© Untung Sudadi                                                                                             Posted:  21 June, 2002

Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS 702)

Program Pasca Sarjana / S3

Institut Pertanian Bogor

Juni 2002

 

Dosen:  Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng (Penanggung Jawab)

 

 

 

PRODUKSI PADI DAN PEMANASAN GLOBAL:

TANAH SAWAH BUKAN SUMBER UTAMA EMISI METAN

 

Oleh:

 

Untung Sudadi

TNH A226010021

 

E-mail: untungsudadi@yahoo.com

 

 

 

RINGKASAN

 

Metan (CH4) merupakan salah satu gas rumah kaca utama yang dapat menyerap radiasi infra-merah sehingga berkontribusi terhadap fenomena pemanasan global. Selain reaktivitasnya yang tinggi, kepedulian terhadap metan berkaitan dengan peningkatan drastis emisi dan konsentrasinya di atmosfer serta konsekuensinya terhadap peningkatan pemanasan global.  Salah satu sumber emisi metan adalah praktek budidaya padi pada tanah sawah.

Pada tahun 1990, emisi metan dari tanah sawah diperkirakan mencapai 20-120 juta ton per tahun atau sekitar 12.5% dari emisi metan global sebesar 470-650 juta ton per tahun. Hasil penelitian IRRI dengan negara-negara Asia yang dilakukan pada tahun 1993-1999 membuktikan bahwa tingkat emisi metan dari tanah sawah di Cina ternyata hanya 3.7 juta ton per tahun, sedangkan di India, Indonesia, Filipina dan Thailand berturut-turut hanya 2.1, 1.7, 0.1 dan 0.2 juta ton per tahun. Total emisi metan dari tanah sawah di kelima negara tersebut hanya mencapai  6.5-17.4 juta ton per tahun atau hanya 2-5 % dari emisi metan global. Dengan demikian, tanah sawah bukan penyebab utama peningkatan emisi metan global.  Namun, pada skala nasional, kontribusi tanah sawah terhadap total emisi gas rumah kaca masih cukup tinggi.  Oleh karena itu, upaya penurunan emisi metan dari tanah sawah harus tetap dilakukan. Cara mitigasi yang dipilih hendaknya tidak mengorbankan aspek produksi beras dan diupayakan bersifat spesifik lokasi. Selain itu, prioritas upaya mitigasi perlu diarahkan pada ekosistem tanah sawah yang memiliki potensi emisi metan yang tinggi, yaitu tanah sawah beririgasi.

Upaya mitigasi yang dapat disarankan meliputi: (1) penerapan drainase temporer, (2) penggunaan kultivar atau varietas padi unggul dengan karakteristik emisi metan yang rendah, (3) peningkatan kesuburan tanah dan (4) penekanan emisi metan akibat penggunaan residu organik dengan cara pengomposan, fermentasi biogas, aplikasi mulsa dll. dengan dosis, cara dan waktu yang disesuaikan dengan praktek pengelolaan lahan dan budidaya padi yang diterapkan.

 

Kata kunci:  emisi metan, pemanasan global, produksi padi, tanah sawah.

 

 

PENDAHULUAN

 

 

Perubahan dramatis paradigma pemanfaatan sumberdaya alam yang terjadi sejak tahun 80-an, yaitu sejak Bruntland Commission memperkenalkan konsep Pembangunan Berkelanjutan (World Commission on Environment and Development, 1987) serta peluncuran Agenda 21 dari United Nations Conference on Environment and Development pada tahun 1992, telah meningkatkan kepedulian terhadap pentingnya memelihara kelestarian ekosistem dan kualitas lingkungan dalam kaitannya dengan pemanfaatan sumberdaya alam.  Oleh karena itu, upaya pemecahan persoalan produksi dan produktivitas pertanian harus diimbangi dengan upaya pelestarian fungsi sumberdaya alam dan lingkungan.

 

Produksi pangan yang lebih tinggi dengan harga yang terjangkau konsumen dan menguntungkan petani dengan tanpa mengorbankan keberlanjutan fungsi sumberdaya alam dan lingkungan merupakan issue utama pembangunan pertanian di seluruh dunia, khususnya di negara-negara berkembang dan sedang berkembang. Salah satu issue lingkungan berkaitan dengan produksi pertanian, khususnya beras, adalah anggapan bahwa kegiatan budidaya padi pada tanah sawah merupakan ancaman potensial atau bahkan dituding sebagai penyebab utama peningkatan pemanasan global yang sangat drastis pada abad ke-20.  Hal ini didasarkan pada hasil penelitian yang menunjukkan tingginya emisi gas metan (CH4) dari tanah sawah. Akibatnya, sesuai dengan konvensi internasional mengenai pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan, negara-negara utama penghasil dan pengkonsumsi beras mendapatkan tekanan internasional untuk menurunkan laju dan tingkat emisi metan dari tanah sawah mereka ke tingkat rata-rata global.  Hal ini tentu saja menjadi persoalan besar dan kontroversial bagi negara-negara tersebut, karena upaya penurunan emisi metan dikhawatirkan akan menurunkan tingkat produksi beras, yang lebih lanjut dapat memicu timbulnya persoalan baru yang lebih serius, yaitu persoalan ketahanan pangan.

 

Berdasarkan data International Rice Research Institute (IRRI), beras merupakan makanan pokok sekitar 2.7 milyar orang atau hampir separuh penduduk dunia dan kebutuhannya terus meningkat seiring dengan peningkatan populasi penduduk, khususnya di negara-negara Asia.  Pada tahun 2015, konsumen beras dunia bahkan diperkirakan akan meningkat hingga mencapai 4 milyar orang.  Untuk memenuhi kebutuhan yang terus meningkat tersebut, produksi beras dunia diproyeksikan harus ditingkatkan sebesar 68% dari produksi tahun 1989 sebesar 473 juta ton menjadi 781 juta ton pada tahun 2020 (IRRI, 1990).  Di Asia, lebih dari 75% kebutuhan beras dipasok dari 79 juta hektar lahan beririgasi (Bouman, 2001), sehingga ketahanan pangan di Asia kini dan di masa mendatang tergantung pada sistem tanah sawah beririgasi. Lebih lanjut, sebesar 97% dari total produksi beras dunia dikonsumsi di lokasi dekat areal produksi, karena hanya sekitar 3% yang diperdagangkan dalam pasar dunia (Greenland, 1997). 

 

Fakta di atas meyakinkan perlunya untuk tetap mengupayakan keberlanjutan sistem produksi beras.  Dan, jika dikaitkan dengan persoalan pemanasan global, maka upaya untuk menurunkan tingkat emisi metan dari tanah sawah harus diarahkan dan dilakukan dengan tanpa mengorbankan produksi beras.  Atau, perlu dipertanyakan dan dibuktikan, benarkah sistem tanah sawah merupakan sumber dan penyumbang utama peningkatan emisi metan global?

 

Luasnya areal tanah sawah dan belum diketahuinya sumber potensial lain yang dapat meningkatkan emisi metan pada skala global menyebabkan tanah sawah diidentifikasikan sebagai sumber dan penyumbang utama peningkatan konsentrasi metan di atmosfer.  Persepsi yang berkembang sebelum tahun 90-an tersebut didasarkan pada fakta bahwa: (1) peningkatan konsentrasi metan di atmosfer dan perluasan areal tanah sawah secara global menunjukkan pola yang sama, sehingga memberikan indikasi adanya korelasi yang sangat nyata dan (2) studi-studi laboratorium yang telah dilakukan juga memberikan indikasi mengenai tingginya potensi tanah sawah sebagai sumber emisi metan.  Namun, hasil penelitian yang dilakukan IRRI sejak tahun 1993, yang merupakan salah satu bentuk respon terhadap persepsi kontroversial tersebut, membuktikan bahwa laju dan tingkat emisi metan dari tanah sawah di kawasan Asia Timur, Asia Selatan dan Asia Tenggara ternyata jauh lebih rendah dari yang diperkirakan sebelumnya (IRRI, 2000).

 

Berdasarkan latar belakang di atas, makalah ini disusun dengan tujuan untuk membahas proses, laju dan tingkat emisi metan dari tanah sawah dalam kaitannya dengan peningkatan pemanasan atmosfer secara global.  Secara spesifik, dalam makalah ini juga diuraikan hasil-hasil penelitian yang menunjukkan bahwa sistem tanah sawah, khususnya di kawasan Asia, bukan merupakan sumber dan penyumbang utama peningkatan emisi metan global serta upaya-upaya mitigasi yang dapat diterapkan untuk menurunkan laju dan tingkat emisi metan dari tanah sawah dengan tanpa mengorbankan sistem produksi beras.

 

 

BUDIDAYA PADI SAWAH DAN PEMANASAN GLOBAL

 

 

Klasifikasi dan Karakteristik Tanah Sawah

 

Tanah Sawah bukan merupakan terminologi klasifikasi untuk suatu jenis tanah tertentu, melainkan istilah yang menunjukkan cara pengelolaan berbagai jenis tanah untuk budidaya padi sawah.  Secara fisik, tanah sawah dicirikan oleh terbentuknya lapisan oksidatif atau aerobik di atas lapisan reduktif atau anaerobik di bawahnya sebagai akibat penggenangan (Patrick dan Reddy, 1978; Ponnamperuma, 1985). 

 

Menurut Greenland (1997), IRRI mengklasifikasikan ekosistem tanah sawah kedalam empat kelompok, yaitu:

 

(a)                Tanah sawah beririgasi (irrigated rice ecosystem), dicirikan oleh permukaan lahan yang datar, dibatasi oleh pematang dengan tata air terkontrol, lahan tergenang dangkal dengan kondisi tanah dominan anaerobik selama pertumbuhan tanaman dan penanaman padi dilakukan dengan pemindahan bibit pada tanah yang telah dilumpurkan. 

(b)               Tanah sawah dataran tinggi (upland rice ecosystem), dicirikan oleh lahan datar hingga agak berombak, jarang digenangi, tanah bersifat aerobik dan penanaman padi dilakukan dengan penyebaran benih pada tanah kering atau tanpa penggenangan yang telah dibajak atau dalam keadaan lembab tanpa pelumpuran.

(c)                Tanah sawah air dalam peka banjir (flood-prone rice ecosystem), dicirikan oleh permukaan lahan yang datar hingga agak berombak atau cekungan, tergenang banjir akibat air pasang selama lebih dari 10 hari berturut-turut sedalam 50-300 cm selama pertumbuhan tanaman, tanah bersifat aerobik sampai anaerobik dan penanaman padi dilakukan dengan pemindahan bibit pada tanah yang dilumpurkan atau sebar-benih pada tanah kering yang telah dibajak.

(d)               Tanah sawah tadah hujan dataran rendah (rainfed lowland rice ecosystem), dicirikan oleh permukaan lahan datar hingga agak berombak, dibatasi pematang, penggenangan akibat air pasang tidak kontinyu dengan kedalaman dan periode bervariasi, umumnya tidak lebih dari 50 cm selama lebih dari 10 hari berturut-turut, tanah bersifat aerobik-anaerobik berselang-seling dengan frekuensi dan periode yang bervariasi serta penanaman padi dilakukan dengan pemindahan bibit pada tanah yang telah dilumpurkan atau sebar-benih pada tanah kering yang telah dibajak atau dilumpurkan.

 

Sifat fisik, kimia dan biologi tanah sawah dan tanah pada lahan basah lainnya sangat berbeda dibandingkan tanah pada lahan kering.  Lansekap berteras-teras, adanya pematang dan penutupan tanah dengan lapisan genangan air melindungi tanah dari proses degradasi yang paling menentukan produktivitas lahan pada jangka panjang, yaitu erosi. Menurut Greenland (1997), karakteristik utama tanah sawah yang menentukan keberlanjutan sistem budidaya padi sawah di Asia adalah sebagai berikut:

 

(a)                Penggunaan tanah secara kontinyu tidak menyebabkan reaksi tanah menjadi semakin masam.  Hal ini berkaitan dengan sifat kimia-fisik tanah tergenang, dimana penggenangan menyebabkan terjadinya konvergensi pH tanah menuju netral.

(b)               Kondisi lansekap tanah sawah memungkinkan hara yang tercuci lebih cenderung tertampung kembali ke lahan di bawahnya daripada keluar dari sistem tanah.

(c)                Fosfor lebih mudah tersedia bagi padi sawah karena pada kondisi tergenang besi lebih banyak berada dalam bentuk ferro daripada ferri, dimana ferro-fosfat lebih mudah tersedia daripada ferri-fosfat.

(d)               Sebagian hara yang terserap tanaman padi tergantikan oleh hara terlarut dalam air irigasi.

(e)                Populasi aktif organisme penambat nitrogen pada tanah sawah membantu mempertahankan tingkat ketersediaan nitrogen organik dalam jumlah yang cukup untuk mendukung tingkat produksi rata-rata.

(f)                 Karena tanah sawah bertopografi datar, dibatasi oleh pematang dan tertutup air genangan, maka tidak terjadi erosi.

 
Emisi Metan dan Pemanasan Global

 

Metan (CH4) merupakan salah satu gas rumah kaca (GRK) utama, selain uap air (H2O), karbondioksida (CO2) dan nitrous-oxide (N2O).  Gas-gas ini dapat menyerap radiasi infra-merah sehingga menyebabkan pemanasan atmosfer yang dikenal sebagai fenomena efek rumah kaca.  Metan, chlorofuoro-carbons (CFCs), nitrous-oxide (N2O) dan ozone (O3), secara bersama menyebabkan sekitar 3% efek rumah kaca global.  Meskipun kontribusi keempat GRK ini relatif kecil dibandingkan uap air (67%) dan karbondioksida (30%), tetapi laju peningkatan konsentrasinya di atmosfer sangat nyata dalam menentukan peningkatan efek rumah kaca pada abad ke-20 (Lelieveld dan Crutzen, 1993).  Selain itu, keempat GRK tersebut juga lebih reaktif dibandingkan uap air maupun karbondioksida (Bouwman, 1990).

 

Konsentrasi metan di atmosfer pada tahun 1990 adalah 1.72 ppm dengan laju peningkatan 1% per tahun, sedangkan untuk karbondioksida masing-masing 354 ppm dan 0.5% per tahun (Lelieveld dan Crutzen, 1993).  Kontribusi peningkatan konsentrasi tersebut terhadap pemanasan global selama seratus tahun terakhir diperkirakan sebesar 19% untuk metan dan 50% untuk karbondioksida (Bouwman, 1990).  Karena laju peningkatan konsentrasi metan di atmosfer dua kali lipat dibandingkan karbondioksida, maka pengaruhnya terhadap perubahan iklim global menjadi semakin penting untuk diantisipasi pada kurun waktu mendatang.

 

Pengelolaan Tanah Sawah dan Emisi Metan

 

Peningkatan konsentrasi metan secara global berkorelasi dengan peningkatan populasi penduduk, dan saat ini sekitar 50% emisi metan global berkaitan dengan sumber-sumber antropogenik atau akibat aktivitas manusia (Bouwman, 1990).  Menurut Zehnder dan Stumm (1988), ekosistem dengan kondisi anaerobik dominan, terutama akibat penggenangan seperti pada tanah sawah dan lahan basah lainnya, merupakan sumber utama emisi metan.  Pada kondisi demikian, metan diproduksi sebagai hasil antara maupun hasil akhir dari beragam proses mikrobiologis dan merupakan salah satu proses penting dari siklus karbon.

 

Menurut Lelieveld dan Crutzen (1993), pada skala global, tanah sawah diperkirakan menyumbangkan 20-120 juta ton CH4 ke atmosfer, atau sekitar 12.5% dari sumber total tahunan yaitu sekitar 470-650 juta ton CH4.  Emisi total tersebut berasal dari total luasan lahan dunia yang digunakan untuk budidaya padi sawah yang mencapai 1.45 x 106 km2 atau sekitar 10% dari total lahan pertanian dunia.

 

Produksi, Konsumsi dan Emisi Metan dari Tanah Sawah

 

           Penggenangan merupakan karakteristik khas dari sistem tanah sawah. Pada kondisi tergenang, kebutuhan oksigen yang tinggi dibandingkan laju penyediaannya yang rendah menyebabkan terbentuknya dua lapisan tanah yang sangat berbeda, yaitu lapisan permukaan yang oksidatif atau aerobik dimana tersedia oksiden dan lapisan reduktif atau anaerobik di bawahnya dimana tidak tersedia oksigen bebas (Patrick dan Reddy, 1978).

 

           Emisi metan dari lingkungan akuatik seperti tanah sawah pada dasarnya ditentukan oleh dua proses mikrobial yang berbeda, yaitu produksi metan dan konsumsi metan (Rudd dan Taylor, 1980).  Pada tanah sawah, metan diproduksi sebagai hasil antara dan hasil akhir dari berbagai proses mikrobial, seperti dekomposisi anaerobik bahan organik oleh bakteri methanogen (Zehnder dan Stumm, 1988).  Bakteri ini hanya aktif bila kondisi tanah yang reduktif atau anoksik telah tercapai akibat penggenangan.  Sebagian dari metan yang diproduksi akan dioksidasikan oleh bakteri methanotroph yang bersifat aerobik di lapisan permukaan tanah dan di zona perakaran.  Sisa metan yang tidak teroksidasi ditransportasikan ke atmosfer dengan cara difusi melalui air genangan, ebulisi atau pembentukan gelembung-gelembung gas serta transportasi melalui aerenchyma padi.

 
Faktor Penentu Produksi Metan pada Tanah Sawah

 

           Eh Tanah.  Potensial redoks (Eh) merupakan faktor utama produksi metan pada tanah sawah, karena bakteri methanogen hanya dapat melakukan metabolisme dan aktif pada kondisi tanpa oksigen atau pada nilai Eh < -200 mV (Conrad, 1989).  Nilai Eh tanah sawah secara berangsur menurun setelah penggenangan akibat terjadinya proses reduksi sekuensial terhadap senyawa oksidatif inorganik oleh bahan organik.  Dalam hal ini, bahan organik tanah didekomposisikan oleh mikrob secara bertahap melalui mekanisme respirasi aerobik, reduksi nitrat, fermentasi umum, reduksi sulfat dan fermentasi metan. Setelah senyawa oksidatif inorganik habis dioksidasikan, bahan organik yang masih tersisa selanjutnya terdegradasi melalui proses oksidasi-reduksi yang diakhiri dengan pembentukan CO2 dan CH4 menurut reaksi:

 

C6H12O6  ®  3 CO2 + 3 CH4. 

 

Selain kadar bahan organik yang tinggi, penurunan Eh tanah juga distimulasi oleh kadar Fe3+dan suhu yang tinggi serta kadar NO3-, MnO2 dan O2 yang rendah (Ponnamperuma, 1985; Bouwman, 1990).

 

           Substrat dan Hara.  Bakteri methanogen hanya dapat menggunakan beberapa jenis substrat sebagai sumber C dan energi, yaitu CO2, CO, asam formik dan beberapa senyawa termetilasi seperti metanol, asetat, trimetilamin serta dimetilsulfit (Kiene et al., 1986; Vogels et al., 1988).  Oleh karena itu, bahan organik harus didekomposisikan terlebih dahulu oleh spesies-spesies mikrob melalui proses fermentasi sekuensial menjadi senyawa yang sesuai dengan kebutuhan substrat bakteri methanogen.  Dengan demikian, kualitas substrat organik primer sangat menentukan laju produksi metan (Rennenberg et al., 1992).

 

           Pada umumnya, bahan organik menstimulasi produksi metan sebagai akibat peningkatan produksi fermentatif dari prekursor CH4.  Oleh karena itu, produksi metan dapat distimulasi oleh eksudasi akar atau aplikasi pupuk organik seperti jerami padi, pupuk kandang, kompos, dll (Conrad, 1989).

 

           Secara umum, aplikasi senyawa organik seperti pupuk yang mengandung sulfat dan nitrat yang dapat bertindak sebagai penerima elektron sangat menghambat produksi metan (Conrad, 1989).  Dalam hal aplikasi sulfat, hal ini berkaitan dengan kompetisi antara bakteri methanogen dengan bakteri pereduksi sulfat terhadap bahan organik, dimana proses ini akan lebih menghasilkan CO2 daripada CH4 (Conrad dan Schutz, 1988).  Aplikasi nitrat akan menunda pembentukan metan hingga reduksi nitrat berakhir dan Eh tanah telah cukup menurun bagi berlangsungnya proses reduksi lebih lanjut.  Selain itu, nitrat juga memberikan efek toksik terhadap bakteri methanogen (Bouwman, 1990).

 

           Suhu. Suhu juga merupakan faktor penting bagi berlangsungnya produksi metan pada tanah sawah (Conrad et al., 1987).  Mayoritas bakteri methanogen yang telah diisolasi bersifat mesofilik, dimana aktivitas optimalnya terjadi pada suhu 30-40 oC (Vogels et al., 1988).  Oleh karena itu, perubahan suhu harian maupun musiman sangat berpengaruh terhadap produksi metan pada tanah sawah.  Pada kondisi tersedia cukup substrat, peningkatan suhu dari 17 ke 30 oC menyebabkan peningkatan produksi metan 2.5 sampai 3.5 kali lipat. 

 

           Reaksi Tanah. Sebagain besar bakteri methanogen bersifat neutrofilik atau tumbuh optimal pada kisaran pH yang sempit yaitu sekitar 7.0 (Conrad dan Schutz, 1988).  Karena penggenangan meningkatkan pH tanah masam dan menurunkan pH tanah alkalin (Ponnamperuma, 1985), maka pH tanah juga merupakan faktor penting penentu produksi metan pada tanah sawah.  Peningkatan pH akan meningkatkan produksi CH4 serta degradasi bahan organik dan sebaliknya (Conrad, 1989).

 

           Praktek Budidaya dan Kultivar Padi.  Praktek budidaya padi sawah dengan cara sebar-benih menghasilkan tingkat produksi metan yang berbeda dengan cara transplantasi atau pemindahan bibit.  Periode pertumbuhan pada cara sebar-benih lebih pendek dan permukaan tanah teraerasi selama 7-14 hari setelah persiapan lahan. Cara pemindahan bibit menyebabkan tanah lebih terganggu. Pola pertumbuhan dan perkembangan kanopi juga berbeda diantara kedua cara tersebut.  Aplikasi bahan organik akan meningkatkan produksi metan melalui pengaruhnya terhadap penurunan Eh dan penyediaan sumber C (Schutz et al., 1990).  Namun demikian, laju dan tingkat produksi metan tergantung dari jumlah dan kualitas bahan organik yang diaplikasikan (nisbah C-N, kadar selulosa, derajat humifikasi, dll).  Aplikasi jerami padi (nisbah C-N tinggi) meningkatkan produksi metan secara nyata, sedangkan penambahan kompos (telah terhumifikasi, nisbah C-N rendah) tidak memberikan pengaruh.

 

           Terjadinya gangguan mekanik terhadap tanah selama proses pengendalian gulma juga akan meningkatkan pelepasan metan yang terjebak dalam pori atau agregat tanah.  Gulma yang dicabut juga merupakan sumber metan tambahan karena umumnya dikembalikan lagi ke lapisan reduktif.  Selain itu, emisi metan dari tanah sawah ke atmosfer melalui gulma lebih efisien dibandingkan melalui tanaman padi (Holzapfel-Pschorn et al., 1986).

 

Konsumsi atau Oksidasi Metan pada Tanah Sawah

 

           Sekitar 80% dari metan yang diproduksi pada tanah sawah dioksidasikan sehingga tidak diemisikan ke atmosfer (Holzapfel-Pschorn et al., 1985).  Laju oksidasi metan di lapangan, yang dihitung berdasarkan selisih hasil pengukuran in situ produksi dan emisi, sangat tergantung pada musim (Schutz et al., 1989a).  Pada awal musim, ketika seluruh tanaman padi tergenang dan emisi metan terutama melalui cara ebulisi, kurang dari separuh metan yang diproduksi teremisikan.  Pada akhir musim, ketika sistem transportasi vaskular pada tanaman padi telah berkembang dan sebagian besar metan diemisikan melalui aerenchyma, hampir 90% dari metan yang diproduksi dioksidasikan. Dengan demikian, peningkatan produksi metan diiringi dengan peningkatan oksidasinya, karena: (1) residence time metan yang lebih lama jika emisinya terjadi melalui tanaman dibandingkan dengan cara ebulisi dan/atau (2) terjadinya stimulasi terhadap aktivitas oksidasi pada laju produksi metan yang meningkat.  Proses lain seperti transportasi O2 ke zona perakaran juga berperan dalam peningkatan laju oksidasi metan (Rennenberg et al., 1992).

 

             Bakteri pengoksidasi metan atau methanotroph adalah organisme aerobik yang dapat tumbuh dan berkembang dengan metan sebagai satu-satunya sumber energi. Oleh karena itu, oksidasi metan dapat terjadi pada lingkungan mikro yang bersifat aerobik pada zona perakaran dan pada bagian yang bersifat oksik pada lapisan permukaan tanah.  Proses oksidasi metan tersebut diinisiasi oleh enzim metan mono-oksigenase yang berperan dalam konversi metan menjadi metanol (Oremland dan Capone, 1988).

 

Emisi Metan dari Tanah Sawah
 
Gas metan yang diproduksi pada sedimen anoksik pada tanah sawah dapat dilepaskan atau diemisikan ke atmosfer melalui tiga jalur berbeda, yaitu: (1) didifusikan dari sedimen jenuh pada interfase sedimen-air dan air-udara sesuai dengan gradien konsentrasinya, (2) jika tekanan parsial metan melebihi tekanan hidrostatik pada sedimen jenuh, maka gelembung gas akan terbentuk dan terlepas ke permukaan air genangan melalui mekanisme ebulisi, dan (3) gas metan yang terbentuk dapat memasuki jaringan perakaran tanaman padi dan bergerak secara difusif dalam aerenchyma untuk selanjutnya terlepas ke atmosfer (Rennenberg et al., 1992).

 

           Kontribusi dari ketiga mekanisme pertukaran gas metan tersebut bervariasi tergantung musim.  Pada awal musim pertanaman, gas metan terutama diemisikan dengan cara ebulisi.  Tergantung pada fase perkembangan tanaman, kontribusi cara ebulisi akan menurun dan transportasi gas metan melalui jaringan tanaman padi meningkat selama periode pengisian gabah (Schutz et al., 1989b).  Selama masa reproduktif, 90% metan diemisikan melalui jaringan aerenchyma (Cicerone dan Shetter, 1981; Schutz et al. 1989b).  Tanaman padi yang berumur lebih tua, yaitu pada fase pematangan, mengemisikan gas metan 20 kali lipat lebih besar dibandingkan tanaman berumur dua minggu atau pada fase perkecambahan (Bont et al., 1978).  Emisi melalui jaringan tanaman menunjukkan variasi diurnal sesuai dengan perubahan lingkungan serta variasi laju respirasi dan fotosintesis (Bouwman, 1990).  Menurut Holzapfel-Pschorn et al. (1986) dan Schutz et al. (1989b), difusi dari gas metan yang terlarut melalui interfase air-udara berada pada kisaran <1 sampai 5% dari total fluks selama musim pertanaman.

 

Pengelolaan air (irigasi dan drainase) merupakan praktek budidaya padi sawah yang penting.  Pada kebanyakan tanah sawah, pertumbuhan tanaman padi akan terganggu baik oleh kondisi kebanyakan atau pun kekurangan air.  Pada laju perkolasi 20 mm per hari, Yagi et al. (1990) menunjukkan bahwa emisi metan pada tanah sawah di Jepang dapat diturunkan hingga hampir nol.

 

 

KONTROVERSI KONTRIBUSI TANAH SAWAH

TERHADAP PENINGKATAN EMISI METAN GLOBAL
 
 
Laju dan Tingkat Emisi Metan dari Tanah Sawah

 

Hasil berbagai penelitian yang dilakukan sebelum tahun 90-an menunjukkan bahwa dari luasan total tanah sawah dunia (1.45 x 106 km2 atau sekitar 10% dari total areal lahan pertanian dunia) diperkirakan diemisikan 20-120 juta ton gas metan ke atmosfer, atau sekitar 12.5% dari sumber total tahunan sebesar 470-650 juta ton dengan rata-rata sekitar 550 juta ton metan per tahun.  Seperti telah dikemukakan sebelumnya, hasil penelitian tersebut sangat mengejutkan bagi negara-negara di kawasan Asia Timur, Asia Selatan dan Asia Tenggara yang merupakan penghasil dan pengkonsumsi beras utama dunia.  Kontradiksi antara kemauan untuk mematuhi konvensi internasional mengenai pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan dengan konsekuensinya yang secara praktis dapat diartikan sebagai tuntutan untuk menurunkan tingkat produksi beras atau bahkan untuk mengurangi luas areal tanah sawah tentunya merupakan persoalan dan sekaligus tantangan yang sangat berat bagi negara-negara tersebut. 

 

Namun demikian, hasil penelitian IRRI (IRRI, 2000) menyangkal kekhawatiran tersebut dan meyakinkan bahwa tingkat emisi metan rata-rata per satuan luas areal budidaya padi sawah di Asia relatif rendah, kecuali pada ekosistem tanah sawah tertentu.  Bahkan pada areal dimana potensi emisi metan tergolong tinggi, diketahui bahwa hal tersebut dapat diatasi dengan tanpa menurunkan tingkat produksi.

 

Sebagai contoh, US Environmental Protection Agency (USEPA) memperkirakan tingkat emisi metan global pada tahun 1990 mencapai 550 juta ton per tahun, dimana 110 juta ton diantaranya berasal dari tanah sawah. Bila perkiraan ini benar, maka konsekuensinya bagi ekonomi negara-negara Asia sangat luar biasa, karena hampir 90% produksi beras dunia berasal dari kawasan tersebut. Untuk India misalnya, yang memproduksi 80 juta ton beras dari total areal tanah sawah seluas 42 juta hektar, total emisi metannya diperkirakan mencapai 37.8 juta ton per tahun. Bila perkiraan USEPA tersebut tidak dikoreksi, maka sesuai dengan protokol lingkungan internasional, India diharuskan untuk menurunkan tingkat emisi metannya ke tingkat rata-rata global yang berarti penurunan luas areal tanah sawah hingga sedikitnya 47%.  Biaya ekonomi untuk ini diperkirakan mencapai US$ 1 milyar per tahun, atau hampir dua kali lipat anggaran tahunan kementerian riset dan teknologi di negara tersebut (Nature, 13 Juli 2001 diacu dalam IRRI, 2000). Tetapi, hasil penelitian kerjasama IRRI dengan ilmuwan India menunjukkan bahwa potensi emisi metan dari kegiatan produksi beras di India ternyata hanya mencapai kurang dari 5 juta ton per tahun (Jain et al., 2000; Adhya et al., 2000).

 

Hasil penelitian IRRI tersebut tentu saja merupakan hal yang sangat krusial, karena hingga saat ini padi tetap merupakan tanaman pertanian paling penting di wilayah tropika dan sub-tropika Asia, dimana produksi dan konsumsi beras telah mencapai 90% dari total produksi dan konsumsi sereal di Asia.  Oleh karena itu, tidak mengherankan jika upaya untuk meningkatkan produksi beras dan produktivitas tanah sawah terus dilakukan di wilayah ini.  Sejak diterapkannya revolusi hijau pada pertengahan tahun 60-an hingga kini, produksi beras di Asia telah meningkat dua kali lipat, khususnya pada tanah sawah beririgasi, dan mencapai 75% dari total produksi beras dunia.

 

Selain itu, kegiatan budidaya padi sawah juga merupakan “ritual kehidupan” yang tak terpisahkan dari kegiatan ekonomi, sosial maupun kultural penduduk Asia (IRRI, 2000).  Hampir 150 juta rumah-tangga di Asia bergantung pada tanah sawah untuk kehidupan kesehariannya, dimana pendapatan dari budidaya padi sawah mencapai 40-60% dari total pendapatan dari kegiatan pertanian. Di sisi lain, 50-70% dari pendapatan rumah-tangga penduduk miskin perkotaan dan penduduk perdesaan yang tidak memiliki lahan pertanian, yang merupakan kelompok penduduk yang sangat rentan terhadap masalah kerawanan pangan, digunakan untuk membeli beras.

 

Laju dan Tingkat Emisi Metan dari Tanah Sawah di Asia

 

Pada tahun 1993-1999, IRRI mengkoordinasikan “Interregional Research Program on Methane Emission from Rice Fields” bekerjasama dengan lembaga riset nasional di Cina, India, Indonesia, Thailand dan Filipina (IRRI, 2000).  Penelitian ini memiliki tujuan ganda, yaitu: (1) menetapkan tingkat emisi metan dari sistem budidaya padi sawah utama di Asia dan (2) mengidentifikasi strategi yang dapat diterapkan untuk menurunkan tingkat emisi metan di kawasan tersebut.

 

Penelitian untuk mengestimasi emisi metan tahunan di kelima negara tersebut dilakukan dengan beberapa skenario pengelolaan lahan, yaitu: (1) skenario standar atau tanpa aplikasi bahan organik dan perlakuan drainase selama periode pertumbuhan tanaman, (2) dengan aplikasi bahan organik tetapi tanpa perlakuan drainase, (3) tanpa aplikasi bahan organik tetapi diterapkan perlakuan drainase pada dua periode serta (4) dengan aplikasi bahan organik dan perlakuan dua periode drainase. 

 

Dari penelitian tersebut dihasilkan nilai emisi yang sangat rendah dibandingkan perkiraan sebelumnya.  Pada skenario standar, emisi metan tahunan dari tanah sawah di Cina hanya 3.7 juta ton (Lu et al., 2000; Wang et al., 2000), sedangkan untuk India (Adhya et al., 2000; Jain et al., 2000; Sethunathan et al., 2000), Indonesia (Setyanto et al., 2000), Filipina (Corton et al., 2000; Wassmann et al., 2000a) dan Thailand (Chareonsilp et al., 2000) berturut-turut hanya 2.1, 1.7, 0.1 dan 0.2 juta ton metan per tahun. Aplikasi 3 ton pupuk hijau per hektar pada awal musim pertanaman meningkatkan emisi metan rata-rata sebesar 128% di kelima negara, dengan kisaran 74-259%.  Perlakuan drainase pada pertengahan dan akhir periode pertanaman menurunkan emisi metan rata-rata sebesar 13% dengan kisaran –10 sampai –39%.  Kombinasi perlakuan aplikasi pupuk hijau dan drainase menyebabkan peningkatan emisi metan rata-rata sebesar 86% dengan kisaran 15-176% per tahun.  Total emisi metan dari tanah sawah di kelima negara tersebut, yang merupakan 70% dari total areal tanah sawah dunia, bervariasi dari 6.5 sampai 17.4 juta ton per tahun, tergantung pada skenario pengelolaan lahan yang diterapkan.  Jika emisi metan global per tahun diasumsikan sebesar 500 juta ton, maka kontribusi dari tanah sawah dunia hanya berkisar 2-5 %, suatu nilai yang jauh lebih rendah dari perkiraan sebelum tahun 90-an yaitu sebesar 20 sampai 120 juta ton atau sekitar 12.5%.

 

Hasil penelitian di atas membuktikan bahwa tanah sawah bukan merupakan sumber dan penyumbang utama peningkatan drastis emisi metan global pada abad ke-20.  Dengan demikian, data hasil penelitian sebelum tahun 90-an yang menjadi dasar munculnya persepsi atau bahkan tudingan bahwa sistem tanah sawah merupakan penyebab utama peningkatan pemanasan global akibat peningkatan laju dan tingkat emisi metan yang sangat tinggi telah terkoreksi.

 

Meskipun demikian, pada skala nasional, tanah sawah masih tetap merupakan sumber utama emisi metan di Asia.  Sebagai contoh, emisi metan dari tanah sawah di Indonesia mencapai 14% dari total emisi GRK yang berasal dari sektor energi (Setyanto et al., 2000). Perhitungan tersebut didasarkan pada asumsi: (1) laju emisi metan sebesar 1.7 juta ton per tahun, (2) potensi terhadap pemanasan global dari metan 20 kali lipat dibandingkan karbondioksida, dan (3) sumber emisi karbobdioksida dari sektor energi sekitar 250 juta ton per tahun. Oleh karena itu, upaya untuk meningkatkan produksi beras harus tetap diiringi dengan upaya untuk menurunkan emisi metan dari tanah sawah.

 

 

UPAYA PENURUNAN EMISI METAN DARI TANAH SAWAH

 

 

Perbedaan pengaruh interaktif dari cara pengelolaan lahan, misalnya rejim kelembaban tanah dan input bahan organik, iklim serta karakteristik tanah lainnya menyebabkan laju emisi metan dari tanah sawah bervariasi secara spasial.  Oleh karena itu, pendekatan mitigasi yang paling efektif adalah dengan mengarahkan upaya penurunan emisi metan ke areal tanah sawah yang memiliki potensi emisi yang tinggi (Wassmann et al., 2000b). Emisi metan dari tanah sawah beririgasi umumnya lebih tinggi dibandingkan dari tanah sawah tadah hujan dan tanah sawah air dalam.  Luas tanah sawah beririgasi meliputi 50% dari total areal tanah sawah dunia.  Meskipun demikian, laju emisi pada tanah sawah beririgasi di berbagai lokasi tidak seragam atau bervariasi dari kisaran rendah sampai tinggi.  Penggunaan pupuk inorganik pada lahan tersebut juga menghasilkan laju emisi metan yang sangat bervariasi, sedangkan pengaruh aplikasi pupuk kandang terhadap peningkatan laju emisi metan bervariasi dari sangat rendah hingga sangat tinggi.

 

Upaya mitigasi emisi metan dari tanah sawah beririgasi yang dapat dilakukan meliputi (IRRI, 2000): (1) penerapan drainase temporer yang selain dapat menurunkan laju emisi metan juga meningkatkan produksi dan efisiensi penggunaan air, (2) penggunaan kultivar padi sawah moderen dengan karakteristik eksudasi akar yang rendah sehingga secara relatif laju emisi metan akan menurun, (3) peningkatan dan pengelolaan kesuburan tanah karena eksudasi akar tanaman padi yang tumbuh subur lebih rendah dibandingkan yang mengalami defisiensi hara, misalnya P, sehingga laju emisi metannya juga lebih rendah dan (4) penekanan peningkatan emisi metan akibat penggunaan bahan organik dengan menerapkan perlakuan terhadap bahan organik sebelum diaplikasikan, misalnya dikomposkan, dimana hal tersebut juga berdampak positif terhadap peningkatan kesuburan tanah.

 

Hasil penelitian lapang yang diperoleh menunjukkan bahwa laju emisi metan lebih dipengaruhi oleh kondisi lingkungan daripada oleh perbedaan jenis kultivar padi yang ditanam (Wang dan Adachi, 2000).  Meskipun karakteristik eksudasi akar sebagai suatu mekanisme penyediaan substrat bagi bakteri pembentuk metan serta anatomi aerenchyma sebagai jalur transportasi emisi metan berbeda antar kultivar, tetapi penggunaan kultivar moderen, tradisional maupun hibrida tidak menunjukkan perbedaan klasifikasi emisi yang nyata. Oleh karena itu, upaya pemuliaan harus diarahkan untuk mencari plasma nutfah padi dengan karakteristik eksudasi akar dan aerenchyma yang pada kondisi pengelolaan lahan dan praktek budidaya tertentu menghasilkan potensi emisi metan yang rendah.

 

Upaya pemuliaan untuk memperoleh varietas padi dengan produktivitas yang lebih tinggi akan menyebabkan penurunan nisbah emisi metan per kg beras yang dihasilkan. Upaya tersebut meliputi pula penurunan nisbah jerami/gabah sehingga jumlah relatif jerami yang dikembalikan ke tanah sawah sebagai bahan organik juga menurun. Peningkatan produksi juga berdampak terhadap penurunan luas areal tanah sawah yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan beras, sehingga lebih lanjut akan menurunkan emisi metan (CAST, 1992).

 

Aplikasi bahan organik, baik dalam bentuk residu tanaman seperti jerami maupun limbah organik lainnya, sebagai sumber N ataupun untuk tujuan lainnya pada umumnya meningkatkan emisi metan. Jika residu organik tersebut dibakar, manfaatnya dalam hal mengembalikan sebagian C yang terkandung dalam bahan organik sebagai rosot (sink) C dalam tanah akan hilang. Oleh karena itu, cara pengelolaan yang dapat mengembalikan sebagian besar residu organik tanpa mengaplikasikannya ke dalam tanah sebagai bahan amelioran akan menurunkan emisi metan, termasuk diantaranya dengan melakukan rotasi penggunaan tanah sawah untuk tanaman lainnya.  Peningkatan produksi padi ladang (upland rice) dan tanaman sereal lainnya untuk mensubstitusi kebutuhan padi sawah pada gilirannya juga dapat menurunkan potensi emisi metan dari tanah sawah (CAST, 1992).

 

 

KESIMPULAN

 

 

Laju emisi metan dari tanah sawah ditentukan oleh kombinasi berbagai faktor alami seperti kondisi iklim, suhu, sumber karbon, karakteristik tanah serta kondisi pertanaman padi sebagai refleksi dari praktek pengelolaan tanah dan budidaya tanaman yang diterapkan.  Dengan demikian, laju emisi metan akan bervariasi sesuai dengan keberagaman kondisi lingkungan, ekonomi, sosial, budaya maupun kultural setempat.

 

Sistem tanah sawah bukan merupakan sumber dan penyumpang utama peningkatan emisi metan dan pemanasan global, meskipun pada skala nasional kontribusinya terhadap total emisi gas rumah kaca masih cukup tinggi.  Oleh karena itu, upaya penurunan laju dan tingkat emisi metan dari tanah sawah harus tetap diupayakan dengan tanpa mengorbankan aspek produksi beras dan cara mitigasi yang dipilih harus bersifat spesifik lokasi.

 

Identifikasi untuk membedakan ekosistem tanah sawah dengan potensi emisi metan yang tinggi dan rendah memungkinkan penetapan prioritas upaya mitigasi.  Oleh karena ekosistem tanah sawah beririgasi memiliki potensi emisi metan yang tinggi dengan penyebaran areal yang luas, maka prioritas utama upaya mitigasi dalam jangka pendek perlu diarahkan ke eksositem tersebut.

 

Pendekatan yang paling efektif untuk menurunkan emisi metan dari tanah sawah adalah dengan mengkombinasikan berbagai perlakuan ke dalam satu paket teknologi.  Sebagai contoh, pemanfaatan bahan organik diketahui akan meningkatkan emisi metan, tetapi laju peningkatannya dapat ditekan dengan menerapkan cara pengelolaan air dan pengelolaan residu organik yang tepat. Perlakuan pengomposan, fermentasi biogas, aplikasi sebagai mulsa, dll. dengan dosis, cara dan waktu yang disesuaikan dengan praktek pengelolaan lahan dan budidaya padi yang diterapkan, termasuk pemilihan kultivar atau varietas padi unggul dengan karakteristik emisi metan yang rendah, merupakan pendekatan yang disarankan.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

 

Adhya TK, Bharati K, Mohanty SR, Ramakrishnan B, Rao VR, Sethunathan S, and Wassmann R.  2000.  Methane emission from rice fields at Cuttack, India.  Nutr. Cycl. Agroecosyst.  58(1-3):95-105.

Bont JAM de, Lee KK, and Bouldin DF. 1978.  Bacterial oxidation of methane in a rice paddy.  Ecol. Bull.  26:91-96.

Bouman BAM.  2001.  Water-efficient management strategies in rice production.  Mini-review.  IRRN 26(2):17-22.

Bouwman AF.  1990.  Exchange of greenhouse gases between terrestrial ecosystems and the atmosphere.  In Bouwman AF (Ed.), Soils and the Greenhouse Effects.  John Wiley & Sons, Chichester, New York, Brisbane, Toronto, Singapore. pp. 61-127.

Council for Agricultural Science and Technology (CAST). 1992. Preparing U.S. agriculture for global climate change. Task Force Report 119. Ames, Iowa: Council for Agricultural Science and Technology.

Chareonsilp N, Buddhaboon C, Promnart P, Wassmann R, and Lantin RS.  2000.  Methane emission from deepwater rice fields in Thailand.  Nutr. Cycl. Agroecosyst.  58(1-3):121-130.

Cicerone RJ, and Shetter JD.  1981.  Source of atmospheric methane: Measurements in rice paddies and a discussion.  J. Geophys. Res.  96:7203-7209.

Conrad R.  1989.  Control of methane production in terrestrial ecosystems.  In  Andreae MO, and Schimel DS (Eds.), Exchange of Trace Gases between Terrestrial Ecosystems and the Atmosphere.  John Wiley & Sons, Chichester, New York, Brisbane, Toronto, Singapore. pp. 301-343.

Conrad R, and Schutz H.  1988.  Methods of studying methanogenic bacteria and methanogenic activities in aquatic environments.  In  Austin B. (Ed.), Methods in Aquatic Bacteriology. John Wiley & Sons, Chichester, New York, Brisbane, Toronto, Singapore. pp. 301-343.

Conrad R, Schutz H, and Babbel M.  1987.  Temperature limitation of hydrogen turn over and methanogenesis in anoxic paddy soils.  FEM Microbiol. Ecol.  45:281-289.

Corton TM, Bajita JB, Grospe FS, Pamplona RR, Assis Jr. CA, Wassmann R, Lantin RS, and Buendia LV.  2000.  Methane emission from irrigated and intensively managed rice fields in Central Luzon (Philippines).  Nutr. Cycl. Agroecosyst.  58(1-3):37-53.

Greenland DJ.  1997.  The Sustainability of Rice Farming.  CAB International,  New York, USA and IRRI, Los Banos, Laguna, Philippines. 273p.

Holzapfel-Pschorn  A, Conrad R, and Seiler W.  1985.  Production, oxidation, and emission of methane in rice paddies.  FEMS Microbiol. Ecol.  31:343-351.

Holzapfel-Pschorn  A, Conrad R, and Seiler W.  1986.  Effects of vegetation on the emission of methane from submerged paddy soils.  Plant Soil  92:223-233.

IRRI.  1990.  World rice facts 1989.  IRRI, Los Banos, Laguna, Philippines.

IRRI.  2000.  Rice Production, Methane Emission, and Global Warming: Link and Effects.  IRRI, Los Banos, Laguna, Philippines. 14p.

Jain MC, Kumar S, Wassmann R, Mitra S, Singh SD, Singh JP, Singh R, Yadav AK, and Gupta S.  2000.  Methane emissions from irrigated rice fields in Northern India (New Delhi).  Nutr. Cycl. Agroecosyst.  58(1-3):75-83.

Kiene RP, Oremland RS, Catena A, Miller LG, and Capone DG.  1986.  Metabolism of reduced methylated sulfur compounds in anaerobic sediments and by a pure culture on an estuarine methanogens.  Appl. Environ.  Microbiol.  52:1037-1045.

Lelieveld J, and Crutzen PJ.  1993.  Methane emissions into the atmosphere, an overview.  In Van Amstel AR (Ed.), Methane and Nitrous Oxide, Methods in National Emissions Inventories and Options for Control. Proc. Intern. IPCC Workshop.  Netherlands, 3-5 February 1993, pp.17-25.

Lu WF, Chen W, Duan BW, Guo WM, Lu Y, Lantin LS, Wassmann R, and Neue HU.  2000.  Methane emissions and mitigation options in irrigated rice fields in Southeast China.  Nutr. Cycl. Agroecosyst.  58(1-3):65-73.

Nature.  EPA error risked halving India’s rice harvest.  13 July 2001.

Oremland RS, and Capone DG.  1988.  Use of “specific” inhibitors in biogeochemistry and microbial ecology.  Adv. Microb. Ecol.  10:285-383.

Patrick WM Jr., and Reddy CN.  1978.  Chemical changes in rice soils.  In IRRI, Soil and Rice.  IRRI, Los Banos, Philippines.  pp. 361-379.

Ponnamperuma FN.  1985.  Chemical kinetics of wetland rice soils relative to soil fertility.  In IRRI, Wetland Soils: Characterization, Classification, and Utilization.  Proc. IRRI Workshop 1984.  IRRI, Los Banos, Philippines.  pp. 59-94.

Rennenberg H, Wassmann R,Papen H, and Seiler W.  1992.  Trace gases exchange in rice cultivation.  Ecol. Bull. (Copenhagen)  42:164-173.

Rudd JWN, and Taylor CD.  1980.  Methane cycling in aquatic environments.  Adv. Aq. Microbiol.  2:77-150.

Schutz H, Seiler W, and Conrad R.  1989a.  Process involved in formation and emission of methane in rice paddies.  Biogeochem.  7:33-53.

Schutz H, Hofzapfel-Pschorn A, Conrad R, Rennenberg H, and Seiler W.  1989b.  Three years continuous report on the influence of day time, season, and fertilizer treatment on methane emission rates from an Italian rice paddy field.  J. Geophys. Res.  94:16405-16416.

Schutz H, Seiler W, and Rennenberg W.  1990.  Soil and land use related sources and sinks of methane (CH4) in the context of the global methane budget.  In Bouwman, AF (Ed.), Soils and the Greenhouse Effects. John Wiley & Sons, Chichester, New York, Brisbane, Toronto, Singapore.  pp. 269-285.

Sethunathan N, Kumaraswamy S, Rath AK, Ramakrishnan B, Satpathy SN, Adhya TK, and Rao VR.  2000.  Methane production, oxidation, and emission from Indian rice soils.  Nutr. Cycl. Agroecosyst.  58(1-3):377-388.

Setyanto P, Makarim AK, Fagi AM, Wassmann R, and Buendia LV.  2000.  Crop management affecting methane emissions from irrigated and rainfed rice in Central Java (Indonesia).   Nutr. Cycl. Agroecosyst.  58(1-3):85-93.

Vogels GD, Keltjens JT, and Vander Drift C.  1988.  Biochemistry of methane production. In Zehnder AJB (Ed.), Biology of Anaerobic Organisms.  John Wiley & Sons, Chichester, New York, Brisbane, Toronto, Singapore. pp. 707-770.

Wang B, and Adachi K.  2000.  Differences among rice cultivars in root exudation, methane oxidation, and populations of methanogenic and methanotrophic bacteria in relation to methane emission.  Nutr. Cycl. Agroecosyst.  58(1-3):349-356.

Wang ZY, Xu YC, Li Z, Guo YX, Wassmann R, Neue HU, Lantin RS, Buendia LV, Ding YP, and Wang ZZ.  2000.  A four-year record of methane emissions from irrigated rice fields in the Beijing Region of China.  Nutr. Cycl. Agroecosyst.  58(1-3):55-63.

Wassmann R, Buendia LV, Lantin RS, Bueno CS, Lubigan LA, Umali A, Nocon AA, Javellana AM, and Neue HU.  2000a.  Mechanisms of crop management impact on methane emissions from rice fields in Los Banos, Philippines.  Nutr. Cycl. Agroecosyst.  58(1-3):107-119.

Wassmann R, Lantin LS, Neue HU, Buendia LV, Corton TM, and Lu Y.  2000b.    Characterization of methane emissions from rice fields in Asia.  III.  Mitigation Options and Future Research Needs.  Nutr. Cycl. Agroecosyst.  58(1-3):23-36.

World Commission on Environment and Development. 1987.  Our Common Future.  WCED, Oxford, Oxford Univ. Press, Oxford, UK.

Yagi K, Minami K, and Ogawa Y.  1990.  Effects of water percolation on methane emission from paddy fields.  Res. Rep. Div. Environ. Planning.  Nat. Inst. Agro-Environ. Sci.  6:105-112.

Zehnder AJB, and Stumm W.  1988.  Geochemistry and biogeochemistry of anaerobic habitats.  In Zehnder AJB (Ed.), Biology of Anaerobic Organisms.  John Wiley & Sons, Chichester, New York, Brisbane, Toronto, Singapore. pp. 1-38.