Copyright ©  2002  Program Pasca Sarjana IPB    

Group III  Presentation                                                                                          Posted  10 April  2002

Science Philosophy (PPs 702)

Graduate Program 

Institut Pertanian Bogor

April 2002.

 

Instructor:

Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng          

 

PENGELOLAAN LAHAN BASAH PESISIR (COASTAL WETLAND) SECARA TERPADU DAN BERKELANJUTAN

Oleh

Kelompok III PPS702
PPS702kel3@yahoo.com

 

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

1.2. Pengertian Lahan Basah

1.3. Ruang Lingkup

II. KARAKTERISTIK, KLASIFIKASI DAN FUNGSI LAHAN BASAH

2.1. Karakteristik Lahan Basah

Hidrologi Wetland

Biogeokimia Wetland

2.2. Klasifikasi Lahan Basah

2.3. Fungsi dan Nilai Lahan Basah

III. PENGELOLAAN LAHAN BASAH

3.1. Keperluan akan Pengelolaan

3.2. Pertimbangan Biologis dan Lingkungan

3.3. Pertimbangan Teknis

3.3.1. Pengelolaan Air

3.3.2. Pengolahan tanah

3.3.3. Ameliorasi dan Pemupukan

3.3.4. Perbaikan Varietas dan Pola Tanam Padi

3.3.5. Pengendalian Hama dan Penyakit

3.3.6. Mekanisasi

3.4. Pertimbangan Sosial dan Ekonomi

3.5. Konsep dan Fungsi Kelembagaan Pengelolaan

3.6. Langkah dan Pendekatan Pengelolaan

3.7. Proses Pengelolaan

IV. ANALISIS SWOT UNTUK COASTAL WETLAND

Matrik Analisis Swot Untuk Pengembangan Coastal Wetland

V. PENUTUP

5.1. Kesimpulan

5.2. Saran

DAFTAR PUSTAKA

 

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Luas lahan basah (wetland) di dunia mencapai 8.558.000 km2 atau lebih dari 6% luas permukaan bumi yang terbagi atas zona polar 200.000 km2; Boreal 2.558.000 km2; sub Boreal km2; sub tropis km2 dan zona tropis 2.638.000 km2 (Maltby and Tuner, 1983). Indonesia termasuk kedalam tujuh negara di Asia Pasifik yang mempunyai lahan basah yang didukung oleh keanekaragaman lahan basah yang luas. Luas lahan basah di Indonesia adalah sekitar 38 juta ha.

Pada tanggal 2 Februari 1971, sebanyak 18 negara berkumpul di kota Ramsar, Iran untuk menandatangani naskah kerjasama internasional dalam rangka konservasi dan pemanfaatan lahan basah secara bijaksana. Perjanjian kerjasama tersebut kemudian dikenal sebagai konvensi Ramsar dan tanggal 2 Februari ditetapkan sebagai hari lahan basah sedunia. Sampai dengan tahun 2000 telah tercatat sebanyak 119 negara yang mengadopsi konvensi Ramsar tersebut dimana Indonesia mengadopsi konvensi Ramsar sejak tahun 1985 (WIP-IP, 2000).

Lahan basah merupakan salah satu sumberdaya lahan yang sudah, sedang dan akan menjadi sasaran dalam usaha meningkatkan produksi pangan. Lahan basah tersebut mempunyai banyak kelebihan atau keunggulan dibandingkan lahan kering dalam hal untuk keperluan memproduksi pangan dan pemukiman. Lahan basah daerah pesisir (coastal wetland) adalah salah satu tipe lahan basah yang potensial untuk dikembangkan. Namun demikian, dalam pengembangannya harus mempertimbangkan efek global dan lingkungan sekitarnya.

Sebaliknya, lahan basah merupakan ekosistem yang paling terdegradasi dan diduga telah hilang sebesar 50% dari luas lahan basah asli di dunia (Gardiner, 1994; Joes et al., 1995 dalam Spencer et al., 1998). Pertumbuhan penduduk yang cepat dan kemampuan teknologi selama Iron Age (1200 BC) mengakibatkan terjadinya pengalihan lahan basah untuk pemukiman, pertanian, industri dan penggunaan lainnya seperti yang terjadi di Inggeris di mana selama zaman roman terdapat seluas 25% dari daratan Inggeris adalah lahan basah namun sekarang tinggal 5% atau seluas 1,2 juta Ha (Purseglove, 1989). Penyebab utama degradasi lahan basah, khususnya lahan basah pesisir adalah faktor alam dan diperluas oleh campur tangan manusia. Di pantai Louisiana diperoleh bahwa penyebab utama degradasi lahan basah adalah subsiden, kenaikan muka air laut global (global sea level rise), depresi sedimen dan perubahan hidrologi (Titus, 1991). Cepatnya proses penetrasi air laut ke kawasan berair tawar menghasilkan perubahan pada kualitas lingkungan lahan basah terutama terhadap struktur vegetasi.

Aktivitas manusia dengan cara mendrain lahan basah menimbulkan terjadinya subsiden dan munculnya lapisan tanah yang mengandung pyrit yang bila teroksidasi akan menghasilkan keasaman dan beracun (Manahan,1994). Hal ini juga terjadi di pantai timur Jambi, Sumatera (dendang, lagan dan simbur naik) sebagai akibat over drained (Furukawa, 1994). Di sisi lain pengalihan fungsi lahan basah pesisir untuk tempat pemukiman dan perkotaan (coastal city) dimana sekarang terdapat 24 megahydropolis yang berpenduduk lebih dari 10 juta seperti Jakarta, 13,25 juta, Mexico City 25,82 juta, Sao Paulo 23,97 juta dan New York 15,78 juta (Timmerman dan White, 1997). Potensi perkembangan kota pantai di Indonesia cukup besar seperti Semarang, Surabaya, dan beberapa kota di pantai timur Sumatera. Hal ini merupakan ancaman terhadap kelestarian lahan basah. Pengalihan lahan basah terutama lahan basah pesisir untuk tambak khususnya di Asia (Thailand dan Indonesia) yang berkembang pesat, bila tanpa dilakukan restorasi dan pengelolaan yang tepat akan menjadi masalah baik sekarang maupun masa datang.

Oleh karena lahan basah merupakan sumber daya yang dimanfaatkan oleh berbagai pengguna maka diperlukan suatu pengelolaan secara benar, terpadu dan berkelanjutan sehingga mempunyai kontribusi positif bagi kesejahteraan manusia kini dan mendatang.

1.2. Pengertian Lahan Basah

Wetland mempunyai beberapa ciri yang tampak, dan yang paling jelas adalah adanya air yang tetap, tanah wetland yang unik dan ditumbuhi oleh vegetasi yang mampu beradaptasi atau toleran terhadap tanah yang jenuh air. Wetland tidak mudah untuk didefinisikan, namun secara khusus untuk tujuan yang formal karena memiliki selang kondisi hidrologi yang dapat dipertimbangkan, karena wetland berada pada antara lahan kering dan sistem air dalam, dan karena memiliki variasi yang besar dalam ukuran, luasan, dan pengaruh manusia.

Dibawah konvensi Ramsar (Ramsar Convention on Wetlands), lahan basah didefinisikan pada ayat 1.1. dan 2.1 sebagai berikut:

Ayat 1.1: lahan basah adalah area dari marsh, fen, peatland atau perairan, baik alami atau buatan, permanen atau temporer, dengan air yang statis atau mengalir, baik air tawar, payau atau laut, meliputi area perairan laut dengan kedalaman tidak lebih dari 6 meter pada waktu air surut terrendah.

Ayat 2.1: lahan basah mungkin meliputi riparian dan wilayah pesisir yang berdekatan dengan lahan basah, dan pulau atau badan air laut lebih dalam dari 6 meter pada waktu air surut terendah yang membentang di dataran lahan basah.

Untuk membuat definisi yang jelas maka diusahakn untuk membuat kriteria yang tampak sebagai indikator dari wetland. Menurut Mitsch dan Gosselink (1993), wetland selalu meliputi tiga komponen utama yaitu : (1) wetland ditunjukkan oleh adanya air baik pada permukaan atau dalam zone perakaran, (2) wetland sering memiliki kondosi tanah yang unik yang berbeda dari tanah upland, (3) wetland mendukung vegetasi yang mampu beradaptasi terhadap kondisi basah (hydrophytes) dan sebaliknya ditandai oleh ketidakhadiran vegetasi yang tidak toleran terhadap kondisi tergenang. Menurut National Research Council (1992), dalam keadaan normal wetland harus memenuhi (1) Bahan tanahnya hydric, (2) Lebih dari 50 % didominasi oleh spesien tamaman hydrophytic, dan (3) Keadaan basah selama musim pertumbuhan.

Tanah hydric soil merupakan tanah yang selalu tergenang, dibanjiri, atau pond dalam waktu yang cukup lama untuk mendukung terbentuknya kondisi anaerobik. Dikenal 4 tipe tanah yang termasuk hydric yaitu : (1) organic soil, (2) Mineral soil dengan muka air tanah yang dangkal atau basah, (3) ponded soil, dan (4) flooded soil.

Vegetasi hydrophytic harus memenuhi satu atau lebih persyaratan berikut : (1) beberapa tumbuhah macrophyta yang tumbuh dalam air atau substrat (soil) paling tidak secara periodik kekurangan oksigen sebagai akibat kandungan air yang tinggi, (2) Tumbuhan wetland obligat > 99 % (biasanya < 1% di lahan kering), (3) Tanaman wetland fakultatif 67 – 99 %, (4) Tanaman fakultatif 34 – 66 %, (5) tanaman upland fakultatif 1-33 % dan (5) tanaman upland obligat < 1 %. Sedangkan untuk hydrologi wetland selama pertumbuhan terdapat jumlah hari 12,5 % permukaan tanah dibanjiri atau dijenuhi air. Namun pada 5-12,5 % dapat digolongkan ke wetland atau upland tergantung kondisi vegetasi.

1.3. Ruang Lingkup

Ruang lingkup makalah meliputi pembahasan mengenai hal-hal sebagai berikut:

  1. Karakteristik, klasifikasi dan fungsi lahan basah, khususnya lahan basah pesisir.
  2. Pentingnya pengelolaan lahan basah pesisir yang didasarkan atas berbagai pertimbangan baik biologis, lingkungan, teknis, sosial dan ekonomis.
  3. Konsep dan fungsi kelembagaan pengelolaan yang meliputi otoritas, pengaturan dan aspek legal dalam pengelolaan; langkah dan pendekatan pengelolaan serta proses pengelolaan bagi tujuan optimasi pemanfaatan dan pelestarian sumber daya lahan basah pesisir.

II. KARAKTERISTIK, KLASIFIKASI DAN FUNGSI LAHAN BASAH

2.1. Karakteristik Lahan Basah

Dalam menginventarisasi wetland meliputi beberapa aspek (Water Resouces Management Workshop’s, 1998) diantaranya :

  1. Deskripsi penggunaan lahan. Untuk menunjukkan intensitas penggunaan lahan yang berbatasan / berdekatan dengan wetland, menduga persentase penggunaan lahan disekitarnya.
  2. Inventasisasi vegetasi. Hal ini bertujuan untuk mengetahui jumlah dan jenis vegetasi dalam wetland.
  3. Deskripsi wetland. Wetland setting : mengidentifikasi semua tipe wetland yang ada, jelaskan elevasi, lereng, penggunaan lahan, kepadatan vegetasi dengan menggunaan citra atau foto udara; Untuk wetland hidrologi di jelaskan outlet, lokasi wetland, karakteristik saluran wetland serta hidriperiode; Wetaland hidrogeologi tentang vegerasi yang menjadi indikator interaksi ait-tanah, sistem inlet-outlet atau groundwater recharge, tunjukkan sumber utama air wetland; untuk coastal interaksi meliputi interaksi dengan danau, banjir, pengeruh hidrologi dananu terhadap wetland.
  4. Deskripsi tanah. Tipe lapisan tanah (silt, sand, peat artau clay), pengaruhnya nyata dari gangguan aktivitas manusia terhadap tanah seperti pertanian, grazing atau urbanisasi.
  5. Penampakan khusus. Diperoleh dari referensi seperti peta atau dari instansi terkait.
  6. Catatan khusus. Informasi tentang komunitas vegetasi yang unik, karaktersitik hidrologic yang tidak seperti biasanya dan masalah-masalah yang ditemukan dalam penilaian wetland.

Hidrologi Wetland

Kondisi hidrologi merupakan faktor yang sangat penting untuk mempertahankan struktur dan fungsi wetland, walaupun hubungan sebab akibat yang sederhana namun sulit untuk dipertahankan. Kondisi hidrologi mempengaruhi beberapa faktor abiotik seperti kondisi tanah yang anaerob, ketersediaan hara, dan salinitas pada coastal wetland. Keadaan hidrologi wetland merupakan hasil keseimbangan inflow dan outflow air (water budget), kontur tanah dan kondisi subsurface. Sebagai inflow utama wetland adalah curah hujan, limpasan sungai, aliran permukaan, air tanah dan pasang pada coastal.

Pentingnya hidrologi dalam sistem wetland terutama berhubungan dengan proses ekologi dan kontrol biotik. Perubahan kondisi hidrologi secara langsung memodifikasi atau merubah sifat kimia, fisika sperti ketersediaan hara, salinitas, derajat redok, sifat sedimen dan pH. Kondisi ini akan merubah physiochemichal lingkungan yang berpengaruh terhadap respon biotik (Mitcsh dan Gosselink, 1993).

Biogeokimia Wetland

Wetland mempunyai siklus biogeokimia yang diikuti dengan proses transformasi dan transportasi bahan kimia yang tidak dapat dipisahkan. Tanah wetland yang dikenal sebagai tanah-tanah hidrik dapat sangat tereduksi dengan cepat bila tergenang tapi biasanya mempunyai lapisan tipis yang bersifat oksidatif di daerah permukaan dimana terjadi proses bio-kimia yang aerobik. Transformasi nitrogen, phosphor, sulfur, besi, mangan, dan karbon dalam kondisi anaerobik meyebabkan unsur-unsur tersebut dalam keadaan tersedia. Walupun beberapa dapat menimbulkan racun. Sebaliknya proses denitrifikasi dan metanogenesis meneyebabkan hilangnya unsur kimia ke atmosfir.

Wetland yang didominasi oleh curah hujan sebagai sumber air umumnya miskin unsur hara, sebaliknya untuk sumber yang lain memilki variasi yang cukup besar tergantung dari konsentrasi bahan kimia yng dibawa.

Proses transformasi kimia dalam wetland merupakan proses oksidasi-reduksi dari beberapa unsur atau senyawa dan untuk terjadinya transformasi ini sangat ditentukan oleh potensial redok (Tabel 5).

Tabel 5. Bentuk Teroksidasi Dan Tereduksinya Unsur-Senyawa dalam Wetland pada

Potensial Redoks Trasformasinya.

Unsur

Bentuk Oksidasi

Bentuk Reduksi

Potensial Redok Transformasi (mV)

Nitrogen

NO3-

N2O, N2, NH4+

250

Mangan

Mn +4

Mn+2

225

Besi

Fe+3

Fe+2

120

Sulfur

SO42-

S=

- 75 s/d -150

Carbon

CO2

CH4

-250 s/d -350

Issu lingkungan yang sedang berkembang sekarang ini sedang ditujukan pada negara- negara Asia yang memproduksi beras adalah produksi CH4 (metanogenesis) (Fisher, et al., 1990; Neue, 1993). Pada wetland berupa sawah dapat menghasilkan 4,5-15,9 gr CH4/m2 selama musim tanam (Fisher, et al., 1990). Penelitian Seiler et al., (1984) di Spanyol padi sawah memproduksi 36-255 mg C m-2 per hari, sementara penelitian Smith et al., (1982) di Lousiana tidal freshwater marsh , rata-rata tahunan menhasilkan 440 mg C m-2 per hari. Dari data tersebut menunjukkan bahwa wetland cukup menyumbangkan CH4 ke atmosfer yang menimbulkan pemanasan global baik yang bersumber dari wetland yang diusakan untuk padi sawah maupun untuk alami.

2.2. Klasifikasi Lahan Basah

Beberapa usaha telah dilakukan untuk membuat klasifikasi lahan basah ke dalam beberapa kategori menurut struktur dan fungsinya. Hal ini mengingat terdapatnya kepentingan dan tujuan yang berbeda-beda baik untuk tujuan ilmuwan maupun manajer atau regulator. Menurut Mitcsh dan Gosselink (1993), tujuan utama suatu sistem klasifikasi lahan basah adalah:

  1. untuk menjelaskan unit secara ekologi kondisi alam yang homogen
  2. untuk mengatur unit-unit tersebut kedalam suatu sistem yang dapat membentuk keputusan dalam pengelolaan
  3. untuk mengidentifikasi unit untuk keperluan inventarisasi dan pemetaan
  4. untuk menyeragamkan dalam konsep dan terminologi

Masing-masing tujuan tersebut memiliki arti dan karakteristik tersendiri seperti untuk yang pertama harus homogen dalam vegetasi, spesies tanaman atau hewan, atau kondisi hidrologi. Tujuan kedua lebih menekankan pada kelompok manager dalam mengatur dan memproteksi lahan basah. Sedangkan tujuan ke tiga dan ke empat untuk membuat konsistensi dalam formulasi, penggunaan inventarisasi, pemetaan (mapping), konsep dan terminologi lahan basah yang lebih penting dalam pengelolaannya.

Department of Natural Resources Environmental Protection Division (2000) mengklasifikasikan lahan basah ke dalam dua kategori utama yaitu lahan basah pesisir (coastal wetland) dan lahan basah pedalaman/daratan (inland wetland)(Tabel 1).

Tabel 1. Klasifikasi Lahan basah

Kategori Utama

Lokasi

Tipe Lahan basah

Lahan basah Pesisir (Coastal Wetland):

  • Laut (undiluted salt water)

 

Pesisir terbuka (open coast)

 

Lahan basah belukar, salt marsh, rawa mangrove

  • Estuaria (air asin/tawar)

Estuari (delta, lagoon)

Brackish marsh, lahan basah belukar, salt marsh, rawa mangrove

Lahan basah pedalaman (Inland Wetlands):

  • Riverine (berassosiasi dengan sungai atau anak sungai)

 

River channel, flood plain

 

Bottomlands, fresh water marsh, delta marsh

  • Lacustrine (berassosiasi dengan danau)

Danau dan delta

Fresh water marsh, hutan dan belukar lahan basah

  • Palustrine (danau dangkal dan lahan basah air tawar)

Pond, peatland, upland ground water seep

Ephemeral pond, thundra peatland, ground water spring oases, bogs.

Didalam manual konvensi Ramsar, klasifikasi lahan basah pesisir meliputi ekosistem lahan basah estuari dan laut. Ekosistem lahan basah laut terdiri dari perairan intertidal atau subtidal yang mempunyai kedalaman kurang dari 6m pada pasang surut terendah, yang meliputi: pantai berbatu (rocky shores), tebing pantai, terumbu karang, paparan berlumpur dan berbatu. Ekosistem estuari meliputi marshes dan delta, daerah air payau dan air asin serta rawa mangrove (WIAP-IP, 2001)

Berdasarkan sistem klasifikasi Ramsar, setiap habitat lahan basah diberi kode dan tercantum pada Recommendation 4.7 dan amandemen Resolution VI.5 sebagai berikut:

  1. Lahan basah Laut/Pesisir (Marine/Coastal Wetlands):

A – Perairan laut dangkal permanen yang pada kebanyakan kasus kedalamannya kurang dari 6 m pada pasang rendah; meliputi teluk dan selat.

B – Paparan akuatik subpasang laut; meliputi paparan kelp beds, sea-grass beds, tropical marine meadows.

C – Terumbu karang (Coral reefs).

D – Pantai laut berbatu yang meliputi pulau Rocky marine shores; includes rocky offshore islands, sea cliffs.

E – Pantai berbatu, Sand, shingle or pebble shores; includes sand bars, spits and sandy islets; includes dune systems and humid dune slacks.

F – Perairan Estuari yang meliputi perairan permanen estuari dan sistem estuari delta.

G – Dataran berbatu atau berlumpur intertidal.

H -- Intertidal marshes; includes salt marshes, salt meadows, saltings, raised salt marshes; includes tidal brackish and freshwater marshes.

I -- Intertidal forested wetlands; includes mangrove swamps, nipah swamps and tidal freshwater swamp forests.

J -- Coastal brackish/saline lagoons; brackish to saline lagoons with at least one relatively narrow connection to the sea.

K -- Coastal freshwater lagoons; includes freshwater delta lagoons.

Zk(a) – Karst and other subterranean hydrological systems, marine/coastal

Inland Wetlands:

L -- Permanent inland deltas.

M -- Permanent rivers/streams/creeks; includes waterfalls.

N -- Seasonal/intermittent/irregular rivers/streams/creeks.

O -- Permanent freshwater lakes (over 8 ha); includes large oxbow lakes.

P -- Seasonal/intermittent freshwater lakes (over 8 ha); includes floodplain lakes.

Q -- Permanent saline/brackish/alkaline lakes.

R -- Seasonal/intermittent saline/brackish/alkaline lakes and flats.

Sp -- Permanent saline/brackish/alkaline marshes/pools.

Ss -- Seasonal/intermittent saline/brackish/alkaline marshes/pools.

Tp -- Permanent freshwater marshes/pools; ponds (below 8 ha), marshes and swamps on inorganic soils; with emergent vegetation water-logged for at least most of the growing season.

Ts -- Seasonal/intermittent freshwater marshes/pools on inorganic soils; includes sloughs, potholes, seasonally flooded meadows, sedge marshes.

U -- Non-forested peatlands; includes shrub or open bogs, swamps, fens.

Va -- Alpine wetlands; includes alpine meadows, temporary waters from snowmelt.

Vt -- Tundra wetlands; includes tundra pools, temporary waters from snowmelt.

W -- Shrub-dominated wetlands; shrub swamps, shrub-dominated freshwater marshes, shrub carr, alder thicket on inorganic soils.

Xf -- Freshwater, tree-dominated wetlands; includes freshwater swamp forests, seasonally flooded forests, wooded swamps on inorganic soils.

Xp -- Forested peatlands; peatswamp forests.

Y -- Freshwater springs; oases.

Zg -- Geothermal wetlands

Zk(b) – Karst and other subterranean hydrological systems, inland

Human-made wetlands:

1 -- Aquaculture (e.g., fish/shrimp) ponds

2 -- Ponds; includes farm ponds, stock ponds, small tanks; (generally below 8 ha).

3 -- Irrigated land; includes irrigation channels and rice fields.

4 -- Seasonally flooded agricultural land (including intensively managed or grazed wet meadow or pasture).

5 -- Salt exploitation sites; salt pans, salines, etc.

6 -- Water storage areas; reservoirs/barrages/dams/impoundments (generally over 8 ha).

7 -- Excavations; gravel/brick/clay pits; borrow pits, mining pools.

8 -- Wastewater treatment areas; sewage farms, settling ponds, oxidation basins, etc.

9 -- Canals and drainage channels, ditches.

Zk(c) – Karst and other subterranean hydrological systems, human-made.

2.3. Fungsi dan Nilai Lahan Basah

Istilah fungsi dan nilai sering digunakan secara bertukaran meskipun fungsi dan nilai adalah berbeda. Fungsi lahan basah adalah proses fisika-kimia dan biologi yang terjadi dan yang timbul di suatu ekosistem. Proses tersebut meliputi pergerakan air melalui lahan basah ke sungai atau laut; pembusukan bahan organik,; pelepasan unsur nitrogen, sulfur, dan karbon ke atmosfir; pengambilan unsur hara, sedimen dan bahan organik dari air kedalam lahan basah; dan pertumbuhan serta perkembangan seluruh organisme yang memerlukan lahan basah untuk kehidupannya.

Nilai adalah suatu dugaan, biasanya subyektif dari keburukan, kebaikan, kualitas, atau kepentingannya. Nilai lahan basah mungkin berasal dari luaran yang dapat dikonsumsi secara langsung, seperti makanan, rekreasi, kayu; pemanfaatan tidak langsung yang timbul dari fungsi yang terjadi dalam ekosistem, seperti kualitas air dan pengendali banjir; kemungkinan keluaran secara langsung dimasa yang akan datang atau pemanfaatan tidak langsung, seperti biodiversitas dan habitat konservasi; dan dari pengetahuan bahwa habitat atau spesies berada.

Kesulitan dalam menentukan nilai suatu lahan basah adalah penilaian dapat merupakan suatu pengkajian subyektif, terutama penilaian dari pemanfaatan tidak langsung, pemanfaatan yang akan datang, atau nilai yang ada. Beberapa lahan basah mungkin mempunyai pemanfaatan dan worth serbaguna. Lahan basah yang jauh mungkin tidak menguntungkan secara langsung terhadap manusia tetapi mungkin kritis. Masyarakat mungkin menilai bahwa keberadaan lahan basah kurang memberikan manfaat karena mereka tidak dapat dengan mudah menetapkan harga dari keberadaannya. Lain halnya dengan nilai estuari yang menghasilkan udang dimana dapat dinilai berdasarkan harga udang yang diproduksi.

Konflik mungkin juga terjadi diantara penilaian masyarakat dan perseorangan. Sebagai contoh, pemilik tanah mungkin tidak menerima keuntungan finansial dari lahan basah terhadap hak miliknya tetapi mungkin memberikan andil buruk terhadap peningkatan kuantitas dan kualitas air untuk masyarakat disuatu perkotaan. Pada kasus tersebut pihak kota dapat membayar pemilik tanah untuk melindungi suatu lahan basah. Pada kasus yang lebih kompleks yang melibatkan spesies lahan basah yang terancam punah yang terdapat di lahan milik perorangan, pemerintah perlu melengkapi satu nilai terhadap preservasi species dan mengatur pengembangan hak milik perorangan tersebut meskipun pemilik tanah tidak memberikan nilai terhadap organisme dan atau lingkungannya yang berada di lahan miliknya.

Didalam ekosistem dan daerah aliran sungai, kegiatan manusia dapat menyebabkan degradasi dan polusi. Ekosistem dan daerah aliran sungai tersebut menyokong kehidupan manusia meskipun munbgkin masyarakat tidak mengerti sepenuhnya atas proses geologi, biologi dan kimia yang terjadi. Bagaimanapun jika pengambil keputusan tidak mengerti secara mendasar akan fungsi dan nilai ekosistem, mereka perlu membuat pilihan yang melindungai ekosistem dari fberfungsinya secara penuh. Hasilnya mungkin dalam jangka waktu yang lama dan mungkin terjadi perubahan yang sebaliknya, perubahan tersebut mengurangi nilai ekosistem dan dapat pula berpengaruh terhadap nilai ekonominya. Suatu pengenalan yang baik akan fungsi dan nilai lahan basah akan memperbaiki pembuat keputusan pada saat ini dan melindungi nilai lahan basah bagi generasi yang akan datang.

Lahan basah sangat bervariasi dalam lokasi dan tipe dan tidak mempunyai fungsi yang sama satu dengan lainnya. Menurut MWCP (Minnesota Wetlands Conservation Plan) (1997), lahan basah mempunyai fungsi antara lain:

  1. Penyimpanan dan fluk hidrologis (hydrologic flux and storage): meliputi recharge dan discharge air tanah, sungai, cadangan air tanah dan evapotranspirasi
  2. Produktivitas Bilogis: meliputi produktivitas primer, sekunder, penyimpanan karbon dan fiksassi karbon.
  3. Penyimpanan dan siklus biogeokimia: lahan basah sebagai sumber dan penenggelaman hara, tempat proses oksidasi reduksi, denitrifikasi dan penampungan untuk sedimen dan bahan organik
  4. Dekomposisi: membantu pelepasan karbon, mineralisasi, melepaskan senyawa kimia.
  5. Habitat komunitas kehidupan liar: menyediakan habitat untuk alga, bakteri, fungi, insekta, invertebrata, tumbuhan lahan basah, ikan, kerang, ampibi, reptil, burung, unggas air, dan kehidupan liar lainnya.

Selanjutnya Brown dan Reade (1985) mengatakan bahwa lahan basah mempunyai fungsi dan nilai yang secara umum ditujukan untuk penyimpanan luapan air dan aliran sungai, dukungan rantai makanan, produksi ikan dan kerang, produksi kayu, mengontrol erosi dan sedimen, habitat makluk liar, rekreasi dan pendidikan, ruang terbuka dan nilai seni, dan memperbaiki kualitas air. Mitcsh dan Gosselink (1993) membuat fungsi, pengaruh dan nilai sosial lahan basah lebih luas lagi seperti disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Fungsi dan Nilai Sosial Lahan basah

Fungsi

Pengaruh

Nilai sosial

Hidrologi

   

Penyimpanan air permukaan (waktu pendek)

Mengurangi aliran puncak banjir

Mengurangi resiko pemukiman dan lahan pertanian dari banjir

Penyimpanan air permukaan (waktu lama)

Memelihara aliran sungai, mencukupi aliran musiman

Memelihara habitat ikan selama periode kering

Memelihara tinggi muka air tanah

Memelihara tumbuhan hydrophytic, air tanah untuk pertumbuhan pohon dan tanaman

Memelihara biodiversiti, meningkatkan produksi kayu dan tanaman.

Biogeokimiawi

   

Transformasi dan siklus hara

Memelihara cadangan hara dalam lahan basah, menghasilkan bahan organik terlarut dan terdekomposisi dalam lahan basah

Produkis kayu, makanan untuk ikan dan kerang, mendukung rekreasi dan pemancingan komersial.

Menahan dan menghilangkan bahan terlarut

Menekan pengangkutan hara dan pestisida ke dalam aliran sungai

Memelihara kualitas air, membuat air minum lebih aman.

Akumulasi gambut

Menahan hara, karbon, logam dan bahan lainnya

Memelihara kualitas air, mengurangi pemanasan global

Akumulasi dan menahan sedimen anorganik

Menahan sediman dan pestisida, phospat dan hara lainnya

Memlihara kualitas air, air jernih, meningkatkan kualitas populasi ikan dalam sungai

Habitat dan dukungan jaring makanan

   

Memelihara karakteristik komunitas tanaman

Makanan dan sarang untuk wildlife; habitat bertelur dan bibit untuk ikan dan kerang; makanan untuk manusia

 

Mendukung untuk waterfowl dan yang liar lainnya, berang-berang, spesies yang jarang dan tidak biasa dan yang berbahaya, ikan dan kerang. Rekreasi dan berburu, memancing dan burung.

Memelihara karakteristik aliran energi

Mendukung populasi vertebrata dan invertebrata

Memelihara keanekaragaman hayati, burung dan nilai seni.

III. PENGELOLAAN LAHAN BASAH

3.1. Keperluan akan Pengelolaan

Pada umumnya pengelolaan lahan basah meliputi berbagai kegiatan yang dapat dilakukan dengan, pada dan sekitar lahan basah, baik alami maupun buatan, untuk melindungi, merestorasi, memanipulasi, atau menyediakan nilai dan fungsinya.

Banyak kegiatan manusia yang secara ekologis tidak berkelanjutan dan menyebabkan degradasi serta hilangnya lahan basah. Konvensi Ramsar telah mengembangkan panduan untuk pemanfaatan lahan basah secara bijaksana. Konsep pemanfaatan bijaksana tersebut, menunjukkan modifikasi pemanfaatan lahan basah oleh manusia sehingga memberikan keuntungan secara kontinyu kepada generasi sekarang sedangkan pada waktu yang sama sifat-sifat alami seperti jejaring makanan dan proses ekologis lainnya terpelihara untuk generasi yang akan datang.

Pada kenyataannya berbagai perlakuan dan aktivitas manusia banyak memberikan dampak negatif terhadap lingkungan lahan basah. Sebagai contoh: kegiatan reklamasi lahan (termasuk reklamasi lahan gambut di Kalimantan Tengah); eksploitasi yang berlebihan terhadap sumber daya; penggundulan hutan atau pembabatan vegetasi secara ilegal; introduksi spesies baru merupakan kegiatan yang banyak mengancam kelestarian lahan basah.

Sejumlah proyek pengembangan terutama di daerah pantai banyak dilakukan tanpa memerlukan pengkajian dampaknya dan secara nyata berdampak terhadap lahan basah pesisir. Industrialisasi dan resultante polusi juga mempunyai dampak negatif terhadap ekosistem lahan basah.

Ancaman serius yang berdampak terhadap lahan basah meliputi pertumbuhan ekonomi dan pola konsumsi yang tidak ramah lingkungan, penangkapan ikan yang destruktif, praktek akuakultur yang tidak benar, peningkatan pencemaran di laut, terbatasnya konservasi sumber daya, pengembangan kebijakan yang menjurus terhadap penggunaan sumber daya laut yang berlebihan, pengelolaan dan kurangnya konsensus regional dalam pengelolaan yang bertentangan dengan agenda nasional.

Pengembangan dan pertumbuhan ekonomi di suatu daerah dimana agenda nasional yang hanya difokuskan telah mempersulit daerah dalam memlindungi ekosistemnya. Pemerintah daerah sering pula melakukan kebijakan pengembangan ekonomi melalui eksploitasi sumber daya yang berlebihan, misalnya hanya ditujukan untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Kerjasama antar daerah dalam merumuskan pengembangan ekonominya akan banyak mengurangi potensi kerusakan lahan basah.

Penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan secara serius telah mengancam jenis-jenis ikan ekonimis penting. Berbagai jenis ikan demersal, udang penaid, dan jenis ikan komersial lainnya telah dieksploitasi melebihi daya dukungnya. Sebagai akibatnya peningkatan upaya tangkap tidak dapat diikuti dengan peningkatan hasil tangkapan dan sebagai akibatnya pendapatan nelayan tidak meningkat. Penangkapan ikan karang dengan menggunakan dinamit dan racun potasium sianida telah berdampak negatif terhadap kelestarian sumber daya ikan dan kerusakan terumbu karang.

Pengembangan akuakultur di daerah pesisir yang tidak bertanggung jawab dengan cara membabat hutan mangrove untuk dijadikan tambak udang telah mengancam kelestarian biodiversitas organisme di laut. Ancaman tersebut ditambah dengan meningkatnya polusi. Konversi lahan mangrove tersebut tidak saja mengurangi daerah habitat kritis tetapi juga kontaminasi terhadap "aquifers" dan tanah sekitar tambak dengan limbah tambak (Primavera, 1994).

Pencemaran yang timbul dari daerah aliran sungai sebagai akibat limbah domestik dan industri telah mengancam integritas ekosistem pesisir dan laut yang berdampak negatif terhadap diversitas ekologis. Daerah pesisir sangat rentan terhadap pencemaran ddimana 60% dari masyarakat hidup di daerah tersebut. Limbah industri dan domestik, sedimentasi dan pencemaran minyak merupakan ancaman serius terhadap kelestarian kehidupan pesisir dan laut. Penggundulan hutan menyebabkan peningkatan siltasi dan sebagai konsekwensinya mengancam terhadap degradasi ekosistem lahan basah pesisir.

Penetapan daerah konservasi dan pengelolaan sumber daya yang bertanggung jawab masih sangat terbatas. Sebagai contoh: daerah konservasi terumbu karang yang merupakan taman nasional laut masih sedikit sekali padahal dari luas terumbu karang Indonesia yang masih belum rusak hanya tinggal 6% saja. Begitu pula hutan mangrove yang tersisa dan dijadikan daerah konservasi hanya sebagian kecil saja. Akibat semua ini adalah meningkatnya kerusakan lahan basah pesisir.

3.2. Pertimbangan Biologis dan Lingkungan

Lahan basah pesisir kaya akan jenis flora dan fauna yang memiliki nilai dan fungsi yang penting. Kehidupan organisme tersebut dapat berjalan secara normal jika didukung oleh habitat yang memadai dan sesuai bagi kehidupannya.

3.3. Pertimbangan Teknis

Pengelolaan secara hati-hati berdasarkan penelitian dari berbagai aspek sangat diperlukan untuk mendukung keberhasilan pemanfaatan rawa. Teknologi pengelolaan lahan rawa meliputi : (1) pengelolaan air; (2) pengolahan tanah; (3) ameliorasi dan pemupukan ; (4) pola tanam ; (5) pemberantasan hama dan penyakit; (6) panen dan pasca panen.

3.3.1. Pengelolaan Air

Pengelolaan air yang tepat merupakan kunci keberhasilan pengelolaan lahan rawa. Dalam rancangan infrastruktur hidrologi, pengelolaan air dibedakan menjadi : (1) pengelolaan air makro yaitu penguasaan air pada tingkat kawasan reklamasi dan (2) pengelolaan air mikro, yaitu pengaturan air pada tingkat tersier dan petak petani. Dalam uraian berikutnya hanya akan dibicarakan pengelolaan air mikro.

Teknologi pengelolaan air dikembangkan sesuai dengan tipologi lahan dan tipe luapan air pasang. Pengelolaan air di tingkat tersier dengan sistem aliran satu arah dapat diterapkan dalam satu kelompok hamparan. Sistem ini memerlukan 2 saluran tersier, masing-masing saluran irigasi dan saluran drainase. Dengan sistem aliran satu arah, pencucian asam-asam maupun unsur-unsur yang meracuni tanaman dapat dipercepat. Sistem ini dapat diterapkan pada sawah pasang surut tipe luapan A dan B, karena suplai air dari air pasang cukup.

.3.2. Pengolahan tanah

Biasanya tanah mineral di lahan rawa itu lembek atau sudah melumpur di waktu lahan digenangi. Oleh karena itu petani biasanya hanya menggunakan tajuk atau melaksanakan pengolahan tanah minimum. Namun ada lahan yang telah lama dibuka biasanya tanahnya telah mengeras membentuk bongkah-bongkah. Keadaan demikian dijumpai pada lahan tipe luapan B, C dan D, sehingga pelumpuran diperlukan. Pelumpuran meningkatkan hasil serta tanaman tumbuh dan mencapai tingkat kematangan lebih seragam. Pelumpuran membuat petakan sawah mempunyai lapisan olah lebih serba sama dan membentuk lapisan kedap air lebih cepat. Air hujan lebih mungkin tergenang di petakan sawah walaupun termasuk tipe luapan C asalkan saluran tersiernya ditabat. Percobaan di Barambai 1 menunjukkan pengolahan tanah meningkatkan hasil.

.3.3. Ameliorasi dan Pemupukan

Adanya lapisan pirit terutama pada sawah rawa pasang surut, memungkinkan terjadinya pemasaman bila pirit mengalami oksidasi. Hal ini akan meningkatkan kemasaman tanah dan kelarutan unsur toksik seperti Fe dan Al dan mengurangi ketersediaan hara. Pada lahan gambut, asam-asam organik sangat melimpah yang menyebabkan tanah menjadi masam. Oleh karenanya diperlukan bahan ameliorasi untuk memperbaiki kondisi lahan.

Kapur adalah bahan yang umum dipakai untuk memperbaiki pH pada tanah masam. Pengapuran 5 ton/ha untuk tanaman palawija (kedelai, kacang tanah, kacang hijau jagung) nyata meningkatkan pertumbuhan dan hasil. Residu pengapuran masih nyata pada tahun ke lima. Bahan organik berupa pupuk kandang, kompos dan gambut juga dapat memperbaiki kondisi tanah sulfat masam (Widjaja Adhi et al, 1993). Tanah sulfat masam yang disawahkan memerlukan dosis kapur yang lebih rendah yaitu berkisar 0,5 ton - 1,5 ton kapur/ha. Kapur pada lahan yang disawahkan diperlukan bila setelah penggenangan pH tanah masih dibawah 4,5.

.3.4. Perbaikan Varietas dan Pola Tanam Padi

Petani di lahan rawa di Kalimantan maupun Sumatera umumnya menanam varietas padi lokal seperti Siam, Ketek, Lembu dan sebagainya karena toleran terhadap kondisi lahan dan tidak banyak memerlukan saprodi dan pemeliharaan. Hal ini sesuai untuk usahatani ekstensif. Umur tanaman bisa mencapai 7 - 8 bulan, sehingga praktis hanya bisa tanam 1 kali setahun.

Adopsi varietas unggul baru oleh seringkali mengalami hambatan. Disamping karena masalah permodalan, ketersediaan tenaga kerja pada saat diperlukan sangat terbatas. Untuk mengganti kebiasaan petani ini tidak bisa dilakukan sekaligus, tapi harus bertahap. Widjaja Adhi (1986) mengusulkan jalan tengah yaitu budidaya "sekali mawiwit dua kali panen" atau " sawit dupa". Teknologi budidaya ini dilakukan dengan mengalokasikan 70-80% dari lahan untuk padi varietas unggul, sedangkan sisa 20-30% untuk persiapan bibit padi lokal (lacakan). Semai benih sama-sama dilakukan pada bulan Oktober dan tanam padi var. unggul bulan Nopember. Setelah panen padi unggul pada bulan Februari atau Maret, langsung dilanjutkan dengan tanam padi lokal. Padi lokal baru dipanen pada bulan Juli – Agustus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil panen padi var. unggul dan var. lokal hampir sama (Dent. and Van Mensvoort, 1992)

.3.5. Pengendalian Hama dan Penyakit

Faktor penting diluar teknis produksi untuk meningkatkan produktivitas sawah di lahan rawa adalah pengendalian hama dan penyakit. Kondisi lahan rawa yang panas dan lembab sangat cocok bagi perkembangan hama dan penyakit tanaman. Hama-hama penting di sawah rawa adalah tikus, wereng coklat dan penggerek batang untuk padi dan penggerek polong untuk kedelai. Sedangkan penyakit yang dominan adalah blast, bercak daun dan hawar pelepah (Suwalan et al, 1990). Hama dan penyakit ini mampu mengagalkan panen sampai 100%. Karenanya pengendalian hama dan penyakit untuk menjaga produktivitas sangat diperlukan.

.3.6. Mekanisasi

Pemilikan lahan tiap keluarga petani di lahan rawa umumnya lebih tinggi dibanding sawah irigasi. Sedangkan kemampuan maksimal pengusahaan lahan oleh tenaga kerja keluarga tidak lebih dari 0,3 ha (Komarudin dan Imtias Basa, 1990). Pada saat-saat kebutuhan tenaga kerja relatif besar seperti pengolahan tanah dan panen, ketersediaan tenaga kerja menjadi langka dan mahal. Karena pemilikan lahan cukup luas, maka petani biasanya menerapkan sistem tebas tanam (zero tillage), sehingga produktivitas lahan menjadi rendah. Untuk mengatasi masalah ini maka mekanisasi menjadi penting. Hasil penelitian menunjukkan penggunaan ternak kerja dan traktor tangan berikut alat-alat pertanian yang sesuai dapat mengatasi masalah tersebut (Eko Ananto dan Trip A., 1992). Disamping meningkatkan produktivitas, alat dan mesin pertanian juga mampu meningkatkan luas garapan.

 

3.4. Pertimbangan Sosial dan Ekonomi

Pertimbangan sosial ekonomi akan mempengaruhi perencanaan dan pelaksanaan pengelolaan lahan basah pesisir. Aspek-aspek sosial yang perlu diperhatikan meliputi kepadatan penduduk, distribusi, mata pencaharian, struktur lapangan kerja, dan sistem pengelolaan sumber daya tradisional.

Lahan basah pesisir, umumnya merupakan lahan pemukiman penduduk yang pada beberapa daerah memiliki kepadatan yang cukup tinggi. Pada wilayah dengan kepadatan pendduduk yang tinggi, penerapan pengelolaan akan jauh lebih kompleks dibandingkan dengan wilayah yang penduduknya masih jarang. Hal ini disebabkan oleh beragamnnya kepentingan dan aktivitas yang pada hakekatnya akan banyak mempengaruhi atau bahkan mengancam kelestarian lahan basah pesisir. Oleh karena itu, untuk menetapkan rencana dan melaksanakan pengelolaannya harus dihadapkan kepada berbagai pilihan dengan skala prioritas tertentu sehingga pengelolaan yang dilaksanakan dapat mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya dan sebaliknya meminimalkan dampak negatifnya.

3.5. Konsep dan Fungsi Kelembagaan Pengelolaan

Kelembagaan pengelolaan merupakanb salah satu unsur penting dalam baik buruknya pelaksanaan pengelolaan, karena walaubagaimanapun baik dan benarnya rencana pengelolaan apabila lembaga pengelola sebagai pelaksana pengelolaan tidak berfungsi dengan baik maka tujuan dan sasaran pengelolaan yang ditetapkan tidak akan berhasil. Kelembagaan pengelolaan tersebut perlu ditetapkan dengan melibatkan seluruh stakeholders (pemanfaat), sehingga setiap pemanfaat terwakili dan merupakan unsur-unsur kelembagaan yang akan menetapkan rencana, cara dan mekanisme serta kewenangan (otoritas) pengelolaan lahan basah pesisir. Dalam pengelolaan tersebut perlu pula ditetapkan aturan dan pengaturan pengelolaannya yang semuanya ditujukan bagi tercapainya sasaran dan tujuan pengelolaan.

3.6. Langkah dan Pendekatan Pengelolaan

Berbagai langkah dalam pengelolaan lahan basah pesisir dapat dilakukan yang harus disesuaikan dengan tujuan dan sasaran yang dipilih. Paradigma baru dalam pengelolaan sumber daya yang akhir-akhir ini dikembangkan aadalah melalui pendekatan dengan melibatkan masyarakat setempat atau terkenal dengan istilah pengelolaan yang didasarkan kepada masyarakat (community based management). Dalam hal ini pihak pemerintah berperan sebagai fasilitator dan penentu pengaturan (regulator) sedangkan masyarakat terlibat langsung dan berpartisipasi aktif dalam pelaksanaan pengelolaan. Dengan demikian, tujuan dan sasaran yang dicapai akan secara langsung dirasakan oleh masyarakat demikian pula sebaliknya kegagalan dalam pengelolaan.

Oleh karena umumnya masyarakat Indonesia belum banyak yang memahami dan mengerti akan pentingnya pengelolaan sumber daya secara lestari, maka penanaman pengertian dan bimbingan dari Pemerintah ataupun LSM perlu dilakukan. Dalam hal ini, kearifan tradisional dalam pengelolaan sumber daya yang muncul dari adat dan budaya masyarakat setempat perlu terus digali dan disesuaikan sehingga lebih efektif dalam pelaksanaan pengelolaannya. Sebagai contoh: pengelolaan tradisional adat "sasi" di Maluku.

3.7. Proses Pengelolaan

Proses pengelolaan lahan basah pesisir paada umumnya diawali dengan pertanyaan bagaimana lahan basah pesisir diperlakukan secara baik dan benar; apa luaran yang akan terjadi; keuntungan yang akan diperoleh dan daya tarik bagi stakeholders (pemanfaat); siapa yang berpartisipasi dalam proses dan bagaimana; apa yang akan terjadi jika proses pengelolaan dilaksanakan dan menjadi daya tarik pemanfaat; bagaimana koordinasi diantara pemanfaat yang meliputi identifikasi yang akan menjadi pelaku dan mekanismenya untuk mencapai target bersama; pengambilan keputusan; isu-isu kelembagaan mengenai bagaimana mengelola lahan basah pesisir seefektif mungkin seperti pengelolaan sumber daya lainnya; dan tindakan pemantauan, pengendalian dan pembinaan (MCS).

IV. ANALISIS SWOT UNTUK COASTAL WETLAND

Untuk mengembangkan dan meningkatkan fungsi coastal wetland paerlu dilakukan pertimbangan faktor eksternal dan faktor internal yang mempengaruhi suatu kebijakan atau keputuasan yang akn diambil. Analisis SWOT (strengt, weakness, opportunity dan threats) menrupakan analisis yang tepat dimaan analisi ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan masing-masing fungsi baik faktor eksternal maupun faktor internal. ProseS pengambilan keputusan strategis selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan, strategi dan keputusan.

Untuk membuat suatu analisis SWOT, pertama harus mengidentifikasi faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan faktor eksternal (peluang dan ancaman). Masing-masing faktor tersebut dibandingkan. Kalau bisa dibuat skala, bila ada hasil penelitian atau pedoman untuk memberi bobot masing-masing parameter dari masing-masing faktor. Khusus untuk coastal wetland, belum ada dasar untuk memberikan bobot atau bilangan kuantifikasinya dan biasanya untuk menganalisis faktor fisik biasanya dilakukan dengan limiting faktor (faktor pembatas) kecuali bila ada improvement (perbaikan) yang dapat mengeliminasikan faktor pembatas tersebut. Dan dalam hubungan dengan Coastal Wetland terdapat faktor peraturan perundangan dan keterikatan dengan perjanjian internasional seperti "Ramsar, kyoto protocol, dan sebagainya.

MATRIK ANALISIS SWOT UNTUK PENGEMBANGAN COASTAL WETLAND

 

1). Coastal Wetland

Kekuatan (S)

Kelemahan (W)

  1. Terdapat cukup luas dimana Indonesia merupakan negara kepulauan

  2. Air cukup tersedia

  3. Topografi relatif datar

  4. Biasanya dekat dengan pelabuhan

  5. Biodiversity dan habitat yang unit

  6. Kesesuaian lahan yang baik untuk tambak

  1. Salinitas tinggi

  2. Tanahnya sebagian mentah (n > 0,7)

  3. Adanya potensi sulfat masam

  4. Sering tergenang (banjir)

  5. Muka air tanah tinggi

  6. Sulit mencari fresh water , intrusi air laut

  7. Kurangnya teknologi

  8. Besarnya investasi pembangunan infrastruktur

Peluang (O)

SO-Strategi

WO-Strategi

  1. Besarnya minat investor di Coastal Wetland (perikanan, pemukiman, turism)

  2. Baiknya pasar produk Coastal wetland (udang/ikan/arang/kayu/satwa)

  3. Kebutuhan akan pangan yang cukup tinggi

  4. Baik untuk kawasan konservasi (terutama Carbon Trade)

  1. Membuat kota pantai yang indah dan ramah lingkungan

  2. Mengembangkan tambak udang / ikan

  3. Mengembangkan tanaman pertanian / tanaman kehutanan

  4. Mengembangkan kawasan konservasi / kawasan wisata pantai

  1. Mengatur tata air / drainase

  2. Menggunakan tanaman yang toleran salinitas tinggi

  3. Membuat penimbunan dan membangun sarana infrastruktur (fresh water, jalan dsb)

  4. Meningkatkan SDM masyarakat disekitar coastal wetland

Tantangan (T)

ST-Strategi

WT-Strategi

  1. Isu global tentang eco-labelling

  2. Isu global tentang perubahan iklim/emisi gas rumah kaca

  3. Kebutuhan lahan pangan meningkat

  4. Kebutuhan lahan pemukiman meningkat

  5. Keterikatan dengan perjanjian atau konvensi Internasional

  1. Membuat zonasi peruntukan coastal wetland yang terintegrasi menurut spesifik lokasi

  2. Memberdayakan pemerintah setempat (Tk I, TkII), pusat dalam pengembangan dan pengelolaancoastal wetland

  3. Mengembangkan koordinasi pengelolaan SDA berbasis masyarakat

  1. Mengkaji dan Menerapkan teknologi yang ramah lingkungan

  2. Membuat kriteria dasar tersendiri untuk keadaan spesifik setempat (baku mutu)

  3. Memberikan penyuluhan tentang pentinganlingkungan

  4. Melakukan monitoring dan evaluasi (MONEV)

 

V. PENUTUP

5.1. Kesimpulan

Wetland merupakan lahan yang memiliki prospek ke depan untuk pengembangan pertanian, pemukiman, perikanan, dan kawasan konservasi, namun dalam pengembangannya perlu mempertimbangkan kelestarian lingkungan. Dimana wetland memeilki banyak kelemahan antar lain Salinitas tinggi, Tanahnya sebagian mentah (n > 0,7), Adanya potensi sulfat masam, Sering tergenang (banjir), Muka air tanah tinggi, Sulit mencari fresh water, intrusi air laut, Kurangnya teknologi, Besarnya investasi pembangunan infrastruktur

Wetland didedinisikan sebagai suatu lahan yang dicirikan oleh adanya air (permukaan atau zona perakaran), memiliki tanah yang unuik (hydric soil), dan terdapatnya tau mampu mendukung vegetasi yang mampu beradaptasi dengan wetland (tergenang atau an-areobik)..

Wetland secara umum memiliki fungsi sebagai hydraolic flux dan storage, biological produktivity, biochemical cycling dan storage, dekomposisi dan habitat komunitas wuildlife serta sebagai pengatur rantai makanan. Wetland diklasifikasikan menjadi coastal wetland (marine dan estuary) dan inland wetland (riverine, lacustrine dan palustrine).

Beberapa usaha pengelolaan wetland yang telah dilakukan adalah dengan menerapkan Teknologi pengelolaan lahan rawa meliputi : (1) pengelolaan air; (2) pengolahan tanah; (3) ameliorasi dan pemupukan ; (4) pola tanam ; (5) pemberantasan hama dan penyakit; (6) panen dan pasca panen serta memfungsikan sistem kelembagaan yang ada dan melakukan monitoring dan evaluasi.

  1. 5.2. Saran

Untuk tidak mewariskan beban dan dosa kepada anak cucu generasi mendatang sebaiknya pengelolaan wetland harus sudah dimulai dari sekatang tanpa melihat kepentingan pribadi atau kelompok baik ilmuan, pengambil kebijakan dan masyarakat. Untuk itu perlu dilakukan Membuat zonasi peruntukan coastal wetland yang terintegrasi menurut spesifik lokasi, Memberdayakan pemerintah setempat (Tk I, TkII), pusat dalam pengembangan dan pengelolaan coastal wetland, Mengembangkan koordinasi pengelolaan SDA berbasis masyarakat dan melakukan pengkajian dan penerapan teknologi yang ramah lingkungan, Membuat kriteria dasar tersendiri untuk keadaan spesifik setempat (baku mutu), Memberikan penyuluhan tentang pentingnya lingkungan

 

DAFTAR PUSTAKA

                    Brown dan E. Reade, 1985. Management of wildlife and fish habitat in forests of western Origon and                         Washington. USDA Forest Services Pacific Northwest Region. Internet, 23-12-2001.

Dept. of Natural Resources Environmental Protection Division , 2000. Wetland Monitoring. Georgia Environmental Protection Division. Geogia. Internet 23-12-2001.

Eko Ananto  dan Trip Alihamsyah, 1992. Pengembangan alat dan mesin pertanian di  dalam usahatani lahan pasang surut. Paper Seminar Nasional  Pengembangan  Pertanian  Lahan Pasang Surut dan Rawa. Cisarua, 3  -  4  Maret 1992.

Fisher, F.M., R.L. Sass and P.A. Harcombe, 1990. Methane production and emission in coastal ricefield of Texas. http://www.ciesin.org/. Internet; 16/05/01.

Furukawa, H., 1994. Coastal wetland of Indonesia : Environmental, Subsistence and exploitation. Kyoto University Press. Japan.

Komaruddin dan I. Basa, 1990. Prospek alat dan mesin pertanian dalam pengelolaan  lahan pasang surut. Prosiding Seminar Penelitian  Lahan  Pasang Surut dan Rawa Swamps II.

Dent D.L. and M.E.F. Van Mensvoort, 1992. Selected Papers of The Ho Chi Minh City Simposium on Acid Sulphate Soils. LAWOO. Ho Chi Minh City.

Maltby E., and R.E.Turner, 1983. Wetland of the world. Geog. Magazine. 55:12-17.

Manahan, S.E., 1994. Environmental Chemistry. Sixth edition. Lewis Publisher. London, Tokyo, Boca Raton, Florida. USA.

Melloul J.A., and M.L. Collin, 2000. Sustainable ground water management of the stressed coastal aquifer in the Gaza region. Hydrological Science Journal. 45:147-159.

Mitsch W.J., dan J.G. Gosselink, 1993. Wetlands. Second Edition. International Thompson Publishing, Inc. USA.

MWCP (Minnesota Wetlands Conservation Plan), 1997. Work Team Recommendations. State of Minnesota. Minnesota Departement of Natural Resources. St. Paul, Minnesota. Internet 23-12-2001.

National Research Council, 1992. Restoration of Aquatic Ecosystem. National Academy Press, Washington.

Neue, H-U., 1993. Methane Emission From Rice Fiels. Wetland rice fields may make a major contribution to global warming. http://www.ciesin.org/. Internet, 16/05/01

Primavera, H.J. 1994. Environmental and Socio-economic Effects of Shrimp Farming: The Philippine Experience. INFOFISH International 1/94.

Purseglove J. J., 1989. Taming the Flood. Oxpord University Press. Oxpord.

Ramsar Convention Bureau. 1999. The Ramsar Convention definition of "wetland" and classification system for wetland type. Key Documents of the Ramsar Convention Classification System for Wetland Type. http://www.key_ris_typeswetland.html/. 16 maret 2002

Ramsar, 1971. Convention on Wetlands of International Importance, especially as waterfowl habitat. Ramsar. Iran.

Seiler, W.A.A, H.Pschom, R.Conrad, and D. Scharffe, 1984. Methane Emission from Rice paddies. J. Atmospgeric Chemistry 1:214-268.

Smith , H.K., R.D. Delaune, and W.H. Pattrick, 1982. Carbon and Nitrogen cycling in a Spartina alterniflora salt marsh. John Wiley and Son, Ltd. Aquatic conserv : Mar. Freshw. Ecosyst. 97-104.

Spencer, C., A.I. Robertson, and A. Curtis, 1998. Development and testing of a rapid appraisal wetland condition index in south-eastern Australia. Academic Press. Journal of Environmental Management 54:143-159.

Suwalan  S.,  Zakiah,  Mukelar , A. Rochman dan J. Sujitno,  1992.  Hama  dan penyakit tanaman dalam sistem usahatani lahan pasang surut serta  usaha-usaha  pengendaliannya.  Paper Seminar Nasional  Pengembangan  Pertanian Lahan Pasang Surut dan Rawa. Cisarua, 3 - 4 Maret 1992.

Timmerman, P., and R. White, 1997. Megahydropolis : Coastal cities in context of global environmental change. Pergamon. Elsevier, Great Britain.Global Environmental Change, Vol 7 no.3 : 205-235.

Titus, J.G., 1991. Greenhouse effect and sea level rise : the coast of holding back the sea. Coastal management 19:171-204.

Water Resouces Management Workshop’s, 1998. Coastal Wetland Inventory and Rapid Assessment. Water Resources ManagementWisconsisi. (Internet, 23-12-2001)

WIAP-IP (Wetlands International Asia Pacific-Indonesia Programme). 2001. The wetlands database in Indonesia. http://www.wetlands.or.id/wdb/wdb.htm. 16 Maret 2002.

Widjaja Adhi, IPG., 1986. Lahan pasang surut dan pengelolaannya. Suatu kajian Proyek Swamps I di Karang Agung Ulu Sumatera Selatan. Risalah lokakarya pola usahatani tanaman ternak dan pasang surut. Badan Litbang Pertanian.

Widjaja-Adhi, I P.G., Subiksa, Sutjipto Ph., B. Radjagukguk. 1990. Pengelolaan tanah  dan  air lahan pasang surut; studi kasus Karang  Agung,  Sumatera Selatan.  pp. 121-131. Dalam: Mahyuddin Syam et al. (Eds.). Usahatani  di Lahan Pasang Surut dan Rawa Swamps II. Bogor, 19-21 September 1989. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.