© 2002 Asmadi Sa'ad                                                        Posted:  18 April  2002   [rudyct]  
Makalah Falsafah Sains PPs 702
Program Pasca Sarjana /S3
Institut Pertanian Bogor
April 2002

Dosen
Prof.Dr.Ir.Rudy C Tarumingkeng  (Penanggung Jawab)

 

 

AGROFORESTRY SEBAGAI SALAH SATU ALTERNATIF PEMBANGUNAN PERTANIAN BERKELANJUTAN DI INDONESIA

Oleh

ASMADI SA’AD

Asmadi_jambi@yahoo.com

I. PENDAHULUAN

1.1. Pengertian Agroforestry

Agroforestry berhubungan dengan sistem penggunaan lahan di mana pohon ditumbuhkan berasosiasi dengan tanaman pertanian, makanan ternak atau padang pengembalaan. Asosiasi ini dapat dalam waktu, seperti rotasi antara pohon dan komponen lainnya, atau dalam dimensi ruang, dimana komponen tersebut ditumbuhkan bersama-sama pada lahan yang sama. Dalam sistem tersebut mempertimbangkan nilai ekologi dan ekonomi dalam interaksi antar pohon dan komponen lainnya. Hudges (2000) dan Koppelman dkk.,(1996) mendefinisikan Agroforestry sebagai bentuk menumbuhkan dengan sengaja dan mengelola pohon secara bersama-sama dengan tanaman pertanian dan atau makanan ternak dalam sistem yang bertujuan menjadi berkelanjutan secara ekologi, sosial dan ekonomi. Secara sederhana adalah menanam pohon dalam sistem pertanian. Reijntjes, (1999), menyatakan Agroforestry sebagai pemanfaatan tanaman kayu tahunan secara seksama (pepohonan, belukar, palem, bambu) pada suatu unit pengelolaan lahan yang sama sebagai tanaman yang layak tanam, padang rumput dan atau hewan, baik dengan pengaturan ruang secara campuran atau ditempat dan saat yang sama maupun secara berurutan dari waktu ke waktu.

Sistem agroforestry dapat dikelompokkan menurut struktur dan fungsi, sebagaimana agroekologi dan adaptasi lingkungan, sifat sosio ekonomi, aspek budaya dan kebiasaan (adat), dan cara pengelolaannya. Ada beberapa cara klasifikasi agroforestry diantaranya : berdasarkan kombinasi komponen pohon, tanaman, padang rumput/makanan ternak dan komponen lain yang ditemukan dalam agroforestry (King, 1978; Koppelman dkk., 1996 ) :

  1. Agrosilviculture : Campuran tanaman dan pohon, dimana penggunaan lahan secara sadar untuk memproduksi hasil-hasil pertanian dan kehutanan.
  2. Silvopastoral : Padang rumput/makanan ternak dan pohon, pengelolaan lahan hutan untuk memproduksi hasil kayu dan sekaligus memelihara ternak.
  3. Agrosilvopastoral : tanaman, padang rumput/makanan ternak dan pohon, pengelolaan lahan hutan untuk memproduksi hasil pertanian dan kehutanan secara bersamaan dan sekaligus memelihara hewan ternak.
  4. Sistem lain , yang meliputi :
  1. Silvofishery : pohon dan ikan
  2. Apiculture : pohon dan lebah
  3. Sericulture : pohon dan ulat sutera

Young (1997) mengkelaskan agroforestry seperti pada Tabel 1. Hudge (2000) menyatakan ada lima model utama penerapan agroforestry khususnya di daerah temperate yaitu : Alley crooping, silvopasture, riparian forest buffer, windbreaks dan forest farming.

Berdasarkan fungsi dari pohon, sistem agroforestry mempunyai fungsi utama sebagai produksi atau konservasi. Fungsi produktif meliputi : makanan, pakan ternak, bahan bakar, karet, obat dan uang. Fungsi konservasi atau pencegahan meliputi : perbaikan tanah, pelindung dan nilai spiritual. Berdasarkan kesesuaian waktu, sistem agroforestry secara temporal (ladang berpindah, atau lebih menetap, dalam kasus pengelolaan rumah kebun yang intensif). Berdasarkan pola pohon apakah pohon dalam sistem agroforestry dikelola dengan suatu pola yang teratur (bila ditanaman menurut jarak yang tetap, atau dalam sebaran yang tidak teratur)

1.2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup makalah meliputi pembahasan mengenai hal-hal sebagai berikut :

  1. Pengertian dan klasifikasi Agroforestry
  2. Karakteristik dan Keterlibatan Masyarakat setempat dalam pengelolaan sumberdaya hutan serta analisis issu yang berkembang.
  3. Pengaruh Slash dan Burn sistem terhadap sifat fisik tanah, sifat kimia tanah dan sifat biologi tanah dalam agroforestri dan dalam pengelolaan tanah.
  4. Prinsip pengambilan dan pemanfaatan cahaya dan air serta modifikasi iklim mikro dalam agroforestry.

II. MASYARAKAT AGROFORESTRY

2.1. Karakteristik Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan

Dalam pengelolaan suatu sumberdaya sangat tergantung pada komunitas masyarakat sekitar kawasan terutama yang menyangkut faktor sejarah, faktor sosial, faktor ekonomi dan faktor budaya.

Faktor sejarah:

Masyarakat merupakan suatu hasil perkembangan aktivitas masa lalu hingga kini yang sedikit brbeda dengan awal sejarahnya. Faktor sejarah dapat menjadi penghambat atau membantu suatu kegiatan suatu proyek masyarakat kehutanan dimana mereka akan berpengaruh terhadap keberhasilan suatu kegiatan. Diantara faktor sejarah yang berperan penting dalam ketahanan masyarakat dan pengelolaan sumberdaya adalah : sejarah penduduk dan penempatannya dan sejarah konflik (Thompson, 1997). Sejarah penduduk mencerminkan keaslian leluhur/keturunan dari masyarakat. Dalam beberapa kasus semua anggota yang sekarang ada pada suatu desa dapat berupa keturunan dari suatu keluarga atau nenek moyangnya. Ini dapat menjadi suatu faktor penting dalam kohesi / ketahanan masyarakat. Dalam kasus yang lain keluarga telah dibagi atau adanya keluarga baru yang bergabung menjadi suatu masyarakat. Jika demikian, maka merupakan suatu hal yang penting untuk mengerti dalam mempertimbangkan anggota masyarakat.

Penduduk yang datang kemudian (pendatang baru) sering lebih agresif dalam usahanya mengeksploitasi sumberdaya (hutan) dibandingkan dengan penduduk asli yang cenderung memelihara atau memanfaatkannya secara lebih bijaksana. Pengalaman masyarakat dalam konflik dan cara penyelesaiannya pada masa lampau berpengaruh besar dalam ketahanan masyarakat dan keinginan untuk memecahkan masalah dalam aktivitas pengelolaan sumberdaya secara bersama-sama.

Faktor Sosial :

Ada sejumlah isu yang berhubungan dengan struktur sosial masyarakat yang mempengaruhi kohesi dan macam kepentingan dalam kelompok yang berbeda dapat mencegah seperti mereka mencari solusi untuk mengelola masalah sumberdayanya sendiri. Beberapa yang penting/menonjol meliputi : etnik dan bahasa; struktur keluarga; kasta dan tingkatan sosial lainnya; hubungan gender (jenis kelamin).

Status sosial

Ada sekelompok masyarakat akat terangkat harkatnya jika menerapkan pola usaha tani tertentu yang memiliki nilai ekonomi lebih tinggi. Keluarga yang memelihara ternak kerbau dianggap lebih tinggi status sosialanya dibandingkan dengan memelihara unggas. Contoh lain seperti petani yang memiliki kebub karet di Sumatera, Jati di Jawa Tengah, Kasseavera di Kerinci, Tambak di Pantura dan Lampung, Kelapa di pantim Jambi, Riau oleh masyarakat Bugis dan Banjar merasa lebih terhormat dibandingkan dengan usaha tani lainnya. Di Jawa Tengah di daerah lahan kritis (sub DAS Tuntang Hulu) hampir setiap rumah memelihara sapi yang dianggap sebagai tabungan untuk mengatasi kebutuhan yang mendadak seperti sakit, perkawinan.

Faktor ekonomi

Faktor ekonomi yang sangat berpengaruh dalam memanfaatkan sumber daya hutan dengan seksama antara lain perbedaan atau persamaan dalam strategi kekeluargaan, dan tingkat strata ekonomi dalam masyarakat. Bagi masyarakat yangsangat tergantung pada hasil hutan dalam bentuk non timber forest product (NTFP) seperti memanfaatkan untuk obat-obatan, madu, resin akan memelihara hutan dengan baik dibandingkan dengan yang memanfaatkan kayu yang akan melakukan penebangan pohon. Adanya insentif dapat mempengaruhi cara masyarakat dalam memelihara hutan. Tingkat ekonomi masyarakat yang rendah akan memacu katergantungan hidupnya pada hutan dibandingkan dengan masyarakat yang ekonomi yang lebih baik. Namun dalam hal ini ada beberapa bukti yang menunjukkan sebaliknya seperti dalam hal dapat membeli mesin potong kayu (chin saw) untuk menebang pohon dengan lebih cepat.

Faktor budaya

Beberapa faktor budaya yang mempengaruhi masyarakat dalam memelihara dan mengeksploitasi hutan berhungan dengan agama. Seperti kewajiban memelihara keseimbangan alam. Faktor lain seperti faktor teknologi yang dikuasi oleh masyarakat setempat. Budaya petani sawah di pantura (Jawa) dan karet di Sumatera tidak lepas dari faktor teknologi yang dimiliki oleh masyarakat setempat. Sebagai contoh kasus Petani Krui (Lampung) ketika mereka memutuskan untuk meneruskan pengelolaan lahan ke fase repong, pertimbangannya bukan hanya menyangkut faktor keterbatasan alamiah tanaman kebun yang tidak bisa melampaui usia produktif di atas 15 tahun, akan tetapi juga didasari oleh alasan-alasan yang bersifat kultural. Bagi petani Krui, membangun repong damar juga merupakan perwujudan amanah mereka untuk mewariskan sesuatu yang bermanfaat secara kongkrit bagi keturunannya. Mereka ingin menduplikasi apa yang telah diterimanya dari orang tua. Sejauh fakta yang bisa ditemukan di lapangan, tahapan pengelolaan lahan hutan selalu diakhiri dengan membangun repong damar. Artinya, pengetahuan mereka mengenai tahapan-tahapan pengelolaan hutan dijadikan sebagai acuan dalam tindakan pengelolaan lahan hutan. Tapi hal itu bukanlah suatu keadaan yang tanpa gangguan. Paling tidak pengalaman mereka pada tahun 1970-an mencuatkan fakta bahwa sebagian petani justru menghentikan pengelolaan lahan pertaniannya sampai pada fase kebun dan tidak dilanjutkan kefase repong. Namun ketika tanaman cengkeh mereka musnah diserang hama pada tahun 1980-an sehingga mengguncang ekonomi rumah tangga mereka, maka pengalaman pahit itu mendorong mereka untuk bersikap konservatif hingga sekarang. Era 1990-an, petani Krui telah kembali ke format awal model pengelolaan lahan hutan, yaitu mulai dari ladang, kebun, dan berakhir pada fase repong damar (Lubis, 1997).

2.2. Keterlibatan Masyarakat Setempat

Suatu kerangka kerja untuk menganalisis proses pengambilan keputusan seperti dikembangkan oleh Koppelman dkk., (1996). Sebagai faktor utama adalah sosio ekonomi dan kondisi biofisik. Kerangka tersebut menyarankan bahwa investasi agroforestry, pasar, produksi dan konservasi yang dibuat petani didasarkan pada kondisi internal keluarga sebagai kunci terhadap faktor eksternal yang berhubungan dengan : (1) pasar dan informasi pasar, (2) tersedianya layanan pendukung, (3) informasi teknologi, dan (4) kebijakan, peraturan, undang-undang dan insentif.

Teknologi agroforestry merupakan sebagian solusi masalah lahan kering. Farm based agroforestry di Indonesia umumnya cenderung ke tanaman atau makanan ternak, menekankan pada pohon buah-buahan dan spesies tanaman multiguna, pada lahan milik swasta lahan akan aman dalam waktu yang lebih lama. Sebaliknya sistem hutan berbasis agroforestry mempunyai ciri-ciri umum cenderung ke pohon, menekankan hutan atau spesies pohon yang menghasilkan kayu, biasanya dibawah pengawasan pemerintah.

Agroforestry dapat menerapkan : teknologi setempat atau existing yang sudah dikenal oleh petani, praktek dengan memodifikasi atau memperbaiki teknologi setempat oleh petani atau dari luar, menerapkan hasil penelitian dari pihak luar.

Penerapan teknologi dari luar mempunyai 2 resiko utama :

  1. teknologi introdusi secara sosial dan ekonomi tidak dapat diterima oleh petani
  2. teknologi introdusi atau spesies secara ekologi tidak tepat (penanaman eucaena pada tanah masam).

Salah satu unsur utama dalam pemilihan pola agroforestri yang akan dipilih petani adalah pengambilan keputusan dalam rumah tangga petani tentang tujuan dan cara mencapainya. Hal ini sangat tegantung dari pada ciri-ciri rumah tangga yang bersangkutan misalnya jumlah laki-laki, perempuan, dan anak-anak, usia, kebutuhan, pengalaman bertani, kondisi kesehatan, kemampuan, keinginan, pengetahuan, dan keterampilan serta hubungan antar anggota rumah tangga (Reijntjes, 1992). Hal tersebut diikuti dengan tujuan rumah tangga petani yang meliputi unsur produktivitas, kemanan, kesinambungan dan identitas. Lubis, (1997), pengaruh-pengaruh yang mendasari pengabilan keputusan : antara laian : (1) pengaruh ekonomis, (2) pengaruh ekologis, (3) pengaruh sosial, (4) pengaruh kultural. Tekanan ekonomi ( hutan dan sistem perdangan internasional dan perubahan sosial yang ada dalam masyarakat dapat menimbulkan degradasi lahan (Barrow, 1991)

Sebagai contoh kasus sistem pertanian di daerah Krui (lampung) yang secara umum merupakan gabungan yang saling mendukung antara pertanian lahan basah (khususnya sawah) dengan lahan kering (sistem wanatani damar). Sampai batas-batas tertentu keberadaan sawah punya andil terhadap keberlanjutan wanatani damar, karena alokasi waktu yang dicurahkan untuk mengelola sawah akan mengurangi tekanan untuk mengeksploitasi hasil repong damar. Data-data empirik menunjukkan bahwa kegiatankegiatan produktif di repong damar berkurang selama musim panen padi.

Tradisi pembukaan lahan hutan yang dilakukan orang Krui secara garis besar dapat dibedakan atas tiga fase produktif, yaitu fase (1) darak, (2) kebun, dan (3) repong. Ketiga fase itu berlangsung di ruang fisik yang sama tapi secara taksonomis berada pada ruang kognisi yang berbeda. Hal itu berkaitan dengan definisi, konsepsi dan harapan-harapan yang mereka lekatkan pada masing-masing fase pengelolaan tersebut. Perbedaan itu secara jelas dimanifestasikan dalam bentuk tindakan pengelolaan lahan. Fase produktif pertama dimulai ketika petani sudah selesai mempersiapkan lahan siap tanam (pangrula/darak) yang lazimnya membutuhkan waktusekitar 2-3 bulan. Fase darak (fase 1) ditandai oleh kegiatan pengelolaan tanaman subsistensi berupa padi ladang dan palawija. Kegiatan menanam padi ladang dan palawija dilakukan terutama untuk menyediakan pasokan pangan bagi petani selama pengelolaan lahan, khususnya selama tahap-tahap intensif perawatan tanaman kebun (fase 2). Padi dan palawija hanya ditanam 1-2 kali di lahan yang sama, setelah itu mereka mengalihkan kegiatannya pada perawatan tanaman komersial seperti kopi, lada, cengkeh dan lain sebagainya. Dengan demikian, fase darak (ladang) berfungsi sebagai penyangga bagi fase produktif berikutnya. Fase produktif kedua, yaitu kebun, dimulai ketika tanaman komersial seperti lada, kopi, atau cengkeh, dll sudah mendominasi tegakan di lahan bekas ladang (fase 1), yaitu kira-kira mulai tahun ketiga sejak pembukaan lahan. Tujuan utama petani Krui membuka hutan adalah untuk berkebun, bukan berladang atau membuat repong damar. Fase kebun dikonsepsikan petani sebagai fase kaya kejutan (batin kejutan), karena pada masa inilah mereka mendapatkan peluang besar untuk meningkatkan kesejahteraan hidup dan memperbaiki posisi sosial ekonominya. Tanaman tahunan (perennial crops) yang tumbuh di atasnya; misalnya damar, duku, durian, petai, jengkol, melinjo, nangka, dan lain sebagainya. Semua jenis tanaman itu secara berangsur sudah ditanam sejak fase kebun (Tabel 2). Satu ciri penting yang membedakan fase kebun dengan repong terletak dalam soal perawatan tanaman. Posisi tanaman damar lebih kuat sebagai penegas klaim atas lahan dibandingkan tanaman repong lainnya karena dua alasan, (a) tradisi mengklaim lahan hutan yang ditumbuhi damar liar sudah berlangsung lama bahkan ketika orang Krui masih dalam fase mengekstraksi dan belum membudi dayakan pohon damar, (b) damar merupakan tanaman yang bisa memberikan penghasilan rutin kepada petani tahun yang akan datang. Oleh sebab itu, repong damar adalah fase dimana petani menanam investasi yang hasilnya diharapkan.

2.3. Analisis Issu Yang Berkembang

Sekitar 70 % penduduk indonesia tinggal di daerah pedesaan yang 85 % tergantung pada pertanian. Setiap tahun hampir satu juta penduduk yang pindah dari kota ke desa. Sebaliknya setiap tahuan hampir 100.000 keluarga tani yang pindah dari jawa ke luar jawa. Sekitar 12 juta penduduk yang hidup miskin atau kurang maju yang desanya dekat atau sekitar hutan (Sarido, 1996), dan semakin bertambah dengan berlanjutnya krisis multidimensional semenjak tahun 1997. Kepadatan penduduk yang tidak merata seperti di Jawa yang cukup tinggi yaitu sekitar 814, Sumatera 77, Kalimantan 17, Sulawesi 66, Irian Jaya 4 jiwa per kilometer persegi. Walaupun perbandinga lahan pertanian terhadap penduduk pertanian sekitar 0,39 ha per kapita. Untuk Jawa sekitar 0,25 ha per keluarga dan lebih 2 ha per keluarga di luar Jawa (Koppelman dkk., 1996).

Untuk mendukung pengembangan Agroforetri di Indonesia telah dilakukan bererapa usaha seperti penyusunan program kehutanan dan penigkatan sumberdaya manusia. Ada 8 program utama yang mendukung sektor kehutanan dan lingkungan yaitu : konsolidasi hutan dan peningkatan produktivitas sumber daya hutan, memperluas penanaman hutan, pengembangan masyarakat hutan, menegembangkan proses hasil hutan, inventarisasi dan evaluasi sumber daya alam dan ekosistem, pengamatan hutan, lahan dan air, rehabilitasi lahan kritis, mengembangkan daerah pantai. Program pendukung lainnya meliputi aktivitas yang berhubungan dengan penelitian dan pengembangan, pendidikan dan training dan penyuluhan, infra struktur, sistem pengembangan, pengembangan lingkungan, penataan ruang, perencanaan penggunaan lahan, pengembangan usaha kecil dan menengah usaha kehutanan, transmigrasi, turis, pemuda dan wanita. Pada saat sekarang ini kurangnya perhatian, kerja sama dan koordinasi antar departemen, lembaga dan univeristas terhadap penngunaan lahan.

Teknologi agroforestri sering diperkenalkan melalui penelitian dan plot demontrasi. Di beberapa daerah pendekatan tersebut sering berhasil dan beberapa daerah lainnya gagal karena tidak didesain menurut kondisi setempat dan kebutuhan petani, hasilnya tidak diadopsi petani. Ada 30 spesies tanaman agroforestri yanga akan dikembangkan di Indonesia (Tabel 3) (Tomich, dkk, 1998)

Di Asia Fasifik prioritas Agroforestry ditunjukkan dengan adanya kerjasama dengan 11 negara anggota jaringan kerja sama agroforestry di Asia-Pasifik, prioritas utama untuk penelitian, pengembangan dan pelatihan telah diidentifikasi seperti dalam Tabel 4 (Tejwani dan Lai, 1992) .

III. SLASH AND BURN DALAM AGROFORESTRY DAN MANFAAT  AGROFORESTRI DALAM PENGELOLAAN TANAH

3.1. Pengaruh Slash dan Burn sistem terhadap Sifat Fisik Tanah, Sifat Kimia Tanah dan Sifat Biologi Tanah

Kerusakan sumber daya lahan di negara-negara berkembang sedang mejadi isu besar dalam beberapa dekade terakhir ini. Petani melakukan sistem perladangan berpindah disebabkan beberapa hal, antara lain : (1) tingkat pendapatan yang rendah, dimana petani tidak mampu membeli sarana produksi (pupuk pestisida) dan bibit dan tidak mampu melakukkan upaya konservasi tanah, (2) tingkat pengetahuan tentang teknologi pertanian rendah, (3) rendahnya kesadaran untuk memelihara sumberdaya lahan /lingkungan, hal ini menyebabkan peladang tidak melakukan upaya konservasi tanah, (4) adat yang memungkinkan untuk merambah hutan (Sanchez, 1994 ; Sukmana, 1995).

Tebas yang disertai tebang atau tidak dan bakar dilakukan pada kegiatan pembukaan hutan primer dan sekunder atau semak untuk budidaya pertanian. Kegiatan pertanian ini ada yang menetap seperti pada program transmigrasi dan perkebunan dan ada pula yang berpindah-pindah, disebut perladangan berpindah. Pada setiap metoda pembukaan lahan , baik metoda manual maupun mekanik tahap pembakaran ini dilakukan dengan maksud untuk mempercepat proses pembersihan lahan dan biaya yang relatif murah.

Pengaruh permbakaran terhadap tanah diungkapkan oleh Ataga dkk (1986) yang mengatakan bahwa pembakaran merupakan isu kontraversial, sebagian orang menganjurkan agar tidak dilakukan pembakaran supaya kesuburan tanah terpelihara dan bahaya erosi dapat dikurangi. Dari penelitian di Nigeria Institute for Oil Palm Research, Ataga dkk (1986) melaporkan bahwa tidak ada perbedaan nyata antar pengaruh pembakaran dengan pengaruh tanpa pembakaran terhadap sifat tanah dan produksi kelapa sawit pada pengamatan setelah 9 sampai 20 tahun sejak kedua perlakuan dicobakan.

Pembakaran memberikan keuntungan yang sifatnya sementara, yaitu abunya sumber beberapa unsur hara bagi tanaman. Pengaruh abunya sangat baik pada tanah masam seperti ultisol, karena dapat menaikkan pH, mengurangi aluminium dan meningkatkan kalsium dan magnesium (Tabel 5). Akan tetapi pada tanah yang subur abu tidak ada pengaruhnya.

Pembakaran tidak menurunkan kandungan bahan organik tanah. Pengaruh buruk terhadap tanah adalah metoda mekanik (alat berat) dimana terjadi pemadatan tanah yang dicirikan oleh menurunnya laju infiltrasi dan pengusuran lapisan tanah atas yang dicirikan oleh lebih rendahnya kandungan bahan organik tanah.

Pembakaran biomass dengan cepat dapat meningkatkan pH tanah, Kation basa tertukar, KTK efektif tanah dan p tersedia. Pada tanah-tanah masam abu akan menetralkan pH tanh dan menekan kelarutan Al dalam tanah. Hal ini menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman. Beberapa contoh pengaruh pembakaran terhadap sifat kimia tanah.

Bahan organik dikonversi menjadi hara yang tersedia dari bahan organik tanah melalui proses dekomposisi, yang dipengaruhi oleh faktor physicochemical environment, meliputi iklim dan tanah; kualitas bahan organik (komposisi kimia bahan organik); dan biota decomposer (Swift et al, 1979). Model umum dari sistem tebang bakar mempercepat proses dekomposisi. Bahan organik tanah sekarang merupakan hal yang penting meningkatkan produktivitas lahan dalam sistem tebang bakar dan pertanian dengan input rendah karena ini membantu dalam mempertahankan kesuburan dan struktur tanah. Hara juga disimpan dalam bentuk organik (N dan P) dan mineral pada tapak pertukaran bahan organik. Dekomposi bahan organik akan melepaskan hara yang diperlukan oleh tanaman dari bahan organik menjadi lebih tersedia tapi pada tingkat bahan organik yang terlalu rendah akan merusak struktur tanah dan dengan pembakaran juga akan menekan jumlah bahan organik dalam bentuk C-mikroba.

Sedikit penelitian di tropis tentang pengukuran biomas mikroba pada hutan dan daerah penerapan sistem slash-burn (tebang bakar). Dalam Ayanaba dkk., (1976) plot tanaman jagung dengan residu dikembalikan menunjukkan penurunan 27 % C-mikroba dalam 2 tahun sebaliknya C-total menurun hanya 10 %; plot tanpa residu dikembalikan menunjukkan penurunan 52 % dan 30 % untuk C-mikroba dan C-total. Dalam kedua kasus tersebut pengukuran mikroba lebih sensitif terhadap perubahan penggunaan lahan. Rasio SMC/TC juga menunjukkan penurunan. Bonde, Rosswall dkk., (1991) mendapatkan sedikit penurunan C-mikroba pada pada padang rumput selama 2 dan 8 tahun, dengan sedikit meningkat setelah 8 tahun padang rumput ditanami legume. Total C walaupun meningkat pada sistem padang rumput tapi rasio SMC/TC menurun berurutan 48 % dan 20 % pada padang rumput tanpa legum dan dengan legum.

Penggunaan rasio SMC/TC sebagai indikator sustainable (keberlanjutan) selama 1 tahun setelah penerapan sistem tebang bakar (Alegre dkk., 1989) menunjukkan penurunan yang cepat kandungan bahan organik pada sistem pertanian input tinggi diikuti input rendah dan sistem perladangan berpindah.

Pembakaran melepaskan hara tanaman yang immobile dalam biomass. Abu mengandung kation Ca, Mg dan K dan beberapa unsur N dan S akan hilang melalui volatilisasi. Pembakaran juga akan melepaskan sejumlah karbon dan nitogen ke atmosfir. Disamping itu pembakaran juga akan merubah sifat biologi tanah dimana sejumlah fauna pendekomposisi. Pembakaran intensif hususnya pada windrow biasanya meningkatkan temperatur tanah lebih 100oC sampai kedalaman 10 cm. Temperatur tanah lebih dari 60 oC dipertahankan selama 30 jam atau lebih. Tanah yang terbakar akan steril pada kedalaman mencapai 10-20 cm.

3.2. Manfaat Agroforestri Dalam Pengelolaan Tanah

Dalam kontek pembangunan pertanian berkelanjutan pada dasarnya berarti kemampuan untuk tetap produktif sekaligus mempertahankan basis sumberdaya. Menurut Reijntjes dkk., (1992), pertanian berkelanjutan mempunyai ciri-ciri : mantap secara ekologis, bisa berlanjut secara ekonomis, adil, manusiawi dan luwes. Pertanian berkelanjutan dan Pembangunan pedesaan didefinisikan sebagai pengelolaan dan konservasi sumber daya alam, dan orientasi teknologi dan perubahan institusi dalam suatu cara untuk meyakinkan hasil yang dicapai dan kepuasan yang berkelanjutan kebutuhan manusia untuk sekarang dan generasi masa datang. Pembangunan yang berkelanjutan memelihara sumber daya lahan, air dan tanaman dan genetik hewan yang secara lingkungan tidak terdegradasi, secara teknologi yang tepat, secara ekonomi dapat berjalan dan secara sosisal dapat diterima (FAO, 1995 dalam Young, 1997). Secara sederhana penggunaan lahan yang berkelanjutan merupakan sesuatu yang mempertemukan kebutuhan untuk produksi pengguna lahan sekarang, tetapi memelihara sumberdaya pokok untuk generasi mendatang yang mana tergantung produksi. Sustainable = Produksi + Konservasi.

Pengaruh interaksi pohon dan tanamam dalam peneglolaan tanah menunjukkan respon positif (+) terhadap peningkatan produktivitas, memperbaikai kesuburan tanah, siklus hara, konservasi tanah baik secara langsung maupun tidak langsung.

Sebelum mempertimbangkan methoda untuk mengkuantifikasi pengaruh interaksi pohon-tanaman, akan lebih berguna menggunakan daftar keuntungan secara biofisik dan konsekwensinya yang biasanya terlibat dalam sistem agroforestry untuk menunjukkan bukti yang didasarkan pada penelitian langsung maupun tidak langsung.

Sebagai contoh keuntungan dan pengaruh konpetisi dalam short-term dapat berbeda dengan dalam long-term. Sebagai net efek untuk cahaya, air biasanya negatif sedangkan untuk hara pada dalam short-term menunjukkan net efek yang positif. Pengaruhnya terhadap perbaikan kandungan bahan organik dan sifat fisik tanah, penyediaan hara dari bahan organik tanah, dan memperbaiki sifat kimia tanah menunjukkan pengaruh net efek yang positif dalam long-term. Hudge (2000) melihat benefit silvopasture dapat : diversifikasi pendapatan, menekan kebutuhan bahan kimia atau kontrol mekanik vegetasi dan dapat menekan kebutuhan pupuk kimia. Penggabungan pohon, makanan ternak dalam silvopastoral dapat menekan resiko ekonomi dengan banyak produk dara lahan yang sama, secara lingkungan dapat mengkonservasi alam dan kondisi sosial yang berhubungan dengan kualitas air, debu, kebisingan.

IV. INTERAKSI BIOFISIK DALAM SISTEM AGROFORESTRY

Interaksi antara komponen kayu dan non-kayu (annual crop) merupakan kunci suksesnya dalam pengembangan semua sistem agroforestri (Rao dkk., 1998). Karena itu sangat penting untuk memahaminya dalammemperbaiki sistem tradisional yang telah lama diterapkan dalam agroforestri. Interaksi biofisik dapat dikelompokkan dalam hal yang berhubungan dengan kesuburan tanah (meliputi kimia tanah, fisika tanah, dan biologi tanah), persainga (meliputi interaksi persaingan air tanah, hara, dan radiasi), mikroklimat, hama dan penyakit tanama) konservasi tanah dan dan allelopati (Tabel 6).

4.1. Prinsip Pengambilan Dan Pemanfaatan Cahaya Dan Air

Tumbuhan dan hewan yang berbeda memiliki kebutuhan akan cahaya, suhu dan air dan kelembaban yang berbedapula. Ada yang mebutuhkan banyak sinar matahari ada yang sedikit dan menyukai naungan. Konsep-konsep ini dapat diterapkan dalam agroforestri dalam hal memodifikasi iklim mikro.

Komponen dalam tumpangsari atau agroforestri sering berbeda sekali dalam ukuran, dimana tanaman yang berukuran kecil sering terhambat pertumbuhannya karena pengaruh naungan dan juga karena persaingan akan hara dan air. Persaingan akan cahya merupakan faktor pembatas utama bila air dan hara tersedia cukup. Tapi di daerah tropik air dan hara (masam, tercuci dan tanah terdegradasi) lebih utama dibandingkan dengan faktor cahaya. Persaingan tersebut bila msampai menjadi faktor pembatas akan berpengaruh terhadap produksi biomassa baik berupa shoot maupun root.

Millet-groundnut intercropping, leucaena (C3 legume) dipangkas pada ketinggian 0,65-0,70 m sebelum tanam dan dipertahankan pada ketingian yang sama sebagai C4, pear millet sepanjang musim. Ada bukti bahwa e meningkat dalam sistem agroforestri, tapi tidak cukup untuk mengimbangi penurunan akibat kekurangan cahaya oleh pearl millet sebagai akibat persaingan dari leucaena. Masalah tersebut tidak begitu berpengaruh terhadap tanaman pohon yang menghasilkan buah (Kesler, 1992 dalam Ong and Huxley, 1996). Beberapa contoh lainnya seperti tumpangsari jagung-pigeonpea, millet-groundnut, dan pigeonpea-groundnut yang menunjukkan tanaman yang tumbuh pertama akan menghambat perkembangan kanopi yang lainnya dengan cepat.

Seperti pada penangkapan cahaya, intercropping dan khususnya sistem agroforestri memberikan peluang untuk menerapkan sistem secara spasial atau temporal dalam persaingan terhadap penggunaan air, yang berdampak terhadap ketersediaan air bagi tanaman. Tetapi peluang untuk sdaling melengkapi antar spesies yang berbeda responnya dalam pola kaopi dan perakaran; pembentukan akar tergantung juga pada keadaan tanah. Beberapa pengalaman lapangan menyarankan bahwa total penggunaan air berbeda tergantung pada jenis tanaman. Walaupun total penggunaan air oleh intercrop (585 mm) jauh melebihi sorgum (434 mm), tidak menunjukkan sisa lebih lama selama penanaman sole pigeonpea (584mm). Dalam penelitian yang sama , Reddy dan Willey (1981) menunjukkan bahwa penggunaan air oleh pearl intercrop millet - groundnut sebesar 10 % lebih besar pada groundnut dan 34 % lebih besar pada sole millet; suatu faktor utama yang tampak adalah leaf area index (indek luas daun/ILD) melebihi 2 selama sekitar 20 hari dalam 82 hari tanaman sole millet, tapi selama 50 hari dalam 105 hari intercrop. Untuk rasio penggunaan air untuk tanaman cereal C4 tropika umumnya sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan taman C3 pada kondis yang baik. Sebagai contoh nilai ew untuk jagung dan sorgum 2 kali lebih besar dibandingkan dengan pada spesies tanaman C3 (Angus dkk., 1983), dan sama dengan dengan ew antara pearl millet dan groundnut (Squire, 1990). Pada kondisi tekanan air yang sama (mean saturation defisit 2-2.5 kPa), musim yangbpanjang ew 3,9 dan 4.6 gr kg-1 untuk millet dan 1.5, 1.9, dan 2 gr kg –1 untuk groundnut. Tapi untuk spesies C4 tidak selalu mempunyai rasio penggunaan air yang lebih tinggi dari pada tanaman C3, karena nilai yang sama dilaporkan untuk tanaman C3 yang toleran kekeringan seperti cowpea dan cotton dan tanaman C4 yang sensitif kekeringan sperti jagung dan sorgum (Rees, 1986b).

4.2. Modifikasi Iklim Mikro Dalam Agroforestry

Pengaruh yang paling penting penggabungan tanaman berkayu dan tanaman tidak berkayu akan menghasilkan perubahan mikroklimat yang berpengaruh terhadap sistem komponen pertumbuhan tanaman. Untuk memahami modifikasi iklim mikroklimat yang terjadi dalam sistem agroforestri berhubungan dengan radiasi, angin, kelembaban dan temperatur. Perubahan mikroklimat tersebut akan mempengaruhi evapotranspirasi dan pertumbuhan tanaman. Cahaya matahari yang bermanfaat dalam proses fotosintesis Q (0.4-0.7 um). Sinar matahari yang diserap oleh permukaan non-transmited adalah S(1 - a ) dimana a merupakan reflektan atau albedo. Sangat sedikit informasi yang tersdia tentang albedo dalam sistem agroforestri, tapi ada informasi untuk permukaan yang analog dengan sistem agroforestri.

Eneri yang diserap daun tanaman atau agroforestri (net radiation, Rn) dapat dihitung sebagai perimbangan radiasi gelombang panjang dan gelombang pendek : Rn= S(1 - a ) + R1.d-R1.u, dimana Ri.d radiasi gelombang panjang yang diserap permukaan dan R1.u adalah radiasi gelombang panjang yang dipantulkan oleh permukaan. Fluxes radiasi gelombang panjang biasanya antara 300-400 W m-2 relatif konstan, dimana Rn siang sangat dipengaruhi besarnya S. Dibawah langit yang cerah R1.d-R11.u sekitar –100 W, hal inimmenyebabkan malam lebih dingin dari siang. HA menrupakan sebab langit lebih dingin dari permukaan tanah dan vegetasi, tapi dibawah kanopi hutan fluxe radiasi gelombang panjang hampir sama antara yang masuk dan keluar sehingga teras lebih dingin. Hal ini menjelaskan kenapa lebih dingin dibawah pohon dari pada daraeh terbuka dan dapat menjadi hal penting sebagai fungsi naungan pada tanaman kopi, teh atau modifikasi bnetuk lain dalam penerapan agroforestri.

Angin dalam agroforestri berhubungan dengan kerusakan, peran dalam membantu evapotraspirasi, suhu udara dan membantu dalam penyerbukan. Sebagai dampak negatif dari angin dapat diatasi dengan membuat penahan atau pemecah angi (Hudge, 2000). Pemecah angin tanaman dan ternak dari angin yang kuat, mengurangi erosi angin, memperbaiki efisiensi irigasi.

Area yang dicegah dan efektivitas ditentukan oleh komposisi, kepadatan, jaak,lebar, arah dan kontinuitas. Biasanya kecepatan angin akan dikurangi pada windward mencapai jarak 2 samapi 5 kali tinggi baris tanaman tertinggi. Sedangkan pada leeward mencapat 10-20 kali tinggi pohon. Luasnya naungan oleh pohon tergantung lebar kanopi, luas daun, sudut daun, karaktersitik transmisi dan reflektan kanopi (Ong dan huxley, 1996). Hal ini akan mempengaruhi konduktan stomata, evaporasi dan transpirasi.

V. PENUTUP

5.1. Kesimpulan

Agroforestry dapat disefinisikan sebagai bentuk menumbuhkan dengan sengaja dan mengelola pohon secara bersama-sama dengan tanaman pertanian dan atau makanan ternak dalam sistem yang bertujuan menjadi berkelanjutan secara ekologi, sosial dan ekonomi baik dengan pengaturan ruang secara campuran atau di tempat dan saat yang sama maupun secara berurutan dari waktu ke waktu.

Agroforestry lebih ditujukan untuk mendapatkan keuntungan dari interaksi pohon dan tanaman dalam usaha memperbaiki produktivitas lahan atau untuk mengendali isu lingkungan atau isu sosial untuk mengoptimasi keuntungan produk dan lingkungan.

Dalam pengelolaan suatu sumberdaya dengan sistem Agroforestry sangat tergantung pada komunitas masyarakat sekitar kawasan terutama yang menyangkut faktor sejarah, faktor sosial, faktor ekonomi dan faktor budaya. Sebagai kerangka bahwa investasi agroforestry, pasar, produksi dan konservasi yang dibuat petani didasarkan pada kondisi internal keluarga sebagai kunci terhadap faktor eksternal yang berhubungan dengan : (1) pasar dan informasi pasar, (2) tersedianya layanan pendukung, (3) informasi teknologi, dan (4) kebijakan, peraturan, undang-undang dan insentif.

Dalam kontek pembangunan pertanian berkelanjutan pada dasarnya berarti kemampuan untuk tetap produktif sekaligus mempertahankan basis sumberdaya yang dicirikan dengan mantap secara ekologis, bisa berlanjut secara ekonomis, adil, manusiawi dan luwes.

Interaksi antara komponen kayu dan no-kayu (annual crop) merupakan kunci suksesnya dalam pengembangan semua sistem agroforestri. Karena itu sangat penting untuk memahaminya dalam memperbaiki sistem tradisional yang telah lama diterapkan dalam agroforestri. Interaksi biofisik dapat dikelompokkan dalam hal yang berhubungan dengan kesuburan tanah (meliputi kimia tanah, fisika tanah, dan biologi tanah), persaingan (meliputi interaksi persaingan air tanah, hara, dan radiasi), mikroklimat, hama dan penyakit tanama) konservasi tanah dan dan allelopati.

5.2. Saran

Agroforestry produk dari petani kecil biasanya dijual di pasar lokal. Namun ada beberapa produk yang petani skala kecil yang dikumpulkan akan menjadi berpotensi untuk ekspor seperti pinang, dan kemiri. Keripik melinjo, ubi jalan, ubi kayu, talas, dan pisang telah diproduksi secara komersial. Madu juga sudah mulai dikembangkan di bali, jawa dan nusa tenggara. Sebagian besar dipasarkan di pasar lokal, sedangkan untuk beberapa produk kerajinan tangan sudah mulai menembus pasar luar negeri dan daerah yang dikunjungi turis. Lain halnya dengan produk agroforestri yang komsumsi segar seperti buah durian, duku yang memlukan pemasaran yang cukup sulit untuk dijadikan sebagai komoditi eksport. Duku Jambi memerlukan biaya transportasi cukup mahal jika ingin memenuhi pasar erofa, jepang atau timur tengah, karena kalah dari segi biaya transportasi dengan negara Tailand. Sehingga dalam pemasaran yang demikian memiliki peluang untuk pasar regional seperti Singapura, Malaysia dan Batam.

Untuk itu ke depan dalam mengembangkan suatu pola Agroforestry diharapkan memperhatikan prospek pasar, karena hal ini akan memberikan pengaruh yang besar sekali terhadap respon petani dalam menerapkan atau mengadopsi Agroforestry. Terutama yang dihadapi petani dalam pemasaran produk agroforestri antara lain :

  1. kurangnya infra struktur
  2. terbatasnya volume produksi karena ukuran usaha yang kecil dan sistem produksi yang masih subsistem
  3. kurangnya informasi tentang jumlah persediaan dan harga terbaru
  4. kurangnya teknologi paska panen untuk tanaman cash crop seperti coklat dan vanilli.

DAFTAR PUSTAKA

Alegre, J.C., P.A. Sanchez, C.A., Palm and J.M. Perez, 1989. Comaprative soil dynamics under different management option. TropSoils Technical Report. North Caroline State University.

Ataga, D.O., I.I. Onwubaya and U.Omoti, 1986. Land clearing and development from forest vegetation for oil palm palntation. Rotterdam.

Ayanaba, A., S.B.Tuckwell and D.S> Jenkinson, 1976. The effect of clearing and cropping on the organic reserves and biomass of tropical soil forest. Soil Biology and Biochemistry 8:519-525.

Borrow C.J., 1991. Land Degradation. Cambridge Uniersity, New York.

Dephutbun, 1998a. Penataan Ulang Penguasaan Lahan dan Pengusahaan Hutan Skala Besar dalam Rangka Redistribusi Manfaat Sumber Daya . Jakarta.

Ditjenbun, 1998. Laporan Pelaksanaan dan Penilaian Perkebunan Inti Raktyat. Jakarta.

Hodges, S.S., 2000. Agroforestri: An Integrated of Land Use Practices. University of Missouri Center for Agroforestry.

Kartodihardjo H. A. Supriono, 2000. Dampak Pembangunan Sektoral Terhadap Konversi dan Degradasi Hutan Alam: Kasus Pembangunan HTI dan Perkebunan di Indonesia. CIFOR, Bogor, Indonesia.

Koopelman, R., Lai C.K., 1996. Asia Facific Agroforestri. Second Edition. FAO. Bangkok

Lal R., 1995. Sustainable Mnagement of Soil Resources in The Humid Tropics. University Nation, University Press. Tokyo, New York, Paris.

Lubis Z., 1997. Repong Damar: Kajian tentang pengambilan keputusan dalam pengelolaan lahan hutan di psisir krui, Lampung Barat. CIFOR. Bogor. Indonesia.

Moko H. D. Rusmin dan M. Hasanah, 1995. Prospek Pengembangan Kemiri di Indonesia. Jurnal penelitian dan pengembangan Pertanin. Vol XiV: 3: Deptan.Jakarta.

Morris C., and W. Michael, 1999. Integrated Farming Sistem : The third way for european agriculture. Land Use Policy 16(1999):193:205. Elseviers (Internet).

Ong C.K and P. Huxley, 1996. Tree-Crop Interaction. Aphysiologcal Approach. CAB-ICRAF, UK, University. Cambridge.

Pasaribu, E. Penot, R. Simanungkalit, M. Sirait, S.M. Sitompul, F.X. Susilo dan D Thomas, 1998. Alternatives to Slash – and – Burn in Indonesia. Sumary Report & Synthesis of Phase II. ICRAF. Bogor Indonesia.

Reijntjes, C., Haverkort B., Bayer. W., 1999. Pertanian Masa Depan. Pengantar untuk pertanian berkelanjutan dengan input luar rendah. Penerbit Kanisius.

Satjapradja, O. 1982. Agroforestri di Indonesia. Suatu usdaha terpadu antara kehutanan dan Budidaya pertanian lainnya. Journal Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Susila, W.R., 1998. Perkembangan dan Proyek Komoditas Utama Perkebunan. Pusat Studi Ekonomi. Lemabag Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.

Swift , M.J., O.W. Heal and J.M. Anderson, 1979. Decomposation in terresterial ecosystem. Oxpord, England.

Tejwani, K.G., and C.K. Lai, 1992. Asia Pacific Agroforestri Profile. APAN field document. FAO. Bogor, Indonesia.

Temu B.A., E. Zulberti, C.K. Lai, 1994. Roundtable Discussion on Agroforestry in Southeast Asia. Bogor Indonsia.

Tomich T. P., M.Van Noordwijk, S. Budiarso, A. Gillison, D. Garrity, D.P.Hadi, S.Hadrdiwinoto, K.Hairiah, G.Michon, N.N.Sun, C. Palm, S.Partohardjo, J. Thomson T. J., and Freuden K.S., 1997. Crafting Institutional Arrangement Community Forestry. FAO, Roma.

Sa’ad A., 2002. Pembangkitas krireria kesesuaian lahan untuk tanaman duku Spesifik lokasi Kumpeh Kab Muara Jambi. Unpublished.

Sanchez P.A., and H.Van Houten, 1994. Alternatives to Slash – and – Burn Agriculture. 15 th International Soil Science Congress. Acapulco, Maxico.

Sukmana, S, 1995. Dampak pertanain tebas nakar terhadap sumber daya tanah. Methodologi PRA dalam alternatif tebas bakar. Laporan ASB, Bogor, Indonesia.

Young A., 1997. Agroforestry for Soil Management. CAB, International. ICRAF. Nairobi Kenya. UK. England.