Posted 29 May 2001 [RCT]

 

© 2001.  Sukarman                                                               Posted  28 May 2001  (rudyct)

Makalah Falsafah Sains (PPs 702)   

Program Pasca Sarjana / S3

Institut Pertanian Bogor

Juni 2001

 

Dosen:

Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)

Prof Dr Ir Zahrial Coto

 

 

EVALUASI SUMBER DAYA LAHAN DAN AIR UNTUK PENGEMBANGAN

TANAMAN PANGAN DI PULAU FLORES, NUSA TENGGARA TIMUR

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Oleh:

 

SUKARMAN

NRP  P.026 00005/TNH
E-mail: skm_kartawisastra@yahoo.com

 

 

 

 

 

 

 

ABSTRAK

 

Peran Pulau Jawa sebagai penghasil pangan terbesar di Indonesia makin menurun karena kompetisi penggunaan lahan dan pelandaian produktivitas.  Oleh karena itu perlu dicari lahan-lahan di luar Pulau Jawa yang berpotensi untuk pengembangan tanaman pangan.  Salah satu  alternatif untuk pengembangan tanaman pangan adalah di Pulau Flores, Propinsi Nusa Tenggara.  Untuk mendapatkan lahan-lahan yang paling sesuai bagi pengembangan tanaman pangan, maka telah dilakukan evaluasi lahan terhadap tanah-tanah di Pulau Flores.   Evaluasi dilakukan secara desk work.   Tujuan penelitian ini adalah  untuk memberikan informasi dan membahas potensi lahan, ketersediaan lahan serta ketersediaan air  untuk pengembangan tanaman pangan (padi sawah dan tanaman pangan lahan kering) di Pulau Flores. Hasil penelitian mendapatkan bahwa di pulau tersebut masih tersedia lahan untuk pengembangan padi sawah dan tanaman pangan lahan kering masing-masing seluas 41.220 ha dan 67.790 ha.  Kendala utama yang paling sulit diatasi dalam pemanfaatan lahan tersebut adalah kurangnya ketersediaan air untuk pertumbuhan tanaman.  Hasil kajian menunjukkan bahwa potensi ketersediaan air dari curah hujan dan air permukaan masih memungkinkan untuk pengembangan tanaman pangan, disertai dengan memanfaatkan teknologi budidaya hemat air.

 

Kata kunci : Evaluasi  sumber daya lahan, ketersediaan lahan dan air, tanaman pangan, Flores.

 

 

 

 

PENDAHULUAN

 

            Pangan adalah salah satu kebutuhan dasar manusia yang paling pokok.  Oleh karena itu perlu diupayakan agar bahan pangan harus tersedia cukup, dan terbeli oleh masyarakat.  Selain itu bahan pangan sebaiknya bermutu tinggi, menyehatkan, bebas dari bahan-bahan yang membahayakan kesehatan, nyaman dan enak untuk dikonsumsi (Karama, 2000).  Tanaman pangan adalah tanaman yang menghasilkan bahan pangan, yaitu tanaman yang menghasilkan karbohidrat, diantaranya adalah: padi, jagung, sagu, sorgum dan kacang-kacangan.

            Beberapa masalah dan tantangan yang masih akan dihadapi dalam penyediaan pangan di Indonesia antara lain: (1) Peran Pulau Jawa sebagai penghasil pangan terbesar di Indonesia makin menurun karena sistem penggunaan sumber daya pertanian terutama lahan dan air semakin kompetitif dan telah berada pada kondisi pelandaian produktivitas, (2) lahan yang tersedia untuk perluasan areal di luar Pulau Jawa mempunyai sifat yang kurang menguntungkan atau marjinal sehingga memerlukan teknologi yang tepat (Las et al., 1998). Untuk mengatasi permasalahan tersebut, perlu dicari lahan‑lahan di luar Pulau Jawa bagi pengembangan tanaman pangan serta mengidentifikasi faktor‑faktor pembatasnya sehingga dapat dicarikan alternatif pemecahannya.

            Untuk mengetahui lahan yang sesuai dan potensial bagi bagi pengembangan tanaman pangan, perlu dilakukan penelitian evaluasi lahan.  Evaluasi lahan adalah menentukan nilai suatu lahan untuk tujuan penggunaan tertentu dalam hal ini adalah untuk tanaman pangan.   Melalui penelitian ini akan dapat diketahui kesesuaian lahan serta kendala-kendalanya.  Kelas kesesuaian lahan pada prinsipnya ditentukan oleh kecocokan antara kualitas/karakteristik lahan yang terdiri dari keadaan iklim, tanah, terrain dan sifat fisik lingkungan lainnya dengan persyaratan tumbuh tanaman  (Djaenudin, 1995) atau dengan persyaratan penggunaan lahan (Sys et al., 1993).          Pulau Flores daratan di Propinsi Nusa Tenggara Timur seluas 1,4 juta ha, merupakan salah satu wilayah di Kawasan Timur Indonesia yang mempunyai potensi untuk pengembangan lahan pertanian.  Data potensi sumber daya lahan Pulau Flores pada tingkat tinjau (reconnaissance) skala 1 : 250.000  menunjukkan bahwa dari luas pulau tersebut, 915.000 ha atau 65,2 persen tergolong potensial untuk pengembangan tanaman pangan, perkebunan, hortikultura dan peternakan dengan berbagai faktor pembatas (Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 1997).

            Di Pulau Flores kondisi iklim kering/ketersediaan air yang rendah merupakan faktor pembatas utama yang sulit ditanggulangi.  Menurut Sibuea dan Pramudia (1997) iklim sering dianggap sebagai faktor penghambat yang sifatnya permanen karena secara makro sulit dimodifikasi.  Iklim dengan berbagai unsurnya sering menjadi faktor yang dapat menurunkan tingkat kesesuaian lahan di tingkat atas.  Karena sifatnya yang permanen tersebut, sehingga dapat menutup peluang bagi pengembangan komoditi tertentu.

            Tulisan ini bertujuan untuk memberikan informasi dan membahas potensi lahan, ketersediaan lahan serta ketersediaan air  untuk pengembangan tanaman pangan (padi sawah dan tanaman pangan lahan kering) di Pulau Flores.

 

METODOLOGI

 

Untuk melakukan evaluasi sumberdaya lahan diperlukan data sumber daya lahan.  Data sumber daya lahan Pulau Flores diperoleh dari hasil pemetaan tanah tingkat tinjau, skala 1: 250.000 (Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 1997). Penilaian kelas kesesuaian lahan untuk tanaman pangan mengacu kepada kriteria dari Atlas Format  Procedures (CSR/FAO Staff, 1983)  dilengkapi oleh Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan yang dikeluarkan oleh Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat  (Djaenudin  et al., 1993).   Evaluasi lahan dilakukan untuk dua kelompok tanaman pangan utama yaitu: (1) tanaman pangan lahan basah (padi sawah) dan (2) tanaman pangan lahan kering (jagung, sorgum dan kacang-kacangan).  Evaluasi lahan dilakukan secara single value, artinya setiap wilayah yang dievaluasi untuk masing-masing jenis komoditas secara terpisah.  Jadi pada lahan yang sama ada kemungkinan sesuai untuk satu atau beberapa jenis komoditas, tergantung dari kecocokan  data kualitas/karakteristik lahan dengan persyaratan tumbuh dari tanaman yang dievaluasi.  Kelas kesesuaian lahan ditetapkan dengan cara matching antara data kualitas/karakteristik lahan dari setiap satuan peta tanah dengan kriteria kelas kesesuaian lahan untuk masing-masing kelompok tanaman pangan yang dievaluasi

            Penetapan tingkat potensi lahan didasarkan kepada proporsi kesesuaian lahannya. Penetapan tingkat potensi lahan dimaksudkan untuk mempermudah dalam memilih prioritas bagi pengembangan komoditas yang dievaluasi.  Lahan yang berpotensi tinggi merupakan prioritas utama untuk dikembangkan, karena mempunyai kendala relatif mudah untuk ditanggulangi, sehingga untuk mencapai produksi yang optimal mempunyai peluang cukup besar.  Lahan berpotensi tinggi adalah lahan‑lahan yang mempunyai proporsi kelas kesesuaian cukup sesuai (S2) lebih dari 75% atau kelas cukup sesuai (S2) antara 50 ‑ 75% dan sesuai marjinal (S3) antara 25 ‑ 49.  Lahan yang tersedia dihitung berdasarkan luas lahan yang berpotensi tinggi dikurangi dengan lahan tersebut yang sudah digunakan untuk penggunaan lain.

            Potensi ketersediaan air suatu wilayah dapat diperkirakan dari curah hujan yang kemudian terpilah menjadi air permukaan dan air bumi.  Selain itu, potensi sumberdaya air secara kumulatif pada suatu tapak dapat pula memperhitungkan suplesi air bumi (deepth water) yang dapat dimanfaatkan melalui pompanisasi.  Kualitas air permukaan untuk irigasi didasarkan kepada kriteria dari FAO (1989).  Kriteria kebutuhan air irigasi untuk padi sawah berdasarkan kepada kriteria Badan Litbang Pertanian (1998) dan Oldeman et al., (1980).  Sedangkan  kebutuhan air untuk tanaman pangan lahan kering berdasarkan kriteria dari FAO dan CSRI (1981 dalam Badan Litbang Pertanian, 1998)

 

 

POTENSI DAN KETERSEDIAAN SUMBER DAYA LAHAN

 

            Potensi lahan untuk pertanian sangat ditentukan oleh faktor iklim, tanah dan terrain dalam kaitannya dengan persyaratan tanaman pangan (FAO, 1976).  Hasil evaluasi mendapatkan bahwa Pulau Flores mempunyai tingkat potensi lahan untuk tanaman pangan tergolong sangat rendah sampai tinggi.  Untuk tanaman padi sawah, lahan berpotensi tinggi seluas 64.940 ha, berpotensi sedang seluas 38.100 ha, berpotensi rendah seluas 88.300 ha, dan berpotensi sangat rendah seluas 1.212.960 ha.  Sedangkan untuk tanaman pangan lahan kering, lahan berpotensi tinggi seluas 198.220 ha, berpotensi sedang seluas 26.040 ha, berpotensi rendah seluas 59.980 ha, dan berpotensi sangat rendah seluas 1.120.060 ha.  Menurut Djaenudin (1995) tingkat potensi lahan ditentukan oleh proporsi kelas kesesuaian lahannya.   Sedangkan kelas kesesuaian lahan ditentukan oleh kualitas lahan dan atau karakteristik lahan yang merupakan faktor pembatas paling sulit dan atau secara ekonomis tidak dapat diatasi/ diperbaiki. 

            Tabel 1 menyajikan tingkat potensi lahan dan luas lahan pengembangan untuk tanaman pangan di Pulau Flores.  Luas lahan pengembangan diperoleh dari lahan berpotensi tinggi dikurangi dengan penggunaan lahan saat ini (sawah, ladang, kebun campuran, perkebunan dll).  Dipilihnya lahan berpotensi tinggi untuk lahan pengembangan karena lahan ini mempunyai kendala yang relatif mudah untuk ditanggulangi, sehingga untuk mencapai produksi yang optimal mempunyai peluang cukup besar.  Lahan ini  layak dipilih sebagai prioritas utama untuk lahan pengembangan tanaman pangan.

            Lahan yang berpotensi tinggi untuk tanaman padi sawah umumnya terletak di dataran aluvial dari lembah sungai besar dan mempunyai lereng kurang dari lima persen.  Tanahnya terdiri dari tanah-tanah yang berdrainase buruk atau mempunyai rejim kelembaban tanah aquic atau berdrainase sedang dari Ordo Entisols, Inceptisols, Vertisols, dan Mollisols.  Untuk daerah yang mempunyai fasilitas irigasi,  lahan ini sudah berkembang menjadi pesawahan irigasi seperti di daerah Lembor, Soa, Maurole, Magepanda dan Mbay.  Sedangkan lahan yang belum mempunyai fasilitas irigasi,  masih berupa semak belukar atau digunakan untuk tanaman pangan lahan kering dengan perbaikan drainase.  Lahan ini masih memungkinkan digunakan untuk pesawahan karena potensi air irigasi masih memungkinkan.   Salah satu contoh adalah di dataran Mbay masih memungkinkan untuk dikembangkan menjadi pesawahan irigasi seluas lebih kurang 3.000 ha dari 3.500 ha pesawahan irigasi yang sudah ada.  Kapasitas bendungan di lokasi tersebut (Bendungan Sutami) masih memungkinkan tetapi saluran irigasi ke daerah ini belum dibangun (Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 1996).

 

 

 

Tabel 1. Luas lahan potensial dan lahan pengembangan untuk tanaman pangan lahan kering

================================================================

Tipe penggunaan           Lahan berpotensi              Lahan yang                           Lahan

lahan                            tinggi                            sudah dikembangkan                tersedia

________________________________________________________________________

........................................... ha ................................................

 

Padi sawah                        64.940                            23.720                            41.220

 

Tanaman pangan              198.220                          130.430                            67.790

lahan kering

________________________________________________________________________

 

 

            Lahan yang berpotensi tinggi untuk tanaman pangan lahan kering sebagian besar terdapat di daerah dataran aluvial atau daerah peralihan antara dataran dan perbukitan.  Tanahnya terdiri dari tanah berdrainase baik, tekstur berlempung atau berliat kadang-kadang berkerikil.  Ordo tanahnya tergolong Inceptisols, Alfisols, Molllisols, Vertisols dan Ultisols. Umumnya mempunyai lereng kurang dari 8% atau kelas kesesuaiannya tergolong cukup sesuai (proporsinya 50-75%), sebagian lagi (25-49%) terdapat pada lahan yang berlereng antara 8-15% atau kelas kesesuaiannya tergolong marjinal.  Pengembangan tanaman pangan lahan kering ini tidak hanya terbatas pada lahan kering (upland), tetapi dapat juga dilakukan pada lahan yang berpotensi tinggi untuk tanaman padi sawah.  Lahan tersebut umumnya berdrainase buruk, untuk itu keadaan genangan atau air tanah dangkal perlu didrainase, sehingga tercipta media pertumbuhan yang baik.  Pengembangan tanaman pangan lahan kering tersebut dapat dilakukan pada saat lahan tidak memungkinkan disawahkan yaitu menjelang musim kemarau, karena curah hujan mulai rendah dan air tanah mulai dalam.  

 

 

POTENSI KETERSEDIAAN AIR

 

Curah Hujan

            Unsur iklim yang langsung berhubungan dengan ketersediaan air bagi tanaman adalah curah hujan.  Curah hujan rata‑rata tahunan di Pulau Flores bervariasi dari 820 mm (Borong) sampai 3.700 mm (Detusoko).  Curah hujan rata‑rata tahunan lebih dari 2.000 mm hanya terdapat di dataran tinggi Kabupaten Manggarai (Flores Barat) yang diwakili oleh stasiun Ruteng, Pagal, Detusoko dan Rekas, sedangkan di daerah lainnya mempunyai rata‑rata curah hujan kurang dari 1.500 mm.  Zone agroklimatnya sebagian besar menunjukkan zone agroklimat yang kering yaitu E4, E3, D4, dan D3, sedangkan beberapa tempat tergolong C3, C2 dan B1 yang relatif lebih basah (Tabel 2). 

 

 

Tabel 2.      Curah hujan, periode air tersedia, periode air tidak tersedia dan zone agroklimat di Pulau Flores 

 

================================================================

Stasiun              Ketinggian  Curah hujan   _            Jumlah bulan         _        Zone

                            (dpl)           (mm)           >200mm   >100mm  <100 mm    Agroklimat

________________________________________________________________________

 

Aimere                    3           1.015                0               4              8                 E4

Borong                 10              820                0               3              9                 E4

Ende                     10           1.508                1               6              4                 E3

Larantuka             10           1.317                2               4              7                 E4

Danga                   25              822                0               2            10                 E4

Maumere              25           1.206                2               5              7                 E4

Ledolero             325           1.353                3               6              6                 D3

Boru                   400           1.856                5               6              6                 C3

Rekas                 500           2.637                6               8              3                 C2

Waepana            500           1.210                3               5              7                 D4

Detusoko            650           3.700                8               9              1                 B1

Pagal                  900           3.610                6               9              3                 C2

Bajawa            1.175           1.872                6               6              6                 C3

Ruteng             1.200           3.070                7             11              1                 B1

________________________________________________________________________

Sumber : Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (1997)

 

            Kecuali di dataran tinggi Kabupaten Manggarai, sebagian besar Pulau Flores mempunyai bulan‑bulan kering (curah hujan < 100 mm/bulan) antara 4 ‑ 10 bulan dan mempunyai bulan‑bulan basah (curah hujan > 200 mm/bulan) < 5 bulan dan umumnya kurang dari 3 bulan.   Melihat kondisi curah hujan yang rendah tersebut sebagian besar wilayah Pulau Flores termasuk wilayah yang rawan kekeringan disertai dengan sering terjadinya penyimpangan iklim dengan curah hujan di bawah normal dan bersifat erratic.

 

Air Permukaan

 

            Berdasarkan hasil pengamatan Direktorat Bina Program Pengairan PU (1981) pada 21 daerah aliran sungai di Pulau Flores, total debit air air sungai yang ada sebanyak 8.516x106 m3/tahun (Tabel 3) atau setara dengan 23,3x106 m3/hari.  Meskipun debit air tersebut terbatas, namun sebagian besar terbuang ke laut.   Dengan perkiraan bahwa kebutuhan air lahan sawah adalah 72-102 m3/ha/hari dan luas sawah irigasi 24.107 ha, maka air permukaan yang dimanfaatkan untuk irigasi baru sekitar 10 persen.  Untuk memanfaatkan air permukaan secara optimal bagi kepentingan irigasi, diperlukan penampung air dalam bentuk waduk atau embung disamping bendungan irigasi yang ada sekarang.   Sedangkan berdasarkan kriteria dari FAO (1989) air di beberapa sungai utama di Pulau Flores mempunyai kualitas yang baik untuk irigasi (Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 1997;  Sukarman et al., 1998).

 

 

Tabel 3.  Besarnya debit tahunan (m3/tahun) pada tiap DAS di Pulau Flores.

=================================================================================

No.          Nama DAS                       Debit                                 No           Nama DAS                          Debit

______________________________________________________________________________________________

                                                    m3/thx106                                                                                    m3/thx106

1.      Cunga Dangka                          400                             12.       Lowo Rea                                     497

2.      Wai Jamal                                 772                             13.       Nanga Panda                                510

3.      Wai Nggae                                234                             14.       Lowo Dondo                                221

4.      Wai Pesi                                1.099                             15.       Wai Wajo                                     119

5.      Wai Meseh                               480                             16.       Nanga Magepanda                       193

6.      Wai Lak                                    446                             17.       Wai Doing                                    211

7.      Wai Tonggong                          675                             18.       Wai Gete                                      122

8.      Wai Buntal                               300                             19.       Nanga Gete                                  198

9.      Wai Moke                                563                             20.       Nebe                                             239           

10.    Wai Roea                                  186                             21.       Konga                                           327

11.    Ae Sesa                                     724

______________________________________________________________________________________________

Total                                                                                                                                                  8.516

______________________________________________________________________________________________

Sumber : Direktorat Bina Program Pengairan PU (1981)

 

Kebutuhan Air Lahan Sawah

 

            Kebutuhan air optimal pada kebanyakan sawah di Indonesia adalah 7,2-10,2 mm/hari atau setara 72-102 m3/ha/hari.  Jika dengan sistem irigasi bergilir (intermitten irrigation) yang memperkecil laju perkolasi, maka kebutuhan air tersebut masih dapat dikurangi hingga 46-68 m3/ha/hari (Badan Litbang Pertanian, 1998).  Sedangkan Oldeman et al., (1980) memprediksi bahwa kebutuhan air lahan sawah setara dengan curah hujan > 200 mm/bulannya.  Menurut Las et al. (1998) selama periode terjadinya bulan-bulan dengan curah hujan > 200 mm merupakan periode air tersedia bagi tanaman padi sawah.

 

            Di dataran tinggi Kabupaten Manggarai dan sekitar kota Bajawa (Kabupaten Ngada) periode air tersedia bagi tanaman padi sawah bervariasi antara 6-8 bulan berturut-turut.  Di daerah ini padi berumur genjah masih dapat diusahakan dengan mengandalkan air hujan selama 1 sampai 2 musim tanam.  Namun karena topografi berbukit/bergunung, maka untuk pengembangan pesawahan tergolong kecil dan tingkat potensi lahannyapun tergolong rendah sampai sangat rendah.

            Untuk daerah lainnya periode air tersedia bagi tanaman padi sawah umumnya kurang dari 3 bulan, sehingga untuk tanaman padi genjahpun kebutuhan airnya tidak dapat terpenuhi.  Mengingat keterbatasan tersebut, maka kebutuhan air di daerah ini banyak mengandalkan air irigasi.  Sentra-sentra produksi padi di Pulau Flores seperti di Lembor, Soa, dan Mbay mengandalkan air irigasi dari sungai-sungai yang ada di daerah tersebut.  Luas areal sawah irigasi di Pulau Flores adalah 24.107 ha, terdiri atas: irigasi teknis (6.394 ha), irigasi setengah teknis (7.192 ha) dan irigasi sederhana (10.521 ha) (Biro Pusat Statistik, 1995). 

 

Kebutuhan Air Lahan Kering

 

            Kebutuhan air pada lahan kering umumnya setara dengan laju evapotranspirasi potensial (pada kondisi air tanah tersedia), yang nilainya di Indonesia berkisar 2,7-7,0 mm/hari.  Secara praktis berbagai pakar menetapkan kebutuhan air pada lahan kering adalah 75-100 mm/bulan dengan asumsi bahwa laju evapotranspirasi hanya 2,5-3,0 mm/hari (FAO dan CSRI, 1981 dalam Badan Litbang Pertanian, 1998).  Kemudian oleh Oldeman et al. (1980), disetarakan dengan 100-200 mm curah hujan per bulan setelah mempertimbangkan peluang kejadian hujan dan tidak semua curah hujan efektif digunakan.  Periode bulan-bulan yang mempunyai curah hujan > 100 mm per bulannya merupakan periode air tersedia bagi tanaman pangan lahan kering.

            Di dataran tinggi kabupaten Manggarai dan sekitar Bajawa (Kabupaten Ngada) periode air tersedia bagi tanaman pangan lahan kering bervariasi dari 6 sampai 11 bulan.  Dengan demikian pada daerah ini tanaman pangan lahan kering masih bisa ditanaman sekurang-kurangnya untuk 2 musim tanam dalam setahunnya.   Namun mengingat ketinggian tempat dan tingkat potensi lahannya rendah, maka luas lahan untuk pengembangan tanaman pangan di daerah ini relatif kecil, sedangkan jenis atau varietasnya perlu disesuaikan dengan ketinggian tempat.

            Lahan-lahan di daerah lainnya mempunyai periode air tersedia bagi tanaman pangan selama 3-5 bulan dan kurang dari 3 bulan.  Lahan-lahan yang mempunyai periode air tersedia kurang dari 3 bulan sebagian besar berada di pantai utara bagian tengah, yaitu meliputi daerah Danga dan Riung di Kabupaten Ngada.  Kondisi tersebut di atas mengindikasikan sebagian wilayah di Pulau Flores masih dapat diusahakan tanaman pangan satu kali musim tanam dalam setahun, tetapi sebagian lagi tidak dapat diusahakan satu kali tanampun dalam satu tahunnya.

 

Upaya Pemecahan Masalah

 

            Usaha‑usaha untuk menghindari/mengurangi cekaman kekeringan pada tanaman adalah melalui usaha konservasi air tanah, pemanenan air selama musim hujan, pemilihan waktu tanam yang tepat, pola tanam dan penggunaan varietas tahan kekeringan, pengendalian gulma, mempersingkat waktu pengolahan tanah yang dapat memperpanjang musim tanam, penerapan teknologi zero tillage/minimum tillage, membangun fasilitas irigasi, maupun pompanisasi dan penghijauan (Baharsyah, 1997).

            Konservasi air lebih diarahkan kepada pencegahan atau penekanan laju dan volume aliran air permukaan pada lahan berlereng sekaligus sebagai upaya konservasi tanah.  Oleh sebab itu teknologi yang dikembangkan dalam penelitian sistem usaha tani konservasi pada lahan kritis bertujuan untuk meningkatkan produktivitas lahan sekaligus mengkonservasi tanah dan air (Baharsyah et al., 1997).  Hasil penelitian Yusuf et al., (1994) tentang sistem usahatani alley cropping di Kabupaten Sikka, Flores diperoleh kesimpulan bahwa usahatani tersebut selain berfungsi sebagai usaha konservasi tanah dan air tetapi juga dapat meningkatkan pendapatan petani.

            Berdasarkan kebutuhan dan sistem pengelolaan air mikro, sistem usahatani tanaman pangan dibedakan atas sistem lahan basah (sawah) yang dalam pengelolaannya status air berada di atas kapasitas lapang dan sistem lahan kering atau gogo dengan status lengas tanh berada di bawah kapasitas lapang.  Selanjutnya sistem campuran yang merupakan gabungan kedua sistem di atas baik secara temporal (gogorancah) maupun secara spasial (surjan).  Secara kualitatif (makro) langkah dini penetapan pola tanam adalah berdasarkan pola hujan bulanan dan/atau tipe agroklimat masing‑masing wilayah seperti disajikan dalam Tabel 4.

 

Tabel 4.    Alternatif pola tanam pada sawah tadah hujan dan lahan kering berdasarkan zone agroklimat.

 

===================================================================

Zone                                      Musim                   Intensitas                  Alternatif

Agroklimat    (bulan)1                            tanam                               pola tanam2

_______________________________________________________________________

 

E4                                            3-5                         1                      GP

D4 (C4)                                   3-5                         1-2                   GP (SW) (GR)

E3                                            5-8                         < 2                   GP/GP

C3,D3                                      6-8                         < 2                   GP/GR (SW)

E1,E2                                       > 9                          2-3                   GP/GR (GP)/GP              

D1,D2,C2                                > 9                          2-3                   GP/GR (GP)/GP

B1,B2,C1                                 > 9                          2-3                   GP/SW (GP)/SW (GP)

_______________________________________________________________________

1. Curah hujan > 100 mm/bulan

2. GP = padi gogo atau palawija, GR = gogorancah, SW = padi sawah.

Sumber : Las et al. (1997)

 

 

            Sementara itu Fagi dan Manwan (1997) mengemukakan bahwa untuk menanggulangi masalah kekeringan pada lahan irigasi dan tadah hujan dapat dilakukan dengan dua pendekatan yaitu pendekatan sistem produksi dan komoditas.   Untuk lahan irigasi, pendekatan sistem produksi dapat dilakukan melalui sistem tanam padi gogorancah, sistem tanam padi sebar langsung pada lahan basah, dan ketepatan waktu tanam.  Sedangkan pendekatan komoditas dapat dilakukan melalui efisiensi sistem pendistribusian air irigasi, efisiensi penggunaan air antara lain memilih varietas hemat air.

            Untuk lahan tadah hujan pendekatan sistem produksi dapat dilakukan melalui konservasi air hujan dengan embung, dan pompanisasi.  Sedangkan pendekatan komoditas dapat dilakukan melalui kesesuaian varietas padi, pemanfaatan potensi ratun dan kesesuaian jenis tanaman pangan. 

            Embung atau tondon air adalah waduk berukuran mikro di lahan pertanian (small farm reservoir) yang dibangun untuk menampung kelebihan air hujan di musim hujan dan menggunakannya jika diperlukan tanaman pada musim kemarau (Syamsiah dan Fagi, 1997).  Teknik pemanenan air demikian sangat cocok bagi ekosistem tadah hujan dengan intensitas dan distribusi hujan yang tidak pasti (erratic) seperti halnya di Pulau Flores.  Pembangunan embung mudah dilaksanakan, tetapi akan kurang berhasil jika beberapa kriteria seperti jenis tanah, kemiringan, tipe curah hujan, ukuran luas daerah tangkapan hujan tidak diperhitungkan.

 

 

KESIMPULAN

 

            Pulau Flores masih mempunyai lahan potensial untuk pengembangan tanaman pangan baik tanaman padi sawah maupun tanaman pangan lahan kering, masing-masing seluas 41.220 ha dan 67.790 ha.

            Faktor ketersediaan air merupakan kendala utama dalam pengembangan tanaman pangan.  Potensi ketersediaan air dari curah hujan dan air permukaan masih memungkinkan untuk mendukung pengembangan tersebut. Sumber daya air perlu dilestarikan dan dimanfaatkan lebih optimal, serta pemanfaatan teknologi budidaya yang hemat air. 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Badan Litbang Pertanian. 1998.  Optimalisasi Pemanfaatan Sumberdaya Alam dan Teknologi untuk Pengembangan Sektor Pertanian Dalam Pelita VII.  Kerjasama Proyek Pembangunan Penelitian Pertanian Nasional dengan Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat.

 

Baharsyah, J.S. 1997.  Teknologi pengawetan air tanah : penggunaan blotong sebagai mulsa alternatif.  Dalam Baharsjah, J.S., S.N. Darwis, I. Las, H. Pawitan, Y. Koesmaryono dan M. Hadad (edt).  Sumber Daya Air dan Iklim dalam Mewujudkan Pertanian Efisien.  Departemen Pertanian-Perhimpi. hal 159‑168.

 

Baharsyah, J.S., R. Boer, Handoko, I. Las, dan A.M. Fagi.  1997. Konsepsi dan teknologi konservasi air pada lahan berlereng.   Dalam Baharsjah, J.S., S.N. Darwis, I. Las, H. Pawitan, Y. Koesmaryono dan M. Hadad (edt).  Sumber Daya Air dan Iklim dalam Mewujudkan Pertanian Efisien.  Departemen Pertanian-Perhimpi. hal. 109‑126.

 

 

Biro Pusat Statistik.  1995.  Luas Lahan Menurut Penggunaannya di Luar P. Jawa.  Biro Pusat Statistik, Jakarta.

 

CSR/FAO Staff.  1983.  Reconnaissance Land Resources Survey. Atlas Format Procedures, 1:250.000 scale.   Center for Soil Research, Bogor.

 

Direktorat Bina Program Pengairan PU.  1981.  Studi Perencanaan Pengembangan Sumber‑sumber Air Wilayah Pulau Flores.  Propinsi Nusa Tenggara Timur. Departemen Pekerjaan Umum, Jakarta.

 

Djaenudin, D., Basuni, K. Nugroho, M. Anda, dan U. Sutrisno.  1993.  Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan.  Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan Litbang Pertanian, Bogor.

 

Djaenudin, D.  1995.  Evaluasi lahan untuk arahan pengembangan komoditas alternatif dalam mendukung kegiatan agribisnis. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Vol. XIV, No.3, 1995, hal. 41‑50.

 

Fagi, A. M. dan I. Manwan.  1997.  Teknologi pertanian dan alternatif penanggulangan dampak negatif kemarau panjang.  Dalam Baharsjah, J.S., S.N. Darwis, I. Las, H. Pawitan, Y. Koesmaryono dan M. Hadad (edt).  Sumber Daya Air dan Iklim dalam Mewujudkan Pertanian Efisien.  Departemen Pertanian-Perhimpi. hal. 355‑375.

 

FAO. 1976.  A Framework for Land Evaluation.  FAO Soil Bulletin 52. Rome Italy.

 

FAO.  1989. Water Quality for Agricultural.  Irrigation and Drainage Paper No. 29. Rev.1. Rome.

 

Karama, S. 2000.  Pendayagunaan lahan untuk produksi tanaman pangan.  Makalah dalam Seminar Nasional Sumberdaya Tanah, Iklim, dan Pupuk.  Cipayung 31 Oktober- 2 Nopember 2000.  Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.

 

Las, I., A.M. Fagi, dan A. Saefudin.  1997.  Penetapan teknologi usahatani dalam penanggulangan kekeringan pada tanaman pangan.  Dalam Baharsjah, J.S., S.N. Darwis, I. Las, H. Pawitan, Y. Koesmaryono dan M. Hadad (edt).  Sumber Daya Air dan Iklim dalam Mewujudkan Pertanian Efisien.  Departemen Pertanian-Perhimpi. hal. 61-71.

 

Las, I., J. S. Adiningsih, S. Silitonga dan S. Nurhakim.  1998.  Ketersediaan dan tren sumberdaya pangan.  Makalah Wydya Karya Nasional Pangan dan Gizi,  Jakarta 17 ‑ 20 Pebruari 1998.

 

Oldeman, L. R., I. Las and Muladi. 1980.  Agroclimatic Maps of Kalimantan, Irian Jaya, Bali, West and East Nusa Tenggara.  Contr. Centr. Res Inst. Agric. Bogor. 

 

Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat.  1996.  Pemetaan Tanah Tingkat Semi Detail Daerah Mbay, Flores, Nusa Tenggara Timur.  Bagian Proyek Penelitian Sumberdaya Lahan dan Agroklimat, Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.  Dok. No. 07/PSLA/ 01.02‑A/96.

 

Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat.  1997. Laporan Pemetaan Tanah Tingkat Tinjau Pulau Flores Nusa Tenggara Timur. Bagian Proyek Penelitian Sumberdaya Lahan dan Agroklimat.  Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan Litbang Pertanian, Bogor.

 

Sibuea, L. dan A. Pramudia.  1997. Penggunaan neraca air dalam evaluasi kesesuaian lahan di Nusa Tenggara Timur.  Studi Kasus Daerah Besikama.  Dalam Baharsjah, J.S., S.N. Darwis, I. Las, H. Pawitan, Y. Koesmaryono dan M. Hadad (edt).  Sumber Daya Air dan Iklim dalam Mewujudkan Pertanian Efisien.  Departemen Pertanian-Perhimpi. hal. 223‑233.

 

Sukarman, Hikmatullah dan U. Sudriatna.  1998.  Peluang pemanfaatan sumber daya lahan untuk meningkatkan produksi pangan di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur.  Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian., Vol. XVII, No.4, 1998, hal 130-137. 

 

Syamsiah, I., dan A.M. Fagi.  1997.  Teknologi Embung.  Dalam Baharsjah, J.S., S.N. Darwis, I. Las, H. Pawitan, Y. Koesmaryono dan M. Hadad (edt).  Sumber Daya Air dan Iklim dalam Mewujudkan Pertanian Efisien.  Departemen Pertanian-Perhimpi. hal. 145-157.

 

Sys, C., E.Van Ranst, J. Debaveye, and E. Beernaert.  1993.  Land Evaluation Part III.  Crop Requirement.  ITC Univ. Ghent. Agric. Publ. No.7.

 

Yusuf, A. Salam Wahid, Djamaluddin dan Ch.J.S. Momuat.  1994.  Penelitian sistem usahatani alley cropping pada zona berbukit bagian selatan. Studi kasus Desa Nitakloang, MT 1992/1993.  Publikasi Wilayah Kering Vol. 2, No. 2, 1994. Proyek Pembangunan Penelitian Pertanian Nusa Tenggara, Badan Litbang Pertanian, hal. 9‑23.