© 2002  I Nyoman Rai                                                   Posted:  3 April   [rudyct] 

Makalah Falsafah Sains (PPs 702)   

Program Pasca Sarjana / S3

Institut Pertanian Bogor

April  2002

 

Dosen:

Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)

 

 

 

 

DIAGNOSIS DEFISIENSI DAN TOKSISITAS HARA MINERAL PADA TANAMAN

 

 

Oleh:

 

I Nyoman Rai

P.036.00001/AGR

E-mail: inrai@hotmail.com

 

I.  PENDAHULUAN

 

          Tantangan pertanian di masa mendatang adalah penyediaan pangan yang cukup bagi penduduk, yang lebih dikenal dengan istilah ketahanan pangan.  Dengan meningkatnya jumlah penduduk, lahan subur untuk pertanian banyak beralih fungsi menjadi lahan non pertanian.  Sebagai akibatnya, kegiatan budidaya pertanian bergeser ke lahan-lahan marginal  yang membutuhkan input tinggi untuk menghasilkan produk pangan yang memadai. 

          Beberapa tahun kebelakang, peningkatan produksi pangan di Indonesia dicapai melalui penggunaan input pertanian yang tinggi, terutama input luar (eksternal input) seperti penggunaan pupuk kimia, pestisida/herbisida, benih hibrid dan sebagainya.  Penggunaan eksternal input yang tinggi menyebabkan timbulnya masalah lingkungan yang serius seperti polusi, degradasi lahan serta kematian musuh alami hama dan penyakit.

          Petani menghargai pupuk buatan karena efek yang cepat dan peng-gunaannya relatif mudah. Penggunaan pupuk buatan yang berlebihan dapat mengganggu kehidupan dan keseimbangan tanah, meningkatkan dekomposisi bahan organik, yang kemudian menyebabkan degradasi struktur tanah, kerentanan yang lebih tinggi terhadap kekeringan dan menurunnya hasil panen.  Sebagai contoh, Reijntjes et al. (1992) menyatakan penggunaan pupuk N, P dan K yang terus-menerus menyebabkan penipisan unsur-unsur mikro dan aplikasi N yang tidak seimbang dari pupuk mineral nitrogen menyebabkan menurunnya pH tanah dan ketersediaan fosfor bagi tanaman.  Namun demikian, dengan langsung mengganti alternatif non kimia belum tentu akan membuat pertanian lebih berkelanjutan, misalnya penggunaan pupuk kandang secara tidak bijaksana dapat mencemarkan tanah dan air permukaan seburuk pencemaran yang ditimbulkan oleh penggunaan pupuk kimia yang berlebihan.

          Berdasarkan uraian di atas pemberian pupuk atau nutrisi, baik yang bersumber dari bahan organik maupun pupuk buatan (anorganik) perlu dilakukan secara hati-hati dan bijaksana.  Artinya adalah pemberian pupuk tidak semata-mata untuk mengejar pertumbuhan agar tanaman berproduksi secara maksimal, tetapi juga harus mempertimbangkan aspek kualitas lingkungan dan lestarinya sumber daya alam dalam rangka mewujudkan pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) (Reijntjes et al. 1992).  Berkait-an dengan hal tersebut, dalam manajemen produksi pertanian modern kedepan rekomendasi pemberian nutrisi harus didahului dengan diagnosis hara mineral pada tanaman, misalnya melalui diagnosis berdasarkan gejala visual (visible symptoms) dan analisis tanaman (plant analysis).  Untuk mencegah dampak negatif yang timbul, pemberian pupuk tertentu baru dilakukan bila status hara mineral tersebut pada kisaran defisiensi (“deficiency range”) (Grundon, 1987).

 

 

II.  ESENSIALITAS HARA MINERAL BAGI TANAMAN

 

          Menjaga dan mengontrol nutrisi tanaman merupakan salah satu aspek yang sangat fundamental dalam pertanian modern.  Pengaruh menguntungkan penambahan hara mineral ke dalam tanah untuk memperbaiki pertumbuhan tanaman telah dikenal dalam pertanian sejak lebih dari 2.000 tahun yang lalu (Marschner, 1986).  Kemampuan tanaman untuk memperoleh hara dari tanah tergantung pada kompleks faktor-faktor, seperti laju tanah mensuplai ion ke permukaan akar, laju akar mengeksplorasi tanah yang belum tereksploitasi (“unexploited”) serta interaksi faktor lingkungan dan faktor mikrobiologis.

          Komposisi hara mineral dalam tubuh tanaman tidak dapat digunakan secara langsung untuk menentukan apakah hara-hara tersebut merupakan hara esensial bagi pertumbuhan tanaman (Hartman et al.,1981).  Hara mineral dikelompokkan sebagai hara esensial paling tidak harus memenuhi 3 kriteria (Epstein, 1972), yaitu : 1) tanpa kehadiran hara tersebut maka tanaman tidak dapat menyelesaikan siklus hidupnya, 2) fungsi hara tersebut tidak dapat digantikan oleh hara yang lain, dan 3) hara tersebut secara langsung terlibat dalam metabolisme tanaman yaitu sebagai komponen yang dibutuhkan dalam reaksi-reaksi enzimatis.  Dengan demikian, sangatlah sulit untuk meng-generalisir apakah suatu hara mineral tertentu termasuk esensial atau non esensial, karena hara mineral yang satu bisa bersifat esensial bagi tanaman tertentu tetapi sebaliknya tidak esensial bagi jenis tanaman yang lain. 

          Untuk tanaman tingkat tinggi terdapat 13 jenis hara esensial yang terdiri atas kelompok hara makro (N, P, K, S, Mg dan Ca) den kelompok hara mikro (Fe, Mn, Zn, Cu, B, Mo dan Cl) (Janick et al, 1974; Hartman et al., 1981;  Baligar dan Duncan, 1990).  Selanjutnya Brown et al. (1987 dalam Salisbury dan Ross,1992) menyajikan daftar unsur hara esensial dan konsentrasinya dalam jaringan yang diperlukan agar tumbuhan dapat tumbuh dengan baik (Tabel 1).  Disebutkan bahwa nilai konsentrasi tesebut menjadi pedoman yang berguna bagi para ahli fisiologi, pengelola kebun dan petani, karena konsentrasi unsur-unsur dalam jaringan (terutama dalam daun terpilih) lebih dapat dipercaya dari analisis tanah untuk menunjukkan apakah tanaman akan tumbuh lebih baik dan/atau lebih cepat jika unsur tertentu diberikan lebih banyak.

 

Tabel 1.  Unsur  esensial   bagi   sebagian   besar  tumbuhan  tingkat tinggi dan kosentrasinya pada jaringan (berdasarkan

berat kering) yang  dianggap memadai (Brown et al. 1987 dalam Salisbury dan Ross,1992)

 

          Unsur (laambang kimia)

Bentuk yang tersedia bagi tumbuhan

Bobot atom

Konsentrasi pada jaringan kering

Jumlah atom dibandingkan molibdnum

 

 

 

mg/kg

(%)

 

Molibdenum (Mo)

MoO42-

95,95

0,1

0,00001

1

Nikel (Ni)

Ni2=

58,71

?

?

?

Tembaga (Cu)

Cu-, Cu=

63,54

6

0,0006

100

Seng (Zn)

Zn2=

65,38

20

0,0020

300

Mangan (Mn)

Mn2=

54,94

50

0,0050

1.000

Boron (B)

H3BO3

10,82

20

0,002

2.000

Besi (Fe)

Fe3=, Fe2=

55,85

100

0,010

2.000

Klor (Cl)

Cl-

35,46

100

0,010

3.000

Belerang (S)

SO4-

32,07

1.000

0,1

30.000

Fosfor (P)

H2PO44-

30,98

2.000

0,2

60.000

Magnesium (Mg)

Mg2=

24,32

2.000

0,2

80.000

Kalsium (Ca)

Ca2+

40,08

5.000

0,5

125.000

Kalium (K)

K+

39,10

10.000

1,0

250.000

Nitrogen (N)

NO3-,, NH4+

14,01

15.000

1,5

1.000.000

Oksigen (O)

O2, H2O

16,00

450.000

45

30.000.000

Karbon (C)

CO2

12,01

450.000

45

35.000.000

Hidrogen (H)

H2O

1,01

60.000

6

60.000.000

 

Hampir 90% dari seluruh berat segar tanaman herba adalah air, dan sisanya 10% berupa bahan kering terutama terdiri atas 3 elemen yaitu carbon, hidrogen dan oksigen.  Sebagian kecil dari bahan kering tersebut, tetapi merupakan farksi yang penting terdiri atas elemen-elemen lain yang secara absolut dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman yaitu 13 elemen yang dikelompokkan sebagai hara esensial bagi tanaman tingkat tinggi.  Ke tiga belas hara esensial tersebut dibagi lagi menjadi 2 kelompok berdasarkan atas banyaknya jumlah yang dibutuhkan tanaman yaitu hara makro dibutuhkan dalam jumlah yang relatif banyak, biasanya dinyatakan dalam persen per unit bahan kering (meliputi N, P, K, Ca, Mg dan S) dan hara mikro dibutuhkan dalam jumlah yang relatif sedikit, biasanya dinyatakan dalam ppm (part per million) per unit bahan kering (meliputi Fe, Mn, Zn, B, Mo, Co dan Cl) (Janick et al, 1974).  Pengelompokan hara menjadi hara makro dan mikro tersebut masih banyak diperdebatkan karena hara mikro tertentu bagi jenis tanaman tertentu bisa menjadi hara makro (dibutuhkan dalam jumlah banyak) bagi jenis tanaman lain (Marschner, 1986).

Salah satu metode untuk menentukan unsur hara yang esensial bagi tanaman dan berapa banyaknya adalah dengan menganalisis secara kimia semua unsur yang dikandung oleh tumbuhan sehat dan berapa banyaknya unsur itu.  Salisbury dan Ross (1992) menyebutkan berdasarkan hasil analisis modern terhadap daun yang paling dekat dengan tongkol jagung muda (daun bendera) yang diambil dari daun jagung dikebun yang dipupuk dengan baik menunjukkan adanya konsentrasi 3 unsur esensial tambahan pada jagung yaitu seng, tembaga dan boron.

 

III.       KETERSEDIAAN HARA DAN PERTUMBUHAN TANAMAN

 

Pertumbuhan tanaman (dinyatakan dalam bahan kering) dalam hubungannya dengan persediaan hara mineral dapat digambarkan dalam bentuk kurve respon pertumbuhan (Gambar 1).  Dalam gambar tersebut dapat dilihat hara mineral dalam hubungannya dengan pertumbuhan dikelompokkan menjadi 3 daerah.  Pertama; zone kahat/defisien (deficient range) yaitu laju pertumbuhan meningkat dengan meningkatnya persediaan hara, kedua; zone cukup (adequate range) yaitu laju pertumbuhan telah mencapai maksimum dan pada keadaan itu tidak dipengaruhi oleh persediaan hara tanah, dan ketiga; zone toksik (toxic range) yaitu laju pertumbuhan menurun dengan meningkatnya persediaan hara (Marschner, 1986).

Dalam produksi tanaman, suplai hara optimal biasanya dilakukan melalui pemupukan. Aplikasi pemberian pupuk yang rasional membutuhkan informasi jumlah hara yang tersedia dalam tanah serta status nutrisi pada jaringan tanaman.  Pendekatan yang dapat dilakukan adalah disamping dengan melakukan analisis kandungan hara tanah tersedia juga dengan analisis status hara tanaman.  Analisis status hara tanaman dapat dilakukan berdasarkan diagnosis gejala visual dan/atau analisis tanaman sebagai dasar untuk rekomendasi apakah diperlukan pemupukan atau tidak, pupuk jenis apa yang diperlukan dan berapa jumlahnya (Grundon, 1987; Baligar dan Duncan, 1990).

Gambar 2 memperlihatkan gambaran ideal laju pertumbuhan sebagai fungsi dari konsentrasi suatu unsur dalam tumbuhan.  Pada rentang konsentrasi rendah yang dinamakan daerah kahat, pertumbuhan naik sangat tajam bila unsur diberikan lebih banyak dan konsentrasinya dalam tumbuhan meningkat.  Di atas konsentrasi kritis (konsentrasi jaringan minimum yang menghasilkan pertumbuhan hampir maksimum, sekitar 90%), kenaikan konsentrasi akibat pemupukan tidak banyak berpengaruh pada pertumbuhan (daerah berkecukupan).  Daerah berkecukupan menunjukkan adanya pemakai-an unsur secara berlebihan, akibat adanya penimbunan di vacuola.  Daerah tersebut cukup lebar untuk hara makro, tetapi lebih sempit untuk hara mikro.  Kenaikan lebih lanjut dari unsur itu akan menyebabkan keracunan dan pertumbuhan yang menurun (daerah beracun) (Epstein 1972; Baligar dan Duncan, 1990).

Karena penyediaan hara dari tanah sangat bervariasi, tidaklah mengherankan bila menemukan perbedaan dalam jumlah hara pada tanaman dilapang.  Sebagai contoh, Fitter dan Hay (1981) menyebutkan herba cenderung mempunyai nitrogen tinggi karena hasil dari adanya peningkatan nitrogen

 

 

Gambar 2.  Gambaran umum pertumbuhan sebagai fungsi dari konsentrasi hara dalam jaringan tumbuhan (Epstein, 1972).

 

 

secara simbiotik.  Secara fisiologis tanaman dapat menyesuaikan diri terhadap kondisi-kondisi lingkungan melalui sinyal yang timbul dalam tanaman tersebut.  Misalnya, tanaman yang tumbuh pada tanah miskin P akan memiliki kadar P yang rendah.  Kadar P tanaman yang rendah tersebut merupakan sinyal bagi tanaman/akar untuk meningkatkan daya penyerapan P.

 

IV.  DIAGNOSIS DEFISIENSI DAN TOKSISITAS HARA MINERAL

 

          Gangguan hara pada tanaman merupakan masalah utama bagi petani di dunia, di samping masalah-masalah penting lainnya.  Sistem bertanam secara terus menerus dan meningkatnya intensitas tanam menyebabkan problem gangguan hara bertambah besar.  Disatu pihak menyebabkan defisiensi hara tertentu dan dilain pihak  menimbulkan toksisitas dimana pada daerah tersebut sebelumnya hara bukan merupakan suatu masalah.  Dalam situasi seperti itu, petani-petani modern dan juga ilmuwan pertanian membutuhkan informasi untuk membantu mengambil keputusan apakah tanaman di lapangan mengalami gangguan hara atau tidak.  Gejala defisiensi atau toksisitas hara umumnya dapat digunakan untuk maksud tersebut (Grundon, 1987). 

          Gejala defisiensi atau toksisitas secara visual umumnya telah cukup membantu dalam mendiagnosis gangguan hara, terutama bila dilakukan oleh orang atau ahli yang sudah berpengalaman pada tanaman spesifik tertentu dan daerah tertentu dimana dia sudah biasa bekerja disana.  Artinya adalah dituntut pengetahuan yang cukup dan ketelitian yang tinggi karena gejala gangguan hara bervariasi sangat besar tergantung atas spesies tanaman, kondisi lingkungan, umur tanaman dan kemiripan gejalanya dengan gangguan lain seperti infeksi penyakit, kerusakan oleh hama atau karena gangguan gulma (Grundon, 1987; Marschner, 1986; Baligar dan Duncan, 1990).

          Apabila tanaman tidak dapat menerima hara yang cukup seperti yang dibutuhkan, maka pertumbuhannya akan lemah dan perkembangannya tampak abnormal.  Pertumbuhan yang abnormal juga akan terjadi bila tanaman menyerap hara melebihi untuk kebutuhannya bermetabolisme.  Diagonsis defisiensi dan tosksisitas hara pada tanaman dapat dilakukan dengan 2 pendekatan yaitu pendekatan dengan diagnosis gejala visual dan analisis tanaman (Grundon, 1987; Marschner, 1986; Baligar dan Duncan, 1990).

 

4.1.      Diagnosis Berdasarkan Gejala Visual

 

Tumbuhan menanggapi kurangnya pasokan unsur esensial dengan menunjukkan gejala kekahatan yang khas.  Gejala yang terlihat meliputi terhambatnya pertumbuhan akar, batang atau daun, serta klorosis atau nekrosis pada berbagai organ (Lavon et al., 1995).  Gejala khas sering membantu untuk mengetahui fungsi suatu unsur pada tumbuhan dan pengetahuan akan gejala tersebut menolong para petani untuk memastikan bagaimana serta kapan harus memupuk tanamannya. 

Sebagian besar gejala mudah terlihat dan tampak pada sistem tajuk, kecuali bila tanaman ditumbuhkan secara hidroponik.  Gejala pada akar tak dapat dilihat tanpa mencabut akar dari tanah, sehingga gejala kekahatan hara pada akar kurang dikenal. 

Gejala kekahatan suatu unsur terutama bergantung pada dua faktor yaitu fungsi unsur tersebut dan mudah tidaknya unsur tersebut berpindah dari daun tua ke daun yang lebih muda atau ke organ-organ lainnya (Epstein, 1972).  Contoh yang baik untuk menjelaskan kedua faktor tersebut adalah klorosis yang disebabkan oleh Mg.  Karena Mg adalah bagian esensial molekul klorofil, maka klorofil tak terbentuk tanpa Mg atau terbentuk dalam jumlah sedikit bila konsentrasi Mg rendah.  Klorosis pada daun tua yang terletak lebih rendah terlihat lebih parah dari pada daun muda.  Perbedaan tersebut menggambarkan bahwa bagian yang lebih muda dari tumbuhan mempunyai kemampuan untuk mengambil hara yang mudah bergerak (mobil) dari bagian yang lebih tua (Salibury dan Ross, 1992).

Secara umum gangguan hara yang menghambat pertumbuhan dan hasil dalam sekala yang ringan tidak dapat dilihat karakteristik gejala visualnya secara spesifik.  Gejala menjadi tampak dapat dilihat dengan tegas apabila defisiensinya atau toksisitasnya berat sehingga laju pertumbuhan dan hasil sangat tertekan.  Sebagai contoh, gejala defisiensi Mg pada serealia dapat teramati dengan jelas pada kondisi lapang selama perkembangan batang, tetapi hal itu tidak berpengaruh merusak bila kahat terjadi pada akhir pengisian biji (Pisarak, 1979  dalam Marschner, 1986).

Gejala defisiensi atau kelebihan hara lebih mudah dilihat pada daun, tetapi mungkin juga terjadi pada bagian lain dari tanaman seperti pucuk batang, buah dan akar.  Gejala defisiensi atau toksisitas umumnya spesifik untuk hara tertentu.  Oleh karena itu adalah memungkinkan menggunakan penampakan visual untuk mendiagnosis tanaman sakit karena kekurangan atau kelebihan hara (Grundon, 1987).

Agar diagnosis memberikan hasil yang memuaskan, Marschner (1986) menyatakan perlunya pendekatan sistematis dalam melakukan diagnosis berdasarkan gejala visual, seperti disajikan pada Tabel 2.  Klorosis dan nekrosis adalah 2 kriteria penting yang digunakan dalam pendekatan sistematis tersebut.

Pada Tabel 2 tampak bahwa gejala visual defisiensi hara dapat dilihat pada daun tua dan daun dewasa (“old and mature leaf blades”) atau pada daun muda dan pucuk (“young leaf blades and apex”) tergantung apakah hara yang didiagnosis sifatnya mobil atau immobil dalam phloem.  Untuk hara mobil seperti N dan Mg gejala visual pertama tampak pada daun tua dan daun dewasa, sedangkan untuk hara immobil seperti Ca gejala visual pertama tampak pada daun muda dan/atau pucuk. 

Berbeda dengan gejala visual defisiensi, gangguan toksisitas hara cara pendekatannya hanya berdasarkan gejala visual pada daun tua dan daun dewasa (Tabel 2).  Marschner menyatakan bahwa gejala visual defisiensi jauh lebih spesifik sifatnya dari gejala visual toksisitas, karena toksik satu unsur hara mineral tertentu akan menginduksi defisiensi hara mineral yang lain.

Diagnosis berdasarkan gejala visual di lapangan sangat komplek dan sulit terutama bila kejadian defisiensi lebih dari satu hara mineral secara simultan atau defisiensi hara tertentu bersamaan dengan toksik hara yang lain.  Misalnya pada tanah masam tergenang, toksisitas Mn simultan dengan defisiensi Mg.  Diagnosis akan semakin komplek bila kekurangan atau toksik hara disertai dengan adanya hama penyakit (Epstein, 1972; Marschner, 1986). 

 

 

Ketelitian hasil diagnosis sangat ditentukan oleh akuratnya informasi tambahan meliputi pH tanah, hasil analisis tanah, status air tanah, kondisi cuaca, riwayat pemberian pupuk, fungsida atau pestisida dan lain-lain (Marschner, 1986).  Dalam beberapa kasus hasil diagnosis berdasarkan gejala visual dapat secara langsung digunakan sebagai rekomendasi pemupukan.  Sebaliknya, sering pula terjadi hasil diagnosis gejala visual belum cukup untuk dapat merekomendasi-kan pemupukan sehingga diperlukan analisis tanaman (Baligar dan Duncan, 1990).

Langkah-langkah observasi dalam melakukan diagnosis berdasarkan gejala visual menurut Grundon (1987) adalah : a) pengumpulan informasi meliputi kondisi lingkungan tanaman seperti curah hujan dan suhu, waktu tanam, varietas yang ditanam, riwayat tindakan budidaya dan tipe tanah, b) pengamatan gejala, menyangkut bagian tanaman yang menampakkan gejala,

 

Tabel 3.  Ciri-ciri tentang gejala kekahatan hara tertentu pada tanaman (Salisbury dan Ross, 1992).

 

Unsur yang kahat

Gejala

Unsur yang kahat

Gejala

 

Nitrogen

Daun yang lebih tua atau lebih rendah letaknya banyak terpengaruh; efeknya mengelompok atau menyebar

 

 

Kalsium

Daun muda atau kuncup daun yang terpengaruh, gejala mengelompok

 

Efeknya umumnya meluas keseluruh tumbuhan, dedaunan di bawah agak mengering atau terbakar, tumbuhan berwarna hijau tua atau hijau muda

 

 

Kuncup akhir mati, terjadi setelah perubahan bentuk pada ujung atau pangkal daun muda.

 

Tumbuhan hijau muda, dedaunan yang terletak lebih dibawah berwarna kuning, mengering sampai berwarna cokelat terang, tangkai pemdek dan pipih bila kekahatan unsur terjadi pada taraf pertumbuhan lanjut

 

 

Daun muda pada kuncup akhir mula-mula melengkung secara khas, akhirnya mati pucuk mulai dari ujung dan tepi sehingga pertumbuhan selanjutnya dicirikan oleh matinya jaringan di daerah ini.

Fosfor

Tumbuhan hijau tua, sering muncul warna merah dan ungu, tangkai pendek dan pipih jika kekahatan unsur terjadi pada taraf pertumbuhan lanjut.

 

Boron

Daun muda pada kuncup khir pangkalnya menjadi hijau muda lalu patah.  Pada pertumbuhan lanjut daun terpilin akhirnya tangkai kuncup akhir mati pucuk.

Magnesium

Efeknya sering mengelompo, bercak warna atau klorosis dengan atau tanpa bercak jaringan mati pada daun yang terletak lebih bawah, sedikit atau tak ada daun yang terletak di bawah yang mengering

 

Tembaga

Daun muda layu tetap (ujungnya terbakar) tanpa bercak atau gejala klorosis.  Ranting atau tangkai tepat dibwah ujung dan pentul biji sering tak mampu tegak bila kekurangannya parah.

 

Daun dengan bercak warna atau klorosis, memerah secara khas seperti pada tanaman kapas, kadang dengan bercak mati, ujung dan tepi daun melengkung ke bawah atau ke atas, tangkai pipih

 

 

Kuncup akhir umunya tetap hidup, layu atau klorosis pada daun muda atau daun kuncup dengan atau tanpa bercak jaringan mati, urat daun berwarna hijau muda atau hijau tua.

Kalium

Daun dengan bercak warna atau klorosis, berbercak jaringan mati kecil atau besar.

 

Mangan

Daun muda tidak layu, klorosis dengan atau tanpa bercak, jaringan mati tersebar diseluruh daun

 

Bercak jaringan mati kecil, biasanya diujung dan diantara urat-urat daun, lebih jelas di tepi daun, tangkai pipih.

 

 

Urat yang kecil cendrung tetap hijau sehingga tampak seperti jala-jala

Seng

Bercak meluas, menyebar dengan cepat, biasanya meliputi daerah antar urat daun dan akhirnya mencapai urat sekunder bahkan primer, daun tebal, tangkai beruas pendek.

 

Belerang

Daun muda dengan urat dan jaringan antar urat daunberwarna hijau muda

Besi

Daun muda klorosis, urat pokoknya bewarna hijau khas, tangkai pendek dan pipih.

 

 

 

jenis gejala seperti abnormalitas, perubahan warna, ukuran, bentuk, oriemntasi dan pola gejala, serta c) membuat kesimpulan (keputusan) hasil diagnosis.  Disebutkan bahwa apabila semua informasi telah terkumpulkan, kemungkinan pertama yang paling penting adalah apakah gejala gangguan tersebut disebabkan oleh serangga, penyakit, nematoda atau karena kerusakan mekanis.  Apabila gejalanya hanya ditemukan pada tanaman tunggal (“a single plant”) biasanya hal tersebut disebabkan oleh hal-hal tadi atau karena akibat variasi genetik (“genetic variation”) dalam populasi tanaman.  Gejala yang disebabkan oleh gangguan hara umunnya terjadi pada banyak tanaman dalam sekala areal yang cukup luas karena terkait dengan jenis tanah, manajemen pengelolaan, dan lain-lain.  Bila gangguan yang disebabkan oleh serangga, penyakit, nematoda atau karena kerusakan mekanis dapat dieleminasi, maka gejala visual tiap-tiap jenis hara tertentu dapat dibandingkan dan dicocokkan dengan ciri-ciri gangguan hara masing-masing.  Ciri-ciri tentang gejala kekahatan hara pada tanaman (Salisbury dan Ross, 1992) disajikan pada Tabel 3.

 

4.2.         Diagnosis Berdasarkan Analisis Tanaman

 

Fokus poerhatian dalam diagnosis gangguan hara mineral berdasarkan analisis tanaman adalah menentukan nilai kritis defisiensi (“critical deficiency levels/CDL”) dan nilai kritis keracunan (“critical toxicity levels/CTL”) masing-masing hara mineral pada jaringan tanaman.  Penentuan CDL diperlukan dalam kaitannya dengan rekomendasi saat pemupukan dilakukan.  Pertumbuhan maksimum terjadi antara CDL dan CTL.  Dalam prakteknya nilai CDL  bukan merupakan satu titik nilai, melainkan merupakan suatu kisaran/range nilai.  Biasanya nilai CDL didefiniskan sebagai suatu taraf dimana perumbuhan atau hasil 5 – 10% dibawah maksimum (Epstein, 1972; Marschner, 1986; Baligar dan Duncan, 1990).

Nilai CDL dan CTL umumnya ditentukan berdasarkan atas percobaan dengan menumbuhkan tanaman pada kondisi lingkungan terkontrol dengan variasi suplai hara mineral dalam kisaran yang luas.  Berdasarkan atas hasil percobaan tersebut kemudian hara mineral dalam jaringan tanaman dalam hubungannya dengan pertumbuhan dan hasil dikelompokkan menurut kisaran defisiensi, rendah, cukup, tinggi atau toksik (Marschner, 1986).  Misalnya untuk

tanaman kedelai, Marschner (1986) menyebutkan kisaran defisien, rendah, cukup, tinggi dan toksik masing-masing untuk hara P, K dan Mn adalah seperti pada Tabel 4.

 

Tabel 4.  Kandungan hara P, K dan Mn pada daun kedelai (persen berat kering) (Marschner, 1986).

 

Jenis hara

Status kandungan hara

 

Defisien

Rendah

Cukup

Tinggi

Toksik

P (%)

< 0,16

0,16 – 0,25

0,26 – 0,50

0,51 – 0,80

> 0,80

K (%)

<1,26

1,26 – 1,70

1,71 – 2,50

2,51 – 2,75

> 2,75

Mn (mg/kg)

<15

15 - 20

21 - 100

100 - 250

>250

 

 

Kandungan hara mineral dalam jaringan tanaman hasil diagnosis berdasarkan analisis tanaman dipengaruhi oleh berbagai faktor penting yaitu :1) stadia perkembangan tanaman, 2) bagian tanaman yang diambil sebagai sampel, 3) spesies tanaman, 4) interaksi hara dalam tanah dan 5) faktor lingkungan seperti suhu, kelembaban dan lain-lain (Marshner, 1986). 

Pada umumnya status nutrisi pada tanaman paling baik dicerminkan oleh kandungan hara mineral pada daun dibandingkan dengan organ-organ lain (Grundon, 1987).  Oleh karena itu daun biasanya paling sering digunakan sebagai sampel dalam analisis tanaman.  Namun demikian dalam beberapa jenis tanaman dan jenis-jenis hara tertentu kadang-kadang kandungannya berbeda antara lembaran daun (“leaf blades”) dan petiole dimana kadang-kadang petiole lebih cocok digunakan sebagai indikator status nutrisi tanaman (Bouma, 1983  dalam  Marschner, 1986). Untuk tanaman buah-buahan seringkali buahnya merupakan indikator paling baik terutama untuk kalsium dan boron yang sangat terkait erat dengan kualitas buah dan daya simpan (Chen et al., 1998)

Penggunaan organ daun sebagai sampel juga perlu mempertimbangkan umur daun tergantung jenis hara yang akan dianalisis.  Untuk hara N, K dan Mg daun dewasa lebih baik digunakan sebagai indikator status hara karena pada daun muda ketiga hara tersebut konsentrasinya konstan (Marschner, 1986).  Untuk kalium, daun muda tidak cocok sebagai indikator karena taraf defisiensi dan toksik berkisar hanya dari 3,0 sampai 3,5% dibandingkan dengan 1,5 sampai 5,5% pada daun dewasa.  Sebaliknya untuk Ca, daun muda lebih cocok digunakan sebagai indkator karena gejala defisiensi pertama terjadi pada bagian tersebut.

Terdapat kontroversi apakah rekomendasi pemupukan lebih tepat berdasarkan hasil analisis tanaman atau hasil analisis tanah.  Analsis tanah menunjukkan potensi ketersediaan hara dalam tanah yang dapat diserap akar, sedangkan analisis tanaman merefleksikan status nutrisi aktual dalam jaringan tanaman.  Marschner (1986) menyatakan secara prinsip kombinasi kedua metode tersebut akan lebih baik dalam merekomendasikan pemupukan dibandingkan hanya dengan satu metode saja.  Kepentingan relatif dalam meilih salah satu metode dari kedua metode tersebut tergantung pada beberapa kondisi seperti spesies tanaman, sifat tanah dan hara mineral yang menjadi masalah.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Baligar, V. C. and R. R. Duncan.  1990.  Crops as Enhancers of Nutrient Use.  Academic Press, Inc.  Toronto.  574p.

 

Chen, Y., J. S. Smagula, W. Litten and S. Dunham.  1998.  Effect of Boron and Calcium Foliar Sprays on Pollen Germination and Development, Fruit Set, Seed Development, and Berry Yield and Quality in Lowbush Blueberry (Vaccinium angustifolium  Ait.).  J. Amer. Soc. Hort. Sci. 123(4):524-531.

 

Epstein, E.  1972.  Mineral Nutrition of Plants: Principles and Persepectives.  John Wiley and Sons, Inc. Toronto.  412p.

 

Fitter, A. H. and R. K. M. Hay.  1981.  Environmental Physiology of Plants. Academic Press, Inc. London Ltd.  Terjemahan :  Sri Andani dan E. D. Purbayanti.  Fisiologi Lingkungan Tanaman.  Gadjah Mada University Press.  Hal. 84-141.

Grundon, N. J.  1987.  Hungry Crops: A Guide to Nutrient Deficiencies in Field Crops.  Department of Primary Industries, Queensland Government.  Information Series Q187002.  242p.

 

Hartmann, H. T., W. J. Flocker and A. M. Kofranek.  1981.  Plant Science.  Prentice Hall, Inc. New Jersey.  p.206-215.

 

Janick, J., R. W. Schery, F. W. Woods and V. W. Ruttan.  1974.  Plant Science.  An Introduction to World Crops.  Second Edition.  W. H. Freeman and Company, San Francisco.  p.305-331.

 

Lavon, R., E. E. Goldschmidth, R. Salomon and A. Frank.  1995.  Effect of Potassium, Magnesium and Calcium Deficiencies on Carbohydrate Pools and Metabolism in Citrus Leaves. J. Amer. Soc. Hort. Sci. 120(1):54-58.

 

Marschner, H.  1986.  Mineral Nutrition in Higher Plants.  Academic Press Inc, London Ltd.  674p.

 

Reijntjes, C., B. Haverkort and W. Bayers.  Farming for the Future.  An Introduction to Low-External-Input and Sustainable Agriculture.  The Macmillan Press Ltd.  Terjemahan :  Y. Sukoco.  Pertanian Masa Depan.  Pengantar untuk Pertanian Berkelanjutan dengan Input Luar Rendah.  Penerbit Kanisius.  270 hal.

 

Salisbury, F. B. and C. W. Ross.  1992.  Plant Physiology.  4th Edition.  Terjemahan : Diah R. Lukman dan Sumaryono.  Fisiologi Tumbuhan.  Jilid I.  Penerbit ITB Bandung.  241 hal.