© 2001 NIKEN T.M. PRATIWI
Posted: 28 May 2001 [rudyct]
Makalah
Falsafah Sains (PPs 702)
Program
Pasca Sarjana / S3
Institut
Pertanian Bogor
Juni
2001
Dosen:
Prof
Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)
Prof
Dr Ir Zahrial Coto
E-mail: nikentmp@email.com
I. PENDAHULUAN
Penurunan
produksi udang serta upaya pemulihan dan peningkatan produksi telah banyak
diinformasikan. Akan tetapi hal-hal yang
berkait dengan buangan dari aktivitas tambak, terutama bahan organik sisa pakan
masih merupakan permasalahan yang rumit dan sulit terpecahkan karena melibatkan
banyak fihak.
Selama ini
terdapat anggapan bahwa ekosistem tambak merupakan lingkungan alami yang tidak
mampu menyediakan lingkungan hidup yang optimal bagi udang yang
dibudidayakan. Oleh karena itu perlu
dilakukan pengelolaan lingkungan agar tersedia tempat hidup yang baik bagi
terselenggaranya proses-proses kehidupan yang baik.
Dalam suatu kegiatan budidaya terdapat prinsip sederhana,
yaitu berikan yang apa yang dibutuhkan, maka kita akan mendapatkan yang kita
perlukan. Dengan demikian, bila
menginginkan hasil panen udang yang baik, maka harus disediakan segala sesuatu
yang dibutuhkan oleh udang.
Ada enam
kebutuhan yang harus dipersiapkan demi keberhasilan budidaya udang, yaitu:
1. Air
a.
Salinitas; dengan
kisaran 15 –25 %o untuk merangsang molting dan pertumbuhan (Boyd, 1990)
b.
Kedalaman; lebih
kurang satu meter untuk menjaga agar suhu tidak terlalu tinggi pada siang hari,
menjaga kandungan DO tidak terlalu rendah pada malam hari (Garcia dan Garcia,
1985)
c.
Pergantian; untuk
menjaga kualitas air selama pemeliharaan (Garcia dan Garcia, 1985)
d.
suhu; perlu dipertahankan
pada 20-30 C untuk mengendalikan
kecepatan reaksi biokimia sehingga metabolisme dapat berjalan optimal (Liao dan
Murai, 1986)
e.
tidak mengandung
bahan pencemar; yang biasanya ditemui tidaklah secara langsung mengakibatkan
kematian, melainkan akan menghambat pertumbuhan dan mengakibatkan lunaknya
cangkang udang (Garcia dan Garcia, 1985)
2. Oksigen terlarut; harus dipertahankan lebih dari 2,0
mg/l atau lebih dari 5 mg/l jika
memungkinkan
(Law, 1988)
3. Pengendalian predator dan kompetitor; harus menggunakan
bahan dan cara yang aman
4. Pengolahan dasar tambak; harus dicegah terjadinya
tanah asam, H2S, dan deplesi
nutrien (Garcia
dan Garcia, 1985)
5. Pemilihan benih; PL-20 merupakan benur yang layak
tebar
6. Pakan; harus disediakan pakan yang bergizi dalam
jumlah cukup
Seringkali sistem pengelolaan yang semula ditujukan untuk
memenuhi kebutuhan tersebut justru pada akhirnya menimbulkan masalah lain yang
tidak kalah penting penanganannya.
Sebagai misal pengelolaan pakan, yang di antaranya meliputi komposisi,
kuantitas, dan frekuensi pemberian, akan menimbulkan masalah serius jika tidak
dilakukan dengan tepat. Hal ini berkait
erat dengan tingkat efisiensi pemanfaatan pakan oleh udang. Pemberian pakan buatan dengan komposisi
seperti apa pun, melalui sistem pengelolaan yang telah ditetapkan pun akan
tetap meninggalkan sisa. Terlebih lagi
bila pengelolaannya tidak tepat, maka sisa pakan akan meningkat, yang jika ditambah dengan hasil ekskresi akan
menimbulkan penumpukan bahan organik yang dapat menurunkan kualitas air tambak.
Terdapat suatu pengalaman yang sangat menarik tentang
keberhasilan pengelolaan tambak melalui upaya penumbuhan pakan alami
menggunakan substrat buatan bernutrisi.
Persiapan dan penerapan bahan yang tepat memberikan hasil yang
menakjubkan karena dari satu kali pemberian bahan sesuai dengan dosis yang
ditetapkan mampu menyediakan nutrisi bagi pakan alami, dalam arti menumbuhkan
pakan alami, selama lebih dari tujuh tahun.
Selanjutnya melalui metode ini kegiatan operasi tambak dapat dilakukan
empat kali dalam satu tahun. Kelebihan
yang lain adalah bertahnnya kualitas lingkungan dari waktu ke waktu
pemeliharaan udang (Garcia dan Garcia, 1985).
Tulisan ini
dimasksudkan untuk mengulas keberhasilan dan keunggulan penggunaan substrat
buatan (artificial) bernutrisi dalam menyediakan media tumbuh pakan
alami serta dalam mengurangi resiko penurunan kualitas lingkungan di tambak.
Secara umum,
komposisi akan gizi yang dibutuhkan oleh suatu organisme harus disesuaikan
dengan komposisi yang ada dalam tubuh organisme tersebut. Terdapat enam macam gizi pakan yang harus
terpenuhi( Sediaoetomo, 1991; Clara dan Soehardjo, 1988; Garcia dan Garcia,
1985), yaitu:
1.
Karbohidrat
Terdiri dari karbon, hidrogen, dan oksigen, dengan
proporsi karbon dan hidrogen sama dengan yang terdapat dalam air. Berupa gula dan pati yang mudah dicerna dan
selulosa yang sulit dicerna. Pemberian
pupuk yang tidak mencukupi akan memunculkan tumbuhan berselulosa tinggi.
2.
Lemak
Terdiri dari dari karbon, hidrogen, dan oksigen, dengan
proporsi karbon dan hidrogen terhadap oksigen yang lebih besar daripada yang
terdapat dalam karbohidrat. Oleh karena itu
energi yang terkandung menjadi lebih besar daripada karbohidrat.
3.
Protein
Protein selalu mengandung nitrogen, karbon, hydrogen, dan
oksigen, dan kadang-kadang besi, fosfor, dan/atau sulfur. Tanpa nitrogen tidak akan ada protein. Secara umum kandungan nitrogen dalam protein
adalah 16%. Terdapat berbagai jenis
protein yang terbentuk oleh susunan kombinasi dari berbagai jenis asam amino.
Tiap organisme memerlukan protein karena merupakan bahan
dasar dalam penyusunan jarungan tubuh. Tidak ada bahan lain sebagai pengganti
protein dalam gizi pakan.
4.
Mineral
Setidaknya terdapat 20 unsur penting yang berperan dalam
pemenuhan gizi pakan, empat di antaranya (C, H, O, dan N) tidak tergolong
sebagai mineral. Keenambelas unsur
lainnya disebut sebagai mineral makro (tujuh unsur) karena diperlukan dalam
jumlah banyak, dan mineral mikro (sembilan unsur) karena diperlukan dalam
jumlah sedikit.
Mineral makro terdiri dari kalsium, fosfor, kalium,
natrium, sulfur, khlorin, dan magnesium.
Mineral mikro terdiri dari besi, yodium, tembaga, kobalt, flor, mangan,
seng, melibdenum, dan selenium. Kelompok
organisme tertentu (seperti diatom dan siliko flagellata) memerlukan silika
sebagai sumber mineral makro.
5.
Vitamin
Merupakan bahan organik yang tersusun oleh C, H, dan O,
kadang-kadang N, serta mengandung satu atau lebih unsur mineral.
6.
Air
Terdiri dari unsur H dan O; terkandung dalam tubuh udang
sebanyak lebih kurang 80%. Air berguna
untuk melancarkan reaksi biokimia dalam tubuh, berfungsi dalam transport zat
gizi lain, membantu memberikan bentuk tubuh, serta menjaga kondisi suhu.
Secara umum ada tiga fungsi utama gizi dalam pakan,
yaitu:
1.
Sebagai bahan
penyusun dan pemelihara struktur tubuh (protein, karbohidrat dan lemak
tertentu, mineral, dan air).
2.
Sebagai energi
penghasil panas, untuk bekerja, dan penyimpanan lemak (protein, karbohidrat,
dan lemak).
3.
Sebagai atau untuk
pembentukan pengatur tubuh (sebagian asam amino, karbohidrat, sebagian asam
lemak, mineral, vitamin, dan air).
Udang
tergolong meroplankton, yang pada awal kehidupannya hidup sebagai plankton
dan pada tahap selanjutnya sebagai
organisme bentik. Sifat bentik dimulai
sejak udang berada pada stadia post larva (PL) (Bailey-Brock dan Moss,
1992). Sebagai oeganisme bentik, udang
memerlukan kondisi substrat yang memadai, yaitu yang mampu menyediakan suasana
yang nyaman serta pakan yang layak dan cukup
Sifat pemangsaan udang adalah omnivora atau pemakan
detritus. Sebagai hewan nokturnal udang
lebih aktif pada malam hari, dan melakukan pemangsaan dengan cara scavenging. Beberapa studi menunjukkan bahwa pakan alami
udang peneid adalah detritus, berbagai jenis algae, krustacea (antara lain
Ostracoda, Mysids, Isopoda, Copepoda, Amphipoda, udang-udang Caridea, Penaeidea
kecil, Brachyura, hermit crabs, Cumacea, Euphausida, Eucharida,
Branchiopoda, larva Decapoda, dan telur-telur), Mollusca (Gastropoda dan Bivalva kecil), Annelida, Nematoda, Hydroid,
Tunicata, bagian-bagian ikan, ikan kecil utuh, Foraminifera, dan
Pyenogonida (Sikong, 1978). Pakan alami udang pada setiap stadia adalah
sebagai berikut: pada stadia nauplius masih memanfaatkan kuning telur, stadia
zoea memakan fitoplankton, stadia mysis mulai bersifat karnivora yang antara
lain memakan Copepoda dan Rotifera, sedangkan pada stadia post larva
udang mulai hidup sebagai organisme bentik dengan memangsa berbagai jenis algae
serta organisme lain yang menjadi penyusun komunitas mikroorganisme bentik
(Martosudarma dan Ranoemihardjo, 1983 serta Mc Vey dan Moore, 1983).
Pada dasarnya
terdapat dua macam pakan yang dapat diberikan pada udang, yaitu pakan buatan
dan pakan alami. Tetapi sebenarnya
klasifikasi yang seharusnya adalah pakan ‘siap makan’ dan pakan yang harus
ditumbuhkan dahulu melalui pemupukan.
Pakan siap makan terdiri dari pakan buatan komersial dan pakan yang
berasal dari rucah atau pun bahan sisa lainnya.
Perlu diingat
bahwa pakan siap makan merupakan suatu produk akhir, sedangkan pupuk adalah
bahan mentah. Bagaimanapun, bahan mentah
akan lebih murah daripada produk akhir.
Selain itu sediaan pupuk tidak menimbulkan masalah saat penyimpanan,
dibandingkan dengan sediaan rucah.
Organisme
pakan alami yang ditumbuhkan dengan pupuk yang benar tidak hanya berupa
tumbuhan melainkan juga akan muncul dan berkembang biak hewan-hewan kecil,
terutama yang mikroskopis, Berkaitan
dengan hal ini terdapat suatu proses alami yang disebut kolonisasi dan
strukturisasi dari komunitas organisme yang terdapat dalam tambak, dalam hal
ini komunitas perifiton
(organisme yang hidup menempel atau berada pada substrat tenggelam), mengingat
udang merupakan organisme pemakan di substrat.
Kolonisasi
dapat diartikan sebagai suatu proses pertumbuhan dan perkembangan dari suatu
populasi organisme pada suatu media hidup.
Kolonisasi dapat terjadi bila segala kebutuhan hidup organisme terpenuhi
atau bila terdapat kesempatan untuk mengisi relung yang belum termanfaatkan.
Strukturisasi
merupakan proses perkembangann koloni-koloni yang berhasil mengisi
relung-relung yang tersedia pada media hidup.
Dengan demikian proses ini menunjukkan kompleksitas dari komunitas pada
media hidup tersebut.
Suatu
material tenggelam akan segera menjadi substrat atau media tumbuh bagi berbagai
kelompok mikroorganisme, seperti bakteri, protozoa, mikroalga bersel tunggal,
mikroalga berfilamen, rotifera, mikrokrustacea, cacing, dan sebagainya. Perbedaan jenis substrat akan memberikan
komposisi perifiton yang berbeda. Di
samping itu, kualitas air yang berbeda juga akan memberikan kolonisasi berbeda
karena dominasi mikroorganisme dapat berubah bila kualitas air mengalami
perubahan.
Bakteri
memerlukan substrat, seperti bahan-bahan partikel yang tersuspensi dalam
air, untuk tumbuh dan berkembang
biak. Oleh karena itu adanya material
yang tenggelam akan segera ditumbuhi oleh kelompok organisme ini. Sebagian bakteri berfungsi sebagai perombak
bahan organik menjadi bahan anorganik yang segera dapat dimanfaatkan oleh
organisme ototrof, seperti mikroalgae.
Populasi bakteri itu sendiri merupakan pakan bagi protozoa heterotrof. Terbentuknya koloni-koloni tersebut
menimbulkan daya tarik bagi kelompok organisme lain yang memiliki tingkat
trofik lebih tinggi. Dengan demikian,
dalam kompleks komunitas perifiton terdapat pemanfaatan relung oleh suatu
kelompok organisme sekaligus penyediaan relung bagi kelompok organisme yang
lain (ASTM, 1979).
Sebagaimana
diuraikan sebelumnya, kolonisasi dipengaruhi oleh kualitas lingkungan
perairan. Dengan demikian keberadaan
komunitas perifiton dapat dijadikan sebagai indikator kualitas air. Di samping itu keberadaan komunitas ini
sangat berpotensi sebagai pakan alami bagi organisme pemakan di dasar, seperti
udang. Melalui penyediaan substrat dan
biakan mikroorganisme tertentu dengan kualitas air tertentu, akan tersedia
komunitas perifiton sebagaimana yang diharapkan.
Dengan adanya tumbuhan dan hewan di tambak, maka
kebutuhan udang akan gizi pakan berupa asam amino, vitamin, mineral,
karbohidrat, dan lemak akan terbentuk dengan baik karena unsur-unsur yang
dibutuhkan terkandung dalam pupuk yang diterapkan. Berkaitan dengan masalah pakan ini, bukan
hanya diperlukan pemahaman tentang dasar ilmiah tentang gizi udang, melainkan
juga hal praktis seperti jenis pupuk yang akan diterapkan, serta bagaimana dan
kapan pupuk tersebut diterapkan.
Substrat
buatan bernutrisi dalam uraian ini
merupakan suatu produk yang sudah diakui keberhasilannya dalam menunjang
produksi udang dan bandeng di Filipina, yang bersama metode penerapannya
memenangkan kompetisi dalam “The Chemistry Category Invention Award of
National Science & Technology Authority” pada tahun 1983 (Garcia dan
Garcia, 1985). Produk ini berbentuk
granul dan diciptakan dengan mempertimbangkan berbagai lendasan ilmiah tentang
prinsip pemupukan tambak.
Secara umum, pertimbangan
pertama adalah prinsip rantai atau pun piramida makanan. Hal ini perlu diperhatikan oleh pemakai pupuk
karena nutrien dalam pupuk akan dimanfaatkan oleh tumbuhan (algae) yang
merupakan awal atau dasar dari prinsip tersebut. Selanjutnya akan muncul mikroorganisme lain,
diikuti oleh organisme yang lebih besar yang akan memangsa berbagai
mikroorganisme. Selain itu, bakteri yang
memanfaatkan organisme yang telah mati juga muncul dan akan menjadi sumber makanan
bagi udang. Dengan demikian kebutuhan
akan asam amino esensial serta berbagai vitamin akan terpenuhi karena tersedia
melalui sintesa yang terbentuk dalam komunitas tersebut. Hal ini dapat terus terjadi selama nutrien
yang tersedia dalam pupuk berada dalam proporsi yang benar dan dalam bentuk
yang siap pakai.
Prinsip
selanjutnya ialah bahwa kandungan nutrisi organisme menunjukkan kebutuhan
organisme tersebut akan nutrisi untuk tumbuh dan mempertahankan hidup. Berdasarkan uraian sebelumnya, secara tidak
langsung kuantitas dan kualitas udang yang ingin dihasilkan sangat tergantung
pada kuantitas dan kualitas pupuk yan diberikan. Seluruh unsur kimiawi yang dibutuhkan oleh
udang tersedia dalam udara dan air, substrat bernutrisi, dan pupuk kimia.
Substrat
buatan bernutrisi ini telah mengandung enam sampai delapan nutrien mikro, yaitu
besi (ferro), kobalt, tembaga, mangan, seng, dan molibdenum, serta magnesium
dan kalsium untuk perairan bersalinitas rendah.
Silika merupakan kandungan utama dari produk ini dan berada dalam bentuk
yang dapat larut secara bertahap, sehingga mampu menumbuhkan diatom dalam
jumlah yang sangat banyak dalam waktu cukup singkat. Diatom adalah kelompok algae bersilika yang
diketahui sebagai pakan alami yang mudah dicerna. “Chelate agent” (dalam
hal ini berasal dari atom-atom amino-nitrogen) juga terkandung di dalamnya,
berfungsi untuk meng-imobilisasi kation logam sehingga dapat menghambat
proses-proses yang tidak dikehendaki akibat adanya kandungan logam yang
berlebih. Dalam produk ini juga
ditambahkan tiamin, niasin, dan piridoksin sebagai sumber vitamin bagi
algae. Vitamin bersama asam amino yang
juga terkandung merupakan bahan organik pemacu pertumbuhan algae. Pada substrat ini diinokulasikan beberapa
jenis bakteri yang akan mengisi ruang pori-pori silika. Bakteri tersebut berfungsi “menyerang dan
melembutkan” selulosa dari sel algae berfilamen sehingga menjadi mudah dimakan
dan dicerna oleh udang.
Sebagian
unsur atau mineral memang tidak terkandung dalam produk ini karena mudah
diperoleh dari pupuk kimia untuk nutrien makro, serta ada di dalam air laut
untuk yang mikro. Keberadaan substrat
bernutrisi ini mengoptimalkan pemanfaatan berbagai kebutuhan nutrien dalam
sintesis kebutuhan nutrisi pakan alami.
Produk ini
dapat dimanfaatkan dalam jangka waktu yang cukup lama, tujuh tahun atau
lebih, untuk satu kali penerapan sesuai
dengan dosis yang dianjurkan. Hal ini terjadi karena pelepasan unsur yang
berlangsung lambat, sesuai dengan kebutuhan algae. Selanjutnya saat dimakan, granul kut termakan
tetapi tidak tercerna sehingga akan diekskresikan dan kembali ke dasar
tambak. Kelak granul tersebut akan
menjadi substrat bagi algae kembali, dan seterusnya.
Berdasarkan
pengalaman penemu, penerapan produk pada tambak dengan padat tebar yang rendah
(< 50.000 per Ha) dapat menghasilkan udang mencapai bobot 60 gram per ekor
dalam waktu 90 hari, yang dipelihara dari ukuran PL20.
Penerapan Substrat Buatan Bernutrisi
Terdapat tiga macam produk dengan fungsi yang berbeda,
yaitu:
1.
Substtrat diatom, diterapkan
sebagai substrat dan nutrisi pada penebaran awal/pertama; pada penebaran kedua
dan seterusnya tidak diperlukan lagi hingga limasampai enam tahun tahun
berikutnya.
2.
Substrat tambahan,
diberikan sebagai nutrisi tambahan pada penebaran pertama dan seterusnya
sebelum udang dimasukkan.
3.
Substrat pelengkap,
diberikan dengan mempertimbangkan bergizi atau tidaknya pakan alami dan
diterapkan pada saat udang sudah berada dalam tambak.
Dosis per hektar yang
dianjurkan untuk diterapkan pada penebaran pertama pada salinitas 15% atau
lebih adalah:
- 30 kantung (@ 35
kg) substrat diatom
-
6 – 9 kantung (@ 40
kg) substrat tambahan
-
2 kantung ( @50 kg)
NPK (18-46-0)
-
2 kantung (@50 kg)
urea
atau:
- 30 kantung (@ 35
kg) substrat diatom
-
6 – 9 kantung (@ 40
kg) substrat tambahan
-
5 kantung NPK (
16-20-0)
-
1 kantung urea
Penerapan substrat tambahan pada penebaran kedua pada
salinitas 15%o atau lebih adalah:
-
3 – 6 kantung
substrat tambahan
-
2 kantung NPK
(18-46-0)
-
2 kantung urea
atau:
-
3 – 6 kantung
substrat tambahan
-
5 kantung NPK
(16-20-0)
-
1 kantung urea
Pemberian substrat pelengkap pada salinitas lebih dari
15%o adalah:
-
1 kantung (50 kg)
substrat pelengkap
-
12,5 kg atau ¼ kantung NPK (18-46-0)
-
12,5 kg atau ¼
kantung urea
atau:
-
1 kantung ) substrat
pelengkap
-
31 kg NPK (16-20-0)
-
6,5 kg urea
Efisiensi konversi
nutrien secara teoritis dapat digambarkan sebagai berikut. Secara umum dalam urea terkandung 46%
nitrogen. Dengan demikian terdapat
sekitar 64 kg nitrogen pada setiap pemberian substrat bernutrisi. Bila dalam seluruh protein yang terbentuk
dalam tubuh udang terkandung 16% nitrogen, maka dari angka tersebut dapat
diproduksi sebanyak 400 kg protein. Jika
dalam tubuh udang terkandung protein sebesar 20% dan air sebesar 80%, maka akan
diperoleh hasil sebesar 2000 kg udang.
Dalam
prakteknya tidak ada efisiensi konversi sebesar 100% karena berkait dengan
pelepasan dan pemanfaatan nutrien selama waktu pemeliharaan. Berdasarkan pengalaman, dengan padat tebar
sekitar 20.000 ekor per hektar pada umumnya dapat menghasilkan panen sebesar
600 kg selama 90 hari dengan kualitas udang yang samgat bagus..
Untuk
padat tebar yang lebih tinggi, bila memerlukan pakan tambahan, pemahaman akan
konversi tersebut akan memberikan kemudahan dalam mengelolanya. Pakan yang diperlukan akan jauh berkurang,
dengan kata lain FCR (feed convertion ratio) akan turun, sehingga biaya
produksi per kilo panen dapat ditekan.
Berdasarkan uraian-uraian terdahulu tampak bahwa melalui
metode yang dipaparkan, kualitas panen (udang) sangat bagus dan penekanan akan produksi limbah sangatlah
nyata. Hal ini terjadi karena
proses-proses yang terjadi sangat efektif dan efisien.
Informasi
menarik dari penemuan ini memberikan inspirasi kemungkinan dilakukannya suatu inovasi
guna mengembangkan diversifikasi dan meningkatkan fungsi bahan-bahan bernutrisi
melalui prinsip-prinsip serupa. Oleh
karena itu pada saat ini tengah dipersiapkan berbagai keperluan guna melakukan
penelitian berkait dengan hal tersebut.
ASTM (American Society for Testing and Materials).
1979. Methods and Measurements
of Periphyton Communities: a Review. ASTM Special Technical Publication
690. Philadelphia.
Bailey-Brock, J.H. dan Moss, S.M. 1992. Penaeid Taxonomy, Biology, and
Zoogeography. In:
Fast, A.W. and Lester, L.J. (Eds).
Marine Shrimp Culture:
Principles
and Practices, pp: 9-28.
Boyd, C.E. 1990.
Water Quality in Ponds for Aquaculture.
Alabama Agricultural
Experimental
Station, Auburn University.
Alabama. 482 hal.
Clara dan Soehardjo. 1988. Prinsip-prinsip Ilmu Gizi. Pusat Antar
Universitas-IPB. LSI.
Bogor.
Garcia, W.U. dan Garcia, R.U. 1985. Prawn Farming Made Simple with FERTILEX.
First Edition.
NSTA. Manila.
Law, A.T.
1988. Water Quality Requirements
for Penaeus monodon Culture. In:
Proceeding of the Seminar on Marine Prawn Farming in
Malaysia. Malaysia
Fisheries Society, Malaysia. P:53-65.
Liao, L.C. dan Murai, T.
1986. Effect of Dissolved Oxygen,
Temperature, and Salinity
on the Oxygen Consumption of Grass Shrimp, Penaeus
monodon. In: Maclean,
J.L., Dizon, L.B., and Hosillos, L.V. (Eds.): The First
Asian Forum. Asian
Fisheries Society, Manila.
Martosudarma dan Ranoemihardjo. 1983. Biologi Udang Penaeid. Pedoman
Pembenihan Udang Penaeid.
Ditjen Perikanan Departemen Pirtanian.
Jakarta.
Mc Vey, J.P. dan Moore, J.R. 1983. CRC Handbook of Mariculture, Vol. I: Crustacean
Aqauculture. CRC
Press, Inc. Bocca Raton, Florida.
Sediaoetomo, A.D.
1991. Ilmu Gizi. Dian Rakyat.
Jakarta.
Sikong, M. 1978.
Peran Hutan Mangrove sebagai tempat Asuhan (Nursery Ground)
Berbagai Jenis Ikan dan Crustacea. Makalah Seminar Ekosistem Hutan
mangrove. Jakarta,
27 Februari – 1 Maret 1978.