© 2001.
Sukarman Posted 28 May 2001 (rudyct)
Makalah Falsafah
Sains (PPs 702)
Program
Pasca Sarjana / S3
Institut
Pertanian Bogor
Juni 2001
Dosen:
Prof Dr Ir
Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)
Prof Dr Ir
Zahrial Coto
Oleh:
SUKARMAN
ABSTRAK
Peran Pulau Jawa sebagai penghasil pangan terbesar di Indonesia makin menurun karena kompetisi penggunaan lahan dan pelandaian produktivitas. Oleh karena itu perlu dicari lahan-lahan di luar Pulau Jawa yang berpotensi untuk pengembangan tanaman pangan. Salah satu alternatif untuk pengembangan tanaman pangan adalah di Pulau Flores, Propinsi Nusa Tenggara. Untuk mendapatkan lahan-lahan yang paling sesuai bagi pengembangan tanaman pangan, maka telah dilakukan evaluasi lahan terhadap tanah-tanah di Pulau Flores. Evaluasi dilakukan secara desk work. Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan informasi dan membahas potensi lahan, ketersediaan lahan serta ketersediaan air untuk pengembangan tanaman pangan (padi sawah dan tanaman pangan lahan kering) di Pulau Flores. Hasil penelitian mendapatkan bahwa di pulau tersebut masih tersedia lahan untuk pengembangan padi sawah dan tanaman pangan lahan kering masing-masing seluas 41.220 ha dan 67.790 ha. Kendala utama yang paling sulit diatasi dalam pemanfaatan lahan tersebut adalah kurangnya ketersediaan air untuk pertumbuhan tanaman. Hasil kajian menunjukkan bahwa potensi ketersediaan air dari curah hujan dan air permukaan masih memungkinkan untuk pengembangan tanaman pangan, disertai dengan memanfaatkan teknologi budidaya hemat air.
Kata kunci : Evaluasi sumber daya lahan, ketersediaan lahan dan
air, tanaman pangan, Flores.
Pangan adalah salah satu kebutuhan
dasar manusia yang paling pokok. Oleh
karena itu perlu diupayakan agar bahan pangan harus tersedia cukup, dan terbeli
oleh masyarakat. Selain itu bahan pangan
sebaiknya bermutu tinggi, menyehatkan, bebas dari bahan-bahan yang membahayakan
kesehatan, nyaman dan enak untuk dikonsumsi (Karama, 2000). Tanaman pangan adalah tanaman yang
menghasilkan bahan pangan, yaitu tanaman yang menghasilkan karbohidrat,
diantaranya adalah: padi, jagung, sagu, sorgum dan kacang-kacangan.
Beberapa masalah dan tantangan yang
masih akan dihadapi dalam penyediaan pangan di Indonesia antara lain: (1) Peran
Pulau Jawa sebagai penghasil pangan terbesar di Indonesia makin menurun karena sistem
penggunaan sumber daya pertanian terutama lahan dan air semakin kompetitif dan
telah berada pada kondisi pelandaian produktivitas, (2) lahan yang tersedia
untuk perluasan areal di luar Pulau Jawa mempunyai sifat yang kurang
menguntungkan atau marjinal sehingga memerlukan teknologi yang tepat (Las et
al., 1998). Untuk mengatasi permasalahan tersebut, perlu dicari lahan‑lahan
di luar Pulau Jawa bagi pengembangan tanaman pangan serta mengidentifikasi
faktor‑faktor pembatasnya sehingga dapat dicarikan alternatif
pemecahannya.
Untuk mengetahui lahan yang sesuai
dan potensial bagi bagi pengembangan tanaman pangan, perlu dilakukan penelitian
evaluasi lahan. Evaluasi lahan adalah
menentukan nilai suatu lahan untuk tujuan penggunaan tertentu dalam hal ini
adalah untuk tanaman pangan. Melalui
penelitian ini akan dapat diketahui kesesuaian lahan serta
kendala-kendalanya. Kelas kesesuaian
lahan pada prinsipnya ditentukan oleh kecocokan antara kualitas/karakteristik
lahan yang terdiri dari keadaan iklim, tanah, terrain dan sifat fisik
lingkungan lainnya dengan persyaratan tumbuh tanaman (Djaenudin, 1995) atau dengan persyaratan
penggunaan lahan (Sys et al., 1993).
Pulau Flores daratan di
Propinsi Nusa Tenggara Timur seluas 1,4 juta ha, merupakan salah satu wilayah
di Kawasan Timur Indonesia yang mempunyai potensi untuk pengembangan lahan
pertanian. Data potensi sumber daya
lahan Pulau Flores pada tingkat tinjau (reconnaissance)
skala 1 : 250.000 menunjukkan bahwa dari
luas pulau tersebut, 915.000 ha atau 65,2 persen tergolong potensial untuk
pengembangan tanaman pangan, perkebunan, hortikultura dan peternakan dengan
berbagai faktor pembatas (Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 1997).
Di Pulau Flores kondisi iklim kering/ketersediaan air yang rendah merupakan faktor pembatas utama yang sulit ditanggulangi. Menurut Sibuea dan Pramudia (1997) iklim sering dianggap sebagai faktor penghambat yang sifatnya permanen karena secara makro sulit dimodifikasi. Iklim dengan berbagai unsurnya sering menjadi faktor yang dapat menurunkan tingkat kesesuaian lahan di tingkat atas. Karena sifatnya yang permanen tersebut, sehingga dapat menutup peluang bagi pengembangan komoditi tertentu.
Tulisan ini bertujuan untuk memberikan informasi dan membahas potensi lahan, ketersediaan lahan serta ketersediaan air untuk pengembangan tanaman pangan (padi sawah dan tanaman pangan lahan kering) di Pulau Flores.
Penetapan tingkat potensi lahan didasarkan kepada
proporsi kesesuaian lahannya. Penetapan tingkat potensi lahan dimaksudkan untuk
mempermudah dalam memilih prioritas bagi pengembangan komoditas yang
dievaluasi. Lahan yang berpotensi tinggi
merupakan prioritas utama untuk dikembangkan, karena mempunyai kendala relatif
mudah untuk ditanggulangi, sehingga untuk mencapai produksi yang optimal
mempunyai peluang cukup besar. Lahan
berpotensi tinggi adalah lahan‑lahan yang mempunyai proporsi kelas
kesesuaian cukup sesuai (S2) lebih dari 75% atau kelas cukup sesuai (S2) antara
50 ‑ 75% dan sesuai marjinal (S3) antara 25 ‑ 49. Lahan yang tersedia dihitung berdasarkan luas
lahan yang berpotensi tinggi dikurangi dengan lahan tersebut yang sudah
digunakan untuk penggunaan lain.
Potensi
ketersediaan air suatu wilayah dapat diperkirakan dari curah hujan yang
kemudian terpilah menjadi air permukaan dan air bumi. Selain itu, potensi sumberdaya air secara
kumulatif pada suatu tapak dapat pula memperhitungkan suplesi air bumi (deepth water) yang dapat dimanfaatkan
melalui pompanisasi. Kualitas air permukaan
untuk irigasi didasarkan kepada kriteria dari FAO (1989). Kriteria kebutuhan air irigasi untuk padi
sawah berdasarkan kepada kriteria Badan Litbang Pertanian (1998) dan Oldeman et
al., (1980). Sedangkan kebutuhan air untuk tanaman pangan lahan
kering berdasarkan kriteria dari FAO dan CSRI (1981 dalam Badan Litbang
Pertanian, 1998)
POTENSI
DAN KETERSEDIAAN SUMBER DAYA LAHAN
Potensi lahan untuk pertanian sangat
ditentukan oleh faktor iklim, tanah dan terrain dalam kaitannya dengan persyaratan
tanaman pangan (FAO, 1976). Hasil
evaluasi mendapatkan bahwa Pulau Flores mempunyai tingkat potensi lahan untuk
tanaman pangan tergolong sangat rendah sampai tinggi. Untuk tanaman padi sawah, lahan berpotensi
tinggi seluas 64.940 ha, berpotensi sedang seluas 38.100 ha, berpotensi rendah
seluas 88.300 ha, dan berpotensi sangat rendah seluas 1.212.960 ha. Sedangkan untuk tanaman pangan lahan kering,
lahan berpotensi tinggi seluas 198.220 ha, berpotensi sedang seluas 26.040 ha,
berpotensi rendah seluas 59.980 ha, dan berpotensi sangat rendah seluas
1.120.060 ha. Menurut Djaenudin (1995)
tingkat potensi lahan ditentukan oleh proporsi kelas kesesuaian lahannya. Sedangkan kelas kesesuaian lahan ditentukan
oleh kualitas lahan dan atau karakteristik lahan yang merupakan faktor pembatas
paling sulit dan atau secara ekonomis tidak dapat diatasi/ diperbaiki.
Tabel 1 menyajikan tingkat potensi
lahan dan luas lahan pengembangan untuk tanaman pangan di Pulau Flores. Luas lahan pengembangan diperoleh dari lahan
berpotensi tinggi dikurangi dengan penggunaan lahan saat ini (sawah, ladang,
kebun campuran, perkebunan dll).
Dipilihnya lahan berpotensi tinggi untuk lahan pengembangan karena lahan
ini mempunyai kendala yang relatif mudah untuk ditanggulangi, sehingga untuk
mencapai produksi yang optimal mempunyai peluang cukup besar. Lahan ini
layak dipilih sebagai prioritas utama untuk lahan pengembangan tanaman
pangan.
Lahan yang berpotensi tinggi untuk
tanaman padi sawah umumnya terletak di dataran aluvial dari lembah sungai besar
dan mempunyai lereng kurang dari lima persen.
Tanahnya terdiri dari tanah-tanah yang berdrainase buruk atau mempunyai
rejim kelembaban tanah aquic atau
berdrainase sedang dari Ordo Entisols, Inceptisols, Vertisols, dan Mollisols. Untuk daerah yang mempunyai fasilitas
irigasi, lahan ini sudah berkembang
menjadi pesawahan irigasi seperti di daerah Lembor, Soa, Maurole, Magepanda dan
Mbay. Sedangkan lahan yang belum
mempunyai fasilitas irigasi, masih
berupa semak belukar atau digunakan untuk tanaman pangan lahan kering dengan
perbaikan drainase. Lahan ini masih
memungkinkan digunakan untuk pesawahan karena potensi air irigasi masih
memungkinkan. Salah satu contoh adalah
di dataran Mbay masih memungkinkan untuk dikembangkan menjadi pesawahan irigasi
seluas lebih kurang 3.000 ha dari 3.500 ha pesawahan irigasi yang sudah
ada. Kapasitas bendungan di lokasi
tersebut (Bendungan Sutami) masih memungkinkan tetapi saluran irigasi ke daerah
ini belum dibangun (Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 1996).
Tabel 1. Luas lahan
potensial dan lahan pengembangan untuk tanaman pangan lahan kering
================================================================
Tipe penggunaan Lahan berpotensi
Lahan yang Lahan
lahan tinggi sudah dikembangkan tersedia
________________________________________________________________________
...........................................
ha ................................................
Padi sawah 64.940 23.720 41.220
Tanaman pangan 198.220 130.430 67.790
lahan kering
________________________________________________________________________
Lahan
yang berpotensi tinggi untuk tanaman pangan lahan kering sebagian besar terdapat
di daerah dataran aluvial atau daerah peralihan antara dataran dan
perbukitan. Tanahnya terdiri dari tanah
berdrainase baik, tekstur berlempung atau berliat kadang-kadang berkerikil. Ordo tanahnya tergolong Inceptisols,
Alfisols, Molllisols, Vertisols dan Ultisols. Umumnya mempunyai lereng kurang
dari 8% atau kelas kesesuaiannya tergolong cukup sesuai (proporsinya 50-75%),
sebagian lagi (25-49%) terdapat pada lahan yang berlereng antara 8-15% atau
kelas kesesuaiannya tergolong marjinal.
Pengembangan tanaman pangan lahan kering ini tidak hanya terbatas pada
lahan kering (upland), tetapi dapat
juga dilakukan pada lahan yang berpotensi tinggi untuk tanaman padi sawah. Lahan tersebut umumnya berdrainase buruk,
untuk itu keadaan genangan atau air tanah dangkal perlu didrainase, sehingga
tercipta media pertumbuhan yang baik.
Pengembangan tanaman pangan lahan kering tersebut dapat dilakukan pada
saat lahan tidak memungkinkan disawahkan yaitu menjelang musim kemarau, karena
curah hujan mulai rendah dan air tanah mulai dalam.
POTENSI
KETERSEDIAAN AIR
Curah
Hujan
Unsur
iklim yang langsung berhubungan dengan ketersediaan air bagi tanaman adalah
curah hujan. Curah hujan rata‑rata
tahunan di Pulau Flores bervariasi dari 820 mm (Borong) sampai 3.700 mm
(Detusoko). Curah hujan rata‑rata
tahunan lebih dari 2.000 mm hanya terdapat di dataran tinggi Kabupaten
Manggarai (Flores Barat) yang diwakili oleh stasiun Ruteng, Pagal, Detusoko dan
Rekas, sedangkan di daerah lainnya mempunyai rata‑rata curah hujan kurang
dari 1.500 mm. Zone agroklimatnya
sebagian besar menunjukkan zone agroklimat yang kering yaitu E4, E3, D4, dan
D3, sedangkan beberapa tempat tergolong C3, C2 dan B1 yang relatif lebih basah
(Tabel 2).
Tabel
2. Curah hujan, periode air tersedia,
periode air tidak tersedia dan zone agroklimat di Pulau Flores
================================================================
Stasiun Ketinggian Curah hujan
_ Jumlah bulan _ Zone
(dpl) (mm) >200mm >100mm <100
mm Agroklimat
________________________________________________________________________
Aimere 3 1.015 0 4 8 E4
Borong 10 820 0 3 9 E4
Ende 10 1.508 1 6 4 E3
Larantuka 10 1.317 2 4 7 E4
Danga 25 822 0 2 10 E4
Maumere 25 1.206 2 5 7 E4
Ledolero 325 1.353 3 6 6 D3
Boru 400 1.856 5 6 6 C3
Rekas 500 2.637 6 8 3 C2
Waepana 500 1.210 3 5 7 D4
Detusoko 650 3.700 8 9 1 B1
Pagal 900 3.610 6 9 3 C2
Bajawa 1.175 1.872 6 6 6 C3
________________________________________________________________________
Sumber
: Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (1997)
Kecuali
di dataran tinggi Kabupaten Manggarai, sebagian besar Pulau Flores mempunyai
bulan‑bulan kering (curah hujan < 100 mm/bulan) antara 4 ‑ 10
bulan dan mempunyai bulan‑bulan basah (curah hujan > 200
mm/bulan) < 5 bulan dan umumnya kurang dari 3 bulan. Melihat kondisi curah hujan yang rendah
tersebut sebagian besar wilayah Pulau Flores termasuk wilayah yang rawan
kekeringan disertai dengan sering terjadinya penyimpangan iklim dengan curah
hujan di bawah normal dan bersifat erratic.
Berdasarkan
hasil pengamatan Direktorat Bina Program Pengairan PU (1981) pada 21 daerah
aliran sungai di Pulau Flores, total debit air air sungai yang ada sebanyak
8.516x106 m3/tahun (Tabel 3) atau setara dengan 23,3x106
m3/hari. Meskipun debit air
tersebut terbatas, namun sebagian besar terbuang ke laut. Dengan perkiraan bahwa kebutuhan air lahan
sawah adalah 72-102 m3/ha/hari dan luas sawah irigasi 24.107 ha,
maka air permukaan yang dimanfaatkan untuk irigasi baru sekitar 10 persen. Untuk memanfaatkan air permukaan secara
optimal bagi kepentingan irigasi, diperlukan penampung air dalam bentuk waduk
atau embung disamping bendungan irigasi yang ada sekarang. Sedangkan berdasarkan kriteria dari FAO
(1989) air di beberapa sungai utama di Pulau Flores mempunyai kualitas yang
baik untuk irigasi (Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 1997; Sukarman et al., 1998).
Tabel 3. Besarnya debit tahunan (m3/tahun) pada tiap
DAS di Pulau Flores.
=================================================================================
No. Nama
DAS Debit No Nama DAS Debit
______________________________________________________________________________________________
m3/thx106 m3/thx106
1. Cunga
Dangka 400 12. Lowo Rea 497
2. Wai
Jamal 772 13. Nanga Panda 510
3. Wai
Nggae 234 14. Lowo Dondo 221
4. Wai
Pesi 1.099 15. Wai Wajo 119
5. Wai
Meseh 480 16. Nanga Magepanda 193
6. Wai
Lak 446 17. Wai Doing 211
7. Wai
Tonggong 675 18. Wai Gete 122
8. Wai
Buntal 300 19. Nanga Gete 198
9. Wai
Moke 563 20. Nebe 239
10. Wai
Roea 186 21. Konga 327
11. Ae
Sesa 724
______________________________________________________________________________________________
Total 8.516
______________________________________________________________________________________________
Sumber : Direktorat Bina Program Pengairan PU
(1981)
Kebutuhan
air optimal pada kebanyakan sawah di Indonesia adalah 7,2-10,2 mm/hari atau
setara 72-102 m3/ha/hari.
Jika dengan sistem irigasi bergilir (intermitten
irrigation) yang memperkecil laju perkolasi, maka kebutuhan air tersebut
masih dapat dikurangi hingga 46-68 m3/ha/hari (Badan Litbang
Pertanian, 1998). Sedangkan Oldeman et
al., (1980) memprediksi bahwa kebutuhan air lahan sawah setara dengan curah
hujan > 200 mm/bulannya. Menurut Las et al. (1998) selama periode terjadinya
bulan-bulan dengan curah hujan > 200 mm merupakan periode air tersedia bagi
tanaman padi sawah.
Di
dataran tinggi Kabupaten Manggarai dan sekitar kota Bajawa (Kabupaten Ngada)
periode air tersedia bagi tanaman padi sawah bervariasi antara 6-8 bulan
berturut-turut. Di daerah ini padi
berumur genjah masih dapat diusahakan dengan mengandalkan air hujan selama 1
sampai 2 musim tanam. Namun karena
topografi berbukit/bergunung, maka untuk pengembangan pesawahan tergolong kecil
dan tingkat potensi lahannyapun tergolong rendah sampai sangat rendah.
Untuk
daerah lainnya periode air tersedia bagi tanaman padi sawah umumnya kurang dari
3 bulan, sehingga untuk tanaman padi genjahpun kebutuhan airnya tidak dapat
terpenuhi. Mengingat keterbatasan
tersebut, maka kebutuhan air di daerah ini banyak mengandalkan air irigasi. Sentra-sentra produksi padi di Pulau Flores
seperti di Lembor, Soa, dan Mbay mengandalkan air irigasi dari sungai-sungai
yang ada di daerah tersebut. Luas areal
sawah irigasi di Pulau Flores adalah 24.107 ha, terdiri atas: irigasi teknis
(6.394 ha), irigasi setengah teknis (7.192 ha) dan irigasi sederhana (10.521
ha) (Biro Pusat Statistik, 1995).
Kebutuhan
air pada lahan kering umumnya setara dengan laju evapotranspirasi potensial
(pada kondisi air tanah tersedia), yang nilainya di Indonesia berkisar 2,7-7,0
mm/hari. Secara praktis berbagai pakar
menetapkan kebutuhan air pada lahan kering adalah 75-100 mm/bulan dengan asumsi
bahwa laju evapotranspirasi hanya 2,5-3,0 mm/hari (FAO dan CSRI, 1981 dalam
Badan Litbang Pertanian, 1998). Kemudian
oleh Oldeman et al. (1980),
disetarakan dengan 100-200 mm curah hujan per bulan setelah mempertimbangkan
peluang kejadian hujan dan tidak semua curah hujan efektif digunakan. Periode bulan-bulan yang mempunyai curah
hujan > 100 mm per bulannya merupakan periode air tersedia bagi tanaman
pangan lahan kering.
Di
dataran tinggi kabupaten Manggarai dan sekitar Bajawa (Kabupaten Ngada) periode
air tersedia bagi tanaman pangan lahan kering bervariasi dari 6 sampai 11
bulan. Dengan demikian pada daerah ini
tanaman pangan lahan kering masih bisa ditanaman sekurang-kurangnya untuk 2
musim tanam dalam setahunnya. Namun
mengingat ketinggian tempat dan tingkat potensi lahannya rendah, maka luas
lahan untuk pengembangan tanaman pangan di daerah ini relatif kecil, sedangkan
jenis atau varietasnya perlu disesuaikan dengan ketinggian tempat.
Lahan-lahan
di daerah lainnya mempunyai periode air tersedia bagi tanaman pangan selama 3-5
bulan dan kurang dari 3 bulan.
Lahan-lahan yang mempunyai periode air tersedia kurang dari 3 bulan
sebagian besar berada di pantai utara bagian tengah, yaitu meliputi daerah
Danga dan Riung di Kabupaten Ngada.
Kondisi tersebut di atas mengindikasikan sebagian wilayah di Pulau
Flores masih dapat diusahakan tanaman pangan satu kali musim tanam dalam
setahun, tetapi sebagian lagi tidak dapat diusahakan satu kali tanampun dalam
satu tahunnya.
Usaha‑usaha
untuk menghindari/mengurangi cekaman kekeringan pada tanaman adalah melalui
usaha konservasi air tanah, pemanenan air selama musim hujan, pemilihan waktu
tanam yang tepat, pola tanam dan penggunaan varietas tahan kekeringan,
pengendalian gulma, mempersingkat waktu pengolahan tanah yang dapat
memperpanjang musim tanam, penerapan teknologi zero tillage/minimum tillage, membangun fasilitas irigasi, maupun
pompanisasi dan penghijauan (Baharsyah, 1997).
Konservasi
air lebih diarahkan kepada pencegahan atau penekanan laju dan volume aliran air
permukaan pada lahan berlereng sekaligus sebagai upaya konservasi tanah. Oleh sebab itu teknologi yang dikembangkan
dalam penelitian sistem usaha tani konservasi pada lahan kritis bertujuan untuk
meningkatkan produktivitas lahan sekaligus mengkonservasi tanah dan air
(Baharsyah et al., 1997). Hasil
penelitian Yusuf et al., (1994) tentang sistem usahatani alley cropping di Kabupaten Sikka,
Flores diperoleh kesimpulan bahwa usahatani tersebut selain berfungsi sebagai
usaha konservasi tanah dan air tetapi juga dapat meningkatkan pendapatan
petani.
Berdasarkan
kebutuhan dan sistem pengelolaan air mikro, sistem usahatani tanaman pangan
dibedakan atas sistem lahan basah (sawah) yang dalam pengelolaannya status air
berada di atas kapasitas lapang dan sistem lahan kering atau gogo dengan status
lengas tanh berada di bawah kapasitas lapang.
Selanjutnya sistem campuran yang merupakan gabungan kedua sistem di atas
baik secara temporal (gogorancah) maupun secara spasial (surjan). Secara kualitatif (makro) langkah dini
penetapan pola tanam adalah berdasarkan pola hujan bulanan dan/atau tipe
agroklimat masing‑masing wilayah seperti disajikan dalam Tabel 4.
Tabel 4. Alternatif pola tanam pada sawah tadah hujan dan lahan kering
berdasarkan zone agroklimat.
===================================================================
Zone Musim Intensitas Alternatif
Agroklimat (bulan)1 tanam pola
tanam2
_______________________________________________________________________
E4 3-5 1 GP
D4 (C4) 3-5 1-2 GP (SW) (GR)
E3 5-8 < 2 GP/GP
C3,D3 6-8 < 2 GP/GR (SW)
E1,E2 >
9 2-3 GP/GR (GP)/GP
D1,D2,C2 >
9 2-3 GP/GR (GP)/GP
B1,B2,C1 >
9 2-3 GP/SW (GP)/SW (GP)
_______________________________________________________________________
1. Curah hujan > 100 mm/bulan
2. GP = padi gogo atau palawija, GR = gogorancah, SW =
padi sawah.
Sumber
: Las et al. (1997)
Sementara
itu Fagi dan Manwan (1997) mengemukakan bahwa untuk menanggulangi masalah
kekeringan pada lahan irigasi dan tadah hujan dapat dilakukan dengan dua
pendekatan yaitu pendekatan sistem produksi dan komoditas. Untuk lahan irigasi, pendekatan sistem
produksi dapat dilakukan melalui sistem tanam padi gogorancah, sistem tanam
padi sebar langsung pada lahan basah, dan ketepatan waktu tanam. Sedangkan pendekatan komoditas dapat dilakukan
melalui efisiensi sistem pendistribusian air irigasi, efisiensi penggunaan air
antara lain memilih varietas hemat air.
Untuk
lahan tadah hujan pendekatan sistem produksi dapat dilakukan melalui konservasi
air hujan dengan embung, dan pompanisasi.
Sedangkan pendekatan komoditas dapat dilakukan melalui kesesuaian
varietas padi, pemanfaatan potensi ratun dan kesesuaian jenis tanaman
pangan.
Embung
atau tondon air adalah waduk berukuran mikro di lahan pertanian (small farm reservoir) yang dibangun
untuk menampung kelebihan air hujan di musim hujan dan menggunakannya jika
diperlukan tanaman pada musim kemarau (Syamsiah dan Fagi, 1997). Teknik pemanenan air demikian sangat cocok
bagi ekosistem tadah hujan dengan intensitas dan distribusi hujan yang tidak
pasti (erratic) seperti halnya di Pulau
Flores. Pembangunan embung mudah
dilaksanakan, tetapi akan kurang berhasil jika beberapa kriteria seperti jenis
tanah, kemiringan, tipe curah hujan, ukuran luas daerah tangkapan hujan tidak
diperhitungkan.
Pulau
Flores masih mempunyai lahan potensial untuk pengembangan tanaman pangan baik
tanaman padi sawah maupun tanaman pangan lahan kering, masing-masing seluas
41.220 ha dan 67.790 ha.
Faktor
ketersediaan air merupakan kendala utama dalam pengembangan tanaman
pangan. Potensi ketersediaan air dari
curah hujan dan air permukaan masih memungkinkan untuk mendukung pengembangan
tersebut. Sumber daya air perlu dilestarikan dan dimanfaatkan lebih optimal,
serta pemanfaatan teknologi budidaya yang hemat air.
Badan Litbang Pertanian. 1998. Optimalisasi Pemanfaatan Sumberdaya Alam dan
Teknologi untuk Pengembangan Sektor Pertanian Dalam Pelita VII. Kerjasama Proyek Pembangunan Penelitian
Pertanian Nasional dengan Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat.
Baharsyah, J.S. 1997.
Teknologi pengawetan air tanah : penggunaan blotong sebagai mulsa
alternatif. Dalam Baharsjah,
J.S., S.N. Darwis, I. Las, H. Pawitan, Y. Koesmaryono dan M. Hadad (edt). Sumber Daya Air dan Iklim dalam Mewujudkan
Pertanian Efisien. Departemen
Pertanian-Perhimpi. hal 159‑168.
Baharsyah, J.S., R. Boer, Handoko, I. Las, dan A.M.
Fagi. 1997. Konsepsi dan teknologi
konservasi air pada lahan berlereng. Dalam
Baharsjah, J.S., S.N. Darwis, I. Las, H. Pawitan, Y. Koesmaryono dan M. Hadad
(edt). Sumber Daya Air dan Iklim dalam
Mewujudkan Pertanian Efisien. Departemen
Pertanian-Perhimpi. hal. 109‑126.
Biro Pusat Statistik.
1995. Luas Lahan Menurut
Penggunaannya di Luar P. Jawa. Biro
Pusat Statistik, Jakarta.
CSR/FAO Staff.
1983. Reconnaissance Land
Resources Survey. Atlas Format Procedures, 1:250.000 scale. Center for Soil Research, Bogor.
Direktorat Bina Program Pengairan PU. 1981.
Studi Perencanaan Pengembangan Sumber‑sumber Air Wilayah Pulau
Flores. Propinsi Nusa Tenggara Timur.
Departemen Pekerjaan Umum, Jakarta.
Djaenudin, D., Basuni, K. Nugroho, M. Anda, dan U.
Sutrisno. 1993. Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan
Litbang Pertanian, Bogor.
Djaenudin, D.
1995. Evaluasi lahan untuk arahan
pengembangan komoditas alternatif dalam mendukung kegiatan agribisnis. Jurnal
Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Vol. XIV, No.3, 1995, hal. 41‑50.
Fagi, A. M. dan I. Manwan. 1997.
Teknologi pertanian dan alternatif penanggulangan dampak negatif kemarau
panjang. Dalam Baharsjah, J.S.,
S.N. Darwis, I. Las, H. Pawitan, Y. Koesmaryono dan M. Hadad (edt). Sumber Daya Air dan Iklim dalam Mewujudkan
Pertanian Efisien. Departemen
Pertanian-Perhimpi. hal. 355‑375.
FAO. 1976. A
Framework for Land Evaluation. FAO Soil
Bulletin 52. Rome Italy.
FAO. 1989. Water
Quality for Agricultural. Irrigation and
Drainage Paper No. 29. Rev.1. Rome.
Karama, S. 2000.
Pendayagunaan lahan untuk produksi tanaman pangan. Makalah dalam Seminar Nasional Sumberdaya
Tanah, Iklim, dan Pupuk. Cipayung 31
Oktober- 2 Nopember 2000. Pusat
Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian.
Las, I., A.M. Fagi, dan A. Saefudin. 1997.
Penetapan teknologi usahatani dalam penanggulangan kekeringan pada
tanaman pangan. Dalam Baharsjah,
J.S., S.N. Darwis, I. Las, H. Pawitan, Y. Koesmaryono dan M. Hadad (edt). Sumber Daya Air dan Iklim dalam Mewujudkan
Pertanian Efisien. Departemen
Pertanian-Perhimpi. hal. 61-71.
Las, I., J. S. Adiningsih, S. Silitonga dan S.
Nurhakim. 1998. Ketersediaan dan tren sumberdaya pangan. Makalah Wydya Karya Nasional Pangan dan
Gizi, Jakarta 17 ‑ 20 Pebruari
1998.
Oldeman, L. R., I. Las and Muladi. 1980. Agroclimatic Maps of Kalimantan, Irian Jaya,
Bali, West and East Nusa Tenggara.
Contr. Centr. Res Inst. Agric. Bogor.
Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. 1996.
Pemetaan Tanah Tingkat Semi Detail Daerah Mbay, Flores, Nusa Tenggara
Timur. Bagian Proyek Penelitian Sumberdaya
Lahan dan Agroklimat, Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor. Dok. No. 07/PSLA/ 01.02‑A/96.
Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. 1997. Laporan Pemetaan Tanah Tingkat Tinjau
Pulau Flores Nusa Tenggara Timur. Bagian Proyek Penelitian Sumberdaya Lahan dan
Agroklimat. Pusat Penelitian Tanah dan
Agroklimat, Badan Litbang Pertanian, Bogor.
Sibuea, L. dan A. Pramudia. 1997. Penggunaan neraca air dalam evaluasi
kesesuaian lahan di Nusa Tenggara Timur.
Studi Kasus Daerah Besikama. Dalam
Baharsjah, J.S., S.N. Darwis, I. Las, H. Pawitan, Y. Koesmaryono dan M. Hadad
(edt). Sumber Daya Air dan Iklim dalam
Mewujudkan Pertanian Efisien. Departemen
Pertanian-Perhimpi. hal. 223‑233.
Sukarman, Hikmatullah dan U. Sudriatna. 1998.
Peluang pemanfaatan sumber daya lahan untuk meningkatkan produksi pangan
di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur.
Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian., Vol. XVII, No.4, 1998,
hal 130-137.
Syamsiah, I., dan A.M. Fagi. 1997.
Teknologi Embung. Dalam
Baharsjah, J.S., S.N. Darwis, I. Las, H. Pawitan, Y. Koesmaryono dan M. Hadad
(edt). Sumber Daya Air dan Iklim dalam
Mewujudkan Pertanian Efisien. Departemen
Pertanian-Perhimpi. hal. 145-157.
Sys, C., E.Van Ranst, J. Debaveye, and E.
Beernaert. 1993. Land Evaluation Part III. Crop Requirement. ITC Univ. Ghent. Agric. Publ. No.7.
Yusuf, A. Salam Wahid, Djamaluddin dan Ch.J.S.
Momuat. 1994. Penelitian sistem usahatani alley cropping
pada zona berbukit bagian selatan. Studi kasus Desa Nitakloang, MT 1992/1993. Publikasi Wilayah Kering Vol. 2, No. 2, 1994.
Proyek Pembangunan Penelitian Pertanian Nusa Tenggara, Badan Litbang Pertanian,
hal. 9‑23.