© 2001. Agus Setiawan Last re-edited 5 Aug 2001 [rudyct]
Makalah Falsafah Sains (PPs 702)
Program Pasca Sarjana / S3
Institut Pertanian Bogor
April 2001
Dosen:
Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)
Prof Dr Ir Zahrial Coto
SISTEM KAWASAN KONSERVASI DI INDONESIA:
Urgensi, Perkembangan, dan Permasalahannya
Oleh
Agus
Setiawan NRP: P14600009
PENDAHULUAN
Latar
Belakang
No
forest means no future
merupakan ungkapan yang akhir-akhir ini sering dikemukakan oleh Menteri
Kehutanan Indonesia1).
Ungkapan tersebut mengingatkan bahwa hutan merupakan sumberdaya yang
sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia. Selain sebagai penyedia bahan baku,
hutan berfungsi sebagai sumber plasma nutfah dan sistem penunjang kehidupan yang
tidak tergantikan. Misalnya sebagai
penyedia oksigen dan penyerap karbondioksida melalui proses fotosintesis, penyerap dan penjerap polutan,
pemelihara keseimbangan siklus hidrologi dan stabilitas iklim.
Karena
hutan merupakan national heritage for the global
benefit, Indonesia yang dianugrahi hutan luas dengan keanekaragaman
hayati tinggi memikul tanggung jawab moral untuk menjaga kelestarian fungsi
hutan sebagai sumber plasma nutfah dan sistem penunjang kehidupan, tidak saja
bagi rakyat Indonesia tetapi juga bagi kepentingan dunia. Dalam hal ini, secara kuantitatif upaya
Indonesia telah cukup nyata yakni dengan membangun sistem kawasan konservasi
seluas 22.560.545,46
ha.
Tujuan
dan Kegunaan
Makalah
ini menguraikan tentang sistem kawasan konservasi di Indonesia yang difokuskan
kepada urgensi, perkembangan dan permasalahan yang dihadapi. Tujuannya adalah memberikan informasi
dan pemahaman kepada semua pihak yang pada hakekatnya, langsung atau tidak
langsung berkepentingan dengan pembangunan kawasan konservasi. Informasi an pemahaman tersebut
diharapkan dapat digunakan sebagai dasar dalam memberikan dukungan, moral maupun
material, terhadap pembangunan dan pengembangan fungsi kawasan konservasi di
Indonesia untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat, baik lokal, regional,
nasional maupun global.
PENGERTIAN
KONSERVASI
Dalam
Ensiklopedia Indonesia (Redaksi
Ensiklopedia Indonesia 1983) konservasi masih diartikan sempit, yaitu perlindungan benda dan hasil produksi
dari kerusakan. Akibatnya banyak kalangan yang memandang pembangunan dan
konservasi sebagai dua kutub yang bertentangan. Di satu sisi pembangunan
menghendaki adanya perubahan dan di sisi lain konservasi tidak menghendaki
adanya perubahan, karena perubahan dapat menimbulkan kerusakan. Pemahaman
tersebut menimbulkan anggapan konservasi sebagai penghambat pembangunan. Padahal tujuan konservasi adalah
menunjang pembangunan berkelanjutan.
Dalam Merit Student Encyclopedia (Hasley
1979) konservasi diartikan sebagai penggunaan sumberdaya alam dan sumberdaya
manusia secara bijaksana. Sedangkan dalam The
Encyclopedia Americana (Americana Corporation 1980), konservasi
diartikan sebagai manajemen lingkungan
yang dilakukan sedemikian rupa sehingga menjamin pemenuhan kebutuhan sumberdaya
alam bagi generasi yang akan datang. Tujuan utama kegiatan konservasi adalah
keberlanjutan spesies manusia yang pemenuhan makanan dan baku lainnya sangat
tergantung pada lingkungan alam.
Tujuan lainnya adalah memelihara kualitas lingkungan hidup dari pencemaran serta melindungi
flora, fauna, dan lahan.
Berkaitan dengan
pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan untuk pembangunan berkelanjutan dan
berwawasan lingkungan definisi konservasi yang relevan adalah yang tertuang dalam Word
Conservation Strategy (IUCN 1980) yang telah diadopsi oleh Indonesia dan
dituangkan dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya
Alam Hayati dan Ekosistemnya. Dalam World Conservation Strategy, konservasi
didefinisikan sebagai manajemen biosphere
secara berkelanjutan untuk memperoleh manfaat bagi generasi sekarang dan
generasi yang akan datang (Alikodra 1996). Tujuan konservasi tersebut mencakup tiga
hal (Alikodra 1996; Mas’ud dan Riswan 1996), yaitu:
1)
Perlindungan
sistem ekologis yang penting sebagai pendukung kehidupan;
2)
Pelestarian
keanekaragaman flora dan fauna dan ekosistemnya;
3)
Pemanfaatan
sumberdaya biologis dan ekositemnya secara berkelanjutan.
MENGAPA
KAWASAN KONSERVASI PENTING
Sebagai
salah satu pusat keanekaragaman hayati dunia, Indonesia memiliki Indeks
Keanekaragaman Hayati (Biodiversity
Index) tinggi (Paine 1997). Walaupun kepulauan Indonesia hanya mewakili 1,3%
luas daratan dunia, tetapi memiliki 25 species ikan dunia, 17% spesies burung,
16% reptil dan amphibi, 12% mamalia, 10% tumbuhan dan sejumlah invertebrata,
fungi, dan mikroorganisme (Gautam, et
al. 2000). Hutan tropis
Indonesia merupakan 10% dari hutan tropis dunia dan 40-50% hutan tropis
Asia. Di dalamnya terdapat sekitar
4.000 spesies pohon. Hutan tropika Indonesia juga merupakan habitat bagi 500
spesies mamalia (100 di antaranya endemik) dan 1.500 spesies burung (IUCN 1992). Oleh karena itu konservasi sumberdaya
hutan merupakan hal yang sangat penting.
Munasinghe
(1994) mengemukakan tiga alasan yang memperkuat pentingnya konservasi sumberdaya
hutan, yaitu sumberdaya hutan: 1) merupakan penyedia bahan baku bagi kehidupan
manusia, 2) berfungsi sebagai “sink”
yang menjerap dan menurunkan polusi serta berperanan dalam siklus unsur hara,
dan 3) berfungsi sebagai penunjang kehidupan (life
support system
Munasinghe (1994) mengemukakan tiga alasan yang memperkuat pentingnya konservasi
sumberdaya hutan, yaitu sumberdaya hutan: 1) merupakan penyedia bahan baku bagi
kehidupan manusia, 2) berfungsi sebagai “sink” yang menjerap dan menurunkan
polusi serta berperanan dalam siklus unsur hara, dan 3) berfungsi sebagai
penunjang kehidupan) yang tidak
tergantikan, sehigga tanpa sistem tersebut kehidupan di bumi akan berubah atau
rusak. Berbagai
kebutuhan hidup manusia, baik secara langsung maupun tidak langsung berasal dari
flora dan fauna. Tanpa keberadaan
flora dan fauna siklus unsur hara dan aliran energi tidak akan berlangsung
sehingga kehidupan manusia di atas permukaan bumi akan punah.
Peningkatan
jumlah dan tingkat kesejahteraan manusia menyebabkan permintaan terhadap
sumberdaya semakin meningkat. Untuk
pemenuhan berbagai kebutuhan, hutan terus dikonversi untuk lahan pertanian,
permukiman, jalan, perkantoran, dan fasilitas lain sehingga desakan terhadap
degradasi hutan semakin meningkat.
Menurut Departemen Kehutanan (2000b) laju degradasi hutan di Indonesia
mencapai rata-rata 1-1,5 juta ha. Degradasai hutan tersebut mengancam seluruh
tipe habitat, dari hutan hujan dataran rendah sampai alpin, yang menyebabkan
penyusutan 20 hingga 70% (Barber et al. 1997). Akibatnya, fungsi-fungsi
lingkungan yang sangat mendasar untuk mendukung kehidupan manusia terabaikan,
beragam kehidupan flora dan fauna yang membentuk mata rantai kehidupan yang
bermanfaat bagi manusia menjadi rusak atau hilang.
Sementara
itu, banyak sekali flora, fauna, dan mikroorganisme yang kedudukan, fungsi, dan
peranannya dalam ekosistem belum diketahui dengan pasti. Padahal, setiap
organisme dalam ekosistem hidup saling tergantung dan memberikan kontribusi bagi
keseimbangan ekosistem. Kita baru
sadar, mengapa terjadi ledakan hama wereng, tikus, kutu loncat, atau belalang
setelah kita mengetahui satwa yang berperanan sebagai predator hama tersebut
hampir mengalami kepunahan. Dari segi ekonomi, dari sekitar 4000 spesies pohon
yang ada di Indonesia, baru 267 spesies yang merupakan jenis komersil (IUCN
1992). Tentu saja masih banyak sekali fenomena dalam ekosistem yang belum kita
pahami. Oleh karena itu, tindakan
yang paling penting untuk menghindari terjadinya kepunahan flora-fauna dan
mikroorganisme. sesuai
dengan Convention on Conservation of Biodiversity adalah “save it, study it, and use it” (Suwelo
2000; Alikodra 1996). Artinya
selamatkanlah suatu spesies atau ekosistem sebelum hilang (rusak), kemudian kaji
kegunaannya bagi peningkatan kesejahteraan hidup manusia secara
berkelanjutan.
Untuk melindungi flora-fauna dan
mikroorganisme tersebut diperlukan
suatu kawasan yang memiliki legalitas kuat, fungsinya dapat dikelola dan
dipertahankan secara efektif melalui upaya-upaya yang efisien. Kawasan tersebut disebut kawasan yang
dilindungi (protected area) atau
dalam terminologi Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya
Alam Hayati dan Ekosistemnya dan Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang
Kehutanan disebut hutan konservasi
atau kawasan konservasi. Untuk
mencegah atau mengurangi laju kelangkaan spesies dan ekosistem, penetapan
kawasan konservasi harus mendapatkan prioritas (Alikodra 1996).
SISTEM KAWASAN KONSERVASI DI
INDONESIA
Menurut
IUCN (1994) kawasan dilindungi (protected area) adalah suatu areal, baik
darat dan atau laut yang secara khusus diperuntukan bagi perlindungan dan
pemeliharaan keanekaragaman hayati dan budaya yang terkait dengan sumberdaya alam
tersebut, dan dikelola melalui upaya-upaya yang legal atau upaya-upaya efektif
lainnya. IUCN mengelompokan kawasan
dilindungi terdiri atas 6 kategori yaitu:
I.
Strict
Nature Reserve/Wilderness Area (Ia = Strict Nature Reserve dan Ib = Wilderness
Area).
II.
National
Park.
III.
Natural
Monument.
IV.
Habitat/Species
Management Area.
V.
Protected
Landscape/Seascape.
VI.
Managed
Resources Protected Area.
Definisi
mengenai keenam kategori kawasan yang dilindungi tersebut disajikan pada Lampiran
1.
Sebagai
masyarakat dunia, pembangunan sistem kawasan konservasi di Indonesia pada
dasarnya mengacu pada sistem yang dikembangkan oleh IUCN. Menurut UU RI No. 41 tahun 1999 tentang
Kehutanan dan Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya
Alam Hayati dan Ekosistemnya, hutan
(kawasan) konservasi adalah hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai
fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta
ekosistemnya. Walaupun tidak sama
persis, pengertian “protected area” menurut IUCN dapat dianggap identik dengan
hutan konservasi atau selanjutnya disebut kawasan konservasi (KK). Sistem KK di Indonesia terdiri atas hutan suaka alam, hutan pelestarian alam,
dan taman buru.
Hutan
suaka alam adalah KK baik di daratan maupun perairan yang mempunyai fungsi pokok
sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya
yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan. Kawasan suaka alam terdiri atas cagar alam (CA) dan suaka margasatwa (SM). Cagar Alam
adalah kawasan suaka alam yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan
tumbuhan, satwa dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami.
Suaka
margasatwa adalah kawasan suaka alam yang mempunyai ciri khas berupa
keanekaragaman dan atau keunikan jenis satwa yang untuk kelangsungan hidupnya
dapat dilakukan pembinaan terhadap habitatnya.
Kawasan Pelestarian Alam (KPA) yaitu KK, baik di daratan maupun di
perairan yang mempunyai fungsi sebagai perlindungan sistem
penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta
pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Kawasan pelestarian alam mencakup taman
nasional (TN), taman wisata alam (TW), dan taman hutan raya (Tahura).
Taman
nasional adalah KPA yang mempunyai
ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang digunakan untuk
keperluan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya,
pariwisata, dan rekreasi. Taman
nasional ditata dalam tiga zona,
yaitu zona inti, zoba rimba, dan zona pemanfaatan. Zona inti dilindungi secara mutlak dan
tidak diperbolehkan adanya perubahan apapun oleh aktivitas manusia. Zona rimba berfungsi sebagai penyangga
zona inti dan zona pemanfaatan merupakan bagian TN yang dapat dijadikan pusat rekreasi dan kunjungan wisata.
Taman
Wisata Alam adalah KPA yang tujuan
utamanya untuk dimanfaatkan bagi kepentingan pariwisata dan rekreasi alam.
Taman Hutan Raya (Tahura) adalah KPA untuk tujuan koleksi tumbuhan
dan atau satwa yang alami atau bukan alami, jenis asli atau bukan asli (eksotik)
yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,
menunjang budidaya, budaya,
pariwisata dan rekreasi.
Taman buru yaitu
kawasan hutan yang ditetapkan sebagai tempat wisata berburu. Menurut Rahardjo (1991), di samping
memenuhi kriteria taman wisata taman buru harus memenuhi kriteria sebagai
berikut:
·
populasi
satwa yang diburu terjamin kelestariannya, artinya dinamika populasi satwa
tersebut dapat dimonitor dengan baik,
·
satwa
buru dapat bereproduksi dengan baik.
Setiap
kategori kawasan konservasi memiliki fungsi, karakteristik, dan manajemen yang
berbeda karena memiliki tujuan penetapan dan pengelolaan yang berbeda. Akan tetapi semua KK mempunyai fungsi
pokok yang sama yaitu pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta
ekosistemnya.
Selain
kawasan konservasi tersebut, Indonesia memiliki hutan lindung (protection forest) seluas 30.3 juta
ha yang fungsi utamanya untuk
melindungi daerah tangkapan air (catchment area). Walaupun hutan lindung berfungsi sebagai tempat perlindungan
sumberdaya hayati,
tetapi tidak digolongkan kawasan konservasi karena perlindungan sumberdaya
hayati bukan merupakan tujuan utama.
PERKEMBANGAN KAWASAN
KONSERVASI DI INDONESIA
Pembangunan
kawasan konservasi di Indonesia dapat dianggap dimulai oleh Dr. Koorders, (1863-1919) pendiri dan
ketua pertama dari Nederlandsh Indische
Vereeniging tot Natuurbescherming (Perkumpulan Perlindungan Alam Hindia
Belanda). Walaupun sebelum pendirian perkumpulan itu ada beberapa kegiatan
perlindungan alam, tetapi kegiatan tersebut tidak dilakukan dengan kesadaran
penuh. Misalnya perlindungan hutan
di Depok, antara Jakarta dan Bogor (1714) dan perlindungan hutan Cibodas, di lereng
Gunung Gede. Atas usul Direktur s’Land Plantentuin (Kebun Raya) Bogor, Melchior
Treub (1880-1909), areal hutan Cibodas (280 ha) dinyatakan sebagai Cagar Alam
(Departemen Kehutanan 1984a).
Bahkan Mishra (1994) menyatakan bahwa kawasan konservasi pertama di
Indonesia didirikan tahun 684 atas
permintaan Raja Sriwijaya. Pendirian cagar alam tesebut merupakan tindakan yang
berdiri sendiri, bukan sebagai
hasil dari rancangan umum mengenai perlindungan alam.
Selama
pendudukan Jepang (1942-1945) usaha pelestarian alam hampir tidak ada. Akan tetapi, secara kebetulan Suaka Alam
Bromo tetap terjaga, karena kawasan tersebut mempunyai nilai ritual Agama Budha
yang banyak dianut orang Jepang.
Saat itu Suaka
Alam
Depok mengalami kerusakan karena pohonnya banyak ditebangi penduduk untuk
kebutuhan kayu bakar (Dephut 1986a).
Dalam zaman kemerdekaan, kegiatan perlindungan dan pengawetan alam mulai mengalami kemajuan sejak tahun 1954 (Dephut 1986b). Perkembangan luas kawasan konservasi dalam 10 dekade terahir disajikan pada Gambar1 (Lampiran 2) dan perkembangan jenis dan jumlah kawasan konservasi pada Gambar 2 (Lampiran 3). Gambar 1 menunjukkan bahwa, walaupun pembangunan kawasan konservasi telah dimulai sejak jaman penjajahan Belanda, penambahan luas kawasan konservasi terjadi secara nyata mulai tahun 1970-an. Sepuluh tahun menjelang dan setelah kemerdekaan, kemungkinan Pemerintah Penjajahan Belanda dan Pemerintah Republik Indonesia lebih disibukan oleh masalah-masalah pergolakan politik, sehingga pembangunan kawasan konservasi kurang mendapat perhatian.
Dalam tiga
dekade terakhir (mulai tahun 1970 sampai dengan tahun 1999), terutama sejak
diterapkannya sistem Pembangunan Lima Tahun (Pelita), luas kawasan konservasi
yang ditetapkan meningkat dengan pesat.
Selain luasannya yang meningkat pesat, jenis kawasan konservasi pun
semakin beragam. Dalam tahun
1970-an mulai ditetapkan taman buru (TB Semidang Bukit Kabu di Bengkulu, 1973)
dan taman wisata laut (TWL Banda,
1977).
Dalam tahun 1980-an mulai ditetapkan
taman nasional darat (TND Gunung Gede Pangrango di Jawa Barat, 1980), suaka
margasatwa laut (SML Pulau Semama di Kaltim, 1982), cagar alam laut (CAL Pulau
Sangiang di Jawa Barat/sekarang Banten, 1985), taman hutan raya (Tahura Dr.
Muhammad Hatta, di Sumatera Barat, 1986), dan taman nasional laut (TNL Kepulauan
Karimun Jawa di Jawa Tengah, 1988).
Suatu
hal yang menyolok, mulai tahun 1980-an, adalah berkembangnya konsep taman
nasional yang memiliki areal yang luas dan mengintegrasikan aspek perlindungan,
pelestartian, dan pemanfaatan (rekreasi).
Perkembangan taman nasional ini dipengaruhi oleh penyelenggaraan Kongres
Taman Nasional Sedunia ke 3 Tahun 1982 di Bali. Sejak itu luas taman nasional di
Indonesia berkembang pesat hingga mencapai 14.815.976,18 ha dan menjadi bagian
terbesar (65,67%) dari kawasan konservasi.
Sampai
dengan tahun 1979 Indonesia hanya memiliki 170 buah KK dengan luas 1.511.532,06
ha. Selama
tahun 1980-an kawasan konservasi di Indonesia bertambah sebanyak 96 buah dengan
luas 5.412.946,37 ha dan selama tahun
1990-an bertambah lagi sebanyak 117 buah dengan luas 15.537.221,07 ha. Sampai dengan tahun 2001 Indonesia
memiliki 385 buah kawasan konservasi yang meliputi 10 jenis (kategori) dengan
luas keseluruhan 22.560.545,46 ha (Lampiran 4). Kawasan konservasi tersebut tersebar di
seluruh Indonesia dan mewakili 14 tipe habitat atau ekosistem (belum termasuk ekosistem
laut).
MASALAH-MASALAH
DALAM PEMBANGUNAN KAWASAN KONSERVASI
Pembangunan
kawasan konservasi di Indonesia masih dihadapkan pada berbagai gangguan dan ancaman yang menyebabkan
kerusakan dan kawasan konservasi belum dapat berfungsi secara optimal. Berbagai bentuk gangguan dan ancaman
terhadap kawasan konservasi adalah: pencurian dan penebangan liar,
perambahan, peredaran dan
perdagangan flora dan fauna secara illegal, perburuan liar, penangkapan melebihi
quota, dan penyelundupan flora dan fauna langka dan dilindungi (Sukiran
2000). Gambaran penyebaran berbagai
jenis gangguan yang terjadi terhadap taman nasional di seluruh Indonesia dapat
dilihat pada Lampiran 5.
Berbagai
gangguan tersebut merupakan symptom
(gejala) yang terjadi pada kawasan konservasi atau sumberdaya flora dan
fauna. Gejala tersebut terjadi
sebagai akibat adanya masalah sebagai berikut:
·
Produksi/pasokan
hasil hutan (dari kawasan hutan produksi) jauh lebih kecil dari permintaan,
·
Sumberdaya
hutan yang merupakan asset terbuka masih “dipandang” sebagai karunia alam milik
bersama (common asset);
·
Kemiskinan
dan terbatasnya lapangan kerja dan kesempatan berusaha yang tersedia bagi
masyarakat di dalam dan di sekitar hutan;
·
Terbatasnya
tenaga/aparat, dana, sarana dan prasarana pengamanan hutan serta rendahnya
tingkat kesejahteraan dan tidak adanya insentif bagi aparat pengaman hutan;
·
Adanya
keterlibatan (backing) dari oknum
aparat pemerintah (sipil, keamanan, dan penegak hukum);
·
Lemahnya
penegakan hukum.
Menurut
Dephutbun (2000a), berdasarkan hasil analisis SWOT, beberapa masalah yang
menyebabkan gangguan terhadap kawasan konservasi adalah:
·
Indonesia
belum mampu mengubah potentsi ekologis yang dimiliki menjadi potensi ekonomi
yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara optimal;
·
Tingkat
pendidikan, motivasi, dedikasi dan etos kerja serta tingkat kesejahteraan
pegawai yang terlibat dalam pengelolaan kawasan konservasi umumnya masih
rendah.
·
Kelembagaan
sebagai alat menajemen belum efektif;
·
Kesenjangan
antara permintaan dengan pasokan (khususnya permintaan akan kayu),
·
Tekanan
masyarakat terhadap kawasan yang semakin meningkat;
·
Konflik
dengan sektor lain;
·
Rendahnya
kondisi sosial ekonomi masyarakat yang tinggal di sekitar dan di dalam kawasan
hutan;
·
Tuntutan
masyarakat terhadap nilai ekonomi langsung dari kawasan konservasi masih
tinggi;
·
Kesadaran
masyarakat di sekitar kawasan konservasi akan konservasi sumberdaya hutan masih
rendah.
Masalah-masalah
tersebut tidak berdiri sendiri, tetapi satu sama lain saling berkaitan dan
penanggulangannya memerlukan kebijakan yang komprehensif melalui koordinasi
antar instansi terkait, tidak dapat dilakukan hanya oleh Departemen
Kehutanan. Pandangan bahwa
konservasi sumberdaya alam (hutan) murapakan kegiatan yang terbatas pada
Departemen Kehutanan adalah hambatan yang perlu dihilangkan. Pandangan tersebut menimbulkan kesan ego sektoral, sehingga pembangunan
kawasan konservasi kurang mendapat dukungan dari masyarakat dan instansi
lainnya.
Departemen
Kehutaan dan Perkebunan (2000a) menyatakan bahwa salah satu kelemahan dalam
pengelolaan kawasan konservasi adalah peranan pemerintah daerah dalam konservasi
alam sangat minim. Hal ini
disebabkan pengelolaan kawasan konservasi masih bersifat sentralistis dan
pembagian wewenang dengan pemerintah daerah belum jelas. Menurut Undang-undang Nomor 22 tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah, konservasi merupakan kewenangan pemerintah
(pusat) dan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000 tentang Kewenangan
Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daeran Otonom dinyatakan bahwa:
penetapan kriteria dan standar pengurusan; penetapan kriteria dan standar
inventarisasi, pengukuhan dan penatagunaan; penetapan kriteria dan standar
pembentukan wilayah, sampai penyelenggaraan pengelolaan kawasan suaka alam,
kawasan pelesatarian alam, dan taman buru merupakan kewenangan pusat. Karena semua kewenangan berada pada
pusat maka tidak ada lagi yang menjadi kewenangan yang daerah. Oleh karena itu peranan pemerintah
daerah menjadi minim.
Sebagai negara
yang memiliki keanekaragaman sumberdaya hayati yang tinggi, Indonesia memikul
tanggung jawab moral untuk melindungi sumberdaya tersebut bagi kepentingan
kesejahteraan manusia generasi sekarang maupun generasi yang akan datang, baik
lokal, regional, nasional maupun global.
Sekali suatu spesies hilang
atau punah maka spesies tersebut akan punah selamanya. Sementara itu masih banyak sekali
spesies yang belum diketahui kegunaannya bagi umat manusia. Oleh karena itu prinsip “save it, study
it, and use it” merupakan prinsip yang sangat tepat.
Walaupun dari segi kuantitas
(luas dan jenis), pembangunan kawasan konservasi di Indonesia telah mengalami
perkembangan yang pesat, akan tetapi pembangunan tersebut belum dapat mencapai
hasil yang optimal. Kawasan
konservasi masih banyak mengalami kerusakan akibat berbagai ganguan. Adanya berbagai gangguan merupakan
indikasi banyaknya masalah yang dihadapi, antara lain adalah pandangan bahwa
konservasi semata-mata merupakan kegiatan Departemen Kehutanan dan minimnya peranan pemerintah daerah. Minimnya peranan pemerintah daerah
karena kewenangan pengelolaan hutan
dan kawasan konservasi masih bersifat sentralistis. Oleh karena itu diperlukan kelembagaan
baru yang dapat mengakomodasi kepentingan pemerintah daerah dan
masyarakat sekitar atau di dalam kawasan hutan.
Pengelolaan
kawasan konservasi selama ini dilaksanakan oleh institusi setingkat Dirjen di
bawah Menteri Kehutanan yang juga membawahi bidang eksploitasi hutan
(penebangan). Secara teoritis hal
ini dapat menyebabkan terjadinya “conflict of interest”. Selain itu, kenyataan menunjukkan bahwa
kawasan konservasi yang ada tidak hanya mencakup kawasan hutan tetapi juga
mencakup lautan (CAL, SML, TNL, dan
TWL) dan areal lain di luar kawasan hutan (kawasan lindung). Oleh karena itu, sudah saatnya
pengelolaan kawasan konservasi ini dilaksanakan oleh suatu lembaga independen
(Badan atau Departemen) yang
terpisah dari Departemen Kehutanan.
DAFTAR PUSTAKA
Alikodra, H.S.
1996. The implementation of
Forest Resource Conservation in Sustainable Forest Management in Indonesia
(in) Indonesia’s Efforts to Achieve
Sustainable Forestry (Revised Edition). Forum of Indonesian Forestry
Scientists. |
American
Corporation. 1980. The Encyclopedia Americana.
International Edition Vol. 7.
International Headquaters. Danbury. |
Barber, C.V., Suraya
Afif, dan Agus Purnomo.
1997. Melurusakan Arah
Pelestarian Keanekaragaman Hayati dan Pembangunan di Indonesia, penerjemah
Marina Malik – ed. 1. Yayasan
Obor Indonesia. Jakarta.
|
Departemen
Kehutanan. 1986a. Sejarah Kehutanan Indonesia I: Periode
Prasejarah– Tahun 1942.
Departemen Kehutanan RI.
Jakarta. |
___________________. 1986b. Sejarah Kehutanan Indonesia II-III:
Periode Tahun 1942-1983.
Departemen Kehutanan RI.
Jakarta. |
___________________
dan Perkebunan. 2000a. Program Pembangunan Nasional
(Propenas) Perlindungan dan Konservasi Alam Tahun 2000-2004. Departemen Kehutanan dan
Perkebunan, Direktorat Jenderal Perlindugan dan Konservasi Alam. Jakarta. |
__________________________________. 2000b. Kebijaksanaan dan Pengelolaan
Kawasan Konservasi. Direktur
Konservasi Kawasan Direktorat Jenderal Perlindungan dan konservasi
Alam. Makalah disampaikan
dalam Diskusi Widiaiswara Dephutbun mengenai Perlindungan dan Konservasi
Alam di Pusdiklat Kehutanan dan Perkebunan di Bogor tanggal 11 Maret
2000. |
Gautam, M. Uma Lele, Hariadi Kartodihardjo,
Azis Khan, Erwinsyah and Saed Rana. 2000. Indonesia The Chalenges of World
Bank Involvement in Forest.
Evaluation Country Case Study Series. The World Bank. Washingto, D.C. |
Hasley W.D. (Ed). 1979. Merit Students Encyclopedia. MacMillan Educational Corporation
New York, P.F Collier, Inc. London and New York. |
IUCN. 1980. World Conservation Strategy:
Living Resources Conservation for Sustainable Development. IUCN-UNEF-WWF,
Gland. |
IUCN. 1992. Protected Areas of the World: A review
of National System.
Volume I: Indomalaya, Oceania, Australia, and Antartic. Prepared by the World Conservation
Monitoring Centre, IUCN, Gland, Switzerland and Cambridge, UK. |
IUCN. 1994. Guidelines for Protected Area
Management Categories. CNPPA
wiyh the assistance of WCMC.
IUCN, Gland, Switzerland and Cambridge, UK.
|
Mas’ud, H.A.F and S.
Riswan. 1996. Conservation and Sustainable Use
of Tropical Forest Biodiversity in Indonesia in Indonesia (in) Indonesia’s Efforts to Achieve
Sustainable Forestry (Revised Edition). Forum of Indonesian Forestry
Scientists.
|
Munasinghe, M.
1994. Economic and Policy
Issues in Natural Habitats and Protected Areas (in) Protected Area Economics and Policy:
Linking Conservation and Suatainable Development Edited by Mohan
Munasinghe and Jeffrey McNeely.
The International Bank for Recontruction and Development/The World
Bank. 1818 H Street,
N.W. Wasington D.C. |
Paine, J.R.
1997. Status, Trends and Future Scenarios
for Forest Conservation Including Protected Areas in The Asia-Pasific
Region. Asia-Pasific
Forestry Sector Outlook Study Working Paper Series. Working Paper No:
APFSOS/WP/04. Forestry Policy
and Planning Division, Rome.
Regional Officer for Asia and Pacific, Bangkok. Rome. |
Prijono, S.N.
2000. Peranan LIPI
sebagai Scietific Authority di Dalam Konservasi Sumberdaya Alam Hayati. Proceeding Workshop Teknik Pengelolaan
dan Kebijaksanaan Konservasi Sumberdaya Alam Hayati. Departemen Kehutanan dan
Perkebuan. Pusat Pendidikan
dan Pelatihan Kehutanan dan Perkebunan. Bogor, 10-11 Maret 2000. |
Rahardjo, T.S. 1991. Country Report: Indonesia. Some Aspects of Nature
Conservation in Indonesia. Workshop Proceedings Second Asian
School on Conservation Biology.
Conservation and Restoration of Rain Forest in Asia. Sampurno Kadarsan et al.
(ed). Life Sciences Inter
University Center Faculty of Graduate Studies. Bogor Agricultural
University. Bogor. |
Redaksi Ensiklopedia Indonesia. 1983. Ensiklopedia Indonesia (Buku 4
KOM-OZO). Penerbit Buku
Ichtiar Baru – Van Hoeve.
Jakarta. |
Sormin, B.H.
1990. Indonesia (in) Blockhus, J.M., Mark R. Dillenbeck, Jeffrey A.
Sayer, and Per Wegge (ed). 1992. Conserving Biological Diversity in
Managed Tropical Forest.
Proceedings of a Workshop held at the IUCN General Assembly Perth,
Australia 30 November – 1 Desember 1990. |
Sukiran, H.B.
2000. Perlindungan dan
Pengamanan Hutan dan hasil Hutan serta Pengembangan Sumberdaya
Manusianya. Proceeding Workshop Teknik Pengelolaan
dan Kebijaksanaan Konservasi Sumberdaya Alam Hayati. Departemen Kehutanan dan
Perkebuan. Pusat Pendidikan
dan Pelatihan Kehutanan dan Perkebunan. Bogor, 10-11 Maret 2000. |
Suwelo,
I.S. 2000. Tak Kenal Maka Tak Sayang:
Pengawetan Alam. Proceeding
Workshop Teknik Pengelolaan dan Kebijaksanaan Konservasi Sumberdaya Alam
Hayati. Departemen
Kehutanan dan Perkebuan.
Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan dan Perkebunan. Bogor, 10-11 Maret 2000. |
|
Protected Areas Management Categories (IUCN 1994)
Protected Area: An area of land and/or sea especially dedicated to the protection and maintenance of biological diversity, and of natural and associated cultural resources, and managed through legal or other effective means.
Category |
Name |
Main Purpose |
Definition |
I |
Strict Nature Reserve/Wilderness Area |
Science or wilderness protection |
|
Ia |
Strict Nature Reserve |
Science |
Area of land and/or sea possessing some outstanding or representative ecosystems, geological or physiological features and or species, available primarily for scientific research and/or environmental monitoring. |
Ib |
Wilderness Area |
Wilderness Protection |
Large area of unmodified or slightly modified land and/or sea, retaining its natural character and influence, without permanent or significant habitation, which is protected and managed so as to preserve its natural condition. |
II |
National Park |
Ecosystem protection and recreation |
Natural area of land and/or sea, designated to: Ř protect the ecological integrity of one or more ecosystem for present and future generation,Ř exclude exploitation or occupation inimical to the purposes of designation of the area, andŘ provide a foundation of the spiritual, scientific, educational, recreational and visitor opportunities,all of which must be environmentally and culturally compatible. |
III |
Natural Monument |
Conservation of specific natural features |
Area containing one or more specific natural or natural/cultural feature which is of outstanding or unique value because of its inherent rarity, representative or aesthetic qualities or cultural significance. |
IV |
Habitat/Species Management Area |
Conservation through management intervention |
Area of land and/or sea subject to active intervention for management purposes so as to ensure the maintenance of habitat and/or to meet the requirement of specific species. |
V |
Protected Landscape/Seascape |
Landscape/seascape conservation and recreation |
Area of land, with coast and sea as appropriate, where the interaction of people and nature over time has produce an area of distinct character with significant aesthetic, ecological and/or cultural value, and often with high biological diversity. Safeguarding the integrity of this traditional interaction is vital to the protection, maintenance and evolution of such an area. |
VI |
Managed Resource Protected Area |
Sustainable use of natural ecosystems |
Area containing predominantly unmodified natural systems, managed to ensure for long term protection and maintenance of biological diversity, while providing at the same time a sustainable flow of natural products and services to meet community needs. |
Lampiran 4.
Penyebaran Kawasan Konservasi di Indonesia Menurut Jenis (Kategori),
Luas (ha) dan Jumlah (unit)
Propinsi |
CAD |
Jml |
CAL |
Jml |
SMD |
Jml |
SML |
|
TB |
|
Tahura |
Jml |
TND |
Jml |
TNL |
Jml |
TWD |
Jml |
TWL |
Jml |
Bali |
1762,80 |
1 |
0,00 |
0 |
0.00 |
0 |
0,00 |
0 |
0,00 |
0 |
1373,50 |
1 |
19002,89 |
1 |
0,00 |
0 |
14509,00 |
2 |
0,00 |
0 |
Banten1) |
4230.00 |
3 |
700.35 |
1 |
0.00 |
0 |
0.00 |
0 |
0.00 |
0 |
0.00 |
0 |
122956.00 |
1 |
0.00 |
0 |
1323.15 |
2 |
0.00 |
0 |
Bengkulu2) |
1780,51 |
7 |
0,00 |
0 |
0.00 |
0 |
0,00 |
0 |
25300,00 |
2 |
1122,00 |
1 |
1368000,00 |
1 |
0,00 |
0 |
14612,00 |
2 |
0,00 |
0 |
DI
Aceh3) |
8300,00 |
2 |
0,00 |
0 |
102500 |
1 |
0,00 |
0 |
80000,00 |
1 |
0,00 |
0 |
1094692,00 |
1 |
0,00 |
0 |
0,00 |
0 |
231400,00 |
2 |
DI
Yogyakarta |
70,10 |
3 |
0,00 |
0 |
0.00 |
0 |
0,00 |
0 |
0,00 |
0 |
0,00 |
0 |
0,00 |
0 |
0,00 |
0 |
132,10 |
2 |
0,00 |
0 |
DKI
Jakarta |
18,00 |
1 |
0,00 |
0 |
115,02 |
2 |
0,00 |
0 |
0,00 |
0 |
0,00 |
0 |
0,00 |
0 |
108000,00 |
1 |
0,00 |
0 |
0,00 |
0 |
Irian
Jaya |
1367712,00 |
13 |
0,00 |
0 |
2487390,00 |
4 |
65000,00 |
2 |
0,00 |
0 |
0,00 |
0 |
2919410,00 |
2 |
1453500,00 |
1 |
14258,37 |
6 |
183000,00 |
1 |
Jabar |
49446,70 |
27 |
1150.00 |
1 |
13527,5 |
2 |
0,00 |
0 |
12420,70 |
1 |
596,00 |
2 |
177956,00 |
2 |
0,00 |
0 |
4824,21 |
15 |
0,00 |
0 |
Jambi4) |
6575,80 |
3 |
0,00 |
0 |
0.00 |
0 |
0,00 |
0 |
0,00 |
0 |
0,00 |
0 |
350898,00 |
3 |
0,00 |
0 |
0,00 |
0 |
0,00 |
0 |
Jateng |
3019,10 |
25 |
0,00 |
0 |
0.00 |
0 |
0,00 |
0 |
0,00 |
0 |
0,00 |
0 |
0,00 |
0 |
111625,00 |
1 |
253,70 |
5 |
0,00 |
0 |
Jatim |
10999,90 |
16 |
0,00 |
0 |
17976,6 |
2 |
0,00 |
0 |
0,00 |
0 |
25000,00 |
1 |
176696,20 |
4 |
0,00 |
0 |
297,50 |
3 |
0,00 |
0 |
Kalbar5) |
5708,00 |
3 |
77000,00 |
1 |
180000 |
1 |
0,00 |
0 |
0,00 |
0 |
0,00 |
0 |
1203090,00 |
4 |
0,00 |
0 |
835,00 |
2 |
0,00 |
0 |
Kalsel |
67230,00 |
4 |
0,00 |
0 |
6000 |
1 |
0,00 |
0 |
0,00 |
0 |
112000,00 |
1 |
0,00 |
0 |
0,00 |
0 |
1560,00 |
2 |
0,00 |
0 |
Kalteng |
323371,00 |
4 |
0,00 |
0 |
0.00 |
0 |
0,00 |
0 |
0,00 |
0 |
0,00 |
0 |
415040,00 |
1 |
0,00 |
0 |
2533,00 |
2 |
0,00 |
0 |
Kaltim |
114400,00 |
3 |
0,00 |
0 |
0.00 |
0 |
220,00 |
1 |
0,00 |
0 |
0,00 |
0 |
1559129,00 |
2 |
0,00 |
0 |
61850,00 |
1 |
280,00 |
1 |
Lampung |
13735,10 |
1 |
0,00 |
0 |
0.00 |
0 |
0,00 |
0 |
0,00 |
0 |
22244,00 |
1 |
495000,00 |
2 |
0,00 |
0 |
0,00 |
0 |
0,00 |
0 |
Maluku |
62519,53 |
11 |
114000,00 |
3 |
14000.00 |
3 |
0,00 |
0 |
0,00 |
0 |
0,00 |
0 |
189000,00 |
1 |
0,00 |
0 |
11734,46 |
2 |
4598,00 |
3 |
NTB |
543,50 |
1 |
0,00 |
0 |
0.00 |
0 |
0,00 |
0 |
63250,00 |
3 |
3155,00 |
1 |
40000,00 |
1 |
0,00 |
0 |
5641,00 |
5 |
8954,00 |
2 |
NTT |
29384,44 |
5 |
2000,00 |
1 |
8060.00 |
4 |
0,00 |
0 |
3062,00 |
2 |
1900,00 |
1 |
313298,09 |
4 |
0,00 |
0 |
43100,72 |
5 |
119350,00 |
3 |
Riau |
1100,00 |
3 |
0,00 |
0 |
145000.00 |
2 |
0,00 |
0 |
16000,00 |
1 |
5920,00 |
1 |
0,00 |
0 |
0,00 |
0 |
2065,62 |
1 |
0,00 |
0 |
Sulsel |
97880,00 |
6 |
0,00 |
0 |
9390.00 |
3 |
0,00 |
0 |
4610,00 |
1 |
0,00 |
0 |
0,00 |
0 |
530765,00 |
1 |
105408,00 |
9 |
50000,00 |
1 |
Sulteng |
235246,00 |
3 |
0,00 |
0 |
21740.00 |
5 |
0,00 |
0 |
5000,00 |
1 |
8100,00 |
1 |
229000,00 |
1 |
0,00 |
0 |
250,00 |
1 |
0,00 |
0 |
Sultra |
509,00 |
2 |
0,00 |
0 |
126350.00 |
4 |
0,00 |
0 |
0,00 |
0 |
8146,00 |
1 |
105194,00 |
1 |
1390000,00 |
1 |
5700,00 |
2 |
81800,00 |
1 |
Sulut |
61505,50 |
7 |
0,00 |
0 |
37715.00 |
2 |
0,00 |
0 |
21400,00 |
1 |
0,00 |
0 |
287115,00 |
1 |
89065,00 |
1 |
1250,00 |
2 |
0,00 |
0 |
Sumbar |
3325,20 |
5 |
0,00 |
0 |
0.00 |
0 |
0,00 |
0 |
0,00 |
0 |
500,00 |
1 |
190500,00 |
1 |
0,00 |
0 |
610,00 |
3 |
0,00 |
0 |
Sumsel |
1,00 |
1 |
0,00 |
0 |
295607.00 |
7 |
0,00 |
0 |
0,00 |
0 |
0,00 |
0 |
0,00 |
0 |
0,00 |
0 |
50,00 |
1 |
0,00 |
0 |
Sumut |
12463,00 |
9 |
0,00 |
0 |
85552.00 |
4 |
0,00 |
0 |
8350,00 |
1 |
51600,00 |
1 |
0,00 |
0 |
0,00 |
0 |
3063,75 |
4 |
0,00 |
0 |
Jumlah |
2478606,18 |
169 |
194850,35 |
5 |
3550923,12 |
47 |
65220,00 |
3 |
239392,70 |
14
|
241656,50 |
14
|
11133021,18 |
34
|
3682955,00 |
6
|
294538,43 |
79
|
679382,00 |
14
|
Keterangan:
1) Belum termasuk
sebagian dari TND Gunung Halimun yang masih dimasukan dalam wilayah
Jabar |
CAD |
: Cagar Alam Darat |
Tahura |
: Taman Hutan Raya |
2) Termasuk sebagian
areal TND Kerinci Seblat yang masuk wilayah Jambi, Sumbar, dan Sumsel |
CAL |
: Cagar Alam Laut |
TND |
: Taman Nasional
Darat |
3) Termasuk areal TND
Leuser yang sebagian masuk wilayah Sumut |
SMD |
: Suaka Margasatwa
Darat |
TNL |
: Taman Nasional
Laut |
4) Termasuk areal TND
Bukit Tiga Puluh yang sebagian masuk wilayah Riau |
SML |
: Suaka Margasatwa
Laut |
TWD |
: Taman Wisata
Darat |
5) Termasuk areal TND
Bukit Baka-Bukit Raya yang sebagian masuk wilayah Kalteng |
TB |
: Taman Buru |
TWL |
: Taman Wisata
Laut |
Sumber: Pusat Informasi Konservasi Alam,
Departemen Kehutanan 2001 (Data Diolah)
Tabel Jenis-jenis Gangguan yang Terjadi terhadap Taman Nasional di Indonesia
Antara Tahun 1995-1999
Taman
Nasional |
Propinsi |
Periode
Pengamatan |
A |
B |
C |
D |
E |
F |
G |
H |
I |
J |
K |
Bali
Barat |
Bali |
1995-1999 |
1 |
4 |
- |
4 |
6,25 |
2 |
- |
- |
- |
- |
- |
Ujung
Kulon |
Banten |
1995-1999 |
4 |
- |
- |
1 |
1077,20 |
- |
- |
1 |
1 |
1203,9
ha |
- |
Kepulauan
Seribu |
DKI |
1995-1999 |
5 |
- |
- |
- |
- |
- |
- |
- |
- |
- |
1 |
G.
Gd. Pangrango |
Jabar |
1995-1999 |
5 |
2 |
- |
1 |
13851,39 |
- |
2 |
- |
- |
- |
- |
Gunung
Halimun |
Jabar |
1995-1999 |
- |
1 |
426,00 |
1 |
464,85 |
5 |
2 |
1 |
- |
42
KK |
- |
Karimun
Jawa |
Jateng |
1997-1999 |
1 |
3 |
- |
1 |
- |
- |
- |
1 |
- |
- |
- |
Alas
Purwo |
Jatim |
1995-1999 |
4 |
4 |
1100,00 |
2 |
- |
- |
- |
- |
- |
- |
- |
Baluran |
Jatim |
1995-1999 |
1 |
5 |
57,00 |
4 |
- |
4 |
5 |
- |
- |
- |
- |
Bromo
Tengger Semeru |
Jatim |
1995-1999 |
4 |
1 |
- |
4 |
118,00 |
- |
1 |
- |
1 |
- |
- |
Meru
Betiri |
Jatim |
1995-1999 |
2 |
2 |
- |
1 |
126,00 |
- |
1 |
- |
- |
308
KK |
- |
G.
Palung |
Kalbar |
1995-1999 |
- |
1 |
- |
2 |
- |
- |
- |
- |
1 |
10
KK |
- |
Betung
Kerihun |
Kalteng |
1999 |
1 |
1 |
- |
- |
- |
- |
1 |
1 |
1 |
- |
- |
B.
Baka-B. Raya |
Kalteng |
1998 |
- |
- |
1 |
- |
- |
- |
- |
1 |
1 |
- |
- |
Tanjung
Putting |
Kalteng |
1996-1999 |
1 |
4 |
- |
1 |
- |
- |
- |
1 |
1 |
- |
- |
Kayan
Mentarang |
Kaltim |
1995&1998 |
- |
1 |
- |
1 |
- |
- |
- |
- |
- |
- |
- |
Kutai |
Kaltim |
1998-1999 |
- |
1 |
- |
- |
5448,20 |
- |
- |
- |
- |
4634
KK |
- |
Manusela |
Maluku |
1998-1999 |
- |
- |
- |
1 |
- |
- |
1 |
- |
- |
- |
- |
G.
Rinjani |
NTB |
1995-1999 |
- |
5 |
- |
1 |
126,50 |
- |
- |
- |
- |
1,5
ha |
- |
Kelimutu |
NTT |
1995-1999 |
- |
2 |
3,00 |
3 |
5,00 |
- |
- |
- |
1 |
- |
- |
Komodo |
NTT |
1995-1999 |
5 |
4 |
- |
5 |
- |
- |
4 |
- |
- |
469
KK |
1 |
Tel.
Cendrawasih |
Papua |
1995-1999 |
5 |
4 |
- |
- |
- |
- |
1 |
- |
- |
- |
1 |
Wasur |
Papua |
1998-1999 |
- |
- |
- |
2 |
- |
1 |
1 |
- |
- |
103
KK |
- |
Taka
Bonerate |
Sulawesi
Selatan |
1995-1999 |
5 |
- |
- |
- |
- |
- |
- |
- |
- |
- |
- |
Lore
Lindu |
Sulawesi
Tengah |
1997-1999 |
1 |
1 |
- |
1 |
66,50 |
- |
- |
- |
- |
- |
- |
Rawa
Aopa Watumohai |
Sulawesi
Tenggara |
1995-1999 |
4 |
- |
10,00 |
5 |
2411,50 |
- |
5 |
- |
1 |
154
KK |
- |
Bogani
Nani W |
Sulawesi
Utara |
1995-1999 |
4 |
3
2 |
44590,45 |
1 |
1066,00 |
- |
3 |
5 |
4 |
- |
- |
Bunaken |
Sulawesi
Utara |
1988-1999 |
1 |
1 |
1 |
- |
5,30 |
- |
- |
- |
- |
- |
- |
Kep.
Wakatobi |
Sulawesi
Utara |
1999 |
1 |
- |
- |
- |
- |
- |
- |
- |
- |
- |
- |
G.
Leuser |
Sumatera
(Aceh & Sumut) |
1995-1999 |
3 |
4 |
55,00 |
1 |
17600,00 |
3 |
3 |
- |
4 |
238
KK |
- |
Kerinci
Seblat |
Sumatera
(Bengkulu, Jambi, Sumbar, Sumsel |
1995-1999 |
5 |
5 |
>
150,00 |
1 |
- |
- |
- |
5 |
5 |
1085
KK |
- |
Berbak |
Sumatera
(Jambi) |
1998 |
1 |
1 |
- |
1 |
- |
- |
- |
- |
- |
- |
- |
Buki
Barisan Selatan |
Sumatera
(Lampung & Bengkulu) |
1995-1999 |
5 |
- |
- |
2 |
10422,00 |
- |
- |
1 |
1 |
5824
KK |
- |
Way
Kambas |
Sumatera
(Lampuung) |
1995-1999 |
5 |
5 |
10,00 |
2 |
1 |
5 |
5 |
- |
- |
115
KK |
- |
Bukit
Tiga Puluh |
Sumatera
(Riau & Jambi) |
1999 |
1 |
1 |
9050,00 |
- |
- |
1 |
1 |
- |
- |
- |
- |
Siberut |
Sumatera
(Sumbar) |
1998-1999 |
2 |
2 |
- |
- |
- |
- |
- |
- |
- |
- |
- |
Keterangan:
1,2,3,4,5
= jumlah tahun terjadinya gangguan selama periode pengamatan.
- = tidak ada tahun yang didalamnya
terjadi gangguan (atau tidak ada data?)
Jenis
Gangguan:
A =
Pengambilan Hasil Hutan Non Kayu |
E =
Penyerobotan Lahan (ha) |
I
= Perladangan Liar |
B =
Penebangan Liar |
F
= Penggembalaan Liar |
J
= Permukiman Liar (KK atau ha) |
C =
Tumpang Tindih Penggunaan Lahan (ha) |
G =
Perburuan Liar |
K =
Dampak Wisata dan/atu Pencemaran |
D =
Kebakaran Hutan |
H =
Penambangan Liar |
|
Sumber: Sub Direktorat
Pemolaan Konservasi Ekosistem dan Unit Pelaksana
Teknis Ditjen Perlindungan
dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan 2000 (Data Diolah)