© 2002 Eddy Ihut Siahaan                                                         Posted August 19, 2002

Makalah Falsafah Sains (PPs 702)

Program Pasca Sarjana / S3

Institut Pertanian Bogor

Agustus  2002

 

Dosen:
Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)

 

 

 

FILOSOFI PERENCANAAN PEMBANGUNAN KOTA SESUAI

PARADIGMA BARU DI INDONESIA:

HAKIKAT ILMU UNTUK PEMBERDAYAAN DAN PENINGKATAN

PERAN SERTA MASYARAKAT

 

 

 

Oleh :

 

 

Eddy Ihut Siahaan

C 226010151

E-mail: dirtek@kbnepz.com

 

 

 

Abstrak

 

           Adanya berbagai permasalahan di dalam pembangunan kota-kota di Indonesia, khususnya kota-kota menengah dan kota besar, terutama diakibatkan kurang dilibatkannya masyarakat di dalam proses pembangunan kota-kota dimaksud, sejak proses awal yaitu dari tahap perencanaan. Akibatnya hasil pembangunan di kota-kota menengah dan besar di Indonesia cenderung mengarah untuk menampung kebutuhan sebagian kecil kelompok masyarakat, yang rata-rata berpenghasilan tinggi dan menengah. Sebagian besar kelompok masyarakat berpenghasilan rendah tidak tertampung aspirasinya, pada perencanaan pembangunan kota dan perencanaan pembangunan kawasan. Kota-kota menengah dan besar di Indonesia saat ini menyajikan kondisi dilematik. Di satu sisi pertumbuhan dan pembangunan kota cukup pesat, namun di sisi lain mengakibatkan masyarakat berpenghasilan rendah tersingkir dan semakin miskin (marginal-society). Terjadinya kontradiksi ini akhirnya sering menimbulkan konflik sosial yang mengarah kepada pengrusakan sarana-prasarana fisik perkotaan dan sendi-sendi sosial antar kelompok masyarakat yang sebelumnya sudah cukup kuat dan terpelihara dengan baik.

           Belajar dari pengalaman yang sama pada negara-negara berkembang lainnya, maka visi kota-kota besar dan menengah di masa depan memerlukan pemberdayaan dan peningkatan peran serta masyarakat seluas mungkin, sejak awal, yaitu tahap perencanaan. Bagaimana mekanisme keterlibatan peran serta masyarakat di dalam proses penyusunan perencanaan pembangunan kota memerlukan pengkajian secara mendalam.

 

 

I.           PENDAHULUAN

Terdapat berbagai definisi mengenai kota yang membedakan secara tegas tentang makna dan fungsi kota pada skala makro dan mikro. Secara makro kota merupakan bagian dari sistem kota global, dengan semua resiko dan manfaat yang terkandung, serta sebagai akibat globalisasi dari kehidupan masyarakat yang semakin mantap.

Faham ini  perlu dilengkapi dengan kejelasan mikro, yaitu :

-         Kota merupakan sistem dari beragam sarana fisik dan non fisik yang diadakan oleh dan untuk warga masyarakat, serta untuk merangsang dan memfasilitasi aktivitas, serta kreativitas warga, dalam mewujudkan cita-cita politik, sosial, ekonomi, kebudayaan dan lingkungan hidupnya.

-         Kota membuka dan memberi peluang yang sama bagi semua lapisan masyarakat dalam mencapai kehidupan yang sesuai dengan cita-citanya secara adil dan demokratis.

-         Kota-kota di Indonesia berkembang pesat, dan direncanakan sesuai dengan standar-kota-kota lain di dunia, namun di sisi lain kota harus mampu mengedepankan kekhasan lokal, baik yang fisik maupun non-fisik dalam dimensi kemanusiaan yang alami.

Pembangunan perkotaan di Indonesia memberikan berbagai dampak bagi masyarakat secara luas, baik yang bersifat positip, maupun yang negatif. Disadari bahwa pembangunan di kota-kota besar dan menengah di Indonesia, yang dipenuhi oleh penduduk yang berurbanisasi dari desa-desa memberikan banyak manfaat bagi Pemerintah, maupun bagi masyarakat. Manfaat dimaksud di antaranya dukungan terhadap Product Domestic Regional Bruto (PDRB) memberikan lapangan kerja yang luas bagi masyarakat, penyediaan sarana dan prasarana umum serta penyediaan sarana dan teknologi untuk peningkatan pengetahuan dan kepentingan warga masyarakat. Namun disadari  banyak dampak negatif yang ditimbulkan pembangunan kota-kota tersebut, diakibatkan berbagai faktor, salah satu di antaranya kesalahan pendekatan penyusunan perencanaan pembangunan kota.

           Di dalam paper ini penulis sebagai seorang city-planner ingin menyoroti sisi pendekatan penyusunan perencanaan  pembangunan pada kota-kota di Indonesia, yang cenderung meniru negara-negara lain yang sudah jauh lebih maju perekonomiannya dari negara kita. Kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya dan kota-kota lainnya lebih cenderung merencanakan pembangunan dan pengembangan kawasan-kawasan pemukiman eksklusif, pembangunan bangunan-bangunan perkantoran, pusat perdagangan dan sarana-sarana rekreasi modern dan bertingkat tinggi, dari pada merencanakan pembangunan rumah susun murah bagi masyarakat berpenghasilan rendah, perbaikan/penataan kawasan-kawasan kumuh, penyediaan sarana-sarana hiburan/rekreasi murah untuk melayani masyarakat luas (community based), serta pengembangan kawasan-kawasan produksi. Padahal sebagian besar warga masyarakat masih berada pada tingkat marginal, yang membutuhkan sarana dan prasarana untuk bermukim, untuk bekerja/berusaha dan berekreasi yang tingkatan dan skalanya masih jauh lebih rendah dari yang terbangun saat ini. Akhirnya kelompok masyarakat ini mencari celah-celah lokasi untuk membangun pemukiman dan fasilitasnya yang tidak sesuai peruntukan tanah dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota. Kondisi yang terjadi pada kota-kota besar dan menengah tersebut, merupakan kondisi dilematis, yang cukup merepotkan para perencana kota.

Salah satu contoh nyata yang perlu dikaji si perencana kota, bila seseorang membangun pemukiman di kawasan marginal (diberi nama kumuh) atau berjualan di kaki lima, perlu membedakan dua dasar dan hakekat yang terkait dengan kasus di atas, yaitu perbuatan di satu sisi dan tempat berbuat di sisi lain. Baik pemukiman kumuh (membangun rumah) dan pedagang kaki-lima (mencari nafkah) berkait dengan perbuatan yang sebenarnya sangat mulia dan luhur yaitu memenuhi tanggung jawab memberi nafkah dan kesejahteraan pada seluruh anggota keluarga tanpa minta bantuan atau mendapat dukungan oleh fihak luar (politik dan ekonomi) yang ada. Ini merupakan solusi yang penting bagi mereka, namun menjadi masalah bagi Pemerintah Kota, karena kegiatan dilakukan di tempat yang salah, yang tidak sesuai peruntukan tanah dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).

Bila di tempat marjinal atau kaki-lima, keadaannya bersih dan tidak ada kegiatan mensejahterakan keluarga orang yang miskin, ini adalah prestasi dan solusi hebat bagi Pemerintah Kota, namun merupakan petaka besar bagi orang miskin bersangkutan. Tidak pernah mendapat perhatian dan dianggap tidak penting adalah membedakan masalah perbuatan dan lokasi rakyat miskin melakukan kegiatan yang mulia, yaitu di tempat yang salah menurut pandangan Pemerintah Kota, padahal keadaan miskinlah yang membuat mereka tidak mampu mendapatkan atau menyediakan tempat yang resmi. Seharusnya penyediaan tempat benar adalah tugas Pemda yang gagal, bila dilihat dari dukungannya bagi usaha ekonomis formal seperti memberi tempat guna pembangunan perkotaan, pusat belanja, pompa bensin, dan sebagainya pada tempat yang seharusnya merupakan tempat terbuka hijau.

           Pada tahap-tahap pendekatan awal program pembangunan kota-kota di Indonesia dilakukan secara sektoral. Selain sektoral pendekatan perencanaan dilakukan secara top down. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah/Kota merencanakan pembangunan kota-kota dengan program/proyek untuk ukuran area yang sangat luas dan sifatnya lebih kepada instruksi dari instansi-instansi atas ke instansi-instansi di bawahnya. Pendekatan ini berhasil apabila disetujui secara luas oleh masyarakat luas, terkait dengan perumusan tujuan pengembangan dan kewenangan pengaturan dan prosedur administrasi bagi seluruh kelompok masyarakat. Pendekatan tersebut ternyata banyak yang gagal, sehingga belum bisa mengangkat tingkat kemiskinan masyarakat di kota-kota tersebut akibat kurangnya sumber daya manajemen lokal, sulitnya penegakan hukum dan aspek-aspek politis lainnya. Masyarakat di daerah perkotaan negara-negara berkembang termasuk di Indonesia, pada kenyataannya tetap miskin, sulit mencari pekerjaan, masa depan belum jelas dan yang bekerja selalu khawatir kehilangan pekerjaannya. Di samping itu terjadi kompetisi yang tinggi antar berbagai kelompok masyarakat dan terjadinya penurunan kualitas lingkungan di perkotaan.

           Masalah-masalah dan kelemahan tersebut di atas menyebabkan diperlukannya inisiatif baru di dalam pendekatan proses penyusunan perencanaan pembangunan kota, untuk tujuan mensejahterakan masyarakat secara luas. Inisiatif baru ditujukan kepada kegiatan penyusunan perencanaan pembangunan kota, dengan melibatkan masyarakat setempat (komunitas lokal) secara luas. Pemberdayaan dan peningkatan peran-serta masyarakat secara luas yang dimulai sejak awal, yaitu sejak penyusunan perencanaan pembangunan merupakan paradigma baru. Perencanaan pembangunan kota sebagai ilmu pengetahuan sosial, pada hakekatnya bukan hanya merencanakan pembangunan fisik semata, tetapi adalah merencanakan ruang (spatial-plan), di mana "manusia" terdapat di dalamnya yang memiliki cita-cita sama mendapatkan kehidupan dan penghidupan yang aman, adil dan sejahtera.

 

 

II.       FILOSOFI ILMU PERENCANAAN PEMBANGUNAN KOTA BERBASIS MASYARAKAT.

 

Pada tahun 1994 UNCHS di Nairobi mendeklarasikan The New Planning  Paradigm, yang pada intinya adalah bahwa dalam proses penyusunan perencanaan pembangunan kota harus melalui/mempertimbangkan community-perticipation, involvement of all interest groups, horizontal and vertical coordination, sustainability, financial-feasibility, subsidiary and interaction of physical and economic planning. Penjabaran dari deklarasi dunia ini oleh masing-masing negara diadopsi dengan konsensus bahwa "masyarakat" lah yang menjadi target program-program publik. Siapa yang akan terpengaruh langsung oleh perencanaan pembangunan kota dan perencanaan pembangunan berhak memberikan share dalam keputusan-keputusan yang diterbitkan. Hal ini dilatar-belakangi kekurang-berhasilan system perencanaan nasional dan komprehensif yang penyusunannya didominasi pemerintah. Dalam perjalanan sejarah perencanaan pembangunan kota, wilayah dan kawasan, munculnya berbagai pendekatan dengan terminology baru seperti bottom-up planning, participatory planning, democratic planning, grass root planning, public involvement, collaborative planning, advocacy planning, dan sebagainya menunjukkan adanya kesamaan dalam hal filosofi dasar yaitu dalam suatu demokrasi anggota masyarakat harus memiliki kesempatan berperan serta di dalam proses pengambilan keputusan untuk menentukan masa depan mereka.

John Friedman (1987) memberikan definisi lebih luas mengenai planning sebagai upaya menjembatani pengetahuan ilmiah dan teknik (scientific and technical knowledge) kepada tindakan-tindakan dalam domain publik, menyangkut proses pengarahan social dan proses transformasi social. Dikaitkan dengan kelembagaan, system perencanaan diklasifikasikan sebagai berikut :

1.      Perencanaan sebagai Social Reform. Dalam system perencanaan ini, peran Pemerintah sangat dominan, sifat perencanaan : centralized, for people, top-down, berjenjang dan dengan politik terbatas.

2.      Perencanaan sebagai Policy Analysis. Dalam system perencanaan ini, Pemerintah bersama stakeholders memutuskan persoalan dan menyusun alternatif kebijakan. Sifat perencanaan ini decentralized, with people, scientific, dan dengan politik terbuka.

3.      Perencanaan sebagai social learning. Dalam system perencanaan ini Pemerintah bertindak sebagai fasilitator. Sifat perencanaan learning by doing, decentralized, by people, bottom-up, dan dengan politik terbuka.

4.      Perencanaan sebagai social Transformation. Perencanaan ini merupakan kristalisasi politik yang didasarkan pada ideology 'kolektivisme komunitarian'.

Berdasarkan definisi luas planning yang dikemukakan oleh John Friedman dapat disimpulkan bahwa filosofi peran serta masyarakat dalam perencanaan mengalami suatu pergeseran, dari for people sebagai sifat perencanaan social reform menjadi by people sebagai sifat perencanaan dalam social learning.

Ada dua rational kunci bagi peran serta masyarakat, yaitu :

1.      Etika, yaitu bahwa di dalam masyarakat demokratik, mereka yang kehidupan, lingkungan dan penghidupannya dipertaruhkan sudah seharusnya dikonsultasikan dan dilibatkan dalam keputusan-keputusan yang akan mempengaruhi mereka secara langsung.

2.      Pragmatis, yaitu atas program dan kebijakan seringkali tergantung kepada kesediaan orang membantu kesuksesan program atau kebijakan tersebut.

Peran serta dalam hal ini diterjemahkan dan asal kata participation, yang diantaranya mempertimbangkan pendapat, mengartikan secara singkat bahwa partisipasi itu adalah take a part atau ikut serta. Peran serta masyarakat dengan keterlibatan komunitas setempat secara aktif dalam pengambilan keputusan (dalam perencanaan) atau pelaksanaannya terhadap proyek-proyek pembangunan untuk masyarakat. Peran serta masyarakat tersebut di Inggris/Britania Raya lebih populer dengan istilah public participation, sedangkan di Amerika Serikat disebut dengan citizen participation, namun keduanya mengandung makna yang sama. Citizen participation didefinisikan sebagai proses yang memberikan peluang bagi masyarakat (citizens). Oleh karena itu, suatu peran serta memer;ukan kesediaan kedua belah pihak dalam suatu hubungan yang saling menguntungkan. Adapun tujuan peran serta masyarakat yang ingin dicapai, pada prinsipnya harus pula dikondisikan suatu situasi dimana timbul keinginan masyarakat untuk berperan serta. Hal ini akan sangat menentukan keberhasilan dan kegagalan pencapaian tujuan peran serta masyarakat itu sediri. Pengkondisian tersebut harus mengarah kepada timbulnya peran serta bebas dan mengeliminir sebanyak mungkin peran serta terpaksa'. Peran serta bebas terjadi bila seorang individu melibatkan dirinya secara sukarela di dalam suatu kegiatan partisipatif tertentu, walaupun dalam klarifikasi ini masih dapat dibagi ke dalam :

-         Peran serta spontan (keyakinan sendiri kehendak murni tanpa melalui penyuluhan/ajakan), dan

-         Peran serta masyarakat terbujuk.

Peran serta terpaksa, dilakukan karena dua hal yaitu terpaksa oleh hukum, dan/atau peraturan perundang-undangan yang mewajibkannya, dan terpaksa oleh tekanan situasi dan kondisi sosial ekonomi. Peran serta masyarakat memiliki keuntungan sosial, politik, planning dan keuntungan lainnya, yaitu :

·        Dari pandangan sosial, keuntungan utamanya adalah untuk mengaktifkan populasi perkotaan yang cenderung individualistik, tidak punya komitmen dan dalam kasus yang ekstrim teralienasi. Di dalam proses partisipasi ini, secara simultan mempromosikan semangat komunitas dan rasa kerja sama dan keterlibatan. Pada kasus kelompok miskin dan lemah, partisipasi dapat berkontribusi ke proses peningkatan, pendidikan, dan pelatihan sebagai penyatuan (integrasi) ke dalam komunitas yang lebih luas yang di dalamnya rasa ketidakberdayaan (powelessness) dapat ditanggulangi dan swadaya (self-help) dan pembangunan kepemimpinan dapat dipromosikan.

·        Dari segi politik, partisipasi lebih mempromosikan participatory dibanding demokrasi perwakilan (representative democracy) sebagai hak demokrasi dan setiap orang dan dengan demikian publik secara umum, untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Partisipasi publik juga akan membantu dewan (counsellors) dan para pembuat keputusan lainnya untuk mendapatkan gambaran lebih jelas mengenai permintaan-permintaan dan aspirasi konstituen  mereka atau semua pihak yang akan terpengaruh, dan sensitivitas pembuatan keputusan dapat dimaksimalkan jika ditangani secara tepat.

·        Dan segi planning partisipasi menyediakan sebuah forum untuk saling tukar gagasan dan prioritas, penilaian akan public interest dalam dinamikanya serta diterimanya proposal-proposal perencanaan.

·        Keuntungan lain dan public participation adalah kemungkinan tercapainya hubungan yang lebih dekat antara warga dengan otoritas kota dan menggantikan perilaku they/we menjadi perilaku us.

Banyak faktor yang menjadi hambatan atau kendala dalam mendorong peran serta masyarakat dalam perencanaan. Peran serta masyarakat dalam sistem perencanaan dihadapkan pada berbagai persoalan, baik pada level negara bagian maupun lokal. Hambatan atau kendala dalam mendorong peran serta masyarakat dalam penataan ruang (Donald Perlgut) yaitu :

1.      Partisipasi dalam proses perencanaan lokal umumnya dimulai sangat terlambat, yaitu setelah rencana (the real planning directions) telah selesai disusun, sehingga masyarakat akhirnya hanya mempertanyakan hal-hal bersifat detail.

2.      Partisipasi komunitas yang sungguh-sungguh sangat sedikit apalagi mengenai isu-isu besar seperti pertumbuhan dan pembangunan kota.

3.      Ketika partisipasi tersebut benar-benar diinginkan, terlalu sedikit masyarakat yang terorganisasi atau yang terstruktur secara mapan yang efektif mengajukan masukan dan komunitas.

4.      Pemerintah negara bagian maupun pemerintah lokal (kota), jika memang ingin, mampu menghindari peran serta masyarakat, dengan membuat keputusan-keputusan secara rahasia atau dengan menyediakan waktu yang tidak memadai untuk public discussion. Bahkan dengan peraturan (legislation) yang baik seperti di New South Wales, Environmental Planning and Assessment (EPA) Act (1979) dapat diabaikan atau dielakkan oleh peraturan baru.

5.      Secara umum, komunitas tidak memiliki sumberdaya yang baik dalam hal waktu, keahlian atau ruang untuk membuat aspirasinya didengar secara efektif.

 

 

III.                     PARADIGMA PERENCANAAN KOTA DI INDONESIA KEDEPAN.

 

Penerapan paradigma baru perencanaan pembangunan kota pada kota-kota di Indonesia ke depan memerlukan pendalaman dari berbagai aspek. Kondisi kota-kota di Indonesia saat ini sangat mempengaruhi penerapan paradigma kedepan. Fenomena yang terdapat pada kota-kota besar dan menengah di Indonesia saat ini adalah kontradiksi sosial yang dapat dilihat dalam bentuk eksklusivisme di kalangan masyarakat atas berhadapan dengan kebersamaan yang kental di kalangan masyarakat bahwa. Selanjutnya juga ada fragmentasi yang kontras antara sikap egosentrik dari masyarakat klas atas dibandingkan dengan komunalisme dari rakyat biasa dan yang juga penting dicatat adalah makin besarnya kemampuan individual yang tidak egaliter. Pada dasarnya ini adalah kontras antara kelas menengah yang dinamis dan independen berlawanan dengan rakyat kelas bawah yang cenderung tetap (immobile) namun kohesif yang dalam batas tertentu terkait pada pendekatan primordial. Dari gambaran di atas, maka perlu dirumuskan visi kota-kota Indonesia ke depan.. Visi ke depan dari kota-kota di Indonesia adalah keterpaduan sistem global, yang mempunyai arti persaingan yang diwujudkan ke dalam pencapaian standar yang berlaku umum dalam berbagai aspek kekotaan dengan kemampuan memberi warna dengan kekhasan yang tetap lokal. Ke depan kota-kota harus mampu menyajikan mutu kehidupan (quality of life) yang terus membaik. Pelaksanaan dari pencapaian mutu lingkungan hidup harus dilakukan dalam kerangka konsep pembangunan yang berkelanjutan berangkat dari kondisi yang ada yang harus membaik. Pelaksanaan politik kekotaan harus mampu mendorong dan merangsang pertumbuhan kegiatan sosial, ekonomi dan budaya yang bermutu dalam mekanisme pasar yang merakyat (equitable and just) sesuai dengan dinamika permintaan dan penawaran masyarakat luas dan didasarkan pada kebutuhan bukan mencapai laba semata.

Karena dunia dan kota menghadapi tingkat kompetisi yang makin gencar dan ketat, maka setiap kota harus mampu mengembangkan kekhasan lokal dalam arti luas agar daya  tawar masyarakat makin tangguh dan tidak mudah dipermainkan oleh pengaruh luar yang masuk bersama dengan arus globalisasi.

Kota juga harus secara matang siap menerima perubahan bentuk masyarakat yang makin pluralistik dalam arti manusia dan kemanusiaan. Sifat pluralistik ini diantisipasi dengan pola otonomi daerah atas dasar demokrasi dan kedaulatan rakyat. Sifat pluralistik ini harus dimanfaatkan dan dijadikan sebagai kekuatan karena ada lebih banyak pilihan yang terbaik. Ini penting untuk mendukung ketangguhan bersaing yang lebih baik.

Pembangunan kota ke depan  harus membuat masyarakat makin mampu membaca peluang dari keadaan (kesempatan dan dan tantangan yang berlaku. Peluang ini kemudian harus mampu diitransformasikan menjadi rencana tindak yang nyata (action plan). Pelaksanaan rencana tindak ini perlu melibatkan makin luas petaruh (stakeholder) kota yang handal dan profesional serta dengan wawasan nasionalisme yang kental, bahwa kampung harus ikut maju dan imbang sesuai dengan kemajuan kotanya. Yang dikaji dan dicari adalah model untuk memajukan kampung agar tidak tertinggal maupun kehilangan kekhasan dan potensi dasarnya. Sebagai acuan dalam kajian ini adalah kemajuan dari "kampung" lama di Kyoto yang tanggap dan mampu mengambil manfaat dari kemajuan kotanya tanpa kehilangan kekhasan fisik dan non fisik yaitu sebagai warisan lama.

Faham globalisasi yang diajukan oleh pakar beragam, mulai dari konsep berbagai keseimbangan secara global (sumberdaya manusia, modal, keuangan, gagasan, teknologi, dan sebagainya) sampai keterikatan antar kota secara dunia. Salah satu konsep globalisasi yang kurang mendapat perhatian khususnya bagi kota adalah keharusan untuk mampu memenuhi standar yang berlaku internasional (keselamatan, keamanan, dan sebagainya) sehingga pergerakan manusia secara global yang berlangsung baik. Tetapi karena globalisasi mengandung sifat persaingan yang berat, maka kota juga harus punya kekhasan agar dapat bersaing secara tangguh.

Ke depan fungsi kota harus dilihat dari dampak pembangunan terhadap masyarakat harus mampu mengandung sifat yang berorientasi pada rakyat dan meningkatkan mutunya; selalu peka terhadap kemunduran mutu lingkungan; memahami dan menghargai warisan budaya lokal; memanfaatkan IPTEK secara kontekstual, profesional dan kompetitif. Secara konseptual, pemukiman tidak dapat difahami hanya sebagai tempat bermukim, tetapi menyangkut beragam aspek hidup perkotaan (urbanisasi) meliputi kegiatan ekonomi (mencari nafkah), sosial (internaksi bermasyarakat kota), lingkungan (pelestarian/pengkayaan), budaya (meningkatkan peradaban) yang tidak lepas dari warisan sebelumnya. Pemukiman mengandung konotasi kemandirian yang riil.

Era reformasi melahirkan banyak undang-undang yang pada prinsipnya mengurangi peran pemerintah (pusat) dan menghilangkan sistem sentralistik. Ini menimbulkan pengaruh secara signifikan terhadap pembangunan kota dan kemampuan (atau tidak mampu). Potensi mengambil keputusan akan berdampak tidak terbatas pada rakyat atau fihak tertentu saja, namun meluas melewati batas waktu dan tempat. Oleh karena itu harus diupayakan agar rakyat mampu ikut memutuskan dan bertanggung jawab atas hasil dan akibat yang timbul oleh pembangunan. Agar hal ini terlaksana dengan baik diperlukan platform yang dapat menjadi wadah dialog dan diskusi antar warga masyarakat (horisontal) dan dengan fihak pemerintahan (vertikal) dalam merumuskan pola pembangunan yang diperlukan. Wadah ini menjalankan proses pemberdayaan oleh, dari dan bagi rakyat sebagai prerequisite dari pelaksanaan pembangunan yang bertumpu pada masyarakat.

 

 

IV.  KESIMPULAN

 

Pemberdayaan dan peningkatan peran serta masyarakat di dalam proses pembangunan, khususnya di daerah perkotaan, bukan lagi sekedar paradigma, tetapi sudah merupakan suatu filosofy ilmu perencanaan pembangunan kota (city-planning phylosophy). Kota-kota di Indonesia selama ini dikembangkan dan dibangun dengan paradigma lama, yaitu dengan mengadakan pendekatan top-down planning dan sektoral. Hasil pembangunan yang diwujudkan, lebih mengakomodasi kebutuhan sekelompok warga masyarakat dengan prosentase kecil (exclusive society), sedang kebutuhan kelompok masyarakat yang lebih besar (marginal society) terabaikan, malah cenderung tersingkirkan.

Akibat lebih jauh adalah timbulnya kontradiksi dan konflik sosial, yang sangat rentan merusak sendi-sendi sosial yang terpelihara cukup lama, disamping perusahaan sarana-prasarana fisik perkotaan, Fenomena ini disadari bisa berakibat fatal dan akan sangat lama untuk merekatkan sendi-sendi sosial seluruh kelompok masyarakat di perkotaan, yang sempat dirusak.

Untuk ke depan, pemberdayaan dan peningkatan peran serta masyarakat di dalam proses pembangunan sebagai suatu sistem yang dipadukan dengan visi kota-kota besar dan menengah dalam sistem globalisasi yang seluruhnya bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di perkotaan.

Dari uraian di atas dapat dilihat dari hakikat ilmu proses perencanaan pembangunan kota berbasis masyarakat telah melalui landasan-landasan ilmiah yang harus dilakukan dalam mencari kebenaran, mencakup landasan ontologis, epistemologis dan ecxiologis.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Bappeda DKI Jakarta dan P3WK ITB. 2001. Peran Serta Masyarakat Dalam Perencanaan Tata Ruang dan Pembangunan. Jakarta.

John M. Bryson. 1991. Strategic Planning for Public and Non Profit Organizations, Jossey-Bass Publishers. San Fransisco-Oxford.

Kenneth, J. Dawey. 1993. Urban Management Proggrame: Elements of Urban Management, The World Bank. Washington D.C.

Suriasumantri, Jujun. S. 1983. Ilmu Dalam Perspektif. Sebuah kumpulan karangan tentang hakekat ilmu. Yayasan Obor Indonesia dan Leknas-LIPI. Jakarta.

Suriasumantri, Jujun. S. 1999. Filsafat Ilmu. Sebuah Pengantar Populer. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.

Wordhona, Fitri Indra. 2001. Himpunan Makalah Perencanaan Kota. Jakarta Konsultindo. P.T. Jakarta.