© 2002 IGM Subiksa                                                                  Posted:  18 April 2002
Makalah Falsafah Sains (PPs 702)   
Program Pasca Sarjana / S3
Institut Pertanian Bogor
April  2002
Dosen:
Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)

 

 

PEMANFAATAN MIKORIZA UNTUK PENANGGULANGAN LAHAN KRITIS

 

Oleh:

IGM. Subiksa

P.026.00008

E-mail : igmsubiksa@yahoo.com

 

ABSTRAK

 

Dalam rangka rehabilitasi lahan-lahan kritis yang luasnya semakin besar di Indonesia serta meningkatkan produktivitasnya untuk keperluan pertanian, perkebunan, kehutanan, dan pelestarian alam, perlu dilakukan upaya-upaya yang dapat memodifikasi lingkungan tumbuh tanaman. Lahan kritis memiliki kondisi lingkungan yang sangat beragam tergantung pada penyebab kerusakan lahan. Secara umum dapat dikatakan bahwa kondisi lahan kritis menyebabkan tanaman tidak cukup mendapatkan air dan unsur hara, kondisi fisik tanah yang tidak memungkinkan akar berkembang dan proses infiltrasi air hujan, kandungan garam yang tinggi akibat akumulasi garam sekunder atau intrusi air laut yang menyebabkan plasmolisis, atau tanaman keracunan oleh unsur toksik yang tinggi. Pemanfaatan mikoriza, suatu bentuk asosiasi cendawan dengan akar tanaman tingkat tinggi, merupakan salah satu cara untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman dan produktivitas lahan kritis. Karakteristik asosiasi mikorisa ini memungkinkan tanaman untuk memperoleh air dan hara dalam kondisi lingkungan yang kering dan miskin unsur hara, perlindungan dari patogen akar dan unsur toksik dan secara tidak langsung melalui perbaikan struktur tanah. Hal ini dimungkinkan karena mikoriza memiliki jaringan hipa eksternal yang luas dan diameter yang lebih kecil dari bulu-bulu akar, enzim fosfatase dan sekresi hipa lainnya serta terbentuknya mantel hipa yang melindungi akar secara fisik. Pemanfaatan jenis-jenis isolat cendawan mikoriza harus disesuaikan dengan tanaman inangnya, karena seringkali cendawan tertentu hanya dapat membentuk mikoriza dengan tanaman inang tertentu pula. Lahan alang-alang adalah salah satu bentuk lahan kritis yang sangat luas di Indonesia. Alang-alang bisa tumbuh dan berkembang pada lingkungan tanah yang ekstrim karena membentuk mikorisa dengan berbagai cendawan. Rehabilitasi lahan alang-alang dapat dilakukan dengan tanaman yang bermikoriza, baik untuk tanaman pangan, perkebunan, penghijauan maupun hutan tanaman industri. Tanaman bermikorisa akan mampu bertahan dari kondisi kering , miskin hara serta kondisi fisik tanah yang kurang baik. Pada lahan salin, mikorisa mampu menahan laju penurunan produktivitas lahan, karena dalam kondisi salinitas yang tinggi, cendawan mikoriza masih mampu bertahan dan mensuplai air dan unsur hara bagi tanaman inang. Pada tanah yang tercemar logam berat dan senyawa polysiklik aromatik dari limbah industri, mikoriza dapat melindungi tanaman inang dari efek meracun unsur tersebut melalui mekanisme filtrasi, kompleksasi dan akumulasi unsur tersebut pada hipa cendawan dan mencegahnya masuk ke sel tanaman inang. Sumber inokulum yang berasal dari lahan tercemar, memberikan hasil yang lebih baik jika dibandingkan dengan inokulum dari lahan yang tidak tercemar.

____________________________________

Kata Kunci : lahan kritis, mikoriza, produktivitas, serapan hara, bioremediasi

 

  1. PENDAHULUAN
  2. Kondisi iklim di Indonesia seperti curah hujan dan suhu yang tinggi, khususnya Indonesia bagian barat, menyebabkan tanah-tanah di Indonesia didominasi oleh tanah berpelapukan lanjut seperti Ultisol dan Oxisols. Tanah-tanah ini secara alamiah tergolong tanah marginal dan rapuh serta mudah terdegradasi menjadi lahan kritis. Namun, degradasi lahan lebih banyak disebabkan karena adanya pengaruh intervensi manusia dengan pengelolaan yang tidak mempertimbangkan kemampuan dan kesesuain lahan. Kemampuan tanah untuk mendukung kegiatan usaha pertanian atau pemanfaatan tertentu bervariasi menurut jenis tanah, tanaman dan faktor lingkungan. Oleh karenanya pemanfaatan tanah ini harus hati-hati dan disesuaikan dengan kemampuannya, agar tanah dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan. Data dari Direktorat Bina Rehabilitasi dan Pengembangan Lahan tahun 1993 dalam Zaini et al (1996) menunjukkan bahwa di Indonesia saat ini terdapat sekitar 7,5 juta ha lahan yang tergolong potensial kritis, 6,0 juta ha semi kritis dan 4,9 juta ha tergolong kritis. Data ini merupakan indikasi bahwa tingkat pengelolaan lahan di Indonesia tergolong buruk.

    Usaha pertanian yang dilakukan pada lahan-lahan marginal semacam ini akan banyak menghadapi kendala biofisik berupa sifat fisik yang tidak baik, kahat hara, keracunan unsur, hama dan penyakit dan sebagainya. Ketidak tersediaan unsur hara bukan hanya disebabkan karena tanahnya yang miskin, tapi juga bisa terjadi karena erosi dan fiksasi hara yang tinggi sehingga tidak tersedia bagi tanaman. Penyebab lahan kritis karena erosi sangat umum dijumpai. Erosi cendrung mengangkut lapisan tanah yang relatif subur dan meninggalkan lapisan tanah bawah yang miskin.

    Mengingat begitu luasnya lahan kritis serta laju degradasi lahan yang semakin tinggi, maka usaha-usaha untuk restorasi dan menekan laju lahan kritis sudah menjadi kebutuhan yang mendesak. Usaha konservasi tanah dan air secara fisik, kimia dan biologi sudah banyak dilakukan, namun hasil yang diperoleh belum optimal. Oleh karenanya upaya lain harus diusahakan sebagai pelengkap dari usaha-usaha yang telah dilakukan. Salah satu diantaranya adalah pemanfaatan mikoriza yang diyakini mampu memperbaiki kondisi tanah dan meningkatkan pertumbuhan tanaman. Dalam paper ini akan dibahas bagaimana mikoriza mampu memperbaiki kondisi tanah dalam kaitannya dengan pertumbuhan tanaman dan perbaikan lahan kritis.

  3. PEMANFAATAN MIKORIZA

2.1. Pengertian

Mikoriza adalah suatu bentuk asosiasi simbiotik antara akar tumbuhan tingkat tinggi dan miselium cendawan tertentu. Nama mikoriza pertama kali dikemukakan oleh ilmuwan Jerman Frank pada tanggal 17 April 1885. Tanggal ini kemudian disepakati oleh para pakar sebagai titik awal sejarah mikoriza. Nuhamara (1993) mengatakan bahwa mikoriza adalah suatu struktur yang khas yang mencerminkan adanya interaksi fungsional yang saling menguntungkan antara suatu autobion/tumbuhan tertentu dengan satu atau lebih galur mikobion dalam ruang dan waktu. Struktur yang terbentuk dari asosiasi ini tersusun secara beraturan dan memperlihatkan spektrum yang sangat luas, baik dalam hal tanaman inang, jenis cendawan maupun penyebaranya. Mikorisa tersebar dari artictundra sampai ke daerah tropis dan dari daerah bergurun pasir sampai ke hutan hujan yang melibatkan 80% jenis tumbuhan yang ada.

Berdasarkan struktur tubuh dan cara infeksi terhadap tanaman inang, mikoriza dapat digolongkan menjadi 2 kelompok besar (tipe) yaitu ektomikoriza dan endomikoriza (Rao, 1994). Namun ada juga yang membedakan menjadi 3 kelompok dengan menambah jenis ketiga yaitu peralihan dari 2 bentuk tersebut yang disebut ektendomikoriza. Pola asosiasi antara cendawan dengan akar tanaman inang menyebabkan terjadinya perbedaan morfologi akar antara ektomikoriza dengan endomikoriza. Pada ektomikoriza, jaringan hipa cendawan tidak sampai masuk kedalam sel tapi berkembang diantara sel kortek akar membentuk "hartig net dan mantel dipermukaan akar. Sedangkan endomikoriza, jaringan hipa cendawan masuk kedalam sel kortek akar dan membentuk struktur yang khas berbentuk oval yang disebut vesicle dan sistem percabangan hipa yang disebut arbuscule, sehingga endomikoriza disebut juga vesicular-arbuscular micorrhizae (VAM)

    1. Perkembangan Mikoriza di Daerah Tropis

Faktor lingkungan sangat berpengaruh terhadap perkecambahan spora cendawan mikoriza. Kondisi lingkungan dan edapik yang cocok untuk perkecambahan biji dan pertumbuhan akar tanaman biasanya juga cocok untuk perkecambahan spora cendawan. Cendawan pada umumnya memiliki ketahanan cukup baik pada rentang faktor lingkungan fisik yang lebar. Mikoriza tidak hanya berkembang pada tanah berdrainase baik, tapi juga pada lahan tergenang seperti pada padi sawah (Solaiman dan Hirata, 1995). Bahkan pada lingkungan yang sangat miskin atau lingkungan yang tercemar limbah berbahaya, cendawan mikoriza masih memperlihatkan eksistensinya (Aggangan et al, 1998). Sifat cendawan mikoriza ini dapat dijadikan sebagai dasar dalam upaya bioremidiasi lahan kritis.

Ekosistem alami mikoriza di daerah tropika (tropical rain forest), dicirikan oleh keragaman spesies yang sangat tinggi, khususnya dari jenis ektomikoriza (Munyanziza et al 1997). Hutan alami yang terdiri dari banyak spesies tanaman dan umur yang tidak seragam sangat mendukung perkembangan mikoriza. Konversi hutan untuk lahan pertanian akan mengurang keragaman jenis dan jumlah propagul cendawan, karena perubahan spesies tanaman, jumlah bahan organik yang dihasilkan, unsur hara dan struktur tanah. Hutan multi spesies berubah menjadi hutan monokultur dengan umur seragam sangat berpengaruh terhadap jumlah dan keragaman mikoriza. Selang waktu antara pembukaan lahan dengan tanaman komersial berikutnya biasanya cukup lama dan tanah dibiarkan dalam keadaan kosong sehingga terjadi perubahan drastis pada iklim mikro yang cendrung kering. Akumulasi perubahan lingkungan mulai dari pembabatan hutan, pembakaran, kerusakan struktur dan pemadatan tanah akan mengurangi propagul cendawan mikorisa

Praktek pertanian seperti pengolahan tanah, cropping sistem, ameliorasi dengan bahan organik, pemupukan dan penggunaan pestisida sangat berpengaruh terhadap keberadaan mikoriza (Zarate dan Cruz, 1995). Pengolahan tanah yang intensif akan merusak jaringan hipa ekternal cendawan mikoriza. Penelitian McGonigle and Miller (1993), menunjukkan bahwa pengolahan tanah minimum akan meningkatkan populasi mikoriza dibanding pengolahan tanah konvensional. Usahatani tumpangsari jagung-kedelai juga diketahui meningkatkan perkembangbiakan cendawan VAM. Ameliorasi tanah dengan bahan organik sisa tanaman atau pupuk hijau merangsang perkembangbiakan cendawan VAM. Dalam budidaya tradisional, pengolahan tanah berulang-ulang dan panen menyebabkan erosi hara dan bahan organik dari lahan tersebut dan ini berpengaruh terhadap populasi AM. Dalam pertanian modern yang menggunakan pupuk dan pestisida berlebihan (Rao, 1994) serta terjadinya kompaksi tanah oleh alsintan (McGonigle dan Miller, 1993) berpengaruh negatif terhadap pembentukan mikoriza. Konsekuensinya adalah produktivitas sistem pertanian akan sangat tergantung pada pupuk buatan dan pestisida.

 

III. MIKORIZA DAN PERTUMBUHAN TANAMAN

Hubungan timbal balik antara cendawan mikoriza dengan tanaman inangnya mendatangkan manfaat positif bagi keduanya (simbiosis mutualistis). Karenanya inokulasi cendawan mikoriza dapat dikatakan sebagai 'biofertilization", baik untuk tanaman pangan, perkebunan, kehutanan maupun tanaman penghijauan (Killham, 1994). Bagi tanaman inang, adanya asosiasi ini, dapat memberikan manfaat yang sangat besar bagi pertumbuhannya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara tidak langsung, cendawan mikoriza berperan dalam perbaikan struktur tanah, meningkatkan kelarutan hara dan proses pelapukan bahan induk. Sedangkan secara langsung, cendawan mikoriza dapat meningkatkan serapan air, hara dan melindungi tanaman dari patogen akar dan unsur toksik. Nuhamara (1994) mengatakan bahwa sedikitnya ada 5 hal yang dapat membantu perkembangan tanaman dari adanya mikoriza ini yaitu :

    1. Mikoriza dapat meningkatkan absorpsi hara dari dalam tanah
    2. Mikoriza dapat berperan sebagai penghalang biologi terhadap infeksi patogen akar.
    3. Meningkatkan ketahanan tanaman terhadap kekeringan dan kelembaban yang ekstrim
    4. Meningkatkan produksi hormon pertumbuhan dan zat pengatur tumbuh lainnya seperti auxin.
    5. Menjamin terselenggaranya proses biogeokemis.

Dalam kaitan dengan pertumbuhan tanaman, Plencette et al dalam Munyanziza et al (1997) mengusulkan suatu formula yang dikenal dengan istilah "relatif field mycorrhizal depedency" (RFMD) :

RFMD =     [ (BK. tanaman bermikoriza - BK. tanaman tanpa mikoriza) / BK. Tanaman tanpa mikoriza ] x 100 %  

Namun demikian, respon tanaman tidak hanya ditentukan oleh karakteristik tanaman dan cendawan, tapi juga oleh kondisi tanah dimana percobaan dilakukan. Efektivitas mikoriza dipengaruhi oleh faktor lingkungan tanah yang meliputi faktor abiotik (konsentrasi hara, pH, kadar air, temperatur, pengolahan tanah dan penggunaan pupuk/pestisida) dan faktor biotik (interaksi mikrobial, spesies cendawan, tanaman inang, tipe perakaran tanaman inang, dan kompetisi antar cendawan mikoriza). Adanya kolonisasi mikoriza tapi respon tanaman yang rendah atau tidak ada sama sekali menunjukkan bahwa cendawan mikoriza lebih bersifat parasit (Solaiman dan Hirata, 1995).

Perbaikan Struktur Tanah. Cendawan mikoriza melalui jaringan hipa eksternal dapat memperbaiki dan memantapkan struktur tanah. Sekresi senyawa-senyawa polisakarida, asam organik dan lendir oleh jaringan hipa eksternal yang mampu mengikat butir-butir primer menjadi agregat mikro. "Organic binding agent" ini sangat penting artinya dalam stabilisasi agregat mikro. Kemudian agregat mikro melalui proses "mechanical binding action" oleh hipa eksternal akan membentuk agregat makro yang mantap. Wright dan Uphadhyaya (1998) mengatakan bahwa cendawan VAM mengasilkan senyawa glycoprotein glomalin yang sangat berkorelasi dengan peningkatan kemantapan agregat. Konsentrasi glomalin lebih tinggi ditemukan pada tanah-tanah yang tidak diolah dibandingkan dengan yang diolah. Glomalin dihasilkan dari sekresi hipa eksternal bersama enzim-enzim dan senyawa polisakarida lainnya. Pengolahan tanah menyebabkan rusaknya jaringan hipa sehingga sekresi yang dihasilkan sangat sedikit.

Pembentukan struktur yang mantap sangat penting artinya terutama pada tanah dengan tekstur berliat atau berpasir. Thomas et al (1993) menyatakan bahwa cendawan VAM pada tanaman bawang di tanah bertekstur lempung liat berpasir secara nyata menyebabkan agregat tanah menjadi lebih baik, lebih berpori dan memiliki permeabilitas yang tinggi, namun tetap memiliki kemampuan memegang air yang cukup untuk menjaga kelembaban tanah.. Struktur tanah yang baik akan meningkatkan aerasi dan laju infiltrasi serta mengurangi erosi tanah, yang pada akhirnya akan meningkatkan pertumbuhan tanaman. Dengan demikian mereka beranggapan bahwa cendawan mikoriza bukan hanya simbion bagi tanaman, tapi juga bagi tanah.

Serapan Air dan Hara. Jaringan hipa ekternal dari mikoriza akan memperluas bidang serapan air dan hara. Disamping itu ukuran hipa yang lebih halus dari bulu-bulu akar memungkinkan hipa bisa menyusup ke pori-pori tanah yang paling kecil (mikro) sehingga hipa bisa menyerap air pada kondisi kadar air tanah yang sangat rendah (Killham, 1994). Serapan air yang lebih besar oleh tanaman bermikoriza, juga membawa unsur hara yang mudah larut dan terbawa oleh aliran masa seperti N, K dan S. sehingga serapan unsur tersebut juga makin meningkat. Disamping serapan hara melalui aliran masa, serapan P yang tinggi juga disebabkan karena hipa cendawan juga mengeluarkan enzim phosphatase yang mampu melepaskan P dari ikatan-ikatan spesifik, sehingga tersedia bagi tanaman.

Mikorisa juga diketahui berinteraksi sinergis dengan bakteri pelarut fosfat atau bakteri pengikat N. Inokulasi bakteri pelarut fosfat (PSB) dan mikorisa dapat meningkatkan serapan P oleh tanaman tomat (Kim et al,1998) dan pada tanaman gandum (Singh dan Kapoor, 1999). Adanya interaksi sinergis antara VAM dan bakteri penambat N2 dilaporkan oleh Azcon dan Al-Atrash (1997) bahwa pembentukan bintil akar meningkat bila tanaman alfalfa diinokulasi dengan Glomus moseae. Sebaliknya kolonisasi oleh jamur mikoriza meningkat bila tanaman kedelai juga diinokulasi dengan bakteri penambat N, B. japonicum.

Proteksi Dari Patogen dan Unsur Toksik. Mikoriza dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman melalui perlindungan tanaman dari patogen akar dan unsur toksik. Imas et al (1993) menyatakan bahwa struktur mikoriza dapat berfungsi sebagai pelindung biologi bagi terjadinya patogen akar. Mekanisme perlindungan dapat diterangkan sebagai berikut :

  1. Adanya selaput hipa (mantel) dapat berfungsi sebagai barier masuknya patogen.
  2. Mikoriza menggunakan hampir semua kelebihan karbohidrat dan eksudat lainnya, sehingga tercipta lingkungan yang tidak cocok untuk patogen.
  3. Cendawan mikoriza dapat mengeluarkan antibiotik yang dapat mematikan patogen.
  4. Akar tanaman yang sudah diinfeksi cendawan mikoriza, tidak dapat diinfeksi oleh cendawan patogen yang menunjukkan adanya kompetisi.

Namun demikian tidak selamanya mikoriza memberikan pengaruh yang menguntungkan dari segi patogen. Pada tanaman tertentu, adanya mikoriza menarik perhatian zoospora Phytopthora, sehingga tanaman menjadi lebih peka terhadap penyakit busuk akar.

Mikoriza juga dapat melindungi tanaman dari ekses unsur tertentu yang bersifat racun seperti logam berat (Killham, 1994). Mekanisme perlindungan terhadap logam berat dan unsur beracun yang diberikan mikorisa dapat melalui efek filtrasi, menonaktifkan secara kimiawi atau penimbunan unsur tersebut dalam hipa cendawan. Khan (1993) menyatakan bahwa VAM dapat terjadi secara alami pada tanaman pioneer di lahan buangan limbah industri, tailing tambang batubara, atau lahan terpolusi lainnya. Inokulasi dengan inokulan yang cocok dapat mempercepat usaha penghijauan kembali tanah tercemar unsur toksik.

 

IV. PERANAN MIKORIZA PADA PERBAIKAN LAHAN KRITIS

4.1. Lahan Alang-Alang

Padang alang-alang tersebar luas di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan pulau besar lainnya. Lahan alang-alang pada umumnya adalah tanah mineral masam, miskin hara dan bahan organik, kejenuhan Al tinggi. Disamping itu padang alang-alang juga memiliki sifat fisik yang kurang baik sehingga kurang menguntungkan kalau diusahakan untuk lahan pertanian. Alang-alang dikenal sebagai tanaman yang sangat toleran terhadap kondisi yang sangat ekstrim. Diketahui bahwa alang-alang berasosiasi dengan berbagai cendawan mikoriza arbuscular seperti Glomus sp., Acaulospora dan Gigaspora (Widada dan Kabirun ,1997). Kemasaman dan Al-dd tinggi bukan merupakan faktor pembatas bagi cendawan mikoriza tersebut, tapi merupakan masalah besar bagi tanaman/tumbuhan. Dengan demikian cendawan mikoriza ini dapat dimanfaatkan untuk pengembangan tanaman pangan. Kabirun dan Widada (1994) menunjukkan bahwa inokulasi MVA mampu meningkatkan pertumbuhan, serapan hara dan hasil kedelai pada tanah Podsolik dan Latosol. Pada tanah Podsolik serapan hara meningkat dari 0,18 mgP/tan menjadi 2,15 mg P/tan., sedangkan hasil kedelai meningkat dari 0,02 g biji/tan. menjadi 5,13 g biji /tan. Pada tanah Latosol serapan hara meningkat dari 0,13 mg P/tan. menjadi 2,66 mg P/tan, dan hasil kedelai meningkat dari 2,84 g biji/tan menjadi 5,98 g biji/tan. Penelitian pemupukan tanaman padi menggunakan perunut 32P pada Ultisols menunjukkan bahwa serapan hara total maupun yang berasal dari pupuk meningkat nyata pada tanaman yang diinokulasikan dengan cendawan VAM (Ali et al, 1997).

Disamping untuk tanaman pangan, penghutanan kembali lahan alang-alang juga sangat diperlukan untuk memperbaiki kondisi hidrologi di wilayah tersebut dan daerah hilirnya. Kegagalan program reboisasi yang dilakukan di lahan alang-alang dapat diatasi dengan menginokulasikan mikoriza pada bibit tanaman penghijauan. Bibit yang sudah bermikorisa akan mampu bertahan dari kondisi yang ekstrim dan berkompetisi dengan alang-alang. Penelitian Ba et al (1999) yang dilakukan pada tanah kahat hara menunjukkan bahwa inokulasi ektomikoriza pada bibit tanaman Afzelia africana dapat meningkatkan pertumbuhan bibit dan serapan hara oleh tanaman hutan tersebut (Tabel 1 ). Pentingnya mikoriza didukung oleh penemuan bahwa tanaman asli yang berhasil hidup dan berkembang 81% adalah bermikoriza.

Pada lahan alang-alang yang sistem hidrologinya telah rusak, persediaan air bawah tanah menjadi masalah utama karena tanahnya padat, infiltrasi air hujan rendah, sehingga walaupun curah hujan tinggi tapi cadangan air bawah permukaan tetap sangat terbatas. Pengalaman menunjukkan bahwa kondisi ini merupakan salah satu sebab kegagalan program transmigrasi lahan kering. Petani transmigran kesulitan untuk mendapatkan air bersih dan tanaman (khususnya tanaman pangan) sering gagal panen karena stres air.

Tanaman yang bermikoriza terbukti mampu bertahan pada kondisi stres air yang hebat. Hal ini disebabkan karena jaringan hipa eksternal akan memperluas permukaan serapan air dan mampu menyusup ke pori kapiler sehingga serapan air untuk kebutuhan tanaman inang meningkat. Morte et al (2000) menunjukkan bahwa tanaman Helianthenum almeriens yang diinokulasi dengan Terfesia claveryi mampu berkembang menyamai tanaman pada kadar air normal yang ditandai berat kering tanaman, net fotosintesis, serta serapan hara NPK (Tabel 2). Penelitian lain menunjukkan bahwa tanaman narra (Pterocarpus indicus) (Castillo dan Cruz, 1996) dan pepaya (Cruz et al, 2000) bermikoriza memiliki ketahanan yang lebih besar terhadap kekeringan dibandingkan tanaman tanpa mikoriza yang ditandai dengan kandungan air dalam jaringan dan transpirasi yang lebih besar, meningkatnya tekanan osmotik, terhidar dari plasmolisis, meningkatnya kandungan pati dan kandungan proline (total dan daun) yang lebih rendah selama stress air (Tabel 3)

 

Tabel 1. Perubahan konsentrasi N, P, K daun , tinggi tanaman dan berat kering total tanaman A. africana sebagai respon atas kolonisasi ECM ( Ba et al, 1999).

 

N

P

K

Tinggi

(cm)

TDW

(g)

A. africana Nazinga

 

 

 

 

 

Scleroderma dictyosporum IR.109

1,96 d

0,11 bc

1,41 c-e

41,97 b

7,81 ab

Scleroderma sp.1 IR.406

2,33 ab

0,09 c

2,12 a

44,96ab

7,73 ab

Scleroderma sp.2 IR.408

1,94 d

0,14 a

1,66 bc

47,78ab

9,00 a

Fungal isolat ORS.XM002

1,85 d

0,10 bc

1,45 cd

42,75 b

9,10 a

Control

2,02 cd

0,10 bc

1,02 e

38,98 b

6,15 b

A. africana Diatock

 

 

 

 

 

Scleroderma dictyosporum IR.109

2,03 cd

0,13 ab

1,55 c

46,85ab

6,34 b

Scleroderma sp.1 IR.406

2,28 a-c

0,10 bc

2,05 ab

47,80ab

6,95 ab

Scleroderma sp.2 IR.408

2,54 a-c

0,11 bc

2,11 a

52,40 a

7,03 ab

Fungal isolat ORS.XM002

2,08 b-d

0,12 a-c

1,80 a-c

52,78 a

8,18 ab

Control

1,90 d

0,10 bc

1,13 de

52,60 a

6,33 b

Keterangan : TDW = total dry weight

Tabel 2. Potensial air, net fotosintesis dan kadar hara pada tanaman H. almeriense yang dinokulasi dengan T. claveryi dibawah kondisi normal dan stres air. ( Morte et al, 2000).

Tanaman

Perlakuan

Potensial air (Mpa)

Net Foto sintesis*

Kadar hara tanaman (%)

N

P

K

Na

Cukup air

Kontrol

- 1,22 c

8,51 b

1,03 a

0,13 a

0,67 a

0,07 a

T. claveryi

- 1,04 d

13,1 c

1,09 a

0,14 a

0,83 b

0,04 a

Stres air

Kontrol

- 1,94 a

4,79 a

0,99 a

0,15 a

0,71 a

0,05 a

T. claveryi

- 1,44 b

9,01 b

1,32 b

0,18 b

0,92 b

0,06 a

Tabel 3. Hasil biomass tanaman pepaya yang diinokulasi Gigaspora margarita (AM) dan tanpa inokulasi (Non AM) dibawah kondisi irrigasi dan stress air (Cruz et al, 2000)

Perlakuan

Hasil Biomass Pepaya (gram)

Irrigated

Water Stress

 

RFW

TFW

RFW

TFW

Non AM

55,2

99,4

44,0

75,8

AM

85,9

141,1

66,4

119,6

Keterangan : RFW = root fresh weight TFW = Total fresh weight.

4.2. Lahan Salin

Tanah yang memiliki salinitas banyak ditemukan di daerah yang beriklim kering dimana curah hujan jauh lebih rendah dari laju evapotranspirasi sehingga terjadi akumulasi garam mudah larut di dekat permukaan tanah. Salinitas tinggi juga dapat ditemukan di daerah-daerah pantai dimana air pasang laut secara periodik akan menggenangi lahan tersebut. Di daerah tertentu dimana air tawar susah didapat, kadang-kadang terpaksa menggunakan air bersalinitas tinggi sebagai air irigasi. Dalam kondisi salinitas tinggi, jarang ada tanaman yang dapat tumbuh dengan baik, karena keracunan NaCl atau potensial osmotik yang rendah dalam sel dibandingkan dengan larutan tanah. Dengan demikian maka perlu dicari tanaman yang toleran terhadap salinitas atau memodifikasi lingkungan sehingga tanaman mampu bertahan dibawah kondisi demikian.

Cendawan VAM seperti Glomus spp mampu hidup dan berkembang dibawah kondisi salinitas yang tinggi dan menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap penurunan kehilangan hasil karena salinitas (Lozano et al, 2000). Mekanisme perlindungannya belum diketahui dengan pasti, tapi diduga disebabkan karena meningkatnya serapan hara immobil seperti P, Zn dan Cu (Al-Kariki, 2000). Lebih lanjut Al-Kariki (2000) mendapatkan bahwa tanaman tomat yang diinokulasi dengan mikoriza pertumbuhannya lebih baik dibanding dengan tanpa mikoriza. Konsentrasi P dan K rata-rata lebih tinggi sedangkan konsentrasi Na rata-rata lebih rendah dibandingkan dengan tanaman tanpa mikoriza (Tabel 4). Hal ini berarti bahwa cendawan VAM dapat sebagai filter bagi unsur hara tertentu yang tidak dikehendaki oleh tanaman. Peneliti lain, Lozano et al (2000) membandingkan efektivitas Glomus deserticola dengan Glomus sp lainnya yang merupakan cendawan autochthonous lahan salin. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa Glomus deserticola lebih efektif dari Glomus sp.

Tabel 4. Pengaruh inokulasi AMF terhadap berat kering tanaman dan serapan hara tanaman tomat yang ditanam pada tingkat salinitas yang berbeda. ( Al-Karaki, 2000)

Tingkat salinitas

Status AMF

Hasil bahan kering

( g/tanaman)

Konsentrasi unsur

(mmol/kg)

P

Na

K

1,4

Non AMF

1,62

0,20

44

169

1080

AMF

2,33

0,28

63

123

1137

4,7

Non AMF

1,05

0,10

40

1155

710

AMF

1,57

0,18

60

773

909

7,4

Non AMF

0,44

0,08

39

1739

624

AMF

0,60

0,09

43

1229

654

Simpangan baku

0,48

0,08

5

352

343

4.3. Bioremediasi Tanah Tercemar

Pencemaran lingkungan tanah belakangan ini mendapat perhatian yang cukup besar, karena globalisasi perdagangan menerapkan peraturan ekolabel yang ketat. Sumber pencemar tanah umumnya adalah logam berat dan senyawa aromatik beracun yang dihasilkan melalui kegiatan pertambangan dan industri. Senyawa-senyawa ini umumnya bersifat mutagenik dan karsinogenik yang sangat berbahaya bagi kesehatan (Joner dan Leyval, 2001). Bioremidiasi tanah tercemar logam berat sudah banyak dilakukan dengan menggunakan bakteri pereduksi logam berat sehingga tidak dapat diserap oleh tanaman. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa cendawan memiliki kontribusi yang lebih besar dari bakteri, dan kontribusinya makin meningkat dengan meningkatnya kadar logam berat ( Fleibach, et al, 1994).

Cendawan ektomikoriza dapat meningkatkan toleransi tanaman terhadap logam beracun dengan melalui akumulasi logam-logam dalam hipa ekstramatrik dan "extrahyphae slime" ( Galli et al, 1994 dan Tam, 1995 dalam Aggangan et al, 1997) sehingga mengurangi serapannya ke dalam tanaman inang. Namun demikian tidak semua mikoriza dapat meningkatkan toleransi tanaman inang terhadap logam beracun, karena masing-masing mikoriza memiliki pengaruh yang berbeda. Pemanfaatan cendawan mikoriza dalam bioremidiasi tanah tercemar, disamping dengan akumulasi bahan tersebut dalam hipa, juga dapat melalui mekanisme pengkomplekan logam tersebut oleh sekresi hipa ekternal.

Polusi logam berat pada ekosistem hutan sangat berpengaruh terhadap kesehatan tanaman hutan khususnya perkembangan dan pertumbuhan bibit tanaman hutan (Khan, 1993). Hal semacam ini sangat sering terjadi disekitar areal pertambangan (tailing dan sekitarnya). Kontaminasi tanah dengan logam berat akan meningkatkan kematian bibit dan menggagalkan prgram reboisasi. Penelitian Aggangan et al (1997) pada tegakan Eucalyptus menunjukkan bahwa Ni lebih berbahaya dari Cr. Gejala keracunan Ni tampak pada konsentrasi 80 umol/l pada tanah yang tidak dinokulasi dengan mikoriza sedangkan tanah yang diinokulasi dengan Pisolithus sp., gejala keracunan terjadi pada konsentrasi 160 umol/l. Isolat Pisolithus yang diambil dari residu pertambangan Ni jauh lebih tahan terhadap kadar Ni yang tinggi dibandingkan dengan Pisolithus yang diambil dari tegakan eucaliptus yang tidak tercemar logam berat.

Upaya bioremediasi lahan basah yang tercemar oleh limbah industri (polutan organik, sedimen pH tinggi atau rendah pada jalur aliran maupun kolam pengendapan) juga dapat dilakukan dengan memanfaatkan tanaman semi akuatik seperti Phragmites australis. Oliveira et al (2001) menunjukkan bahwa P. australis dapat berasosiasi dengan cendawan mikoriza melalui pengeringan secara gradual dalam jangka waktu yang pendek. Hal ini dapat dijadikan strategi pengelolaan lahan terpolusi (phytostabilisation) dengan meningkatkan laju perkembangan spesies mikotropik. Penelitian Joner dan Leyval (2001) menunjukkan bahwa perlakuan mikoriza pada tanah yang tercemar oleh polysiklik aromatic hydrocarbon (PAH) dari limbah industri berpengaruh terhadap pertumbuhan clover, tapi tidak terhadap pertumbuhan reygrass. Dengan mikoriza laju penurunan hasil clover karena PAH dapat ditekan. Tapi bila penambahan mikoriza dibarengi dengan penambahan surfaktan, zat yang melarutkan PAH, maka laju penurunan hasil clover meningkat. Tanaman yang tumbuh pada limbah pertambangan batubara diteliti Rani et al (1991) menunjukkan bahwa dari 18 spesies tanaman setempat yang diteliti, 12 diantaranya bermikorisa. Tanaman yang berkembang dengan baik di lahan limbah batubara tersebut, ditemukan adanya "oil droplets" dalam vesikel akar mikoriza. Hal ini menunjukkan bahwa ada mekanisme filtrasi, sehingga bahan beracun tersebut tidak sampai diserap oleh tanaman.

 

KESIMPULAN

Lahan kritis yang ditandai rusaknya struktur tanah, menurunnya kualitas dan kuantitas bahan organik, defisiensi hara dan terganggunya siklus hidrologi, perlu direhabilitasi dan ditingkatkan produktivitasnya agar lahan dapat kembali berfungsi sebagai suatu ekosistem yang baik atau menghasilkan sesuatu yang bersifat ekonomis bagi manusia.

Mikoriza, suatu bentuk asosiasi mutualistis antara cendawan dengan akar tumbuhan tingkat tinggi, memiliki spektrum yang sangat luas baik dari segi tanaman inang, jenis cendawan, mekanisme asosiasi, efektivitas, mikrohabitat maupun penyebarannya.

Pertumbuhan tanaman meningkat dengan adanya mikoriza karena meningkatnya serapan hara, ketahanan terhadap kekeringan, produksi hormon pertumbuhan dan zat pengatur tumbuh, perlindungan dari patogen akar dan unsur toksik. Sedangkan cendawan mendapat manfaat dari suplai hasil fotosintat dan tempat berkembang.

Konversi hutan alam menjadi lahan pertanian, perkebunan atau hutan tanaman industri akan merubah keragaman jenis dan umur spesies tanaman , bahan organik tanah serta siklus hara dan air. Kondisi ini akan merubah keragaman spesies dan jumlah propagul cendawan mikoriza.

Lahan alang-alang dapat ditingkatkan produktivitasnya untuk tanaman pangan, perkebunan, hutan tanaman industri maupun penghiajuan dengan memanfaatkan bibit tanaman yang telah bermikoriza agar dapat bertahan dalam kondisi miskin hara, kekeringan, serta persaingan dengan tumbuhan alang-alang.

Tanaman pada lahan salin dapat bertahan pada kondisi salinitas tinggi bila berasosiasi dengan cendawan mikoriza, karena dalam kondisi salinitas tinggi hipa eksternal cendawan masih mampu mensuplai air dan unsur hara untuk tanaman inang, sehingga mencegahnya dari proses plasmolisis akibat proses osmotik.

Usaha bioremidiasi tanah tercemar logam berat , limbah industri atau tailing pertambangan dapat dipercepat dengan tanaman bermikoriza, karena cendawan mikoriza dapat melindungi tanaman inang dari serapan unsur beracun tersebut melalui efek filtrasi, kompleksasi dan akumulasi.

Inokulum cendawan mikoriza yang berasal dari ekosistem lahan tercemar logam berat lebih efektif menanggulangi lahan-lahan tercemar logam berat jika dibandingkan dengan isolat cendawan yang sama yang berasal dari ekosistem yang tidak tercemar.

 

DAFTAR PUSTAKA

Aggangan, N.S. B.Dell and N. Malajczuk, 1998. Effects of chromium and nickel on growth of the ectomycorrizal fungus Pisolithus and formation of ectomycorrizas on Eucalyptus urophylla S.T. Blake. Geoderma 84 : 15-27.

Ali, G.M., E.F. Husin, N. Hakim dan Kusli, 1997. Pemberian mikoriza vesikular asbuskular untuk meningkatkan efisiensi pemupukan fosfat tanaman padi gogo pada tanah Ultisols dengan perunut 32P. p. 597-605 dalam Subagyo et al (Eds). Prosiding Kongres Nasional VI HITI, Jakarta, 12-15 Desmber 1995.

Al-Kariki, G.N., 2000. Growth of mycorrhizal tomato and mineral acquisition under salt stress. Mycorrhiza J. 10/2 : 51-54.

Azcon, R. and F. El-Atrash, 1997. Influence of arbuscular mycorrhizae and phosphorus fertilization on growth, nodulation an N2 fixation (15N) in Medicago sativa at four salinity level. Biol. Fertil. Soils 24 : 81-86.

Ba, A.M., K.B. Sanon , R. Doponnois, and J. Dexheimer, 2000. Growth response of Afselia africana Sm. seedlings to ectomycorrhizal inoculation in a nutrient-deficient soil. Mycorrhiza J. 9/2 : 91-95.

Castillo, E.T. and R.E. Dela Cruz, 1995. Mechanism of drought resistance in Pterocarpus indicus enhanced by inoculation with VA mycorriza and Rhizobium. Biotrop Spec. Publ.No56 : 131-137. Biology and Biotechnology of Mycorrhizae.

Cruz, A.F., T. Ishii, and K. Kadoya., 2000. Effect of arbuscular mycorrhizal fungi on tree growth, leaf water potential, and levels of 1-aminocyclopropane-1-carboxylic acid and ethylene in the roots of papaya under water stress conditions. Mycorrhiza J. 10/3 : 121-123.

Fleibach, A.R. Martens and H.H. Reber, 1994. Soil microbial biomass and microbial activity in soil treated with heavy metal contaminated sewage sludge. Soil Biol. Biochem. 26 (9) : 1201 - 1205.

Imas, T., R.S. Hadioetomo, A.W. Gunawan dan Y. Setiadi, 1989. Mikrobiologi Tanah II. Depdikbud Ditjen Dikti, Pusat Antar Universitas Bioteknologi, IPB.

Joner, E.J. and C. Leyval, 2001. Influence of arbuscular mycorrhiza on clover and ryegrass grown together in a soil spiked with polycyclic aromatic hydrocarbons. Mycorrhiza J. 10/4 : 155-159.

Kabirun, S. and J. Widada, 1995. Response of soybean grown on acid soil to inoculation of vesicular-arbuscular mycorrhizal fungi. Biotrop Spec. Publ.No56 : 131-137. Biology and Biotechnology of Mycorrhizae.

Khan, A.G., 1993. Effect of various soil environment stresses on the occurance, distribution and effectiveness of VA mycorrhizae. Biotropia 8 : 39-44.

Khan, M.H., 1995. Role of mycorrhizae in nutrient uptake and in the amelioration of metal toxicity. Biotrop Spec. Publ.No56 : 131-137. Biology and Biotechnology of Mycorrhizae.

Killham, K, 1994. Soil ecology. Cambridge University Press

Kim, K.Y., D. Jordan, and McDonald, 1998. Effect of phosphate-solubilizing bacteria and vesicular-arbuscular mycorrhizae on tomato growth and soil microbial activity. Biol. Fertil. Soils 26 : 79-87.

Lozano, JMR., and R. Azcon, 2000. Symbiotic efficiency and effectivity of an autochthonous arbuscular mycorrhizal Glomus sp. from saline soils and Glomus deserticola under salinity. Mycorrhiza 10/3 : 137-143.

McGonigle, T.P.M. and M.H. Miller, 1993. Mycorrhizal development and phosphorus absorption in maize under conventional and reduced tillage. Soil Sci. Soc. Am. J. 57 (4) : 1002-1006.

Morte, A., C.Lovisolo and A. Schubert, 2000. Effect of drought stress on growth and water relations of the mycorrhizal association Helianthemum almeriense - Tervesia claveryi. Mycorrhiza J. 10/3 : 115-119.

Munyanziza, E., H.K. Kehri, and D.J. Bagyaraj, 1997. Agricultural intensification, soil biodeversity and agro-ecosystem function in the tropics : the role of mycorrhiza in crops and trees. Applied Soil Ecology 6 : 77-85.

Nuhamara, S.T., 1994. Peranan mikoriza untuk reklamasi lahan kritis. Program Pelatihan Biologi dan Bioteknologi Mikoriza.

Oliveira, R.S., JC. Dodd and PML. Castro, 2001. The mycorrhizal status of Pragmites australis in several polluted soils and sediments of an industrialised region of Northern Portugal. Mycorrhiza J. 10/5 : 241-247.

Rani, D.B.R., S. Ragupathy and A. Mahadevan, 1991. Incidence of vesicular - arbuscular mycorrhizae (VAM) in coal waste. Biotrop Special Publ. 42 : 77-81 in Soerianegara and Supriyanto (Eds) Proceedings of Second Asean Conference on Mycorrhiza.

Rao, N.S Subha, 1994. Mikroorganisme tanah dan pertumbuhan tanaman. Edisi Kedua. Penerbit Universitas Indonesia.

Singh, S., and K.K. Kapoor, 1999. Inoculation with phosphate-solubilizing microorganisms and a vesicular-arbuscular mycorrhizal fungus improves dry matter yield and nutrient uptake by wheat grown in a sandy soil. Biol. Fertil. Soils 28 : 139-144.

Solaiman, M.Z., and H. Hirata, 1995. Effect of indigenous arbuscular mycorrhizal fungi in paddy fields on rice growth and NPK nutrition under different water regimes. Soil Sci. Plant Nutr., 41 (3) : 505-514.

Thomas, R.S., R.L. Franson, and G.J. Bethlenfalvay, 1993 Separation of arbuscular mycorrhizal fungus and root effect on soil aggregation. Soil Sci. Soc. Am. J. 57 : 77-81.

Widada, J, dan S. Kabirun, 1997. Peranan mikoriza vesikular arbuscular dalam pengelolaan tanah mineral masam. p. 589-595 dalam Subagyo et al (Eds). Prosiding Kongres Nasional VI HITI, Jakarta, 12-15 Desmber 1995.

Wright, S.F. and A. Upadhyaya, 1998. A survey of soils for aggregate stability and glomalin, a glycoprotein produced by hyphae of arbuscular mycorrhizal fungi. Plant and Soil 198 : 97 - 107.

Zaini, Z., T. Sudarto, J. Triastoro, E. Sujitno dan Hermanto, 1996. Usahatani lahan kering : Penelitian dan Pengembangan. Proyek Penelitian Usahatani lahan Kering. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan Litbang Pertanian.

Zarate, J.T. and R.E. Dela Cruz, 1995. Pilot testing the effectiveness of arbuscular mycorrhizal fungi in the reforestation of marginal grassland. Biotrop Spec. Publ.No56 : 131-137. Biology and Biotechnology of Mycorrhizae.