PENDEKATAN PEMBANGUNAN DAN

            © 2001  ISKANDAR                                                                 Posted 29 May 2001 [rudyct]

Makalah Falsafah Sains (PPs 702)  

Program Pasca Sarjana / S3

Institut Pertanian Bogor

 

Dosen:

Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)

Prof Dr Ir Zahrial Coto

 

 

 

PEMBANGUNAN DI WILAYAH PESISIR SECARA TERPADU DENGAN PENDEKATAN TATA RUANG

 

 

 

 

Oleh:

ISKANDAR

SPL / P31600017

Email: iskandar@elnusa.co.id

 

 

 

KATA PENGANTAR

 

 Penataan ruang dikawasan pesisir dengan pola pembangunan yang berwawasan lingkungan sangat diperlukan oleh generasi masa kini dan masa mendatang, pada kesempatan ini penulis akan memaparkan “Pembangunan diwilayah pesisir secara terpadu dengan pendekatan tata ruang”. Tulisan ini disusun sebagai tugas individu dalam mata kuliah Pengantar Ke Falsafah Sains (PPS 702).

 

Tulisan ini akan memberikan penjelasan tentang permasalahan pembangunan dan penataan ruang diwilayah pesisir dengan pendekatan dan metodologi pengelolaan ruang kawasan pesisir.Dipandang dari epistimologi kawasan pesisir perlu dilakukan pemamfaatan dan perencanaan tata ruang secara berkesinambungan, dipandang dari ontologi pendekatan pembangunan yang terpilih dikawasan pesisir merupakan cerminan suatu bangsa, dan dipandang dari aksiologi perencanaan yang berhati – hati dengan selalu mempertimbangkan konsevasi alam.

 

Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof.Dr.Ir. Rudy C. Tarumingkeng, M.Sc dan Prof.Dr.Ir. Zahrial Coto, M.Sc sebagai dosen pengasuh mata kuliah Falsafah Sains yang telah memberikan pengetahuan tentang mata kuliah ini. Akhirnya saya sebagai penulis membuat semaksimal mungkin yang tersirat dalam tinjauan isi falsafah sains yang dimaksud. Semoga tulisan ini mempunyai manfaat bagi yang membutuhkan.

 

Jakarta 18 Mei 2001

 

 

 

1.   PENDAHULUAN

            Pembangunan yang lebih berorientasi sektoral yang dilaksanakan selama enam repelita yang lalu, merupakan salah satu ciri bentuk pengelolaan sumberdaya alam yang menimbulkan pengrusakan sumberdaya alam dan menurunkan kualitas lingkungan.   Selain penyebab di atas, kenyataan ini juga disebabkan oleh pelaku aktivitas (stekholder) yang kurang memperhatikan  segi spatial, sehingga tidak jarang terjadi konflik spatial dalam pemanfaatan ruang dan sumberdaya alam  antar sektor.  Selain itu pembangunan yang berorientasi sektoral juga berkonstribusi pada ketimpangan pembangunan antar kawasan, baik antar daerah maupun antar kawasan perkotaan dan kawasan perdesaan secara fungsional.  Ketidak serasian pembangunan antar sektor dan ketimpangan pembangunan antar kawasan menyebabkan  pembangunan kawasan pesisir akan menjadi kurang berdaya dan berhasil guna.          

            Untuk mendorong pembangunan yang berkelanjutan di daerah pesisir, perlu dilakukan penaatan ruang sesuai dengan kondisi sumberdaya  alam dan pemanfaatan yang diinginkan serta tidak melebihi kapasitas daya dukung lingkungan (carryng capacity). Olehnya itu  Pendekatan pemanfaatan ruang untuk penyusunan penataan ruang kawasan pesisir juga tidak dapat dipisahkan dari konsep perencanaan tata ruang untuk keseluruhan wilayah.  Pendekatannya melalui keterpaduan, baik bertolak dari aspek lingkungan serta wujud biogeokhemofisik ruang wilayah maupun dari segi kehidupan bangsa (administrasi Pemerintah, sosial ekonomi, politik dan pertahanan dan keamanan).  Pendekatan yang terpadu tersebut merupakan cerminan usaha pembangunan yang berkelanjutan, yang tidak saja menguntungkan kehidupan bangsa Indonesia saat ini, tetapi juga bagi generasi mendatang serta pertimbangan mendasar pada tatanan lingkungan dan daya dukung lingkungan pesisir.

           

2. PERMASALAHAN PEMBANGUNAN DAN PENATAAN RUANG DI WILAYAH PESISIR

 

 

            Wilayah pesisir adalah suatu  daerah pertemuan antara darat dan laut, ke arah darat wilayah peisisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin; sedangkan ke arah laut wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran (Soegiarto, 1976).

            Sehubungan  dengan sumberdaya wilayah pesisir merupakan suatu sumberdaya alam yang kaya dan beragam , baik sumberdaya yang dapat diperbaharui maupun sumberdaya yang tidak diperbaharui.  Selain itu, wilayah ini juga memiliki aksebilitas yang sangat baik untuk berbagai kegiatan ekonomi, seperti transportasi, pelabuhan, industri, pemukiman dan pariwisata.  Akan tetapi jika pembangunan wilayah pesisir tidak ditata dengan baik dan tidak memperhatikan segenap aspek terkait, terutama aspek keseimbangan antara tingkat pembangunan dan daya dukung lingkungan serta keseimbangan pembangunan antar daerah, maka pembangunan tersebut tidak akan mencapai hasil yang optimal dan berkesinambungan.

            Pengelolaan lingkungan dalam wilayah pesisir sesuai dengan konsep yang ada harus dilakukan secara terencana, rasional, bertanggung jawab sesuai dengan kemampuan daya dukungnya dengan mengutamakan sebesar-besarnya kemakumuran rakyat serta memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan kawasan pesisir  bagi pembangunan yang berkelanjutan (Sugandhy, 2001).   Berdasarkan hal tersebut, maka diperlukan startegi pegelolaan lingkungan pesisir secara terpadu dalam perencanaan, pemanfaatan, penataan, pemeliharaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi serta pemulihan, pengemabangan dan konservasi sumberdaya lingkungan pesisir secara optimal dan berkelanjutan.

            Menyangkut masalah penataan ruang, di wilayah pesisir perlu dilakukan pengembangan tata ruang dalam suatu kesatuan tata lingkungan yang dinamis serta tetap memelihara kelestarian kemampuan dan daya dukung lingkungan hidup kawasan pesisir.  Pemanfaatan ruang berazaskan pemanfaatan ruang bagi semua kepentingan secara terpadu, berdaya dan berhasil guna, serasi, selaras, seimbang serta berkelanjutan dan berazaskan keterbukaan, persamaan, keadilan dan perlindungan hukum.

            Untuk mewujudkan pengelolaan di wilayah pesisir yang berazaskan pemanfaatan secara terpadu, maka diperlukan keterpaduan antar lintas sektoral, kemitraan antara pemerintah, dunia usaha dan masyarakat.  Untuk memugkinkan hal tersebut, maka faktor keutuhan peranan sumberdaya pesisisr dalam tatanan lingkungan menjadi penting untuk dilestarikan.  Kesamaan arah pandangan pembangunan ini memungkinkan tercapainya keserasian dalam langkah pekerjaan masing-masing sektor dan antar sektor yang terkait (berkepentingan).  Kriteria yang harus disepakati yaitu “pembagian zonasi (ruang) wilayah kerja “ untuk menetapkan batasan tanggung jawab masing-masing sektor dan menghindari terjadinya tumpang tindih kepentingan, tugas dan wewenang.  Untuk itu maka perlu adanya kesepakatan suatu  kriteria obyektif bagi pengelolaan sumberdaya alam di wilayah pesisir yang telah ditetapkan berdasarkan melalui peraturan dan perundangan.

            Dalam hal ini peran pemerintah Daerah sangat diperlukan dan merupakan kunci keberhasilan pelaksanaan yang bersifat terintegrasi bagi pelaksanaan pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan dikawasan pesisir di tiap propinsi sebagai bagian dari pembangunan daerah.  Jabaran pembangunan nasional dalam rangka pencapaiaan sasaran pembangunan yang disesuaikan dengan potensi disetiap daerah dengan tipologi yang berbeda-beda, harus merupakan aspirasi dan permasalahan pembangunan nasional, daerah dan masyarakat. Pembangunan kawasan pesisir harus mencakup semua kegiatan pemabngunan daerah dan sektoral yang berlangsung didaerah, yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat yang bercirikan kordinasi dan keterpaduan antar sektor, antar sector dan daerah, antar daerah tingkat I dan daerah tingkat II, dengan mengacu pada “Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU No 24 tahun 1992 tentan Penataan Ruang.

            Berdasarkan  UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang didefinisiakan sebagai wadah kehidupan yang meliputi ruang daratan, ruang laut dan ruang udara, termasuk didalamnya tanah, air, udara dan benda lainnya, sebagai suatu kesatuan kawasan tempat manusia dengan mahluk hidup lainnya melakukan kegiatannya dan memelihara kelangsungan hidupnya.  Sedang tata ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang kawasan nasional, ruang kawasan daratan, ruang kawasan kabupaten, dan ruang kawasan tertentu yang mencakup perkotaan dan pedesaan, yang menunjukkan adanya hirarki dan keterkaitan pemanfaatan ruang.  Dengan demikian ruang kawasan pesisir  termasuk ruang yang perencanaan penataan ruangnya tidak terlepas dari produk rencana tata ruang kawasan Nasional dan Kabupaten.  Selama ini rencana penataan tata ruang yang telah disusun lebih berorientasi pada kawasan daratan dan belum banyak memperhatikan  ruang kawasan laut seperti yang diamantkan oleh UU No. 24/1992 di atas.  Pada UU No. 221l999 tentang pemerintahan Daerah disebutkan bahwa pemerintah Daerah Tingkat Tingkat I memiliki kewenangan untuk mengelola kawasan laut seluas 12 mil (kawasan zona teritorial laut Indonesia).  Seiring dengan perubahan pendekatan pembangunan yang bergeser dari pendekatan sektoral ke arah pendekatan kawasan, maka diperlukan perencanaan pembangunan kawasan pesisir secara terpadu dan berkelanjutan.

             Perencanaan tata ruang kawasan pesisir diharapkan dapat mendorong peran serta masyarakat dan swasta sebagai pembangunan.  Tata ruang yang dimaksud mencakup penetapan peruntukan lahan yang terbagi menjadi empat zona yaitu : (1) zona preservasi, (2) zona konservasi, (3) zona penyangga dan (4) zona Budidaya (zona pemanfaatan) (Dahuri, et al, 1966).  Dalam UU No. 24/1992 tentang tata ruang, mintakat (1) dan (2) dinamakan sebagai kawasan lindung, sedangkan mintakat (3) sebagai kawasan budidaya.

            Zona preservasi adalah suatu daerah yang ekosistem unik, biota endemik atau langka, atau proses penunjang kehidupan seperti daerah pemijahan (spowning ground), daerah pembesaran (nursery ground) dan alur ruaya (migration rates) dari biota perairan.  Dalam zona ini tidak diperbolehkan adanya kegiatan manusia, kecuali kegiatan pendidikan dan penelitian.  Sementara itu, beberapa  kegiatan pembangunan (pemanfaatan) secara terbatas dan terkendali.  Misalnya kawasan hutan mangrove atau terumbu karang untuk kegiatan wisata alam (ecotourism) dapat berlangsung dalam zona konservasi.

            Keberadaan zona preservasi dan konservasi dalam suatu wilayah pembangunan sangat penting dalam memelihara berbagai proses penunjang kehidupan, seperti siklus hidrologi dan unsur hara, membersihkan limbah secara alamiah, dan sumber keanekaragaman hayati (biodiversity), bergantun pada kondisi almnya, luas zona preservasi dan konservasi yang optimal dalam suatu kawasan pemabngunan sebaiknya antara 30 – 50% dari luas totalnya (Dahuri et al, 1996)

            Selanjutnya, setiap kegiatan pembangunan (industri, pertanian, budidaya perikanan, pemukiman dan lainya) dalam zona pemanfaatan hendaknya ditempatkan pada lokasi yang secara biofisik sesuai, hingga membentuk suatu mozaik yang harmonis.  Misalnya, penempatan kegiatan budidaya tambak udang pada lahan pesisir bertekstur pasir atau sangat masam, atau berdekatan dengan kawasan industri biasanya akan menemui kegagalan.

3. TUJUAN DAN MANFAAT

3.1. Tujuan

            Tujuan penataan ruang kawasan Pesisir yaitu ;

            1.   Mengevaluasi kesesuaian lahan dalam pemanfaatan  ruang wilayah pesisir.

2.       Mengatasi konflik pemanfaatan ruang kawasan pesisir sehingga potensi sumberdaya  alam dapat dimanfaatkan secara optimal sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daya dukung lingkungan serta sesuai dengan kebijakan pembangunan daerah maupun nasional.

3.       Menyusun model pengembangan tata ruang kawasan pesisir bagi kegiatan     usaha masyarakat dengan menerapkan perinsip pembangunan berkelanjutan serta berdasarkan pendekatan pemberdayaan masyarakat dan peran serta swasta sebagai mitra pembangunan.

             4. Memberikan pertimbangan/masukan dalam pengambilan keputusan sebagai dasar  dalan penentuan kebijakan dalam pengelolaan kawasan pesisir.

3.2.  Manfaat

            Manfaat dari penyusunan tata ruang kawasan pesisir ini diharapkan dapat memberikan konstribusi bagi pembangunan daerah dan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pengambil keputusan dalam penentuan kebijakan penyusunan tata ruang kawasan pesisir, dan sebagai acuan teknis dalam menetapkan suatu kawasan dan pemanfaatan serta pengendaliannya.

 

4.  PENDEKATAN DAN METODOLOGI PENGELOLAAN TATA RUANG  KAWASAN PESISIR

 

4.1.Prinsip dasar

Prinsip dasar dalam penyusunan tata ruang yaitu bagaiamana mendapatkan manfaat dari sumberdaya yang tersedia seoptimal mungkin dengan tidak mengabaikan kelestarian lingkungan serta aspek pertahanan keamanan.  Berdasarkan hal tersebut , maka penyusunan tata ruang mengacu kepada :

4.1.1.      Kelestarian Sumberdaya  Peisisir.

Fungsi lindung dan konservasi yang melekat pada ekosistem pesisir senantiasa menjadi penyeimbang fungsi yang dialokasikan pada suatu ruang pesisir. Hal ini sangat krusial mengingat karakteristik  pesisir yang rentan serta memiliki keterkaitan yang sangat erat antara ekosistem pesisir seperti mangrove, padang lamun, rumput laut dan terumbu karang.  Mengacu kepada kenyataan tersebut, maka yang pertama harus dilakukan dalam mengalokasikan  pemanfaatan ruang  kawasan pesisir adalah penentuan kawasan dengan fungsi lindung dan konservasi yang utama, kawasan yang tersisa barulah dimanfaatkan untuk kegiatan budidaya/pemanfaatan.  Kegiatan pemanfaatan yang terpilih merupakan hasil kajian proses aktivitas yang akan berjalan beserta kemungkinan terjadinya dampak lingkungan seminimal mungkin.

4.1.2.      Kesesuaian  Lahan

  Aktivitas yang akan ditempatkan pada suatu ruang dikawasan pesisir harus memperhatikan kesesuaian antara kebutuhan (demand) dengan kemampuan lingkungan menyediakan sumberdaya (supply).  Selanjutnya ketersediaan sumberdaya merupakan daya dukung (carryng capacity) kawasan untuk menopang seluruh aktivitas yang dialokasikan.  Dengan mengacu kepada keseimbangan antara demand da supply, maka akan dicapai suatu optimasi pemanfaatan pemanfaatan ruang antara kepentingan masa kini, masa datang serta menghindari terjadinya konflik pemanfaatan ruang.  Keseuaian lahan tidak saja mengacu kepada kriteria biofisik semata, tetapi juga meliputi kesesuaiaan secara sosial ekonomi.  Secara ekonomi aktivitas yang akan dibangun seyogyanya mampu mencapai keuntungan seefisien dan secara sosial mampu memberdayakan masyarakat setempat dalam memanfaatkan sumberdaya pesisir.

4.1.3.      Keterkaitan Kawasan

             Interaksi antar beberapa aktivitas pada suatu kawasan pesisir dengan kawasan lainya akan tercipta dan memungkinkan terjadinya perkembangan yang optimal antar unit-unit kawasan maupun dengan kawasan sekitarnya.  Untuk itu penyusunan pemanfaatan kawasan pesisir dibuat sedemikian rupa sehingga kegiatan-kegiatan  antar kawasan dapat saling menunjang dan memiliki keterkaitan dengan kawasan yang berbatasan.

4. 2.  Kerangka  Analisis

 

Rencana tata ruang kawasan pesisir ini akan dianalisis semua aspek yang berkaitan dengan perencanaan pemanfaatan ruang pesisir yaitu ;

Dari hasil analisis setiap aspek tersebut diharapkan diperoleh informasi hal sebagaiberikut;
                  (1) Tujuan dan arah kebijaksanaan Pembangunan Daerah

(2)   Perkiraan dan perkembangan jumlah penduduk, penyebaran penduduk

(3)   Sektor-sektor ekonomi strategis, perkiraan investasi dan kesempatan kerja

(4)   Kemampuan Pembiayaan pembangunan

(5)   Kondisi infrastruktur

(6)   Potensi sumberdaya alam pesisir

(7)   Struktur dan pola pemanfaatan ruang dan rencana tata ruang yang sudah ad  dala hal ini ; kawasan lindung dan kawasan pemanfaatan khususnya dikawasan pesisir.

(8)   Keserasian dan permasalahan (tumpang tindih) perencanaan pemanfaatan ruang sektoral.

 

Dari informasi di atas dapat disusun pokok-pokok masalah tata ruang seperti : daya dukung kawasan, persebaran penduduk, sistim infrastruktur, dan lain-lain untuk menjadi dasar dalam penyusunan rencana Tata Ruang Kawasan Pesisir.

            Agar dapat menempatkan berbagai kegiatan pembangunan di lokasi yang secara ekologis sesuai, maka kelayakan biofisik (biophysical suitability) dari wilayah pesisir harus didentifikasi lebih dahulu.  Pendugaan kelayakan biofisik ini dilakukan  dengan cara mendefinisikan persyaratan biofisik (biophysical requirements) setiap kegiatan pembangunan, kemudian dipetakan.  Dengan cara ini dapatlah ditentukan  keseuaiaan penggunaan setiap unit (lokasi) kawasan pesisir.

Penempatan wilayah sesuai pembangunan di lokasi yang sesuai, tidak saja menghindarkan kerusakan lingkungan tetapi juga menjamin keberhasilan (viability) ekonomi kegiatan termaksud.  Disamping itu, secara sosial dan budaya akan menambah kesejahteraan penduduk setempat.

Apabila kelayakan biofisik ini dipetakan dengan informasi tentang tat guna ruang saat ini, maka ketersediaan biofisik (biophysical availability) wilayah pesisir pun dapat pula ditentukan.  Selanjutnya jika informasi tentang potensi penggunaan (the future uses) wilayah pesisir juga tersedia , maka tata ruang yang dinamis pun dapat disusun.

            Proses penyusunan tat ruang pesisir dapat dilakukan dengan cara membuat penampalan atau menumpangsusunkan (overlay) peta-peta tematik yang memuat karakteristik biofisik (ekologis) wilayah pesisir terhadap  pete-peta yang memuat persyaratan (kriteria) biofisik dari setiap kegiatan pembangunan yang direncanakan, dan pete-peta penggunaan ruang (lahan) pesisir saat ini.  Proses dalam penyusunan tata ruang wilayah pesisir untuk kegiatan pembangunan disajikan pada Gambar 1.

Penentuan tata ruang ini dapat dilakukan dengan menggunakan teknik tradisional seperti manual map overlaying (Marble, 1984) atau teknik Sistim Informasi Geografi (GIS) seperti Arc/INFO dan SPANS (Kapetsky et al. 1987). Informasi dasar, biasanya tersedia dalam bentuk thematic maps, yang diperlukan untuk

 

 

 

 

 

 

 

 


                                                                                                           

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

                   

 

 

 

untuk menyusun kelayakan biofisik ini tidak saja meliputi karakteristik daratan dan hidrometeorologi, tetapi juga oceonografi biologi perairan pesisir.

            Setelah berhasil menempatkan setiap kegiatan pembangunan pada lokasi yang secara ekologis sesuai (suitable), maka tugas perencanaan berikutnya adalah menentukan tingkat (laju) optimal dari setiap kegiatan pembangunan.  Dalam hal ini yang dimaksud dengan tingkat pembangunan yang optimal adalah suatu besaran (intensitas) pembangunan yang secara sosial ekonomi menguntungkan dan secara ekologis aman atau segenap dampak lingkungan negatif yang ditimbulkannya masih dapat ditenggang oleh ekosistem alam.  Penetapan tingkat pembangunan yang optimal dapat dilakukan dengan cara membuat analisis optimasi antara permintaan (demand) akan sumberdaya, ruang serta jasa-jasa lingkungan pesisir lainnya dan kemampuan wilayah pesisir dalam menyediakanya secara berkesinambungan.

            Sehubungan dengan sifat dinamis dan dan keterkaitan ekologis dari ekosistem pesisir, maka penataan pemanfaatan ruang pesisir selain berdasarkan pada kesesuaiaan biofisik , harus pula memperhatikan keterkaitan dampak antara kegiatan yang berada di kawasan pesisir dan keserasian (compatability) antar kegiatan di sekitarnya.  Untuk menguji apakah dua kegiatan dapat secara serasi berdampingan, dapat ditempuh dengan menyusun matriks keserasian (Tabel 1).  Matriks ini disusun berdasarkan pada kemungkinan dampak yang ditimbulkan oleh suatu kegiatan, dan kemampuan respon dari kegiatan yang berdampingan didalam menenggang dampak termaksud.  Misalnya, kegiatan tambak udang tidak mungkin dapat berdampingan dengan industri kimia yang mengeluarkan limbah tanpa diolah terlebih dahulu.

 

Tabel 1.  Matriks Keserasian (Campatability Matrix) Antar Kegiatan Pembangunan

Di Wilayah Pesisir ( Cicin-Sain dan Knecht, 1998).

 

N

O

 

KEGIATAN

 

A

 

B

 

C

 

D

 

E

 

 

F

 

G

 

H

 

I

 

J

 

K

 

L

 

M

1

Perikanan Tangkap (A)

X

S

S

S

S

S

S

S

S

S

S

S

S

2

Perikanan Tambak (B)

S

X

S

S

S

S

K

K

K

S

S

S

S

3

Marikultur (C)

S

S

X

S

S

K

S

S

S

S

S

S

S

4

Pertanian (D)

K

K

K

X

S

S

K

K

K

S

S

S

S

5

Perhutanan (E)

S

S

S

S

X

S

S

S

S

S

S

S

S

6

Perhubungan (F)

S

K

K

S

K

X

K

K

K

S

S

S

S

7

Pariwisata Pantai Diving (G)

S

S

S

S

S

S

X

S

S

S

S

S

S

8

PariwisataPantai Berpasir

(H)

S

S

S

S

S

S

S

X

S

S

S

S

S

9

Pariwisata Renang dan

Selancar (I)

S

S

S

S

S

K

S

S

X

S

S

S

S

10

Pertambangan Migas (J)

K

K

K

K

K

K

K

K

K

X

K

S

S

11

Pertambangan Mineral (K)

K

K

K

K

K

K

K

K

K

K

X

S

S

12

Pelabuhan (L)

S

K

K

S

K

S

K

K

K

S

S

X

S

13

Galangan Kapal (M)

S

S

S

S

K

S

S

S

S

S

S

S

X

 

Keterangan :  *  Pembacaan Tabel dari kiri ke kanan

 

·   S = Aktivitas Pembangunan di sebelah kiri tidak memberikan dampak

          Negatif terhadap aktivitas di sebelah kanan

 

                      *K = Aktivitas Pembangunan di sebelah kiri memberikan dampak   negatif terhadap aktivitas pembangunan disebelah kanan

 

DAFTAR  PUSTAKA

Cincin-Sain, B. and R. W. Knecht.  1998.  Integrated Coastal and Ocean Management.  University of Delaware, California.

 

Dahuri, R., J, Rais, S.P. Ginting dan M.J. Sitepu.  1996.  Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu.  Cetakan Pertama, Jakarta

 

Kapetsky, J,M.L.Mc. Gregor and H. Hannne.  1987.  A Geographycal Information System and Sattelte Remote Sensing to Plan for Agricultural Development.  FAO Fish Tech. Pap. (287) : 51 p.

 

Marble, D.F.  1984.  Geographic Information System : An Overview : In Geographic Information System for Resources Management : a Compendium W.J.  Ripple (ed).  America Society for Photogrametry and Remote Sensing and American Congress on Surveying and Mapping, VA, USA.

 

Soegiarto, A.  1976.  Pedoman Umum Pengelolaan Wilayah Pesisir.  Lembaga Oseanologi Nasional, Jakarta.

 

Sorensen, J. C. and Mc Creary.  1990.  Coast: Institutional Arrangements for Managing Coastal Resources.  University of California of Barkeley.

 

.Sugandhy, A.  Prinsip-Prinsip Penataan Ruang Kawasan Pesisir dan Lautan Indonesia. Materi Kuliah Kebijakan Pengelolaan Kelautan. Program Pascasarajan IPB. Bogor.

 

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1992,  tentang Penataan Ruang.

 

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999,  tentang Pemerintahan Daerah.