Posted 12 June 2001 [RCT]

© 2001. TATAG BUDIARDI                                              Posted   12 June 2001  (rudyct)

Makalah Falsafah Sains (PPs 702)   

Program Pasca Sarjana / S3

Institut Pertanian Bogor

Juni 2001

 

Dosen:

Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)

Prof Dr Ir Zahrial Coto

 

 

 

PRODUKSI UDANG DAN KETERKAITANNYA DENGAN

PENGELOLAAN PAKAN PADA BUDIDAYA

UDANG WINDU (Penaeus monodon Fab.) BERPOLA INTENSIF

 

 

 

 

 

 

Oleh:

TATAG BUDIARDI

P19600001

E-mail: ttb_tifani@yahoo.com

 

 

 

 

 

KATA PENGANTAR

 

 

            Puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberi kemudahan dalam penyusunan makalah ini.

            Makalah ini dibuat sebagai salah satu tugas individu dalam mengikuti mata kuliah Pengantar ke Falsafah Sains (PPs 702) pada Program Studi Ilmu Perairan, Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

            Atas terselesaikannya makalah ini, ucapan terima kasih setulusnya disampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng dan              Bapak Prof. Dr. Ir. Zachrial Coto atas bimbingannya selama perkuliahan, Bapak Dr. Ir. Bambang Widigdo atas perkenan penggunaan data hasil penelitian untuk kajian ini, serta rekan-rekan kuliah yang telah memberikan masukan selama diskusi.

            Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, makalah ini diharapkan bermanfaat bagi yang memerlukannya.

 

 

Bogor,  Juni  2001

 

                                                                                                                     Penulis

 

 

 

I.  PENDAHULUAN

 

 

 

1.1.  Latar Belakang

          Budidaya udang windu (Penaeus monodon Fab.) sudah lama dilakukan di Indonesia.  Namun demikian, perkembangan budidaya yang pesat baru terlihat pada tahun 1980-an. Dalam perkembangan selanjutnya,  beberapa permasalahan yang mengakibatkan penurunan produksi udang mulai terjadi pada tahun 1990-an. Identifikasi penyebab penurunan produksi tersebut mengarah pada penurunan daya dukung lingkungan akibat dari akumulasi bahan organik di dasar tambak.

          Budidaya udang berpola intensif merupakan jawaban terhadap peningkatan permintaan udang di luar negeri. Produksi tinggi pada budidaya ini dicapai dengan peningkatan padat penebaran benih udang (benur), yaitu sekitar 30-40 ekor/m2 yang diikuti dengan pemberian pakan yang intensif.  Budidaya intensif berkonsekuensi pada peningkatan bahan organik yang diterima oleh lingkungan tambak.  Bahan organik tersebut berasal dari pakan yang tidak termakan (sisa pakan) yang berjumlah sekitar 15% dari jumlah pakan yang diberikan (Goddard, 1996) serta dari feses dan urine yang dikeluarkan oleh udang selama pemeliharaan. 

          Oksigen terlarut secara bersama-sama diperlukan oleh berbagai organisme yang hidup dalam ekosistem tambak, yaitu udang, plankton, serta mikroorganisme aerob pengurai bahan organik.  Peningkatan bahan organik akan meningkatkan konsumsi oksigen untuk penguraiannya. Kondisi ini selanjutnya akan memacu penguraian bahan organik secara anaerob yang menghasilkan senyawa reduktif bersifat toksik bagi udang, misalnya gas hidrogen sulfida (H2S) dan amoniak (NH3). Konsentrasi oksigen terlarut rendah disertai dengan konsentrasi gas toksik yang tinggi merupakan penyebab utama kematian udang.

          Pengelolaan air merupakan salah satu alternatif pemecahan masalah bagi rendahnya oksigen terlarut dan akumulasi bahan organik di lingkungan tambak. Aktivitas pada proses pengelolaan ini meliputi pemberian aerasi, pergantian air, serta penyifonan.  Namun demikian, pada kebanyakan kasus masih banyak ditemukan konsentrasi bahan organik yang tinggi dan konsentrasi oksigen terlarut rendah di dasar tambak, terutama di bagian tengah tambak.  Untuk itu diperlukan pengelolaan pakan yang tepat agar didapatkan (1) efisiensi pakan yang tinggi yang berdampak pada penurunan biaya produksi untuk komponen pakan serta (2) terjaganya kualitas lingkungan yang mendukung bagi kehidupan dan pertumbuhan udang.

 

1.2.  Tujuan

          Makalah ini bertujuan untuk mengkaji produksi udang, keterkaitan-nya dengan pengelolaan pakan pada budidaya udang windu (Penaeus monodon Fab.) berpola intensif.

 

1.3.  Manfaat

          Makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa :

1) Pengetahuan tentang pertumbuhan udang windu di tambak.

2) Pengetahuan tentang pengelolaan pakan yang baik.

 

1.4.  Pendekatan Masalah

          Pada budidaya intensif, pakan yang diperlukan udang untuk pertumbuhannya diberikan secara intensif.  Pada kondisi ini, pakan harus memenuhi persyaratan dalam hal kelayakan nutrisi, sifat fisik serta pengelolaan pakan yang tepat. Proses ini melibatkan pengambilan pakan (ingestion), percernaan (digestion), penyerapan (absorbtion), serta transportasi (transportion).  Derajat kecocokan dan kebaikan pakan dapat dilihat dari tingkat kecernaan atau efisiensinya yang akhirnya menghasilkan pertumbuhan, yang dalam satu satuan waktu dinyatakan sebagai laju pertumbuhan (growth rate, GR).

          Bahan organik yang menumpuk di dasar tambak memerlukan oksigen terlarut untuk menguraikannya.  Pada kondisi defisit oksigen, penguraian bahan organik dalam kondisi anaerob menghasilkan senyawa toksik yang dapat menurunkan laju pertumbuhan sampai dengan menimbulkan kematian.           Keberhasilan hidup udang dinilai dari parameter derajat kelangsungan hidup (survival rate, SR).

          Laju pertumbuhan yang tinggi akan menghasilkan bobot udang rata-rata yang besar dan derajat kelangsungan hidup yang tinggi akan menghasilkan jumlah individu yang banyak. Secara bersama-sama laju pertumbuhan dan derajat kelangsungan hidup akan menentukan produksi yang dihitung dari perkalian antara bobot rata-rata dengan jumlah udang.  Diagram alir pemikiran selengkapnya tertera pada Gambar 1.

 

 

                 Keterangan :  EF = efisiensi; DO = oksigen terlarut

                                      GR = laju pertumbuhan; SR = derajat kelangsungan hidup

 

Gambar 1.  Diagram alir pendekatan masalah

 

 

 


II.  METODOLOGI

 

 

 

2.1.  Bahan Kajian

            Makalah ini menggunakan bahan kajian yang berupa data hasil penelitian yang sampai kajian ini ditulis belum pernah dipublikasikan serta kepustakaan yang relevan dengan kajian.

 

1) Data hasil penelitian

            Penelitian dilaksanakan di wilayah pertambakan Karawang, Jawa Barat pada bulan Maret-Agustus 1997.  Tambak yang digunakan sebanyak 5 petak, masing-masing berukuran 3500 m2.  Pengelolaan budidaya sesuai dengan operasinal baku yang berlaku di perusahaan yang bersangkutan.

            Parameter yang diukur meliputi :

a) Parameter produksi, meliputi bobot udang yang digunakan untuk mendapatkan bobot rata-rata udang, jumlah udang untuk mendapatkan derajat kelangsungan hidup udang, serta jumlah pakan yang diberikan selama pemeliharaan untuk mendapatkan rasio konversi pakan

b) Parameter lingkungan : oksigen terlarut (dissolved oxygen, DO), pH, alkalinitas total, nitrit (NO2-), amoniak (NH3), fosfat (PO43-), serta hidrogen sulfida (H2S).

            Penelitian dilakukan secara eksploratif dengan metode post-facto.  Data yang dikumpulkan kemudian diolah melalui rumusan yang sesuai untuk masing-masing parameter, yaitu : 

- Jumlah udang yang hidup dalam satu petak tambak diduga dengan rumus : 

                    Nu = nu x (Lt/Lj) x k

  dimana :  Nu = jumlah udang dalam satu petak tambak (ekor)

                    nu = jumlah rata-rata udang yang tertangkap dalam jala pada tiap  

                            pengambilan contoh (ekor)

                     Lt = luas tambak (m2);   Lj = luas bukaan jala efektif (m2)

                       k = nilai koreksi.

- Bobot rata-rata udang dihitung berdasarkan rumus :  Wr = wu/nu

  dimana :    Wr = bobot rata-rata udang (gram/ekor)

                     wu = bobot total udang yang tertangkap dalam jala pada tiap

                            pengambilan contoh (gram)

                    nu = jumlah total udang yang tertangkap dalam jala pada tiap

                            pengambilan contoh (ekor).

- Derajat  kelangsungan hidup (survival rate, SR) merupakan  perbandingan jumlah udang pada waktu tertentu (Nt, ekor) terha­dap  jumlah udang pada saat tebar (No, ekor) dengan  rumus : SR = (Nt/No) x 100%  (Effendie, 1978).  

  Nilai Nt akhir merupakan bobot udang pada saat panen (Wt, gram) dibagi bobot rata-rata udang (Wr, gram/ekor) dengan rumusan : Nt = Wt/Wr.

- Rasio konversi pakan (food conversion ratio, FCR) merupakan perbandingan antara jumlah pakan yang diberikan terhadap produksi udang dengan rumusan dari National Research Council (1977) : FCR = Ft/{(Wt + Wm) - Wo} atau FCR = Ft/Wt (jika Wo dianggap terlalu kecil dan Wm tidak terdeteksi)

dimana :    Ft = jumlah pakan selama masa pemeliharaan (kg)

                    Wt  = bobot udang pada saat panen (kg)

                   Wm = bobot udang yang mati selama pemeliharaan (kg)

                    Wo = bobot udang pada saat tebar benih (kg).

- Produksi total adalah bobot (biomassa) udang saat panen (Wt).  Parameter ini digunakan  sebagai kalibrasi bagi jumlah (Nt) dan derajat kelangsungan hidup (SR) udang pada akhir penelitian.

2) Kepustakaan

            Pengumpulan pustaka yang relevan digunakan sebagai bahan kajian sesuai dengan tujuan pembuatan makalah.

 

2.2.  Analisis

            Data dianalisis secara deskriptif untuk mendapatkan gambaran tentang produksi udang windu pada budidaya intensif, serta keterkaitannya dengan pengelolaan pakan yang dilakukan selama pemeliharaan.

 


III.  LINTASAN PAKAN , NUTRISI DAN BIOENERGETIKA

 

 

 

          Produksi udang merupakan perwujudan dari biomassa udang yang dihasilkan pada waktu tertentu yang ditentukan oleh pertumbuhan dan kelangsungan hidup udang.  Pertumbuhan memerlukan materi, yang dalam hal ini dipasok dari pakan. Pengetahuan tentang efisiensi pakan sangat terkait dengan proses pengambilan pakan sampai dengan proses pemben-tukan jaringan yang melibatkan pengetahuan tentang bioenergetika.

 

3.1.  Lintasan Pakan

          Rangkaian lintasan pakan dimulai dari proses pemasukan pakan oleh udang melalui mulut (ingestion), kemudian mengalami proses pencernaan (digestion) dan dilanjutkan dengan penyerapan (absorption).  Hasil proses penyerapan akan memasuki proses metabolisme. Penyederhanaan keseluruhan proses tersebut tertera pada Gambar 2.

 

 

 

                        Pencernaan                           Penyerapan

     Molekul                                Molekul                                Lintasan

      pakan                                sederhana                             amfibolik

 


                                                           Lintasan anabolik

   Karbohidrat, Protein, Lemak,

   Asam-asam nukleat, dll.

                                                           

                                                            2H      -P

                                                                                        O

                                    CO2 +

                                     H2O              

                                                           Lintasan katabolik

 

 

Sumber : Mayes (1995)

Gambar 2.  Lintasan pakan


          Menurut Mayes (1995), lintasan metabolisme dibagi menjadi tiga kelompok proses, yaitu :

1) Lintasan katabolik, yaitu berbagai proses oksidasi yang melepaskan energi dan umumnya berbentuk senyawa fosfat berenergi tinggi atau ekuivalen pereduksi.

2)  Lintasan anabolik,  yaitu lintasan yang  terlibat dalam sintesis senyawa pembentuk struktur dan organ tubuh.

3) Lintasan amfibolik, yaitu lintasan yang memiliki lebih dari satu fungsi dan terdapat pada persimpangan metabolisme yang bekerja sebagai penghubung lintasan katabolik dan lintasan anabolik.

 

3.1.1.  Pengambilan Pakan

          Udang windu merupakan anggota Crustacea (Natantia) yang bersifat nokturnal, serta omnivora yang mengarah ke karnivora dan scavenger.  Udang juga bersifat kanibal, yaitu suka menyerang dan memakan individu lainnya, terutama pada saat individu tersebut molting atau kekurangan pakan di lingkungan.

          Pakan ditangkap dan diseleksi oleh udang dengan menggunakan maxilla dan maxilliped, serta ditelan secara langsung atau dipotong/ dihancurkan terlebih dulu oleh sepasang mandibula kemudian baru ditelan. Pakan dipotong-potong menjadi bagian-bagian yang sangat kecil baru kemudian ditelannya sehingga gigi-gigi chitin pada lambung untuk menghancurkan pakan menjadi berkurang fungsinya (Lockwood, 1989). Mekanisme memotong pakan tersebut menyebabkan udang menjadi lambat pada waktu makan.

 

3.1.2.  Pencernaan

          Pencernaan makanan merupakan proses penyederhanaan pakan dari senyawa kompleks yang berupa karbohidrat, protein dan lemak menjadi senyawa sederhana.  Dalam bentuk senyawa sederhana tersebut, nutrien dapat diserap oleh enterosit dan diedarkan ke seluruh tubuh.  Senyawa sederhana tersebut akhirnya akan memasuki lintasan katabolisme (proses oksidasi untuk menghasilkan energi) dan lintasan anabolisme (proses mensintesis senyawa baru) seperti yang dijelaskan oleh Mayes (1995) pada Gambar 2.

          Struktur pencernaan pada udang terdiri dari mulut, esofagus, perut, usus, serta anus.  Lockwood (1989) membagi saluran pencernaan tersebut menjadi tiga bagian, yaitu fore-gut (stomodaeum), mid-gut (mesenteron) dan hind-gut (proctodaeum).  Fore-gut dan hind-gut timbul dari ektodermal yang lapisannya mensekresi kutikel, sedangkan lapisan mid-gut adalah mesodermal dan tidak mengandung kutikel. Selanjutnya, fore-gut terdiri dari bagian esofagus (oesophagus) dan perut (stomach, proventriculus).  Esofagus cukup pendek dan tidak banyak berfungsi sehingga hanya berupa saluran untuk meneruskan pakan dari mulut ke perut. Perut terdiri dari perut cardiac (cardiac-stomach) dan perut pyloric (pyloric-stomach) (Dennel, 1960; Lockwood, 1989).

          Pakan yang telah dihancurkan diteruskan ke dalam dua pasang filter yang berada dalam perut pyloric melalui katup cardio-pyloric. Katup tersebut berfungsi untuk menyeleksi partikel.  Partikel-partikel pakan yang halus menuju ke kelenjar pencernaan (hepatopankreas) dan yang kasar menuju usus dan seterusnya dibuang melalui anus (Lockwood, 1989).

 

3.1.3.  Penyerapan        

          Di dalam kelenjar usus (hepatopankreas) udang terjadi penyerapan makanan secara intensif. Semua pergerakan makanan di dalam usus dilakukan melalui pergerakan peristaltik dan antiperistaltik pada mid-gut dan sedikit pada hind-gut.  Otot usus terdiri dari otot bergaris dan koordi-nasi gerakan dikontrol oleh plexus syaraf ekstensif dalam dinding usus.

          Berbagai proses enzimatik terjadi pada usus untuk menghasilkan nutrien yang dapat diserap oleh dinding usus (enterosit).  Karbohidrat umumnya berbentuk polisakarida, disakarida dan monosakarida dan melalui serangkaian proses enzimatik diubah menjadi bentuk glukosa yang yang dapat diserap oleh enterosit.  Protein diserap dalam bentuk asam amino dan lemak dalam bentuk partikel lemak berukuran kecil (micelles).

 

3.2.  Nutrisi dan Bioenergetika

          Nutrisi merupakan bahan baku yang dibutuhkan oleh suatu biota untuk menyelenggarakan kehidupannya.  Nutrien merupakan zat kimia yang diserap oleh saluran dan kelenjar pencernaan serta dinding tubuh untuk digunakan sel-sel tubuh bagi pembentukan jaringan tubuh (anabolisme) dan pemenuhan energi dalam metabolisme (katabolisme).  Secara umum, keperluan nutrisi bagi udang meliputi kelompok berenergi (karbohidrat, protein, dan lemak) serta kelompok tidak berenergi (vitamin dan mineral). 

          Karbohidrat merupakan sumber energi termurah dibanding protein dan lemak, serta yang dapat disimpan untuk cadangan energi dalam bentuk glikogen dan lemak. Protein berfungsi sebagai pembentuk energi dan jaringan baru. Nilai pembakaran protein relatif kecil sehingga sedapat mungkin protein tidak dijadikan sumber energi.  Lemak merupakan sumber energi cadangan jika energi dari karbohidrat tidak mencukupi.

          Energi diperoleh udang dari pakan yang dimakan. Pertumbuhan terjadi jika terdapat kelebihan energi pakan setelah dikurangi dengan energi metabolisme dan energi yang dikeluarkan.  Rumusan penggunaan energi tersebut dapat ditulis dalam persamaan berikut (Braaten, 1979 dalam Yamada, 1983; Brett dan Groves, 1979 dalam Goddard, 1996) :

 

 

            EK = EM  + EG  + EE              dengan   EE = EF +EU 

            EK = EM  + EG  + EF  + EU     dengan   EM = ER +ED +EA

            EG = EK - (EM + EF  + EU)

 

 

 

dimana :

EK

EM

EG

EF

EU

ER

ED

 

EA

=

=

=

=

=

=

=

 

=

Energi dari total pakan yang dikonsumsi

Energi metabolisme

Energi pertumbuhan

Energi dalam feses

Energi dalam urin dan ekskresi branchial

Energi metabolisme baku (tanpa makan dan gerak)

Energi yang dipakai untuk pencernaan, asimilasi dan

penyimpanan

Energi untuk pergerakan dan aktivitas lainnya

 

 

 

 

IV.  FUNGSI PRODUKSI DAN KOMPONENNYA

 

 

 

4.1.  Fungsi produksi

          Pertumbuhan dapat terjadi karena adanya perkembangan jaringan baru dari proses anabolisme, setelah terpenuhinya semua kebutuhan energi lepas yang diperoleh dari proses katabolisme. Pencapaian produksi (Y) pada sistem budidaya udang didasarkan pada fungsi produksi berikut :

          Yudang = f (udang, lingkungan, pakan)

Pengelolaan pakan pada budidaya udang diharapkan dapat menghasilkan efisiensi pakan yang tinggi. Berkaitan dengan hal tersebut, maka faktor biota dan pakan harus dikondisikan sehingga dalam batas toleransi yang mendukung bagi pengelolaan pakan. Dengan demikian, fungsi di atas dapat dituliskan sebagai berikut :

          Yudang = f (pakan)/(udang, lingkungan)

 

4.2.  Benih Udang

          Pertumbuhan udang pada tahap larva dan postlarva dapat dijadikan indikator bagi pertumbuhan udang setelah dipelihara di tambak. Jika pada tahap awal udang dapat menunjukkan respons positif terhadap pakan, maka diharapkan perkembangan udang di tambak juga akan mengikuti respons tersebut. Perkembangan larva yang lambat akan menghasilkan laju pertumbuhan yang rendah selama pemeliharaan di tambak. Sebagai dasar, perkembangan nauplius menjadi zoea memerlukan waktu 2-3 hari, zoea-mysis 4-6 hari, mysis-PL1 3 hari, serta PL1 sampai siap tebar 12-15 hari (Treece dan Yates, 1990).

          Aklimatisasi, terutama terhadap suhu dan salinitas air, dilakukan agar benur dapat beradaptasi dengan baik pada lingkungan yang baru, yaitu lingkungan tambak. Dengan proses ini diharapkan dapat meningkat-kan kenyamanan hidup udang yang selanjutnya meningkatkan nafsu makan, serta secara langsung akan meningkatkan derajat kelangsungan hidup dan laju pertumbuhan.

 

4.3.  Lingkungan

          Respons positif udang yang maksimal terhadap pakan yang ditunjukkan oleh pertumbuhan terjadi pada waktu lingkungan dalam kondisi yang optimal, terutama kecocokan suhu, salinitas, oksigen, serta pH dan alkalinitas. Untuk itu, beberapa pengelolaan dilakukan agar kondisi lingkungan sesuai dengan kebutuhan untuk pertumbuhan udang.

 

Suhu

Peranan

:

Mempengaruhi laju metabolisme yang selanjutnya akan menentukan laju pertumbuhan.

Proses

:

Penyediaan kenyamanan hidup, enzim-enzim pencernaan dapat bekerja baik, reaksi-reaksi biokimia berlangsung lancar, energi yang dipakai untuk regulasi menjadi kecil.

Kisaran

:

20-30 0C (Liao dan Murai, 1986)

Pengelolaan

:

- Kedalaman air dapat mereduksi panas sehingga diperlu-kan kedalaman efektif tambak 1-1,5 m.

- Saluran  dan  pompa air  memungkinkan pergantian air baru secara cepat sehingga perlu disediakan sesuai dengan jumlah kebutuhan air.

- Bangunan tambak  tanpa  titik  mati  agar sirkulasi air merata dan diperlukan pula kincir air (paddle wheel) atau jet-aero.

 

 

Salinitas

Peranan

:

Mempengaruhi laju metabolisme yang selanjutnya akan menentukan laju pertumbuhan

Proses

:

Penyediaan kenyamanan hidup, mengurangi energi osmoregulasi

Kisaran

:

15-25 ppt (Boyd, 1991)

Pengelolaan

:

- Kedalaman dapat mereduksi penguapan air per satuan volume sehingga perlu dibuat kedalaman 1-1,5 m.

- Penambahan dan/atau pergantian air baru secara cepat untuk mencapai salinitas optimal memerlukan sumber air tawar dan air laut yang bersih, saluran air, serta pompa air sesuai dengan jumlah kebutuhan air.

- Bangunan tambak  tanpa  titik  mati  agar sirkulasi air merata dan diperlukan pula kincir air (paddle wheel) atau jet-aero.

 

 

Oksigen terlarut (DO)

 

Peranan

:

Mempengaruhi laju metabolisme yang selanjutnya akan menentukan laju pertumbuhan.

Proses

:

Penyediaan kenyamanan hidup dan DO bagi respirasi

Kisaran

:

> 4 mg/l (Lioa dan Huang, 1975 dalam Chien, 1992)

Pengelolaan

:

- Kedalaman menentukan penyimpanan cadangan DO per satuan volume air tambak sehingga perlu dibuat kedalaman efektif tambak 1-1,5 m.

- Penambahan dan/atau pergantian air baru secara cepat untuk mencapai DO optimal memerlukan sumber air yang bersih dan kaya DO, saluran air, serta pompa air sesuai dengan jumlah kebutuhan air.

- Bangunan tambak  tanpa  titik  mati dan kincir air (paddle wheel) atau jet-aero diperlukan agar sirkulasi air merata dan untuk penambahan DO.

- Penumbuhan fitoplankton yang baik untuk memasok DO dan keseimbangan air.

 

 

pH dan Alkalinitas

 

Peranan

:

Meningkatkan laju metabolisme yang selanjutnya dapat memacu pertumbuhan

Proses

:

Penyediaan kenyamanan hidup dan CO2  bagi fotosintesis,

enzim pencernaan bekerja baik, reaksi biokimia (terutama kalsifikasi saat molting) berlangsung lancar.

Kisaran

:

pH 7,5-8,5 (Law, 1988 dan Chien, 1992)

Alkalinitas 20-200 mg/l ekv. CaCO3 (Liu, 1989)

Pengelolaan

:

Pengapuran (kalsit atau dolomit) meningkatkan bufer per-airan dan mencegah fluktuasi pH (menahan pH rendah pada malam/dini hari dan pH tinggi pada siang hari.

 

 

Bahan Organik dan Toksikan

 

Peranan

:

Menurunkan laju pertumbuhan dan kelangsungan hidup

Proses

:

Penurunan kenyamanan hidup, dekomposisi bahan organik mengurangi kandungan DO, gangguan respirasi akibat defisit DO dan gas toksik, gangguan kerja enzim akibat adanya logam berat, energi regulasi menjadi besar

Komponen

:

H2S, NH3, CH4, CO2, logam berat (Hg, Pb, Cd, Cu)

Pengelolaan

:

- Pengapuran  (kalsit atau dolomit) meningkatkan bufer perairan dan menahan pH pada kisaran 7,5-8,5 sehingga dapat mengurangi toksisitas gas racun dan mengendap-kan logam berat.

- Aerator (kincir air, jet-aero) digunakan untuk meningkat-kan kandungan oksigen dan mengoksidasi gas toksik.

 

 

Penyakit

 

Peranan

:

Menurunkan laju pertumbuhan dan kelangsungan hidup

Proses

:

Penurunan kenyamanan hidup, merusak organ dan parasitik, energi regulasi menjadi besar

Komponen

:

Virus, bakteri, jamur, parasit

Pengelolaan

:

- Penyehatan ikan dengan pemberian vaksin/imunostimu-lan, pakan yang tepat dan lingkungan yang sehat, serta pengapuran untuk mengurangi bakteri dan jamur.

- Pemakaian kolam perlakuan (water treatment pond) untuk memelihara ikan buas (karnivora) untuk membunuh inang (pembawa) penyakit, misalnya udang-udang kecil (jambret) sebagai inang virus MBV.

 

4.4.  Pakan

          Respons positif pakan yang ditunjukkan oleh pertumbuhan yang maksimal terjadi pada waktu udang mendapatkan pakan yang sesuai, yaitu tepat jumlah, ukuran, waktu dan tepat komposisi nutrisinya.

 

Nutrisi

 

Peranan

:

Meningkatkan pertumbuhan

Proses

:

Meningkatkan efisiensi pakan dan penyediaan energi

Komponen

:

Karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral


Pengelolaan

:

- Karbohidrat sederhana cepat dikatabolisme untuk meng-hasilkan energi dan jumlahnya sesuai dengan kebutuhan energi metabolisme agar tidak mengambil energi protein.

- Protein diberikan dalam persentase yang tinggi (35-40%) pada pakan komersial dan semakin berkurang dengan bertambahkan umur/ukuran udang.

- Lemak diberikan terutama berupa asam lemak esensial dengan jumlah maksimal umumnya 3%.  Asam lemak penting bagi integritas struktur membran sel pada eritrosit.  Fosfolipid merupakan bagian membran sel dan berfungsi dalam transpor lemak. Fosfolipid diberikan karena  udang kurang mampu mensintesis fosfolipid.

 Molting dipengaruhi hormon ecdyson, yaitu hormon steroid yang sintesisnya dikendalikan oleh molting stimulating hormon (MSH) dan molting inhibiting hormon (MIH) yang memerlukan kolesterol. Kolesterol harus diberikan lewat pakan karena udang tidak dapat mensintesis kolesterol.

- Vitamin diperlukan pada deferensiasi jaringan (vitamin A, C, D, E) serta kofaktor enzim (vitamin B, K).  Vitamin C berkaitan dengan pembentukan kolagen dan diperlukan untuk peningkatan daya tahan udang terhadap gangguan luar, terutama dari penyakit.

- Mineral diperlukan dalam konsentrasi yang kecil namun sangat penting bagi pertumbuhan. Kalsium (Ca) yang diperlukan untuk kalsifikasi selama postmolt.  Selain diserap dari lingkungan, kalsium dapat diambil lewat pakan.

 

 

Pengelolaan Pakan

 

Peranan

:

Meningkatkan pertumbuhan, menurunkan rasio konversi pakan (FCR, feed convertion ratio), serta memperbaiki lingkungan

Proses

:

Meningkatkan peluang pakan untuk dimakan oleh udang

Komponen

:

Stabilitas; palatabilitas; bentuk, ukuran, dan jumlah pakan; serta frekuensi, waktu dan cara pemberian pakan.

Pengelolaan

:

- Karena udang makannya lambat, maka stabilitas pakan harus tinggi dan frekuensi pemberian ditingkatkan untuk memberi kesempatan pakan dimakan oleh udang.

- Palatabilitas menyangkut masalah sifat 'enak' dari pakan sehingga perlu ditambahkan atraktan dalam pakan.

- Bentuk  dan  ukuran  pakan  disesuaikan  dengan  umur udang karena selain memotong pakannya, udang juga menelannya secara langsung

- Jumlah  pakan  disesuaikan  dengan  biomassa  udang. Kekurangan pakan akan mengurangi laju pertumbuhan dan memunculkan kanibalisme, sedangkan kelebihan pakan akan mencemari perairan.

- Udang  bersifat nocturnal  sehingga  proporsi  pemberian pakan banyak dilakukan pada malam hari. 

- Udang menjadikan seluruh dasar tambak sebagai 'meja makan'-nya, terutama di daerah pinggir tambak sehingga cara pemberian pakan dilakukan dengan menyebar rata dengan proporsi terbanyak di daerah pinggir.

 

 

 

V.  STUDI KASUS : PRODUKSI UDANG WINDU

 

 

 

            Produksi udang pada akhir pemeliharaan ditentukan oleh bobot rata-rata udang dan banyaknya udang yang dapat dipanen.  Berikut ini akan dibahas tentang beberapa parameter yang berhubungan dengan produksi, yang meliputi bobot rata-rata, derajat kelangsungan hidup, serta rasio konversi pakan.

 

5.1.  Bobot Rata-rata

            Bobot rata-rata udang yang terus bertambah dari waktu ke waktu  selama pemeliharaan merupakan perwujudan dari pertumbuhan udang.  Dalam akuakultur, pertumbuhan merupakan salah satu komponen utama untuk menyatakan produktivitas.  Pertumbuhan merupakan ekspresi dari pertambahan volume, panjang, serta bobot basah atau bobot kering terhadap satu-satuan waktu tertentu (Effendie, 1979 dan Hartnoll, 1982).  

            Pada organisme tanpa eksoskeleton, perubahan panjang tubuh merupakan fungsi yang kontinyu terhadap waktu. Sebaliknya, pada organisme yang mempunyai eksoskeleton, seperti pada udang (krustase), pertumbuhan menjadi masalah yang rumit karena merupakan proses yang diskontinyu. Hal ini disebabkan adanya proses molting yang memungkinkan terjadinya laju pertumbuhan yang tinggi pada suatu selang waktu yang kemudian diikuti oleh laju pertumbuhan yang rendah pada waktu yang lain.

            Pertumbuhan merupakan pertambahan ukuran yang terjadi antara satu instar sampai instar berikutnya.  Pertambahan ukuran yang besar terjadi setelah molting karena adanya pengembangan bagian integumen yang tidak mengeras, serta pertambahan yang kecil pada waktu intermolt akibat proses pengencangan membran arthrodial.  Dalam beberapa keperluan praktis, pertumbuhan intermolt dapat diabaikan (Hartnoll, 1982).

 


Tabel 1.  Bobot rata-rata udang selama pemeliharaan

 

No.

Jumlah

Bobot udang pada hari ke- (gram)

Petak

Benur

30

40

50

60

70

80

90

100

110

120

130

1

104040

2,01

3,64

6,40

8,60

11,70

14,50

18,50

21,70

25,20

29,80

29,26

2

106868

2,01

3,37

6,31

8,46

11,80

15,00

19,00

23,00

26,50

31,10

33,01

3

104926

2,11

3,99

6,15

8,39

11,50

14,50

18,40

21,40

24,90

28,90

30,68

4

104926

2,13

3,22

6,29

8,60

11,60

14,60

18,60

22,20

25,70

30,00

31,86

5

104040

1,97

3,78

7,39

9,30

12,36

16,80

19,30

23,40

26,00

31,30

29,86

Rataan

104960

2,05

3,60

6,51

8,67

11,79

15,08

18,76

22,34

25,66

30,22

30,93

SD

1155

0,07

0,31

0,50

0,36

0,34

0,98

0,38

0,85

0,63

0,99

1,52

 

            Bobot rata-rata udang pada akhir pemeliharaan mencapai 30,93±1,52 gram dengan kisaran 29,26-33,01 gram (Tabel 1).  Dari tabel tersebut juga terlihat adanya peningkatan pertumbuhan pada setiap pengamatan.  Pertumbuhan mutlak mulai nyata pada periode pemeliharaan hari ke 60-120.  Penurunan pertumbuhan terjadi pada periode hari ke 120-130 yang menyatakan telah tercapainya daya dukung lingkungan tambak.  Pertumbuhan setelah periode tersebut tidak akan memberikan penambahan bobot yang berarti. 

           

5.2.  Derajat Kelangsungan Hidup

            Selain mempertimbangkan faktor penurunan laju pertumbuhan di atas, panen dilakukan karena mempertimbangkan juga faktor kematian udang.  Pada Tabel 2 terlihat adanya derajat kelangsungan hidup (SR) udang yang semakin menurun.  Pada akhir pemeliharaan, SR mencapai rata-rata 77,07±5,82% dengan kisaran 67,36-81,70%.

            Kematian udang selama pemeliharaan dapat disebabkan oleh ketidak- sesuaian lingkungan atau adanya penyakit.  Namun demikian, karena gradiensi mortalitas pada pemeliharaan udang tersebut kecil, maka faktor kematian ini dimasukkan dalam kategori kematian alami. Pada umumnya, ketidaksesuaian lingkungan, misalnya terjadinya deplisit oksigen dan tingginya gas toksik (NH3, H2S) yang jauh melampaui konsentrasi yang dapat ditoleransi oleh udang, akan menyebabkan mortalitas udang yang tinggi pada selang waktu yang pendek (serentak).  Pada kematian udang yang disebabkan oleh serangan penyakit, mortalitas udang yang tinggi terjadi pada selang waktu yang relatif panjang (perlahan-lahan).

 

 

Tabel 2.  Derajat kelangsungan hidup udang selama pemeliharaan

 

No.

Jumlah

Derajat kelangsungan hidup pada hari ke-

Petak

Benur

30

40

50

60

70

80

90

100

110

120

130

1

104040

-

-

90,26

80,51

83,31

86,47

88,36

88,36

86,47

83,94

81,70

2

106868

-

-

87,87

82,95

86,02

82,95

86,02

82,95

80,77

77,42

77,28

3

104926

-

-

89,49

89,49

85,11

83,24

85,74

87,62

85,24

83,24

81,52

4

104926

-

-

89,49

84,49

87,62

81,28

83,86

86,36

84,25

85,74

77,43

5

104040

-

-

73,22

61,54

63,75

64,38

72,58

73,85

77,63

72,58

67,36

Rataan

104960

-

-

86,07

79,80

81,16

79,66

83,31

83,83

82,87

80,58

77,06

SD

1155

-

-

7,23

10,72

9,86

8,75

6,21

5,95

3,62

5,45

5,82

Keterangan : (-) = belum dapat dihitung

 

 

5.3.  Rasio Konversi Pakan

            Efisiensi pakan dalam aplikasi produksi udang secara massal mengacu pada nilai yang berbanding terbalik terhadap rasio konversi pakan (FCR).  Nilai FCR yang tinggi mencerminkan ketidakefisienan dalam pengelolaan pakan.  Nilai FCR pada budidaya udang umumnya berkisar pada 1-2.  Pada beberapa kasus, FCR dapat bernilai 1 yang mencerminkan adanya sediaan pakan alami yang baik dalam lingkungan tambak.  FCR yang bernilai 2 atau lebih menyatakan, bahwa pakan banyak terbuang atau tidak dimanfaatkan oleh udang dengan baik.

            Pada Tabel 3 terlihat, bahwa nilai FCR berkisar antara 1,64-1,71 dengan rata-rata 1,67±0,03.  Nilai FCR semakin meningkat dengan mening-katnya masa pemeliharaan.  Hal ini merupakan konsekuensi logis dari semakin meningkatnya bias akibat pendugaan biomassa udang. Karena jumlah pakan yang diberikan pada udang ditentukan dari biomassa udang, maka bias pemberian pakan juga semakin besar dengan semakin meningkatnya biomassa udang. 

            Namun demikian, secara keseluruhan nilai FCR pada kasus ini masih relatif rendah.  Hal ini akan lebih nyata jika dilihat dari nilai penyimpangan akibat pendugaan biomassa udang pada tiap pengambilan contoh. Nilai deviasi pada Lampiran 1 yang menyatakan penyimpangan antara jumlah pakan aktual yang diberikan dengan jumlah pakan yang seharusnya diberikan (teori) sangat kecil.   Dengan demikian, nilai pendugaan biomassa yang menentukan jumlah pakan yang harus diberikan sudah cukup akurat.  Nilai dugaan tersebut akan mereduksi peluang pakan untuk tidak termakan oleh udang yang selanjutnya akan mereduksi tambahan beban bahan organik di lingkungan tambak.

 

 

Tabel 3.  Rasio konversi pakan udang selama pemeliharaan

 

No

Jumlah

Rasio konversi pakan pada hari ke-

Petak

Benur

30

40

50

60

70

80

90

100

110

120

130

1

104040

-

-

0,93

1,14

1,11

1,17

1,20

1,29

1,40

1,43

1,64

2

106868

-

-

0,92

1,11

1,11

1,22

1,19

1,30

1,42

1,50

1,64

3

104926

-

-

0,95

1,06

1,17

1,29

1,26

1,35

1,44

1,51

1,71

4

104926

-

-

0,92

1,10

1,13

1,31

1,27

1,32

1,42

1,41

1,70

5

104040

-

-

0,95

1,28

1,25

1,20

1,20

1,21

1,27

1,32

1,65

Rataan

104960

-

-

0,93

1,14

1,15

1,24

1,22

1,29

1,39

1,43

1,67

SD

1155

-

-

0,01

0,08

0,06

0,06

0,04

0,05

0,07

0,08

0,03

Keterangan :  (-) = belum dapat dihitung

           

 

Nilai FCR kecil mengindikasikan adanya pemanfaatan pakan oleh udang dengan baik yang selanjutnya akan berimplikasi pada dua hal.  Pertama, sisa pakan menjadi sedikit sehingga memperkecil beban limbah internal, yang dalam hal ini adalah bahan organik.  Dengan rendahnya bahan organik di lingkungan perairan, maka oksigen terlarut yang dikonsumsi untuk dekomposisi bahan organik oleh bakteri menjadi kecil.  Hal ini akan menambah sediaan oksigen terlarut bagi respirasi udang yang selanjutnya memacu proses metabolisme bagi pertumbuhan udang.  Kedua, efisiensi pakan yang tinggi akan meningkatkan keuntungan ekonomis dari penghematan pakan.

 

5.4.  Kualitas air

            Kualitas air yang diukur meliputi sifat fisik (suhu, salinitas) serta sifat kimia, yaitu oksigen terlarut (DO), pH, alkalinitas total, nitrit (NO2-), amoniak (NH3), fosfat (PO43-), serta hidrogen sulfida (H2S) seperti tertera pada Tabel 4.  Dari tabel tersebut terlihat, bahwa kondisi kualitas air sangat mendukung bagi kehidupan dan pertumbuhan udang di tambak.  Hal ini dinyatakan dari kisaran dan fluktuasi kualitas air masih dalam toleransi udang, baik untuk melangsungkan kehidupan maupun untuk pertumbuhannya. 

            Pada umumnya, konsentrasi H2S yang melampaui toleransi udang terjadi pada periode pemeliharaan hari ke 70-80, yaitu mencapai konsentrasi 0,0400 mg/l. Namun konsentrasi tersebut kemudian menurun dengan adanya pengelolaan pakan yang baik, misalnya dengan mengurangi jumlah pakan sehingga pakan tidak terlalu banyak tersisa.  Pada kondisi tersebut, pengelolaan kualitas air juga penting untuk dilakukan, misalnya dengan meningkatkan aerasi, penambahan atau pergantian air, penggelontoran (flushing), serta penyifonan.


Tabel 4 .  Kualitas air tambak selama pemeliharaan

Nomor

Rincian

Suhu

Sal

DO

pH

T-Alk

NO2-

NH3

PO43-

H2S

Petak

 

(OC)

(ppt)

(mg/l)

(unit)

(mg/l)

(mg/l)

(mg/l)

(mg/l)

(mg/l)

1

Minimal

26

21

3.70

7.95

105

0.0010

0.0000

0.1550

0.0010

 

Maksimal

30

24

7.47

8.70

155

0.0770

0.1180

0.5770

0.0400

 

Rataan

28

22

4.86

8.18

123

0.0056

0.0395

0.3608

0.0053

2

Minimal

26

21

3.50

7.60

90

0.0010

0.0010

0.2240

0.0010

 

Maksimal

30

24

7.08

9.04

165

0.0760

0.0870

0.5510

0.0200

 

Rataan

28

22

4.68

8.22

117

0.0043

0.0321

0.3959

0.0034

3

Minimal

26

21

3.70

8.06

78

0.0010

0.0010

0.2060

0.0010

 

Maksimal

30

24

7.47

8.88

170

0.4660

0.0770

0.8220

0.0400

 

Rataan

28

22

4.76

8.20

121

0.0668

0.0339

0.4094

0.0083

4

Minimal

26

21

3.70

7.60

90

0.0010

0.0010

0.2430

0.0010

 

Maksimal

30

24

7.50

8.90

165

0.1030

0.0970

0.6830

0.0200

 

Rataan

28

22

4.66

8.18

119

0.0143

0.0305

0.4111

0.0034

5

Minimal

26

21

3.60

8.00

65

0.0010

0.0010

0.2310

0.0010

 

Maksimal

30

24

7.65

9.10

185

0.0650

0.0800

0.6520

0.0400

 

Rataan

28

22

4.79

8.26

124

0.0044

0.0296

0.4184

0.0083

 

           

 


VI.  PENUTUP

 

 

 

            Pengelolaan pakan dapat menstabilkan kualitas air selama pemeliharaan sehingga masih dalam toleransi yang layak bagi kehidupan dan pertumbuhan udang serta secara nyata dapat menghasilkan produksi udang yang tinggi.

            Pertumbuhan biomassa udang dibatasi oleh daya dukung lingkungan tambak yang ditunjukkan oleh penurunan pertumbuhan pada periode pemeliharaan hari ke 120-130.

 

 

 


DAFTAR PUSTAKA

 

 

 

Boyd, C.E. 1991. Water Quality Management and Aeration in Shrimp Farming.  Fisheries and Allied Aquacultures Departmental Series No.2, Auburn University.  Auburn.   83 p.

 

Chien, Y.-H.  1992.  Water Quality Requirements and  Management for Marine Shrimp Culture.  In Wyban, J. (Editor): Proceedings  of the Special Session on Shrimp Farming.  World  Aquaculture Society. Baton Rouge, L.A.,  U.S.A.  p.: 144-156.

 

Dennell, R.  1960.  Integumen and Exoskeleton.  In Waterman, T.H. (Editor): The Physiology of Crustacea.  Academic Press.  New York.  p.: 449-471.

 

Effendie, M.I.  1978.  Metode Biologi Perikanan.  Yayasan Dewi Sri.  Bogor.  112 hal.

 

Goddard, S.  1996.  Feed Management in Intensive Aquaculture.  Chapman & Hall.   New York.  194 p.

 

Hartnoll, R.G.  1982.  Growth.  In The Biology of Crustacea, Vol. 2 : Embryology, Morfology, and Genetic.  Academic Press.  New York.  p.:111-196.

 

Law, A.T.   1988.   Water Quality Requirements  for  Penaeus monodon  culture.  In Proceedings of the  Seminar on Marine Prawn Farming in Malaysia. Malaysia Fisheries Society.  Malaysia.  p.: 53-65.

 

Liao, I.C. and T. Murai.  1986.  Effects of  Dissolved Oxygen, Temperature, and Salinity on the Oxygen Consumption of Grass Shrimp, Penaeus monodon.   In  J.L. Maclean,  L.B. Dizon,  and L.V. Hosillos  (Editors): The  First Asian Forum.  Asian  Fisheries  Society.  Mani­la, Philipinnes.  p.: 641-646.

 

Liu, C.-I.  1989.  Shrimp Disease, Prevention and Treatment.  In Akiyama, D.M. (Editor): Proceeding of the Southeast Asia Shrimp Farm Management Workshop.  Soybeans, America Soybean Association.     p.: 64-74.

 

Lockwood, A.P.M.  1989.  Aspect of the Physiology of Crustacea.  W.H.  Freeman and Company.  San Francisco.  265 p.

 

Mayes, P.A.  1995.  Karbohidrat  dengan  Makna  Fisiologis  yang  Penting.  Dalam Hartono, A. (Alih Bahasa): Biokimia Harper. Penerbit Buku Kedokteran EGC.  Jakarta.  hal.: 151-162.

 

Treece, G.D. and M.E. Yates.  1990.  Laboratory Manual for the Culture of Penaeid Shrimp Larvae.  Marine Advisory Service Sea Grant College Program, Texas A&M University, College Station.  Texas.  75 p.

 

Yamada, R.  1983.   Pond Production Systems : Feeds and Feeding Practices in Warmwater Fish Ponds.  In Lannan, J.E., R.O. Smitherman and  G. Tchobanoglous (Editors) : Principles & Practices of Pond Aquaculture, A State of the Art Review.  Pond Dynamics/Aquaculture CRSP, Program Management Office, Oregon State University, Marine Science Center. Oregon. p.: 117-144.

 

LAMPIRAN 1. MODEL PENGELOLAAN PAKAN UDANG PADA PENGELOLAAN INTENSIF (XLS file)