ã 2002 Aris
Wibudi Posted
30 May 2002
Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS702)
Program Pasca Sarjana / S3 - Program Studi DAS
Instutut
Pertanian Bogor
Mei 2002
Dosen :
Prof Dr.
Ir. Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)
EUTHANASIA
Oleh
Setiap
makhluk hidup, termasuk manusia akan mengalami siklus kehidupan yang dimulai
dari proses pembuahan, kelahiran, kehidupan di dunia dengan berbagai permasalahannya,
dan diakhiri dengan kematian. Dari berbagai siklus kehidupan di atas, kematian
merupakan salah satu yang masih mengandung misteri yang sangat besar. Proses
pembuahan yang rumit mulai dapat dikenali dan dipelajari, bahkan akhir akhir
ini sudah dapat dilakukan proses pembuahan buatan, yang meniru proses alamiah,
dan terjadilah inseminasi buatan, yang tidak menimbulkan masalah etika pada
dunia hewan, tetapi menjadi sangat kompleks dalam dunia manusia. Cloning
merupakan proses pembuahan buatan yang menimbulkan kontradiksi yang sangat
kompleks. Berbagai macam penyulit dalam kurun waktu kehidupan di dunia dalam
bentuk berbagai penyakit juga dapat dikenali satu demi satu, dan sebagian besar
penyakit infeksi sudah dapat disembuhkan, sebagian besar penyakit non
infeksipun sudah dapat dikendalikan, walaupun belum dapat disembuhkan. Semua
upaya tersebut di atas, yang dikerjakan oleh manusia mempunyai hakekat untuk
memperoleh jalan keluar dalam mengatasi kesulitan ataupun gangguan dalam proses
pembuahan, kelahiran dan kehidupan itu sendiri yang akhirnya adalah menunda
proses akhir dari seluruh rangkaian kehidupan di dunia, yaitu kematian.
Sampai saat ini kematian
merupakan misteri yang paling besar, dan ilmu pengetahuan belum berhasil
menguaknya. Satu satunya jawaban tersedia di dalam ajaran agama. Kematian sebagai akhir dari rangkaian
kehidupan di dunia ini, merupakan hak dari Tuhan. Tidak ada seorangpun yang
berhak untuk menunda sedetikpun waktu kematiannya, termasuk mempercepat waktu
kematiannya.
II. Kematian.
Mati sesungguhnya masalah
yang sudah pasti terjadi, akan tetapi tidak pernah diketahui dengan tepat kapan
saatnya terjadi. Pengertian tentang kematian itu sendiri mengalami perkembangan
dari waktu ke waktu sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Kematian
dapat dibagi menjadi 2 fase, yaitu: somatic death (Kematian
Somatik) dan biological death (Kematian Biologik). Kematian
somatik merupakan fase kematian dimana tidak didapati tanda tanda kehidupan
seperti denyut jantung, gerakan pernafasan, suhu badan yang menurun dan tidak
adanya aktifititas listrik otak pada rekaman EEG. Dalam waktu 2 jam, kematian
somatik akan diikuti fase kematian biologik yang ditandai dengan kematian sel. Kurun waktu 2 jam
diantaranya dikenal sebagai fase mati suri. Dengan adanya kemajuan ilmu
pengetahuan seperti alat respirator (alat bantu nafas), seseorang yang
dikatakan mati batang otak yang ditandai
dengan rekaman EEG yang datar, masih bisa menunjukkan aktifitas denyut
jantung, suhu badan yang hangat, fungsi alat tubuh yang lain seperti ginjalpun
masih berjalan sebagaimana mestinya, selama dalam bantuan alat respirator
tersebut. Tanda tanda kematian somatik selain rekaman EEG tidak
terlihat. Tetapi begitu alat respirator tersebut dihentikan, maka dalam
beberapa menit akan diikuti tanda kematian somatik lainnya. Walaupun tanda
tanda kematian somatik sudah ada, sebelum terjadi kematian biologik, masih
dapat dilakukan berbagai macam tindakan seperti pemindahan organ tubuh untuk
transplantasi, kultur sel ataupun jaringan dan organ atau jaringan tersebut
masih akan hidup terus, walaupun berada pada tempat yang berbeda selama
mendapat perawatan yang memadai. Jadi dengan demikian makin sulit seorang
ilmuwan medik menentukan terjadinya kematian pada manusia. Apakah kematian somatik
secara lengkap harus terlihat sebagai tanda penentu adanya kematian, atau
cukup bila didapati salah satu dari
tanda kematian somatik, seperti kematian batang otak saja, henti nafas saja
atau henti detak jantung saja sudah dapat dipakai sebagai patokan penentuan
kematian manusia. Permasalahan penentuan saat kematian ini sangat penting bagi
pengambilan keputusan baik oleh dokter maupun keluarganya dalam kelanjutan
pengobatan. Apakah pengobatan dilanjutkan atau dihentikan. Dilanjutkan belum
tentu membawa hasil, tetapi yang jelas akan menghabiskan materi, sedangkan bila
dihentikan pasti akan membawa kefase kematian. Penghentian tindakan pengobatan
ini merupakan salah satu bentuk dari euthanasia.
III.
Euthanasia.
Berdasarkan pada cara terjadinya, ilmu pengetahuan
membedakan kematian ke dalam tiga jenis, yaitu:
1.
Orthothanasia, yaitu
kematian yang terjadi karena proses alamiah.
2.
Dysthanasia, yaitu
kematian yang terjadi secara tidak wajar.
3.
Euthanasia, yaitu kematian
yang terjadi dengan pertolongan atau tidak dengan pertolongan dokter.
Dalam kesempatan ini, hanya
euthanasia sajalah yang akan dibahas.
Euthanasia berasal dari
bahasa Yunani, yaitu eu yang berarti indah, bagus, terhormat atau
gracefully and with dignity, dan thanatos yang berarti
mati. Jadi
secara etimologis, euthanasia dapat diartikan sebagai mati dengan baik. Jadi
sebenarnya secara harafiah, euthanasia tidak bisa diartikan sebagai suatu
pembunuhan atau upaya menghilangkan nyawa seseorang. Menurut Philo (50-20 SM)
euthanasia berarti mati dengan tenang dan baik, sedangkan Suetonis penulis
Romawi dalam bukunya yang berjudul Vita Ceasarum mengatakan bahwa euthanasia
berarti “mati cepat tanpa derita’(dikutip dari 5). Sejak abad 19 terminologi
euthanasia dipakai untuk penghindaran rasa sakit dan peringanan pada umumnya
bagi yang sedang menghadapi kematian dengan pertolongan dokter.
Kode Etik Kedokteran Indonesia menggunakan euthanasia dalam tiga arti,
yaitu:
1.
Berpindahnya ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa penderitaan, buat
yang beriman dengan nama Allah di bibir.
2.
Waktu hidup akan
berakhir, diringankan penderitaan sisakit dengan memberikan obat penenang.
3.
Mengakhiri penderitaan
dan hidup seorang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri dan
keluarganya.
Dari pengertian pengertian di atas maka euthanasia
mengandung unsur unsur sebagai berikut:
1.
Berbuat sesuatu atau
tidfak berbuat sesuatu.
2.
Mengakhiri hidup,
mempercepat kematian, atau tidak memperpanjang hidup pasien
3.
Pasien menderita suatu penyakit
yang sulit untuk disembuhkan.
4.
Atas atau tanpa
permintaan pasien dan atau keluarganya.
5.
Demi kepentingan pasien
dan atau keluarganya.
Dari berbagai penggolongan
euthanasia, yang paling praktis dan mudah dimengerti adalah:
A.
Euthanasia pasif, di
mana tenaga medis tidak lagi memberikan atau melanjutkan bantuan medik.
B.
Euthanasia aktif, baik
secara langsung maupun tidak langsung, di mana dokter dengan sengaja melakukan
tindakan untuk mengakhiri hidup pasien.
IV.
Beberapa aspek euthanasia.
A.
Aspek Hukum. Undang undang yang tertulis
dalam KUHP Pidana hanya melihat dari dokter sebagai pelaku utama euthanasia,
khususnya euthanasia aktif dan dianggap sebagai suatu pembunuhan berencana,
atau dengan sengaja menghilangkan nyawa seseorang. Sehingga dalam aspek hukum, dokter
selalu pada pihak yang dipersalahkan dalam tindakan euthanasia, tanpa melihat
latar belakang dilakukannya euthanasia tersebut. Tidak perduli apakah tindakan
tersebut atas permintaan pasien itu sendiri atau keluarganya, untuk mengurangi
penderitaan pasien dalam keadaan sekarat atau rasa sakit yang sangat hebat yang
belum diketahui pengobatannya. Di lain pihak hakim dapat menjatuhkan pidana
mati bagi seseorang yang masih segar bugar yang tentunya masih ingin hidup, dan
bukan menghendaki kematiannya seperti pasien yang sangat menderita tersebut,
tanpa dijerat oleh pasal pasal dalam undang undang yang terdapat dalam KUHP
Pidana.
B.
Aspek Hak Asasi. Hak asasi manusia selalu dikaitkan dengan hak hidup,
damai dan sebagainya. Tapi tidak tercantum dengan jelas adanya hak seseorang
untuk mati. Mati sepertinya justru dihubungkan dengan pelanggaran hak asasi
manusia. Hal ini terbukti dari aspek hukum euthanasia, yang cenderung
menyalahkan tenaga medis dalam euthanasia. Sebetulnya dengan dianutnya hak
untuk hidup layak dan sebagainya, secara tidak langsung seharusnya terbersit
adanya hak untuk mati, apabila dipakai untuk menghindarkan diri dari segala
ketidak nyamanan atau lebih tegas lagi dari segala penderitaan yang hebat.
C.
Aspek Ilmu Pengetahuan. Pengetahuan kedokteran dapat
memperkirakan kemungkinan keberhasilan upaya tindakan medis untuk mencapai
kesembuhan atau pengurangan penderitaan pasien. Apabila secara ilmu kedokteran
hampir tidak ada kemungkinan untuk mendapatkan kesembuhan ataupun pengurangan
penderitaan, apakah seseorang tidak boleh mengajukan haknya untuk tidak
diperpanjang lagi hidupnya? Segala upaya yang dilakukan akan sia sia, bahkan
sebaliknya dapat dituduhkan suatu kebohongan, karena di samping tidak membawa
kepada kesembuhan, keluarga yang lain akan terseret dalam pengurasan dana.
D.
Aspek Agama. Kelahiran dan kematian
merupakan hak dari Tuhan sehingga tidak ada seorangpun di dunia ini yang
mempunyai hak untuk memperpanjang atau memperpendek umurnya sendiri. Pernyataan
ini menurut ahli ahli agama secara tegas melarang tindakan euthanasia, apapun
alasannya. Dokter bisa dikategorikan melakukan dosa besar dan melawan kehendak
Tuhan yaitu memperpendek umur. Orang yang menghendaki euthanasia, walaupun
dengan penuh penderitaan bahkan kadang kadang dalam keadaan sekarat dapat
dikategorikan putus asa, dan putus asa tidak berkenan dihadapan Tuhan. Tapi
putusan hakim dalam pidana mati pada seseorang yang segar bugar, dan tentunya
sangat tidak ingin mati, dan tidak dalam penderitaan apalagi sekarat, tidak
pernah dikaitkan dengan pernyataan agama yang satu ini. Aspek lain dari
pernyataan memperpanjang umur, sebenarnya bila dikaitkan dengan usaha medis
bisa menimbulkan masalah lain. Mengapa orang harus kedokter dan berobat untuk
mengatasi penyakitnya, kalau memang umur mutlak di tangan Tuhan, kalau belum
waktunya, tidak akan mati. Kalau seseorang berupaya mengobati penyakitnya maka
dapat pula diartikan sebagai upaya memperpanjang umur atau menunda proses
kematian. Jadi upaya medispun dapat dipermasalahkan sebagai melawan kehendak
Tuhan. Dalam hal hal seperti ini manusia sering menggunakan standar ganda. Hal
hal yang menurutnya baik, tidak perlu melihat pada hukum hukum yang ada, atau
bahkan mencarikan dalil lain yang bisa mendukung pendapatnya, tapi pada saat
manusia merasa bahwa hal tersebut kurang cocok dengan hatinya, maka
dikeluarkanlah berbagai dalil untuk menopangnya.
Mengapa manusia harus berilmu karena manusia pada dasarnya
ingin mewujudkan “makna” hidupnya baik yang menyangkut material, imaterial
maupun suasana batinnya, karena segala macam upaya dilakukan untuk mendapatkan
ilmu.
Ilmu yang oleh banyak
orang dikatakan bebas nilai, seringkali harus berhadapan dengan
kenyataan hidup dalam konteks relasi sosial.
Karenanya kemudian timbul istilah etika ilmu pengetahuan, walaupun etika itu sendiri tidak termasuk dalam
kawasan ilmu. Hal-hal seperti ini akan
sangat jelas terasa pada ilmu-ilmu yang secara langsung dan segera berhubungan
dengan kebutuhan manusia, seperti ilmu biologi, kedokteran dan lainnya yang
dekat dengan kebutuhan “primer” manusia.
Menghadapi realita semacam itu maka sangat terasa untuk
memasukkan dimensi etis dalam pengembangan ilmu maupun penerapan ilmu dalam
kehidupan keseharian. Sebagai contoh
teknologi transgenik, cloning merupakan isu yang banyak menyita perhatian umat
manusia karena menyangkut secara langsung
kehidupannya. Ketika ditemukan
teknologi operasi plastik untuk merubah
bentuk bagian-bagian tubuh serta teknologi sejenisnya, perdebatan diantara
pihak yang pro maupun kontra nampak
nyata terletak pada perdebatan dimensi etika dan bukan pada
ilmu/teknologinya itu sendiri. Hal ini
menunjukkan bahwa dimensi etika tidak dapat dipisahkan dengan ilmu itu sendiri. Walaupun dilain pihak ilmu pengetahuan dan
teknologi tidak dapat dan tidak perlu dicegah perkembangannya. Apalagi ilmu yang menyangkut langsung kepada
keputusan tentang hidup matinya manusia yaitu Euthanasia dapat dipastikan
menjadi bahan perdebatan yang tidak saja menyangkut dimensi etis, tetapi
telah melibatkan dimensi-dimensi lain
yang masing-masing memiliki standar/ukuran kebenaran.
Bila kembali pada kebenaran yang menjadi pijakan dalam
pengembangan ilmu, serta realitas
adanya berbagai macam ilmu, maka setiap ilmu harus dinilai dengan standarnya
sendiri. Selanjutnya dalam rangka
situasi sosial yang ada maka penilaian tersebut akan dengan sendirinya bersifat
relatif.
Dalam euthanasia, setidaknya terdapat empat
macam ilmu yang terlibat didalamnya yaitu hukum, hak asasi,
biologi/kedokteran dan agama, yang pasti masing-masing memiliki standar
kebenaran yang berbeda. Pertanyaannya
tentu bagaimana proses keputusan euthanasia harus diambil untuk dapat dilaksanakan tanpa melanggar kebenaran
masing-masing, untuk itu tidak ada jalan lain, selain mengikuti kebenaran
relatif.
Etika, sering lebih terasa digunakan sebagai pijakan oleh
praktisi ilmu, dibanding pihak yang mengembangkan ilmu itu sendiri. Profesi-profesi seperti ahli hukum, dokter
dan sebagainya merupakan praktisi ilmu yang sering dituntut secara kuat
etikanya dalam menerapkan ilmunya.
Pertanyaannya adalah etika yang mana yang harus digunakan oleh seorang
praktisi ilmu. Lebih lanjut apabila
beberapa ilmu harus berperan secara bersama-sama, maka etika yang harus
digunakan tentu diutamakan etika yang berlaku bagi masyarakat pengguna ilmu
tersebut.
Ilmu yang seharusnya menjadikan hidup lebih mudah, lebih
nikmat, lebih efisien dan sebagainya, seringkali justru membelenggu hakekat
sebagai manusia, bahkan dapat secara
nyata menghancurkan kehidupan.
Kekecewaan Einstein terhadap penggunaan hukum fisika modern dalam kasus
Hiroshima ; kemajuan teknologi industri di satu pihak dan polusi yang
ditimbulkannya merupakan contoh bahwa kemajuan ilmu memiliki dua sisi yang
saling kontradiktif. Demikian pula
penemuan-penemuan dibidang kedokteran seringkali sangat mudah dilihat sisi
positif dan negatifnya, seperti
penggunaan bahan dalam anestesi, teknik-teknik pembedahan, fertilitas,
euthanasia dan sebagainya. Kenyataan tersebut
menunjukkan semakin jelas bahwa ilmu bersifat bebas nilai. Disinilah pentingnya norma dan etika dalam
penggunaan ilmu, yang hendaknya menjadi konsensus bagi umat manusia. Klaim-klaim hukum terhadap tindakan dokter
dalam euthanasia merupakan bentuk lain dari sisi negatif dalam penerapan ilmu,
yang terkadang sama sekali tidak terbayangkan oleh dokter yang bersangkutan.
Jadi perkembangan ilmu yang kemudian diujudkan dalam
tindakan berkembang dalam kebudayaan manusia serta sekaligus mempengaruhi
kebudayaan manusia melalui dua sisi tersebut, pada gilirannya tentu dapat
berupa manfaat dan atau bencana.
Demikian pula euthanasia dapat hadir diantara manfaat dan bencana
1.
Euthanasia belum
mempunyai kesamaan sudut pandang antara hak azasi manusia, hukum, ilmu
pengetahuan dan agama.
2.
Euthanasia tidak bisa
dipandang hanya dari satu sudut pandang saja.
3.
Euthanasia tidak bisa
disamakan dengan pembunuhan berencana.
4.
Euthanasia bisa merupakan
kebenaran pada salah satu aspek, tetapi belum tentu merupakan kebenaran, bahkan
pelanggaran kebenaran pada aspek lainnya.
Rujukan.
1.
Huston Smith. The
Religion of Man (Agama agama Manusia). Diterjemahkan oleh Yayasan Obor
Indonesia. 1995.
2.
What happens after
death?. http://folk.uio.no/mostarke/forens_ent/afterdeath.shtml.
21 April 2002
3.
Glossary of Terms
Concerning “End of Life” issues. http://www.finalexit.org/glossframe.html 21 April 2002
4.
Djoko Prakoso, Djaman
Andhi Nirwanto. Euthanasia Hak Asasi Manusia dan Hukum Pidana. Ghalia Indonesia. 1984.
5.
Petrus Yoyo Karyadi. Euthanasia dalam Perspektif Hak Azasi Manuisa. Penerbit Media Prssindo. 2001.