SISTEM KAWASAN KONSERVASI DI INDONESIA

 

 

 

© 2001. Agus Setiawan                                                      Last re-edited 5 Aug 2001  [rudyct]

Makalah Falsafah Sains (PPs 702)   

Program Pasca Sarjana / S3

Institut Pertanian Bogor

April 2001

 

Dosen:    

Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)

Prof Dr Ir Zahrial Coto

   

SISTEM KAWASAN KONSERVASI DI INDONESIA:

Urgensi, Perkembangan, dan Permasalahannya

 

 

Oleh

Agus Setiawan  NRP: P14600009

 

 

 

PENDAHULUAN

Latar Belakang

No forest means no future merupakan ungkapan yang akhir-akhir ini sering dikemukakan oleh Menteri Kehutanan Indonesia1).  Ungkapan tersebut mengingatkan bahwa hutan merupakan sumberdaya yang sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia.  Selain sebagai penyedia bahan baku, hutan berfungsi sebagai sumber plasma nutfah dan sistem penunjang kehidupan yang tidak tergantikan.  Misalnya sebagai penyedia oksigen dan penyerap karbondioksida melalui proses fotosintesis,  penyerap dan penjerap polutan, pemelihara keseimbangan siklus hidrologi dan stabilitas iklim. 

Karena hutan merupakan national heritage for the global benefit, Indonesia yang dianugrahi hutan luas dengan keanekaragaman hayati tinggi memikul tanggung jawab moral untuk menjaga kelestarian fungsi hutan sebagai sumber plasma nutfah dan sistem penunjang kehidupan, tidak saja bagi rakyat Indonesia tetapi juga bagi kepentingan dunia.  Dalam hal ini, secara kuantitatif upaya Indonesia telah cukup nyata yakni dengan membangun sistem kawasan konservasi seluas 22.560.545,46 ha. 

 

Tujuan dan Kegunaan

 

Makalah ini menguraikan tentang sistem kawasan konservasi di Indonesia yang difokuskan kepada urgensi, perkembangan dan permasalahan yang dihadapi.  Tujuannya adalah memberikan informasi dan pemahaman kepada semua pihak yang pada hakekatnya, langsung atau tidak langsung berkepentingan dengan pembangunan kawasan konservasi.   Informasi an pemahaman tersebut diharapkan dapat digunakan sebagai dasar dalam memberikan dukungan, moral maupun material, terhadap pembangunan dan pengembangan fungsi kawasan konservasi di Indonesia untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat, baik lokal, regional, nasional maupun global.

 

PENGERTIAN KONSERVASI

 

Dalam Ensiklopedia Indonesia (Redaksi Ensiklopedia Indonesia 1983) konservasi masih diartikan sempit, yaitu perlindungan benda dan hasil produksi dari kerusakan. Akibatnya banyak kalangan yang memandang pembangunan dan konservasi sebagai dua kutub yang bertentangan. Di satu sisi pembangunan menghendaki adanya perubahan dan di sisi lain konservasi tidak menghendaki adanya perubahan, karena perubahan dapat menimbulkan kerusakan. Pemahaman tersebut menimbulkan anggapan konservasi sebagai penghambat pembangunan.  Padahal tujuan konservasi adalah menunjang pembangunan berkelanjutan.

 Dalam Merit Student Encyclopedia (Hasley 1979) konservasi diartikan sebagai penggunaan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia secara bijaksana. Sedangkan dalam The Encyclopedia Americana (Americana Corporation 1980), konservasi diartikan sebagai manajemen lingkungan yang dilakukan sedemikian rupa sehingga menjamin pemenuhan kebutuhan sumberdaya alam bagi generasi yang akan datang. Tujuan utama kegiatan konservasi adalah keberlanjutan spesies manusia yang pemenuhan makanan dan baku lainnya sangat tergantung pada lingkungan alam.  Tujuan lainnya adalah memelihara kualitas lingkungan  hidup dari pencemaran serta melindungi flora, fauna, dan lahan.

      Berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan untuk pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan definisi konservasi yang  relevan adalah yang tertuang dalam Word Conservation Strategy (IUCN 1980) yang telah diadopsi oleh Indonesia dan dituangkan dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Dalam World Conservation Strategy, konservasi didefinisikan sebagai manajemen biosphere secara berkelanjutan untuk memperoleh manfaat bagi generasi sekarang dan generasi yang akan datang (Alikodra 1996).  Tujuan konservasi tersebut mencakup tiga hal (Alikodra 1996; Mas’ud dan Riswan 1996), yaitu:

1)        Perlindungan sistem ekologis yang penting sebagai pendukung kehidupan;

2)        Pelestarian keanekaragaman flora dan fauna dan ekosistemnya;

3)        Pemanfaatan sumberdaya biologis dan ekositemnya secara berkelanjutan.

 

MENGAPA KAWASAN KONSERVASI PENTING

 

Sebagai salah satu pusat keanekaragaman hayati dunia, Indonesia memiliki Indeks Keanekaragaman Hayati (Biodiversity Index) tinggi (Paine 1997). Walaupun kepulauan Indonesia hanya mewakili 1,3% luas daratan dunia, tetapi memiliki 25 species ikan dunia, 17% spesies burung, 16% reptil dan amphibi, 12% mamalia, 10% tumbuhan dan sejumlah invertebrata, fungi, dan mikroorganisme (Gautam, et al. 2000).  Hutan tropis Indonesia merupakan 10% dari hutan tropis dunia dan 40-50% hutan tropis Asia.  Di dalamnya terdapat sekitar 4.000 spesies pohon. Hutan tropika Indonesia juga merupakan habitat bagi 500 spesies mamalia (100 di antaranya endemik) dan 1.500 spesies burung  (IUCN 1992).  Oleh karena itu konservasi sumberdaya hutan merupakan hal yang sangat penting.

Munasinghe (1994) mengemukakan tiga alasan yang memperkuat pentingnya konservasi sumberdaya hutan, yaitu sumberdaya hutan: 1) merupakan penyedia bahan baku bagi kehidupan manusia, 2) berfungsi sebagai “sink” yang menjerap dan menurunkan polusi serta berperanan dalam siklus unsur hara, dan 3) berfungsi sebagai penunjang kehidupan (life support system Munasinghe (1994) mengemukakan tiga alasan yang memperkuat pentingnya konservasi sumberdaya hutan, yaitu sumberdaya hutan: 1) merupakan penyedia bahan baku bagi kehidupan manusia, 2) berfungsi sebagai “sink” yang menjerap dan menurunkan polusi serta berperanan dalam siklus unsur hara, dan 3) berfungsi sebagai penunjang kehidupan) yang tidak tergantikan, sehigga tanpa sistem tersebut kehidupan di bumi akan berubah atau rusak.  Berbagai kebutuhan hidup manusia, baik secara langsung maupun tidak langsung berasal dari flora dan fauna.  Tanpa keberadaan flora dan fauna siklus unsur hara dan aliran energi tidak akan berlangsung sehingga kehidupan manusia di atas permukaan bumi akan punah.

Peningkatan jumlah dan tingkat kesejahteraan manusia menyebabkan permintaan terhadap sumberdaya semakin meningkat.  Untuk pemenuhan berbagai kebutuhan, hutan terus dikonversi untuk lahan pertanian, permukiman, jalan, perkantoran, dan fasilitas lain sehingga desakan terhadap degradasi hutan semakin meningkat.  Menurut Departemen Kehutanan (2000b) laju degradasi hutan di Indonesia mencapai rata-rata 1-1,5 juta ha. Degradasai hutan tersebut mengancam seluruh tipe habitat, dari hutan hujan dataran rendah sampai alpin, yang menyebabkan penyusutan 20 hingga 70% (Barber et al. 1997). Akibatnya, fungsi-fungsi lingkungan yang sangat mendasar untuk mendukung kehidupan manusia terabaikan, beragam kehidupan flora dan fauna yang membentuk mata rantai kehidupan yang bermanfaat bagi manusia menjadi rusak atau hilang. 

Sementara itu, banyak sekali flora, fauna, dan mikroorganisme yang kedudukan, fungsi, dan peranannya dalam ekosistem belum diketahui dengan pasti. Padahal, setiap organisme dalam ekosistem hidup saling tergantung dan memberikan kontribusi bagi keseimbangan ekosistem.  Kita baru sadar, mengapa terjadi ledakan hama wereng, tikus, kutu loncat, atau belalang setelah kita mengetahui satwa yang berperanan sebagai predator hama tersebut hampir mengalami kepunahan. Dari segi ekonomi, dari sekitar 4000 spesies pohon yang ada di Indonesia, baru 267 spesies yang merupakan jenis komersil (IUCN 1992). Tentu saja masih banyak sekali fenomena dalam ekosistem yang belum kita pahami.  Oleh karena itu, tindakan yang paling penting untuk menghindari terjadinya kepunahan flora-fauna dan mikroorganisme. sesuai dengan Convention on Conservation of Biodiversity adalah “save it, study it, and use it” (Suwelo 2000; Alikodra 1996).  Artinya selamatkanlah suatu spesies atau ekosistem sebelum hilang (rusak), kemudian kaji kegunaannya bagi peningkatan kesejahteraan hidup manusia secara berkelanjutan.

  Untuk melindungi flora-fauna dan mikroorganisme tersebut diperlukan suatu kawasan yang memiliki legalitas kuat, fungsinya dapat dikelola dan dipertahankan secara efektif melalui upaya-upaya yang efisien.  Kawasan tersebut disebut kawasan yang dilindungi (protected area) atau dalam terminologi Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan disebut hutan konservasi atau kawasan konservasi.  Untuk mencegah atau mengurangi laju kelangkaan spesies dan ekosistem, penetapan kawasan konservasi harus mendapatkan prioritas (Alikodra 1996).

 

   

SISTEM KAWASAN KONSERVASI DI INDONESIA

 

Menurut IUCN (1994) kawasan dilindungi (protected area) adalah suatu areal, baik darat dan atau laut yang secara khusus diperuntukan bagi perlindungan dan pemeliharaan keanekaragaman hayati dan budaya  yang terkait dengan sumberdaya alam tersebut, dan dikelola melalui upaya-upaya yang legal atau upaya-upaya efektif lainnya.  IUCN mengelompokan kawasan dilindungi terdiri atas 6 kategori yaitu:

I.                  Strict Nature Reserve/Wilderness Area (Ia = Strict Nature Reserve dan Ib = Wilderness Area).

II.               National Park.

III.            Natural Monument.

IV.              Habitat/Species Management Area.

V.                 Protected Landscape/Seascape.

VI.              Managed Resources Protected Area.

Definisi mengenai keenam kategori kawasan yang dilindungi tersebut disajikan pada Lampiran 1.

Sebagai masyarakat dunia, pembangunan sistem kawasan konservasi di Indonesia pada dasarnya mengacu pada sistem yang dikembangkan oleh IUCN.  Menurut  UU RI No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya,  hutan (kawasan) konservasi adalah hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya.  Walaupun tidak sama persis, pengertian “protected area” menurut IUCN dapat dianggap identik dengan hutan konservasi atau selanjutnya disebut kawasan konservasi (KK).  Sistem KK di Indonesia terdiri atas hutan suaka alam, hutan pelestarian alam, dan taman buru.

Hutan suaka alam adalah KK baik di daratan maupun perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan.  Kawasan suaka alam terdiri atas cagar alam (CA) dan suaka margasatwa (SM). Cagar Alam adalah kawasan suaka alam yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami.

Suaka margasatwa adalah kawasan suaka alam yang mempunyai ciri khas berupa keanekaragaman dan atau keunikan jenis satwa yang untuk kelangsungan hidupnya dapat dilakukan pembinaan terhadap habitatnya.  

Kawasan Pelestarian Alam (KPA) yaitu KK, baik di daratan maupun di perairan yang mempunyai fungsi sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya.  Kawasan pelestarian alam mencakup taman nasional (TN), taman wisata alam (TW), dan taman hutan raya (Tahura).

Taman nasional  adalah KPA yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang digunakan untuk keperluan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi.  Taman nasional ditata dalam tiga zona,  yaitu zona inti, zoba rimba, dan zona pemanfaatan.  Zona inti dilindungi secara mutlak dan tidak diperbolehkan adanya perubahan apapun oleh aktivitas manusia.  Zona rimba berfungsi sebagai penyangga zona inti dan zona pemanfaatan merupakan bagian TN yang dapat dijadikan pusat rekreasi dan kunjungan wisata.

Taman Wisata Alam  adalah KPA yang tujuan utamanya untuk dimanfaatkan bagi kepentingan pariwisata dan rekreasi alam. 

Taman Hutan Raya (Tahura) adalah KPA untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau bukan alami, jenis asli atau bukan asli (eksotik) yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata dan rekreasi. 

Taman buru yaitu kawasan hutan yang ditetapkan sebagai tempat wisata berburu.  Menurut Rahardjo (1991), di samping memenuhi kriteria taman wisata taman buru harus memenuhi kriteria sebagai berikut:

·            populasi satwa yang diburu terjamin kelestariannya, artinya dinamika populasi satwa tersebut dapat dimonitor dengan baik,

·            satwa buru dapat bereproduksi dengan baik.

Setiap kategori kawasan konservasi memiliki fungsi, karakteristik, dan manajemen yang berbeda karena memiliki tujuan penetapan dan pengelolaan yang berbeda.  Akan tetapi semua KK mempunyai fungsi pokok yang sama yaitu pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya.

Selain kawasan konservasi tersebut, Indonesia memiliki hutan lindung (protection forest) seluas 30.3 juta ha  yang fungsi utamanya untuk melindungi daerah tangkapan air (catchment area).  Walaupun hutan lindung  berfungsi sebagai tempat perlindungan sumberdaya hayati, tetapi tidak digolongkan kawasan konservasi karena perlindungan sumberdaya hayati bukan merupakan tujuan utama.

 

PERKEMBANGAN KAWASAN KONSERVASI DI INDONESIA

 

Pembangunan kawasan konservasi di Indonesia dapat dianggap dimulai oleh Dr. Koorders, (1863-1919) pendiri dan ketua pertama dari Nederlandsh Indische Vereeniging tot Natuurbescherming (Perkumpulan Perlindungan Alam Hindia Belanda). Walaupun sebelum pendirian perkumpulan itu ada beberapa kegiatan perlindungan alam, tetapi kegiatan tersebut tidak dilakukan dengan kesadaran penuh.  Misalnya perlindungan hutan di Depok, antara Jakarta dan Bogor (1714) dan  perlindungan hutan Cibodas, di lereng Gunung Gede. Atas usul Direktur s’Land Plantentuin (Kebun Raya) Bogor, Melchior Treub (1880-1909), areal hutan Cibodas (280 ha) dinyatakan sebagai Cagar Alam (Departemen Kehutanan 1984a).  Bahkan Mishra (1994) menyatakan bahwa kawasan konservasi pertama di Indonesia  didirikan tahun 684 atas permintaan Raja Sriwijaya. Pendirian cagar alam tesebut merupakan tindakan yang berdiri sendiri,  bukan sebagai hasil dari rancangan umum mengenai perlindungan alam.

Selama pendudukan Jepang (1942-1945) usaha pelestarian alam hampir tidak ada.  Akan tetapi, secara kebetulan Suaka Alam Bromo tetap terjaga, karena kawasan tersebut mempunyai nilai ritual Agama Budha yang banyak dianut orang Jepang.  Saat itu Suaka

Alam Depok mengalami kerusakan karena pohonnya banyak ditebangi penduduk untuk kebutuhan kayu bakar (Dephut 1986a).

      Dalam zaman kemerdekaan, kegiatan perlindungan dan pengawetan alam mulai mengalami kemajuan sejak tahun 1954 (Dephut 1986b).  Perkembangan luas kawasan konservasi dalam 10 dekade terahir disajikan pada Gambar1 (Lampiran 2) dan perkembangan jenis dan jumlah kawasan konservasi pada Gambar 2 (Lampiran 3).  Gambar 1 menunjukkan bahwa, walaupun pembangunan kawasan konservasi telah dimulai sejak jaman penjajahan Belanda,  penambahan luas kawasan konservasi terjadi secara nyata mulai tahun 1970-an.  Sepuluh tahun menjelang dan setelah kemerdekaan, kemungkinan Pemerintah Penjajahan Belanda dan Pemerintah Republik Indonesia lebih disibukan oleh masalah-masalah pergolakan politik, sehingga pembangunan kawasan konservasi kurang mendapat perhatian. 

Dalam tiga dekade terakhir (mulai tahun 1970 sampai dengan tahun 1999), terutama sejak diterapkannya sistem Pembangunan Lima Tahun (Pelita), luas kawasan konservasi yang ditetapkan meningkat dengan pesat.  Selain luasannya yang meningkat pesat, jenis kawasan konservasi pun semakin beragam.  Dalam tahun 1970-an mulai ditetapkan taman buru (TB Semidang Bukit Kabu di Bengkulu, 1973) dan taman wisata  laut (TWL Banda, 1977).

Dalam tahun 1980-an mulai ditetapkan taman nasional darat (TND Gunung Gede Pangrango di Jawa Barat, 1980), suaka margasatwa laut (SML Pulau Semama di Kaltim, 1982), cagar alam laut (CAL Pulau Sangiang di Jawa Barat/sekarang Banten, 1985), taman hutan raya (Tahura Dr. Muhammad Hatta, di Sumatera Barat, 1986), dan taman nasional laut (TNL Kepulauan Karimun Jawa di Jawa Tengah, 1988).      

Suatu hal yang menyolok, mulai tahun 1980-an, adalah berkembangnya konsep taman nasional yang memiliki areal yang luas dan mengintegrasikan aspek perlindungan, pelestartian, dan pemanfaatan (rekreasi).  Perkembangan taman nasional ini dipengaruhi oleh penyelenggaraan Kongres Taman Nasional Sedunia ke 3 Tahun 1982 di Bali.  Sejak itu luas taman nasional di Indonesia berkembang pesat hingga mencapai 14.815.976,18 ha dan menjadi bagian terbesar (65,67%) dari kawasan konservasi. 

Sampai dengan tahun 1979 Indonesia hanya memiliki 170 buah KK dengan luas 1.511.532,06 ha.  Selama tahun 1980-an kawasan konservasi di Indonesia bertambah sebanyak 96 buah dengan luas  5.412.946,37 ha dan selama tahun 1990-an bertambah lagi sebanyak 117 buah dengan luas 15.537.221,07 ha.  Sampai dengan tahun 2001 Indonesia memiliki 385 buah kawasan konservasi yang meliputi 10 jenis (kategori) dengan luas keseluruhan 22.560.545,46 ha (Lampiran 4).  Kawasan konservasi tersebut tersebar di seluruh Indonesia dan mewakili 14 tipe habitat  atau ekosistem (belum termasuk ekosistem laut).

 

MASALAH-MASALAH DALAM PEMBANGUNAN KAWASAN KONSERVASI

 

      Pembangunan kawasan konservasi di Indonesia masih dihadapkan pada berbagai  gangguan dan ancaman yang menyebabkan kerusakan dan kawasan konservasi belum dapat berfungsi secara optimal.  Berbagai bentuk gangguan dan ancaman terhadap kawasan konservasi adalah: pencurian dan penebangan liar, perambahan,  peredaran dan perdagangan flora dan fauna secara illegal, perburuan liar, penangkapan melebihi quota, dan penyelundupan flora dan fauna langka dan dilindungi (Sukiran 2000).  Gambaran penyebaran berbagai jenis gangguan yang terjadi terhadap taman nasional di seluruh Indonesia dapat dilihat pada Lampiran 5.

Berbagai gangguan tersebut merupakan symptom (gejala) yang terjadi pada kawasan konservasi atau sumberdaya flora dan fauna.  Gejala tersebut terjadi sebagai akibat adanya masalah sebagai berikut:

·            Produksi/pasokan hasil hutan (dari kawasan hutan produksi) jauh lebih kecil dari permintaan,

·            Sumberdaya hutan yang merupakan asset terbuka masih “dipandang” sebagai karunia alam milik bersama (common asset);

·            Kemiskinan dan terbatasnya lapangan kerja dan kesempatan berusaha yang tersedia bagi masyarakat di dalam dan di sekitar hutan;

·            Terbatasnya tenaga/aparat, dana, sarana dan prasarana pengamanan hutan serta rendahnya tingkat kesejahteraan dan tidak adanya insentif bagi aparat pengaman hutan;

·            Adanya keterlibatan (backing) dari oknum aparat pemerintah (sipil, keamanan, dan penegak hukum);

·            Lemahnya penegakan hukum.

Menurut Dephutbun (2000a), berdasarkan hasil analisis SWOT, beberapa masalah yang menyebabkan gangguan terhadap kawasan konservasi adalah:

·            Indonesia belum mampu mengubah potentsi ekologis yang dimiliki menjadi potensi ekonomi yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara optimal;

·            Tingkat pendidikan, motivasi, dedikasi dan etos kerja serta tingkat kesejahteraan pegawai yang terlibat dalam pengelolaan kawasan konservasi umumnya masih rendah.

·            Kelembagaan sebagai alat menajemen belum efektif;

·            Kesenjangan antara permintaan dengan pasokan (khususnya permintaan akan kayu),

·            Tekanan masyarakat terhadap kawasan yang semakin meningkat;

·            Konflik dengan sektor lain;

·            Rendahnya kondisi sosial ekonomi masyarakat yang tinggal di sekitar dan di dalam kawasan hutan;

·            Tuntutan masyarakat terhadap nilai ekonomi langsung dari kawasan konservasi masih tinggi;

·            Kesadaran masyarakat di sekitar kawasan konservasi akan konservasi sumberdaya hutan masih rendah.

Masalah-masalah tersebut tidak berdiri sendiri, tetapi satu sama lain saling berkaitan dan penanggulangannya memerlukan kebijakan yang komprehensif melalui koordinasi antar instansi terkait, tidak dapat dilakukan hanya oleh Departemen Kehutanan.   Pandangan bahwa konservasi sumberdaya alam (hutan) murapakan kegiatan yang terbatas pada Departemen Kehutanan adalah hambatan yang perlu dihilangkan.  Pandangan tersebut menimbulkan kesan ego sektoral, sehingga pembangunan kawasan konservasi kurang mendapat dukungan dari masyarakat dan instansi lainnya. 

      Departemen Kehutaan dan Perkebunan (2000a) menyatakan bahwa salah satu kelemahan dalam pengelolaan kawasan konservasi adalah peranan pemerintah daerah dalam konservasi alam sangat minim.  Hal ini disebabkan pengelolaan kawasan konservasi masih bersifat sentralistis dan pembagian wewenang dengan pemerintah daerah belum jelas.  Menurut Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, konservasi merupakan kewenangan pemerintah (pusat) dan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daeran Otonom dinyatakan bahwa: penetapan kriteria dan standar pengurusan; penetapan kriteria dan standar inventarisasi, pengukuhan dan penatagunaan; penetapan kriteria dan standar pembentukan wilayah, sampai penyelenggaraan pengelolaan kawasan suaka alam, kawasan pelesatarian alam, dan taman buru merupakan kewenangan pusat.  Karena semua kewenangan berada pada pusat maka tidak ada lagi yang menjadi kewenangan yang daerah.  Oleh karena itu peranan pemerintah daerah menjadi minim.

 

PENUTUP

 

      Sebagai negara yang memiliki keanekaragaman sumberdaya hayati yang tinggi, Indonesia memikul tanggung jawab moral untuk melindungi sumberdaya tersebut bagi kepentingan kesejahteraan manusia generasi sekarang maupun generasi yang akan datang, baik lokal, regional, nasional maupun global.  Sekali  suatu spesies hilang atau punah maka spesies tersebut akan punah selamanya.  Sementara itu masih banyak sekali spesies yang belum diketahui kegunaannya bagi umat manusia.  Oleh karena itu prinsip “save it, study it, and use it” merupakan prinsip yang sangat tepat.

Walaupun dari segi kuantitas (luas dan jenis), pembangunan kawasan konservasi di Indonesia telah mengalami perkembangan yang pesat, akan tetapi pembangunan tersebut belum dapat mencapai hasil yang optimal.  Kawasan konservasi masih banyak mengalami kerusakan akibat berbagai ganguan.   Adanya berbagai gangguan merupakan indikasi banyaknya masalah yang dihadapi, antara lain adalah pandangan bahwa konservasi semata-mata merupakan kegiatan Departemen Kehutanan dan minimnya  peranan pemerintah daerah.  Minimnya peranan pemerintah daerah karena  kewenangan pengelolaan hutan dan kawasan konservasi masih bersifat sentralistis.  Oleh karena itu diperlukan kelembagaan baru yang dapat mengakomodasi kepentingan pemerintah daerah dan masyarakat sekitar atau di dalam kawasan hutan.

Pengelolaan kawasan konservasi selama ini dilaksanakan oleh institusi setingkat Dirjen di bawah Menteri Kehutanan yang juga membawahi bidang eksploitasi hutan (penebangan).  Secara teoritis hal ini dapat menyebabkan terjadinya “conflict of interest”.  Selain itu, kenyataan menunjukkan bahwa kawasan konservasi yang ada tidak hanya mencakup kawasan hutan tetapi juga mencakup  lautan (CAL, SML, TNL, dan TWL) dan areal lain di luar kawasan hutan (kawasan lindung).  Oleh karena itu, sudah saatnya pengelolaan kawasan konservasi ini dilaksanakan oleh suatu lembaga independen (Badan atau Departemen)  yang terpisah dari Departemen Kehutanan. 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Alikodra, H.S. 1996.  The implementation of Forest Resource Conservation in Sustainable Forest Management in Indonesia (in)  Indonesia’s Efforts to Achieve Sustainable Forestry (Revised Edition).  Forum of Indonesian Forestry Scientists.

American Corporation.  1980.  The Encyclopedia Americana. International Edition Vol. 7.  International Headquaters. Danbury.

Barber, C.V., Suraya Afif, dan Agus Purnomo.  1997.  Melurusakan Arah Pelestarian Keanekaragaman Hayati dan Pembangunan di Indonesia, penerjemah Marina Malik – ed. 1.  Yayasan Obor Indonesia.  Jakarta.

Departemen Kehutanan.  1986a.  Sejarah Kehutanan Indonesia I: Periode Prasejarah– Tahun 1942.  Departemen Kehutanan RI.  Jakarta.

___________________.  1986b.  Sejarah Kehutanan Indonesia II-III: Periode Tahun 1942-1983.  Departemen Kehutanan RI.  Jakarta.

___________________ dan Perkebunan.  2000a.  Program Pembangunan Nasional (Propenas) Perlindungan dan Konservasi Alam Tahun 2000-2004.  Departemen Kehutanan dan Perkebunan, Direktorat Jenderal Perlindugan dan Konservasi Alam.  Jakarta.

__________________________________.  2000b.  Kebijaksanaan dan Pengelolaan Kawasan Konservasi.  Direktur Konservasi Kawasan Direktorat Jenderal Perlindungan dan konservasi Alam.  Makalah disampaikan dalam Diskusi Widiaiswara Dephutbun mengenai Perlindungan dan Konservasi Alam di Pusdiklat Kehutanan dan Perkebunan di Bogor tanggal 11 Maret 2000.

Gautam, M.  Uma Lele, Hariadi Kartodihardjo, Azis Khan, Erwinsyah and Saed Rana. 2000.  Indonesia The Chalenges of World Bank Involvement in Forest.  Evaluation Country Case Study Series.  The World Bank.  Washingto, D.C. 

Hasley W.D. (Ed).  1979.  Merit Students Encyclopedia.  MacMillan Educational Corporation New York, P.F Collier, Inc. London and New York.

IUCN.  1980.  World Conservation Strategy: Living Resources Conservation for Sustainable Development. IUCN-UNEF-WWF, Gland.

IUCN.  1992.  Protected Areas of the World: A review of National System.  Volume I: Indomalaya, Oceania, Australia, and Antartic.  Prepared by the World Conservation Monitoring Centre, IUCN, Gland, Switzerland and Cambridge, UK.

IUCN.  1994.  Guidelines for Protected Area Management Categories.  CNPPA wiyh the assistance of WCMC.  IUCN, Gland, Switzerland and Cambridge, UK.

Mas’ud, H.A.F and S. Riswan.  1996.  Conservation and Sustainable Use of Tropical Forest Biodiversity in Indonesia in Indonesia (in)  Indonesia’s Efforts to Achieve Sustainable Forestry (Revised Edition).  Forum of Indonesian Forestry Scientists. 

Munasinghe, M. 1994.  Economic and Policy Issues in Natural Habitats and Protected Areas (in) Protected Area Economics and Policy: Linking Conservation and Suatainable Development Edited by Mohan Munasinghe and Jeffrey McNeely.  The International Bank for Recontruction and Development/The World Bank.   1818 H Street, N.W.  Wasington D.C.

Paine, J.R.  1997.  Status, Trends and Future Scenarios for Forest Conservation Including Protected Areas in The Asia-Pasific Region.  Asia-Pasific Forestry Sector Outlook Study Working Paper Series.  Working Paper No: APFSOS/WP/04.  Forestry Policy and Planning Division, Rome.  Regional Officer for Asia and Pacific, Bangkok.  Rome.

Prijono, S.N.  2000.  Peranan LIPI sebagai Scietific Authority di Dalam Konservasi Sumberdaya Alam Hayati. Proceeding Workshop Teknik Pengelolaan dan Kebijaksanaan Konservasi Sumberdaya Alam Hayati.  Departemen Kehutanan dan Perkebuan.  Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan dan Perkebunan.  Bogor, 10-11 Maret 2000.

Rahardjo, T.S. 1991.  Country Report: Indonesia.  Some Aspects of Nature Conservation in Indonesia.  Workshop Proceedings Second Asian School on Conservation Biology.  Conservation and Restoration of Rain Forest in Asia.  Sampurno Kadarsan et al. (ed).  Life Sciences Inter University Center Faculty of Graduate Studies.  Bogor Agricultural University.  Bogor.

Redaksi Ensiklopedia Indonesia.  1983.  Ensiklopedia Indonesia (Buku 4 KOM-OZO).  Penerbit Buku Ichtiar Baru – Van Hoeve.  Jakarta.

Sormin, B.H.  1990. Indonesia (in) Blockhus, J.M.,  Mark R. Dillenbeck, Jeffrey A. Sayer, and Per Wegge (ed). 1992. Conserving Biological Diversity in Managed Tropical Forest.  Proceedings of a Workshop held at the IUCN General Assembly Perth, Australia 30 November – 1 Desember 1990.

Sukiran, H.B.  2000.  Perlindungan dan Pengamanan Hutan dan hasil Hutan serta Pengembangan Sumberdaya Manusianya.   Proceeding Workshop Teknik Pengelolaan dan Kebijaksanaan Konservasi Sumberdaya Alam Hayati.  Departemen Kehutanan dan Perkebuan.  Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan dan Perkebunan.  Bogor, 10-11 Maret 2000.

Suwelo, I.S.  2000.  Tak Kenal Maka Tak Sayang: Pengawetan Alam. Proceeding Workshop Teknik Pengelolaan dan Kebijaksanaan Konservasi Sumberdaya Alam Hayati.  Departemen Kehutanan dan Perkebuan.  Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan dan Perkebunan.  Bogor, 10-11 Maret 2000.

 

 

 

1)  ungkapan ini antara lain dikemukakan Menteri Kehutanan dalam: Seminar Menuju Undang-undang Pengelolaan Sumber Daya Alam yang Adil, Demokratis dan Berkelanjutan, 18 April 2001 di Jakarta; Interim Meeting of the Consultatif Group on aIndonesia, 24 April 2001; dan Pencanangan Penanaman Sejuta Pohon di Cisolok Sukabumi, 29 April 2001.

 

Lampiran 1

Protected Areas Management Categories (IUCN 1994)

Protected Area: An area of land and/or sea especially dedicated to the protection and maintenance of biological diversity, and of natural and associated cultural resources, and managed through legal or other effective means.

Category

Name

Main Purpose

Definition

I

Strict Nature Reserve/Wilderness Area

Science or wilderness protection

 

Ia

Strict Nature Reserve

Science

Area of land and/or sea possessing some outstanding or representative ecosystems, geological or physiological features and or species, available primarily for scientific research and/or environmental monitoring.

Ib

Wilderness Area

Wilderness Protection

Large area of unmodified or slightly modified land and/or sea, retaining its natural character and influence, without permanent or significant habitation, which is protected and managed so as to preserve its natural condition.

II

National Park

Ecosystem protection and recreation

Natural area of land and/or sea, designated to:

Ř protect the ecological integrity of one or more ecosystem for present and future generation,

Ř exclude exploitation or occupation inimical to the purposes of designation of the area, and

Ř provide a foundation of the spiritual, scientific, educational, recreational and visitor opportunities,

all of which must be environmentally and culturally compatible.

III

Natural Monument

Conservation of specific natural features

Area containing one or more specific natural or natural/cultural feature which is of outstanding or unique value because of its inherent rarity, representative or aesthetic qualities or cultural significance.

IV

Habitat/Species Management Area

Conservation through management intervention

Area of land and/or sea subject to active intervention for management purposes so as to ensure the maintenance of habitat and/or to meet the requirement of specific species.

V

Protected Landscape/Seascape

Landscape/seascape conservation and recreation

Area of land, with coast and sea as appropriate, where the interaction of people and nature over time has produce an area of distinct character with significant aesthetic, ecological and/or cultural value, and often with high biological diversity. Safeguarding the integrity of this traditional interaction is vital to the protection, maintenance and evolution of such an area.

VI

Managed Resource Protected Area

Sustainable use of natural ecosystems

Area containing predominantly unmodified natural systems, managed to ensure for long term protection and maintenance of biological diversity, while providing at the same time a sustainable flow of natural products and services to meet community needs.


       Lampiran 2 

   

 

   

    Lampiran 3



 

Lampiran 4.  Penyebaran Kawasan Konservasi di Indonesia Menurut Jenis (Kategori), Luas (ha) dan Jumlah (unit)

 

Propinsi

CAD

Jml

CAL

Jml

SMD

Jml

SML

 

TB

 

Tahura

Jml

TND

Jml

TNL

Jml

TWD

Jml

TWL

Jml

Bali

1762,80

1

0,00

0

0.00

0

0,00

0

0,00

0

1373,50

1

19002,89

1

0,00

0

14509,00

2

0,00

0

Banten1)

4230.00

3

700.35

1

0.00

0

0.00

0

0.00

0

0.00

0

122956.00

1

0.00

0

1323.15

2

0.00

0

Bengkulu2)

1780,51

7

0,00

0

0.00

0

0,00

0

25300,00

2

1122,00

1

1368000,00

1

0,00

0

14612,00

2

0,00

0

DI Aceh3)

8300,00

2

0,00

0

102500

1

0,00

0

80000,00

1

0,00

0

1094692,00

1

0,00

0

0,00

0

231400,00

2

DI Yogyakarta

70,10

3

0,00

0

0.00

0

0,00

0

0,00

0

0,00

0

0,00

0

0,00

0

132,10

2

0,00

0

DKI Jakarta

18,00

1

0,00

0

115,02

2

0,00

0

0,00

0

0,00

0

0,00

0

108000,00

1

0,00

0

0,00

0

Irian Jaya

1367712,00

13

0,00

0

2487390,00

4

65000,00

2

0,00

0

0,00

0

2919410,00

2

1453500,00

1

14258,37

6

183000,00

1

Jabar

49446,70

27

1150.00

1

13527,5

2

0,00

0

12420,70

1

596,00

2

177956,00

2

0,00

0

4824,21

15

0,00

0

Jambi4)

6575,80

3

0,00

0

0.00

0

0,00

0

0,00

0

0,00

0

350898,00

3

0,00

0

0,00

0

0,00

0

Jateng

3019,10

25

0,00

0

0.00

0

0,00

0

0,00

0

0,00

0

0,00

0

111625,00

1

253,70

5

0,00

0

Jatim

10999,90

16

0,00

0

17976,6

2

0,00

0

0,00

0

25000,00

1

176696,20

4

0,00

0

297,50

3

0,00

0

Kalbar5)

5708,00

3

77000,00

1

180000

1

0,00

0

0,00

0

0,00

0

1203090,00

4

0,00

0

835,00

2

0,00

0

Kalsel

67230,00

4

0,00

0

6000

1

0,00

0

0,00

0

112000,00

1

0,00

0

0,00

0

1560,00

2

0,00

0

Kalteng

323371,00

4

0,00

0

0.00

0

0,00

0

0,00

0

0,00

0

415040,00

1

0,00

0

2533,00

2

0,00

0

Kaltim

114400,00

3

0,00

0

0.00

0

220,00

1

0,00

0

0,00

0

1559129,00

2

0,00

0

61850,00

1

280,00

1

Lampung

13735,10

1

0,00

0

0.00

0

0,00

0

0,00

0

22244,00

1

495000,00

2

0,00

0

0,00

0

0,00

0

Maluku

62519,53

11

114000,00

3

14000.00

3

0,00

0

0,00

0

0,00

0

189000,00

1

0,00

0

11734,46

2

4598,00

3

NTB

543,50

1

0,00

0

0.00

0

0,00

0

63250,00

3

3155,00

1

40000,00

1

0,00

0

5641,00

5

8954,00

2

NTT

29384,44

5

2000,00

1

8060.00

4

0,00

0

3062,00

2

1900,00

1

313298,09

4

0,00

0

43100,72

5

119350,00

3

Riau

1100,00

3

0,00

0

145000.00

2

0,00

0

16000,00

1

5920,00

1

0,00

0

0,00

0

2065,62

1

0,00

0

Sulsel

97880,00

6

0,00

0

9390.00

3

0,00

0

4610,00

1

0,00

0

0,00

0

530765,00

1

105408,00

9

50000,00

1

Sulteng

235246,00

3

0,00

0

21740.00

5

0,00

0

5000,00

1

8100,00

1

229000,00

1

0,00

0

250,00

1

0,00

0

Sultra

509,00

2

0,00

0

126350.00

4

0,00

0

0,00

0

8146,00

1

105194,00

1

1390000,00

1

5700,00

2

81800,00

1

Sulut

61505,50

7

0,00

0

37715.00

2

0,00

0

21400,00

1

0,00

0

287115,00

1

89065,00

1

1250,00

2

0,00

0

Sumbar

3325,20

5

0,00

0

0.00

0

0,00

0

0,00

0

500,00

1

190500,00

1

0,00

0

610,00

3

0,00

0

Sumsel

1,00

1

0,00

0

295607.00

7

0,00

0

0,00

0

0,00

0

0,00

0

0,00

0

50,00

1

0,00

0

Sumut

12463,00

9

0,00

0

85552.00

4

0,00

0

8350,00

1

51600,00

1

0,00

0

0,00

0

3063,75

4

0,00

0

Jumlah

2478606,18

169

194850,35

5

3550923,12

47

65220,00

3

239392,70

14

241656,50

14

11133021,18

34

3682955,00

6

294538,43

79

679382,00

14

Keterangan:

1) Belum termasuk sebagian dari TND Gunung Halimun yang masih dimasukan dalam wilayah Jabar

CAD

: Cagar Alam Darat

Tahura

: Taman Hutan Raya

2) Termasuk sebagian areal TND Kerinci Seblat yang masuk wilayah Jambi, Sumbar, dan Sumsel

CAL

: Cagar Alam Laut

TND

: Taman Nasional Darat

3) Termasuk areal TND Leuser yang sebagian masuk wilayah Sumut

SMD

: Suaka Margasatwa Darat

TNL

: Taman Nasional Laut

4) Termasuk areal TND Bukit Tiga Puluh yang sebagian masuk wilayah Riau

SML

: Suaka Margasatwa Laut

TWD

: Taman Wisata Darat

5) Termasuk areal TND Bukit Baka-Bukit Raya yang sebagian masuk wilayah Kalteng

TB

: Taman Buru

TWL

: Taman Wisata Laut

 

Sumber: Pusat Informasi Konservasi Alam, Departemen Kehutanan 2001 (Data Diolah)





  Lampiran 5. 

Tabel Jenis-jenis Gangguan yang Terjadi terhadap Taman Nasional di Indonesia

Antara Tahun 1995-1999

Taman Nasional

Propinsi

Periode Pengamatan

A

B

C

D

E

F

G

H

I

J

K

Bali Barat

Bali

1995-1999

1

4

-

4

6,25

2

-

-

-

-

-

Ujung Kulon

Banten

1995-1999

4

-

-

1

1077,20

-

-

1

1

1203,9 ha

-

Kepulauan Seribu

DKI

1995-1999

5

-

-

-

-

-

-

-

-

-

1

G. Gd. Pangrango

Jabar

1995-1999

5

2

-

1

13851,39

-

2

-

-

-

-

Gunung Halimun

Jabar

1995-1999

-

1

426,00

1

464,85

5

2

1

-

42 KK

-

Karimun Jawa

Jateng

1997-1999

1

3

-

1

-

-

-

1

-

-

-

Alas Purwo

Jatim

1995-1999

4

4

1100,00

2

-

-

-

-

-

-

-

Baluran

Jatim

1995-1999

1

5

57,00

4

-

4

5

-

-

-

-

Bromo Tengger Semeru

Jatim

1995-1999

4

1

-

4

118,00

-

1

-

1

-

-

Meru Betiri

Jatim

1995-1999

2

2

-

1

126,00

-

1

-

-

308 KK

-

G. Palung

Kalbar

1995-1999

-

1

-

2

-

-

-

-

1

10 KK

-

Betung Kerihun

Kalteng

1999

1

1

-

-

-

-

1

1

1

-

-

B. Baka-B. Raya

Kalteng

1998

-

-

1

-

-

-

-

1

1

-

-

Tanjung Putting

Kalteng

1996-1999

1

4

-

1

-

-

-

1

1

-

-

Kayan Mentarang

Kaltim

1995&1998

-

1

-

1

-

-

-

-

-

-

-

Kutai

Kaltim

1998-1999

-

1

-

-

5448,20

-

-

-

-

4634 KK

-

Manusela

Maluku

1998-1999

-

-

-

1

-

-

1

-

-

-

-

G. Rinjani

NTB

1995-1999

-

5

-

1

126,50

-

-

-

-

1,5 ha

-

Kelimutu

NTT

1995-1999

-

2

3,00

3

5,00

-

-

-

1

-

-

Komodo

NTT

1995-1999

5

4

-

5

-

-

4

-

-

469 KK

1

Tel. Cendrawasih

Papua

1995-1999

5

4

-

-

-

-

1

-

-

-

1

Wasur

Papua

1998-1999

-

-

-

2

-

1

1

-

-

103 KK

-

Taka Bonerate

Sulawesi Selatan

1995-1999

5

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

Lore Lindu

Sulawesi Tengah

1997-1999

1

1

-

1

66,50

-

-

-

-

-

-

Rawa Aopa Watumohai

Sulawesi Tenggara

1995-1999

4

-

10,00

5

2411,50

-

5

-

1

154 KK

-

Bogani Nani W

Sulawesi Utara

1995-1999

4

3 2

44590,45

1

1066,00

-

3

5

4

-

-

Bunaken

Sulawesi Utara

1988-1999

1

1

1

-

5,30

-

-

-

-

-

-

Kep. Wakatobi

Sulawesi Utara

1999

1

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

G. Leuser

Sumatera (Aceh & Sumut)

1995-1999

3

4

55,00

1

17600,00

3

3

-

4

238 KK

-

Kerinci Seblat

Sumatera (Bengkulu, Jambi, Sumbar, Sumsel

1995-1999

5

5

> 150,00

1

-

-

-

5

5

1085 KK

-

Berbak

Sumatera (Jambi)

1998

1

1

-

1

-

-

-

-

-

-

-

Buki Barisan Selatan

Sumatera (Lampung & Bengkulu)

1995-1999

5

-

-

2

10422,00

-

-

1

1

5824 KK

-

Way Kambas

Sumatera (Lampuung)

1995-1999

5

5

10,00

2

1

5

5

-

-

115 KK

-

Bukit Tiga Puluh

Sumatera (Riau & Jambi)

1999

1

1

9050,00

-

-

1

1

-

-

-

-

Siberut

Sumatera (Sumbar)

1998-1999

2

2

-

-

-

-

-

-

-

-

-

 

Keterangan:

1,2,3,4,5            = jumlah tahun terjadinya gangguan selama periode pengamatan.

- = tidak ada tahun yang didalamnya terjadi gangguan (atau tidak ada data?)

 

Jenis Gangguan:

A       = Pengambilan Hasil Hutan Non Kayu

E       = Penyerobotan Lahan (ha)

I        = Perladangan Liar

B       = Penebangan Liar

F        = Penggembalaan Liar

J        = Permukiman Liar (KK atau ha)

C       = Tumpang Tindih Penggunaan Lahan (ha)

G       = Perburuan Liar

K       = Dampak Wisata dan/atu Pencemaran

D       = Kebakaran Hutan

H       = Penambangan Liar

 

 

Sumber:  Sub Direktorat Pemolaan Konservasi Ekosistem dan Unit Pelaksana
Teknis Ditjen Perlindungan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan 2000 (Data Diolah)