© 2002 Joko Christanto                                                                                       Posted:  2 Februari  2002

Makalah Falsafah Sains (PPs 702)   

Program Pasca Sarjana / S3

Institut Pertanian Bogor

Januari 2002

 

Dosen:

Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)

 

 

OTONOMI DAERAH DAN SKENARIO INDONESIA 2010 DALAM KONTEKS

PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN PENDEKATAN KEWILAYAHAN
(REGIONAL DEVELOPMENT APPROACH)

 

 

Oleh:

 

Joko Christanto

C226010011 (SPL)

E-mail: joko_yogya@yahoo.com

 

Abstrak

 

Otonomi yang sudah mulai diundangkan pada awal tahun 2000 merupakan kebijaksanaan yang mendasar bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia menuju tatanan yang sebenarnya sudah mulai dicanangkan pada era 1970-an. Konsekuensi logis yang dimiliki oleh akibat adanya kebijakan baru yang diterapkan sebagai pijakan pelaksanaan gerak langkah pembangunan dan mekanisme pertanggungjawabannya adalah perubahan menuju tatanan baru. Perubahan dari tatanan lama menuju tatanan baru tersebut membawa dua konsekuensi logis, pertama menjadi peluang untuk dapat tercapainya cita-cita negara menuju negara yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, kedua mengandung resiko tercapainya hal tersebut pertama. Peluang yang diharapkan adalah semakin berkembangnya demokrasi yang ditandai  oleh tegaknya kedaulatan rakyat, berfungsinya pemerintahan yang baik dan berkembangnya dunia kewirausahaan yang murni berdasarkan upaya perwujudan kemitraan yang mutualistik.

Resiko yang terkandung didalamnya adalah perpecahan dan pemisahan wilayah secara keruangan dan ketegangan serta konflik social kemasyarakatan sebagai akibat egoisme daerah yang sedang berupaya menyesuaikan diri dengan  kondisi transisi seperti yang sedang dialami oleh bangsa dan negara Indonesia saat sekarang ini. Apabila kondisi yang kedua tersebut terjadi maka akan lebih merangsang terhadap terjadinya kesenjangan ekonomi dan eksploatasi sumberdaya serta kerusakan lingkungan, sebagai akibat over eksploatasi akibat pengejaran pencapaian target peningkatan tingkat pertumbuhan ekonomi yang dianggap merupakan satu-satunya cara untuk mengantisipasi terhadap pembeayaan pembangunan yang dilaksanakan secara otonom.

            Upaya yang terus harus dilakukan adalah dengan menjalin koordinasi dan kerjasama yang didasari rasa saling memerlukan dan saling ketergantungan antara satu wilayah dengan wilayah lain. Keterkaitan secara keruangan (spatial linkages) merupakan konsep yang perlu terus dipelihara dan dijadikan sebagai titik tolak dan atau dasar untuk saling berkomunikasi antar wilayah sasaran pelaksanaan pembangunan. “Think Globally Acts Locally”merupakan

 

 

Pendahuluan

 

Otonomi daerah sebagaimana dituangkan dalam  UU No. 22 tahun 1999 telah mulai dilaksanakan sejak tanggal 1 Januari 2000, sejak saat itu, wacana otonomi daerah mengemuka dengan berbagai dilemma baru  yang perlu pula memperoleh solusi baru, yang sejalan dengan perkembangan politik dalam era reformasi serta sekaligus sebagai pelaksanan terhadap UUD 45 yang diddalamnya disebutkan bahwa system pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah memberikan keleluasaan kepada Daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Wacana tersebut memperoleh sambutan positif dari semua pihak, dengan segenap harapan bahwa melalui otonomi daerah akan dapat merangsang terhadap adanya upaya untuk menghilangkan praktek-praktek sentralistik yang pada satu sisi dianggap kurang menguntungkan bagi daerah dan penduduk lokal.

 

Menurut Sarundajang (1998), otonomi  (autonomy) berasal dari bahasa Yunani, auto berarti sendiri dan namous berarti hukum atau peraturan. Menurut Encyclopedia of Social Science, otonomi dalam pengertian orisinal adalah the legal self sufficientcy of social body and is actual independence. Sedangkan menurut Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, otonomi daerah diartikan sebagai kewenangan daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

 

Berdasarkan pada pengertian tersebut di atas, maka terdapat dua pandangan yang menjiwai makna otonomi, yaitu: pertama, legal self sufficiency dan yang kedua, adalah actual independence. Berdasarkan pada pemahaman otonomi daerah tersebut, maka pada hakekatnya otonomi daerah bagi pembangunan regional adalah hak mengurus rumah tangga sendiri bagi suatu daerah otonom. Hak tersebut bersumber dari wewenang pangkal dan urusan-urusan pemerintah (pusat) yang diserahkan kepada daerah, yang dalam penyelenggaraannya lebih memberikan tekanan pada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keragaman daerah.

 

Satu hal lagi yang perlu mendapatkan perhatian dalam rangka penyerahan kewenangan tersebut, yaitu bahwa dalam kebebasan menjalankan hak mengurus dan mengatur rumah tangga sendiri yang mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiscal, serta agama, dan daerah tidak dapat menjalankan hak dan wewenang otonomi itu di luar batas-batas  wilayah kewenangannya.  Oleh karena itu, untuk mengatur hal-hal yang demikian dilakukan melalui penyusunan kebijakan pembangunan regional yang pada hakekatnya ditujukan untuk memenuhi kepentingan daerah secara keseluruhan, baik pada daerah hilir maupun hulu.

 

Disamping persoalan batas internal administrasi dengan pelbagai factor internal yang berpengaruh pada mekanisme pelaksanaan pembangunan di wilayah yang bersangkutan maka otonomi daerah juga harus memperhatikan faktor eksternalitas. Faktor eksternalitas tersebut hendaknya dijadikan perhatian yang serius dalam merancang/mendesain otonomi daerah dalam konteks pembangunan regional. Mekanisme intensif antara daerah hulu dan hilir harus terbangun secara adil, merata dan berkelanjutan, yang pada akhirnya otonomi daerah yang didalam pelaksanaannya tidak memperhatikan karakter eksternal daerah hulu dan dalam hubungannya dengan daerah hilir serta hanya berorientasi pada kepentingan sesaat, maka pada gilirannya justru akan menimbulkan kemunduran dan konflik di segala bidang.

 

Dalam rangka pelaksanaan otonomi tersebut, Pasal 8 ayat (1) UU No. 22 tahun 1999, dinyatakan bahwa kewenangan pemerintahan pusat diserahkan kepada Daerah dalam rangka desentralisasi harus disertai dengan penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumberdaya manusia sesuai dengan kewenangan yang diserahkan tersebut.  Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam rangka menjalankan otonomi sepenuhnya tersebut didalam implementasinya  diperlukan dana yang memadai. Oleh karena itu, melalui UU No. 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, maka kemampuan daerah untuk memperoleh dana dapat lebih ditingkatkan. Berkaitan dengan peningkatan kemampuan pendanaan di daerah tersebut ada beberapa hal yang harus diperhatikan, antara lain harus memperhatikan asas keadilan dan rasa persatuan sebagai bangsa.

 

Dalam rangka pelaksanaan azas desentralisasi dibentuk dan disusun daerah propinsi, daerah kabupaten dan daerah kota yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dan masing-masing daerah tersebut berdiri sendiri dan tidak mempunyai hubungan tata jenjang (secara hierarki) antara satudegan lainnya. Berdasarkan peda pernyataan tersebut maka akan muncul rigiditas dan kekakuan antar daerah. Oleh sebab itu, diperlukan sebuah solusi terhadap permasalahan tersebut melalui pengembangan paradigma pembangunan berkelanjutan dengan pendekatan kewilayahan (Regional Approach).

 

Faktor-faktor Pengaruh dalam Pelaksanaan Otonomi

 

Beberapa hal lain yang mendasari perubahan paradigma pembangunan regional adalah faktor-faktor internal dan eksternal yang diperkirakan dapat mempengaruhi jalannya pembangunan regional masa kini dan masa yang akan datang, faktor yang dimaksud antara lain disebabkan oleh adanya factor-faktor intern sebagaimana tersebut di bawah ini.

 

1.      Faktor Internal

Faktor-faktor internal wilayah adalah factor-faktor yang berpengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap pelaksanaan pembangunan wilayah yang ada dan ditemukenali serta yang bersumber di dalam wilayah otoritas yang bersangkutan. Faktor-faktor tersebut disajikan melalui uraian didalam subbab sebagaimana tersebut di bawah ini.

 

a.      Faktor Sumberdaya Wilayah

 

Sumberdaya wilayah merupakan anasir penting dalam pelaksanaan otonomi daerah. Sumberdaya wilayah dimaksud adalah sumberdaya lahan yang terkait dengan potensi fisik wilayah. Kiat manajemen/pengelolan yang berimbang dan berkelanjutan merupakan salah satu penentu keberhasilan dalam peningkatan produksivitasnya. Keberhasilan pengelolaan dengan berpijak pada kaidah kelestarian lingkungan dan berkelanjutan akan dapat menjamin terhadap meningkatnya masukan daerah yang telah lama dieksploitasi dengan tanpa mempertimbangkan kelestarian lingkungan secara optimal. Sebagaimana diketahui bersama bahwa keadaan daerah saat ini telah banyak yang mengalami perubahan sebagai akibat kurangnya pelibatan dan pemberdayaan masyarakat dalam melakukan pembangunan di wilayah yang bersangkutan, sehingga dalam rangka mengantisipasi terhadap pengaruh negatif berkepanjangan maka perlu segera diupayakan adanya sinkronosasi dan peningkatan  hubungan koordinasi dan kemitraan antara pemerintah dan masyarakat, serta daerah dan pusat dalam rangka peningkatan potensi di wilayah yang bersangkutan, oleh sebab itu, melalui Undang-undang No 22 tahun 1999 diharapkan dapat dibangun sebuah sistem yang mampu memperkuat institusi pengelolaan sumberdaya daerah. Institusi ini diharapkan akan menjadi wadah bagi  para profesional  dalam rangka menerapkan profesi sumberdaya manusia sebagai pelaku pembangunan di tingkat regional. Selain itu, persepsi tentang pembangunan daerah yang akan dibangun melalui kebijakan ini, adalah daerah sebagai satu kesatuan sistem wilayah pembangunan, bukan saja berkonsentrasi pada kelangsungan hidup manusia dalam kepentingan sesaat tetapi juga menciptakan habitat bagi tumbuh dan  berkembangnya makhluk lain dalam rangka mempersiapkan sistem yang mendukung kelestarian kehidupan secara berkesinambungan. Dengan demikian, daerah tidak lagi dipersepsikan sebagai daerah yang masing-masing terpisah, tetapi tetap memiliki interaksi dan interdependensi antara satu daerah dengan daerah lainnya. Keterkaitan sumberdala lahan atau sumberdaya fisikal antara satu daerah dengan daerah lainya tidak akan dapat dipisahkan dalam pengelolaannya. Oleh karenanya, diperlukan wadah yang berupa institusi untuk mengakomodasikan keterpaduan perencanaan, pelaksanaannya sampai dengan evaluasi dan monitoringnya.

 

b.      Faktor Sumberdaya Manusia

 

Manusia adalah kunci keberhasilan pembangunan. Sumberdaya manusia merupakan kunci sukses dalam setiap pelaksanaan pembangunan baik dalam skala kecil, menengah maupun sedang. Dalam rangka peningkatan keberhasilan pelaksanaan pembangunan tersebut maka diperlukan kualitas sumberdaya manusia yang memadai. Peningkatan kualitas yang dibarengi oleh peningkatan kuantitas sumberdaya manusia yang berkualitas  di tingkat regional untuk masa-masa sekarang dan yang akan datang perlu dilakukan dan perlu memperoleh/mendapatkan perhatian yang serius dalam penanganannya sehingga potensinya dapat dimanfaatkan secara baik dan benar. Pembangunan regional bukanlah membangun fisik daerah semata-mata, melainkan inti pembangunan daerah adalah membangun sumberdaya manusia. Oleh sebab itu, dalam pelaksanaannya, aspek pemberdayaan masyarakat perlu mendapat perhatian yang serius. Dalam rangka ini pula, diwajibkan kepada daerah untuk mempersiapkan sarana dan prasarana pendukung bagi pengembangan sumberdaya manusia dan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga mampu memberikan dukungan terhadap dilaksanakannya paradigma pembangunan berkelanjutan dan mampu membangun daerah berdasarkan aspirasi daerah yang bersangkutan.

 

c.       Faktor Kedudukan Geografis

 

Letak wilayah secara geografis memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap perkembangan wilayah baik dari segi ekonomi, budaya, social, politik dan fisikal. Letak geografis memiliki pengaruh pula terhadap letak strategis wilayah dalam pelbagai aspek kehidupan. Kedudukan strategis wilayah yang bersangkutan dan dapat  menjadikan wilayah tersebut sebagai salah satu pasar produksi pembangunan baik sektoral maupun non-sektoral dan bahkan mungkin dapat menjadi salah satu produsen handal yang mampu memasok terhadap daerah lain disekitarnya, dengan demikian kedudukan geografi memiliki peran yang penting dan dapat menjadi factor pengaruha yang sangat kuat terhadap perkembangan wilayah yang bersangkutan dan sekitarnya. Disamping itu, dengan letak geografi tersebut dapat dijadikan sebagai dasar “setting” terhadap kegiatan yang prospektif dimasa depan termasuk penentuan pola konservasi dan preservasi serta pola eksploatasinya. Rancangan yang didasarkan pada letak geografis akan mampu memberikan hasil yang optimal termasuk dapat mengakomodasi terhadap jiwa rancangan pembangunan daerah yang searah (compatible) dengan Undang-Undang tentang otonomi daerah dan tata lingkungannya, sehingga dalam pemanfaatan setiap sumberdaya  perlu senantiasa mempertimbangkan “where, what, when, why, how and by whom”?.

 

Dalam kerangka ini pula, Undang-undang menekankan pentingnya pendekatan keruangan yang secara geografis akan memberikan dukungan secara lebih detil melalui pendekatan kewilayahan sehingga persebaran keruangannya dapat dipertanggung jawabkan secara akademis dan praktis.

 

d.      Faktor Perkembangan Penduduk dan Demografi

 

Peningkatan jumlah penduduk Indonesia dimasa yang akan datang disatu sisi merupakan salah satu modal dasar pembangunan nasional, sedangkan disisi lain akan merupakan masalah, hal ini akan besar pengaruhnya terhadap laju dan kecenderungan pembangunan regional. Sumberdaya daerah akan menanggung beban yang lebih besar dalam rangka menyediakan lingkunan hidup yang berkualitas baik. Proyek pembangunan regional dan bersifat lintas administratif yang pada saat ini sedang dilaksanakan, dibangun dengan kesadaran penuh, akan pentingnya kualitas lingkungan hidup, oleh sebab itu, salah satu indikator yang akan dipergunakan dalam mengukur kinerja pengelolaan sumberdaya daerah adalah neraca sumberdaya daerah.

 

e.      Faktor Peningkatan Kebutuhan

 

Sebagai akibat dari keberhasilan pembangunan maka secara logis kebutuhan masyarakat akan barang dan jasa yang berasal dari sumberdaya daerah akan semakin meningkat sehinga perlu didukung dan diantisipasi dalam pengelolaan sumberdaya alam dan pemanfaatan sumberdaya manusia, sehingga dapat terjaminnya kebutuhan di masa yang akan datang.

 

f.        Faktor Perkembangan Persepsi Masyarakat

 

Dengan semakin meningkatnya wawasan masyarakat akan arti penting pelestarian sumberdaya alam, menumbuhkan sikap masyarakat yang kritis tentang pembangunan daerah sehingga persepsi masyarakat tentang sumberdaya tersebut mulai bergeser dari aspek ekonomis ke aspek ekologis. Oleh sebab itu, didalam pelaksanaan SRRP ini, mulai ditekankan perubahan pendekatan dari pendekatan top down menjadi community base development.

 

g.      Faktor Pembangunan Sektoral dan Daerah

 

Pembangunan daerah dan regional sebagai bagian dari pembangunan nasional perlu diselaraskan dan dilaksanakan secara terpadu dengan pembangunan sektor lain dan pembangunan daerah secara holistik. Namun demikian, mengingat bahwa sumberdaya alam sebagai sistem penyanggga kehidupan yang memiliki kedudukan, fungsi dan peran yang sangat penting bagi hidup dan kehidupan, maka pembangunan sektor lain yang menyebabkan perubahan peruntukan dan pemanfaatan sumberdaya yang berdampak penting, bercakupan luas, atau bernilai strategis, harus dilakukan secara cermat dan koordinatif .

 

Khusus hubungannya dengan pembangunan daerah, penyelenggaraan otonomi dibidang pembangunan regional perlu memperoleh perhatian yang semestinya. Untuk itu perlu dikembangkan kegiatan yang bersifat “local specific” berdasarkan potensi dan keadaan setempat.

 

h.      Faktor Kesenjangan

 

Pelaksanaan pembangunan daerah khususnya dalam pelaksanaan pembangunan sektoral, telah menimbulkan ekses terjadinya kesenjangan antara penanam modal dengan masyarakat.

 

Ekses tersebut tidak jarang menimbulkan kerawanan sosial yang berdampak negatif terhadap pengelolaan sumberdaya. Oleh karena itu perlu diusahakan terlaksananya keterlibatan masyarakat  di daerah dalam  setiap pelaksanaan pembangunan daerah melalui pemberdayaan masyarakat dengan cara pembangunan kelembagaan yang mendukung.

 

2.      Faktor Eksternal

 

a.      Faktor Era Globalisasi

 

Berkembangnya kerjasama Regional Asia Pasific dan pengaruh globalisasi pada gilirannya akan mempengaruhi perkembangan pembangunan regional dan nasional di Indonesia. Pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia bukan semata-mata menjadi tanggung jawab bangsa Indonesia tetapi juga sudah dianggap sebagai tanggung jawab semua umat manusia di dunia. Globalisasi yang terjadi meliputi globalisasi ekonomi, demokrasi, lingkungan dan globalisasi sosial.

 

b.      Faktor Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

 

Dalam rangka memenuhi kebutuhan akan peningkatan pelayanan yang layak maka sudah waktunya apabila IPTEK yang semula hanya sebagai pendukung pembangunan, dimasa yang akan datang harus dapat berfungsi sebagai penggerak perkembangan pembangunan daerah dan regional.

 

c.       Faktor Persepsi Masyarakat Internasional

 

 Perhatian masyarakat Internasional akan  arti pentingnya keberadaan dan kelestarian sumberdaya alam daerah terutama yang mendukung terhadap kepentingan manusia baik dalam skala lokal, regional, nasional dan bahkan internasional dalam dasa warsa terakhir semakin meningkat. Hal ini telah menimbulkan isu global yang dapat mengakibatkan dampak yang bersifat positif dan negatif. Sehingga terbuka kemungkinan disinformasi yang mangakibatkan timbulnya isu global  yang bersifat negatif semakin deras. Untuk itu, perlu adanya kehati-hatian dalam setiap kebijaksanaan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam tersebut.

 

Faktor internal dan eksternal tersebut di atas perlu diperhatikan dan dijadikan sebagai pertimbangan utama dalam setiap pelaksanaan proyek pembangunan di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini. Tujuan pembangunan nasional adalah  meningkatkan kesejahteraan rakyat dan bangsa Indonesia sehingga terciptanya kondisi yang adil dan makmur berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila.

 

Pendekatan yang dilakukan dalam proyek ini adalah pedekatan kewilayahan (regional approach) yang dalam pelaksanaannya kita harus melibatkan masyarakat, melalui pemberdayaan masyarakat dalam setiap tahapan pelaksanaan proyek.  Dalam rangka pencapaian hasil proyek secara optimal maka “Good Governance” bagi semua pihak baik Eksekutif, legislatif, yudikatif,  maupun private dan masyarakat merupakan faktor pendukung utama yang diberdayakan bersama-sama dan saling memberikan kontrol, serta  masing-masing beraktivitas sesuai dengan hak dan kewajibannya. Guna mendukung terhadap dilaksanakannya proyek tersebut secara baik dan tepat waktu maka  Role of Local Government  perlu didiskusikan “face to face” antara pusat dan daerah (provinsial dan central).

 

Skenario Indonesia 2010

 

Tatanan baru berkenaan dengan otonomi daerah membawa konsekuensi terhadap diperlukannya kepekaan-kepekaan kerjasama dalam rangka tetap terjalinnya satu kesatuan dalam upaya membangun negara dan bangsa Indonesia dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian, diperlukan skenario-skenario yang memiliki kemungkinan-kemungkinan resiko dan keuntungannya. Ikhtisar skenario Indonesia tahun 2010 adalah sebagai mana tersebut di bawah ini.

 

  1. Skenario di Ujung Tanduk

 

Skenario ini merupakan kombinasi antara varian system pemerintahan otoriter dengan orientasi kebijakan ekonomi yang pro pertumbuhan.

 

Digambarkan bahwa gerakan separatisme mengakibatkan Indonesia mengalami disintegrasi. Konflik antar daerah dan pusat, melebar jadi antar agama, suku, buruh-majikan, bahkan antar pribumi dan keturunan. Kecenderungan anarki dan main hakim sendiri semakin luas. Pembangkangan sipil meningkat. Pendidikan dan agama digunakan untuk menyeragamkan cara berfikir. Pertumbuhan ekonomi diterapkan dengan mendorong industri berteknologi tinggi dan bermodal besar. Setelah Aceh, Papua, Riau ikut melepaskan diri dari Indonesia.

 

  1. Skenario Masuk Rahang Buaya

 

Kombinasi antara varian system pemerintahan otoriter dengan orientasi kebijakan ekonomi pro pemerataan.

 

Skenario ini mengungkapkan kondisi Indonesia yang berubah menjadi negara otoriter akibat kebijakan ekonomi tertutup. Untuk mensubsidi rakyat, pemerintah menguras sumberdaya alam. Tak banyak pabrik beroperasi, karena bahan baku sulit diperoleh. Kebijakan Cultuur Stelsel seperti masa penjajahan Belanda kembali diberlakukan. Setiap perlawanan rakyat dibungkam lewat kekerasan dan terror. Kelompok militer professional nasionalis bergabung dengan kekuatan nasionalis kerakyatan, dan melakukan kudeta.

 

  1. Skenario Mangayuh Biduk Retak

 

Skenario ini memadukan varian system pemerintahan demokratis dengan orientasi kebijakan ekonomi pro pertumbuhan.

 

Indonesia memasuki kehidupan demokratis. Kemerdekaan pers dijamin, dan supremasi hokum ditegakkan. Otonomi daerah diberikan seluas-luasnya. Masalah ekonomi diselesaikan dengan memacu pertumbuhan, bukan hanya dengan mengundang investasi baru, tetapi juga mendorong pemanfaatan asset yang sudah ada.

 

  1. Skenario Lambat tapi Selamat

 

Skenario ini memadukan varian system pemerintahan demokratis dengan orientasi kebijakan ekonomi pro pemerataan.

 

Penerapan otonomi daerah dan desentralisasi menyelamatkan Indonesia dari kehancuran. Dan, kehidupan demokratis dipertahankan setelah orde baru runtuh. Investor asing kembali masuk, dan kepercayaan internasional memulih. Kekerasan mereda. Keadilan menjadi landasan untuk menyelesaikan konflik. Pertumbuhan ekonomi tidak mencolok, namun pemerataan berlangsung sampai ke daerah-daerah.

 

Otonomi: Realitas, Peluang, Tantangan dan Harapan

 

Otonomi sebagaimana disebutkan dalam scenario Indonesia 2010 adalah sebagai salah satu tawaran, sebagaimana telah dikemukakan oleh Presiden RI pertama  Dr. Ir. H. Soekarno, bahwa kemerdekaan adalah  sebuah “Jembatan Emas” menuju terciptanya kehidupan yang lebih baik di masa berikutnya. Otonomi diharapkan dapat menjadi jembatan emas yang dapat mengantarkan Bangsa Indonesia hidup secara lebih baik dan dapat mencapai suatu kehidupan yang sejahtera, aman dan berperadaban tinggi, sehingga dapat terbentuknya masyarakat yang madani. Otonomi diharapkan menjadi pengantar menuju bangkitnya Indonesia baru, yang dapat memberikan jawaban dan realita sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945.

 

Kondisi Indonesia pada saat ini, terdapat jurang-jurang kesenjangan social dan ketimpangan antar daerah yang memerlukan banyak jembatan guna merekatkan kembali rasa persatuan dan kesatuan dalam kebersatuan dan kebersamaan yang hakiki, dan rasa kebangsaan dan solidaritas sesama. Sebagai perumpamaan sebuah jembatan, maka harus dilihat dari kedua sisi, dalam hal ini, pemerintah pusat di satu sisi dan pemerintah daerah di sisi lain, struktur yang dibangun harus melibatkan partisipasi masyarakat, pemerintah dan dsunia usaha (swasta).

 

Realitas yang terjadi adalah adanya pemahaman dan pemaknaan otonomi yang berkembang sangat beragam. Wacana yang beragam tersebut antara lain melihat otonomi sebagai siasat rezim sentralitas, otonomi sebagai desentralisasi yang diberikan pusat kepada daerah. Otonomi merupakan pemicu tumbuhnya raja-raja kecil, otonomi sebagai perwujudan kedaulatan rakyat. Sebagai negara kepulauan tentu saja keragaman sudah menjadi kodrat, baik keragaman alamiah sumberdaya dan lingkungannya, maupun kemajemukan masyarakat sosialnya.

 

Tantangan yang berkembang adalah bahwa perubahan dari rezim otoriter sentralistik menuju otonomi demikratik memerlukan kesabaran, kepeloporan, keteladanan para pemimpin yang pada intinya “setiap manusia adalah pemimpin, dan akan dimintai pertanggungjawaban kelak kemudian hari dihadapan sang Maha Pencipta”. Ditengah-tengah turbulensi arus kepentingan memang diperlukan kepemimpinan yang efektif, manajemen yang efisien dan yang penting adalah adalah paradigma dan visi arah pembangunan yang jelas, yaitu kepentingan rakyat banyak. Harapan yang harus diupayakan adalah otonomi yang dapat memperkokoh kedaulatan rakyat atas dasar keadilan dan yang dapat melestarikan kemampuan sumberdaya untuk generasi mendatang menuju pembangunan berkelanjutan. Harapan ini jelas tidak mudah dilaksanakan, berbagai cobaan akan menimpa bangsa Indoanesia.

 

Otonomi dalam Kontek Negara Kepulauan (Spatial-Ecological Condition)

 

Karakter geografi negara kepulauan Indonesia, dicirikan oleh keragaman ekosistem wilayah dan sosio-ekonomi masyarakat. Kondisi ini membawa konsekwensi perlunya pendekatan dan manajemen pembangunan yang harus digali dari khasanah keragaman itu sendiri yang bersifat majemuk. Oleh karena itu,  model dan pendekatan pembangunan yang sentralistik dan menggunakan pendekatan keseragaman di anggap sebagai hal yang bertentangan dengan kodrat alamnya.

 

Otonomi dianggap memberikan angin segar bagi kemajemukan dan memfasilitasi penguatan masyarakat dan pemerintah daerah dalam menentukan arah pembangunannya sesuai dengan karakter ekosistem alami dan system sosio-ekonomi local. Terdapat dua system yang perlu dicermati secara kritis, yaitu otonomi daearah yang dibatasi oleh wilayah administrasi (territory) dan ekosistem alami yang merupakan wilayah funsi (functional). Ekosistem wilayah kepulauan memiliki karakteristik yang beragam antara satu pulau dengan pulau lainnya.

 

Penduduk pulau-pulau besar mempunyai tradisi budidaya darat berbasis sumberdaya lahan dan sebaian lainnya yang bermukim di wilayah pantai memiliki tradisi laut yang matapencahariannya berkaitan dengan perikanan. Sedangkan penduduk pada pulau-pulau kecil pada umumnya menempati wilayah pantai sebagai masyarakat nelayan, wilayah laut merupakan hinterland bagi kehidupan masyarakat dan perkembangan pulau-pulau kecil.

 

Sebaran potensi sumberdaya alam sangat beragam keberadaannya secara spasial dan social baik horizontal maupun vertical. Sebaran sumberdaya alam meliputi permukaan hingga perut bumi, seperti: kehutanan, pertanian, perikanan, pertambangan, perminyakan dan gas bumi, gas alam cair, semuanya merupakan modal pembangunan. Sebaran secara horizontal menunjukkan bahwa ada wilayah yang kaya sumberdaya alam penting dan strategis dan ada yang miskin, sedangkan vertical dapaat menyangkut kepemilikan hak atas sumberdaya tersebut apakah local masyarakat adat, daerah atau nasional.

 

Sejumlah propinsi yang kaya akan sumberdaya alam antara lain: Kalimantan Timur, Riau, Aceh dan Irian Jaya justru terletak pada wilayah pinggiran (frontier region). Keempat propinsi ini menyumbeng sumberdaya alam ke pusat dalam jumlah yang cukup besar, ironisnya kondisi masyarakat di wilayah keempat propinsi tersebut masih memprihatinkan baiak dalam segi ekonomi maupun pembangunan social budayanya.

 

Sebaran kekayaan sumberdaya alam tersebut, ternyata tidak seiring dengan proses kemajuan masyarakat setempat dimana sumberdaya alam tersebut berada. Permasalahan kesenjangan ini justru di wilayah yang sumberdaya alamnya kaya seperti keempat propinsi tersebut yang letaknya di pinggiran. Persoalan ketertinggalan perkembangan wilayah dialami oleh sejumlah propinsi yang  kaya akan sumberdaya alam tersebut pada umumnya dapat dilihat sebagai fenomena dikotomi wilayah pusat pinggiran (center-pheriphery) dalam proses pembangunan Indonesia.

 

Otonomi pada Masa Transisi (Socio-economic Transitions- Situations)

 

Implementasi kebijakan otonomi daerah dalam rangka menjawab tuntutan local dan desakan kecenderungan arus global, perlu dicermati mengingat kondisi masa transisi yang labil da potensi konflik horizontal dapat menjadi kerusuhan massal dan perpecahan bangsa. Masa transisi yang labil memerlukan rekonsiliasi elit yang diikuti dengan pemulihan ekonomi dan politik sampai tingkat local. Kekhawatiran tersebut mengingat selama ini kita tidak terbiasa berbeda pendapat dan beragumen secara baik, yang sering kita alami adalah realitas perbedaan pendapatan dan arogansi kekuasaan.

 

Tuntutan masyarakat di sejumlah propinsi untuk merdeka dan sebagian mengusulkan diberlakukannya system federal serta sebagian besar lainnya menginginkan otonomi seluas-luasnya, merupakan reaksi dari system sentralitas yang berlebihan dan eksploitasi oleh pusat di bawah rezim otoriter Orde Baru. Sementara itu muncul tuntutan masyarakat global untuk mendorong proses pembangunban berkelanjutan, melalui sejumlah instrumen ekonomi perdagangan, bantuan luar negeri dan kerjasama social budaya.

 

Selama ini rezim orde baru memilih strategi pembangunan lewat modernisasi yang meletakkan pemerintah pusat sebagai penentu, sector industri dan kota menjadi lebih berperan disbanding sektoir pertanian dan desa. Model pembangunan sentralistik ini ceenderung ingin menyeragamkan prosedur dan standar program dan proyek pembangunan, yang direncanakan di pusat bagi pelaksanaan di seluruh daerah.

 

Pemerintah pusat begitu dominan, sedangkan pemerintah daerah hanya sebagai pelaksanan dari kehendak pusat. Sebagai implikasi dari system pemerintahan sentralistik ini, menyebabkan pemerintah daerah kehilangan  otoritas terhadap pengelolaan sumberdaya lokalnya dan pengembangan kepentingan daerahnya. Aparat daerah menjadi tidak tanggap dan kreatif terhadap aspirasi dan dinamika masyarakatnya, karena pada hakekatnya pemerintah daerah adalah kepanjangan dari kepentingan pusat di daerah. Maka istilah yang cocok dibawah system sentralistik adalah “Pembangunan di Daerah”, sedangkan semangat yang ingin dikembangkan oleh system desentralisasi adalah proses pembangunan yang sesuai dengan aspirasi masyarakat dan karakteristik wilayah yang terwujud sebagai “Pembangunan Daerah”.

 

Dibawah rezim sentralistik, yang terjadi justru penghisapan sumberdaya dan nilai tambah dari daerah ke pusat. Proses ini diikuti dengan kesenjangan antar wilayah di Jawa versus luar Jawa., IBB versus IBT, kota versus desa.  Sebagai akibatnya begitu rezim ini jatuh, munculah mosi tidak percaya pada pusat dan desakan untuk otonomi terutama propinsi yang terletak di daerah pinggiran (frontier region) yang selama ini mengalami ketidak adilan. Bahkan sebagian kelompok masyarakat di daerah menyatakan aspirasinya menginginkan  referendum “Otonomi atau Merdeka”.

 

Perubahan model pembangunan dalam rezim sentralistik menuju desentralisasi bukan merupakan proses yang mudah. Perubahan tersebut merupakan serangkaian perubahan sikap mental aparat birokrasi,reformasi kelembagaan dan mekanisme hubungan pusat-daerah, pengaturan pemanfaatan atau eksploitasi sumberdaya alam, peningkatan keuangan daerah berupa penggalian sumberdana dan alokasi anggaran pembangunan, penguatan aparat baik  dalam bentuk pendidikan maupun mobilisasi aparat pusat ke darah.

 

Bila UU No 5/1974 mengenai otonomi daerah yang dulu dimaksudkan untuk melancarkan pelaksanaan pembangunan dan membina kestabilan politik, maka UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah lebih menekankan pada proses demokrasi, peranserta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta memperhatikan potensi keragaman daerah. Perubahan ini cukup mendasar, sehingga memerlukan komitmen implementasi dan kesiapan daerah untuk mempersiapkan sumberdaya manusia dan institusinya.

 

Dalam kontek pelayanan publik yang lebih dekat dan sesuai dengan masyarakatnya, maka otonomi merupakan pilihan yang dapat diharapkan. Menurut Marut, D.K. (2000), “logikanya sederhana saja: salah satu cara mengukur kualitas pemerintahan dan penyenggaraan negara yang baik adalah dengan melihat kecocokan atau afinitas antara pelayanan dari pemerintah dengan preferensi warga negaranya”. Oleh karena itu, dinamika social ekonomi masyarakat, seyogyanya diperhitungkan dalam otonomi agar dapat mendekatkan pelayanan pemerintah dan juga meningkatkan kontrol masyarakat pada kinerja pemerintah.

 

Menuju Otonomi Yang Berkeadilan dan Berkelanjutan

 

Reformasi dapat membawa berkah tetapi sekaligus juga potensial membawa bencana dalam melewati proses pembangunan kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Otonomi juga merupakan suatu proses  perubahan dimana partisipasi mestinya jauh lebih efektif, system manajemen pembangunan bias lebih efisien, dan kemandirian dapat lebih kokoh. Prospek pengembangan otonomi secara teoritis, dapat menjawab berbagai masalah tersebut di atas yang intinya pada keadilan dan keberlanjutan. Ditengah pusaran arus reformasi dan situasi transisi, pertanyaan kritis harus dikemukakan, apakah otonomi akan membuahkan berkah dan manfaat ataukah justru akan menghadirkan dilemma dan bencana disintegrasi?

 

Emansipasi dan partisipasi, merupakan dasar pengembangan demokrasi yang melibatkan seluas-luasnya partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan. Rakyat memiliki kedaulatan atas sumberdaya wilayahnya, dapat memilih wakil-wakil di lembaga perwakilan daerah, menentukan siapa pemimpinnya, dan menyusun peraturan dan merencanakana pembangunannya. Otonomi ini menuntut kesiapan para birokrat di daerah dalam memfasilitasi aspirasi dan partisipasi masyarakat dalam mewujudkan pembangunan di daerahnya. Harapan tersebut tentu menghadapi sejumlah kendala ditengah-tengah pergesekan kelompok kepentingan di daerah, mengakarnya penyakit kronis KKN, ketidaksiapan sejumlah aparat di daerah, dan kebiasaan main perintah dan main kekuasaan dalam meng-gol-kan kepentingan masing-masing.

 

Kesetaraan dan kemitraan, merupakan dasar bagi terbentuknya hubungan social yang adil dan terekatnya solidaritas “senasib, sepenanggungan” sebagai bangsa. Kesetaraan antar sesama, tidak membedakan suku dan agama serta etnis, berarti tidak menjadikan isu SARA sebagai komoditi konflik tetapi justru memanfaatkan perbedaan tersebut sebagai potensi untuk saling mengikat persaudaraan. “Diciptakan manusia secara bersuku-suku dan berbeda-beda, agar saling mengenal dan bersaudara”. Namun, kenyataannya manusia selalu ingin menang sendiri dan menganggap remeh orang lain. Tantangan yang sedang dihadapi bersama dalam proses otonomi adalah masyarakat sedang mengalami keretakan persaudaraan antar sesama, penurunan kepercayaan pada pemimpin dan pemeritahnya, kemerosotan moral dan kehilangan keteladanan.

 

Kompetisi dan Kompetensi,  merupakan daya untuk survival atau mempertahankan hidup bahkan merupakan dayadukung dan dayadorong untuk berprestasi. Masyarakat local harus mampu berkompetisi menghadapi para pendatang, demikian pula para pelaku otonomi kecil dan menengah di daerah harus mampu berkompetensi dengan mitra saingan besar. Tidak semua daerah memiliki sumberdaya alam yang dapat diandalkan, namun bukti menunjukkan bahwa pembangunan dapat bertumpu pada modal sumberdaya manusia dan sumberdaya budaya (ternasuk teknologi, dan sistem pengelolaan) yang mampu membuat suatu wilayah unggul dibandingkan yang lainnya.

 

Kemajemukan dan keberlanjutan, kemajemukan memang merupakan kodrat alam, maka agar dapat mencapai pemabangunan yang berkelanjutan, diperlukan penghargaan atas kemajemukan. Kemajemukan menunjukkan banyak alternatif yang berarti setiap orang atau system atau kelompok dapat mengembangkan identitas dan cirikhas untuk dapat saling dipertukarkan. Pembangunan dearah yang merupakan wilayah kepulauan tidak dapat dikembangkan secara seragam seperti pendekatan dan pengelolaan pembangunan yang selama ini dilaksanakan. Namun kita masih menghadapi cara berfikir kaum intelektual, cara mengatur kaum birokrat, cara berdagang pengusaha dan cara berperilaku politisi Indonesia yang berfaham “Persatuan dan Kesatuan”, padahal para leluhur kita merumuskan “Bhineka Tunggal Ika” sebagai perwujudan keragaman karakteristik wilayah dan kemajemukan sosial budaya masyarakat Indonesia.

 

Otonomi mengandung sejumlah azas yang penting untuk diwujudkan pada setiap prosesnya. Maka azas kemajemukan adalah jawaban bagi otonomi yang menuntut pertimbangan matang kondisi (potensi) dan keadaan (perkembangan) daerah masing-masing. Maka azas keberlanjutan harus pula menjadi acuan otonomi, tidak hanya mempertimbangkan keadilan antar daerah dan antar kelompok masyarakat saat ini, tetapi mempertimbangkan pula generasi mendatang. Maka ada baiknya kita memahami kata bijak berikut ini, “Bumi bukan warisan dari nenek moyang kita, tetapi pinjaman dari anak cucu kita”.

 

Penutup

Otonomi daerah (desentralisasi) merupakan tatanan baru yang mulai diundangkan akan membawa perubahan-perubahan dan konsekuensi logis lainnya.  Konsekuensi logis yang dimiliki oleh akibat adanya kebijakan baru yang diterapkan sebagai pijakan pelaksanaan gerak langkah pembangunan dan mekanisme pertanggungjawabannya adalah perubahan menuju tatanan baru. Perubahan dari tatanan lama menuju tatanan baru tersebut membawa dua konsekuensi logis, pertama menjadi peluang untuk dapat tercapainya cita-cita negara menuju negara yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, kedua mengandung resiko tercapainya hal tersebut pertama. Peluang yang diharapkan adalah semakin berkembangnya demokrasi yang ditandai  oleh tegaknya kedaulatan rakyat, berfungsinya pemerintahan yang baik dan berkembangnya dunia kewirausahaan yang murni berdasarkan upaya perwujudan kemitraan yang mutualistik.

Skenario Indonesia tahun 2010 merupakan suatu gambaran yang didasarkan pada fakta (realita) yang berkembang pada beberapa tahun terakhir, sehingga dalam pelaksanaan pemilihan terhadap skenario yang akan dimainkan akan sangat bergantung pada tingkat tanggung jawab terhadap pensejahteraan masyarakat, tanggung jawab moral yang dimiliki oleh para pelaku pemerintahan dalam menjalankan roda pemerintahan.

Berdasar pada uraian di atas dalam melakukan pembangunan dan pengembangan wilayah tidak dapat hanya bertumpu pada satu atau dua faktor pengaruh tetapi berorientasi pada proses multidimensi yang mencakup penting dalam dalam struktur sosial, sikap-sikap rakyat dan lembaga-lembaga terkait. Karena pertumbuhan ekonomi semata tidak banyak dapat menyelesaikan persoalan yang kadang-kadang mempunyai akibat yang tidak menguntungkan.

 

Referensi

 

Hendra Asmara. 1986. Perencanaan Pembangunan di Indonesia. Penerbit PT. Gramedia. Jakarta.

 

Marut, D.K., 2000. Otonomi Daerah: Peluang dan Tantangan Bagi Siapa” dalam WACANA: otonomi Siasat Rezim Sentralistik, Jurnal Ilmu Sosial Transformatif No. V 2000. Insist. Yogyakarta.

 

Undang-Undang  No. 22 Tahun 1999. tentang Pemerintahan Daerah.Penerbit Sinar Grafika. Jakarta.

 

Undang-Undang No 25 Tahun 1999. tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan daerah. Penerbit Sinar Grafika. Jakarta.