban tanah. (Smith dan Weeraratna, 1974; Wardle et al., 1993; Wardle dan Parkinson, 1991; Arthur dan Wang, 1999).

Pada Tabel 7 disajikan pengaruh perlakuan pengontrol gulma terhadap fungi dan bakteri aktif serta total fungi dan bakteri. Perlakuan menggunakan 2 taraf herbisida Oust (Sulfometuron Methyl) dan serbuk gergaji serta bahan karet yang diaplikasi pada waktu yang berbeda pada perkebunan pohon Christmas. Pada Tabel 7 tersebut terlihat bahwa perbedaan yang nyata pada biomassa bakteri dan fungi yang aktif hanya terjadi pada sampel yang diambil pada tanggal 10 Mei. Pada hari tersebut biomassa bakteri nyata lebih besar pada perlakuan serbuk gergaji daripada perlakuan yang lain, dan secara signifikan  biomassa fungi aktif lebih tinggi di perlakuan Oust daripada perlakuan yang lain. Biomassa bakteri maupun fungi aktif lebih stabil pada perlakuan serbuk gergaji daripada perlakuan yang lain.

 

Di balik pengaruh yang menguntungkan dari penggunaan pestisida dalam meningkatkan produktivitas di bidang pertanian, bahaya yang potensial dapat terjadi dalam hal kontaminasi racun dalam tanah. Hasil penelitian Perucci dan Scarponi (1996) menunjukkan bahwa penggunaan Rimsulfuron dapat menurunkan kandungan biomassa-C mikrobia, walaupun efeknya tidak berlangsung lama akibat pengaruh dari faktor lain (tanah, iklim, dll).

Dari hasil penelitian pergerakan pestisida pada area beririgasi oleh Starrett et al. (1996) menunjukkan bahwa sekitar 0,4% isazofos yang diaplikasi tercuci melalui kolom tanah yang tidak terganggu di bawah irigasi yang ringan. Hal tersebut menunjukkan bahwa terjadi bukti aliran melalui pori makro tanah. Dikaitkan dengan fauna tanah maka cacing tanah merupakan salah satu ecosystem engineer yang berperan dalam pembentukan pori tanah. Sehingga pengaruh pestisida dalam hal ini akan sangat berpengaruh pada aktivitas cacing tanah. Dalam hal yang berbeda Ou dan Thomas (1994) menyatakan bahwa terdapat kultur bakteri campuran yang memiliki kapasitas dalam mineralisasi pestisida atau xenobiotik lainnya. Seperti contoh hasil kultur campuran 2 bakteri aquatik Pseudomonas sp. dan Achromobacter sp., yang dapat memineralisasikan silvex [2-(2,4,5-trichlorophenoxy) propionic acid] dengan adanya glukosa.

Pengaruh penggunaan bahan kimia dalam mengontrol hama dan penyakit  akan mempengaruhi keberadaan alga tanah. Hal tersebut dikemukakan oleh Megharaj et al. (1999), yang menunjukkan bahwa total populasi alga tanah akan berkurang dengan penggunaan DDD [1, 1 - dichloro - 2, 2 - bis (p- chlorophenyl) ethane] dan DBP (p, p’ - dichlorobenzo -phenone).

 

IV. KESIMPULAN

 

1.         Faktor lingkungan tanah yang berpengaruh terhadap aktivitas biota tanah adalah : ketersediaan hara dalam tanah, air tanah, atmosfer tanah, potensi redoks tanah, kemasaman (pH) tanah, temperatur tanah, dan cahaya dalam tanah.

2.         Pengaruh persiapan lahan menunjukkan bahwa TOT cenderung memiliki lebih banyak efek positif terhadap keanekaragaman beberapa biota tanah dibanding dengan pengolahan tanah.

3.         Sistem pertanaman seperti rotasi tanaman dan konversi vegetasi alami menjadi lahan pertanaman, ataupun pastura berpengaruh terhadap keanekaragaman biota tanah, pengaruh negatif lebih banyak disebabkan oleh pertanaman dan perkebunan dibanding pastura dan hutan alami.

4.         Penggunaan pupuk berpengaruh pada aktivitas biota terutama dikaitkan terhadap dinamika C dan N dalam tanah.

5.         Penggunaan herbisida dan pestisida memiliki efek positif maupun negatif terhadap aktivitas biota tanah terutama untuk pestisida.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Arthur M.A. and Y. Wang. 1999. Soil nutrients and microbial biomass following weed-control treatments in a Christmas tree plantation. Soil Sci. Soc. Am. J. 63:629-637.

Beare M.H., Reddy M.V., Tian G., and S.C. Srivastava. 1997. Agricultural intensification, soil biodiversity and agroecosystem function in the tropics : The role of decomposer biota. Applied Ecology 6:87-108.

Black H.I.J. and M.J.N. Okwakol. 1997. Agricultural intensification, soil biodiversity and agroecosystem function in the tropics : the role of termites. Applied Soil Ecology 6: 37-53.

Breland T.A. and S. Hansen. 1996. Nitrogen mineralization and microbial biomass as affected by soil compaction. Soil Biol. Biochem. J. 28 (4/5) : 655-663.

Fragoso C., Brown G.G., Patron J.C., Blanchart E., Lavelle P., Pashanasi B., Senapati B., and Kumar T., 1997. Agricultural intensification, soil biodiversity and agroecosystem function in the tropics : the role of earthworms. Applied Soil Ecology 6 : 17-35.

Friedel J.K., Munch J.C., abd W.R. Fischer. Soil microbial properties and the assesment of available soil organic matter in a Haplic Luvisol after several years of different cultivation and crop rotation. Soil Biol. Biochem. J. 28 (4/5):479-488.

Geissen V. and G.W. Brummer. 1999. Decomposition rates and feeding activities of soil fauna in deciduous forest soil in relation to soil chemical parameters following liming and fertilization. Biol. Fertil. Soils J. 29:335-342.

Gish J.T., Shirmohammadi A., Vyravipillary R., and  B.J Wienhold, 1995, Herbicide leaching under tilled and no-tillage fields. Soil Sci. Soc. Am. J. 59:895-901.

Guggenberger G., Frey S.D., Six J., Paustian K., and E.T. Elliot. 1999. Bacterial and fungal cell-wall residues in conventional and no-tillage agroecosystems. Soil Sci. Soc. Am. J. 63:1188-1198.

Holmes W.E. and D.R. Zak. 1994. Soil microbial biomass dynamics and net nitrogen mineralization in Northern Hardwood ecosystems. Soil Sci. Soc. Am. J. 58:238-243.

Hubbard V.C.,  Jordan D., and J.A. Stecker. 1999. Earthworm response to rotation and tillage in a Missouri claypan soil. Biol. Fertil. Soils J. 29:343-347.

Killham K. 1999. Soil ecology. Cambridge University Press. United Kingdom.

Kolberg R.L., Westfall D.G., and G.A. Peterson. 1999. Influence of cropping intensity and nitrogen fertilizer rates on in situ mineralization. Soil Sci. Soc. Am. J. 63:129-134.

Logsdon D.S., Kaspar T.C., and C.A. Cambardella. 1999. Depth-incremental soil properties under no-till or chisel management. Soil Sci. Soc. Am. J. 63:197-200.

Megharaj M., Boul H.L., and J.H. Thiele. Effects of DDT and its metabolites on soil algae and anzymatic activity. Biol. Fertil. Soils J. 29:130-134.

Metting, Jr. F.B. 1993. Soil microbial ecology, Aplication in agricultural and environmental management. Marcel Dekker, Inc. New York. Basel. Hongkong.

Needelman B.A., Wander M.M., Bollero G.A., Boast C.W., Sims G.K., and D.G. Bullock.1999. Interaction of tillage and soil texture : Biologically active soil organic matter in Illinois. Soil Sci. Soc. Am. J. 63:1326-1334.

Ou L.T. and J.E. Thomas. 1994. Influence of soil organic matter and soil surfaces on a bacterial consortium that mineralizes Fenamiphos. Soil Sci. Soc. Am. J. 58:1148-1153.

Pantone D.J., Potter K.N., Torbert H.A., and J.E. Morrison Jr., 1996. Atrazine loss in runoff from No-Tillage and Chisel-Tillage systems on a Houston Black clay soil. Environ. Qual. J. 25:572-577.

Perucci P. and L. Scarponi. 1996. Side effects of Rimsulfuron on the microbial biomass of clay-loam soil. Environ. Qual. J. 25:610-613.

Six J., Elliot E.T., and K. Paustian. 1999. Aggregate and soil organic matter dynamics under conventional and no-tillage systems. Soil Sci. Soc. Am. J. 63:1350-1358.

Starrett S.K., Christian N.E., and T. Al Austin. 1996. Movement of pesticides under two irrigation regimes applied to turfgrass. Environ. Qual. J. 25:566-571.

Wander M.M. and G.A. Balero. 1999. Soil quality assesment of tillage impact in Illinois. Soil Sci. Soc. Am. J. 63:961-967.