© 2002  Romsyah Maryam                                                                           Posted:    17 June, 2002

Tugas Mata Kuliah Falsafah Sains (PPs 702)

Program Pasca Sarjana (S3)

Institut Pertanian Bogor

Juni 2002

 

Dosen: Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng (Penanggung jawab)

 

 

 

MEWASPADAI BAHAYA KONTAMINASI MIKOTOKSIN PADA MAKANAN

 

 

Oleh:

 

Romsyah Maryam

IPN  F. 226014011

E-mail : rmaryam@indo.net.id; rmaryam@balitvet.org

 

 

 

PENDAHULUAN

            Makanan merupakan sumber energi yang dibutuhkan oleh manusia dan hewan  untuk melangsungkan kehidupannya. Namun, makanan dapat menjadi sumber penyakit jika tidak memenuhi kriteria sebagai makanan baik, sehat dan aman. Berbagai kontaminan dapat mencemari bahan pangan dan pakan sehingga tidak layak untuk dikonsumsi.

            Fungsi makanan yaitu menjaga keberlangsungan hidup dan menjaga agar makhluk hidup sehat lahir dan bathin. Selain itu, kualitas makanan yang dikonsumsi dapat berpengaruh terhadap kualitas hidup dan perilaku makhluk hidup itu sendiri. Oleh karena itu, setiap makhluk hidup selayaknya berusaha untuk mendapatkan makanan yang baik seperti dinyatakan dalam FirmanNya: “Hai orang-orang yang beriman, makanlah diantara rizki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepadaNya saja kamu menyembah” (QS Al-Baqarah: 172). “Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rizkikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepadaNya (QS Al- Maidah: 88).   Dari ayat-ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa makanan yang dikonsumsi harus baik ditinjau dari segi fisik dan psikologis, karena kualitas makanan berpengaruh terhadap kualitas makhluk hidup, terutama manusia.

Kualitas makanan atau bahan makanan di alam ini tidak terlepas dari berbagai pengaruh seperti kondisi dan lingkungan, yang menjadikan  layak atau tidaknya suatu makanan untuk dikonsumsi.  Berbagai bahan pencemar dapat terkandung di dalam makanan karena penggunaan bahan baku pangan terkontaminasi, proses pengolahan, dan proses penyimpanan. Di antara kontaminan yang sering ditemukan adalah mikotoksin yang dihasilkan oleh kapang.

 

 

Gambar 1. Bahan makanan yang dapat terkontaminasi oleh mikotoksin

 

Selama penyimpanan, makanan atau bahan makanan sangat mudah ditumbuhi oleh kapang. Iklim tropis yang dimiliki Indonesia dengan curah hujan,  suhu dan kelembaban yang tinggi sangat mendukung pertumbuhan kapang penghasil mikotoksin. Kontaminasi mikotoksin tidak hanya menurunkan kualitas bahan pangan/pakan dan mempengaruhi nilai ekonomis, tetapi juga membahayakan kesehatan manusia dan hewan. Berbagai penyakit dapat ditimbulkan oleh mikotoksin, seperti kanker hati yang disebabkan oleh  aflatoksin, salah satu jenis mikotoksin yang paling banyak ditemukan di negara beriklim tropis.

Karena adanya kontaminasi mikotoksin tidak kasat mata, terlebih lagi pada makanan olahan, maka diperlu kewaspadaan dalam memilih makanan terutama bahan makanan  atau makanan olahan yang telah disimpan dalam waktu lama.

           


MIKOTOKSIN  DAN MIKOTOKSIKOSIS

 

            Mikotoksin merupakan metabolit sekunder yang dihasilkan oleh spesies kapang tertentu selama pertumbuhannya pada bahan pangan maupun pakan (Fox dan Cameron, 1989). Mikotoksin mulai dikenal sejak ditemukannya aflatoksin yang menyebabkan Turkey X –disease pada tahun 1960.

Hingga saat ini telah dikenal 300 jenis mikotoksin (Cole dan Cox, 1981), lima jenis diantaranya sangat berpotensi menyebabkan penyakit baik pada manusia maupun hewan, yaitu aflatoksin, okratoksin A, zearalenon, trikotesena (deoksinivalenol, toksin T2) dan fumonisin. Menurut Bhat dan Miller (1991) sekitar 25-50% komoditas pertanian tercemar kelima jenis mikotoksin tersebut. Penyakit yang disebabkan karena adanya pemaparan mikotoksin disebut mikotoksikosis.

Perbedaan sifat-sifat kimia, biologik dan toksikologik tiap mikotoksin menyebabkan adanya perbedaan efek toksik yang ditimbulkannya. Selain itu, toksisitas ini  juga ditentukan oleh: (1) dosis atau jumlah mikotoksin yang dikonsumsi; (2) rute pemaparan; (3) lamanya pemaparan; (4) spesies; (5) umur; (6) jenis kelamin; (7) status fisiologis, kesehatan dan gizi; dan (8) efek sinergis dari berbagai mikotoksin yang secara bersamaan terdapat pada bahan pangan (Bahri et al., 2002).

 

Aflatoksin

 

            Aflatoksin berasal dari singkatan Aspergillus flavus toxin.  Toksin ini pertama kali diketahui berasal dari kapang Aspergillus flavus yang berhasil diisolasi pada tahun 1960. A. flavus sebagai penghasil utama aflatoksin umumnya hanya memproduksi aflatoksin B1 dan B2 (AFB1 dan AFB2)   Sedangkan A. parasiticus memproduksi AFB1, AFB2, AFG1, dan AFG2.  A. flavus dan A. parasiticus ini tumbuh pada kisaran suhu yang jauh, yaitu berkisar dari 10-120C sampai 42-430C dengan suhu optimum 320-330C dan pH optimum 6. 

Diantara keempat jenis aflatoksin tersebut AFB1 memiliki efek toksik yang paling tinggi. Mikotoksin ini bersifat karsinogenik, hepatatoksik dan mutagenik sehingga menjadi perhatian badan kesehatan dunia (WHO) dan dikategorikan sebagai karsinogenik gol 1A. Selain itu, aflatoksin juga bersifat immunosuppresif yang dapat menurunkan sistem kekebalan tubuh.

            Di Indonesia, aflatoksin merupakan mikotoksin yang sering ditemukan pada produk-produk pertanian dan hasil olahan (Muhilal dan Karyadi, 1985, Agus et al., 1999). Selain itu, residu aflatoksin dan metabolitnya juga ditemukan pada produk peternak seperti susu (Bahri et al., 1995), telur (Maryam et al., 1994), dan daging ayam (Maryam, 1996). Sudjadi et al (1999) melaporkan bahwa 80 diantara 81 orang pasien (66 orang pria dan 15 orang wanita) menderita kanker hati karena mengkonsumsi oncom, tempe, kacang goring, bumbu kacang, kecap dan ikan asin. AFB1, AFG1, dan AFM1 terdeteksi pada contoh liver  dari 58% pasien tersebut dengan konsentrasi diatas 400 µg/kg.

 

Okratoksin

 

            Okratoksin, terutama Okratoksin A (OA) diketahui sebagai penyebab keracunan ginjal pada manusia maupun hewan, dan juga diduga bersifat karsinogenik. Okratoksin A ini pertama kali diisolasi pada tahun 1965 dari kapang Aspergillus ochraceus.  Secara alami A. ochraceus terdapat pada tanaman yang mati atau busuk, juga pada biji-bijian, kacang-kacangan dan buah-buahan. Selain A.ochraceus, OA juga dapat dihasilkan oleh Penicillium viridicatum (Kuiper-Goodman, 1996) yang terdapat pada biji-bijian di daerah beriklim sedang (temperate), seperti pada gandum di eropa bagian utara. 

            P.viridicatum tumbuh pada suhu antara 0 – 310 C dengan suhu optimal pada 200C dan pH optimum 6 – 7. A.ochraceus tumbuh pada suhu antara  8 – 370C.  Saat ini diketahui sedikitnya 3 macam Okratoksin, yaitu Okratoksin A (OA), Okratoksin B (OB), dan Okratoksin C (OC).  OA adalah yang paling toksik dan paling banyak ditemukan di alam.

Hal penting yang berkaitan dengan perdagangan komoditas kopi di pasar internasional adalah bahwa sebagian besar negara pengimpor/ konsumen kopi mensyaratkan kadar OA yang sangat rendah atau bebas OA.

            Selain pada produk tanaman, ternyata OA dapat ditemukan pada berbagai produk ternak seperti daging babi dan daging ayam.  Hal ini karena OA bersifat larut dalam lemak sehingga dapat tertimbun di bagian daging yang berlemak.  Manusia dapat terekspose OA melalui produk ternak yang dikonsumsi.

 

Zearalenon

 

            Zearalenon adalah toksin estrogenik yang dihasilkan oleh kapang Fusarium graminearum, F.tricinctum, dan F. moniliforme.  Kapang ini tumbuh pada suhu optimum 20 – 250C dan kelembaban 40 – 60 %. Zearalenon pertama kali diisolasi pada tahun 1962.  Mikotoksin ini cukup stabil dan tahan terhadap suhu tinggi. 

            Hingga saat ini paling sedikit terdapat 6 macam turunan zearalenon, diantara nya α-zearalenol yang memiliki aktivitas estrogenik 3 kali lipat daripada senyawa induknya. Senyawa turunan lainnya adalah 6,8-dihidroksizearalenon, 8-hidroksizearalenon, 3-hidroksizearalenon, 7-dehidrozearalenon, dan 5- formilzearalenon. Komoditas yang banyak tercemar zearalenon adalah jagung, gandum, kacang kedelai, beras dan serelia lainnya. 

             

Gambar 2. Jagung terinfeksi kapang Fusarium spp.

 

Trikotesena

 

            Mikotoksin golongan trikotesena  dihasilkan oleh kapang Fusarium spp., Trichoderma, Myrothecium, Trichothecium dan Stachybotrys. Mikotoksin golongan ini dicirikan dengan adanya inti terpen pada senyawa tersebut. Toksin yang dihasilkan oleh kapang-kapang tersebut diantaranya adalah toksin T-2 yang merupakan jenis trikotesena paling toksik. Toksin ini menyebabkan iritasi kulit dan juga diketahui bersifat teratogenik. Selain toksin T-2, trikotesena lainnya seperti deoksinivalenol, nivalenol dapat menyebabkan emesis dan muntah-muntah (Ueno et al., 1972 dalam Sinha, 1993).

 

Fumonisin

 

            Fumonisin termasuk kelompok toksin fusarium yang dihasilkan oleh kapang Fusarium spp., terutama F. moniliforme dan F. proliferatum.  Mikotoksin ini relatif baru diketahui dan pertama kali diisolasi dari F. moniliforme pada tahun 1988 (Gelderblom, et al., 1988).  Selain F. moniliforme dan F. proliferatum, terdapat pula kapang lain yang juga mampu memproduksi fumonisin, yaitu F.nygamai, F. anthophilum, F. diamini dan F. napiforme. 

F. moniliforme tumbuh pada suhu optimal antara 22,5 – 27,50 C dengan suhu maksimum 32 - 370C.  Kapang Fusarium ini tumbuh dan tersebar diberbagai negara didunia, terutama negara beriklim tropis dan sub tropis.  Komoditas pertanian yang sering dicemari kapang ini adalah jagung, gandum, sorgum dan berbagai produk pertanian lainnya.

 Hingga saat ini telah diketahui 11 jenis senyawa Fumonisin, yaitu Fumonisin B1 (FB1), FB2, FB3 dan FB4, FA1, FA2, FC1, FC2, FP1, FP2 dan FP3.  Diantara jenis fumonisin tersebut, FB1 mempunyai toksisitas yang dan dikenal juga dengan nama Makrofusin. FB1 dan FB2 banyak mencemari jagung dalam jumlah cukup besar, dan FB1 juga ditemukan pada beras yang terinfeksi oleh F.proliferatum. 

            Keberadaan kapang penghasil fumonisin dan kontaminasi fumonisin pada komoditi pertanian, terutama jagung di Indonesia telah dilaporkan oleh Miller et al. (1993), Trisiwi (1996), Ali et al., 1998 dan Maryam  (2000b). Meskipun  kontaminasi fumonisin pada hewan dan manusia belum mendapat perhatian di Indonesia, namun keberadaannya perlu diwaspadai mengingat mikotoksin ini banyak ditemukan bersama-sama dengan aflatoksin sehingga dapat meningkatkan toksisitas kedua mikotoksin tersebut (Maryam, 2000a).

 

PENUTUP

 

            Kontaminasi mikotoksin pada makanan sulit dihindari dan merupakan masalah  global, terutama di Indonesia yang mempunyai iklim yang sangat mendukung pertumbuhan kapang penghasil mikotoksin. Umumnya kontaminasi mikotoksin terjadi pada komoditi pertanian dan hasil olahannya, atau pada bahan makanan yang disimpan terlalu lama.

            Mikotoksikosis dapat terjadi karena adanya rantai makanan yang saling berkaitan, dimana pemaparan mikotoksin ke dalam tubuh terjadi karena konsumsi bahan pangan yang sudah tercemar (efek primer) dan konsumsi produk hewani (efek sekunder).

            Dari begitu banyaknya jenis mikotoksin yang telah ditemukan, aflatoksin merupakan mikotoksin yang paling banyak dijumpai di alam terutama di negara beriklim tropis, dan mempunyai toksisitas yang lebih tinggi dari mikotoksin lainnya. Namun, toksisitas mikotoksin tergantung beberapa faktor seperti dosis, rute pemaparan, lamanya pemaparan, spesies, umur, jenis kelamin, status fisiologis ( kese-hatan dan gizi), serta adanya efek sinergis dari berbagai mikotoksin dalam makanan.

            Umumnya mikotoksin bersifat kumulatif, sehingga efeknya tidak dapat dirasakan dalam waktu cepat dan sulit dibuktikan secara etiologi. Masalah lainnya, kontaminasi pada makanan tidak dapat terlihat sehingga tidak mudah untuk  mengindikasi suatu makanan telah tercemar mikotoksin kecuali dengan melakukan analisa laboratorium.

Namun demikian, cemaran mikotoksin dapat diindikasikan dengan terlihatnya infestasi kapang meskipun adanya pertumbuhan kapang tidak selalu identik dengan produksi mikotoksin karena mikotoksin dihasilkan pada kondisi tertentu. Suatu bahan makanan dapat saja terdapat beberapa spesies kapang yang menghasilkan beberapa jenis mikotoksin yang saling beriteraksi dan saling memperkuat tingkat toksisitas (efek sinergis).

Oleh karena alasan tersebut di atas, maka perlunya meningkatkan kewaspadaan dalam memilih bahan makanan atau makanan olahan yang akan dikonsumsi dan tidak mengkonsumsi makanan yang sudah kadaluarsa atau yang disimpan terlalu lama.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Ali, N., Sardjono,  A. Yamashita, and T. Yoshizawa. 1998.  Natural occurrence of aflatoxins and fusarium mycotoxins (fumonisins, deoxinivalenol, nivalenol, and zearalenon) in corn from Indonesia.  Food. Add. Contaminant. 15: 377-384.

Al-Qur’an dan Terjemahnya. 1978. Departemen Agama RI. Jakarta

Bahri, S., Maryam, R dan Widiastuti, R. 2002. Materi Kuliah pada Workshop on “Grain and Feed Quality”, Bogor 30 Januari -1 Pebruari 2002

Maryam, R. 1996. Residu Aflatoksin dan Metabolitnya dalam daging dan Hati Ayam. Prosiding Temu Ilmiah Nasional Bidang Veteriner, 236-339. Bogor, 12-13 Maret 1996.

Maryam, R., Bahri, S., Zahari, P. 1994. Deteksi aflatoksin B1, M1 dan Aflatoksikol dalam Telur dengan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi. Prosiding Teknologi Veteriner untu Kesehatan Hewan dan Keamanan Pangan. Bogor, 22-24 Maret 1994.

Maryam, R. 2000a. Fumonisin: Kelompok mikotoksin fusarium yang perlu diwaspadai. Jurnal Mikologi Kedokteran Indonesia (Indonesian Journal of Medical Mycology),  1(1): 51-57.

Maryam, R. 2000b. Kontaminasi Fumonisin pada bahan pakan dan pakan ayam di Jawa Barat. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor, 18-19 September 2000. Pusat Penelitian Peternakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertania, Departemen Pertanian. Hal.538-542

Bahri, S., Ohim, Maryam, R. 1995. Residu aflatoksin M1 pada susu sapi dan hubungannya dengan keberadaan afaltoksin M1 pada pakan sapi. Kumpulan Makalah Lengkap Kongres Nasional Perhimpunan Mikologi Kedokteran Manusia dan Hewan Indonesia I dan Temu Ilmiah. Bogor, 21-24 Juli 1994. Hal: 269-275

Bhat, R.V. and J.D.Miller.  1991.  Mycotoxins and food supply.  FAO, Food, Nutrition and Agriculture, 1: 27-31

Cole, R.J., Cox, R.H (Eds.). 1981. Handbook of Toxic Fungal Metabolites. Academic press, New York, pp 1850

Kubena, LF., Edrington, TS., Harvey, RB., Buckley, SA., Phillips, TD., Rottinghaus, GE., casper, HH. 1997. Individual and combine effects on fumonisin B1 present in Fusarium moniliforme culture material ant T-2 toxin or deoxynivalenol in broiler chicks. Poultry Science 76(9): 1239-1247

Kuiper-Goodman, T. 1996. Risk assessment of ochratoxin A: An update. Food. Addit.Contam. 13 (Suppl): 553-557

Maryam, R. 2000a. Fumonisin: Kelompok mikotoksin Fusarium yang perlu diwaspadai. Jurnal Mikologi Kedokteran Indonesia  1(1): 51-57

Maryam, R. 200b. Kontaminasi pada bahan pakan dan pakan ayam di Jawa Barat. Presentasi poster pada Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor 18-19 September 2000.

Miller, JD., Savard, ME., Sabilia, A., Rapior, S., Hocking, AD, Pitt, JI. 1993. Production of fumonisins and fusarins by Fusarium moniliforme from South East Asia. Mycologia 85(3): 385-391

Muhilal and D.Karyadi. 1985. Aflatoxin in nuts and grains. Gizi Indonesia. Vol.X (1): 75-79

Sinha, K.K.1993. Mycotoxins. ASEAN Food Journal. 8(3): 87-93

Sudjadi, S., Machmud, M., damardjati, D.S., Hidayat, A., widowati, S., Widiati, A. 1999. Aflatoxin research in Indonesia. Elimination of Aflatoxin Contamiation in Peanut. Australian Centre for International Agricultural Research. Canberra, pp.23-25

Trisiwi. 1996. Identifikasi kapang penghasil mikotoksin pada pakan ayam pedaging dan petelur di kotamadya Bandar Lampung. Skripsa Sarjana, Universitas Lampung.