©
2002 Hardjanto Posted: 21 March 2002 [rudyct]
Makalah
Falsafah Sains (PPs 702)
Program
Pasca Sarjana / S3
Institut
Pertanian Bogor
Maret
2002
Dosen:
Prof
Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)
SPIRIT ETIKA JAWA DALAM
PENGEMBANGAN ILMU
(Kajian Falsafi
Tentang Hubungan Keduanya)
Oleh
IPK. 97. 5067
E-mail: hardjanto@cbn.net.id
Abstrak
Tulisan ini menelaah hubungan/interaksi antara etika
Jawa dengan upaya pengembangan ilmu yang diawali dengan pertanyaan apakah etika Jawa mendorong
kemajuan ilmu?. Dalam kaidah dasar kehidupan masyarakat Jawa serta pilar-pilar
etikanya ternyata tidak seluruhnya memberikan spirit positif dalam pengembangan
ilmu, sehingga nampaknya diperlukan reorientasi dalam etika itu sendiri untuk
memberikan suasana kondusif dalam upaya pengembangan ilmu sesuai jamannya.
Salah satu spirit yang dapat ditangkap dan perlu dimiliki bagi setiap ilmuwan
adalah prinsip keseimbangan dalam pencarian ilmu, sehingga pada akhirnya
terjadi keseimbangan antara ilmu dan agama.
Tulisan ini ditujukan kepada rekan-rekan mahasiswa program doktor di IPB
yang mengambil mata kuliah Falsafah Sains yang difasilitasi oleh Prof. Dr. Ir
Rudy C. Tarumingkeng pada semester 2 tahun 2001/2002. Kepada rekan-rekan mahasiswa dipersilahkan untuk secara bebas dan
lugas mengkritisi tulisan ini.
Telaah singkat dalam makalah dengan
judul tersebut ditulis karena adanya dorongan keingintahuan penulis tentang
bagaimana hubungan etika Jawa dengan pengembangan ilmu. Dalam penyajian yang sangat ringkas ini
tentu hanya bagai sebutir pasir di pantai bila dibanding dengan luasnya fakta
dan permasalahan yang sesungguhnya. Namun
demikian yang sebutir itu diharapkan mendapatkan eksistensi di dalam
“populasinya”.
Etika .Jawa merupakan etika mayoritas di negeri ini,
dan etika Jawa diduga digunakan oleh sejumlah orang yang melebihi orang Jawa
itu sendiri, sebagai akibat sistem politik dan birokrasi yang berlaku selama
kemerdekaan khususnya tiga dasawarsa terakhir.
Sebagai sebuah mayoritas, biasanya akan memberikan
warna yang kuat terhadap suatu kebijakan atau arah perjalanan seluruh
komunitasnya. Melalui logika ini, maka semestinya juga akan didapati hubungan
dan atau interaksi yang kuat antara etika Jawa dengan pengembangan ilmu. Dengan
demikian pertanyaannya adalah dapatkah etika Jawa mendorong kemajuan ilmu dalam
rangka memberikan kemaslahatan bagi kemajuan bangsa ini. Pertanyaan ini menarik perhatian karena
paling sedikit untuk alasan berikut.
Pertama, karena ilmu merupakan salah satu bagian hidup
(disamping iman) yang secara
bersama-sama akan menentukan arah kehidupan individu, kelompok masyarakat
ataupun bangsa. Begitu sentralnya posisi ilmu dalam kehidupan, maka ilmu
senantiasa harus selalu dikembangkan.
Kedua, karena etika Jawa merupakan etika mayoritas,
maka sadar atau tidak semestinya etika Jawa ini memiliki ruang yang cukup dan
inheren dalam “dirinya” untuk dapat mendorong pengembangan ilmu.
Etika Jawa
tentu berasal dari orang Jawa yang merupakan mayoritas dan dalam jumlah yang
banyak (± 45% dari penduduk Indonesia). Karena jumlah banyak tersebut, maka
sesungguhnya etika Jawa juga memiliki variasi yang besar pula, sehingga sulit
untuk dikemukakan secara keseluruhan. Oleh karena itu dalam tulisan ini, yang dimaksud etika Jawa adalah etika Jawa
yang merupakan hasil konstruksi teoritis Frans Magnis Suseno, dalam pengertian
bukan merupakan rumusan dari suatu saringan deduktif dari paham-paham dan
sikap-sikap moral dalam masyarakat Jawa. Kontruksi teoritis tersebut bukan
berarti tidak ada dalam kemyataan, tetapi dengan metode semacam itu penulisnya
tidak harus membuktikan bahwa etika Jawa itu ada atau pernah ada. Namun
demikian Franz Magnis Suseno dalam membuat konstruksinya menggunakan data-data,
ilmu sosial empiris tentang masyarakat Jawa yang nyata.
Jadi tulisan
ini karena bahan dasarnya merupakan konstruksi teoritis, maka didalamnya juga
akan merupakan “hasil konstruksi
teoritis”. Karenanya penulis juga terbebas dari tekanan untuk harus membuktikan
bahwa interaksi antara etika Jawa dan
pengembangan ilmu itu memang ada dan atau pernah ada.
Tulisan ini secara khusus akan menggali
hubungan/interaksi antara nilai-nilai/pilar-pilar etika Jawa dengan
upaya/proses pengembangan ilmu.
2. Etika
Menurut Magnis Suseno F (1996) kata ‘etika’’ dalam arti yang
sebenarnya berarti” filsafat mengenai bidang moral’’. Jadi etika rnerupakan ilmu atau refleksi sistematik rnengenai
pendapat-pendapat, norma-norma, dan istilah-istilah moral. Namun demikian dalam
buku Etika Jawa yang ditulisnya, pengertian etika Jawa mempunyai arti yang
lebih luas, yaitu sebagai keseluruhan norma dan penilaian yang dipergunakan
oleh masyarakat yang bersangkutan untuk mengetahui bagaimana seharusnya manusia
menjalankan kehidupannya. Jadi dalam
etika ini akan ditemukan jawaban atas pertanyaan bagaimanan saya harus membawa
diri, sikap-sikap dan tindakan-tindakan mana yang harus saya kembangkan agar
hidup saya sebagai manusia dapat berhasil. Apakah etika dapat diajarkan ?. Menurut Aristoteles etika hanya bisa diajarkan kepada orang yang sudah
memiliki suatu rasa moral. Namun
Socrates berpendapat bahwa etika dapat diajarkan, karena bertolak dari
pandangan bahwa apabila seseorang diberi pengajaran tentang apa yang sebenarnya
baik baginya ia akan bertindak sesuai dengan itu.
Terlepas dari pendapat Aristoteles
dan Socrates, yang pasti selama tiga puluh tahun terakhir ini masyarakat
Indonesia sebagian telah “memahami” etika Jawa yang disebarluaskan melalui
sistem politik dan birokrasi. Sebenarnya
keadaan semacam itu tidak akan menjadi masalah selama tidak terjadi eksploitasi
terhadap unsur atau bagian yang lemah dari etika itu sendiri. Hal ini menjadi penting karena alam etika
Jawa terkandung maksud adanya pencapaian hidup yang berhasil dalam arti selalu
berusaha mewujudkan harmonisasi dalam kehidupan.
“Omang Jawa’’ biasanya dibedakan
menjadi orang Jawa Santri dan Jawa Abangan.
Dalam tulisan ini orang Jawa yang dimaksud adalah orang Jawa dengan
orientasi Jawa pra-Islam. Orang Jawa
macam ini masih ada dan masih banyak sampai sekarang, yang justru orientasinya
masih banyak digunakan melalui sistem politik dan birokrasi selama ini.
Orang Jawa membedakan diri menjadi
dua golongan sosial yaitu (1) wong cilik (orang kecil), terdiri dari
sebagian besar massa petani dan mereka yang berpendapatan rendah di kota, dan
(2) kaum priyayi dimana termasuk kaum pegawai dan orang-orang intelektual. Golongan pertama dalam hidupnya lebih
ditentukan oleh tradisi-tradisi pra-Islam, sehingga disebut Kejawen,
abangan. Golongan kedua memahami diri
sebagai orang Islam dan berusaha untuk hidup menurut hidup ajaran Islam, dan
disebut Santri.
3. Dua Kaidah Dasar Kehidupan Masyarakat Jawa
Menurut Hildred Geertz dalam Magnis
Suseno (1996), terdapat dua kaidah yang paling menentukan pola pergaulan dalam
masyarakat Jawa yaitu yang disebut prinsip kerukunan dan prinsip
hormat.
Rukun berarti “berada dalam keadaan
selaras”, “tenang dan tenteram” tanpa perselisihan dan pertentangan. Prinsip kerukunan ini terutama bersifat
negatif : karena prinsip itu menuntut untuk mencegah segala cara yang bisa
menganggu keselarasan dan ketenangan dalam masyarakat. Salah satu persyaratan untuk berlaku rukun
adalah menomorduakan atau bahkan melepaskan kepentingan pribadi demi
kesepakatan bersama. Dengan demikian prinsip kerukunan sebenarnya lebih merupakan “prinsip
pencegahan konflik”. Selanjutnya
prinsip ini akhirnya akan lebih menekankan penjagaan keselarasan dalam
pergaulan.
Prinsip hormat pada dasarnya bahwa setiap orang dalam
berbicara, membawa diri harus selalu menunjukkan sikap hormat terhadap orang
lain sesuai dengan derajat dan kedudukan sosialnya.
4. Pilar-pilar
Etika Jawa
Dalam butir keempat ini disampaikan
tentang beberapa koordinat normatif yang menentukan kehidupan praktis Jawa
meliputi : sikap batin, tindakan yang tepat dalam dunia dan tempat
yang tepat (Magnis Suseno F, 1996).
Sikap batin menurut etika Jawa
meliputi beberapa sikap (pokok) didalamnya yaitu : hawa nafsu, egoisme
(pamrih), nrimo, ikhlas, jujur (temen), bersahaja (prasaja), tenggang rasa
(tepa selira). Jadi idealnya seseorang
dikatakan memiliki sikap batin yang tepat jika dia dapat mengendalikan hawa
nafsu, tidak egoisme (tanpa pamrih) serta dapat bersikap nrimo, ikhlas dan
berlaku jujur, bersahaja dan memiliki tenggang rasa.
Adapun maksud dari tindakan yang
tepat dalarn dunia adalah bahwa manusia hendaknya tidak mengikatkan diri pada
dunia, tetapi bukan untuk menarik diri dari dunia. Jadi artinya menusia harus melepaskan nafsu dan
pamrihnya. Karenanya tindakan tepat di
dunia tidak lain adalah paduan antara wajib bekerja keras (rame ing nggawe) dan
tanpa pamrih (sepi ing pamrih).
Selanjutnya tempat yang tepat, di sini ditegaskan
bahwa etika Jawa itu bersifat relatif terhadap tempat. Artinya apa yang harus dilakukan
masing-masing ditentukan oleh tempatnya dalam masyarakat, bukan apa yang
dianggap baik dan berguna ataupun sebagai tuntutan suara hati yang menentukan.
5.
Ilmu
Ilmu, merupakan
pengetahuan yang didapat melalui proses tertentu yang dinamakan metode
keilmuan. Metode inilah yang membedakan
ilmu dengan buah pikiran lainnya.
Metode keilmuan tidak lain merupakan gabungan antara berpikir secara
rasional dan empiris. Jadi benar secara
keilmuan berarti bahwa kebenaran itu didukung oleh fakta-fakta empiris.
Jadi ilmu
merupakan buah pikiran yang membatasi pada kejadian empiris untuk dapat
memberikan jawaban terhadap pertanyaan manusia untuk memperoleh pengetahuan.
Kegiatan keilmuan dilakukan secara terbuka dan tidak
misterius, sehingga sifat keilmuan adalah terbuka, umum dan tersurat.
Perkembangan ilmu sampai sekarang merupakan jawaban
dari rasa keinginan manusia untuk mengetahui kebenaran. Lantas apa yang disebut benar ?. Untuk kebanyakan ilmuwan, kebenaran baru
diketahui jika mereka dapat meramalkan apa yang akan terjadi dibawah
persyaratan tertentu. Akhirnya
kebenaran itu seolah “tidak pernah ada”, tetapi bagi ilmuwan, proses perjalanan
ke arah kebenaran itu sudah merupakan kepuasan (Senn P.R., 1997)
Pengembangan ilmu nampaknya dimulai dari dedukatif
seperti yang dicontohkan oleh Aristoteles.
Selanjutnya pada abad ketujuh belas, Francis Bacon memperkenalkan metode
indukatif untuk mencari kebenaran itu.
Namun demikian selanjutnya dirasakan bahwa penggunaan satu metode
tidaklah cukup untuk mendapatkan kebenaran itu. Selanjutnya terjadilah penggabungan metode deduksi Aristoteles
dan metode induksi Bacon, yang dipelopori penggunaannya oleh Charles Darwin
(Mouly G. J., 1997).
6. Hubungan Etika dan Ilmu
Pada jaman
Yunani dulu, Aristoteles manyatakan bahwa ilmu tak mengabdi fihak lain,
melainkan ilmu digulati hanya untuk ilmu itu sendiri. Sejak abad 17 ilmu giat dikembangkan bukan sekedar tujuan bagi
dirinya sendiri melainkan suatu sarana untuk mencapai sesuatu. Dengan demikian secara implisit sesungguhnya
pengembangan ilmu tidak lepas dari etika dan bahkan politik.
Nilai ilmu terletak pada
penerapannya, karena ilmu mengabdi masyarakat.
Karena salah satu ciri ilmu adalah kebenaran, bahkan kebenaran itu
merupakan inti etika ilmu, maka menurut pandangan faham pragmatis kebenaran
tersebut ditentukan oleh derajat penerapan praktis dari ilmu (Daldjoeni N.,
1997).
Untuk menjawab apakah karena
kebenaran itu lalu ilmu bukan tujuan bagi dirinya sendiri, sehingga perlu
diperhatikan etika sebagai efek tambahan dari ilmu setelah diterapkan dalam
masyarakat ?. Dalam kaitan ini Martin
Heidegger dalam Daldjoeni, 1996, mendekatinya dari hubungan antara logos
dan ethos. Logos menurutnya
bukan sekedar akal, tetapi artinya macam-macam dari berbicara sampai membaca,
kemudian diluaskan menjadi memperhatikan, menyimak, mengumpulkan makna,
menyimpan dalam batin dan berhenti untuk menyadari. Dalam tataran inilah aka logos bertemu dengan etos, maka jelas
bahwa ilmu lengket dengan etika.
Tingkat kelengketan antara ilmu dan
etika ini didasarkan kepada anggapan bahwa karena ilmu bukan tujuan, melainkan
sarana. Sebagai sarana, maka ilmu mau
tidak mau harus berimpit dengan etika bagi pelayanan sesama manusia dan bahkan
tanggung jawab secara agama. Beberapa
contoh yang menunjukkan berimpitnya ilmu dan etika antara lain diperbolehkan
atau tidaknya “cloning” pada manusia atau ketika Copernicus (1473-1543)
mengemukakan teorinya tentang gerak planit-planit di ruang angkasa yang ketika
itu ditentang oleh masyarakatnya dan masih banyak contoh lain. Jadi jelas bahwa ilmu lengket dengan etika
atau dengan keberadaan manusia itu sendiri.
Karenanya etika akan menentukan “corak” perkembangan ilmu karena ilmu
didudukkan sebagai sarana. Sedang sifat ilmu yang netral maka ilmu “tidak” menentukan etika. Dengan demikian batas perkembangan ilmu
sangat dipengaruhi oleh etika yang berlaku.
7. Etika Jawa dan Pengembangan Ilmu
Pada bagian
ini akan disajikan bagaimana interaksi antara etika Jawa dan upaya pengembangan
ilmu. Untuk memudahkan analisis, maka
penulis berangkat dari kaidah dasar kehidupan masyarakat Jawa dan pilar-pilar
etikanya dikontraskan dengan upaya pengembagan ilmu.
Kaidah dasar pertama adalah
kerukunan. Dalam kerukunan ini yang ada
adalah keadaan selaras, tenang dan tenteram, tanpa perselisihan dan
pertentangan. Jadi dalam etika Jawa
sangat mementingkan untuk menghindari terjadinya konflik walau
sedikitpun. Dalam semangat seperti ini
maka setidaknya jika ia berposisi mengembangkan ilmu, maka cenderung
akan sangat teliti sebelum ilmu itu harus dipertanggungjawabkan. Tetapi kemungkinan kedua juga dapat muncul
yaitu cenderung untuk tidak memberikan penjelasan atas penemuan ilmunya secara
gamblang dalam mempertahankan
“kebenaran” yang ditemukannya, karena menurutnya dapat berkembang menjadi
konflik. Dengan demikian pada tataran
ini, ilmu yang ditemukannya dapat disejajarkan dengan “hipotesis” yang
pembuktian kebenarannya hanya ditentukan oleh bergulirnya waktu. Selanjutnya jika ia berposisi sebagai
penerima pengembangan ilmu, maka lagi-lagi karena menghindari konflik, maka
akan bersikap tidak mengkritisi ilmu yang diterimanya, atau sikap sangat kritis
dapat terjadi, tetapi dengan melakukan
pembuktian sendiri seara “diam-diam” terhadap kebenaran ilmu yang diterimanya.
Dari uraian di atas maka dapat
ditemukan dua sikap yang berkembang dalam kaidah dasar yang pertama yaitu
merupakan dua sikap “ekstrim” dimana keduanya sama-sama menghindari terjadinya
konflik, baik ia sebagai pengembang atau penerima ilmu. Lantas bagaimana “nasib” akhir pengembangan
ilmu dalam kondisi semacam ini ?. Pertanyaan
ini tentu tidak mudah untuk dijawab, karena proses pengembangan ilmu dipengaruhi
oleh banyak faktor seperti ekonomi, politik, budaya dan sebagainya. Tetapi setidaknya dengan menghindari konflik
itu sebenarnya tidak menguntungkan walaupun mungkin tidak merugikan dalam
proses pengembangan ilmu.
Kaidah dasar kedua adalah prinsip
hormat. Dalam kehidupan masyarakat Jawa
hormat ini tidak saja menurut waktu dan tempat, tetapi juga sesuai dengan
derajat dan kedudukan sosialnya. Dengan
demikian terdapat pembeda yang jelas atas dasar kepada siapa seseorang itu
hormat. Dalam pengembangan ilmu dengan
prinsip mencari “kebenaran” maka harus melalui sebuah metode uji yang dapat
dipertanggungjawabkan. Karenanya
obyektivitas sangat ditonjolkan dalam pengembangan ilmu. Prinsip hormat memang sama sekali tidak
bertentangan dengan proses obyektif tersebut, tetapi dalam perwujudannya
tentang “derajat dan kedudukan sosial” tersebut menjadikan semangat
obyektivitas menjadi tidak utuh. Karenanya
proses pengembangan ilmu menjadi tidak dalam semangat penuh.
Terdapat tiga pilar etika Jawa yang
dibicarakan di sini kaitannya dengan pengembangan ilmu yaitu : sikap batin,
tindakan yang tepat dalam dunia dan tempat yang tepat.
Seseorang dikatakan memiliki sikap
batin yang tepat jika ia dapat mengendalikan hawa nafsu, tidak egois serta
bersikap nrimo, ikhlas, dan belaku jujur, bersahaja dan memiliki tenggang
rasa. Sikap batin semacam ini sangat
sesuai/mendukung dalam proses pengembangan ilmu dalam upayanya mencari
“kebenaran”. Jadi apabila seorang
ilmuwan memilki sikap batin semacam ini maka kebenaran yang ditemukannya
sekaligus bersifat pragmatis. Mengapa
demikian ?. Karena dia dalam
mengembangkan ilmunya tidak saja berorientasi kepada ilmu itu sendiri tetapi
juga untuk mendapatkan kemaslahatan bagi umat manusia.
Pilar kedua adalah tindakan yang
tepat dalam dunia yang berarti bahwa manusia tidak mengikatkan diri pada
dunia, tetapi bukan menarik diri dari dunia.
Jadi di sini manusia harus memberikan posisi yang seimbang antara
kepentingan dunia dan kepentingan akhirat.
Dalam format semangat semacam itu maka ilmuwan dalam mengembangkan
ilmunya melalui kerja keras, tetapi agar selalu diimbangi dengan qalbunya. Jadi melalui pilar kedua ini ilmuwan sejak
dini dituntun untuk memahami hakekat ilmu itu sendiri. Karenanya seakan-akan ilmuwan dibawa kepada
tempat-tempat yang menjadi “batas kebenaran”, bukan tidak terbatas seperti
paham-paham lain. Namun demikian diakui
bahwa abstraksi batas kebenaran tersebut sulit untuk dibayangkan atau
ditemukan, dengan demikian pilar kedua ini sekali lagi menunjukkan keseimbangan
perilaku manusia (dunia-akhirat), tidak terkecuali dalam urusan pengembangan
ilmu.
Pilar ketiga adalah tempat yang
tepat, artinya apa yang dilakukan senantiasa ditemukan oleh tempatnya untuk
mewujudkan keselarasan dalam masyarakat, bukan apa yang dianggap baik dan
berguna. Dengan demikian kebenaran
setidaknya menjadi nomor dua setelah keselarasan. Prinsip demikian tentu tidak sesuai dengan prinsip pengembangan
ilmu dimana kebenaran menjadi ciri/kepentingan utama. Karenanya dengan mengedepankan keselarasan tersebut, upaya
pengembangan ilmu menjadi tidak lugas dalam arti terdapat hambatan ruang gerak
dalam menentukan obyek pengembangan ilmu.
Dari uraian singkat tentang kaidah
dasar dan pilar-pilar dalam etika Jawa, hubunganya dengan pengembangan ilmu
tersebut ternyata tidak seluruhnya memberikan spirit yang sama dalam upaya
pengembangan ilmu. Pada kedua kaidah
dasar kehidupan masyarakat Jawa, walaupun tidak merupakan penghambat dalam
pengembangan ilmu, tetapi setidaknya tidak memberikan peluang yang besar untuk
melakukan akselerasi dalam pengembangan ilmu. Kondisi semacam ini ikut
mengakibatkan rendahnya kamajuan ilmu, disamping penyebab-penyebab lain.
Dari pilar-pilar etika Jawa, dalam
pilar pertama khususnya pada sikap nrimo, sesungguhnya memiliki makna yang dalam. Nrimo bukan sekedar menerima apa adanya,
tetapi merupakan menerima “takdir” setelah melalui usaha yang sangat
keras. Sehingga sikap nrim ini hanya
bisa dimiliki oleh individu yang memiliki keimanan yang tinggi. Bila tidak demikian, maka nrimo akan lebih
dekat artinya kepada sikap fatalisme atau setidaknya stagnan. Inilah yang sering disalahgunakan sehingga
bila pengertian yang terakhir ini yang digunakan maka pengembangan ilmu akan
menjadi sangat lambat. Pilar kedua
memberikan spirit sepenuhnya dalam pengembangan ilmu, bahkan dapat menjadi
penuntun untuk membentuk ilmuwan yang handal dan sekaligus beriman. Pilar ketiga lebih memiliki pengaruh negatif
dalam upaya pengembangan ilmu karena lebih mengutamakan keselarasan dan bukan
kebenaran.
Jadi secara umum dapat disimpulkan
bahwa kaidah dasar kehidupan masyarakat Jawa beserta etikanya, tidak seluruhnya
memberikan spirit dengan arah dan kekuatan yang sama. Terdapat spirit yang positif (mendorong), tetapi juga
terdapat spirit yang netral bahkan cenderung negatif yang dapat mengakibatkan
lambatnya pengembangan ilmu. Situasi
seperti ini dijumpai pula pada kehidupan birokrasi kenegaraan seperti
disinyalir oleh para kritisi sosial dan para budayawan misalnya WS Rendra,
Muchtar Lubis, Kuntowijoyo dan lainnya khususnya pada masa orde baru. Mereka melihat adanya praktek-praktek yang
berasal dari budaya Jawa yang masih kental hidup dalam struktur kenegaraan,
utamanya dalam birokrasi paternalistik kita.
Dalam iklim yang mengarah kepada demokrasi, terdapat budaya Jawa yang
tidak cocok karena memiliki nuansa fatalisme dan stagnan. Lebih jauh kultur Jawa dituduh sebagai
patologi kebudayaan dalam tubuh bangsa (Nur Khalik, 1998).
8.
Penutup
Diakui bahwa
etika erat hubungannya dengan ilmu bahkan dikatakan berimpit keduanya. Khusus untuk etika Jawa, ternyata tidak
seluruh pilar-pilarnya memberikan spirit positif dalam pengembangan ilmu. Karenanya dalam konteks ini perlu adanya
reorientasi terhadap pilar etika yang tidak memberikan suasana kondusif dalam
pengembangan ilmu.
Mengapa ilmu senantiasa harus
dikembangkan ? Banyak alasan terhadapnya, tetapi setidaknya karena kebenaran
ilmu itu bukan merupakan kebenaran yang sempurna. Selanjutnya A. H. Mintardja dalam Anam M. Z. (1998) menyatakan
bahwa ada empat persoalan yang mesti diperhatikan agar ilmu dapat bergerak
aktif dan sesuai dengan fungsinya. Pertama,
ilmu harus dapat mewadahi kebudayaan masyarakat karena akan berkembang sesuai
dengan kehendak masyarakat. Kedua
adanya keinsyafan, bahwa ilmu bukan satu-satunya untuk memperoleh kebenaran. Ketiga, pendidikan moral keagamaan dan etika
Pancasila merupakan syarat mutlak bagi moral para ilmuwan agar memiliki etika
profesional yang seimbang. Keempat, dibutuhkan pendidikan filsafat ilmu bagi jenjang pendidikan
tinggi.
Jadi guna mendapatkan iptek, maka bangsa ini harus
menginstal muatan etika keagamaan dalam epistomologi ilmu karena hal ini
merupakan sesuatu yang penting.
Bagaimanapun ilmuwan harus selalu ingat bahwa tidak ada kebenaran yang
sempurna kecuali dari Allah sebagaimana tercantum dalam surat Al-An’am ayat
115-116.
Anam. M. Z. 1998. Reaktualisasi Epistemologi Ibnu Rusyd. Suara Muhammadiyah No. 05/Th Ke-83, 1-15 Maret 1998.
Chalmers. A. F. 1983. Apa Itu Yang Dinamakan Ilmu ? (Terjemahan), Hasta
Mitra Jakarta.
Daldjoeni. N. 1997.
Hubungan Etika dengan Ilmu dalam Suriasumantri J. S. (Terjemahan), “Ilmu
dalam Perspektif”. Yayasan Obor Indonesia”, Jakarta.
Maarif. A. Syafii. 1995. Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia. (cetakan III). Penerbit Mizan,
Bandung.
Magnis-Suseno. F. 1996. Etika
Jawa (cetakan keenam), PT. Gramedia
Pustaka Utama), Jakarta.
Mouly. G. J. 1997. Perkembangan
Ilmu dalam Suriasumantri J. S. (Terjemahan), “Ilmu dalam Perspektif”. Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta.
Nasution. A. H. 1992. Pengantar ke Filsafat Sains (cetakan kedua). Pustaka
Litera Antar Nusa, Bogor.
Nur Khalik. 1998. Kultur Jawa dalam Gugatan. Suara
Muhammadiyah. No. 04/Th ke-83. 15-28 Februari 1998.
Senn. P. R. 1997. Struktur Ilmu dalam
Suriasumantri J. S. (Terjemahan), “Ilmu dalam Perspektif”. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Taryadi. A. 1991. Epistemologi
Pemecahan Masalah Menurut Karl R. Popper.
PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.