© 2002 Nurul Huda                                                                                 Posted:  11 June, 2002
Tugas Mata Kuliah Falsafah Sains (PPs 702)
Program Pasca Sarjana (S3)
Institut Pertanian Bogor
Juni 2002

Dosen : Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng (Penanggung jawab)

 

 

 

PENYULUHAN PEMBANGUNAN SEBAGAI SEBUAH ILMU

(Kajian Filsafat Ilmu)

 

 

 

Oleh :

 

 

Nurul Huda

PPN/ P 016010011

E-mail: nurnda@yahoo.com

 

 

 

Pendahuluan

 

Pembangunan, apapun kegiatan yang dilaksanakan, pada hakekatnya bertujuan untuk selalu  terus menerus memperbaiki mutu hidup atau kesejahteraan manusia, orang per orang maupun bagi seluruh warga masyarakatnya. Menurut Slamet (1994), tercapainya tujuan pembangunan nasional harus didukung oleh kesiapan mental dan intelektual serta kiprah seluruh anggota masyarakat untuk berpartisipasi aktif secara berkualitas dalam berbagai bidang pembangunan nasional. Kualitas partisipasi masyarakat, diantaranya diwujudkan melalui kegiatan penyuluhan pembangunan. 

 

Penyuluhan pembangunan merupakan pengetahuan tentang bagaimana pola perilaku manusia terbentuk, bagaimana perilaku manusia dapat berubah atau diubah sehingga mau meninggalkan kebiasaan yang lama dan menggantinya dengan perilaku baru yang berakibat pada kualitas kehidupan yang lebih baik.  Dari uraian tersebut, dapat dikatakan bahwa penyuluhan pembangunan merupakan suatu bentuk pengetahuan tentang perilaku manusia.  Bila ditinjau dari segi filsafat ilmu, apakah penyuluhan pembangunan dapat disebut sebagai suatu ilmu ? Untuk menjawab pertanyaan tersebut,  tentunya perlu diperhatikan ciri-ciri keilmuan dari penyuluhan pembangunan itu sendiri.

 

Pada hakekatnya, upaya manusia dalam memperoleh pengetahuan didasarkan pada tiga masalah pokok yang merupakan ciri-ciri keilmuan yaitu : apa  yang ingin diketahui ? bagaimana cara memperoleh pengetahuan ? apakah nilai pengetahuan tersebut bagi kita ?.  Pertanyaan-pertanyaan tersebut kelihatannya sederhana namun mencakup permasalahan yang sangat mendasar.  Berbagai buah pemikiran yang besar sebenarnya merupakan serangkaian jawaban yang diberikan atas ketiga pertanyaan tersebut.

 

Dalam konteks penyuluhan, keberadaannya sebagai sebuah ilmu juga ditentukan oleh ketiga macam pertanyaan tentang hakekat ilmu tersebut yaitu : apa yang dikaji oleh penyuluhan pembangunan ? bagaimana cara atau metode ilmiah dalam pelaksanaan penyuluhan pembangunan ? apa manfaat atau nilai dari penyuluhan pembangunan ?. 

 

Berkaitan dengan permasalahan tersebut, tulisan ini bertujuan untuk mengkaji apakah penyuluhan pembangunan merupakan suatu bentuk ilmu pengetahuan ditinjau dari ciri-ciri keilmuan tersebut sesuai dengan  sudut pandang filsafat ilmu. 

 

Hakikat Ilmu

 

Istilah falsafah mengandung banyak pengertian, namun dalam tulisan ini, falsafah diartikan sebagai suatu cara berpikir yang radikal dan menyeluruh, serta suatu cara berpikir yang mengupas sesuatu sedalam-dalamnya. Lalu apakah hubungan falsafah dengan ilmu ?.  Seperti diketahui, ilmu merupakan kumpulan pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakan ilmu dengan pengetahuan-pengetahuan lainnya. Ilmu merupakan pengetahuan yang didapat melalui proses tertentu yang dinamakan metode keilmuan yaitu gabungan antara berpikir secara rasional dan empiris (Suriasumantri, 1984b).

 

Hal senada diungkapkan oleh Adisusilo (1983) yang menyatakan bahwa Ilmu pengetahuan atau science adalah suatu proses untuk menemukan kebenaran pengetahuan. Karena itu, ilmu pengetahuan harus mempunyai sifat ilmiah, yaitu pengetahuan yang diperoleh secara metodis, sistematis, dan logis. Metodis maksudnya adalah bahwa pengetahuan itu diperoleh dengan cara kerja yang terperinci, baik yang bersifat induktif maupun deduktif, sesuai dengan tahapan-tahapan metode ilmu, misalnya dimulai dengan observasi, perumusan masalah, mengumpulkan dan mengklasifikasi fakta, membuat generalisasi, merumuskan hipotesis, dan membuat verifikasi.

 

Sementara itu, Gie (1984) menyatakan bahwa pemahaman terhadap konsepsi ilmu yang sistematik dan lengkap hendaknya mencakup segi-segi denotasi (cakupan), konotasi (ciri penentu), dan dimensi (keluasan).  Ketiga segi tersebut perlu dibedakan secara tegas dan tidak dicampuradukkan dalam pembahasan tentang ilmu. 

 

Menurut Suriasumantri (1984a) ciri-ciri keilmuan didasarkan pada jawaban yang diberikan ilmu terhadap tiga pertanyaan pokok yang mencakup apa yang ingin kita ketahui (ontologis), bagaimana cara mendapatkan pengetahuan tersebut (epistemologi), dan apa nilai kegunaannya bagi kita (axiologi). Dalam hal ini, falsafah mempelajari masalah ini sedalam-dalamnya dan hasil pengkajiannya merupakan dasar dari eksistensi atau keberadaan ilmu.

 

Ontologi membahas tentang apa yang kita ketahui dan seberapa jauh kita ingin tahu.  Kemudian, bagaimana cara kita mendapatkan pengetahuan mengenai obyek tersebut ? Untuk menjawab pertanyaan ini kita berpaling kepada epistemologi, yakni teori pengetahuan (Suriasumantri,1984a). Menurut Pranarka (1987), orang perlu mencari dan mempertanyakan dasar-dasar dari ilmu itu, terutama menunjukkan legitimasi epistemologinya. Selanjutnya, jawaban untuk pertanyaan ketiga tentang nilai kegunaan pengetahuan,  berkaitan dengan axiologi  yakni teori tentang nilai.  Setiap bentuk buah pemikiran manusia dapat dikembalikan pada dasar-dasar ontologi, epistemologi, dan axiologi  dari pemikiran yang bersangkutan. 

 

Secara lebih rinci, Suriasumantri (1984b dan 1984c) menyatakan  bahwa tiap-tiap pengetahuan mempunyai tiga komponen yang merupakan tiang penyangga tubuh pengetahuan yang disusunnya.  Komponen tersebut adalah ontologi, epistemologi, dan axiologi.  Ontologi  merupakan asas dalam menetapkan batas/ruang lingkup ujud yang menjadi objek penelaahan (objek formal dari pengetahuan) serta penafsiran tentang hakikat realitas (metafisika) dari objek formal tersebut.  Epistemologi merupakan asas mengenai cara bagaimana materi pengetahuan diperoleh dan disusun menjadi suatu tubuh pengetahuan.  Sedangkan aksiologi merupakan asas dalam menggunakan pengetahuan yang telah diperoleh dan disusun dalam tubuh pengetahuan tersebut.

 

Hakikat Penyuluhan

 

Istilah penyuluhan digunakan dalam bahasa yang berbeda di beberapa negara.  Menurut Van den Ban (1999), dalam bahasa Belanda digunakan istilah Voorlichting yang berarti penerangan.  Malaysia yang dipengaruhi oleh bahasa Inggris menggunakan kata Perkembangan. Bahasa Inggris dan Jerman masing-masing menggunakan istilah pemberian saran atau Baratung yang berarti memberikan petunjuk tetapi pilihan tetap ditentukan oleh yang bersangkutan. Jerman menggunakan istilah Aufklarung yang berarti pencerahan. Dalam bahasa Austria digunakan istilah Forderung yang berarti menggiring seseorang kearah yang diinginkan sedangkan bahasa Perancis menggunakan istilah Vulgarization yang menekankan pentingnya penyederhanaan pesan bagi orang awam.  Spanyol menggunakan istilah Capacitacion yang dapat diartikan sebagai pelatihan.

Dilain pihak, menurut Slamet (1994), istilah penyuluhan pada awal kegiatannya disebut dan dikenal sebagai Agricultural Extension.  Dengan pengembangan penggunaannya di bidang-bidang lain, maka sebutannya berubah menjadi Extension Education dan Develoment Communication.  Meskipun antara ketiga istilah tersebut terdapat perbedaan, namun pada dasarnya mengacu pada disiplin ilmu yang sama.

 

Dalam bahasa Indonesia, istilah penyuluhan berasal dari kata dasar "suluh" yang berarti pemberi terang di tengah kegelapan.  Dengan demikian, penyuluhan dapat diartikan sebagai proses untuk memberikan penerangan kepada masyarakat tentang segala sesuatu yang "belum diketahui (dengan jelas)". Namun, penerangan yang dilakukan tidaklah sekedar "memberi penerangan", tetapi penerangan yang dilakukan harus terus menerus dilakukan sampai segala sesuatu yang diterangkan benar-benar dipahami, dihayati, dan dilaksanakan oleh masyarakat (Mardikanto, 1993).

 

Sebagai suatu kegiatan, penyuluhan pembangunan sudah lama dilaksanakan dan dirasakan kebutuhannya untuk menunjang pembangunan di banyak negara.

Menurut Mardikanto (1992), kehadiran penyuluhan pertanian di Indonesia sebagai bidang kegiatan, sebenarnya sudah berlangsung hampir dua abad yang lalu, yakni sejak didirikannya Kebun Raya Bogor oleh Reinwardt pada tahun 1817. Menurut catatan sejarah, di Scotlandia, pengembangan ilmu penyuluhan pertanian sudah dirintis sejak tahun 1723. Akan tetapi kehadirannya sebagai cabang keilmuan sebenarnya belum lama. Sejak saat itu, konsep tentang penyuluhan dan penyuluhan pertanian terus mengalami perkembangan.

 

Sejak pemerintahan orde baru, kegiatan penyuluhan yang semula hanya dikenal di kalangan orang-orang pertanian, semakin dikembangkan untuk beragam sektor kegiatan, sehingga kemudian muncullah penyuluhan agama, penyuluhan koperasi, penyuluhan transmigrasi, penyuluhan keluarga berencana, penyuluhan industri kecil, penyuluhan hukum, penyuluhan perpajakan, dll. Menurut Slamet (1994), keragaman sektor penyuluhan tersebut mendasari munculnya penyuluhan pembangunan yang merupakan pengembangan dari penyuluhan pertanian.

 

Menurut Sapoetro (Mardikanto, 1992) kunci pentingnya penyuluhan di dalam proses pembangunan didasari oleh kenyataan bahwa pelaksana utama pembangunan adalah masyarakat kecil yang umumnya termasuk golongan ekonomi lemah, baik lemah dalam permodalan, pengetahuan, dan keterampilannya, maupun lemah dalam hal peralatan dan teknologi yang diterapkan.  Disamping itu, mereka juga seringkali lemah dalam hal semangatnya untuk maju dalam mencapai kehidupan yang lebih baik. 

 

Kenyataan juga menunjukkan bahwa praktek penyuluhan yang bertujuan untuk menawarkan atau "memasarkan" inovasi sampai dengan inovasi tersebut diadopsi oleh masyarakat, bukanlah pekerjaan yang gampang.  Di dalam praktek, kegiatan penyuluhan selalu menuntut kerja keras, kesabaran, memakan banyak waktu, dan sangat melelahkan.  Sehingga pengembangan ilmu penyuluhan pembangunan kian menjadi kebutuhan banyak pihak.

 

Pentingnya penyuluhan pembangunan juga diawali oleh kesadaran akan adanya kebutuhan manusia untuk mengembangkan dirinya agar lebih mampu meningkatkan kesejahteraan hidupnya.  Karena itu, menurut Mardikanto (1992) kegiatan penyuluhan pembangunan terus menerus dikembangkan dalam rangka menggerakkan kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan agar mereka memiliki kemampuan menolong dirinya sendiri untuk mencapai tujuan perbaikan mutu hidup dan kesejahteraan yang dicita-citakan.

 

Pada masa lalu, penyuluhan dipandang sebagai alih teknologi dari peneliti ke petani. Kini peranan penyuluhan lebih dipandang sebagai proses menbantu petani untuk mengambil keputusan sendiri dengan cara menambah pilihan bagi mereka dan menolong mereka mengembangkan wawasan mengenai konsekuensi masing-masing pilihan itu. Dengan demikian, tujuan terpenting program penyuluhan adalah untuk mengubah perilaku petani (Van den Ban, 1999).

 

Menurut Slamet dalam Mardikanto (1993), tujuan yang sebenarnya dari penyuluhan adalah terjadinya perubahan perilaku sasaran nya.  Hal ini merupakan perwujudan dari : pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang dapat diamati secara langsung maupun tidak langsung dengan indera manusia. Dengan demikian, penyuluhan dapat diartikan sebagai proses perubahan perilaku (pengetahuan, sikap, dan keterampilan) di kalangan masyarakat agar mereka tahu, mau, mampu melaksanakan perubahan-perubahan demi tercapainya peningkatan produksi, pendapatan/keuntungan dan perbaikan kesejahteraan keluarga/masyarakat yang ingin dicapai melalui pembangunan pertanian. Dengan kata lain, Slamet (1994) mendefinisikan penyuluhan sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana pola perilaku manusia terbentuk, bagaimana perilaku manusia dapat berubah atau diubah sehingga mau meninggalkan kebiasaan yang lama dan menggantinya dengan perilaku baru yang berakibat pada kualitas kehidupan yang lebih baik. 

 

Hal yang sama juga didefinisikan oleh Wiriaatmadja (1973) yang menyatakan bahwa penyuluhan merupakan sistim pendidikan di luar sekolah, dimana mereka belajar sambil berbuat untuk menjadi tahu, mau, dan mampu/bisa menyelesaikan sendiri masalah yang dihadapi secara baik, menguntungkan dan memuaskan. Jadi penyuluhan adalah suatu bentuk pendidikan yang cara, bahan, dan sarananya disesuaikan dengan keadaan, kebutuhan, dan kepentingan sararan.  Karena sifatnya yang demikian maka penyuluhan biasa juga disebut pendidikan non formal. 

 

Melalui penyuluhan juga harus diupayakan tidak terciptanya "ketergantungan" masyarakat kepada penyuluhnya. Penyuluh hanya sekadar sebagai fasilitator dan dinamisator untuk memperlancar proses pembangunan yang direncanakan.  Dengan kata lain, melalui penyuluhan, ingin dicapai suatu masyarakat yang memiliki pengetahuan luas tentang berbagai ilmu dan teknologi, memiliki sikap yang progresif untuk melakukan perubahan dan inovatif terhadap sesuatu (informasi) yang baru, serta terampil dan mampu berswadaya untuk mewujudkan keinginan dan harapan-harapannya demi tercapainya perbaikan kesejahteraan keluarga/masyarakatnya.

 

Pernyataan tentang tujuan penyuluhan tersebut  sesuai dengan falsafah penyuluhan yang dianut yaitu harus berpijak pada pentingnya pengembangan individu (Kelsey dan Herane dalam Mardikanto, 1993). Masyarakat harus dilihat sebagai manusia biasa yang memiliki potensi untuk mengembangkan kemampuannya dan memiliki keinginan dan harapan untuk terlepas dari keadaan yang tidak mereka kehendaki.  Karena itu, pelaksanaan penyuluhan harus mampu tidak saja mengembangkan potensi masyarakat tetapi juga harus mau memberikan peluang kepada kekuatannya sendiri untuk mengembangkan potensinya supaya terlepas dari kemiskinan dan kebodohan.

 

Karena itu, Kelsey dan Herane  (Mardikanto, 1993) mengemukakan bahwa falsafah penyuluhan adalah bekerja bersama masyarakat untuk membantunya agar mereka dapat meningkatkan harkatnya sebagai manusia. Dari pendapat tersebut, terkandung pengertian bahwa :

(1)     Penyuluh harus bekerjasama dengan masyarakat, dan bukannya berkerja untuk masyarakat.  Kehadiran penyuluh bukan sebagai penentu atau pemaksa, tetapi ia harus mampu menciptakan suasana dialogis dengan amsyarakat dan mampu menumbuhkan, menggerakkan, serta memelihara partisipasi masyarakat.

(2)     Penyuluhan tidak menciptakan ketergantungan, tetapi harus mampu mendorong semakin terciptanya kreativitas dan kemandirian masyarakat agar semakin memiliki kemampuan untuk berswakarsa, swadaya, swadana, dan swakelola bagi terselenggaranya kegiatan-kegiatan guna tercapainya tujuan, harapan, dan keinginan-keinginan masyarakat sasarannya.

(3)     Penyuluhan yang dilaksanakan harus selalu mengacu kepada terwujudnya kesejahteraan ekonomi masyarakat dan peningkatan harkatnya sebagai manusia.

 

Dari paparan tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa penyuluhan adalah proses pendidikan yang bertujuan untuk mengubah kesadaran dan perilaku (pengetahuan, sikap, dan keterampilan) manusia ke arah yang lebih baik sehingga mereka menjadi berdaya dan dapat mencapai kehidupan yang lebih baik dan sejahtera. Jadi, disinilah nilai penting penyuluhan sebagai suatu pengetahuan yang dapat dimanfaatkan untuk perbaikan kehidupan yang lebih sejahtera. Hal ini sesuai dengan hakekat ilmu yang berfungsi sebagai pengetahuan yang membantu manusia dalam mencapai tujuan hidupnya.

 

Menurut Wiriaatmaja (1973) dalam melaksanakan kegiatannya, penyuluhan menerapkan suatu  cara atau metode tertentu yang harus dilakukan, yaitu :

(1)     Pengenalan keadaan, gambaran atau situasi

Sebelum melaksanakan kegiatan penyuluhan, penyuluh harus terlebih dahulu melakukan hal-hal sebagai berikut :

§         Mempersiapkan dirinya sendiri untuk jadi penghubung/komunikator atau penyuluh yang baik

§         Mengenal daerah kerjanya termasuk perihal masyarakat (sasaran), kebudayaan, kekayaan alam, dan masalah-masalahnya dalam lingkup pertanian/pembangunan.

 

(2)     Perencanaan (Planning)

Supaya tujuan  penyuluhan dapat tercapai dengan baik, perlu disusun suatu rencana tentang jalannya kegiatan-kegiatan. Yang termasuk dalam rencana tersebut adalah yang dikenal dengan istilah  4 W dan 1 H, yaitu :

§         Apa yang harus dilakukan (What)

§         Di mana dilakukannya (Where)

§         Kapan melakukannya (When)

§         Siapa yang melakukan (Who)

§         Bagaimana melakukannya (How)

Untuk memudahkan pelaksanaan kegiatan penyuluhan, maka di dalam perencanaan tersebut, perlu disusun hal-hal sebagai berikut :

§         Program, yaitu suatu pernyataan yang dikeluarkan untuk menimbulkan pengertian dan perhatian mengenai suatu kegiatan. Lebih jelasnya program berisi tentang apa yang harus dilakukan dan mengapa perlu dilakukan.

§         Rencana Kerja, yaitu  suatu acara kegiatan-kegiatan yang disusun sedemikian rupa sehingga memungkinkan pelaksanaan program secara efisien yang menyangkut tentang bagaimana, kapan, di mana, dan siapa.

§         Kalender kerja, yaitu suatu rencana kerja yang disusun menurut urutan waktu kegiatan.

(3)     Pelaksanaan

Yang dimaksud dengan pelaksanaan di sini adalah tindakan-tindakan nyata untuk melakukan apa-apa yang telah dicantumkan dalam rencana tadi, yaitu yang berkaitan dengan 4 W dan 1 H tersebut. Dalam pelaksanaan kegiatan penyuluhan tersebut, dapat dipilih cara atau metode komunikasi dan alat bantu yang digunakan dengan ketentuan:

§         Sesuai dengan keadaan sasaran

§         Cukup dalam kuantitas dan kualitas

§         Tepat mengenai sasaran dan tepat pada waktunya

§         Amanat harus mudah diterima dan dimengerti

§         Murah biayanya.

Sedangkan metode komunikasi penyuluhan dapat dilakukan secara personal, kelompok, ataupun massa.

(4)     Penilaian (evaluasi).

Penilaian adalah suatu proses feedback, dimana hasil yang telah diperoleh selama pelaksanaan diperbandingkan dengan rencana dan keadaan semula. Selanjutnya mulai lagi dengan pengenalan keadaan yang baru (hasil akhir dari kegiatan-kegiatan tadi). Hal-hal yang dinilai adalah :

§         Apa yang terjadi pada pihak sasaran, yaitu apa ada perubahan dalam pengetahuan, keterampilan, dan sikapnya ?apakah mereka sudah menerapkan teknologi baru yang dianjurkan ? apakah ada perubahan dalam kedudukan sosial dan ekonomi mereka ?. Semuanya ini dibandingkan denga keadaan semula sebelum ada kegiatan penyuluhan.

§         Bagaimana efektivitas metode dan alat bantu penyuluhan yang digunakan ?

 

Untuk lebih  jelasnya urutan dari kegiatan-kegiatan penyuluhan tersebut adalah seperti gambar berikut :

 


 


 Dari paparan tersebut diatas, dapat dikatakan bahwa penyuluhan sebagai suatu pengetahuan mempunyai serangkaian metode ilmiah yang berisi langkah-langkah  sistematis  dan logis yang harus dilaksanakan sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan.  Dengan demikian, secara epistemologis hakekat penyuluhan sebagai suatu ilmu telah terpenuhi.  Sesuai dengan pendapat Suriasumantri (1984c), metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu.

    

Kesimpulan

 

Ilmu pada hakekatnya merupakan kumpulan pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri tertentu  yang membedakan ilmu dengan pengetahuan umum lainnya. Ciri-ciri keilmuan ini didasarkan pada jawaban yang diberikan ilmu terhadap tiga pertanyaan pokok yang berkaitan dengan hakekat ilmu yaitu ontologi, epistemologi, dan axiologi.

 

Dalam konteks penyuluhan pembangunan, keberadaannya sebagai suatu ilmu didasari kenyataan bahwa pelaksana utama pembangunan adalah masyarakat kecil yang umumnya termasuk golongan lemah, baik secara ekonomi, pengetahuan, keterampilan, maupun semangatnya untuk maju dalam memperbaiki hidupnya.  Karena itu, ilmu penyuluhan pembangunan terus menerus dikembangkan dalam rangka menggerakkan kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan agar mereka berdaya dan memiliki kemampuan menolong dirinya sendiri untuk mencapai perbaikan kualitas hidup dan kesejahteraan yang dicita-citakan.  Untuk mencapai tujuan tersebut, dalam melaksanakan kegiatannya, penyuluhan menerapkan suatu  cara atau metode tertentu yang terdiri dari beberapa langkah sistematis yaitu  pengenalan keadaan atau situasi masyarakat setempat, perencanaan kegiatan, pelaksanaan, dan penilaian (evaluasi).  Melalui langkah-langkah tersebut, diharapkan tujuan penyuluhan  dapat tercapai dengan baik sesuai dengan yang diharapkan.

 

Dari paparan tersebut, dapat dikatakan bahwa hakekat penyuluhan pembangunan sebagai suatu ilmu telah terpenuhi sesuai dengan ciri-ciri keilmuan yaitu  melalui  suatu kajian atau peninjauan dari segi ontologi, epistemologi, dan axiologi.

 

Daftar Pustaka

 

Gie, T. Liang. 1984. Konsepsi tentang Ilmu. Yogyakarta. Penerbit Yayasan Studi Ilmu dan Teknologi.

 

Mardikanto, T. 1992. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Surakarta. Sebelas Maret University Press.

 

Pranarka, AMW. 1987. Epistomologi Dasar : suatu Pengantar. Jakarta. Penerbit Yayasan Proklamasi.

 

Suriasumantri, Jujun S. 1984a. Ilmu dalam Perspektif : Sebuah Kumpulan Karangan tentang Hakekat Ilmu.  Jakarta.  Penerbit Yayasan obor Indonesia dan Leknas – LIPI.

 

Suriasumantri, Jujun S. 1984b.  Ilmu dalam Perspektif  Moral, Sosial, dan Politik. Jakarta. Penerbit PT Gramedia.

 

Suriasumantri, Jujun S. 1984c. Filsafat Ilmu : Sebuah Pengantar Populer. Jakarta. Penerbit Sinar Harapan

 

Slamet, Margono. 2001. Perspektif Ilmu Penyuluhan Pembangunan Menyongsong Era Tinggal Landas dalam. Penyuluhan Pembangunan di Indonesia : Menyongsong Abad 21. Jakarta. Penerbit PT Pustaka Pembangunan Swadaya Nusantara.

 

Van den Ban, AW dan H.S. Hawkins. Penyuluhan Pertanian. Yogyakarta. Penerbit Kanisius.

 

Wiriaatmadja, S. 1973. Pokok-pokok Penyuluhan Pertanian. Jakarta. Penerbit PT Yasaguna.