© 2001 Ujang  Khairul                                                                                               Posted:  23  Nov. 2001   [rudyct] 

Makalah Falsafah Sains (PPs 702)   

Program Pasca Sarjana / S3

Institut Pertanian Bogor

November 2001

 

Dosen: Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)

 

 

PEMANFAATAN   BIOTEKNOLOGI   UNTUK  MENINGKATKAN 

PRODUKSI  PERTANIAN

 

 

 

Oleh:

 

Ujang  Khairul

A 426010051

E. mail: khairulp2001@yahoo.com

 

 

 

Pendahuluan

          

           Pertanian secara tradisional merupakan bidang usaha yang bertujuan untuk menghasilkan kebutuhan hidup seperti makanan, serat, makanan ternak dan bahan – bahan baku untuk industri.  Bidang usaha ini berciri utama penggunaan sumber daya alami seperti tumbuhan, tanah, air, faktor lingkungan dan dipadukan dengan penggunaan tenaga manusia dan ternak.  Hal ini sedikit demi sedikit berubah ke arah bentuk usaha pertanian yang mempunyai ciri – ciri seperti pada bidang usaha industri.  Perubahan terjadi berkat semakin banyaknya produk – produk ilmu dan teknologi yang masuk ke dalam bidang usaha pertanian dan memberikan pengaruh pada sistim produksi bahan makanan dan pertanian di seluruh dunia.

Dalam beberapa dasawarsa terakhir ini produksi hasil pertanian telah meningkat secara luar biasa, tetapi persediaan pangan yang bergizi bagi penduduk  dunia tidak pernah melebihi kebutuhan.  Hal ini mendorong orang untuk memanfaatkan teknologi baru dalam program pemulian tanaman agar masalah pangan dan gizi yang timbul dapat diatasi.   Bioteknologi adalah penerapan yang didasarkan kepada sistim kehidupan untuk mengembangkan proses dan produk komersial. Bioteknologi mencakup teknik DNA rekombinan, tranfer gen, manipulasi dan tranfer embrio, regenerasi tumbuhan, kultur sel, antibodi monoklonal dan rekayasa proses biologi.  Dengan teknik ini, kita  dapat memindahkan gagasan ke penerapan praktis.  Misalnya kita telah berhasil mengubah secara genetis sifat tanaman budidaya tertentu untuk meningkatkan daya tahan terhadap hama dan penyakit tertentu.  Bioteknologi mempunyai potensi untuk meningkatkan produksi tanaman budidaya, peternakan dan pegolahannya secara biologi.  Bioteknologi menyediakan bagi para pakar suatu pendekatan baru untuk mengembangkan varietas – varietas baru dengan produksi yang lebih tinggi dan lebih bergizi, lebih tahan terhadap serangan hama dan penyakit, serta terhadap keadaan yang merugikan, atau mengurangi kebutuhan terhadap pupuk dan bahan – bahan kimia lainnnya.

           Bioteknologi bukan sarana untuk mengubah tujuan pertanian sebagai penghasil bahan pangan, serat kayu dan produk lainnya, melainkan lebih tepat untuk meningkatkan produktifitas pertanian.  Bioteknologi dibangun berlandaskan pengertian yang diturunkan dari pengetahuan dalam bidang biologi, genetika, fisiologi dan biokimia.

           Sepanjang sejarah  perkembangan pertanian, manusia memanfaatkan proses alami pertukaran genetik melalui pemuliaan yang menciptakan variasi ciri biologi. Fakta ini melandasi semua upaya untuk memperbaikan varietas – varietas tanaman pertanian, baik melalui pemuliaan tradisional maupun melalui teknik biologi molekuler.  Dalam kedua metode ini, manusia memanipulasi proses alam untuk menghasilkan berbagai varietas   tanaman yang menunjukan sifat atau ciri khas yang diinginkan, seperti meningkatkan produksi, tahan terhadap serangan hama dan penyakit, atau ternak dengan produksi daging yang tinggi dengan kadar lemak yang rendah.

           Metoda biologi molekuler dapat menyederhanakan masalah ini dengan memanipulasi gen satu persatu.  Tanpa bergantung pada terjadinya rekombinasi sejumlah besar gen, para ilmuwan dapat menyisipkan satu persatu gen untuk sifat spesifik secara langsung ke dalam genom yang telah terbentuk.  Para ilmuwan dapat pula mengendalikan ekspresi gen dalam varietas tanaman baru.    Transfer gen molekuler dapat  memperpendek waktu yang diperlukan untuk mengembangkan varietas baru dan memberikan ketepatan yang lebih besar untuk sifat yang diinginkan.  Selain itu juga dapat digunakan untuk mempertukarkan  gen antara organisme yang tidak dapat disilangkan secara seksual.

           Teknik transfer gen merupakan kunci berbagai penerapan bioteknologi.  Inti  dari rekayasa genetik adalah menentukan gen yang dapat mengekspresikan sifat tertentu, kemudian memisahkannya dan memasukkannya kedalam inang asli atau organisme lain.   Teknik ini merupakan sarana yang digunakan untuk mengetahui sifat dan fungsi gen sebagai pengatur pertumbuhan dan pengembangan, pengaturan komunikasi antar sel dan antar organisme.

 

Pemuliaan Tanaman

           Perkembangan dan kemajuan yang dicapai dalam bidang biologi molekuler telah melahirkan dan berkembangnya teknologi rekombinan DNA atau yang dikenal dengan sebutan rekayasa genetik .  Rekayasa genetik atau rekombinan DNA  adalah suatu kumpulan teknik - teknik eksperimental yang memungkinkan peneliti untuk mengisolasi, mengidentifiksi dan melipatgandaan suatu fragmen dari material genetik (DNA) dalam bentuk murninya.  Manipulasi – manipulasi tersebut dilakukan secara in vitro dengan menggunakan material – material biologi

Penggunaan kultur jaringan untuk pembiakan  klonal didasarkan pada  anggapan bahwa jaringan secara genetik tetap stabil jika dipisahkan dari tumbuhan induk dan ditempatkan dalam kultur.  Pendapat ini sebahagian besar berlaku jika tumbuhan dibiakkan dengan kuncup ketiak atau tunas liar yang secara langsung dipisahkan dari tanaman.  Walaupun demikian, apabila tunas terbentuk dari jaringan kalus, sering terjadi penyimpangan (Chaleff, 1984).

           Protoplas sel totipoten tanpa dinding sel dapat dihasilkan dengan mudah dan telah dirancang  suatu metode untuk menumbuhkannya menjadi jaringan kalus dan dilanjutkan menjadi tanaman kecil yang dapat dikembangbiakan secara konvensional.  Protoplas dapat dipisahkan dari jaringan tanaman, termasuk akar, daun, buah, serbuk sari, bintil akar kacangan, organ penyimpanan dan jaringan kalus.  Jaringan daun sering digunakan karena hasil protoplas dari sumber ini cukup tinggi dan seragam.  Protoplas sering menghasilkan jaringan kalus yang kemudian dari kalus ini diregenerasikan suatu  tumbuhan yang lengkap.  Sayangnya , keberhasilan metoda ini kecil peluangnya  untuk tanaman kacang-kacangan dan padi – padian.  Belakangan ini kemungkinan tanaman Medicago sativa (Alfafa)  untuk beregenerasi dari protoplasma menjadi tumbuhan lengkap peluangnya  cukup tinggi dalam kondisi pertumbuhan yang relatif sederhana.  Hal ini memberi petunjuk penting bahwa usaha dibidang kacang-kacangan akan dapat berkembang lebih cepat.   Sebegitu jauh kita masih belum mampu untuk mengembangkan tumbuhan dari jenis padi – padian dan kacang – kacangan melalui pertumbuhan protoplasma.

           Manfaat penting dari protoplasma dalam pemuliaaan tanaman terletak pada beberapa sifatnya, yaitu : (1)  protoplas dapat dihasilkan dan disaring untuk membentuk banyak variasi. Meskipun protoplas yang terbentuk secara genetik bersifat homogen, tetapi kalus yang merupakan keturunannya dapat menjadi tanaman yang menunjukan perbedaan  sifat-sifat yang cukup besar , (2)  tidak adanya dinding sel memudahkan fusi antara protoplas dan dengan demikian mengawali terjadinya pembastaran. Fakta bahwa fusi dapat terjadi antara sel somatik yang bersifat diploid yang memungkinkan   pemulia tanaman merancang suatu teknik dengan baik,  (3) tidak adanya dinding sel juga memudahkan penyerapan DNA, sebagai fragmen atau plasmid yang berasal dari bakteri, untuk menghasilkan tanaman dengan sifat-sifat yang baru sama sekali.

           Meskipun tanaman yang diperbanyak secara vegetatif (klon) umumnya mirip induknya, tetapi tidak berarti, bahwa semua klon secara genetik bersifat serupa. Klon yang berbeda secara nyata dari induknya dapat terjadi, dan dikenal sebagai varian somatik dan merupakan hasil perubahan genetik pada sel merismatik yang menghasilkan semua atau sebagian tumbuhan baru. Dalam hal-hal tertentu varian somatik  dapat menjadi varietas baru yang penting, misalnya pada jeruk manis. Beberapa mekanisme genetik dapat menyebabkan terjadinya variasi somatik, antara lain : perubahan jumlah kromosom dalam inti, mutasi gen tunggal, seperti kloroplas dan mitokondria.

           Meskipun fusi protoplas tumbuhan diketahui jarang terjadi, namun Power  dan kawan – kawan tahun 1970,  berhasil merancang suatu metode untuk mengendalikan fusi yang dapat diulang, dan dengan demikian menemukan langkah awal untuk pembastaran somatik pada tumbuhan. Suspensi protoplas dalam 0,25 mol/l larutan natrium nitrat dapat  menginduksi   fusi yang cepat.   Larutan 10,2% sukrosa,  5,5% natrium nitrat dan kalsium klorida dapat digunakan untuk menginduksi  fusi protoplas Parthenocissus tricuspidata dengan protoplas Petunia hibrida.

           Tahap berikutnya adalah membangkitkan bastar somatik dengan teknik fusi protoplasma yaitu dengan : (1) isolasi protoplasma, fusi, pembentukan kembali dinding sel, fusi inti untuk mendapatkan inti bastar sejati, pertumbuhan sel bastar dalam kultur, dan akhirnya pembentukan tumbuhan secara lengkap.

           Pada umumnya, fusi kloroplas tumbuhan mudah dicapai, meskipun tidak mudah untuk menumbuhkan sel bastar dengan memuaskan.  Dari hal ini jelaslah bahwa protoplas bastar yang hanya sedikit terdapat dalam campuran sel perlu dipisahkan  dan mendorong perkembangannya melalui prosedur seleksi.  Sebagai contoh  pembastaran somatik antara Petunia hybrida dengan Petunia parodii, yang prosedur seleksinya memanfaatkan adanya perbedaan kekuatan potensi pertumbuhan antara  protoplas daun kedua jenis tumbuhan ini.  Protoplas Petunia parodii paling tinggi hanya dapat membentuk kalus kecil yang terdiri dari lebih kurang lima puluh sel pada media, sedangkan protoplas Petunia hybrida terus menerus membentuk kalus.  Sebaliknya dari kepekaannya  terhadap aktinomisin D, Petunia hybrida lebih peka terhadap aktinomisin D dari protoplas Petunia parodi .

           Inti campuran (heterokarion) yang terjadi pada fusi dua protoplas yang tidak sama dapat berkembang menjadi sel  bastar dengan fusi inti.  Dengan cara ini semua organel dari kedua protoplas pembawa gen yang dapat mengadakan seleksi   sendiri, digabung, sedangkan pada persilangan seksual biasa, satu inti yang membawa gen kromosomal (karyom) yang berasal dari masing – masing induk, tetapi bisanya gen yang diwariskan melalui plastida (plastidom)  dan gen yang diwariskan melalui mitokondria (kondriom) hanya berasal dari induk betina.  Dengan demikian, teknik fusi protoplasma memberikan kesempatan untuk menghasilkan kombinasi dua genom induk yang lengkap. 

           Salah satu keuntungan utama yang diberikan oleh kultur untuk percobaan genetik dengan tumbuhan lebih tinggi adalah bahwa kultur sel itu memungkinkan seleksi langsung untuk memperoleh fenotipe baru dari sejumlah besar populasi sel yang ditumbuhkan pada kondisi tertentu dan dari segi fisiologis dan perkembangan bersifat seragam.  Jutaan sel, masing – masing mempunyai potensi untuk menjadi  tumbuhan dapat dikulturkan dalam satu cawan petri.

Berbagai metoda telah dikembangkan dan digunakan untuk membuat tanaman transgenik, termasuk diantaranya penggunaan plasmid Ti dengan Agrobacterium tumefaciens.   Metoda lain yang juga telah dikembangkan adalah metoda gen transfer menggunakan kloroplas, mikroinjeksi DNA, elektroforasi, penembakkan dengan mikroproyektil (Uchimiya, 1989)

           Agrobacterium tumefacien efektif digunakan sebagai sistim transfer gen tanaman dikotil, meskipun tidak semua tanaman dikotil menunjukkan respon yang sama terhadap sistim tranformasi ini.  Kedelai misalnya termasuk spesies tanaman yang sulit direkayasa dengan Agrobacterium.  Kekurangan yang mencolok dalam sistim ini adalah kesulitan dengan tanaman monokotil, terutama golongan serelia seperti : padi, jagung, gandum dan lain – lain yang tidak dapat ditransformasi dengan Agrobacterium (Wu, 1990).

           Teknik – teknik gen transfer berkembang dengan cepat dan terus disempurnakan.  Dalam beberapa tahun terakhir, gen transfer pada tanaman sudah merupakan kegiatan rutin yang dilakukan di beberapa laboratorium di dunia. metoda yang efisien dalam mengklon gen,  teknik transformasi, regenerasi tanaman, ketersediaan konstruksi – konstruksi gen baru, sistim vektor yang terus dikembangkan, promotor yang spesifik untuk organ tertentu untuk ekspresi gen adalah faktor – faktor yang berperan dalam memproduksi tanaman transgenik.

           Pada awalnya, gen yang banyak dipakai dalam transfer tanaman adalah gen – gen reporter yang fungsinya lebih banyak untuk uji pengembangan teknik transfer itu sendiri, atau mempelajari kemampuan sekuens pengendali dalam mengendalikan ekspresi suatu gen di dalam sel tanaman.  Kemudian terus dikembangkan transfer klon gen yang mengendalikan karakter – karakter yang mempunyai nilai ekonomis sejalan dengan tersedianya klon gen tersebut.  Karakter – karakter tersebut diantaranya adalah  gen untuk ketahanan terhadap serangga, gen untuk ketahanan terhadap penyakit virus dan bakteri, gen  ketahanan terhadap herbisida, toleransi terhadap salinitas, kekeringan dan peningkatan kualitas nutrisi.

 

 

Tabel 1.  Beberapa vektor kloning dan penggunaannya

 

Penggunaan

Vektor *)

1

2

3

4

5

6

Mengklon fragmen besar

Kontruksi pustaka genom

Konstruksi pustaka cDNA

Sub cloning rutin

Pembuatan konstruksi

Vektor ekspresi

Sekuensing

Probe utas tunggal

 

+

 

+

+

+

+

+

 

+

+

 

+

+

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

+

+

 

+

 

 

 

+

+

 

 

 

 

 

+

+

 

          *)  1    = Plasmid prokariotik

2        = Bakterifage lamda

3        = Kosmid

4        = Filamentous fage

5        = Virus eukariot

6        = Plasmid eukariot

 

           Program pemuliaan tanaman pertanian untuk ketahanan terhadap virus telah banyak dilakukan.  Target dari sifat resistensi tersebut menurut Hull (1990) dapat dikelompokkan kedalam : (1) memberikan resistensi terhadap transmisi, (2) resistensi untuk  pekembangan penyakit (pencegahan replikasi virus, penyebaran virus, dan lokalisasi infeksi  dengan atau tanpa nekrosis)., (3) resistensi terhadap perkembangan gejala penyakit (toleran).

           Perkembangan teknologi rekombinan  DNA telah memberikan harapan baru dalam mengatasi masalah virus tanaman.  Pada tahun 1985, Sanford dan Johston memperkenalkan suatu konsep baru penggunaan teknik rekayasa genetik dalam mengembangan resistensi terhadap mikroorganisme, dimana gen yang sudah dimodifikasi dari suatu patogen dapat memberikan resistensi tanaman dengan menganggu proses hidup patogen tersebut.

           Sampai saat ini ada tiga bentuk resistensi non – konvensional terhadap virus yang telah dikembangkan yaitu : (1) penggunaan sekuens RNA satelit, Sekuens RNA antisens dan gen penyandi protein pembungkus virus. (virus coat protein gen – gen VCP).

           Perkembangan teknologi rekombinan DNA juga memungkinkan dilakukannya manipulasi rekayasa genetik untuk mendapatkan tanaman yang toleran terhadap herbisida sehingga  dapat meningkatkan  keselamatan dan produksi  tanaman.  Menurut Oxtoby dan Hughes (1990), metoda untuk merekayasa resistensi tanaman terhadap herbisida dapat dibedakan ke dalam dua kelompok pendekatan yaitu : (1) merubah tingkat sensitifitas dari enzim yang merupakan target herbisida dalam tanaman yakni dengan memanfaatkan gen mutan yang timbul spontan dialam dan mengintroduksi gen tersebut kedalam genom kloroplast, (2)  Mengintroduksi gen pengkode enzim yang dapat menetralisir (menghilangkan) sifat racun herbisida dalam tanaman  seperti enzim oksidase, amilase dan decarboxylase.

           Teknologi rekombinan DNA dapat juga digunakan untuk merakit tanaman yang resisten terhadap serangga hama yakni dengan memanfaatkan bakteri Bacillus thuringiensis yang merupakan jenis bakteri yang mampu menghasilkan suatu protein kristal yang bersifat racun terhadap serangga.  Aktifitas bioinsektisida dari  Bacillus thuringiensis ini spesifik terhadap spesies serangga tertentu dan tidak toksik terhadap hewan (Spear, 1987).  Lebih dari 3.000 isolat alami Bacillus thuringiensis yang diseleksi oleh Genetic System N.V. Belgium, hampir semuanya dilaporkan meracun terhadap larva berbagai Lepidoptera dan 5  larva  Coleoptera (Dekeyser, 1991).

           Gen penghasil toksin pada Bacillus thuringiensis di klon dan di tranfer ke tanaman budidaya yang banyak diusahakan.   Menurut  Dekeyser  (1991) tanaman tembakau, tomat dan kentang transgenik yang mengandung gen toksin Bacillus thuringiensis memperlihatkan resistensi terhadap serangan serangga hama.

 

Pengendalian  Biologi

           Pengendalian biologi yang terjadi secara alami di alam  yang dapat menekan perkembangan serangan penyakit tanaman jarang dapat dijelaskan bagaimana mekanisme pengendaliaanya.  Kemajuan penelitian dibidang ini berjalan lambat, karena harus menunggu tersediannya pengetahuan dasar mengenai perilaku dan sifat populasi campuran di dalam tanah dan dipermukaan tanaman.  Walaupun demikian, ada beberapa sistim pengendalian biologi yang telah dikembangkan  dengan memanfaatkan bioteknologi.

           Sifat antagonis jamur Trichoderma sp telah diteliti sejak lama.  Inokulasi  Trichoderma lignorum ke dalam tanah dapat menekan serangan penyakit layu yang menyerang di pesemaian, hal ini disebabkan oleh adanya pengaruh toksin yang dihasilkan jamur ini yang dapat diisolasi dari biakan yang ditumbuhan di dalam petri.   Spesies lain dari jamur ini telah diketahui bersifat antagonistik atau parasitik terhadap jamur patogen tular tanah  yang banyak menimbulkan kerugian pada tanaman pertanian  Tahun 1972, Well dan kawan – kawan melaporkan bahwa dengan pemberian inokulum Trichoderma harzianum  dengan perbandingan inokulum dengan tanah 1 : 10 v/v  dapat mengendalikan penyakit busuk batang dan busuk akar yang disebabkan oleh jamur Sclerotium rolfsii.  Pada tahun 1975, Backman, Rodrigues – Kabana mengembangkan penelitian tentang pemanfaatan inokulum jamur antagonis ini yang dicampurkan dengan tanah diatomae yang dilumuri larutan tetes (molase) 10 % untuk membantu pertumbuhan Trichoderma  harzianum .  Inokulum jamur ini ternyata dapat mengendalikan penyakit yang disebabkan oleh Sclerotium rolfsii di lapangan dengan butiran tanah diatomae  sebanyak 140 kg/ha sebagai inokulum, yang hasilnya sebanding dengan perlakuan yang menggunakan pestisida kimia (Sinner cit Hinggis,1985)

           Jamur Trichoderma harzianum dapat mengendalikan penyakit layu semai pada kacang buncis dan kol pada kondisi rumah kaca, tetapi hasilnya belum mantap untuk skala lapangan. Jamur Trichoderma hamatum dilaporkan juga dapat menghambat serangan jamur Rhizoctonia solani dan Phytium sp yang menyerang persemaian tanaman kapri dan lobak.

           Jamur Fomes annosus dari kelompok  Basidiomycetes yang menyebabkan penyakit busuk pada inti kayu pada pohon jarum (Picea abies) dapat ditekan serangannya dengan menginokulasikan jamur antagonis Peniophora gigentea.  Jamur antogonis ini dapat mengkolonisasi tunggul sehingga mencegah terjadinya pembusukan pada kayu inti.

             Kelompok bakteri dari Genus Agrobacterium dan Pseudomonas banyak dimanfaatkan sebagai agen pengendalian biologi.  Tidak semua spesies dari genus  Agrobacterium merupakan bakteri patogen.  Banyak strain  yang diisolasi dari dalam tanah diketahui merupakan strain antagonis yang dapat menghambat pertumbuhan strain patogen.  Kedua strain ini dapat diketahui apakah bersifat patogen atau antagonis dengan melakukan uji patogenisitas pada tanaman inang.  Di dalam tanah di sekeliling perakaran tanaman yang sakit, perbandingan kedua strain ini sangat tinggi tetapi pada perakaran tanaman yang sehat perbandinganya rendah sekali (Skinner cit. Hinggins, 1985).

           Bakteri Agrobacterium radiobacter  strain K- 84 dapat menghasilkan senyawa antibiotik Agrosin 84 yang mampu menekan pertumbuhan bakteri patogen Agrobacterium tumefacient  penyebab penyakit Crown Gall pada tanaman persik dan mawar.   Strain  K – 84 ini mengandung plasmid kecil yang menyandikan produksi agrosin dan plasmid besar  yang menyandikan penggunaan nonpalin yang merupakan asam amino tipe opin yang hanya terdapat dalam jaringan Crown Gall.    Dari percobaan laboratorium didapatkan bahwa bakteri patogen yang resisten terhadap agrosin  ini dapat muncul karena adanya konjugasi antara strain – 84 dan strain patogen. Selama konjugasi, kedua plasmid dari strain – 84  berpindah secara bebas, sedangkan plasmid Ti  pada patogen, pada sel penerima dapat muncul atau tidak.  Dari enam kemungkinan transkonjugan, tiga mengandung plasmid Ti, dua mengandung plasmid kecil yang bersandikan produksi Agrosin – 84.  Dengan cara manipulasi genetik dapat dikembangkan strain 84 yang tidak dapat melakukan konjugasi dengan patogen atau mengembangkan strain patogenik penghasil agrosin.

 

 

Tabel 1. Beberapa contoh agen hayati yang dapat dimanfaatkan untuk mengendalikan penyakit tanaman (Wipps, 1977)

 

Agen hayati

Patogen sasaran

Penyakit/ Inang

Kelompok bakteri

Agrobacterium radiobacter

 

Bacillus subtilis

 

Pseudomonas cepacia

 

P. fluorescens

 

Ralstonia solanacearum

(strain avirulen)

 

Kelompok jamur

Trichoderma viridae

 

Trichoderma harzianum

 

Peniophora gigentea

 

F. oxysporum (non patogen)

 

Gliocladium virens

Phytium oligandrum

 

 

Agrobacterium tumefaciens

 

Rizoctonia solani, Phytium .sp, Fusarium spp

 

Fusarium spp, R.. solani

 

F. oxysporum

 

Ralstonia solanacearum strain virulen

 

 

Fusarium, spp; Phytium spp, R. solani

 

Fusarium, spp; Phytium spp, R. solani

 

Heterobasidon annosum

 

F. oxysporum f.sp. batatas

 

P. ultimum, R. solani

P. ultimum

 

Crown gall / Rose, Apel dan Pear

 

Rebah semai / Padi, Kapas dan Legum

 

Rebah semai / Kapas Jagung dan sayuran

Layu dan rebah semai / sayuran

Layu/ Tomat, kentang

 

 

 

 

Busuk akar/rebah semai, layu/ sayuran

 

Busuk akar/ layu/ sayuran

 

Busuk batang dan akar cemara

 

Layu fusarium/ubi jalar

 

Rebah semai/ sayuran

Rebah semai/ bet gula

 

 

 

Penambatan Nitrogen 

           Nitrogen adalah unsur yang diperlukan untuk membentuk senyawa penting di dalam sel, termasuk protein, DNA dan RNA.  Tanaman harus mengekstraksi kebutuhan nitrogennya dari dalam tanah.  Sumber nitrogen yang terdapat dalam tanah, makin lama makin tidak mencukupi kebutuhan tanaman, sehingga perlu diberikan  pupuk sintetik yang merupakan sumber nitrogen untuk mempertinggi produksi.  Keinginan menaikkan produksi tanaman untuk mencukupi kebutuhan pangan, berakibat diperlukannya pupuk dalam jumlah yang banyak.  Industri pupuk yang ada belum dapat memenuhi kebutuhan pupuk yang semakin meningkat.  Untuk itu perlu dicari pupuk nitrogen alternatif dan rekayasa gen hijau kelihatannya dapat memberikan harapan untuk memenuhi kebutuhan pupuk di masa yang akan datang.

           Udara yang menyelubungi bumi mengandung gas nitrogen sebanyak 80 %, sebahagian besar dalam bentuk N2 yang tidak dapat dimanfaatkan.  Tanaman dan kebanyakan mikroba tidak mempunyai cara untuk mengikat nitrogen menjadi senyawa dalam selnya.  Tanaman dan mikroba umumnya mendapatkan nitrogen dari senyawa seperti ammonium (NH4+) dan nitrat (NO3-).  Untuk memanfaatkan nitrogen dalam bentuk gas, pakar bioteknologi memusatkan perhatiannya pada hubungan antara tanaman dengan jenis mikroba tertentu yang  dapat menambat nitrogen dari udara dan menyusun atom nitrogen kedalam molekul ammonium, nitrat, atau senyawa lain yang dapat digunakan oleh tumbuhan (Prentis, 1984).

Tanaman kacang-kacangan  seperti buncis, kedelai, akarnya mempunyai bintil – bintil berisi bakteri yang mampu menambat nitrogen udara, sehingga nitrogen tanah yang telah diserap tanaman dapat diganti.   Simbiosis antara tanaman dan bakteri saling menguntungkan untuk kedua pihak.  Bakteri mendapatkan zat hara yang kaya energi dari tanaman inang sedangkan tanaman inang mendapatkan senyawa nitrogen dari bakteri untuk melangsungkan kehidupannya. 

Bakteri penambat nitrogen yang terdapat didalam akar kacang-kacangan adalah jenis bakteri Rhizobium.  Bakteri ini  masuk melalui rambut-rambut akar dan menetap dalam akar tersebut dan membentuk bintil pada akar yang bersifat khas pada kacang – kacangan.  Belum diketahui sepenuhnya bagaimana rhizobium masuk melalui rambut – rambut akar, terus ke dalam badan akar dan selanjutnya membentuk bintil – bintil akar.

 

Tabel 3.   Beberapa spesies Rhizobium dan tanaman  simbiosanya

 Spesies Rhizobium

Tanaman  simbiosanya

R. leguminasorum

R. phaseoli

R. trifolii

R. melioti

R. lupini

R. japonicum

Rhizobium. spp

 

Pea (Pisum spp), lentil ( Lens culinaris)

Kacang buncis (Phaseolus vulgaris)

Clover ( Trifolium subteranim)

Alfafa (Medicago sativa)

Lupin (Lupinus, spp)

Kedelai ( Glycine max)

Cowpea (Vigna, spp), kacang tanah (Desmodium spp)

 

 

Untuk menambat nitrogen, bakteri ini menggunakan enzim nitrogenase, dimana enzim ini akan menambat gas nitrogen di udara dan merubahnya menjadi gas amoniak.  Gen yang mengatur proses penambatan ini adalah gen nif (Singkatan nitrogen – fixation).  Gen – gen nif ini berbentuk suatu rantai , tidak terpencar kedalam  sejumlah DNA yang sangat besar yang menyusun kromosom bakteri, tetapi semuanya terkelompok dalam suatu daerah.  Hal ini memudahkan untuk memotong bagian untaian DNA yang sesuai dari kromoson Rhizobium dan menyisipkanya ke dalam mikroorganisme lain (Prentis, 1984).  Dengan rekayasa genetik telah berhasil ditransfer gen nif dari bakteri Rhizobium kedalam  bakteri Escherechia coli , sehingga E. coli mampu untuk menambat nitrogen.  Dalam percobaan ini tidak menggunakan gen Rhizobium, tetapi gen nif yang berasal dari Klebsiella pneumoniae, yang merupakan bakteri tanah yang hidup bebas pada tanaman inang.  Bakteri ini mempunyai lebih kurang 17 gen nif dan gen nif ini dapat ditransfer ke bakteri lain.  Fenomena ini memberi harapan di masa yang akan datang untuk mentransfer gen – gen tadi  ke dalam gen bakteri yang terdapat diperakaran gandum dan padi-padian yang diketahui tidak dapat menambat nitrogen.

Suatu harapan yang menarik adalah usaha untuk menyisipkan gen nif secara langsung kedalam tanaman, tanpa melibatkan mikroba penambat nitrogen, seperti yang telah dilakukan pada gen insulin pada manusia kedalam bakteri E. coli. Dalam masalah ini telah dicapai kemajuan yang cukup besar dengan memanfaatkan vektor eukariotik, yaitu potongan yang dapat menjadi jembatan masuknya DNA asing ke dalam sel eukariotik, dalam hal ini adalah bakteri Agrobacterium tumefasiens penyebab crown gall yang mempunyai plasmid Ti (Tumor inducing plasmid) yang dapat merangsang sel inang untuk tumbuh secara luas biasa.

Penelitian terhadap Rhizobium yang berasosiasi dengan kedelai mengungkapkan bahwa banyak diantara bakteri ini yang mengandung gen hup (gen penyerap nitrogen).  Gen ini berfungsi untuk mendaur ulang gas nitrogen kembali ke sistim nitrogenase yang menambat nitrogen.  Jadi memanfaatkan energi pada hidrogen yang apabila tidak dimanfaatkan oleh tumbuhan, energi ini akan hilang.

Penggunaan  langsung hasil penelitian ini adalah dengan mengintroduksi gen hup kedalam strain Rhizobium yang tidak mempunyai gen ini.  Gen hup pada strain Rhizobium yang lain terdapat pada plasmida, apabila plasmida pembawa hup ini terdapat pada Rhizobium, maka plasmid pembawa gen ini dapat ditransfer dari satu strain ke strain lain.

Gen lain yang menjadi perhatian pakar rekayasa genetik  adalah gen osm, yang mempunyai kaitan dengan kemampuan  tumbuhan  untuk  menahan  tekanan - tekanan

(stres) dari lingkungannya, seperti : tidak adanya air, temperatur yang panas atau dingin, dan kadar garam di dalam tanah yang tinggi.  Semua faktor ini mengakibatkan air dalam sel tumbuhan dipaksa masuk atau keluar dengan proses osmosis.  Banyak lahan di seluruh dunia tidak dapat dimanfaatkan untuk pertanian karena adanya faktor pembatas seperti : suhu yang rendah, tidak tersedianya air dan kandungan garam yang tinggi.  Sasaran untuk masa yang akan datang adalah mengintroduksikan gen osm ke dalam tanaman budidaya dengan tujuan untuk membuka lahan tandus yang luas untuk pertanian (Prentis, 1984)

Tumbuhan yang nilai ekonominya yang rendah seperti gulma, sering memperlihatkan ketahanan terhadap faktor – faktor lingkungan yang tidak menguntungkan.  Apabila gen yang berperan untuk daya tahan terhadap faktor – faktor yang tidak menguntungkan ini dengan rekayasa genetik dapat ditransfer kedalam tanaman budidaya, maka lahan yang semula tidak produktif  akan dapat diubah menjadi  lahan yang produktif.   Penelitian – penelitian tentang fisiologi, biokimia, dan dasar genetika respon tanaman terhadap faktor lingkungan  akan terus  dikembangkan pada masa yang akan datang.

 

Rhizobakteria

           Rhizobakteria merupakan kelompok bakteri yang hidup dan berkembang di daerah rizofer tanaman.  Kelompok rhizobakteria ini diketahui dapat merangsang pertumbuhan tanaman sehingga produksi tanaman dapat meningkat.  Hellriegel dan Wilfarth (1889) merupakan peneliti pertama yang melaporkan manfaat dari kelompok bakteri ini dalam meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman kacang – kacangan, sejak saat itu berkembanglah penelitian – penelitian untuk mencari mikroorganisme yang dapat meningkatkan produksi tanaman

           Beberapa kelompok bakteri yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan produksi tanaman adalah : (a) Rhizobium (bakteri penambat N2 yang bersimbiosis dengan kacang – kacangan, (b) Azotobakter, Azospirillum (bakteri penambat N2 yang tidak bersimbiosis dengan tanaman, (c) Bacillus subtilis, B. polymixa (bakteri penghasil senyawa yang dapat melarutkan fosfat tanah), (d) Clostridium dan (e) Pseudomonas fluorescens dan P. putia.

           Beberapa  keuntungan dengan memanfaatkan kelompok mikroorganisme ini adalah : (a) tidak mempunyai bahaya atau efek sampingan, (b) Efisiensi penggunaan  yang dapat ditingkatkan sehingga bahaya pencemaran lingkungan dapat dihindari, (c) harganya yang relatif murah, dan (d) Teknologinya yang sederhana.  Pemanfaatan kelompok mikroorganisme ini telah diterapkan di negara – negara maju dan beberapa negara berkembang.

           Potensi penggunaan rizobakteria sebagai inokulan telah banyak mendapat perhatian dari pakar mikrobiologi tanah dan penyakit tanaman, karena sifat dari rizobakteria ini sangat agresif dalam mengkolonisasi akar menggantikan tempat mikroorganisme yang dapat menimbulkan penyakit pada tanaman. (Burr, 1978).  Hubungan antara tanaman dan mikroorganisme terjadi di daerah rizosfer,  mikroorganisme dapat hidup dari substrak yang dikeluarkan oleh tanaman melalui akar ataupun tanaman yang mati, disamping itu dapat juga merangsang pengeluaran unsur hara dari akar  (Vancura, 1964), dapat menghasilkan senyawa – senyawa yang mempercepat pertumbuhan (Bowen dan Rovira, 1961).

 

Mikoriza Vesikular – Arbuskular

           Mikoriza Vesikular – Arbuskular (MVA) merupakan asosiasi antara jamur tertentu dengan akar tanaman membentuk jalinan interaksi yang komplek. Peranan MVA dalam meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman telah banyak dilaporkan dan dari hasil penelitian belakangan ini banyak laporan yang memuat aplikasi dan usaha produksi inokulan MVA yang diusahakan secara komersil.

 

Tabel 4.    Pengaruh Mikoriza terhadap pertumbuhan dan kandungan fosfor dalam berbagai jaringan tanaman pada tanah steril (Mosse, 1981)

 

Tanaman

Tidak terinfeksi

Terinfeksi

Bobot Kering  (g)

Jagung

Singkong

Sorgum

Kedelai

-                         Biomassa per  m2

-                         Biomassa biji per  m2

Padi

-                         Biomassa per  m2

-                         Biomassa biji per  m2

 

Kandungan Fosfor   (%)

Jagung

Singkong

Sorgum

 

 

              3,70

              1,20

              2,90

 

      2.567

         812

   

           31

             8,31

 

 

 

            0,10

            0,47

            0,09

 

 

             13,70

             11,20

               5,90

 

       3.450

       1.161

   

            29

            12,60

 

 

 

              0,14

              0,74

              0,35

 

 

 

 

Berdasarkan struktur dan cara jamur menginfeksi akar, mikoriza dapat dikelompokan menjadi Ektomikoriza (jamur yang menginfeksi tidak masuk ke dalam sel akar tanaman dan hanya berkembang diantara dinding sel jaringan korteks, akar yang terinfeksi membesar dan bercabang), Endomikoriza (Jamur yang menginfeksi masuk ke dalam jaringan sel korteks dan akar yang  terinfeksi tidak membesar). 

           Peranan penting MVA  dalam pertumbuhan tanaman adalah kemampuannya untuk menyerap unsur hara baik makro maupun mikro.  Selain itu akar yang mempunyai mikoriza dapat menyerap unsur hara dalam bentuk terikat dan yang tidak tersedia bagi tanaman.   Hifa eksternal pada mikoriza dapat menyerap unsur fosfat dari dalam tanah, dan segera diubah menjadi senyawa polifosfat.  Senyawa polifosfat kemudian dipindahkan ke dalam hifa dan dipecah menjadi fosfat organik yang dapat diserap oleh sel tanaman.  Efisiensi pemupukan P sangat jelas meningkat dengan penggunaan mikoriza.  Hasil penelitian Mosse (1981) menunjukkan bahwa tanpa pemupukan TSP, produksi singkong pada tanaman yang tidak bermikoriza kurang dari 2 gr, sedangkan pada tanaman bermikoriza  hampir 4 gr (Tabel. 4).

           Tanaman yang mempunyai mikoriza cenderung lebih tahan terhadap kekeringan dibandingkan dengan tanaman yang tidak mempunyai mikoriza.  Rusaknya jaringan kortek akibat kekeringan dan matinya akar tidak permanen pengaruhnya pada akar yang bermikoriza.  Setelah priode kekurangan air, akar yang bermikoriza akan cepat kembali normal.  Hal ini disebabkan karena hifa jamur mampu menyerap air yang ada pada pori – pori tanah saat akar tanaman tidak mampu lagi menyerap air.  Penyerapan hifa yang sangat luas di dalam tanah menyebabkan jumlah air yang diambil akan meningkat.

           Akar tanaman yang terbungkus oleh mikoriza akan menyebabkan akar tersebut terhindar dari serangan hama dan penyakit.  Infeksi patogen akar akan terhambat, disamping itu mikoriza akan menggunakan semua kelebihan karbohidrat dan eksudat akar lainnya, sehingga tercipta lingkungan yang tidak cocok bagi pertumbuhan patogen. Dipihak lain, jamur mikoriza ada yang dapat melepaskan antibiotik yang dapat mematikan patogen.  Mikoriza dapat mengurangi perkembangan penyakit busuk akar yang disebabkan oleh Phytopthora cinamomi dan dapat juga menekan serangan nematoda bengkak akar (Max, 1982).  Beberapa hasil penelitian juga menunjukkan bahwa jamur mikoriza dapat menghasilkan hormon seperti sitokinin,  giberalin dan vitamin.

 

Daftar  Pustaka

 

Barton, K.A., Brill, H.J.  1984.  Prospects in Plant Genetic Engineering, Dalam P.H. Abelson  (ed).  Biotechnology & Biological Frontiers.   Washington. DC, American Association for the Advancement of Science.

 

Bowen. G.D, and A.D. Rovira. 1981.  The effect of microorganisms on plant growth. I. Development of root hairs in sand and agar.  Plant soil, 15: 166 – 186.

 

Burr, T.J, M.N. Schroth, and T.W. Suslow.  1978.  Increased potato yield by treatment of seedpieces with specific strain of Pseudomonas fluorescens and P. putida.  Phytopathol. 68: 1377 – 1383.

 

Chaleff, R. S. 1984.  Isplation of Agronomically Useful Mutans from Plant Cell Culture, Dalam P.H. Abelson (ed.)  Biotechnology & Biological Frontiers, Washington. DC : American Association for the Advancement of  Science.

 

Dekeyser, R. D. Inze, dan Van Montagu.  1990.  Transgenic plant. P. 273 – 250 dalam J.P. Gustafson (ed) Gene Manipulation in plant improvement II. Plenum Press, New York.

 

Hull. R.  1990.  Non – conventional resistance to viruses in plants concepts and risks. p. 289 – 303 dalam J.P.  Gustafson (ed) Gene Manipulation in plant improvement II. Plenum Press, New York.

 

Marx, D.H. 1982.  Mycorrhiza in interaction with other microorganism. In : Method and principles of mycorrhizal research. pp. 225 – 228. The Am. Phyt. Soc. Minessota.

 

Mosse, B.  1981.  Vesicular – arbuscular mycorrhiza research for tropical agriculture. Ress. Bull. 194.

 

National Research Council.  1987.  Agricultural Biotechnology Washington. DC: National Academy Press.

 

Prentis, S. 1984.  Biotechnology. London: Orbis Publishing.

 

Sanford.J.C. dan S.A. Johnston.  1985.  The concept of parasite-derived resistance – deriving resistance genes from the parasite,s own genome.  J. Theor. Biol. 113: 395.

 

Skinner, F.A.  1985.  Agricultural and Biotechnology, Dalam I.J.Hinggis, D.J. Best, J.Jones (eds).  Biotechnology. Oxford, London, Edinburg, Boston, Palo, Alto, Melbourne: Blsckwell Scientific Publications.

 

Spear. B.B. 1987. Gebetic engineering of bacterial insecticides. P. 204 – 214 dalam H.M. Le Baron, RO Mumma, RC Honeycut, dan JH. Dursing (eds).  Biotechnology in agricultural chemistry.  Amer. Chem. Soc. Washington. DC.

 

Uchimiya. H, T. Handa, dan D.S. Brar. 1989.  Transgenic Plant.  J. Biotech. 12: 1 – 20.

 

Vancura, V.  1967.  Root exudates of plant. I. Analysis of exudates of  barley and wheat in their initial phase of growth.  Plant Soil 21; 231 – 248.

 

Whipps, J.M.  1977.  Developments in the biological control of soil borne plant pathogens in J.A. Callow (eds) 1977.  Adances in Botanical Research Incopoting advances in Plant Pathology. 

 

Wu. R, E. Kemmerer, dan D. MzElroy.  1990.  Transformation and regeneration of important crop plant: Rice as the model system for monocots.  p. 251 – 263 dalam JP. Gustafson (ed.) Gene manipulation in plant improvement II.  Plenum Press. New York.