© 2001. Darda Daraba Posted 14 June
2001 [rudyct]
Program Pasca
Sarjana / S3
Institut
Pertanian Bogor
Juni 2001
Dosen:
Prof Dr Ir
Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)
Prof Dr Ir
Zahrial Coto
EKSTERNALITAS
DAN KEBIJAKAN PUBLIK
Oleh :
EPN/P01600019
E-mail: darda62@yahoo.com
Segala
Puji bagi Allah Seru Sekalian Alam, yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya kepada penulis hingga mampu menyusun tulisan ini, yang
diperuntukkan sebagai makalah individu mata kuliah Pengantar Ke Falsafah Sains
(PPs 702).
Pembahasan
ini dengan topik khusus Eksternalitas dan kebijakan Publik, disusun berdasarkan
pengalaman penulis dalam mengikuti kuliah. Sudah barang tentu pembahasan yang
demikian kurang sempurna (terutama dari segi ilmiahnya). Maka dengan tangan
terbuka penulis menantikan saran-saran dan keritikan dari rekan-rekan peserta
mata kuliah Pengantar Ke Falsafah Sains (PPs 702). dan pengasuh mata kuliah
ini.
Walaupun
kurang sempurna, namun tulisan ini dapat digunakan sebagai bahan bacaan untuk
kita semua.
Penulis mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada Bapak Prof.
Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng
dan Bapak Prof. Dr. Ir. Zahrial Coto. Sebagai pengasuh mata kuliah Pengantar Ke Falsafah Sains
(PPs 702). Juga kepada teman-teman mahasiswa
S-3 yang mengambil matakuliah PPs 702 pada semester genap tahun 2001.
Atas saran, kritikan serta bantuannya sehingga memperlancar proses penulisan
materi ini.
Akhir
kata, Kepada Allah jua kita berserah diri dengan mengharapkan rida-Nya semata
bagi suksesnya studi kita bersama.
Jakarta, Mei 2001 Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam suatu perekonomian moderen, setiap aktivitas mempunyai keterkaitan dengan aktivitas lainnya. Apabila semua keterkaitan antara suatu kegiatan dengan kegiatan lainnya dilaksanakan melalui mekanisme pasar atau melalui suatu sistem, maka keterkaitan antar berbagai aktivitas tersebut tidak menimbulkan masalah. Akan tetapi banyak pula keterkaitan antar kegiatan yang tidak melalui mekanisme pasar sehingga timbul berbagai macam masalah. Keterkaitan suatu kegiatan dengan kegiatan lain yang tidak melalui mekanisme pasar adalah apa yang disebut dengan eksternalitas.
Secara umum dapat dikatakan bahwa eksternalitas adalah suatu efek samping dari suatu tindakan pihak tertentu terhadap pihak lain, baik dampak yang menguntungkan maupun yang merugikan.
Dalam
literatur asing, efek samping mempunyai istilah seperti : external effects, externalities,
neighboorhood effects, side effects, spillover effects (Sudgen and
williams, 1990, Mishan 1990, Zilberman and marra, 1993). Efek samping dari
suatu kegiatan atau transaksi ekonomi bisa positif (positive external
effects, external economic) maupun negatif (negative external effects, external
diseconomic). Dalam kenyataannya, baik dampak negatif maupun efek positif
bisa terjadi secara bersamaan dan simultan. Dampak yang menguntungkan misalnya
seseorang yang membangun sesuatu pemandangan yang indah dan bagus pada lokasi
tertentu mempunyai dampak positif bagi orang sekitar yang melewati lokasi
tersebut. Sedangkan dampak negatif misalnya polusi udara, air dan suara. Ada
juga eksternalitas yang dikenal sebagai eksternalitas yang berkaitan dengan uang
(pecuniary externalities) yang muncul ketika dampak eksternalitas itu
disebabkan oleh meningkatnya harga. Misalnya, suatu perusahaan didirikan pada
lokasi tertentu atau kompleks perumahan baru dibangun, maka harga tanah
tersebut akan melonjak tinggi. Meningkatnya harga tanah tersebut menimbulkan
dampak external yang negatif terhadap konsumen lain yang ingin membeli tanah
disekitar daerah tersebut.
Dalam contoh diatas efek
tersebut dalam perubahan harga tanah, dimana kesejahteraan masyarakat berubah
tetapi perubahan itu akan kembali ke keadaan keseimbangan karena setiap barang
akan menyamakan rasio harga-harga barang dengan Marginal Rate of
Substitution (MRS) jadi, suatu fakta bahwa tindakan seseorang dapat
mempengaruhi orang lain tidaklah berarti adanya kegagalan pasar selama pengaruh
tersebut tercermin dalam harga-harga sehingga tidak terjadi ketidak efisienan
dalam perekonomian.
Jadi yang dimaksud dengan
eksternalitas hanyalah apabila tindakan seseorang mempunyai dampak terhadap
orang lain (atau segolongan orang lain)
tanpa adanya kompensasi apapun juga sehingga timbul inefisiensi dalam alokasi
faktor produksi.
Efisiensi alokasi
sumber daya dan distribusi konsumsi dalam ekonomi pasar dengan kompetisi bebas
dan sempurna bisa terganggu, jika aktivitas dan tindakan individu pelaku
ekonomi baik produsen maupun konsumen mempunyai dampak (externality) baik
terhadap mereka sendiri maupun terhadap pihak lain. Eksternalitas itu dapat terjadi
dari empat interaksi ekonomi berikut ini (Pearee dan Nash, 1991; Bohm, 1991) :
1.
Efek
atau dampak satu produsen terhadap produsen lain (effects of producers on
other producers)
2.
Efek
atau dampak samping kegiatan produksi terhadap konsumen (effects of producers
on consumers)
3.
Efek
atau dampak dari suatu konsumen terhadap konsumen lain (effects of consumers
on consumers)
4.
Efek
akan dampak dari suatu konsumen terhadap produsen (effects of consumers on
producers)
Suatu kegiatan produksi
dikatakan mempunyai dampak eksternal terhadap produsen lain jika kegiatannya
itu mengakibatkan terjadinya perubahan atau penggeseran fungsi produksi dari
produsen lain. Dampak atau efek yang termasuk dalam kategori ini meliputi biaya
pemurnian atau pembersihan air yang dipakai (eater intake clen-up costs) oleh produsen hilir (downstream producers) yang menghadapi
pencemaran air (water polution) yang
diakibatkan oleh produsen hulu (upstream
producers). Hal ini terjadi ketika produsen hilir membutuhkan air bersih
untuk proses produksinya. Dampak kategori ini bisa dipahami lebih jauh dengan
contoh lain berikut ini. Suatu proses produksi (misalnya perusahaan pulp)
menghasilkan limbah-residu-produk sisa yang beracun dan masuk ke aliran sungai,
danau, atau semacamnya, sehingga produksi ikan terganggu dan akhirnya merugikan
produsen lain yakni para penangkap ikan (nelayan). Dalam hal ini, kegiatan
produksi pulp tersebut mempunyai dampak negatif terhadap produksi lain (ikan)
atau nelayan, dan inilah yang dimaksud dengan efek suatu kegiatan produksi
terhadap produksi komoditi lain.
Suatu produsen
dikatakan mempunyai ekternal efek terhadap konsumen, jika aktivitasnya merubah
atau menggeser fungsi utilitas rumahtangga (konsumen). Dampak atau efek samping
yang sangat populer dari kategori kedua yang populer adalah pencemaran atau
polusi. Kategori ini meliputi polusi suara (noise),
berkurangnya fasilitas daya tarik alam (amenity)
karena pertambangan, bahaya radiasi dari stasiun pembangkit (polusi udara)
serta polusi air, yang semuanya mempengaruhi kenyamanan konsumen atau
masyarakat luas. Dalam hal ini, suatu agen ekonomi (perusahaan-produsen) yang
menghasilkan limbah (wasteproducts) ke
udara atau ke aliran sungai mempengaruhi pihak dan agen lain yang memanfaatkan
sumber daya alam tersebut dalam berbagai bentuk. Sebagai contoh, kepuasan
konsumen terhadap pemanfaatan daerah-daerah rekreasi akan berkurang dengan
adanya polusi udara.
3. Dampak Konsumen Terhadap
Konsumen Lain
Dampak konsumen
terhadap konsumen yang lain terjadi jika aktivitas seseorang atau kelompok
tertentu mempengaruhi atau menggangu fungsi utilitas konsumen yang lain.
Konsumen seorang individu bisa dipengaruhi tidak hanya oleh efek samping dari
kegiatan produksi tetapi juga oleh konsumsi oleh individu yang lain. Dampak
atau efek dari kegiatan suatu seorang konsumen yang lain dapat terjadi dalam
berbagai bentuk. Misalnya, bisingnya suara alat pemotong rumput tetangga, kebisingan
bunyi radio atau musik dari tetangga, asap rokok seseorang terhadap orang
sekitarnya dan sebagainya.
4. Dampak Konsumen Terhadap
Produsen
Dampak konsumen terhadap produsen
terjadi jika aktivitas konsumen mengganggu fungsi produksi suatu produsen atau
kelompok produsen tertentu. Dampak jenis ini misalnya terjadi ketika limbah
rumahtangga terbuang ke aliran sungai dan mencemarinya sehingga menganggu
perusahaan tertentu yang memanfaatkan air baik oleh ikan (nelayan) atau
perusahaan yang memanfaatkan air bersih.
Lebih jauh Baumol dan Oates (1975) menjelaskan tentang
konsep eksternalitas dalam dua pengertian yang berbeda :
1.
Eksternalitas yang bisa habis (a deplatable externality) yaitu suatu dampak eksternal yang
mempunyai ciri barang individu (private
good or bad) yang mana jika barang itu dikonsumsi oleh seseorang individu,
barang itu tidak bisa dikonsumsi oleh orang lain.
2.
Eksternalitas yang tidak habis (an udeplatable externality) adalah suatu efek eksternal yang
mempunyai ciri barang publik (public goods)
yang mana barang tersebut bisa dikonsumsi oleh seseorang, dan juga bagi orang
lain. Dengan kata lain, besarnya konsumsi seseorang akan barang tersebut tidak
akan mengurangi konsumsi bagi yang lainnya.
Dari dua konsep eksternalitas ini, eksternalitas jenis
kedua merupakan masalah pelik dalam ekonomi lingkungan. Keberadaan
eksternalitas yang merupakan barang publik seperti polusi udara, air, dan suara
merupakan contoh eksternalitas jenis yang tidak habis, yang memerlukan
instrumen ekonomi untuk menginternalisasikan dampak tersebut dalam aktivitas
dan analisa ekonomi.
B. FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB EKSTERNALITAS
Eksternalitas
timbul pada dasarnya karena aktivitas manusia yang tidak mengikuti prinsip-prinsip
ekonomi yang berwawasan lingkungan. Dalam pandangan ekonomi, eksternalitas dan
ketidakefisienan timbul karena salah satu atau lebih dari prinsip-prinsip
alokasi sumber daya yang efisien tidak terpenuhi. Karakteristik barang atau
sumber daya publik, ketidaksempurnaan pasar, kegagalan pemerintah merupakan
keadaan-keadaan dimana unsur hak pemilikan atau pengusahaan sumber daya (property rights) tidak terpenuhi. Sejauh
semua faktor ini tidak ditangani dengan baik, maka eksternalitas dan ketidakefisienan
ini tidak bisa dihindari. Kalau ini dibiarkan, maka ini akan memberikan dampak
yang tidak menguntungkan terhadap ekonomi terutama dalam jangka panjang.
Bagaimana mekanisme timbulnya eksternalitas dan ketidakefisienan dari alokasi
sumber daya sebagai akibat dari adanya faktor diatas diuraikan satu per satu
berikut ini.
1. Keberadaan Barang Publik
Barang publik (public
goods) adalah barang yang apabila dikonsumsi oleh individu tertentu tidak akan mengurangi konsumsi orang
lain akan barang tersebut. Selanjutnya, barang publik sempurna (pure public good) didefinisikan sebagai
barang yang harus disediakan dalam jumlah dan kualitas yang sama terhadap
seluruh anggota masyarakat.
Kajian ekonomi
sumber daya dan lingkungan salah satunya menitikberatkan pada persoalan barang
publik atau barang umum ini (common
consumption, public goods, common property resources). Ada dua ciri utama
dari barang publik ini. Pertama, barang ini merupakan konsumsi umum yang
dicirikan oleh penawaran gabungan (joint
supply) dan tidak bersaing dalam mengkonsumsinya (non-rivalry in consumption). Ciri kedua adalah tidak ekslusif (non-exclusion) dalam pengertian bahwa
penawaran tidak hanya diperuntukkan untuk seseorang dan mengabaikan yang
lainnya. Barang publik yang berkaitan dengan lingkungan meliputi udara segar,
pemandangan yang indah, rekreasi, air bersih, hidup yang nyaman dan sejenisnya.
Satu-satunya
mekanisme yang membedakannya adalah dengan menetapkan harga (nilai moneter)
terhadap barang publik tersebut sehingga menjadi bidang privat (dagang)
sehingga benefit yang diperoleh dari harga itu bisa dipakai untuk mengendalikan
atau memperbaiki kualitas lingkungan itu sendiri. Tapi dalam menetapkan harga
ini menjadi masalah tersendiri dalam analisa ekonomi lingkungan. Karena
ciri-cirinya diatas, barang publik tidak diperjualbelikan sehingga tidak
memiliki harga, barang publik dimanfaatkan berlebihan dan tidak mempunyai
insentif untuk melestarikannya. Masyarakat atau konsumen cenderung acuh tak
acuh untuk menentukan harga sesungguhnya dari barang publik ini. Dalam hal ini,
mendorong sebagain masyarakat sebagai “free
rider”. Sebagai contoh, jika si A mengetahui bahwa barang tersebut akan
disediakan oleh si B, maka si A tidak mau membayar untuk penyediaan barang
tersebut dengan harapan bahwa barang itu akan disediakan oleh si B, maka si A
tidak mau membayar untuk penyediaan barang tersebut dengan harapan bahwa barang
itu akan disediakan oleh si B. Jika akhirnya si B berkeputusan untuk
menyediakan barang tersebut, maka si A bisa ikut menikmatinya karena tidak
seorangpun yang bisa menghalanginya untuk mengkonsumsi barang tersebut, karena
sifat barang publik yang tidak ekslusif dan merupakan konsumsi umum. Keadaan
seperti ini akhirnya cenderung mengakibatkan berkurangnya insentif atau
rangsangan untuk memberikan kontribusi terhadap penyediaan dan pengelolaan
barang publik. Kalaupun ada kontribusi, maka sumbangan itu tidaklah cukup besar
untuk membiayai penyediaan barang publik yang efisien, karena masyarakat
cenderung memberikan nilai yang lebih rendah dari yang seharusnya (undervalued).
2. Sumber Daya Bersama
Keberadaan sumber daya bersama–SDB (common resources) atau akses terbuka
terhadap sumber daya tertentu ini tidak jauh berbeda dengan keberadaan barang
publik diatas.
Sumber-sumber daya milik bersama, sama halnya dengan
barang-barang publik, tidak ekskludabel. Sumber-sumber daya ini terbuka bagi
siapa saja yang ingin memanfaatkannya, dan Cuma-Cuma. Namun tidak seperti
barang publik, sumber daya milik bersama memiliki sifat bersaingan.
Pemanfaatannya oleh seseorang, akan mengurangi peluang bagi orang lain untuk
melakukan hal yang sama. Jadi, keberadaan sumber daya milik bersama ini,
pemerintah juga perlu mempertimbangkan seberapa banyak pemanfaatannya yang efisien.
Contoh klasik tentang bagaimana eksternalitas terjadi pada kasus SDB ini adalah
seperti yang diperkenalkan oleh Hardin (1968) yang dikenal dengan istilah Tragedi Barang Umum (the Tragedy of the Commons).
TRAGEDI
BARANG UMUM
Andaikanlah anda hidup di sebuah kota kecil di abad
pertengahan. Dari sekian banyak kegiatan ekonomi yang berlangsung di kota itu,
yang paling menonjol adalah pemeliharaan domba. Banyak keluarga di kota itu
yang mengandalkan asap dapurnya, dari pemeliharaan domba yang mereka ambil bulunya
( wol ) untuk dijual sebagai bahan pakaian.
Domba-domba itu
dilepas begitu saja di lahan rumput penggembalaan yang mengelilingi Kota Umum.
Tidak ada yang memiliki lahan tersebut, bahkan lahan itu sudah dianggap milik
bersama, sehingga setiap orang bisa melepas kawanan dombanya ke sana untuk
memakan rumputnya. Selama ini kepemilikan bersama itu tidak menimbulkan
masalah. Selama setiap orang bisa memperoleh sebidang lahan untuk
menggembalakan dombanya, Kota Umum itu tidak bersifat bersaingan. Siapa saja
bisa memanfaatkannya tanpa biaya. Pokoknya tidak ada masalah.
Lambat laun,
seiring dengan waktu, jumlah penduduk dan jumlah domba di Kota Umum terus
bertambah, sedangkan lahan penggembalaan tidak bertambah luas. Karena jumlah
domba yang memakan rumputnya sedemikian banyak, pada akhirnya padang rumput itu
kehilangan kemampuan dan kesempatan untuk memulihkan diri. Belum sempat rumput
baru tumbuh, sudah ada banyak domba yang menunggunya, sehingga pada akhirnya
padang rumput itu pun menjadi padang gersang. Tanpa rumput, tidak mungkin
pemeliharaan domba secara masal berlangsung terus. Jumlah domba pun segera
menyusut, dan pada gilirannya Industri wol di kota Umum juga ditutup. Banyak
keluarga di kota itu yang kehilangan mata pencaharian.
Apa sesungguhnya yang
menimbulkan tragedi itu ? Mengapa penduduk membiarkan populasi domba bertambah
begitu cepat sehingga justru menghancurkan lahan penggembalaan Kota Umum ?
Jawabannya bersumber pada perbedaan antara insentif pribadi dan insentif
sosial. Pencegahan padang rumput di Kota Umum berubah menjadi padang pasir
hanya dapat terjadi jika semua pemilik domba bekerja sama mengupayakan hal itu
secara kolektif. Hanya dengan kerja sama, para pemilik domba itu dapat mengatur
keseluruhan populasi hewan ternaknya agar tidak melebih daya dukung padang.
Rumput itu. Namun secara individual, masing-masing keluarga pemilik domba tidak
memiliki insentif untuk memulai usaha mulia tersebut, karena mereka, secara
individual hanya merupakan bagian dari seluruh penduduk pemilik domba.
Disamping itu jika tidak diikuti oleh yang lain, kesadaran suatu keluarga untuk
membatasi jumlah dombanya juga tidak akan ada gunanya.
Pada intinya,
Tragedi Barang Umum terjadi akibat adanya masalah eksternalitas. Pada saat
sebuah keluarga mengiring domba-dombanya ke padang rumput itu, maka kesempatan
keluarga lain untuk melakukan hal yang sama menjadi berkurang. Mengingat
masing-masing keluarga mengabaikan dampak eksternal dalam memutuskan jumlah
domba yang hendak dipelihara, maka pada akhirnya jumlah domba secara
keseluruhan menjadi terlalu banyak.
Jika mau berpikir
lebih panjang, penduduk Kota Umum sebenarnya bisa mencegah terjadinya tragedi
itu. Mereka bisa berembug bersama untuk menentukan jumlah maksimal domba yang
yang dapat dipelihara oleh setiap keluarga. Atau, mereka bisa
menginternalisasikan eksternalitas itu, dengan cara mengenakan pajak
kepemilikkan domba, atau menerbitkan dan melelang izin penggembalaan terbatas.
Artinya, penduduk kota di abad pertengahan itu bisa mngatasi masalah pemanfaatan
padang rumput secara berlebihan, dengan cara seperti yang ditempuh masyarakat
modern untuk memecahkan persoalan polusi.
Bahkan sebenarnya
ada solusi yang lebih sederhana untuk Kota Umum. Mereka dapat membagi-bagi
lahan penggembalaan itu kepada masing-masing keluarga. Setia keluarga mendapat
sebidang lahannya sendiri. Dengan cara ini, status padang rumput akan berubah
dari sumber daya milik bersama menjadi barang pribadi, sehingga masing-masing
keluarga akan berusaha agar lahannya terus ditumbuhi rumput secara
berkesinambungan. Para pendatang juga tidak akan ikut memelihara domba-domba
baru, karena lahan penggembalaannya sudah habis terbagi. Dalam kenyataannya,
hal inilah yang terjadi di Inggris pada abad ketujuhbelas.
Ada satu pelajaran
penting yang terkandung dalam kisah Tragedi Barang Umum ini, yakni pada saat
seseorang memanfaatkan suatu sumber daya milik bersama, pada saat itu pula ia
mengurangi kesempatan bagi orang lain untuk melakukan tindakan serupa. Akibat
adanya eksternalitas negatif, pemanfaatan setiap sumber daya milik bersama
selalu cenderung berlebihan. Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah dapat
menerapkan regulasi atau memberlakukan pajak. Atau, pemerintah bisa mengubah
sumber daya milik bersama itu menjadi barang swasta.
Pelajaran dasar
ini ternyata sudah diketahui sejak ribuan tahun yang lampau. Filsuf Yunani
kuno, Aristoteles, pernah mengutarakan masalah yang terkandung dalam sumber
daya milik bersama : “Apa yang diperuntukkan bagi orang banyak, tidak akan
dipelihara secara memadai, karena semua orang mengutamakan kepentingannya
sendiri dibanding kepentingan orang lain”.
3. Ketidaksempurnaan Pasar
Masalah lingkungan bisa juga
terjadi ketika salah satu partisipan didalam suatu tukar manukar hak-hak
kepemilikan (property rights) mampu
mempengaruhi hasil yang terjadi (outcome).
Hal ini bisa terjadi pada pasar yang tidak sempuna (Inperfect Market) seperti pada kasus monopoli (penjual tunggal).
Ketidaksempurnaan
pasar ini misalnya terjadi pada praktek monopoli dan kartel. Contoh konkrit
dari praktek kartel ini adalah Organisasi negara-negara pengekspor minyak
(OPEC) dengan memproduksi dalam jumlah yang lebih sedikit sehingga
mengakibatkan meningkatknya harga yang lebih tinggi dari normal. Pada kondisi
yang demikian akan hanya berakibat terjadinya penignkatan surplus produsen yang
nilainya jauh lebih kecil dari kehilangan surplus konsumen, sehingga secara
keseluruhan, praktek monopoli ini merugikan masyarakat (worse-off).
4. Kegagalan Pemerintah
Sumber
ketidakefisienan dan atau eksternalitas tidak saja diakibatkan oleh kegagalan
pasar tetapi juga karena kegagalan pemerintah (government failure). Kegagalan pemerintah banyak diakibatkan
tarikan kepentinan pemerintah sendiri atau kelompok tertentu (interest groups) yang tidak mendorong
efisiensi. Kelompok tertentu ini memanfaatkan pemerintah untuk mencari
keuntungan (rent seeking) melalui
proses politik, melalui kebijaksanaan dan sebagainya. Aksi pencarian keuntungan
(rent seeking) bisa dalam berbagai bentuk :
1.
Kelompok yang punya kepentingan tertentu (interest
groups) melakukan loby dan usaha-usaha lain yang memungkinkan diberlakukannya
aturan yang melindungi serta menguntungkan mereka
2.
Praktek mencari keuntungan bisa juga berasal dari
pemerintah sendiri secara sah misalnya memberlakukan proteksi berlebihan untuk
barang-barang tertentu seperti menegnakan pajak impor yang tinggi dengan alasan
meningkatkan efisiensi perusahaan dalam negeri.
3.
Praktek mencari keuntungan ini bisa juga dilakukan
oleh aparat atau oknum tertentu yang emmpunyai otoritas tertentu, sehingga
pihak-pihak yang berkepentingan bisa memberikan uang jasa atau uang pelicin untuk keperluan tertentu, untuk
menghindari resiko yang lebih besar kalau ketentuan atau aturan diberlakukan
dengan sebenarnya. Praktek mencari keuntungan ini membuat alokasi sumber daya
menjadi tidak efisien dan pelaksanaan atuan-aturan yang mendorong efisiensi
tidak berjalan dengan semestinya. Praktek jenis ini bisa mendorong terjadinya
eksternalitas. Sebagi contoh, Perusahaaan A yang mengeluarkan limbah yang merusak
lingkungan. Berdasarkan perhitungan atau estimasi perusahaan A harus
mengeluarkan biaya (denda) yang besar (misalnya Rp. 1 milyar) untuk
menanggulangi efek dari limbah yang dihasilkan itu. Pencari keuntungan (rent seeker) bisa dari perusahaan itu
sendiri atau dari pemerintah atau oknum memungkinkan membayar kurang dari 1
milyar agar peraturan sesungguhnya tidak diberlakukan, dan denda informal ini
belum tentu menjadi revenue pemerintah. Sehingga akhirnya dampak lingkungan
yang seharusnya diselidiki dan ditangani tidak dilaksanakan dengan semestinya
sehingga masalahnya menjadi bertambah serius dari waktu ke waktu.
Pada bagian ini kita akan memakai perangkat-perangkat analisis yang menelaah bagaimana eksternalitas mempengaruhi kesejahteraan ekonomi. Analisis yang kita lakukan di sini akan menunjukkan secara jelas, mengapa eksternalitas menyebabkan pasar mengalokasikan sumber-sumber secara tidak efisien.
Untuk memperjelas gambarannya,
kita perlu mengambil sebuah pasar tertentu, sebagai contoh kasus. Kita ambil
saja pasar aluminium. Gambar 1-1 memperlihatkan kurva-kurva penawran dipasar
aluminium tersebut.
Kita mengingat
kembali, bahwa kurva penawaran dan kurva permintaan mengandung
informasi-informasi penting tentang biaya dan keuntungan (cost and benefit).
Kurva permintaan aluminium mencerminkan nilai aluminium bagi para pembelinya,
dan nilai itu dihitung berdasarkan harga yang mau mereka bayarkan. Pada setiap
kuantitas, ketinggian kurva permintaan menunjukkan kesediaan membayar para
konsumen marginal. Dengan kata lain, kurva-kurva tersebut menunjukkan biaya
yang dipikul produsen marginal. Dengan kata lain, kurva tersebut menunjukkan
nilai atas unit terakhir aluminium yang dijual.
Jika sama sekali tidak ada intervensi
pemerintah, maka harga aluminium akan bergerak secara bebas menyesuaikan diri
dalam rangka menyeimbangkan permintaan dan penawarannya. Kuantitas yang
diproduksi dan dikonsumsi pada ekuilibrium pasar (diperlihatkan sebagai QPASAR
Pada Gambar 1-1) dapat dikatakan efisien, karena kuantitas tersebut
memaksimalkan surplus produsen dan surplus konsumen. Dalam kondisi tersebut,
pasar mampu mengalokasikan segenap sumber daya sedemikian rupa, sehingga
memaksimalkan nilai total konsumen yang membeli dan memakai aluminium minus
biaya total produsen yang membuat dan menjual aluminium tersebut.
Perhatikanlah, bahwa dalam melangsungkan kegiatan
produksinya, pabrik-pabrik aluminium itu menimbulkan polusi. Untuk setiap
aluminium yang mereka produksi, sejumlah asap kotor yang mengotori atmosfer
tersembur dari tanur pabrik-pabrik tersebut. Karena asap itu membahayakan
kesehatan siapa saja yang menghirupnya, maka asap itu merupakan eksternalitas
negatif dalam produksi aluminium. Bagaimana pengaruh eksternalitas negatif ini
terhadap efisiensi hasil kerja pasar ?
Akibat
adanya eksternalitas tersebut, biaya yang harus dipikul masyrakat yang
bersangkutan secara keseluruhan dalam memproduksi aluminium lebih tinggi dari
pada biaya yang dipikul oleh produsennya. Biaya sosial (social sost) untuk
setiap unit aluminium yang diproduksikan, mencakup biaya produksi yang dipikul
produsen – biasa disebut “biaya pribadi” (private cost) – plus biaya yang harus
ditanggung oleh pihak lain yang ikut mengalami kerugian akibat polusi. Gambar
1-2 menunjukkan besarnya biaya sosial produksi aluminium. Kurva biaya sosial
itu berada diatas kurva penawaran, karena di dalamnya tercakup pula biaya-biaya
eksternal yang ditimpakan ke pundak masyarakat oleh para produsen aluminium.
Nilai atas selisih atau jarak antara kedua kurva itulah yang mencerminkan biaya
atau jumlah kerugian akibat polusi dari proses produksi aluminium.
Berapa banyak aluminium yang harus diproduksi
(agar mencukupi kebutuhan aluminium, sekaligus tidak terlalu banyak menimbulkan
polusi) ?
Untuk menjawab pertanyaan ini,
sekali lagi kita perlu membayangkan apa yang akan dilakukan oleh si pejabat
pemerintah yang serba kuasa. Si pejabat ini ingin memaksimalkan surplus total
yang dimunculkan pasar- yakni nilai bagi konsumen aluminium dikurangi biaya
produksi aluminium. Namun ia juga mengetahui bahwa biaya produksi aluminium
juga mencakup biaya-biaya eksternal seperti halnya polusi.
Perencana itu ingin mencapai
tingkat produksi aluminium yang yang dilambangkan oleh titik perpotongan antara
kurva permintaan dan kurva biaya sosial. Titik perpotongan inilah yang
melambangkan jumlah produksi aluminium yang optimum bagi masyarakat secara
keseluruhan. Si pejabat memang harus mencapai tingkat produksi itu, karena jika
produksi ternyata dibawah tingkat itu, maka nilai aluminium bagi konsumennya
(diukur oleh ketinggian kurva permintaan) akan melampaui biaya sosial
produksinya (diukur oleh ketinggian kurva biaya sosial). Seandainya saja hal
ini benar-benar terjadi, maka toleransi terhadap kelebihan produksi seperti
polusi itu akan lebih besar sehingga polusi akan cenderung meningkat atau
bahkan tidak terkendali. Sebaliknya, jika produksi melebihi tingkat optimum
tersebut, maka biaya sosial produksi aluminium akan melebihi nilainya bagi
konsumen. Andaikan hal ini yang terjadi, maka permintaan akan melemah, dan
harga akan turun sehingga biaya produksi aluminium menjadi terlalu berat bagi
produsen.
Perhatikanlah
bahwa kuantitas produksi aluminium pada kondisi ekuilibrium, yakni QPASAR lebih besar dari pada kuantitas
produksi yang secara sosial optimum atau QOPTIMUM
Ini merupakan inefisiensi, dan penyebabnya adalah kuantitas produksi dalam kondisi
ekuilibrium pasar itu hanya mencerminkan biaya produksi pribadi (yang hanya
ditanggung produsen). Dalam ekuilibrium pasar tersebut, nilai aluminium bagi
konsumen marginal lebih rendah dari pada biaya sosial produksinya. Artinya,
pada QPASAR kurva permintaan terletak
dibawah biaya kurva sosial. Pada situasi ini, penurunan konsumsi dan produksi
aluminium hingga dibawah tingkat ekuilibriumnya, justru akan menikkan
kesejahteraan ekonomi total (baik bagi konsumen maupun produsen).
Lalu
bagaimana tingkat produksi optimum itu bisa
dicapai ? Salah satu caranya adalah dengan mengenakan pajak kepada para
produsen, atas setiap ton aluminium yang mereka jual. Pajak ini akan menggeser
kurva penawaran aluminium ke atas, sebanyak besaran pajaknya. Jika pajak itu
sesuai dengan nilai kerugian akibat asap, maka posisi kurva penawaran itu akan
bersesuaian dengan kurva biaya sosial. Maka akan tercipta ekuilibrium baru di
pasar, di mana tingkat produksi yang dilakukan para produsen akan optimum
secara sosial.
Pengenaan
pajak yang tepat itu dikatakan mampu menciptakan internalisasi eksternalitas (internalizing an externality), karena
pajak tersebut memberi para konsumen dan produsen suatu insentif untuk
memperhitungkan dampak-dampak eksternal dari tindakan-tindakan mereka. Produsen
akan terdorong untuk menghitung biaya penanggulangan polusi sebagai bagian dari
biaya produksi, sebelum mereka memutuskan kuantitas aluminium yang akan mereka
produksikan (artinya mereka juga berusaha membatasi polusi yang ditimbulkan
oleh proses produksinya, karena mereka harus membayar pajak atas setiap polusi
yang tidak dikendalikan.
Meskipun banyak
pasar dimana biaya sosial produksinya melebihi biaya pribadi, ada pula
pasar-pasar yang justru sebaliknya, yakni biaya pribadi para produsen malahan
lebih besar dari pada biaya sosialnya. Di pasar inilah, eksternalitasnya
bersifat positif, dalam arti menguntungkan pihak lain (selain produsen dan
konsumen). Contoh yang dapat dikemukakan disini adalah pasar robot industri
(robot yang khusus dirancang untuk melakukan kegiatan atau fungsi tertentu di
pabrik-pabrik).
Robot
adalah ujung tombak kemajuan teknologi yang mutakhir. Sebuah perusahaan yang
mampu membuat robot, akan berkesempatan besar
menemukan rancangan-rancangan rekayasa
baru yang serba lebih baik. Rancangan ini tidak hanya akan menguntungkan
perusahaan yang bersangkutan, namun juga masyarakat secara keseluruhan karena
pada akhirnya rancangan itu akan menjadi pengetahuan umum yang bermanfaat.
Eksternalitas positif seperti ini biasa disebut “imbasan teknologi” (technology
spillover).
Analisis atas eksternalitas positif tidak
banyak berbeda dari analisis tentang eksternalitas negatif. Gambar 1-3
memperlihatkan pasar robot. Berkat adanya imbasan teknologi, biaya sosial untuk
memproduksi sebuah robot lebih kecil dari pda biaya pribadinya. Oleh karena
itu, pemerintah tentu saja ingin lebih banyak memproduksi robot dibanding
produsernya sendiri.
Dalam
kasus ini, pemerintah dapat membantu dengan melakukan internalisasi
eksternalitas positif tersebut. Caranya misalnya dengan memberikan subsidi
untuk setiap unit robot yang dibuat. Melalui subsidi ini, kurva penawaran akan
terdorong ke bawah sebesar subsidi, dan pergeseran ini akan menaikkan
ekuilibrium kuantitas produksi robot.
Agar ekuilibrium pasar yang baru
itu sama dengan titik optimum sosial, maka subsidinya harus diusahakan sama
dengan nilai imbasan teknologi.
Sejauh ini, eksternalitas yang
telah kita bahas hanya eksternalitas yang berkaitan dengan kegiatan produksi.
Selain itu masih ada eksternalitas yang terkandung dalam kegiatan konsumsi.
Konsumsi minuman beralkohol, misalnya, mengandung eksternalitas negatif jika si
peminum lantas mengemudikan mobil dalam keadaan mabuk atau setengah mabuk,
sehingga membahayakan pemakai jalan lainnya. Eksternalitas dalam konsumsi ini
juga ada yang bersifat positif. Contohnya adalah konsumsi pendidikan. Semakin
banyak orang yang terdidik, masyarakat atau pemerintahnya akan diuntungkan.
Pemerintah akan lebih mudah merekrut tenaga-tenaga cakap, sehingga pemerintah
lebih mampu menjalankan fungsinya dalam melayani masyarakat.
Analisis
terhadap eksternalitas dalam konsumsi ini, mirip dengan yang telah kita lakukan
terhadap eksterlitas dalam produksi. Pada gambar 1-4, kurva permintaannya tidak
lagi melambangkan nilai sosial dari suatu barang. Panel (a) memperlihatkan
kasus eksternalitas negatif dalam konsumsi,
Misalnya, konsumsi minuman
beralkohol. Dalam kasus ini, nilai sosialnya lebih kecil dari pada nilai
pribadinya (private value, atau nilai
minuman beralkohol bagi para peminum minuman beralkohol itu sendiri), dan
kuantitas penawaran minuman beralkohol yang optimum secara lebih sosial lebih
rendah dari pada kuantitas penawaran yang ada di pasar. Sedangkan panel (b)
menunjukkan kasus eksternalitas positif dalam konsumsi, misalnya konsumsi
pendidikan. Dalam kasus ini, nilai sosial lebih besar dari pada nilai pribadi,
dan kuantitas yang ooptimal secara sosial juga lebih besar dari pada kuantitas
yang diinginkan pasar secara pribadi (yang diinginkan oleh produsennya saja).
Dalam
kasus tersebut, pemerintah juga dapat mengoreksi kegagalan pasar tersebut
melalui internalisasi eksternalitas. Langkah yang harus dilakukan oleh
pemerintah pada kasus eksterlitas dalam konsumsi ini, mirip dengan yang dapat
dikerjakannya pada kasus eksterlitas dalam produksi. Untuk menggerakkan
ekuilibrium pasar mendekati titik optimum sosial, keberadaan eksterlitas
negatif itu dapat ditekan melalui penerapan pajak, sedangkan untuk eksterlitas
positif dapat diimbangi dengan pemberian subsidi. Hal ini sama persis seperti
terjadi dalam kenyataannya. Di berbagai negara, pemerintah senantiasa
mengenakan pajak terhadap berbagai jenis
minuman beralkohol, dan pajaknya biasanya tergolong paling tinggi bila
dibandingkan dengan pajak untuk barang-barang konsumsi lainnya. Demikian pula,
pemerintah di semua negara selalu berusaha menyubsidi pendidikan melalui
pengadaan sekolah negara berbiaya murah (atau bahkan bebas biaya ) dan
pemberian beasiswa.
Dari
berbagai contoh yang diutarakan diatas, kita dapat memetik beberapa kesimpulan
umum. Yakni, keberadaan eksternalitas negatif dalam konsumsi maupun produksi,
mendorong pasar menghasilkan output produksi dalam kualitas lebih banyak dari
pada yang diinginkan secara sosial. Sebaliknya, keberadaan eksternalitas
positif dalam konsumsi maupun produksi mendorong pasar menghasilkan output
produksi dalam kuantitas lebih sedikit dibanding yang diinginkan secara sosial.
Untuk mengatasi persoalan ini, pemerintah perlu campur tangan dengan melakukan
internalisasi eksternalitas melalui pemberlakuan pajak terhadap barang-barang
yang mengandung eksternaliatas negatif, serta memberikan subsidi bagi produksi
barang-barang yang mengandung eksternalitas positif.
Kita telah menyimak bahwa
keberadaan eksternalitas itu dapat mengakibatkan alokasi sumber daya yang
dilakukan oleh pasar menjadi tidak efisien. Namun sejauh ini kita baru mengulas
secara sekilas tentang cara-cara mengatasi eksternalitas tersebut. Dalam
prakteknya, bukan hanya pemerintah saja yang perlu dan dapat mengatasi
eksternalitas itu, melainkan juga pihak-pihak nonpemerintah, baik itu
pribadi/kelompok maupun perusahaan/ organisasi kemasyarakatan. Untuk mudahnya,
kita sebut saja pihak-pihak nonpemerintah tersebut sebagai pihak “pribadi” atau
“swasta”. Pada dasarnya, tujuan yang hendak dicapai oleh pemerintah maupun
pihak swasta (perorangan dan kelompok), berkenaan dengan penanggulangan
eksternalitas itu sama saja, yakni untuk mendorong alokasi sumber daya agar
mendekati kondisi yang optimum secara sosial. Pada bagian pembahasan berikut
kita akan menelaah solusi-solusi atau upaya-upaya yang dilakukan oleh pribadi atau swasta (private solutions) dalam mengatasi persoalan eksternalitas.
Inefisiensi pasar akibat
eksternalitas tidak perlu selalu harus atau bisa diatasi dengan penegakan atau
peningkatan standar moral, atau ancaman penerapan sanksi sosial. Coba
renungkan, mengapa orang-orang secara sadar tidak mau membuang sampah
sembarangan? Peraturan resmi yang mengatur
tentang sampah memang ada, namun di banyak tempat, peraturan semacam itu
tidak dijalankan secara sungguh-sungguh. Kita tidak mau membuang sampah
disembarang tempat juga bukan karena
takut dengan peraturan-peraturan semacam itu, namun karena kita mengetahui atau
menyadari bahwa tidaklah baik dan tidak patut sejak kita masih kanak-kanak,
bahwa kita boleh melakukan sesuatu moral inilah yang kemudian membatasi
perilaku dan tindakan kita, agar sedapat mungkin tidak merugikan orang lain. Dalam bahasa ekonomi, ajaran
agama itu meminta kita untuk melakukan
internalisasi eksternalitas.
Contoh
lain solusi swasta, adalah derma atau amal yang seringkali sengaja
diorganisasikan untuk mengatasi suatu eksternalitas. Contohnya adalah Sierra
Club, sebuah organisasi sosial
swasta yang sengaja dibentuk untuk turut melestarikan lingkungan
hidup. Organisasi ini mengandalkan
pemasukannya dari donasi pihak-pihak yang bersimpati atau iuran anggota.
Hal ini sebagai contoh untuk eksternalitas negatif. Sedangkan untuk
eksternalitas positif, kita
mengetahui banyak perguruan tinggi yang
membentuk yayasan yang menghimpun
sumbangan dari para alumni, perusahaan, atau pihak-pihak lain, untuk kemudian
disalurkan sebagai beasiswa.
Pasar
swasta terkadang juga mampu mengatasi masalah eksternalitas, dengan
membiarkan pihak-pihak yang
berkepentingan untuk mengatasinya. Motif
utama mereka memang untuk memenuhi kepentingannya sendiri, namun dalam
melakukan suatu tindakan , mereka juga
sekaligus mengatasi eksternalitas.
Sebagai contoh, kita lihat saja apa yang akan dilakukan oleh seorang petani
apel dan seorang peternak lebah yang
hidup berdekatan. Pada saat lebah-lebah itu mencari madu dari satu bunga apel ke bunga lainnya, mereka membantu penyerbukan dan mempercepat pohon-pohon apel
itu berbuah. Ini menguntungkan si petani apel. Sedangkan si peternak juga untung
karena ia tidak perlu memberi makan lebah-lebahnya. Namun jika kerja
sama terselubung yang saling
menguntungakan itu tidak dipehitungkan, maka kedua belah pihak bisa
merugi. Jika pohon apel yang ditanam si petani terlalu sedikit, maka
lebah-lebah itu akan kekurangan makanan. Sebaliknya, jika lebah yang dipelihara
si peternak terlalul sedikit, maka proses penyerbukan tidak lancar.
Eksternalitas ini dapat diinternalisasikan dengan cara penggabungan kedua
usaha. Si petani membeli seluruh atau
sebagian usaha peternakan lebah, atau sebaliknya si peternak membeli seluruh
atau sebagian pohon apel. Jika kedua usaha
itu disatukan, maka pengelolanya akan lebih mudah menentukan berapa
banyak pohn apel yang harus ditanam, dan berapa ekor lebah yang harus
dipelihara, demi membuahkan hasil yang maksimal. Dalam kenyataannya, niat untuk
mengupayakan internalisasi eksternalisasi seperti itulah, yang merupakan
penyebab mengapa banyak perusahaan yang menekuni lebih dari satu bidang/ jenis
usaha sekaligus.
Cara
lain di pasar swasta dalam mengatasi eksternalitas adalah, penyusunan kontrak
atau perjanjian di antara pihak-pihak yang menaruh kepentingan. Dalam contoh di
atas, si petani apel dan si peternak lebah dapat membuat perjanjian kerja sama,
agar masing-masing dapat memberikan eksternalitas positif yang optimal, sekaligus
menghilangkan eksternalitas negatifnya (jumlah pohon atau jumlah lebah yang
terlalu sedikit). Dalam perjanjian itu bisa diatur, berapa banyak pohon yang
harus ditanam si petani, dan berapa ekor lebah yang harus dipelihara si
peternak. Jika biaya yang dipikul keduanya tidak sama, maka bisa juga diatur
siapa perlu membayar siapa, dan berapa banyak. Melalui kontrak seperti ini,
maka kemungkinan terjadinya inefisiensi yang bersumber darai eksternalitas
negatif bisa dihindari, dan kedua belah pihak akan sama-sama lebih untung
dibanding kalau keduanya menjalankan usahanya sendiri-sendiri, tanpa
memperhitungkan kepentingan pihak lain.
Sejauh mana solusi swasta
tersebut mampu mengatasi masalah eksternalitas ? Ada sebuah pemikiran yang
disebut teorema Coase (Coase therem) mengambil nama
perumusnya, yakni ekonom Ronald Coase-yang menyatakan bahwa solusi swasta bisa
sangat efektif seandainya memenuhi satu syarat. Syarat itu adalah pihak-pihak
yang berkepentingan dapat melakukan negosiasi atau merundingkan langkah-langkah
penanggulangan masalah eksternalitas yang ada diantara mereka, tanpa
menimbulkan biaya khusus yang memberatkan alokasi sumber daya yang sudah ada.
Menurut teorema Coase, hanya jika syarat itu terpenuhi, maka pihak swasta itu
akan mampu mengatasi masalah eksternalitas dan meningkatkan efisiensi alokasi
sumber daya.
Untuk lebih memahami makna
teorema Coase, simaklah contoh berikut :
Di sebuah kota tinggal seseorang
bernama Dick, ditemani anjingnya yang bernama Spot. Spot ini terus-terusan
menggonggong sehingga sangat mengganggu Jane, tetangga Dick. Dick memetik
manfaat dengan memelihara Spot, berupa rasa aman dan nyaman. Namun
pemeliharaannya atas Spot itu menimbulkan eksternalitas negatif terhadap Jane.
Haruskah Dick dipaksa mengirim anjing ke lokasi khusus penitipan hewan, ataukah
Jane yang harus dipaksa rela begadang sepanjang malam, karena tidak bisa tidur
akibat gonggongan Spot ?
Pertama-tama, kita perkirakan
dahulu seperti apa pemecahan yang dalam secara sosial (untuk semua pihak). Ada
dua alternatif yang perlu dipertimbangkan, dan untuk itu diperlukan perhitungan
atas seberapa banyak nilai keuntungan bagi Dick dengan memelihara Spot, dan
berapa kerugian yang harus ditanggung Jane. Jika keuntungannya melebihi
kerugiannya, maka pemecahan yang efisien secara sosial adalah Dick dibiarkan
terus memelihara anjingnya, sedangkan Jane harus rela tidur diiringi gongongan.
Sebaliknya, jika nilai kerugiannya melampaui nilai keuntungannya, maka Dick
harus menyingkirkan anjingnya.
Menurut teorema Coase, pasar
swasta dapat menciptakan sendiri pemecahan yang efisien. Bagaimana caranya ?
Sebagai satu contoh, Jane dapat menawarkan sejumlah uang kepada Dick agar
menyingkirkan anjingnya. DICk akan terima tawaran itu, jika uang yang
ditawarkan melebihi nilai keuntungannya dalam memelihara Spot.
Melalui tawar-menawar, Dick dan
Jane akhirnya akan dapat menyepakati jumlah imbalan yang dapat diterima kedua
belah pihak, dan seandainya kesepakatan tersebut benar-benar dapat dicapai,
maka itu berarti mereka dapat menciptakan sendiri pemecahan atas masalah
eksternalitas yang mereka hadapi. Umpamakan saja, nilai keuntungan bagi Dick
dari memelihara Spot adalah $500, sedangkan kerugian Jane bernilai $800. Dalam
kasus ini, Jane dapat menawarkan imbalan sebanyak $600, dan Dick dengan senang
hati akan menyingkirkan anjingnya. Kedua belah pihak akan lebih sejahtera
dibanding sebelumnya, dan pemecahan efisien pun tercipta.
Namun ada pula kemungkinan Jane
tidak dapat membayar imbalan itu, yakni jika ternyata nilai keuntungan Dick
lebih besar dari pada nilai kerugiannya. Misalkan saja, nilai keuntungan Dick
dari memelihara Spot ternyata $1.000, sedangkan kerugian Jane akibat gonggongan
Spot hanya $800. Jika ini kasusnya, maka tentu saja Dick akan menolak tawaran
imbalan yang lebih kecil dari $1.000, padahal Jane tidak akan mau membayar
lebih dari $800. Akibatnya, Dick akan tetap memelihara Spot. Ditinjau dari
perhitungan untung-ruginya, kondisi tersebut juga terhitung efisien.
Semua uraian dalam contoh
diatas, tentu saja bertumpu pada asumsi bahwa Dick secara hukum memang
dibenarkan memelihara anjingnya yang berisik itu, sehingga Jane tidak bisa
mengganggu-gugat. Artinya, kita berasumsi bahwa Dick dapat memelihara Spot
dengan bebas, dan Jane harus memberinya imbalan agar Dick menyingkirkan
anjingnya itu secara sukarela. Lantas bagaimana jika ternyata hukum berpihak
pada Jane, atau jika Jane secara hukum berhak untuk menikmati ketenangan dan
ketenteraman di rumahnya sendiri.
Menurut teorema Coase,
distribusi awal hak atau perlindungan hukum itu tidak menjadi persoalan, karena
tidak ada pengaruhnya terhadap kemampuan pasar dalam mencapai hasil yang
efisien. Misalkan saja, Jane secara hukum dapat menggugat Dick agar
menyingkirkan anjingnya. Dalam kasus ini, hukum berpihak pada Jane, namun hasil
akhirnya tidak akan berubah. Dalam kasus ini, Dick dapat menawarkan sejumlah
imbalan kepada Jane agar ia dapat terus memelihara anjingnya. Andaikata nilai
keuntungan Dick lebih besar daripada kerugian Jane, maka keduanya akan dapat
mencapai suatu kesepakatan yang memungkinkan Dick terus memelihara Spot.
Jadi, terlepas dari distribusi
hak pada awalnya, Dick dan Jane tetap berpeluang mencapai kesepakatan. Meskipun
demikian, soal distribusi hak itu bukannya sama sekali tidak relevan, karena
distribusi awal itulah yang menentukan distribusi kesejahteraan ekonomi. Jika
Dick yang memiliki hak awal untuk memelihara Spot, maka Janelah yang harus
memberi imbalan dalam kesepakatan yang mereka buat. Sebaliknya, jika Jane yang
mempunyai hak awal untuk hidup tenang, maka Dick yang harus memberi imbalan.
Namun dalam kedua kasus ini, kesepakatan tetap dapat dibuat dalam rangka
mengatasi masalah eksternalitas. Pada akhirnya, Dick hanya akan terus
memelihara anjingnya jika nilai keuntungannya melebihi nilai kerugiannya.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa : Teorema Coase menyatakan bahwa
pelaku-pelaku ekonomi pribadi/swasta, dapat mengatasi sendiri masalah
eksternalitas yang muncul diantara mereka. Terlepas dari distribusi hak pada
awalnya, pihak-pihak yang berkepentingan selalu berpeluang mencapai kesepakatan
yang menguntungkan semua pihak, dan merupakan pemecahan yang efisien.
Logika teorema Coase memang meyakinkan, namun tidak selamanya
sesuai dengan kenyataan yang ada. Dalam prakteknya, kita tahu bahwa
pelaku-pelaku ekonomi swasta/pribadi seringkali gagal memperoleh pemecahan yang
efisien, atas suatu masalah yang bersumber dari eksternalitas. Teorema Coase
ternyata hanya berlaku, jika pihak-pihak yang berkepentingan tidak dihadapkan
pada kendala untuk mencapai dan melaksanakan kesepakatan. Itu berarti, peluang
kesepakatan memang selalu terbuka, namun hal itu tidak selalu bisa diwujudkan.
Kesepakatan untuk mengatasi
persoalan eksternalitas seringkali gagal dicapai, jika pihak-pihak yang
terlibat diharuskan menanggung biaya-biaya transaksi. Yang disebut sebagai biaya-biaya transaksi (transaction costs) adalah berbagai bentuk biaya yang harus
dibayar, ketika pihak-pihak yang berkepentingan itu tengah menjalani negoisasi
atau tawar menawar. Dalam contoh kasus diatas, umpamakan saja Dick dan Jane
berasal dari negara berbeda, sehingga bahasanyapun berbeda. Sekedar untuk
bernegosiasi, keduanya harus menyewa penerjemah. Kalau sudah begitu, Dick dan
Jane akan enggan melakukan negoisasi, apalagi jika biaya sewa penerjemahnya
mahal. Dalam kenyataannya, perusahaan-perusahaan seringkali enggan melakukan negoisasi untuk
mengatasi eksternalitas diantara mereka, karena mahalnya ongkos jasa pengacara
yang menyusun agenda perundingan atau draft
kerjasama.
Kesulitan juga muncul pada tahap
pelaksanaan atas suatu kesepakatan. Perjanjian damai antara kedua belah pihak
yang berperang, seringkali gugur begitu saja dan perang pun kembali pecah.
Jadi, bukan saja bisa muncul pada tahap penyusunan kesepakatan, namun juga pada
tahap pelaksanaannya. Salah satu sebabnya adalah, ada saja pihak yang
meninginkan posisi lebih baik sekalipun kesepakatan sudah ditetapkan. Misalkan
saja Dick memperoleh keuntungan senilai $500 dari pemeliharaan anjingnya,
sedangkan biaya atau nilai kerugian Jane mencapai $800. Dengan imbalan $500,
Dick sebenarnya sudah bisa menyingkirkan anjingnya. Namun ada kemungkinan ia
akan berusaha memperoleh imbalan lebih
banyak, katakanlah $750, dan Janes mungkin juga akan berusaha menekan
jumlahnya, misalnya tidak lebih dari $550. Kesepakatan pun tertunda, dan selama
itu pula, kondisi yang tidak efisien (gonggongan anjing) terus berlangsung.
Pencapaian
kesepakatan akan semakin sulit, jika jumlah pihak yang terlibat atau
berkepentingan lebih banyak. Ini dikarenakan koordinasi antara banyak pihak itu
biasanya memakan biaya yang cukup besar. Sebagai contoh, ada sebuah pabrik yang
mencemari sebuah danau didekatnya. Polusi ini sangat merugikan para nelayan
yang mencari nafkah di danau tersebut. Menurut teorema Coase, jika terjadinya
polusi itu merupakan suatu kondisi yang tidak efisien, maka pemilik pabrik dan
para nelayan akan terdorong merundingkan pemecahannya. Jika kita asumsikan
bahwa pabrik itu punya hak legal untuk berpolusinya, solusinya bisa berupa
pemberian ganti rugi kepada pabrik agar tidak berpolusi. Namun jika jumlah
nelayannya banyak, dan masing-masing punya pendapat atau perhitungan sendiri,
maka biaya koordinasinya menjadi begitu mahal, sehingga kemungkinan besar
negoisasi antara pabrik dan nelayan
tidak dapat dilangsungkan.
Jika penyelesaian swasta gagal,
maka pemerintah harus turun tangan. Lagipula, pemerintahan memang merupakan
suatu institusi yang sengaja dibentuk, untuk bertindak mewakili kepentingan
bersama. Dalam contoh kasus di atas, pemerintah dapat mewakili para nelayan,
mengingat mereka sulit bertindak sendiri. Pada bagian pembahasan berikut, kita
akan menelaah bagaimana pemerintah dapat mengupayakan pemecahan atas adanya masalah
eksternalitas.
Setiap kali eksternalitas muncul
sehingga mengakibatkan alokasi sumber daya yang dilakukan pasar tidak efisien,
pemerintah dalam melakukan salah satu dari dua pilihan tindakan yang ada.
Pilihan pertama adalah menerapkan kebijakan-kebijakan atau pendekatan komando
dan kontrol (command-and-control
policies), atau menerapkan kebijakan-kebijakan berdasarkan pendekatan pasar
(market-base policies). Bagi para
ekonom, pilihan kedua lebih baik, karena kebijakan berdasarkan pendekatan pasar
akan mendorong para pembuat keputusan di pasar swasta, untuk secara sukarela
memilih mengatasi masalahnya sendiri.
Pemerintah dapat mengatasi suatu eksternalitas dengan
melarang atau mewajibkan perilaku tertentu dari pihak-pihak tertentu. Sebagi
contoh, untuk mengatasi kebiasaan membuang limbah beracun ke sungai, yang biaya
sosialnya jauh lebih besar dari pada keuntungan pihak-pihak yang melakukannya,
pemerintah dapat menyatakannya sebagai tindakan kriminal dan akan mengadili
serta menghukum pelakunya. Dalam kasus ini pemerintah menggunakan regulasi atau
pendekatan komando dan kontrol untuk melenyapkan eksternalitas tadi.
Namun kasus-kasus polusi umumnya tidak sesederhana itu.
Tuntutan para pecinta lingkungan untuk menghapuskan segala bentuk polusi,
sesungguhnya tidak mungkin terpenuhi, karena polusi merupakan efek sampingan
tak terelakkan dari kegiatan produksi industri. Contoh yang sederhana, semua
kendaraan bermotor sesungguhnya mengeluarkan polusi. Jika polusi ini hendak
dihapus sepenuhnya, maka segala bentuk kendaraan bermotor harus dilarang oleh
pemerintah, dan hal ini tidak mungkin dilakukan. Jadi, yang harus diupayakan
bukan penghapusan polusi secara total, melainkan pembatasan polusi hingga
ambang tertentu, sehingga tidak terlalu merusak lingkungan namun tidak juga
menghalangi kegiatan produksi. Untuk menentukan ambang aman tersebut, kita
harus menghitung segala untung ruginya secara cermat.Di Amerika Serikat, Badan
Perlindungan Lingkungan Hidup (EPA, Environmental
Protection Agency) adalah lembaga yang diserahi wewenang dan tugas untuk
merumuskan, melaksanakan, dan mengawasi berbagai regulasi yang dimaksudkan
untuk melindungi lingkungan hidup.
Bentuk regulasi dibidang lingkungan hidup itu sendiri bisa
bermacam–macam. Adakalanya EPA langsung menetapakan batasan polusi yang
diperbolehkan untuk suatu perusahaan.
Terkadang EPA mewajibkan pemakaian teknologi atau peralalatan tertentu untuk
mengurangi polusi di pabrik-pabrik. Di semua kasus, demi memperoleh suatu
peraturan yang baik dan tepat guna, para pejabat pemerintah harus mengetahui
spesifikasi dari setiap jenis/sektor industri, dan berbagai alternatif
teknologi yang dapat diterapkan oleh industri yang bersangkutan, dalam rangka
mengurangi atau membatasi polusi. Masalahnya, informasi seperti ini sulit
didapatkan.
B. PAJAK PIGOVIAN DAN SUBSIDI
Selain menerapkan regulasi, untuk mengatasi
eksternalitas, pemerintah juga dapat menerapkan kebijakan-kebijakan yang didasarkan
pada pendekatan pasar, yang dapat memadukan insentif pribadi/swasta dengan
efisiensi sosial. Sebagai contoh, seperti telah disinggung diatas pemerintah
dapat menginternalisasikan eksternalitas dengan menggunakan pajak terhadap
kegiatan-kegiatan yang menimbulkan eksternalitas negatif, dan sebaliknya
memberi subsidi untuk kegiatan-kegiatan yang memunculkan eksternalitas positif.
Pajak yang khusus diterapkan untuk mengoreksi dampak dari suatu eksternalitas
negatif lazim disebut sebagai Pajak
Pigovian (Pigovian tax), mengambil
nama ekonom pertama yang merumuskan dan menganjurkannya, yakni Arthur Pigou
(1877-1959).
Para ekonom
umumnya lebih menyukai pajak Pigovian dari pada regulasi sebagai cara untuk
mengendalikan polusi, karena biaya penerapan pajak itu lebih murah bagi
masyarakat secara keseluruhan. Andaikan ada dua pabrik-pabrik baja dan pabrik
kertas-yang masing-masing membuang limbah sebanyak 500 ton per tahun ke sungai.
EPA menilai limbah itu terlalu banyak, dan berniat menguranginya. Ada dua pilihan
solusi baginya, yakni :
¨
Regulasi : EPA mewajibkan semua pabrik untuk mengurangi limbahnya hingga 300 ton per tahun.
¨ Pajak
Pigovian : EPA mengenakan pajak
sebesar $50.000 untuk setiap ton limbah yang dibuang oleh setiap pabrik.
Regulasi itu langsung membatasi ambang polusi, sedangkan
pajak Pigovian memberikan insentif kepada para pemilik pabrik untuk sebanyak
mungkin mengurangi polusinya. Menurut pendapat Anda, solusi manakah yang lebih
baik ?
Para ekonom lebih
meyukai penerapan pajak. Mereka yakin penerapan pajak itu sama sekali tidak
kalah efektifnya dalam menurunkan polusi. Untuk mencapai ambang polusi
tertentu, EPA tinggal menghitung tingkat pajak yang paling tepat untuk
diterapkannya. Semakin tinggi tingkat pajaknya, akan semakin banyak penurunan
polusi yang akan terjadi. Namun EPA juga harus hati-hati, karena pajaknya
terlalu tinggi, polusi akan hilang, karena semua pabrik bangkrut atau memilih
tidak beroperasi.
Alasan utama para
ekonom itu memilih penerapan pajak, adalah karena cara ini lebih efektif
menurunkan polusi. Regulasi mewajibkan semua pabrik mengurangi polusinya dalam
jumlah yang sama, padahal penurunan sama rata, bukan merupakan cara termurah
menurunkan polusi. Ini dikarenakan kapasitas dan keperluan setiap pabrik untuk
berpolusi berbeda-beda. Besar kemungkinan salah satu pabrik (misalkan pabrik
kertas), lebih mampu (biayanya lebih murah) untuk menurunkan polusi dibanding
pabrik lain (pabrik baja). Jika keduanya dipaksa menurunkan polusi sama rata,
maka operasi pabrik baja akan terganggu. Namun melalui penerapan pajak, maka
pabrik kertas akan segera mengurangi polusinya, karena hal itu lebih murah dan
lebih mudah dilakukan dari pada membayar pajak, sedangkan pabrik baja, yang
biaya penurunan polusinya lebih mahal, akan memilih membayar pajak saja.
Pada dasarnya, pajak Pigovian secara langsung menetapkan
harga atas hak berpolusi. Sama halnya dengan kerja pasar yang mengalokasikan
berbagai barang ke pembeli, yang memberikan penilaian paling tinggi pajak
Pigovian ini juga mengalokasikan hak berpolusi kepada perusahaan atau pabrik,
yang paling sulit menurunkan polusinya atau yang dihadapkan pada biaya paling
tinggi untuk menurunkan polusi (misalkan karena biaya alat penyaring polusinya
sangat mahal). Berapapun target penurunan polusi yang diinginkan EPA akan dapat
mencapainya dengan biaya termurah melalui penerapan pajak ini.
Para ekonom juga
berkeyakinan bahwa penerapan pajak Pigovian, merupakan cara terbaik untuk
menurunkan polusi. Pendekatan komando dan kontrol tidak akan memberikan alasan
atau insentif bagi pabrik-pabrik pencipta polusi untuk berusaha mengatasi
polusi semaksimal mungkin. Seandainya saja polusinya sudah berada dibawah
ambang maksimal (misalkan 300 ton per tahun), maka perusahaan itu tidak akan
membuang biaya lebih banyak agar polusinya dapat ditekan lebih rendah lagi.
Sebaliknya, pajak akan memberikan insentif kepada pabrik-pabrik itu untuk terus
mengembangkan teknologi yang ramah terhadap lingkungan. Mereka akan terus
terdorong menurunkan polusi, karena semakin sedikit polusi yang mereka
ciptakan, akan semakin sedikit pula pajak yang harus mereka bayar.
Pajak Pigovian
tidaklah sama dengan pajak-pajak lain, dimana kita mengetahui bahwa pajak pada
umumnya akan mendistorsikan insentif dan mendorong alokasi sumber daya menjauhi
titik optimum sosialnya. Pajak umumnya juga menimbulkan beban baku berupa
penurunan kesejahteraan ekonomis (turunnya surplus produsen dan surplus
konsumen), yang nilainya lebih besar dari pada pendapatan yang diperoleh
pemerintah dari pajak tersebut. Pajak Pigovian tidak seperti itu karena pajak
ini memang khusus diterapkan untuk mengatasi masalah eksternalitas. Akibat
adanya eksternalitas, masyarakat harus memperhitungkan kesejahteraan pihak
lain. Pajak Pigovian diterapkan untuk mengoreksi insentif ditengah adanya
eksternalitas, sehingga tidak seperti pajak-pajak lainnya, pajak Pigovian itu
justru mendorong alokasi sumber daya mendekati titik optimum sosial. Jadi,
selain memberi pendapatan tambahan pada pemerintah, pajak Pigovian ini juga meningkatkan
efisiensi ekonomi.
IZIN POLUSI
YANG DAPAT DIPERJUALBELIKAN
Sekarang, mari
kita andaikan EPA mengesampingkan saran para ekonom, dan menerapkan pendekatan
formal. EPA mengeluarkan peraturan yang mengharuskan setiap pabrik, untuk
menurunkan limbahnya hingga 300 ton per tahun. Namun, hanya sehari setelah
peraturan itu diumumkan, pimpinan dua perusahaan, yang satu dari pabrik baja
dan yang lain dari pabrik kertas, datang ke kantor EPA untuk mengajukan suatu
usulan. Pabrik baja perlu menaikkan ambang polusinya 100 ton per tahun. Agar
polusi total tidak bertambah, pengelola pabrik kertas bersedia menurunkan
polusinya sebanyak itu, asalkan si pemilik pabrik baja memberikan kompensasi $5
juta, dan permintaan ini sudah disanggupi oleh pemilik pabrik baja. Haruskan
EPA mengizinkan kedua pabrik itu melakukan jual-beli hak berpolusi sendiri?
Dari sudut pandang
efisiensi ekonomi pemberian izin bagi kedua pabrik tersebut akan menjadi
kebijakan yang baik. Kesepakatan antara kedua pabrik itu akan menguntungkan
keduanya, karena mereka secara sukarela menyetujuinya. Di samping itu,
kesepakatan itu tidak akan mengakibatkan dampak eksternal apa pun, karena batas
polusi total tidak dilanggar. Jadi, kesejahteraan total akan meningkat kalau
EPA mengizinkan kedua pabrik itu melakukan jual-beli hak berpolusi.
Logika yang sama
yang berlaku untuk setiap transfer hak berpolusi secara sukarela, dari satu
perusahaan ke perusahaan lain. Jika kemudian EPA memangmengizinkan hal itu,
maka sesungguhnya EPA telah menciptakan sumber daya langka yang baru, yakni hak
berpolusi. Pasar yang memperdagangkan hak berpolusi ini selanjutnya pasti akan
tumbuh dan berkembang, dan pada gilirannya, pasar ini akan tunduk pada
kekuatan-kekuatan penawaran dan permintaan. Perusahaan-perusahaan yang dihadapkan
pada biaya yang sangat tinggi untuk berpolusi, pasti akan aktif dipasar itu,
karena bagi mereka, membeli hak berpolusi lebih murah dibanding melakukan
investasi baru untuk menurunkan polusi pabrik-pabrik mereka. Sebaliknya,
perusahaan-perusahaan yang tidak dihadapkan pada kendala yang berat untuk
menurunkan polusi, pasti akan senang hati menjual haknya berpolusi karena hal
itu akan meberinya pendapatan Cuma-Cuma.
Satu keuntungan
dari berkembangnya pasar hak berpolusi ini, adalah alokasi/pembagian awal izin
berpolusi dikalangan perusahaan tidak akan menjadi masalah, jika ditinjau dari
sudut pandang efisien ekonomi. Logika yang melatarbelakangi kesimpulan tersebut
mirip dengan mendasari teorema Coase. Perusahaan-perusahaan yang paling mampu
menurunkan polusi akan menjual haknya berpolusi, sedangkan perusahaan yang
harus mengeluarkan biaya besar untuk menurunkan polusi, akan menjadi
pembelinya. Selama pasar hak berpolusi ini dibiarkan bekerja dengan bebas, maka
alokasi akhirnya akan lebih efisien dibanding alokasi awalnya, terlepas dari
sebaik apa pun alokasi awal tersebut.
Meskipun penurunan
polusi melalui pemberlakuan izin polusi nampak berbeda kasusnya dari penerapan
pajak Pigovian, sesungguhnya dampak akhir dari kedua kebijakan
ini akan sama
saja. Dalam kedua kasus ini, perusahaan tetap harus membayar
atas polusi yang ditimbulkannya. Dalam kasus pajak Pigovian, perusahaan
pencipta polusi harus membayar pajak atau semacam denda kepada pemerintah, atas
polusi yang ditimbulkannya itu, sedangkan pada kasus izin polusi, perusahaan
harus membeli izin itu dari pemerintah. (Bahkan perusahaan-perusahaan yang
sudah memiliki izin polusi tetap harus membayar dalam bentuk lain, yakni biaya
oportunitas berpolusi berupa pendapatan yang akan mereka peroleh seandainya
mereka menjual izin polusi itu dalam sebuah pasar terbuka). Dengan demikian,
penerapan pajak Pigovian maupun izin polusi, sama-sama dapat
menginternalisasikan eksternalitas, dengan memaksa perusahaan menanggung ongkos
tertentu untuk berpolusi.
Kemiripan antara
kedua kebijakan itu dapat dilihat secara jelas di pasar polusi. Kedua panel
yang terdapat pada gambar dibawah ini sama-sama menunjukkan kurva permintaan
atas hak berpolusi. Kurva permintaan ini memperlihatkan bahwa semakin rendah
biaya atau harga polusi, akan semakin tinggi permintaan polusi (artinya
perusahaan-perusahaan akan lebih leluasa berpolusi, karena biayanya relatif
rendah). Selanjutnya pada panel (a) diperlihatkan EPA, dalam rangka mengurangi
polusi, langsung menetapkan harga polusi dengan cara memberlakukan pajak
Pigovian. Dalam kasus ini, kurva penawaran hak berpolusi bersifat elastis
sempurna (karena perusahaan-perusahaan dapat berpolusi sebanyak pajak yang
mereka bayarkan). Disini, kurva permintaan akan menentukan kuantitas polusi.
Sedangkan pada panel (b) EPA secara langsung membatasi kuantitas polusi dengan
cara menerbitkan sejumlah izin polusi terbatas. Dalam kasus ini, kurva
penawaran hak berpolusi bersifat inelastis sempurna (Karena
perusahaan-perusahaan langsung dijatah kuantitas polusinya, sebanyak izin
polusi yang ada). Di sini, posisi kurva permintaan akan menentukan harga
polusi.
Dalam kedua kasus ini, terlepas dari posisi kurva
permintaannya, EPA dapat mencapai sembarang titik pada kurva itu, dengan
menetapkan harga polusi melalui pajak Pigovian, atau dengan secara langsung
membatasi kuantitas polusi melalui penerbitan izin polusi terbatas.
Namun dalam
beberapa hal, penjualan izin polusi bisa lebih baik dari itu pada penerapan
pajak Pigovian. Umpamakan saja EPA suatu ketika ingin membatasi limbah yang
dibuang di sungai tidak lebih dari 600 ton. Tetapi karena EPA tidak mengetahui
kurva permintaan polusi, maka ia tidak akan dapat memastikan berapa besar pajak
yang harus diterapkan untuk mencapai target tersebut. Dalam kasus ini,
pemecahan akan diperoleh dengan melelang izin polusi sebanyak 600 ton limbah.
Hasil lelang ini akan memberi pendapatan seperti halnya pajak Pigovian.
BAB VI
Dalam beberapa kasus, para anggota masyarakat dapat mengatasi
sendiri masalah eksternalitas, tanpa keterlibatan pemerintah. Menurut teorema
Coase, seandainya mereka dapat melakukan tawar menawar secara bebas (tanpa
biaya), maka mereka akan dapat mencapai kesepakatan bersama, dan
melaksanakannya bersama-sama pula sehingga tercapai suatu alokasi yang efisien.
Namun dalam prakteknya, banyak kendala yang tidak memungkinkan berlangsungnya
tawar menawar itu. Salah satu diantaranya adalah terlalu banyak pihak yang
berkepentingan.
Kalau orang-orang
tidak dapat menyelesaikan sendiri masalah eksternalitas yang mereka hadapi,
maka pemerintah perlu turun tangan. Namun adanya eksternalitas itu tidaklah
menjadi alasan untuk sepenuhnya mencampakkan kekuatan pasar. Pemerintah dapat
mengatasi persoalan eksternalitas itu tanpa meninggalkan pasar, yakni dengan
secara langsung mewajibkan para pembuat keputusan (produsen atau konsumen)
menanggung segenap biaya atau akibat yang ditimbulkan oleh prilaku atau
tindakan mereka. Contohnya adalah penerapan pajak Pigovian terhadap polusi,.
Penanggulangan polusi juga dapat dilakukan melalui penerbitan izin polusi
terbatas. Hanya perusahaan yang memiliki izin yang boleh menciptakan polusi,
itupun dalam kadar yang terbatas. Kedua cara ini pada dasarnya merupakan upaya
internalisasi eksternalitas polusi. Dalam praktiknya, peran kelompok-kelompok
pecinta lingkungan terus meningkat, sehingga kini mereka menjadi kekuatan utama
dalam melindungi kelestarian lingkungan hidup. Kekuatan pasar, jika dapat
diarahkan secara tepat, dapat menjadi resep yang paling mujarab untuk mengatasi
kegagalan pasar.
Seberapa besar nilai imbasan teknologi itu, dan sejauh manan impili kasinya terhadap kebijakan poemerintah ? ini merupakan pertanyaan yang asngat penting karena dapat mempengaruhi perkembangan teknologi, dimana kemajuan teknologi itu seperti yang kita ketahui bersama merupakan motor pemecu standar hidup manusia dari generasi ke generasi. Namun pertanyaan itu juga rumit sehingga menjadi bahan perdebatan yang tidak ada habisnya di kalangan ekonom.
Sebagian ekonom berpendapat bahwa imbasan teknologi itu sedemikian pentingnya sehingga pemerintah harus mendukung industri-industri yang menciptakan imbasan teknologi terbesar. Sebagai contoh, seandainya industri mikroprosesos komputer (computer chips) mampu menciptakan imbasan teknologi yang lebih besar dari pada industri kripik kentang (potato chips), maka pemerintah harus mendukung industri yang pertama, misalnya saja dengan memberikan keringanan pajak. Interpensi pemerintah dalam perekonomian yang bertujuan mendukung industri-industri pengembangan teknologi, lazim disebut kebijakan teknologi (technology policy).
Ada pula ekonom yang tidak
terlalu terkesan dengan ide kebijakan teknologi. Mereka berpendapat bahwa
kalaupun imbasan teknologi itu benar-benar ada, keberhasilan kebijakan
teknologi masih mensyaratkan pemerintah mampu mengukur besar kecilnya imbasan
teknologi itu diberbagai pasar secara akurat. Pengukuran inilah yang menjadi
masalah, karena dalam prakteknya sangat sulit dilakukan. Padahal tanpa adanya
pengukuran akurat yang akan melandasi industri-industri yang hendak diberi
subsidi, pada akhirnya subsidi dari pemerintah itu hanya akan jatuh kesekelincir
sektor industri yang punya koneksi politik yang kuat, bukannya ke industri-
industri yang menghasilkan eksternalitas positif terbesar.
Salah satu bentuk kebijakan teknologi yang paling banyak didukung oleh para ekonom adalah kebijakan perlindungan hak cipta. Hukum paten melindungi hak eksklusif para pencipta atau penemu untuk memanfaatkan sendiri penemuannya, selama jangka waktu tertentu (setelah itu penemuannya dapat dimanfaatkan oleh masyarakat luas). Disini hukum paten itu dapat dikatakan berfungsi melakukan internalisasai eksternalitas (positif). Dengan memberikan hak cipta (property rights) Kepada setiap perusahaan atas penemuan-penemuan barunya. Perusahaan lain atau siapa saja yang berminat untuk turut memanfaatkan penemuan baru itu harus meminta izin kepada penemunya, dan memebayar sejumlah royalti. Dengan cara ini, hukum paten memberikan insentif lebih besar kepada semua perusahaan, untuk mencurahkan lebih banyak dana dan perhatian untuk menemukan teknologi-teknologi baru yang bermanfaat.
DAFTAR PUSTAKA
Tarumingkeng, Rudy C 2001. Introduction To Philosophy Of Science. IPB Graduate Program. CD ROM, Bogor.
Myles, Gareth D. 1997. Public Economics. University of Exeter. Cambridge University Press.
Pogue, Thomas F. and Sgontz L.G. 1978. Government And Economic Choice And Introduction to Public Finance. Houghton Mifflin Company, Boston.
Frank, Robert
H. 1989. Microeconomics and Behavior, Forth Edition. Irwin Mc. Graw Hills, New
York.
Guritno M. 1991.
Ekonomi Publik, Edis Ketiga. BPFE Yogyakarta.
Yakin,
Addinul. 1997. Ekonomi Sumberdaya Dan Lingkungan. Akademika Presindo.
Simarmata,
Dj.A. 1994. Ekonomi Publik & External LPFE Universitas Indonesia.
Cullis, John and Jones, Philip. 1992. Public Finance – Public Choice. Mc. Graw Hills, New York.