© 2001. Simon Tubalawony
Posted 18 May 2001 (rudyct)
Makalah
Falsafah Sains (PPs 702)
Program
Pasca Sarjana / S3
Institut
Pertanian Bogor
Juni 2001
Dosen:
Prof Dr Ir
Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)
Prof Dr Ir
Zahrial Coto
PENGARUH
FAKTOR-FAKTOR OSEANOGRAFI TERHADAP PRODUKTIVITAS PRIMER
PERAIRAN
INDONESIA
Oleh
Simon Tubalawony
IKL P27600002
mailto:simon_tubalawony@yahoo.com
Latar
Belakang
Sebaran klorofil-a di laut bervariasi secara geografis
maupun berdasarkan kedalaman perairan.
Variasi tersebut diakibatkan oleh perbedaan intensitas cahaya matahari,
dan konsentrasi nutrien yang terdapat di dalam suatu perairan. Di Laut, sebaran klorofil-a lebih tinggi
konsentrasinya pada perairan pantai dan pesisir, serta rendah di perairan lepas
pantai. Tingginya sebaran konsentrasi
klorofil-a di perairan pantai dan pesisir disebabkan karena adanya suplai
nutrien dalam jumlah besar melalui run-off
dari daratan, sedangkan rendahnya konsentrasi klorofil-a di perairan lepas
pantai karena tidak adanya suplai nutrien dari daratan secara langsung. Namun
pada daerah-daerah tertentu di perairan lepas pantai dijumpai konsentrasi
klorofil-a dalam jumlah yang cukup tinggi.
Keadaan ini disebabkan oleh tingginya konsentrasi nutrien yang
dihasilkan melalui proses fisik massa air, dimana massa air dalam mengangkat
nutrien dari lapisan dalam ke lapisan permukaan (Valiela, 1984).
Perairan
Indonesia yang dipengaruhi oleh sistem pola angin muson memiliki pola sirkulasi
massa air yang berbeda dan bervariasi antara musim, disamping itupula juga
dipengaruhi oleh massa air Lautan Pasifik yang melintasi perairan Indonesia
menuju Lautan Hindia melalui sistem arus lintas Indonesia (Arlindo). Sirkulasi massa air perairan Indonesia
berbeda antara musim barat dan musim timur.
Dimana pada musim barat, massa air umumnya mengalir ke arah timur
perairan Indonesia, dan sebaliknya ketika musim timur berkembang dengan
sempurna suplai massa air yang berasal dari daerah upwelling di Laut Arafura
dan Laut Banda akan mengalir menunju perairan lndonesia bagian barat (Wyrtki,
1961). Perbedaan suplai massa air
tersebut mengakibatkan terjadinya perubahan terhadap kondisi perairan yang
akhirnya mempengaruhi tinggi rendahnya produktivitas perairan. Tisch et
al. (1992) mengatakan perubahan kondisi suatu massa air dapat diketahui
dengan melihat sifat-sifat massa air yang meliputi suhu, salinitas, oksigen
terlarut, dan kandungan nutrien.
Dengan melihat akan keberadaan
perairan Indonesia dimana karena adanya perbedaan pola angin yang secara
langsung mempengaruhi pola arus permukaan perairan Indonesia dan perubahan
karakteristik massa diduga dapat mengakibatkan terjadinya perubahan terhadap
tingkat produktivitas perairan. Keadaan
ini tergantung pada berbagai hal, seperti bagaimana sebaran faktor fisik-kimia
perairan. Untuk itu perlu dilakukan
analisa untuk mempelajari dan menelaah pengaruh faktor-faktor oseanografi
terhadap sebaran fisik-kimia perairan dan keterkaitannya terhadap tingkat
konsentrasi klorofil-a (Gambar 1).
Gambar 1. Skema pendekatan masalah untuk melihat
pengaruh faktor oseanografi terhadap produktivitas primer perairan Indonesia.
Tujuan dan Manfaat
Tujuan
penulisan makalah ini adalah untuk mempelajari dan menganalisa faktor-faktor
oseanografi yang mempengaruhi produktivitas primer di perairan Indonesia.
Manfaat penulisan adalah sebagai informasi
kesuburan suatu perairan agar upaya pemanfaatan dan pengelolaan dapat dilakukan
secara optimal.
Suhu
Laut tropik memiliki
massa air permukaan hangat yang disebabkan oleh adanya pemanasan yang terjadi
secara terus-menerus sepanjang tahun. Pemanasan tersebut mengakibatkan
terbentuknya stratifikasi di dalam kolom perairan yang disebabkan oleh adanya
gradien suhu. Berdasarkan gradien suhu
secara vertikal di dalam kolom perairan, Wyrtki (1961) membagi perairan menjadi
3 (tiga) lapisan, yaitu: a) lapisan homogen pada permukaan perairan atau disebut
juga lapisan permukaan tercampur; b) lapisan diskontinuitas atau biasa disebut
lapisan termoklin; c) lapisan di bawah termoklin dengan kondisi yang hampir
homogen, dimana suhu berkurang secara perlahan-lahan ke arah dasar perairan.
Menurut
Lukas and Lindstrom (1991), kedalaman setiap lapisan di dalam kolom perairan
dapat diketahui dengan melihat perubahan gradien suhu dari permukaan sampai
lapisan dalam. Lapisan permukaan
tercampur merupakan lapisan dengan gradien suhu tidak lebih dari 0,03 oC/m
(Wyrtki, 1961), sedangkan kedalaman lapisan termoklin dalam suatu perairan
didefinisikan sebagai suatu kedalaman atau posisi dimana gradien suhu lebih
dari 0,1 oC/m (Ross, 1970).
Suhu
permukaan laut tergantung pada beberapa faktor, seperti presipitasi, evaporasi,
kecepatan angin, intensitas cahaya matahari, dan faktor-faktor fisika yang
terjadi di dalam kolom perairan.
Presipitasi terjadi di laut melalui curah hujan yang dapat menurunkan
suhu permukaan laut, sedangkan evaporasi dapat meningkatkan suhu permukaan akibat
adanya aliran bahang dari udara ke lapisan permukaan perairan. Menurut McPhaden and Hayes (1991), evaporasi
dapat meningkatkan suhu kira-kira sebesar 0,1 oC pada lapisan
permukaan hingga kedalaman 10 m dan hanya kira-kira 0,12 oC pada
kedalaman 10 – 75 m. Disamping itu Lukas
and Lindstrom (1991) mengatakan bahwa perubahan suhu permukaan laut sangat
tergantung pada termodinamika di lapisan permukaan tercampur. Daya gerak berupa adveksi vertikal,
turbulensi, aliran buoyancy, dan entrainment dapat mengakibatkan
terjadinya perubahan pada lapisan tercampur serta kandungan bahangnya. Menurut McPhaden and Hayes (1991), adveksi
vertikal dan entrainment dapat
mengakibatkan perubahan terhadap kandungan bahang dan suhu pada lapisan
permukaan. Kedua faktor tersebut bila
dikombinasi dengan faktor angin yang bekerja pada suatu periode tertentu dapat
mengakibatkan terjadinya upwelling.
Upwelling menyebabkan suhu lapisan permukaan tercampur menjadi lebih
rendah. Pada umumnya pergerakan massa
air disebabkan oleh angin. Angin yang
berhembus dengan kencang dapat mengakibatkan terjadinya percampuran massa air
pada lapisan atas yang mengakibatkan sebaran suhu menjadi homogen.
Salinitas
Sebaran
salinitas di laut dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pola sirkulasi air,
penguapan, curah hujan dan aliran sungai.
Perairan dengan tingkat curah hujan tinggi dan dipengaruhi oleh aliran
sungai memiliki salinitas yang rendah sedangkan perairan yang memiliki
penguapan yang tinggi, salinitas perairannya tinggi. Selain itu pola sirkulasi juga berperan dalam
penyebaran salinitas di suatu perairan.
Secara vertikal nilai salinitas air laut akan
semakin besar dengan bertambahnya kedalaman.
Di perairan laut lepas, angin sangat menentukan penyebaran salinitas secara
vertikal. Pengadukan di dalam lapisan
permukaan memungkinkan salinitas menjadi homogen. Terjadinya upwelling yang mengangkat massa
air bersalinitas tinggi di lapisan dalam juga mengakibatkan meningkatnya
salinitas permukaan perairan.
Sistem
angin muson yang terjadi di wilayah Indonesia dapat berpengaruh terhadap
sebaran salinitas perairan, baik secara vertikal maupun secara horisontal.
Secara horisontal berhubungan dengan arus yang membawa massa air, sedangkan
sebaran secara vertikal umumnya disebabkan oleh tiupan angin yang mengakibatkan
terjadinya gerakan air secara vertikal.
Menurut Wyrtki (1961), sistem angin muson menyebabkan terjadinya musim
hujan dan panas yang akhirnya berdampak terhadap variasi tahunan salinitas
perairan. Perubahan musim tersebut
selanjutnya mengakibatkan terjadinya perubahan sirkulasi massa air yang
bersalinitas tinggi dengan massa air bersalinitas rendah. Interaksi antara sistem angin muson dengan
faktor-faktor yang lain, seperti run-off dari
sungai, hujan, evaporasi, dan sirkulasi massa air dapat mengakibatkan
distribusi salinitas menjadi sangat bervariasi.
Pengaruh sistem angin muson terhadap sebaran salinitas pada beberapa
bagian dari perairan Indonesia telah dikemukakan oleh Wyrtki (1961). Pada Musim
Timur terjadi penaikan massa air lapisan dalam (upwelling) yang bersalinitas tinggi ke permukaan di Laut Banda
bagian timur dan menpengaruhi sebaran salinitas perairan. Selain itu juga di pengaruhi oleh arus yang
membawa massa air yang bersalinitas tinggi dari Lautan Pasifik yang masuk
melalui Laut Halmahera dan Selat Torres.
Di Laut Flores, salinitas perairan rendah pada Musim Barat sebagai
akibat dari pengaruh masuknya massa air Laut Jawa, sedangkan pada Musim Timur,
tingginya salinitas dari Laut Banda yang masuk ke Laut Flores mengakibatkan
meningkatnya salinitas Laut Flores. Laut
Jawa memiliki massa air dengan salinitas rendah yang diakibatkan oleh adanya run-off dari sungai-sungai besar di P.
Sumatra, P. Kalimantan, dan P. Jawa.
Densitas air laut (st)
Distribusi
densitas dalam perairan dapat dilihat melalui stratifikasi densitas secara
vertikal di dalam kolom perairan, dan perbedaan secara horisontal yang
disebabkan oleh arus. Distribusi
densitas berhubungan dengan karakter arus dan daya tenggelam suatu massa air
yang berdensitas tinggi pada lapisan permukaan ke kedalaman tertentu. Densitas air laut tergantung pada suhu dan
salinitas serta semua proses yang mengakibatkan berubahnya suhu dan salinitas. Densitas permukaan laut berkurang karena ada
pemanasan, presipitasi, run off dari
daratan serta meningkat jika terjadi evaporasi dan menurunnya suhu permukaan.
Sebaran
densitas secara vertikal ditentukan oleh proses percampuran dan pengangkatan
massa air. Penyebab utama dari proses
tersebut adalah tiupan angin yang kuat. Lukas and Lindstrom (1991), mengatakan
bahwa pada tingkat kepercayaan 95 % terlihat adanya hubungan yang positif
antara densitas dan suhu dengan kecepatan angin, dimana ada kecenderungan
meningkatnya kedalaman lapisan tercampur akibat tiupan angin yang sangat kuat.
Secara umum densitas meningkat dengan meningkatnya salinitas, tekanan atau
kedalaman, dan menurunnya suhu.
FAKTOR UTAMA YANG MEMPENGARUHI PRODUKTIVITAS PRIMER DI LAUT
Cahaya
Cahaya
merupakan salah satu faktor yang menentukan distribusi klorofil-a di laut. Di
laut lepas, pada lapisan permukaan tercampur tersedia cukup banyak cahaya
matahari untuk proses fotosintesa.
Sedangkan di lapisan yang lebih dalam, cahaya matahari tersedia dalam
jumlah yang sedikit bahkan tidak ada sama sekali. Ini memungkinkan klorofil-a
lebih banyak terdapat pada bagian bawah lapisan permukaan tercampur atau pada
bagian atas dari permukaan lapisan termoklin jika dibandingkan dengan bagian
pertengahan atau bawah lapisan termoklin.
Hal ini juga dikemukakan oleh Matsuura et al. (1997) berdasarkan hasil pengamatan di timur laut Lautan
Hindia, dimana diperoleh bahwa sebaran konsentrasi klorofil-a pada bagian atas
lapisan permukaan tercampur sangat sedikit dan mulai meningkat menuju bagian
bawah dari lapisan permukaan tercampur dan menurun secara drastis pada lapisan
termoklin hingga tidak ada klorofil-a lagi pada lapisan di bawah lapisan
termoklin.
Fotosintesa fitoplankton
menggunakan klorofil-a, c, dan satu jenis pigmen tambahan seperti
protein-fucoxanthin dan peridinin, yang secara lengkap menggunakan semua cahaya
dalam spektrum tampak. Pada panjang
gelombang 400 – 700 nm, cahaya yang diabsorbsi oleh pigmen fitoplankton dapat
dibagi dalam: cahaya dengan panjang gelombang lebih dari 600 nm, terutama
diabsorbsi oleh klorofil dan cahaya dengan panjang gelombang kurang dari 600
nm, terutama diabsorbsi oleh pigmen-pigmen pelengkap/tambahan (Levinton, 1982).
Dengan
adanya perbedaan kandungan pigmen pada setiap jenis plankton, maka jumlah
cahaya matahari yang diabsorbsi oleh setiap plankton akan berbeda pula. Keadaan ini berpengaruh terhadap tingkat
efisiensi fotosintesa. Fujita (1970) dalam Parsons et al. (1984) mengklasifikasi alga laut berdasarkan efisiensi
fotosintesa oleh pigmen kedalam tipe klorofil-a dan b untuk alga hijau dan
euglenoid; tipe klorofil-a, c, dan caratenoid untuk diatom, dinoflagelata, dan
alga coklat; dan tipe klorofil-a dan ficobilin untuk alga merah dan alga hijau
biru.
Nutrien
Nutrien
adalah semua unsur dan senjawa yang dibutuhkan oleh tumbuhan-tumbuhan dan
berada dalam bentuk material organik (misalnya amonia, nitrat) dan anorganik
terlarut (asam amino). Elemen-elemen nutrien utama yang dibutuhkan dalam jumlah
besar adalah karbon, nitrogen, fosfor, oksigen, silikon, magnesium, potassium,
dan kalsium, sedangkan nutrien trace
element dibutuhkan dalam konsentrasi sangat kecil, yakni besi, copper, dam
vanadium (Levinton, 1982). Menurut Parsons et
al. (1984), alga membutuhkan elemen nutrien untuk pertumbuhan. Beberapa elemen seperti C, H, O, N, Si, P, Mg,
K, dan Ca dibutuhkan dalam jumlah besar dan disebut makronutrien, sedangkan
elemen-elemen lain dibutuhkan dalam jumlah sangat sedikit dan biasanya disebut
mikronutrien atau trace element.
Sebaran
klorofil-a di dalam kolom perairan sangat tergantung pada konsentrasi
nutrien. Konsentrasi nutrien di lapisan
permukaan sangat sedikit dan akan meningkat pada lapisan termoklin dan lapisan
di bawahnya. Hal mana juga dikemukakan
oleh Brown et al. (1989), nutrien
memiliki konsentrasi rendah dan berubah-ubah pada permukaan laut dan
konsentrasinya akan meningkat dengan bertambahnya kedalaman serta akan mencapai
konsentrsi maksimum pada kedalaman antara 500 – 1500 m.
Suhu
Suhu
dapat mempengaruhi fotosintesa di laut baik secara langsung maupun tidak
langsung. Pengaruh secara langsung yakni
suhu berperan untuk mengontrol reaksi kimia enzimatik dalam proses
fotosintesa. Tinggi suhu dapat menaikkan
laju maksimum fotosintesa (Pmax), sedangkan pengaruh secara tidak
langsung yakni dalam merubah struktur hidrologi kolom perairan yang dapat
mempengaruhi distribusi fitoplankton (Tomascik et al., 1997 b).
Secara
umum, laju fotosintesa fitoplankton meningkat dengan meningkatnya suhu
perairan, tetapi akan menurun secara drastis setelah mencapai suatu titik suhu
tertentu. Hal ini disebabkan karena setiap spesies fitoplankton selalu
berdaptasi terhadap suatu kisaran suhu tertentu.
Perairan
Indonesia yang terletak di antara benua Asia dan Australia berada dalam suatu sistem
pola angin yang disebut sistem angin muson.
Angin muson bertiup ke arah tertentu pada suatu periode sedangkan pada
periode lainnya angin bertiup dengan arah yang berlawanan. Terjadinya angin muson ini karena terjadi
perbedaan tekanan udara antara daratan Asia dan Australia (Wyrtki, 1961). Pada bulan Desember – Pebruari di belahan
bumi utara terjadi musim dingin sedangkan di belahan bumi selatan terjadi musim
panas sehingga pusat tekanan tinggi di daratan Asia dan pusat tekanan rendah di
daratan Australia. Keadaan ini
menyebabkan angin berhembus dari daratan Asia menuju Australia. Angin ini dikenal di sebelah selatan
katulistiwa sebagai angin Muson Barat Laut.
Sebaliknya pada bulan Juli – Agustus berhembus angin Muson Tenggara dari
daratan Australia yang bertekanan tinggi ke daratan Asia yang bertekanan
rendah.
Sirkulasi
air laut di perairan Indonesia dipengaruhi oleh sistem angin muson. Oleh karena
sistem angin muson ini bertiup secara tetap, walaupun kecepatan relatif tidak
besar, maka akan tercipta suatu kondisi yang sangat baik untuk terjadinya suatu
pola arus. Pada musim barat, pola arus
permukaan perairan Indonesia memperlihatkan arus bergerak dari Laut Cina
Selatan menuju Laut Jawa. Di Laut Jawa,
arus kemudian bergerak ke Laut Flores hingga mencapai Laut Banda. Sedangkan
pada saat Muson Tenggara, arah arus sepenuhnya berbalik arah menuju ke barat
yang akhirnya akan menuju ke Laut Cina Selatan (Wyrtki, 1961).
Perairan Indonesia merupakan perairan di mana
terjadi lintasan arus yang membawa massa air dari Lautan Pasifik ke Lautan
Hindia yang biasanya disebut Arus Lintas Indonesia/Arlindo (Fieux et al., 1996b). Massa air Pasifik
tersebut terdiri atas massa air Pasifik Utara dan Pasifik Selatan (Tomascik et al., 1997a; Wyrtki, 1961; Ilahude and
Gordon, 1996; Molcard et al., 1996;
Fieux et al., 1996a). Terjadinya arlindo terutama disebabkan oleh
bertiupnya angin pasat tenggara di bagian selatan Pasifik dari wilayah
Indonesia. Angin tersebut mengakibatkan
permukaan bagian tropik Lautan Pasifik Barat lebih tinggi dari pada Lautan
Hindia bagian timur. Hasilnya terjadinya
gradien tekanan yang mengakibatkan mengalirnya arus dari Lautan Pasifik ke
Lautan Hindia. Arus lintas Indonesia
selama Muson Tenggara umumnya lebih kuat dari pada di Muson Barat Laut.
Sumber
air yang dibawa oleh Arlindo berasal dari Lautan Pasifik bagian utara dan
selatan. Perairan Selat Makasar dan Laut
Flores lebih banyak dipengaruhi oleh massa air laut Pasifik Utara sedangkan
Laut Seram dan Halmahera lebih banyak dipengaruhi oleh massa air dari Pasifik
Selatan. Gordon et al. (1994)
mengatakan bahwa massa air Pasifik masuk kepulauan Indonesia melalui 2 (dua)
jalur utama, yaitu:
1. Jalur barat dimana
massa air masuk melalui Laut Sulawesi dan Basin
Makasar. Sebagian massa air akan mengalir melalui Selat Lombok dan berakhir di
Lautan Hindia sedangkan sebagian lagi dibelokan ke arah timur terus ke Laut
Flores hingga Laut Banda dan kemudian keluar ke Lautan Hindia melalui Laut
Timor.
2. Jalur timur dimana
massa air masuk melalui Laut Halmahera dan Laut Maluku terus ke Laut
Banda. Dari Laut Banda, menurut Gordon
(1986) dan Gordon et al.,(1994) massa
air akan mengalir mengikuti 2 (dua) rute.
Rute utara Pulau Timor melalui Selat Ombai, antara Pulau Alor dan Pulau
Timor, masuk ke Laut Sawu dan Selat Rote, sedangkan rute selatan Pulau Timor
melalui Basin Timor dan Selat Timor,
antara Pulau Rote dan paparan benua Australia (Gambar 2).
Struktur massa air perairan Indonesia umumnya dipengaruhi karakteristik massa air Lautan Pasifik dan sistem angin muson. Dimana pada Musim Barat (Desember – Pebruari) bertiup angin muson barat laut di bagian selatan katulistiwa dan timur laut di utara katulistiwa, karakteristik massa air perairan Indonesia umumnya ditandai dengan salinitas yang lebih rendah, sedangkan pada Musim Tmur (Juni – Agustus) bertiup angin muson tenggara di selatan katulistiwa dan barat daya di utara katulistiwa, perairan Indonesia memiliki karakteristik dengan nilai salinitas yang lebih tinggi.
Gambar 2. Lintasan massa air asal Lautan Pasifik Utara dan selatan di Perairan Indonesia (Publikasi Universitas Columbia, internet, 1997 dalam Naulita, 1998)
Schalk
(1987) mengatakan bahwa pergantian musim mengakibatkan terjadinya perubahan
terhadap kondisi hidrologi perairan. Dikatakan
pula bahwa Musim Timur (Juni – September) menyebabkan terjadinya upwelling di
Laut Banda dan stabilitas vertikal pada kolom perairan menjadi rendah. Namun pada Musim Barat (Desember – Maret)
terjadi downwelling dengan stabilitas
vertikal kolom perairan menjadi tinggi.
Selanjutnya dikatakan bahwa pada bulan Agustus di saat terjadinya upwelling, suhu permukaan perairan
berkisar pada 25 oC, sedangkan pada bulan Pebruari di saat
terjadinya downwelling, suhu permukaan
perairan lebih dari 25 oC dan umumnya perairan lebih berstratifikasi
di bagian barat Laut Banda.
Suhu
permukaan laut perairan Indonesia umumnya berkisar antara 25 – 30 oC
dan mengalami penurunan satu atau dua derajat dengan bertambahnya kedalaman
hingga 80 db, sedangkan salinitas permukaan laut berkisar antara 31,2 – 34,5 ‰
(Tomascik et al. 1997 a). Nontji (1993) mengatakan bahwa suhu permukaan
perairan Indonesia berkisar antara 28 – 31 oC dan di Laut Banda pada
saat upwelling, suhu turun sampai 25 oC. Hal
ini disebabkan karena massa air dingin dari lapisan bawah terangkat ke lapisan
atas. Ilahude and Gordon (1996)
mengatakan bahwa suhu permukaan bagian sentral Laut Banda pada musim timur
berkisar antara 25,7 – 26,1 oC dengan salinitas 34,1 – 34,4 ‰ sedangkan
musim barat suhu berkisar antara 29,6 – 30,3 oC dan salinitas 34,5
‰.
Sebaran
konsentrasi nutrien perairan Indonesia menunjukkan suatu karakteristik perairan
tropis, dimana konsentrasinya rendah pada lapisan permukaan. Menurut Wyrtki (1961), untuk perairan Asia
Tenggara, konsentrasi fosfat di bagian permukaan kurang dari 0,2 mg-at/l, dan selanjutnya meningkat
hingga 1,5 mg-at/l pada lapisan
diskontinyu, sedangkan untuk lapisan dalam, konsentrasi fosfat berkisar antara
2,5 – 3,0 mg-at/l. Delsman (1939) yang dikutip oleh Wyrtki
(1961) mengatakan konsentrasi fosfat Laut Jawa kira-kira 0,08 mg-at/l dengan fluktuasi antara
0,03 dan 0,012 mg-at/l di dekat
permukaan dan memiliki nilai yang agak lebih tinggi di dekat dasar perairan
yakni antara 0,08 – 0,15 mg-at/l dengan
rata-rata 0,12 mg-at/l.
HUBUNGAN ANTARA FAKTOR OSEANOGARFI DAN
PRODUKTIVITAS PRIMER PERAIRAN INDONESIA
Perairan Indonesia
yang merupakan bagian dari laut tropik dicirikan oleh cukup tersedia cahaya
matahari namun memiliki konsentrasi nutrien rendah. Keadaan ini mengakibatkan
produktivitasnya sangat rendah. Seperti
halnya dengan laut tropik, laut lepas merupakan bagian dari badan perairan
bahari yang memiliki laju produktivitas rendah.
Menurut Valiela (1984), laut terbuka yang luasnya 90 % dari laut dunia
memiliki laju produktivitas yang rendah bila dibandingkan dengan lingkungan
laut lainnya, misalnya perairan pantai, dimana produktivitasnya melebihi 60 %
dari produktivitas yang ada di laut.
Laju produksi primer
di lingkungan laut ditentukan oleh berbagai faktor fisika antara lain:
1.
Upwelling
Tingginya
produktivitas di laut terbuka yang mengalami upwelling disebabkan karena adanya pengkayaan nutrien pada lapisan
permukaan tercampur yang dihasilkan melalui proses pengangkatan massa air dalam.
Seperti yang dikemukakan oleh Cullen et
al. (1992) bahwa konsentrasi klorofil-a dan laju produktivitas primer
meningkat di sekitar ekuator, dimana terjadi aliran nutrien secara vertikal
akibat adanya upwelling di daerah divergensi ekuator.
Beberapa daerah-daerah
perairan Indonesia yang mengalami upwelling akibat pengaruh pola angin muson
adalah Laut Banda, dan Laut Arafura (Wyrtki, 1961 dan Schalk, 1987), Selatan
Jawa dan
Bali ( Hendiarti dkk, 1995 dan Bakti, 1998), dan Laut Timor (Tubalawony,
2000).
Dari
pengamatan sebaran konsentrasi klorofil-a di Laut Banda dan Laut Aru diperoleh
bahwa konsentrasi klorofil-a tertinggi dijumpai pada Musim Timur, dimana pada
saat tersebut terjadi upwelling di
Laut Banda, sedangkan klorofil-a terendah dijumpai pada Musim Barat. Pada saat ini di Laut Banda tidak terjadi upwelling dalam skala yang besar
sehingga nilai konsentrasi nutrien di perairan lebih kecil. Di perairan Banda (Vosjan and Nieuwland,
1987) pada Musim Timur terdapat 2 (dua) periode “bloom” fitoplankton, pertama
pada bulan Juni dan kedua di bulan Agustus/September. Selanjutnya Nontji (1975), dari hasil studi
distribusi klorofil-a di Laut Banda pada fase akhir di bulan September
diperoleh bahwa konsentrasi klorofil tertinggi di bagian timur Laut Banda,
khususnya di sekitar Pulau Kei dan Tanimbar. Juga dikatakan bahwa 60% dari
klorofil-a tersebut berada pada kedalaman 25 m. Hendiarti dkk. (1995) mendapatkan bahwa pada Musim Timur di perairan selatan
Pulau Jawa-Bali dimana terjadi upwelling, rata-rata konsentrasi klorofil-a
sebesar 0,39 mm/l dan pada Musim
Barat sekitar 0,18 mm/l.
2. Percampuran Vertikal Massa Air
Percampuran
vertikal massa air sangat berperan di dalam menyuburkan kolom perairan yaitu
dengan cara mengangkat nutrien dari lapisan dalam ke lapisan permukaan. Dengan
meningkatnya nutrien pada lapisan permukaan dan dibantu dengan penetrasi cahaya
matahari yang cukup di dalam kolom perairan dapat meningkatkan laju
produktivitas primer melalui aktivitas fotosintesa fitoplankton. Chaves and Barber
(1987) mengatakan bahwa masukan nutrien terutama untuk mengoptimalkan
konsentrasi NO3 pada lapisan permukaan dan secara relatif
meningkatkan produksi baru.
Percampuran
massa air secara vertikal dipengaruhi oleh tiupan angin. Pada saat Musim Timur di perairan Indonesia
bertiup angin Muson Tenggara yang mengakibatkan sebagian besar perairan
Indonesia Timur mengalami pergolakan yang mengakibatkan terjadinya percampuran
massa air secara vertikal. Tubalawony
(2000) berdasarkan data ekspedisi Baruna Jaya pada musim timur tahun 1991
mendapatkan adanya percampuran vertikal massa air di perairan lepas pantai Laut Timor yang umumnya
lebih dangkal. Akibatnya kandungan
klorofil-a di dalam kolom perairan
umumnya lebih tinggi bila dibandingkan dengan bagian lain dari perairan
Laut Timor.
3. Percampuran Massa Air
secara Horisontal
Sistem
angin muson dan arlindo juga mempengaruhi pola sirkulasi massa air di Perairan
Indonesia. Sistem ini mengakibatkan terjadinya
percampuran antara dua massa air yang berbeda di suatu perairan. Misalnya pada saat Musim Timur, massa air
dari Lautan Pasifik akan bertemu dengan massa air Laut Banda yang mengalami
upwelling atau pada saat bertiup angin muson tenggara terjadi penyebaran massa
air perairan Indonesia Timur ke perairan Indonesia bagian barat dan sebaliknya
terjadi pada saat bertiup angin muson barat laut. Dengan demikian sirkulasi
massa air dan percampuran massa air akan mempengaruhi produktivitas primer
suatu perairan. Tingginya produktivitas
suatu perairan akan berhubungan dengan daerah asal dimana massa air di
peroleh. Nontji (1974) dalam Monk
et al. (1997) mengatakan bahwa
rata-rata konsentrasi klorofil-a di perairan Indonesia kira-kira 0,19 mg/m3
dan 0,16 mg/m3 selama Musim Barat, dan 0,21 mg/m3 selama
Musim Timur.
Selain
beberapa faktor fisik di atas, keberadaan lapisan termoklin sangat mendukung
tingginya laju produktivitas produksi primer. Bagian bawah dari lapisan
tercampur atau bagian atas dari lapisan termoklin merupakan daerah yang
memiliki konsentrasi nutrien yang cukup tinggi sehingga dapat merangsang
meningkatnya produktivitas primer.
Lapisan termoklin yang dangkal lebih berperan dalam menunjang
produktivitas perairan. Karena pada saat
terjadinya proses percampuran vertikal, nutrien pada lapisan termoklin lebih
mudah mencapai lapisan permukaan tercampur jika dibandingkan dengan lapisan
termoklin yang lebih dalam. Beberapa
penelitian tentang produktivitas primer dalam kaitannya dengan keberadaan massa
air menyimpulkan bahwa kedalaman dimana konsentrasi klorofil-a maksimum adalah
pada bagian batas atas lapisan termoklin.
Matsuura et al. (1997) dari
hasil pengamatannya di timur laut Lautan Hindia mendapatkan bahwa konsentrasi
klorofil-a pada lapisan permukaan tercampur sangat sedikit dan mulai meningkat
menuju bagian bawah dari lapisan permukaan tercampur dengan konsentrasi
maksimum terdapat pada kedalaman kira-kira 75 – 100 m. Sedangkan Hendiarti dkk. (1995) mengatakan bahwa konsentrasi
maksimum klorofil-a di perairan selatan Pulau Jawa – Bali berada pada kedalaman
20 m pada Musim Timur dan 80 m pada Musim Barat. Umumnya kedalaman tersebut
merupakan batas atas lapisan termoklin.
Karaktersitik
massa air perairan Indonesia umumnya dipengaruhi oleh sistem angin muson yang
bertiup di wilayah Indonesia dan adanya arus lintas Indonesia (arlindo) yang
membawa massa air Lautan Pasifik Utara dan Selatan menuju Lautan Hindia. Pengaruh tersebut mengakibat suhu permukaan
perairan Indonesia lebih dingin dengan salinitas yang lebih tinggi sebagai
pengaruh terjadinya upwelling di beberapa daerah selama musim timur dan juga
akibat dari masuknya massa air Lautan Pasifik, sedangkan pada musim barat, suhu
permukaan perairan lebih hangat dengan salinitas yang lebih rendah. Rendahnya
salinitas akibat pengaruh massa air dari Indonesia bagian barat yang banyak
bermuara sungai-sungai besar.
Selama musim timur,
dibeberapa bagian dari perairan Indonesia mengalami upwelling dan percampuran
massa air yang mengakibatkan terjadinya pengkayaan nutrien pada lapisan
permukaan tercampur dan mengakibatkan tingginya produktivitas primer perairan
bila dibandingkan dengan musim barat.
Faktor-faktor
oseanografi yang sangat berperan dalam mendukung tingginya produktivitas
perairan Indonesia adalah upwelling, percampuran massa air secara
vertikal dan horisontal, yang terjadi sebagai akibat adanya sistem pola angin
muson yang bertiup di wilayah Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Bakti,
M. Y., 1998. Dinamika Perairan di Selatan Jawa Timur – Bali pada Musim Timur
1990. Tesis. Institut Pertanian Bogor.
Brown, J., A. Colling, D. Park,
J. Phillips, D. Rothery, J. Wright, 1989. Ocean Chemistry and Deep Sea
Sediments. Open University.
Chavez, F. P., and R. T. Barber,
1987. An Estimate of New Production in the Equatorial Pacific. Deep-Sea Res., 34:1229-1243.
Cullen, J. J., M. R. Lewis, C. O.
Davis, and R. T. Barber, 1992. Photosynthetic Characteristics and Estimated
Growth Rates Incate Grazing is the Proximate Control of Primary Production in
the Equatorial Pacific. J. Geophys. Res.,
97 (C1): 639 – 654.
Fieux, M., C. Andrie, E.
Charriaud, A. G. Ilahude, N. Metzl, R. Molcard, and J. C. Swallow, 1996 a. Hydrological
and Chlorofluoromenthane Measurements of the Indonesian Throughflow Entering
the Indian Ocean. J. Geophys. Res.,
101 (C5): 12,433 – 12,454.
Fieux, M., R. Molcard, and A. G.
Ilahude, 1996 b. Geostrophic Transport of the Pacific – Indian Oceans Througflow.
J. Geophys. Res., 101 (C5): 12,421 –
12,432.
Gordon, A., 1986. Interocean
Exchange of Thermocline Water. J.
Geophys. Res., 91, 5037 – 5046.
Gordon, A. L., A. Ffield, and A.
G. Ilahude, 1994. Thermocline of the Flores and Banda Seas. J. Geophys. Res., 99, 18,235 – 18,242.
Hendiarti, N., S. I. Sachoemar,
A. Alkatiri, dan B. Winarno, 1995. Pendugaan Lokasi Upwelling di Perairan
Selatan P. Jawa – Bali Berdasarkan Tinjauan Parameter Fisika Oceanografi dan
Konsentrasi Klorofil-a. Prosiding Seminar Kelautan Nasional 1995. Panitia
Pengembangan Riset dan Teknologi Kelautan serta Industri Maritim, Jakarta.
Ilahude, A. G., and A. L. Gordon,
1996. Thermocline Stratification within the Indonesian Seas. J. Geophys. Res., 101 (C5): 12,401 –
12,420.
Levinton, J. S., 1982. Marine Ecology. Printice – Hall inc.
Lukas R., and E. Lindstrom, 1991.
The Mixed Layer of the Western Equatorial Pacific Ocean. J. Geophys. Res., 96: 3343 – 3357.
Matsuura, M., T. Sugimoto, M.
Nakai, and S. Tsuji, 1997. Oceanographic Conditions near the Spawning Ground of
Southern Bluefin Tuna: Northeastern Indian Ocean. J. Oceanogr., 53: 421 – 433.
McPhaden, and S. P. Hayes, 1991.
On the Variability of Winds, Sea Surface Temperature, and Surface Layer Heat
Content in the Western Wquatorial Pacific. J.
Geosphys. Res. 96: 3331 – 3342.
Molcard, R., M. Fiuex, and A. G.
Ilahude, 1996. The Indo – Pacific Throughflow in the Timor Passage. J. Geophys. Res., 101 (C5): 12,411 –
12,420.
Monk, K. A., Y. de Fretes, and G.
Reksodiharjo-Lilley, 1997. The Ecology of Nusa Tenggara and Maluku. The Ecology
of Indonesia Series. Vol. V. Periplus Editions.
Naulita, J., 1998. Karakteristik
Massa Air Pada Perairan Lintasan Arlindo. Tesis. Program Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Nontji, A., 1975. Distribution of
Chlorophyll-a in the Banda Sea by the End of Upwelling Season. Marine Research
in Indonesia, 14:49-59.
Nontji, A., 1993. Laut Nusantara. Penerbit Jembatan,
Jakarta.
Parsons, T. R., M. Takashi, and
B. Hargrave, 1984. Biological Oceanography Process. Third Edition. Pergamon
Press, New York.
Schalk, P. H., 1987. Monsoon –
Related Changes in Zooplankton Biomass in the Eastern Banda Sea and Aru Basin. Biol. Oceanogr., 5: 1 – 12.
Tisch, T. D., S. R. Ramp, and C.
A. Collins, 1992. Observations of the Geostrophic Current and Water Mass
Characteristics off Point Sur, California, From May 1988 through November 1989,
J. Geophys. Res. 97 (C8): 12,355 –
12,555.
Tomascik, T., A. J. Mah, A.
Nontji, and M. K. Moosa, 1997 a. The Ecology of the Indonesian Seas. Part One.
The Ecology of Indonesian Series. Vol. VII. Periplus Editions (HK) Ltd.
Tomascik, T., A. J. Mah, A.
Nontji, and M. K. Moosa, 1997 b. The Ecology of the Indonesian Seas. Part Two.
The Ecology of Indonesian Series. Vol. VIII. Periplus Editions (HK) Ltd.
Tubalawony, S., 2000.
Karakteristik Fisik-Kimia dan Klorofil-a Laut Timor. Tesis. Institut
Pertanian Bogor.
Valiela, I., 1984. Marine
Ecological Processes. Library of Congress Catalogy in Publication Data, New
York, USA.
Vosjan, J. H., and G. Nieuwland,
1987. Microbial Biomass and Respiratory Activity in the Surface Waters of the
East Banda Sea and Northwest Arafura Sea (Indonesia) at the Time of the
Southeast Monsoon. Limnol. Oceanogr.
33 (3): 767 – 775.
Wyrtki, K., 1961. Physical
Oceanography of the Southeast Asean Waters, NAGA
Rep. 2. Scripps Inst. of
Oceanography La jolla, Calif.