Copyright
© 2001 Program Pasca Sarjana IPB
Re-edited 21 July 2001, Rudy C Tarumingkeng, PhD
Makalah Kelompok III
Falsafah Sains (PPs 702)
Program Pasca Sarjana
Institut Pertanian Bogor
Maret 2001
Dosen:
Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)
Prof Dr Ir Zahrial Coto
BUDIDAYA
UDANG WINDU (Penaeus monodon Fab.)
BERWAWASAN LINGKUNGAN
Oleh:
Tatag
Budiardi (Ketua), Subandiyono
Puji
syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat-Nya, sehingga
penulisan makalah kelompok ini dapat diselesaikan dengan baik.
Makalah ini merupakan salah satu tugas dalam mata kuliah Pengantar Falsafah Sains (PPS 702).
Dalam makalah ini dikaji keterkaitan antara udang windu sebagai biota, lingkungan sebagai media hidupnya, serta berbagai input lainnya terutama pakan. Judul yang diambil adalah: BUDIDAYA UDANG WINDU (Penaeus monodon Fab.) BERWAWASAN LINGKUNGAN. Pertimbangan berdasarkan unsur-unsur filsafat uraian berikut adalah:
Tinjauan ontologis mencakup intensifikasi sistem budidaya udang windu (Penaeus monodon Fab.) di tambak yang dimulai sejak tiga dekade yang lalu, yang dari segi kausalitas adalah sangat menurunnya produksi udang windu yang terjadi pada satu dekade terakhir sebagai konsekuensi dari manajemen lingkungan, biota dan pakan yang kurang memperhatikan daya dukung lahan. Secara epistomologis, ditinjau penurunan kualitas air yang berlanjut dengan munculnya berbagai agen pembawa penyakit. Teleologi bahasan adalah untuk mengungkapkan suatu alternatif sistem budidaya udang windu yang berwawasan lingkungan dengan aksiologi produksi optimum, ekonomis, beresiko rendah dan lingkungan yang lestari.
Dengan demikian, aspek
penting yang dibahas mencakup berbagai permasalahan yang sedang dihadapi
dalam budidaya udang di tambak saat ini serta alternatif solusinya guna menjawab
berbagai tantangan yang akan dihadapi pada aktivitas akuakultur di masa
mendatang.
Kami menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak
Prof.Dr.Ir. Rudy C. Tarumingkeng, MF. atas arahan yang diberikan guna
menyelesaikan mata kuliah ini dengan sebaik-baiknya, dan penyuntingan ulang
makalah ini.
Penghargaan yang setinggi-tingginya juga disampaikan kepada seluruh Tim
Pengajar sehingga proses belajar-mengajar untuk mata kuliah ini dapat
terselesaikan dengan baik. Terima
kasih juga disampaikan kepada semua rekan yang tergabung dalam PPS 702 tahun
ajaran 2000/2001 serta rekan-rekan PPs-702-IPB@yahoogroups.com
atas berbagai masukan dan informasi yang sangat membantu dalam
penyempurnaan penulisan makalah ini.
Akhirnya, semoga informasi yang terkandung dalam makalah ini dapat
bermanfaat bagi para pembaca, terutama mereka yang membutuhkannya.
DAFTAR
ISI
2.1.4. Pakan dan Kemungkinan Dampak yang Ditimbulkan
3.3.1. Kontrol Sistem Akuakultur
3.3.2. Strategi Pemberian Pakan
_____________________________________
Udang
windu merupakan komoditas budidaya perairan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi.
Melalui gema PROTEKAN (Program Peningkatan Ekspor Hasil Perikanan) 2003,
ditargetkan pendapatan US$ 10,19 milyar dari perikanan, dan dari budidaya udang
diharapkan mampu menyumbang devisa sebesar US$ 6,79 milyar (Basoeki, 2000),
yaitu sejumlah lebih dari 60.000
ton udang (Harris, 2000).
Secara
umum, budidaya udang di Indonesia telah dilakukan sejak lama.
Namun budidaya udang secara intensif baru berkembang pesat pada
pertengahan tahun 1986, dimulai di Pulau Jawa, selanjutnya berkembang, antara
lain di Bali, Sumatera Utara, Aceh, Lampung, Bengkulu, Bangka, Kalimantan Timur,
Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Lombok, Sumbawa, dan Irian Jaya (Poernomo,
1988).
Indonesia
tercatat sebagai negara penghasil udang terbesar ketiga di dunia.
Namun produksinya terus menurun, dari 100.000 ton (1994), 80.000 ton
(1996), dan 50.000 (1998). Sejak
tahun 1996 beberapa negara lain juga mengalami
penurunan produksi udang, tetapi berangsur-angsur membaik, bahkan Thailand mampu
menjadi negara penghasil udang budidaya nomor satu di dunia.
Dalam
budidaya perairan (akuakultur), khususnya udang windu, produksi merupakan fungsi
dari biota, lingkungan dan pakan. Keberhasilan
budidaya udang ditentukan oleh biota yang mempunyai toleransi besar terhadap
perubahan atau fluktuasi lingkungan, tahan terhadap serangan hama dan penyakit,
serta responsif terhadap pakan yang diberikan.
Keberhasilan suatu budidaya merupakan derajat kelangsungan hidup dan
bobot rata-rata individu yang tinggi sehingga diperoleh produksi yang maksimal.
Ekosistem
tambak merupakan lingkungan alami yang tidak mungkin dapat menyediakan
lingkungan hidup yang optimal bagi udang yang dibudidayakan.
Untuk itu, pengelolaan lingkungan sangat diperlukan untuk menyediakan
tempat hidup yang layak dan nyaman agar udang dapat menyelenggarakan
proses-proses kehidupannya dengan baik. Jika
lingkungan sudah terkondisi dengan baik, maka faktor pakan selanjutnya akan
menentukan pertumbuhan. Ketersediaan
pakan yang baik sangat diperlukan bagi pertumbuhan, yaitu penambahan bobot,
panjang atau volume udang akibat adanya energi yang disisakan dari energi pakan
setelah dikurangi dengan energi metabolisme total serta energi yang dikeluarkan
berupa feses dan urin. Produksi
akan optimal bila kendala oleh penyakit dan hama dapat diatasi dengan baik.
Ketiga
faktor penentu produksi berinteraksi sesamanya.
Sebagai contoh, penerapan teknologi budidaya udang secara intensif
memerlukan pemberian pakan yang intensif pula.
Hal ini berkonsekuensi terhadap penumpukan sisa pakan dan ekskresi udang,
serta senyawa lainnya di dasar tambak yang dapat menjadi penyebab utama
penurunan kualitas lingkungan yang selanjutnya akan menurunkan produktivitas
tambak. Penurunan kualitas
lingkungan dapat diakibatkan oleh ketidak-efisienan pakan dan pemberian pakan,
ekskresi udang, serta sisa pengobatan. Agar terjadi efisiensi pakan yang tinggi,
maka pakan udang yang diberikan harus berpeluang tinggi untuk dimakan.
Kondisi ini tercapai apabila kondisi lingkungan optimal bagi udang.
Karena keeratan hubungan tersebut, maka perlu diusahakan cara budidaya
udang dengan memperhatikan kondisi fisiologis udang, lingkungan tempat hidupnya,
serta pakan yang tidak mencemari lingkungan.
Kajian
ini dimaksudkan untuk mencari alternatif sistem budidaya udang windu yang dapat
memberikan produksi tinggi dengan tingkat pencemaran lingkungan yang minimal.
Ruang
lingkup kajian meliputi pengenalan biota udang dan manajemen budidaya udang,
serta teknologi alternatif yang dapat diterapkan dalam pengembangan budidaya
udang guna memperoleh produksi maksimal dengan meminimumkan waste product ke
dalam lingkungan sekitarnya (berwawasan lingkungan).
Manfaat kajian ini antara lain adalah diperolehnya suatu alternatif sistem
budidaya udang yang menghasilkan produktifvitas tinggi dengan limbah buangan
seminimal mungkin. Hal ini dapat
dicapai bila ada keseimbangan antara komponen-komponen ekosistem tambak sehingga
menghasilkan kondisi lingkungan yang optimal bagi kehidupan udang sehingga
pemanfaatan pakan oleh udang menjadi efisien.
Sepuluh
tahun kemudian, pada tahun 1990 tanda-tanda pengaruh memburuknya lingkungan
mulai terlihat, pertumbuhan udang
mulai lambat dan seringkali terserang penyakit.
Budidaya udang intensif mulai menghadapi masalah setelah terjadi wabah
virus MBV yang mematikan udang dan munculnya senyawa metabolik toksik (amonia,
nitrit, dan H2S). Serangan
MBV ini terparah terjadi di pantai utara P. Jawa, dan pada saat itu hampir
seluruh kegiatan budidaya udang intensif dihentikan.
Selama
ini air buangan tambak intensif dengan kandungan bahan organik yang sangat
tinggi dibuang ke lingkungan melalui saluran tambak, dengan harapan dapat
terbawa arus ke laut lepas. Kenyataannya
air buangan ini terdorong oleh arus dan pasang air laut dan masuk kembali ke
saluran-saluran tambak. Hal ini
akan menyebabkan penumpukan bahan organik di wilayah pertambakan.
Pencemaran bahan organik di tambak merangsang timbulnya penyakit udang.
Kondisi ini telah terjadi pada tambak intensif dengan desain konvensional
(Gambar 1).
Sebagai gambaran, perbedaan karakteristik (baik input, proses maupun
output) yang umum dari sistem budidaya udang seacara ekstensif, semi-intensif,
intensif maupun ultra-intensif dirangkum pada Tabel 1 (Fast, 1992). Kategori yang terakhir (yaitu sistem ultra-intensif)
merupakan bentuk evolusi dari sistem yang telah ada sebelumnya dan jarang
diaplikasikan untuk kepentingan komersial, meskipun awalnya dikembangkan oleh
petani dan perusahaan swasta. Sistem
tersebut lebih merupakan ‘science’ dan ‘art’ dari aktifitas budidaya.
Perbedaan kategori dari ke empat sistem budidaya tersebut terutama
terkait dengan kompleksitas, resiko, manajemen, dan hasil panen.
Tabel 1. Karakteristik Sistem Budidaya Udang (dimodifikasi dari Fast, 1992)
Karakteristik |
Tipe
Produksi |
|||
Ekstensif |
Semi-Intensif |
Intensif |
Ultra-Intensif |
|
Produksi (MT/ha/th.) |
<0.1
– 0.3 |
0.5
– 2.5 |
5
– 15 |
30
- 150 |
Tk. Tebar (#/m2/tanam) |
0.1
– 1.0 |
3
– 10 |
15
- 40 |
>100 |
Sumber Benih |
Alam |
Alam
& Hatchery (?
Nursery) |
Hatchery (Nursery) |
Hatchery (Nursery) |
Daya Dukung (gr/m2) |
<25 |
25
– 150 |
250
– 1000 |
1500
- 4500 |
Pakan |
Alami (Tanpa
tambahan) |
Alami
+ Tambahan (Tidak
lengkap) |
Pakan
Buatan (Lengkap/hampir lengkap) |
Pakan
Buatan (Lengkap |
Konversi
Pkn. (kg pkn/kg ud.) |
0 |
<1.0
– 1.5 |
1.5
– 2.0 |
>2.0 |
Tk. Ganti air (%/hari) |
<5 |
<5
– 20 |
10
– 20 |
>100 |
Pompa |
Pasut
& pompa |
Pompa |
Pompa |
Pompa |
Aerasi & aerator |
Ganti
air secara
alami |
Ganti
air |
Aerator
dan Injeksi
O2 |
Aerator
dan Ganti
air |
Ukur. Kolam (ha) |
>5 |
1
– 2 |
0.25
– 2 |
<0.25 |
Bentuk Kolam |
Tidak
teratur |
Lebih
teratur |
Seragam
(Bj. Skr. atau segi empat) |
Seragam
(Tangki/beton) |
Survival Rate (%) |
<60 |
60
– 80 |
80
– 90 |
80
- 90 |
Tanam/tahun |
1
– 2 |
2
– 3 |
2.5
– 3 |
>3 |
Masalah Penyakit |
Minimal |
Biasanya
tidak jadi masalah |
Dapat
serius |
Sangat
serius |
Poten. untung (per kg ud.) |
Moderat |
Tinggi |
Rendah |
Sangat
rendah |
Poten. untung (ha) |
Sangat
rendah |
Moderat |
Tinggi |
Sangat
tinggi |
Pola
hidup yang merupakan sifat dasar dari udang adalah bersifat bentik dan nokturnal.
Sifat bentik dimulai sejak udang bermetamorfosis menjadi PL (Bailey-Brock
dan Moss, 1992). Sifat demikian
akan menjadi faktor pembatas manakala di dasar tambak terdapat cemaran timbunan
bahan organik (terutama yang berasal dari sisa pakan maupun feses) ataupun pada
saat kekurangan oksigen. Oleh
karena itu, sifat bentik dapat menjadi dasar pertimbangan manajemen lingkungan
tambak. Sifat nokturnal, yaitu
aktif pada malam hari, dapat digunakan sebagai dasar untuk manajemen pakan yang
berarti bahwa prosentase pakan yang lebih banyak harus diberikan pada malam hari;
atau implikasinya adalah dengan memperdalam kolom air (yaitu >1m) (Primavera,
1994).
a.
Induk
Udang windu tersebar secara luas di perairan Indonesia, dan kelimpahannya
di setiap daerah dipengaruhi oleh musim. Luasnya
penyebaran dan tidak terjadinya aliran gen (‘gene flow’) antar lokasi
menghasilkan keragaman genetik yang berbeda (Primavera, 1994).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa induk udang yang berasal dari perairan
Aceh mempunyai keragaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah lain.
Meskipun udang dewasa yang tertangkap dapat dijadikan sebagai induk,
namun induk yang diperoleh dari hasil budidaya sudah mempunyai gen adaptif
terhadap lingkungan (Gjedrem, 1983). Waktu
pencapaian matang telur untuk induk alam adalah 4-6 minggu sedangkan untuk induk
hasil budidaya selama 8-12 minggu, meskipun sudah dengan perlakuan ablasi
(Primavera, 1994). Produksi nauplii
mencapai kurang lebih 250.000 ekor/induk.
Keragaan genetika dan jumlah induk (‘effective breeding number’)
menentukan mutu benur dan keberhasilan budidaya karena terkait dengan
tercerminnya gen lokal (‘gene coadaptive complex’) (Lester dan Pante, 1992).
Karena itu, dalam pemilihan induk perlu diperhatikan tiga hal pokok guna
mendapatkan benih bermutu, yaitu: 1) keragaan genetik yang tinggi, 2) tipe
ekosistem dari asal induk dengan daerah budidaya, dan 3) jumlah induk yang
digunakan, terutama bila induk berasal dari hasil budidaya.
b.
Penyakit
Berbagai
penyakit oleh bakteri dan virus merupakan penyebab utama kematian udang yang
dibudidayakan. Jenis bakteri penyebab penyakit udang di tambak adalah Vibrio
alginolyticus, sedangkan penyakit Infectious Hematopoeitic Hypodermal
necrosis (IHHN), Hepatopancreatic Parvo like Virus (HPV), Baculovirus
Midgut Gland Necrosis Virus (BMNV), Monodon Baculovirus (MBV), Type C
Baculovirus (TCBV), Yellow Head Baculovirus (YHBV), serta Systemic
Ectodermal dan Mesodermal Baculovirus (SEMBV) disebabkan oleh
virus. Untuk penyakit yang
disebabkan virus belum ada obatnya sampai sekarang dan kerugiannya secara
ekonomi sangat besar. Kerugian
karena penyakit diperkirakan mencapai lebih dari 300 juta US$ per tahun (Wahyono,
1999 dalam Rukyani, 2000).
Lingkungan yang
dibutuhkan untuk mendukung pertumbuhan udang adalah yang mampu menyediakan
kondisi fisika, kimia, dan biologi yang optimal.
Kondisi lingkungan fisik yang dimaksud antara lain suhu dan salinitas.
Kondisi lingkungan kimia antara lain meliputi pH, oksigen terlarut (DO),
nitrat, ortofosfat, serta keberadaan plankton
sebagai pakan alami. Selain
itu perlu diperhatikan timbulnya kondisi lingkungan yang dapat menghambat
pertumbuhan udang, bahkan dapat mematikan udang, misalnya munculnya gas-gas
beracun serta mikroorganisme patogen.
Suhu
merupakan salah satu faktor pengendali kecepatan reaksi biokimia karena dapat
menentukan laju metabolisme melalui perubahan aktivitas molekul yang terkait
(Fry dalam Brett, 1979; Johnson et al., 1974 dalam Hoar,
1984). Pada banyak kasus,
keberhasilan budidaya udang terjadi pada kisaran suhu perairan 20-30˚C (Liao
dan Murai, 1986).
Teknik
yang diterapkan oleh petani Taiwan untuk merangsang molting dan meningkatkan
pertumbuhan udang adalah dengan merubah salinitas secara rutin antara 15-20‰ (Chien
et al., 1989 dalam Chien, 1992).
Secara umum, udang windu tumbuh baik pada salinitas 10-25‰ (Anonimus,
1978) dan 15-35‰ (Chen, 1976). Boyd
(1990) menegaskan bahwa salinitas yang ideal untuk pembesaran udang windu berada
pada kisaran 15-25‰.
Pengaruh
pH yang berbahaya bagi udang umumnya melalui mekanisme peningkatan daya racun
atau konsentrasi zat racun, misalnya peningkatan ammonia anionik (NH3)
pada pH di atas 7 (Colt dan Armstrong, 1981 dalam Chien, 1992).
Pada perairan dengan pH rendah akan terjadi peningkatan fraksi sulfida
anionik (H2S) dan daya racun nitrit, serta gangguan fisiologis udang
sehingga udang stress, pelunakan kulit (karapas), juga penurunan derajat
kelangsungan hidup dan laju pertumbuhan (Chien, 1992).
Dalam jangka waktu lama, kondisi pH rendah akan mengakibatkan hilangnya
natrium tubuh (plasma) ke dalam perairan (Heath, 1987).
Untuk kondisi pH perairan tambak selama pemeliharaan harus dipertahankan
pada kisaran 7,5-8,5 (Law, 1988 dan Chien, 1992) serta pH minimum pada akhir
pemeliharaan sebesar 7,3 (Chen dan Wang, 1992).
Kandungan
DO dalam perairan tambak sangat berpengaruh terhadap fisiologi udang.
Dalam perairan berkadar oksigen 1,0 mg/l udang akan berhenti makan, tidak
menunjukkan perbedaan laju konsumsi pakan pada konsentrasi 1,5 mg/l, tidak
tumbuh pada 1,0-1,4 mg/l, memiliki pertumbuhan terbatas di bawah 5 mg/l dan
normal pada konsentrasi di atas 5 mg/l. Dengan
demikian DO harus dipertahankan di atas 2,0 mg/l (Yang, 1990 dan Law, 1988).
Nitrat
dan ortofosfat merupakan nutrien yang diperlukan dalam pertumbuhan fitoplankton.
Kedua jenis nutrien tersebut dapat langsung dimanfaatkan oleh
fitoplankton (Goldman dan Horne, 1983).
Secara
umum , fitoplankton yang biasa dijumpai di tambak adalah dari kelompok
Bacillariophyceae (diatom), Chlorophyceae, Cyanophyceae, Euglenophyceae, dan
Dinophyceae; dua kelompok pertama merupakan fitoplankton yang diharapkan
kehadirannya atau sangat bermanfaat bagi pertumbuhan udang (Poernomo, 1988).
Komposisi dan kelimpahan plankton dapat menjadi indikator bagi kesehatan
lingkungan perairan. Keberadaan fitoplankton berkait erat dengan nutrien yang
tersedia, terutama N, P, dan K, serta Si untuk kelompok diatom.
Rasio N:P yang tepat akan memunculkan
pertumbuhan fitoplankton yang tepat pula, sehingga akan terjadi
stabilitas ekosistem tambak melalui berbagai mekanisme (Chien, 1992).
Apabila rasio nutrien tersebut tidak tepat, maka muncul fitoplankton dari
kelompok yang tidak diharapkan sehingga dapat mengganggu stabilitas lingkungan,
bahkan mematikan udang (Poernomo, 1988).
2.1.4.
Pakan dan Kemungkinan Dampak yang Ditimbulkan
a.
Pakan
Pada prinsipnya komponen pakan dapat dikelompokkan kedalam tiga kelompok
besar, yaitu: 1) komponen makro, 2) komponen mikro, dan 3) komponen suplemen
atau ‘food additives’. Protein,
karbohidrat, dan lemak termasuk dalam komponen makro; sedangkan yang termasuk
dalam komponen mikro adalah vitamin, mineral dan zat pengikat (‘binder’).
Berbagai senyawa yang seiring dimasukkan ke dalam komponen food additives
meliputi senyawa antioksidan, antibiotik, atraktan, pewarna, enzim dan vitamin
atau mineral tunggal yang dengan sengaja ditambahkan ke dalam pakan untuk
tujuan-tujuan tertentu.
Infrormasi
dan pembahasan yang disampaikan dalam makalah ini akan ditekankan pada komponen
makro, yang juga merupakan bagian terbesar dari pakan.
a.1.
Protein
Nama protein berasal dari bahasa Yunani (Greek), yaitu yang berkonotasi
dengan ‘primary holding first place’ dan berarti menduduki tempat yang
paling utama. Protein terdiri dari
satuan dasarnya yang disebut asam amino (Clara dan Suhardjo, 1988).
Asam amino terdiri dari tiga golongan yaitu: 1) asam amino esensial,
seperti isoleusin, leusin, lisin, metionin, fenilalanin, treonin, triptofan,
valin; 2) asam amino semi-esensial, seperti arginin, histidin, tirosin, sistein,
glisin dan serin; 3) asam amino non-esensial, seperti glutamat, hidroksiglutamat,
aspartat, alanin, prolin, hidroksiprolin, sitrulin dan hidroksiglisin.
Protein mempunyai beberapa fungsi pokok seperti: 1) untuk pertumbuhan dan
memelihara jaringan tubuh, 2) sebagai pengatur tubuh dan 3) sebagai bahan bakar
di dalam tubuh.
a.2.
Karbohidrat
Karbohidat merupakan nama kelompok senyawa organik yang mempunyai
struktur molekul berbeda-beda meskipun masih terdapat persamaan dari sudut
fungsinya (Sediaoetomo, 1991). Karbohidrat
dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu: 1) monosakarida, 2) disakarida,
dan 3) polisakarida. Monosakarida
merupakan gula sederhana, seperti glukosa, fruktosa dan galaktosa.
Disakarida terdapat dalam laktosa, maltosa dan sukrosa.
Contoh penting dari polisakarida adalah dekstrin, pati, selulosa dan
glikogen. Fungsi utama dari
karbohidrat adalah sebagai sumber energi, menghemat penggunaan protein dan lemak.
Jika karbohidrat berlebih maka akan disimpan dalam bentuk glikogen.
Terdapat masing-masing 4 enzim kunci yang terlibat baik pada degradasi
glikogen menjadi glukosa bebas (glikogenolisis) maupun pada glukoneogenesis.
Enzim kunci pada glikogenolisis adalah: (a) phosphorilase, (b)
‘debranching enzyme’, 1,6 glucosidase, (c) phosphoglucomutase, dan (d)
glucose-6-phosphatase; sedangkan pada glukoneogeneis melibatkan enzim-enzim: (a)
pyruvate carboxylase, (b) PEP-carboxykinase, (c) fructose diphosphatase, dan (d)
glucose-6-phosphatase (Campbell dan Smith, 1982).
a.3.
Lemak
Lipid adalah suatu kelompok senyawa heterogen yang berhubungan dengan
asam lemak, baik secara aktual maupun potensial.
Lipid diklasifikasikan menjadi tiga bagian yaitu: 1) lipid sederhana yang
terdiri dari lemak ester asam lemak dengan gliserol, dan lilin ester asam lemak
dengan alkohol monohidrat yang lebih tinggi dari pada gliserol; 2) lipid
campuran yang terdiri dari fosfolipid dan serebroside; dan 3) derifed lipid yang
meliputi asam lemak (jenuh dan tidak jenuh), gliserol, steroid, alkohol.
Fungsi lipid adalah: 1) menghasilkan energi yang dibutuhkan tubuh; 2)
pembentuk struktur tubuh; dan 3) pengatur proses yang berlangsung dalam tubuh
secara langsung maupun tidak langsung. Hati
merupakan tempat utama dari metabolisme lemak dan sangat bertanggung-jawab
terhadap pengaturan kadar lemak dalam tubuh.
Beberapa fungsi hati yang terkait dengan metabolisme lemak yaitu: 1)
oksidasi asam lemak, 2) sintesis trigliserida dari karbohidrat, 3) degradasi
trigliserida, dan 4) sintesis kolesterol dan fosfolipid dari trigliserida.
b.
Kemungkinan Dampak yang Ditimbulkan
Udang mempunyai kemampuan yang jauh lebih rendah dalam memanfaatkan
glukosa (Deshimaru dan Shigeno, 1972; Shiau, 1998) bila dibandingkan dengan ikan
(Brauge, et al., 1994; Banos et al., 1998).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan maksimum untuk udang
dapat dicapai pada pemberian pakan mengandung karbohidrat 1% dengan kandungan
protein tinggi, yaitu hingga 50% (Campbell, 1991 dalam Rosas et al.,
2000).
Keterbatasan penggunaan karbohidrat pakan oleh udang merupakan
konsekuensi dari adaptasi metabolik untuk menggunakan protein sebagai sumber
energi utama. Hal ini dikarenakan
protein merupakan substrat cadangan yang lebih besar pada udang yang dapat
dikonversi menjadi glukosa melalui lintasan glukoneogenik (Campbell dan Smith,
1982; Campbell, 1991 dalam Rosas et al., 2000).
Pada ikan rainbow trout diketahui bahwa peningkatan karbohidrat tercerna
dapat meningkatkan akumulasinya dalam hati, meskipun pada konsentrasi melebihi
8% dari bobot pakan menyebabkan pertumbuhan menurun (Alsted, 1991).
Dengan jenis ikan yang sama, Brauge et al. (1994) mendapatkan
nilai kebutuhan karbohidrat hingga 25%. Sedangkan
Banos et al. (1998) mendapatkan bahwa rainbow trout mampu memanfaatkan
karhohidrat yang sangat mudah dicerna hingga konsentrasi 37% dengan pertumbuhan
yang masih baik.
Secara
umum dapat dikatakan bahwa untuk mendukung pertumbuhan maksimum dan pemenuhan
kebutuhan energinya, udang membutuhkan protein pakan pada konsentrasi yang
tinggi (Deshimaru dan Shigeno, 1972). Berbagai
pendapat telah diberikan untuk menjelaskan fenomena ini (Pascual et al.,
1983; Alava dan Pascual, 1987; Shiau dan Peng, 1992; Shiau, 1998; Campbell, 1991
dalam Rosas et al., 2000). Menurut
Dall dan Smith (1986) hal ini terkait dengan kapasitas udang yang terbatas dalam
menyimpan senyawa-senyawa cadangan seperti lipid dan karbohidrat.
Sebagai akibat yang kemungkinan besar dapat ditimbulkannya adalah ekskresi bahan organik bernitrogen (baik yang berasal dari feses maupun metabolit) maupun pakan yang tidak termakan dalam jumlah yang besar. Sebagai gambaran dapat dijelaskan dengan menggunakan pendekatan nilai ‘food conversion ratio’ (FCR). FCR merupakan nilai perbandingan yang menggambarkan berapa bobot pakan yang diberikan dan masuk ke dalam tambak guna mencapai satuan bobot udang saat panen. Jadi, bilamana diasumsikan bahwa nilai FCR adalah 1.5-2.0 (Tabel 1, untuk tambak intensif) maka berarti bahwa untuk mencapai 1 kg bobot (basah) udang diperlukan pakan (kering) sebanyak 1.5-2.0 kg. Dengan demikian terdapat buangan yang setara dengan bobot pakan (kering) sebesar 0.5-1.0 kg yang tertinggal di lingkungan untuk setiap 1 kg udang yang dihasilkan. Nilai ini akan meningkat hingga 6 kali lipat atau lebih bilamana perhitungan didasarkan pada konversi bobot pakan basah ke bobot udang basah, yaitu sekitar 3.0-6.0 kg atau lebih yang berupa limbah buangan. Bila rata-rata produksi udang sebesar 10 ton/ha/tahun (Tabel 1), maka potensi limbah buangan dari tambak tersebut adalah sebesar 30-60 ton/ha/tahun. Suatu nilai yang sangat fantastik!!.
Pakan secara langsung menentukan pertumbuhan. Dalam ekosistem tambak,
tidak semua pakan yang diberikan dapat dimakan oleh udang.
Sebagian sisa pakan akan tersuspensi di dalam air dan sebagian besar
lainnya akan mengendap di dasar tambak. Penguraian
bahan organik sisa pakan tersebut akan memerlukan oksigen.
Dengan demikian penambahan bahan organik secara langsung akan
meningkatkan penggunaan oksigen di lingkungan tambak.
Kondisi ini akan terus berjalan sampai titik kritis yang menyebabkan
terjadinya deplisit oksigen. Selanjutnya,
penguraian bahan organik tersebut akan berjalan dalam kondisi anaerobik yang
akan menghasilkan amonia (NH3) dan hidrogen sulfida (H2S).
Ke dua gas tersebut bersifat toksik dan dapat menghambat pertumbuhan
udang sampai dengan mematikan.
Kondisi lingkungan tambak yang mengandung banyak sisa bahan organik dapat menyebabkan dua hal, yaitu udang mengalami tekanan fisiologis diluar toleransinya serta menurunnya daya tahan udang terhadap penyakit. Salah satu penyakit udang yang diyakini disebabkan oleh jenis virus sama adalah ‘white spot disease’. Namun karena diteliti oleh berbagai kelompok peneliti dari berbagai negara, maka mereka menamakannya dengan istilah masing masing, yaitu ‘white spot disease’, WSD, SEMBV, WSSV, WSBV, HHNBV, RV-PJ, PmNOBII, PmNOBIII.
Berbagai
masalah yang telah diuraikan tersebut di atas dapat diperbaiki dengan tiga cara,
yaitu melalui: (1) manajemen biota, (2) manajemen lingkungan, serta (3)
manajemen pakan yang baik. Dari
beberapa alternatif, budidaya dengan resirkulasi merupakan suatu alternatif yang
mempunyai prospek cerah untuk dikembangkan guna menanggulangi permasalahan dalam
budidaya udang.
Secara umum, Chen (2000) berpendapat bahwa kesuksesan suatu budidaya perairan (akuakultur)
tergantung pada: 1) Pengendalian siklus reproduksi suatu organisme budidaya
secara lengkap; diketahuinya latar belakang genetika induk dengan baik; dan
penentuan (diagnose) penyakit serta pencegahan terjadinya penyakit yang
dilakukan secara cermat; 2) Penyediaan air yang cukup dengan kualitas baik; dan
pemahaman yang benar berdasarkan fisiologi lingkungan serta kondisi nutrisi; dan
3) Aplikasi teknik manajemen inovatif.
Agar benur dapat beradaptasi dengan lingkungan tambak, maka dilakukan
aklimatisasi. Proses ini akan
dilakukan terutama untuk parameter suhu dan salinitas air.
Dengan proses ini diharapkan dapat meningkatkan kenyamanan hidup udang
yang selanjutnya meningkatkan nafsu makan serta secara langsung akan
meningkatkan derajad kelangsungan hidup (SR).
Untuk memperoleh pertumbuhan yang baik (yaitu metamorfosis yang cepat dan
serentak) diperlukan kondisi media optimal.
Faktor fisika dan kimia air yang perlu diperhatikan adalah suhu,
salinitas, pH, dan lain-lainnya. Sebagai
contoh, suhu yang stabil (29±1)˚C akan menyediakan kondisi optimum untuk
aktivitas metabolisme tubuh. Salinitas
yang mendekati titik isosmotik cairan tubuhnya dapat menghemat energi yang
seharusnya untuk memelihara tingkat kerja osmotik, dapat digunakan untuk energi
tumbuh. Selain itu diperlukan pakan
(alami dan buatan) dengan kandungan nutrisi yang lengkap dan sesuai pada
masing-masing fase. Dengan kondisi
demikian, metamorfosis yang cepat dan serentak dapat dicapai, sehingga
pertumbuhan pada fase berikutnya (PL, juvenil dan dewasa) di tambak tidak
terganggu.
Manajemen terhadap faktor luar (fisika, kimia air dan nutrisi ) sifatnya temporal dalam satu musim pemeliharaan, maka memperbaiki keragaan biota harus ditempuh dari dalam dan permanen (perbaikan mutu genetik). Perbaikan mutu genetik (seleksi) dapat diarahkan kepada trait-trait tertentu sesuai yang diinginkan, misalnya trait pertumbuhan, trait metamorfosis, dan sebagainya. Pembentukan strain demikian dapat dilakukan dengan metoda konvensional (seleksi) atau menggunakan teknologi terkini yaitu penambahan/penyisipan gen tertentu (transgenik). Dengan pembentukan strain demikian sistem budidaya udang akan dipermudah dan produksi dapat tetap dimaksimalkan. Manajemen biota secara demikian diharapkan mampu mendukung pertumbuhan udang dengan laju pertumbuhan yang cepat dengan sintasan yang tinggi.
Dalam kegiatan budidaya udang windu, penyakit merupakan salah satu kendala atau masalah yang dihadapi. Pengendalian penyakit harus dilakukan sejak dini, dan dimulai dari awal budidaya, baik pada pembenihan maupun pembesaran udang windu. Hal yang harus diperhatikan dalam tindakan itu adalah keamanan, efisiensi dan ekonomi bagi penggunaan agent atau substansi yang dipakai.
Keamanan,
efisiensi dan ekonomi merupakan suatu pertimbangan yang utama.
Bahan-bahan kimia yang dipakai dalam jangka panjang dapat menimbulkan
dampak yang merugikan bagi lingkungan, kesehatan konsumen dan resistensi patogen.
Atas dasar ini, perlu dicari alternatif jenis tindakan yang aman untuk
diaplikasikan.
Karena
itu, dalam kegiatan budidaya berwawasan lingkungan maka bioremediasi, vaksin dan
imunostimulan merupakan alternatif terhadap upaya yang memenuhi tiga tinjauan
seperti di atas (aman, efisien dan ekonomis).
Raa et al. (1998) menyebutkan bahwa imunostimulan dapat diterapkan
dalam kegiatan budidaya. Hal yang
sama juga diungkapkan oleh sejumlah peneliti diantaranya Anderson (1992).
Untuk
menghadapi penyakit yang disebabkan oleh bakteri, berbagai macam kemoterapeutika
sering kali diberikan sejak telur sampai udang siap dipanen. Akhirnya bahan
tersebut tidak memberikan hasil yang memuaskan untuk mengobati karena
berkembangnya bakteri patogen yang resisten, yang mencapai lebih dari 50% (Angka
1997). Munculnya bakteri patogen pada udang yang resisten terhadap berbagai
jenis antibiotika ini merupakan masalah lain bagi lingkungan perairan.
Sifat resistensi bakteri patogen terhadap berbagai antibiotika ini dapat
dipindahkan ke bakteri patogen pada manusia melalui perairan. Akibatnya, bila
bakteri patogen ini menyebabkan orang sakit, maka pengobatan dengan antibiotika
tidak mempan.
Pada sistem budidaya udang dengan cara konvensional, air buangan tanpa pengolahan yang dikeluarkan dari tempat budidaya ke lingkungan merupakan polutan yang dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan perairan.
Sistem resirkulasi tertutup yang bertujuan agar metabolit dan bahan
toksik tidak mencemari lingkungan dapat dilakukan dengan menggunakan sistem
filter (Chen, 2000) sebagai berikut:
Sistem
filter biologi dapat dilakukan dengan menggunakan bakteri nitrifikasi,
alga, atau tanaman air untuk memanfaatkan amonia atau senyawa organik
lainnya.
Sistem
penyaringan non-biologi, dapat dilakukan dengan cara fisika dan kimia
terhadap polutan yang sama.
Pemanfaatan
mangrove untuk menurunkan kadar limbah budidaya udang, merupakan suatu cara
bioremediasi dalam budidaya udang sistem tertutup (Ahmad dan Mangampa,
2000)
Penggunaan
bakteri biokontrol atau probiotik untuk mengurangi penggunaan antibiotik
sehingga pencemaran di perairan dapat dikurangi (Tjahjadi et al.,
1994)
Dengan
cara transgenik, yaitu menggunakan gene cecropin b
yang diisolasi dari ulat sutera Bombyx mori. Udang transgenik yang
mengandung rekombinan cecropin akan mempunyai aktivitas litik tinggi
terhadap bakteri patogen pada udang (Chen, 2000).
Tambak
udang sistem tertutup (resirkulasi) bertujuan untuk mengurangi kontaminasi
dengan lingkungan sekitarnya. Air
baru yang berasal dari laut ditampung di tandon utama, diberi perlakuan kaporit
30 ppm untuk memberantas seluruh hama penular sekaligus dengan partikel virus (virion)
bebas di dalam air (Kokarkin dan Kontara, 2000).
Kajian berikutnya dosis khlorin dapat diturunkan antara 5-20 ppm. Kemudian air disalurkan ke petak tambak.
Air buangan sisa budidaya disalurkan ke petak tandon sekunder, kemudian
ditampung di petak tandon utama. Dengan
sistem ini selama budidaya penambahan air dari luar seminal mungkin, dan hanya
diperlukan untuk mengganti air yang menguap dan yang merembes ke tanah, serta
mempertahankan salinitas air tetap layak.
Teknik terakhir yang dikembangkan oleh Balai Budidaya Air Payau Jepara dalam mengatasi serangan hama dan penyakit dari air masuk adalah dengan mengggunakan multi spesies ikan liar yang dipelihara di tandon. Jenis ikan yang digunakan adalah keting (Ketangus sp), bandeng (Chanos chanos), kakap putih (Lates calcalifer), petek (Leiognatus insidiator), dan wering (Kurtus indicius) untuk memakan udang liar yang berpotensi sebagai pembawa agen penyakit sehingga tidak menularkannya pada udang yang sehat di dalam wadah pemeliharaan (Gambar 3).
Untuk
mendapatkan kondisi optimum dalam budidya udang perlu diperhatikan hal-hal
berikut. Sebuah tambak harus memiliki kandungan oksigen minimal 3,5
mg/l untuk tambak tradisional dan minimal 4 mg/l untuk tambak intensif dan semi-intensif.
Untuk mendapatkan kondisi optimum bagi kelangsungan budidaya udang maka
perlu dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:
Sebuah tambak semi-intensif dan intensif harus melakukan pemasangan
kincir air (paddle wheel) sesuai dengan target produksi: satu kincir
untuk target 300 kg udang.
Pemupukan air harus dilakukan sejak bulan pertama ditentukan berdasarkan
rasio N dan P di perairan hingga mendekati 16:1 agar fitoplankton kelompok
Bacillariophyceae atau Chlorophyceae dapat tumbuh dengan stabil.
Pada tingkat kehidupan udang yang tinggi atau kepadatan udang lebih dari
15 ekor/m2 pada bulan ketiga,
pemberian pakan harus diperkaya dengan vitamin C dan E, serta kalsium,
masing-masing 500 mg, 300 SI, dan 10 g/kg pakan, dua hari sekali, pada jam pakan
tertinggi. Pengkayaan pakan ini
diperlukan sekali karena suplai dari alam sudah sangat terbatas (Kokarkin dan
Kontara, 2000).
Pergantian air harus dilakukan dengan rutin sebesar 10-20% per hari,
sejak bulan kedua (Fast, 1992); namun tetap dengan air yang telah diendapkan
selama empat hari dalam petak ikan atau diendapkan satu hari setelah disaring
halus dan diberi kaporit sebanyak 5 ppm. Pergantian
air diperlukan untuk memasok unsur-unsur mikro bagi pertumbuhan fitoplankton dan
untuk membuang sisa metabolik yang larut di dalam air (Kokarkin dan Kontara,
2000).
Penggunaan
karbohidrat dalam pakan adalah penting dikarenakan beberapa hal: (a) sebagai
sumber energi yang jauh lebih murah bila dibandingkan dengan protein, maka
karbohidrat dapat menekan ongkos produksi dan yang pada akhirnya dapat
menurunkan total harga pakan (Cruz-Suarez et al., 1994), (b) pada tingkat
tertentu, karbohidrat mampu men-substitusi energi yang berasal dari protein
pakan (‘sparing’ protein pakan) dan karena itu efisiensi pemanfaatan protein
pakan untuk pertumbuhan dapat ditingkatkan (Rosas et al., 2000), (c)
sebagai binder, karbohidrat (terutama yang berasal dari bahan pakan tertentu)
mampu meningkatkan kualitas fisik pakan dan menurunkan prosentase ‘debu pakan’
(Hastings dan Higgs, 1980), (d) sebagai komponen tanpa nitrogen, maka penggunaan
karbohidrat dalam jumlah tertentu dalam pakan dapat menurunkan sejumlah limbah
ber-nitrogen sehingga meminimalkan dampak negatif dari pakan terhadap lingkungan
(Kaushik dan Cowey, 1991), yang juga merupakan media hidup dari udang itu
sendiri.
Jenis dan tingkat karbohidrat pakan mempengaruhi laju pertumbuhan udang.
Misalnya, kelangsungan hidup juvenil udang windu dipengaruhi oleh tingkat
karbohidrat; sedangkan sukrosa dan glukosa adalah lebih baik daripada trehalosa
dalam meningkatkan pertumbuhannya (Pascual et al., 1983; Alava dan
Pascual, 1987). Dalam penelitiannya,
Rosas et al. (2000) mendapatkan bahwa pakan dengan kandungan karbohidrat
10% belum cukup untuk memenuhi kebutuhan energi-karbohidrat, dan masih perlu
energi dari protein pakan. Selanjutnya
dijelaskan bahwa nilai maksimum dari tingkat glikogen dan aktifitas α-amilase
terjadi pada udang yang diberi pakan mengandung 21% karbohidrat.
Udang mampu mencerna karbohidrat pakan menjadi komponen-komponen yang
lebih sederhana dan dapat diserap melalui dinding usus sebelum masuk ke dalam
aliran darah. Daya cerna atau kemampuan dalam memanfaatkan karbohidrat
bervariasi dan terkait dengan sumber/asal karbohidrat, spesies, proses pembuatan
pakan (pemanasan/penggunaan suhu saat pembuatan pellet), kondisi lingkungan
hidupnya (terutama suhu), dan status kesehatan.
Mekanisme yang
bertanggung-jawab terhadap terbatasnya penggunaan glukosa oleh beberapa spesies
udang penaeid belum diketahui sepenuhnya. Shiau
(1998) menjelaskan bahwa hal tersebut dimungkinkan dengan adanya efek fisiologis
yang negatif yang disebabkan oleh kejenuhan glukosa, dan hal ini dikarenakan
laju absorpsi yang lebih tinggi menyeberangi saluran pencernaan.
Dari penjelasan tersebut, Rosas et al. (2000) menyarankan
penggunaan karbohidrat yang lebih kompleks dalam pakan udang, seperti starch,
yang mengalami hidrolisis enzimatik sebelum assimilasi.
Diketahui, adanya glukosa dari strach pada situs absorpsi usus dengan
laju yang lebih rendah daripada glukosa bebas (Pascual et al., 1983;
Alava dan Pascual, 1987; Shiau dan Peng, 1992; Shiau 1998).
Namun demikian, penelitian menunjukkan bahwa udang dari spesies tertentu
mampu memanfaatkan karbohidrat pakan pada konsentrasi yang tinggi (Cruz-Suarez et
al., 1994). Hal ini membuktikan
bahwa penggunaan karbohidrat dalam pakan berpotensi untuk dapat terus
ditingkatkan hingga konsentrasi tertinggi-optimum.
3.3.1. Kontrol Sistem Akuakultur
Percobaan
ini dapat diterapkan baik pada ikan maupun udang, yang penting adalah bahwa
spesies terpilih dapat memanen bakteri dan mampu manfaatkan protein mikrobial. Dijelaskan bahwa hubungan antara penambahan karbohidrat,
penurunan NH4-OH dan produksi protein mikrobial tergantung dari
koefisien konversi mikroba, C/N ratio dalam biomas mikroba, dan kandungan karbon
dari materi yang ditambahkan (Avnimeleh, 1999).
Efisiensi konversi mikroba didefinisikan sebagai prosentase dari C-terasimilasi
berkenaan dengan C-pakan yang dimetabolisme; dan nilai tersebut berada pada
kisaran 40-60%.
Pendekatan
ini mempunyai prospek penting untuk aktivitas akuakultur dimasa mendatang.
Avnimelech (1999) mengemukakan beberapa alasan: (a) peraturan lingkungan
melarang pengeluaran air kaya nutrien ke lingkungan, (b) bahaya akan masuknya
patogen ke dalam lingkungan perairan, dan (c) biaya yang tinggi untuk memompa
air dalam jumlah besar. Pendekatan
ini terlihat merupakan suatu cara yang praktis dan tidak mahal untuk menurunkan
akumulasi nitrogen inorganik dalam kolam.
Dengan
menggunakan sistem tersebut maka dapat dikatakan bahwa protein dimakan oleh ikan
dua kali, pertama dalam pakan dan kemudian dipanen lagi sebagai protein mikroba.
Sistem tersebut juga memungkinkan protein untuk dapat digunakan lebih
lanjut. Bilamana protein mikrobial
diperhitungkan ke dalam protein pakan, maka sistem ini benar-benar mampu
menurunkan total protein pakan, misalnya dari 30% hingga menjadi 23%.
Disamping itu, dengan mengikuti prinsip-prinsip tersebut maka
dimungkinkan untuk dilakukan kegiatan budidaya perikanan di padang pasir.
3.3.2. Strategi Pemberian Pakan
Hormon berperan dalam regulasi pertumbuhan dan penggunaan nutrien pada
ikan. Konsekuensinya adalah bahwa
sistem endokrin ikan peka terhadap perubahan-perubahan nutrien yang masuk ke
dalam tubuh. Karbohidrat tercerna
diduga berperan dalam regulasi produksi hormon pituitary dan thyroid, sedangkan
hormon tersebut meregulasi pertumbuhan dan penggunaan energi (MacKenzie, 1998;
Banos et al., 1998). Insulin
dan glukagon, selain meregulasi metabolisme karbohidrat dan lipid, juga
meregulasi pertumbuhan. Ikan yang
diberi pakan berkabohidrat lebih tinggi menunjukkan kandungan insulin, plasma
darah, dan cadangan glikogen jaringan yang lebih tinggi pula.
Dalam papernya, MacKenzie (1998) mengemukakan peran penting dari berbagai
hormon yang terkait dengan regulasi karbohidrat pakan dan yang pada akhirnya
dapat dipergunakan sebagai strategi dalam pemberian pakan. Dijelaskan bahwa puasa meningkatkan sirkulasi dan sekresi
hormon pituitary, yaitu hormon pertumbuhan, yang telah sangat dikenal sebagai
salah satu hormon anabolik. Hormon
pertumbuhan ini menggunakan pengaruh somatotropiknya melalui stimulasi produksi
IGF (insulin-like growth factor) pada jaringan target. Namun, jumlah reseptor hormon pertumbuhan menurun selama
puasa sehingga jaringan tersebut kehilangan sensitifitas (kepekaan)-nya terhadap
stimulasi, dan mengakibatkan penurunan produksi IGF. Hal ini mungkin merupakan alasan utama pertumbuhan yang
menurun, meskipun selama puasa sirkulasi hormon pertumbuhan meningkat (yaitu
dengan menghilangkan feedback negatif dari IGF).
Peningkatan hormon pertumbuhan yang tinggi dan yang tetap terjadi selama
puasa mungkin masih tetap mendukung pertumbuhan tulang dan lipolisis.
Dengan demikian, pengaturan yang tepat antara pemberian pakan
(‘feeding’) dan puasa (‘fasting’) masih tetap memberikan kesempatan pada
ikan untuk tumbuh normal, dan bahkan dapat menurunkan depot lemak tubuh (sehingga
diperoleh daging ikan yang rendah kandungan lemaknya, ‘lean flesh’).
Karena itu, cukup beralasan untuk mengasumsikan bahwa: ‘Konsumsi pakan
meningkatkan produksi hormon anabolik untuk langsung menggunakan nutrien
tercerna. Peningkatan hormon
anabolik tersebut yang terjadi setelah pemberian pakan kemudian secara langsung
mungkin mengaktifkan proses-proses yang mendorong peningkatan pertumbuhan
seperti transport nutrien intestinal atau sintesis protein.
Karena itu, kemungkinan yang ada adalah bahwa periode puasa dapat
dijadwalkan kedalam strategi pengaturan pemberian pakan untuk mengaktifkan
respon-respon endokrin yang mengurangi lipogenesis atau mendorong terjadinya
lipolisis’.
Puasa (‘fasting’) memberikan efek endokrin yang berbeda bila
dibandingkan dengan pembatasan pemberian pakan (‘food restriction’). Farbridge et al. (1992) mendapatkan bahwa level hormon
pertumbuhan menurun pada rainbow trout yang diberi makan terbatas, namun
sebaliknya, sering ditemukan bahwa hormon pertumbuhan meningkat pada ikan yang
dipuasakan. Disimpulkan bahwa
status fisiologis yang diakibatkan oleh pembatasan pemberian pakan secara
substansial berbeda dengan yang terjadi selama puasa penuh. Ditambahkan bahwa puasa yang berkepanjangan justru mendorong
terjadinya proses-proses katabolisme seperti mobilisasi protein untuk
mempertahankan kehidupan ikan. Dengan
demikian, perlu dikaji periode waktu yang tepat antara hari-hari pemberian pakan
(‘feeding periods’) dan puasa (‘fasting time’).
Sistem budidaya udang windu secara tertutup dapat dipakai sebagai alternatif budidaya yang berwawasan lingkungan untuk menghasilkan produksi udang yang tinggi secara lestari. Kinerja sistem budidaya tersebut akan lebih baik bila didukung dengan manajemen biota, manajemen lingkungan dan manajemen pakan.
Ahmad. T. and
Mangampa, M., 2000. The use of
mangrove stands for bioremediation in a closed shrimp culture system. In:
Hardjito, L. (Ed.). International
Symposium on Marine Biotechnology. Center
for Coastal and Marine Resources Studies, IPB, Jakarta, Indonesia, p.: 112-120.
Alava, V.R. and
Pascual, F.P., 1987. Carbohydrate
requirements of P. monodon Fabricius juveniles.
Aquaculture, 61: 211-217.
Alsted, N.S., 1991.
Studies on the reduction of discharges from fish farms by modification of
the diet. In: Cowey, C.B.
and Cho, C.Y. (Eds.). Nutritional Strategies & Aquaculture Waste.
Fish Nutr. Res. Lab., Dept. of Nutr.
Sci., Univ. of Guelph, Guelph,
Ontario, pp.: 77-89.
Anderson, D.P.,
1992. Immunostimulant, adjuvants
and vaccine carriers in fish: Aplications to Aquaculture.
Animal Rev. of Fish Diseases, 21: 281-307.
Angka, S.L., 1997.
Antibiotic sensitivity and pathogenicity of aeromonas and vibrio isolates
in Indonesia. In.: Flegel, T.W. and Mac Rae, I.H. (eds.). Diseases in
Asian Aquaculture III. Fish Health Section. Asian Fisheries Society, Manila.
Anonimus, 1978.
Manual on pond culture of penaeid shrimp.
Asean National Coord. Agency of the Philippines.
Avnimelech, Y.,
1999. Carbon/nitrogen ratio as a
control element in aquaculture systems. Aquaculture,
176: 227-235.
Bailey-Brock, J.H.
and Moss, S.M., 1992. Penaeid
taxonomy, biology and zoogeography. In.:
Fast, A.W. and Lester, L.J. (Eds.).
Marine Shrimp Culture: Principles and Pactices, pp.: 9-28.
Basoeki, D.M., 2000.
Sumbangan subsektor budidaya udang dalam pencapaian target protekan 2003:
Sebuah Studi Kasus di TIR Terpadu PT. Centralpertiwi Bahari.
Sarasehan Akuakultur Nasional, Bogor.
Banos, N., Baro, J.,
Castejon, C., Navarro, I., and Gutierrez, J., 1998. Influence of high-carbohydrate enriched diets on plasma
insulin levels and insulin and IGF-I receptors in trout. Regulatory Peptides, 77: 55-62.
Boyd, C.E., 1990.
Water quality in ponds for aquaculture.
Alabama Agricultural Experimental Station, Auburn University, Alabama,
482 p.
Brauge, C., Medale,
F. and Corraze, G., 1994. Effect of
dietary carbohydrate levels on growth, body composition and glycaemia in rainbow
trout, Oncorhynchus mykiss, reared in seawater. Aquaculture, 123: 109-120.
Brett, J.R., 1979.
Environmental factor and growth. In.:
Hoar, W.S., Randall, D.J. and Brett, J.R. (Eds.).
Fish Physiology. Vol. VIII. Bioenergeticts
and growth. Acad. Press, London,
pp.: 599-675.
Campbell, P.N. and
Smith, A.D., 1982. Biochemistry
illustrated. Churchill Livingstone,
New York, 225 p.
Chen, T.P., 1976.
Aquaculture practices in Taiwan. Page
Bros Ltd., Norwich, 162 p.
Chen, J.-C. dan
Wang, T.-C., 1990. Culture of tiger
shrimp and red-tailed shrimp in a semi-static system.
In: Hirono R. and Hanyu I. (Eds.). The second Asian Fisheries Forum. Asian Fisheries Sosiety, Manila, Philippines,
p.:77-80.
Chen, T.T., 2000.
Aquaculture biotechnology and fish disease. In: Hardjito, L.
(Ed.). International Symposium on
Marine Biotechnology. Center for
Coastal and Marine Resources Studies, IPB, Jakarta, Indonesia, p.: 3-8.
Chien, Y.-H., 1992.
Water quality requirements and manajement for marine shrimp culture.
In: Wyban J. (Ed.). Proceedings
of the special session on shrimp farming. World
Aquaculture Society, Baton Rouge, L.A., U.S.A.,
p.: 144-156.
Clara dan Suhardjo, 1988.
Prinsip-prinsip ilmu gizi. Pusat
Antar Universitas-IPB, LSI, Bogor.
Cruz-Suarez, L.E.,
Ricque, M.D., Pinal-Mansilla, J.D. and Wesche-Ebelling, P., 1994. Effect of different carbohydrate sources on the growth of P.
vannamei. Economical impact.
Aquaculture, 123: 349-360.
Dall, W. and Smith,
D.M., 1986. Oxygen consumption and
ammonia-N excretion in fed and starved tiger prawns Penaeus esculentus
Haswell. Aquaculture, 55:23-33.
Deshimaru, O. and
Shigeno, K., 1972. Introduction to
the artificial diet for prawn, Penaeus indicus. Aquaculture, 1: 115-133.
Farbridge, K.J.,
Flett, P.A., Leatherland, J.F., 1992. Temporal
effect of restricted diet and compensatory increased dietary intake on thyroid
function, plasma growth hormone levels and tissue lipid reserves of rainbow
trout Oncorhynchus mykiss. Aquaculture,
104: 157-174.
Fast, A.W., 1992.
Penaeid growthout systems: An Overview.
In.: Fast, A.W. and Lester, L.J.
(Eds.). Marine Shrimp Culture: Principles and Pactices, pp.: 345-354.
Gjedrem, T., 1983.
Quantitative genetics of fish.
Goldman, C.R. dan
A.J. Horne, 1983. Fish stock
Assessment : A manual of basic methods. Limnology.
McGraw-Hill International Book Company, Tokyo,
464 p.
Hargreaves, J.A.,
1988. Nitrogen biogeochemistry of
aquaculture ponds. Aquaculture,
166: 181-212.
Harris, E., 2000.
Manajemen operasional tambak udang untuk pencapaian target protekan 2003.
Sarasehan Akuakultur Nasional, Bogor.
Hastings, W.H. and
Higgs, D., 1980. Feed milling
processes. In: ADCP. Fish Feed Technology, UNDP, FAO-UN, pp.: 293-314.
Heath, A.G., 1987.
Water pollution and fish physiology.
CRC Press, Inc., Boca Raton, Florida, 245 p.
Hoar, W.S., 1984.
General comparative physiology. Prentice
Hall of India, New Delhi.
Kaushik, S.J. and
Cowey, C.B., 1991. Dietary factors
affecting nitrogen excretion by fish. In:
Cowey, C.B. and Cho, C.Y. (Eds.). Nutritional
Strategies & Aquaculture Waste. Fish
Nutr. Res. Lab., Dept. of Nutr. Sci., Univ. of
Guelph, Guelph, Ontario, pp.: 3-19.
Kokarkin, C. dan
Kontara, E.K., 2000. Pemeliharaan
udang windu yang berwawasan lingkungan. Sarasehan
Akuakultur Nasional, Bogor.
Law, A.T., 1988.
Water quality requiremens for Penaeus monodon culture.
In: Proceeding of the Seminar on Marine Prawn Farming in Malaysia.
Malaysia Fisheries Sosiety, Malaysia, p.: 53-65.
Lester, L.J. and
Pante, M.J.R., 1992. Genetics of
penaeus spesies. In.: Fast,
A.W. and Lester, L.J. (Eds.).
Marine Shrimp Culture: Principles and Pactices, pp.: 29-52.
Liao, I.C. dan Murai,
T., 1986. Effects of dissolved
oxygen, temperatur, and salinity on the oxygen consumption of grass shrimp,
Penaeus monodion. In:
Maclean, J.L., Dizon, L.B. and Hosillos, L.V. (Eds.): The First Asian Forum.
Asian Fisheries Society, Manila, Philipinnes, p.: 641-646.
MacKenzie, D.S.,
VanPutte, C.M. and Leiner, K.A., 1998. Nutrient
regulation of endocrine function in fish. Aquacultre,
161: 3-25.
Pascual, P.F.,
Coloso, R.M. and Tamse, C.T., 1983. Survival
and some histological changes in Penaeus monodon Fabricius juveniles fed
various carbohydrate. Aquaculture,
31: 169-180.
Primavera, J.H.,
1994. Broodstock of sugpo (Penaeus
monodon Fab.). Aquaculture
Extension Manual No. 7. 4th
ed.
Purnomo, A., 1988.
Pembuatan tambak udang di Indonesia.
Deptan, Badan Litbang Pertanian, Balai Penelitian Perikanan Budidaya
Pantai, Maros. 30 hal.
Raa, J., Roestrad,
G., Engstad, R. and Robersen, B., 1992. The
use of immunostimulant to increase resistence of aquatic organism to microbial
infection. In.: Shariff et al., (eds.). Disease in Aquaculture I: fish health section.
Asean Fisheries Society. Manila.
Phillipines, p.: 39-50.
Rosas, C., Cuzon,
G., Gaxiola, G., Arena, L., Lemaire, P., Soyez, C. And VanWormhoudt, A., 2000.
Influence of dietary carbohydrate on the metabolism of juvenile Litopenaeus
stylirostris. J. Exp. Mar.
Biol. and Eco., (249): 181-198.
Rukyani, A., 2000. Masalah penyakit
udang dan harapan solusinya. Sarasehan Akuakultur Nasional, Bogor.
Sediaoetomo, A.D.,
1991. Ilmu gizi.
Dian Rakyat, Jakarta.
Shiau, S.Y., 1998.
Nutrient requirement of penaeid shrimp.
Aquaculture, 164: 77-93
Shiau, S.Y. and Peng,
C.Y., 1992. Utilization of
different carbohydrate at different protein levels in grass prawn Penaeus
monodon, reared in seawater. Aquaculture,
101: 241-250.
Tjahjadi, M.R.,
Angka, S.L. and Suwanto, A., 1994. Isolation
and evaluation of marine bacteria for biocontrol of luminous
bacterial disease in tiger shrimp larvae (Penaeus monodon Fab.).
Asia Pacific Journal of Molecular Biology and Biotechnology, 2(4):
347-352.
Yang, C.H., 1990.
Effect of some environmental factors on the growt of the chinese shrimp, Penaeus
chinensis. In: K.L. Main
and W. Fulk (Eds): The culture of cold-toleran shrimp.
Proceeding of an Asian-US Workshop on Shrimp Culture.
The Oceanic Inteitut, Honolulu, p.:92-101.